BAB II
TINJAUAN UMUM DAN KORELASI
INDEPENDENSI PERADILAN, AKUNTABILITAS PERADILAN, DAN SISTEM PENGAWASAN PERADILAN
A. Tinjauan Umum tentang Independensi Peradilan
Independensi merupakan prinsip berbasis kepercayaan yang berfungsi
sebagai proteksi terhadap institusi maupun seorang pemegang kekuasaan yudikatif
sebagai penegak keadilan dari kemungkinan intervensi atau pengaruh dari
pihak-pihak yang berkepentingan, hal ini agar peradilan dapat menjalankan
kekuasaannya dengan baik dan benar.46
Konsep dari independensi peradilan telah banyak dikemukakan oleh para
pakar hukum di Indonesia, pembahasan akan dimulai dengan memberikan tujuan
yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan. Bagir Manan
menyatakan,47 “Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara
yang langsung atau tidak langsung melibatkan kepentingan cabang-cabang
kekuasaan yang lain.” Sedangkan menurut Efik Yusdiansyah tujuan dasar dari
kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah48
a. Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan di antara badan-badan penyenggara Negara, kekuasaan kehakiman yang
:
46
Suparman Marzuki, “Kekuasaan …” Loc.. Cit. hlm. 285.
47
Hukum Online, “Masalah Independensi Hakim dan Rasa Keadilan Masyarakat hukumonline.com/klinik/detail/cl3026/masalah-independensi-hakim-dan-rasa-keadilan-masyarakat> [diakses pada 27/2/2014]
48
merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu;
b. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerintah bertindak dengan kekerasan atau semena-mena dan menindas;
c. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintah atau suatu peraturan perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakan; dan
d. Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral (impartiality) dari hakim dalam memutus suatu perkara.
Sedangkan untuk dapat menguji apakah tujuan dari indepedensi peradilan
tersebut menurut Erhard Blakenburg dapat dilihat dari dua hal,49
Dari tujuan keberadaan prinsip independensi peradilan tersebut
menunjukan bahwa kekuasaan peradilan harus merdeka dari berbagai campur
tangan atau intervensi pihak-pihak yang dapat mengganggu independensi
peradilan, Salman Luthan mencoba mengartikan mendeskripsikan bentuk dari
intervensi terhadap independesi tersebut dengan menamakan independesi
struktural dan independensi fungsional, yaitu sebagai berikut
Ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusanya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak berperkara. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas. Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik.
50
Peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan di luar kekuasaan badan peradilan, misalnya bebas dari campur tangan eksekutif, legilatif,
:
49
Ibid.
50
dan campur tangan kekuatan-kekuatan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam pengertian ini termasuk pula pengertian peradilan tertentu bebas dari campur tangan peradilan lain (misalkan peradilan umum beras dari campur tangan peradilan militer), peradilan yang lebih rendah bebas campur tangan dari peradilan yang lebih tinggi kecuali melalui mekanisme upaya hukum dan pembinaan peradilan.
Melengkapi konsep dari bentuk intervensi ini, selain peradilan harus
independen dari intervensi lembaga negara lainya dan kekuatan sosial yang
terdapat dalam masyarakat, menurut Ansyahrul,51
Dari bentuk intervensi yang telah dibahas maka independensi peradilan
dapat dilasifikasikan, menurut Richard D. Aldrich membagi kekuasan kehakiman
yang merdeka ke dalam dua pengertian,
Dalam mengemban tugasnya Hakim harus bebas dari berbagai tekanan kepentingan, baik eksternal (kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan kekuatan-kekuatan politik lainya), maupun internal dari lingkungan kekuasaan Yudikatif sendiri. Juga terkandung di dalamnya bebas dari pengaruh-pengaruh dari pihak-pihak yang berperkara, pihak-pihak yang berkepentingan, serta pengaruh dari kepentingan Hakim itu sendiri.
52
yaitu : “Kemerdekaan personal
(personal independent) dan kemedekaan substatif (substantive independent).
Kemerdekaan personal adalah kemerdekaan yang dikaitkan dengan keberadaan
dari individu hakim itu sendiri. Sedangkan kemerdekaan substantif adalah
kebebasan yang berkaitan dengan isi dari putusan yang akan dilakukanya.” Seide
dengan pendapat ini Shimon Sheret dalam Judicial Independence : New
Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi Independence of
Judiacry menjadi empat hal yaitu53
51
Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara, Jakarta : Mahakamah Agung RI, 2008, hlm. 179.
52
Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 33.
: “Substantive Independence (Independensi
53
dalam memutus perkara), Personal Independence (misalnya adanya jaminan kerja
dan jabatan), Internal Independence (misalnya Independensi dari atasan dan rekan
kerja), dan Collective Independence (misalnya adanya partisipasi pengadilan
dalam administrasi pengadilan, termasuk penentuan budget pengadilan).” Lebih
lanjut berdasarkan doktrin independesi peradilan dari Simon ini, menurut Saldi
Isra Independensi Hakim yang tidak dapat disentuh hanyalah Independensi dalam
memutus perkara (Substantive Independence).54
Dari sudut pandang lain Salman memberikan indikator perkembangan dari
independensi peradilan yang dapat dilihat independensi dalam tataran normatif
dan independesi peradilan dalam tataran budaya, seperti berikut
55
a. Independensi Peradilan dalam tataran Normatif
:
Independensi ini terkait dengan apakah norma-norma hukum memberikan perlindungan terhadap Independensi Struktural dan Fungsional dari lembaga peradilan.
b. Independensi Peradilan dalam tataran Budaya
Independesi ini terkait dengan sikap dan perilaku institusi, termasuk perilaku apaturnya (hakim) dalam menjalankan Indepedensi Struktural dan Independensi Fungsionalnya.
Melengkapi doktrin-doktrin dari independesi peradilan, Ansyahrul
menyatakan bahwa independensi peradilan, “harus bebas dari dan bebas untuk”.56
1. Lembaga-lembaga negara lainya seperti eksekutif dan legislatif;
Dari konsep tersebut jika disandingkan berbagai pendapat ahli diatas dapat
disimpulkan bahwa independensi peradilan mencakup dua dimensi yaitu ‘bebas
dari’ dan ‘bebas untuk’. Bebas dari maksudnya, peradilan harus independen dari
berbagai intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain seperti :
dan-masa-depan-komisi-yudisial&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5> [diakses 3 Maret 2014]
54
Ibid.
55
Salman Luthan, Loc. Cit.. Hlm. 317.
56
2. Lembaga peradilan itu sendiri seperti atasan dan rekan kerja;
3. Pihak-pihak yang berperkara;
4. Kekuatan politik;
5. Kelompok masyarakat;
6. Media massa.
7. Kepentingan hakim sendiri.
Sedangkan bebas untuk maksudnya, hakim bebas untuk mewudkan dari
tujuan-tujuan dari peradilan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan
antara lain :
1. Merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep pemisahan kekuasaan dari
cabang-cabang kekuasaan lainya dalam suatu negara;
2. Menguatkan check and balances diantara cabang kekuasaan negara lainya
dengan kewenangan peradilan menilai keabsahan secara hukum peraturan
perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat menciptakan keadilan dan
kepastian hukum;
3. Menjaga agar hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki sikap
dan perilaku adil, jujur, imparsial dalam memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya;
4. Menjamin agar hakim dalam melaksanakan kewenanganya tetap berdasarkan
peristiwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Melindungi hak-hak individu dari setiap warga negara agar tetap sesuai dengan
B. Tinjauan Umum tentang Akuntabilitas Peradilan
Akuntabilitas merupakan prinsip yang dibutuhkan untuk melengkapi
independensi, seperti pada independensi peradilan, basis moral dari akuntabilitas
adalah kepercayaan dari masyarakat sehingga keduanya menjadi instrumen
penguat kepercayaan dari pemberi kekuasaan kepemegang kekuasaan.57 Disinilah tujuan dari eksistensi akuntabilitas peradilan memiliki keterkaitan dengan
independensi peradilan, menurut Shameela Seedat dalam Judicial Accountability
Mechanism58
Keberadaan dari akuntabilitas tidak terlepas dari adanya kekuasaan yang
dimiliki oleh suatu instansi atau seseorang, keberadaan akuntabilitas menurut
Gayus Lumbun, ,
Akuntabilitas merupakan pelengkap independensi. Aturan konflik kepentingan, mekanisme pencegahan suap, dan pengawasan hakim merupakan contoh mekanisme akuntabilitas yang bertujuan memastikan hakim bertindak independen, imparsial, dan profesional dalam proses ajudikasi. Dengan begitu, mekanisme akuntabilitas tak bisa dilihat sebagai ancaman terhadap independensi, melainkan lebih menumbuhkan kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan.
59
57
Suparman Marzuki, “Kekuasaan…” Loc.. Cit. hlm. 302.
Akuntabilitas menuntut adanya kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah. Pemberi amanah dapat diartikan pihak yang mengangkat, pihak yang dilayani secara langsung maupun kepada pihak masyarakat atau publik, yang merupakan sumber utama dari kewenangan dan tanggung jawab yang diembannya. Untuk itu, pemegang amanah diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan, baik dalam bentuk keberhasilan maupun kegagalan dalam pelaksanaan tugas yang diembanya.
58
Oce Madril, “Komisi Yudisial dan Akuntabilitas Hakim”
[diakses 1 Maret 2014]
59
Menurut Artidjo Alkostar, akuntabilitas peradilan ditujukan untuk,60 “para Hakim yang telah memiliki knowledge, skill legal technic capacity, and integrity
harus dapat mempertanggung jawabkan pekerjaan profesionalnya kepada
kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani dan kepada Allah Yang
Maha Kuasa.” Sedangkan Romzek menyatakan jenis-jenis dari akuntabilitas
antara lain,61
Ada beberapa pendekatan untuk lebih mamahami konsep dari akuntabilitas
peradilan menurut J. Djohansjah, antara lain
“(1) akuntabilitas hukum, dicirikan dengan otonomi kelembagaan
yang rendah dengan kontrol eskternal; (2) akuntabilitas politik, dicirikan dengan
otonomi kelembagaan yang tinggi dan control eksternal; (3) akuntabilitas hirarki,
dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang rendah dan kontrol internal; (4)
akuntabilitas professional, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang tinggi dan
kontrol internal.”
62
60
Artidjo Alkostar, “Independesi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman”, Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim seluruh Indonesia, Lombok, 2012, hlm. 3
61
J. Djohansyah, Reformasi Mahkamah Agung menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Bekasi : Percetakan KBI, 2008, hlm. 178.
62
J. Djohansjah, Loc. Cit. hlm 181.
,
Menyambung ide pendekatan untuk membahas mengenai akuntabilitas
peradilan tersebut, Gayus Lumbun memberikan konsep dari pembenahan prioritas
jangka pendek adalah pengembangan akuntabilitas dan tranparansi khususnya
pada aspek kinerja badan peradilan, diuraikan sebagai berikut63 :
Akuntabilitas dan Tranparansi dari aspek Kinerja merupakan aspek krusial yang menyangkut kinerja di lingkungan badan peradilan dalam hal penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Secara konseptual, kegiatan pelatihan berkaitan dengan peningkatan kompetensi hakim. Akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan diklat sangatlah penting untuk menjamin bahwa kepersetaan dalam diklat relevan dengan bidang tugas dan tanggung jawabnya, dan narasumber yang berkompeten dengan kriteria yang jelas.
Dari berbagai argumentasi-argumentasi mengenai akuntabilitas peradilan
diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain, dasar munculnya
akuntabilitas peradilan adalah karena adanya kekuasaan yang diberikan oleh
pemegang kekuasaan asli yaitu rakyat kepada pemegang kekuasaan kehakiman
yaitu hakim sehingga segala aktivitas dan perbuatan hakim tersebut haruslah
sesuai dengan amanah yang diberikan oleh rakyat. Realisasi dari akuntabilitas ini
ditujukan terutama seharusnya kepada Allah Yang Maha Esa dan hati nurani
seorang hakim, namun dikarenakan hal tersebut bersifat abstrak dan sulit diukur
maka diperlukan indikator lain untuk melihat akuntabilitas dari seorang hakim
yaitu melalui keprofesionalanya yang tercermin dari etika dan perilaku yang
dimilikinya sedangkan akuntabilitas terhadap ilmu pengetahuan, institusi dan
publik dapat tercermin melalui argumentasi hukum dalam putusanya.
63
C. Tinjauan Umum tentang Sistem Pengawasan Peradilan
Pengawasan diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim
memiliki sikap berintegritas tinggi, jujur, imparsial, dan profesional dalam
menjalankan kewenanganya maupun dalam keseharianya yang akan
mempengaruhi tugas yudisialnya. Pengawasan dapat mencegah potensi
pelanggaran atau pengabaian independensi oleh pribadi hakim sendiri, pimpinan
pengadilan, dari pihak-pihak yang berperkara, tekanan kekuatan lainya, atau dari
masyarakat tertentu. Pengawasan dibutuhkan untuk menjaga akuntabilitas hakim
agar selalu dapat mempertanggungjawabkan setiap perbuatanya hanya
berdasarkan kebenaran.64
Urgensi dari adanya sebuah pengawasan menurut Bambang Widjajanto,
“Adanya sistem pengawasan yang baik yang memuat rinci atas hal-hal penting
yang perlu diawasi untuk menjaga martabat dan kehormatan kekuasaan
kehakiman, adanya kode etik dan, perilaku yang applicable, tersedianya tata cara
dan mekanisme pengawasan yang utuh dan solid, tersedianya orang-orang yang
memiliki profesionalitas dan integritas dalam melakukan pengawasan.”65
Untuk meneliti sistem pengawasan terhadap Hakim konstitusi berikut akan
disampaikan konsep-konsep dari pengawasan secara umum maupun pengawasan Dalam
bahasa lebih sedehana, pengawasan harus memiliki pengaturan yang jelas dan
terperinci untuk dapat mencapai tujuan utama dari adanya pengawasan yaitu
menciptakan hakim yang memiliki profesionalitas sesuai kode etik dan perilaku
hakim.
64
Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 101.
65
yang teradapat dalam lembaga peradilan. Paulus Effendi Lotulung memetakan
suatu lembaga pengawasan sebagai berikut66
Konsep selanjutnya untuk dapat mengklasifikasikan sistem pengawasan
terhadap Hakim Konstitusi, menurut Suparman Marzuki menyatakan ada tiga
pendekatan Pengawasan Hakim yaitu Preemtif, Preventif, dan Represif sebagai
pendekatan yang saling melengkapi, sebagai berikut :
a. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan atau organ yang melaksanakan kontrol
1. Kontrol intern atau built in control, berarti pengawasan yang dilakukan oleh organisasi atau struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri; dan
2. Kontrol eksternal, pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi atau struktural berada di luar pemerintah.
b. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaanya suatu kontrol
1. Kontrol a priori, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pengawasan kepadanya; dan
2. Kontrol a poteriori, yakni pengawasan yang baru terjadi sesudah dikeluarkan peraturan perundangan atau sesudah terjadinya tindakan atau peristiwa yang akan dikontrol.
c. Ditinjau dari segi obyek yang diawasi
1. Kontrol segi hukum, adalah kontrol untuk menilai segi-segi pertimbangan yang bersifat hukum dari tindakan pemerintah; dan 2. Kontrol dari segi kemanfaatan, adalah untuk menilai tepat tidaknya
tindakan pemerintah dilihat dari segi pertimbangan kemanfaatannya.
67
a. Pengawasan dengan Pendekatan Preemtif :
Dijalankan dengan program-program peningkatan kapasitas (pelatihan) dan peningkatan kesejahteraan.
b. Pengawasan dengan Pendekatan Preventif
Dilakukan dengan pemantauan persidangan, pemantauan terhadap hakim tertentu secara rutin atau insidental.
c. Pengawasan dengan Pendekatan Represif (penindakan)
66
Ahmad Basuki, “Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebagai Upaya dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan Pidana”, Jurnal Perspektif Volume XVIII No. 1 Tahun 2013 Edisi Januari, hlm. 62.
67
Dijalankan dengan program pemanggilan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi baik karena tindakan murni perilaku maupun putusannya.
Sebagai bahan perbandingan, Ahmad Fadlil Sumadi memberikan
gambaran konsep pengawasan terhadap ranah kekuasaan Mahkamah Agung,
pengawasan internal dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan
negara dan pengawas tertinggi terhadap pengadilan yang berada dibawahnya
sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. 68 Pengawasan internal dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pengawasan melekat dan
pengawasan fungsional, dengan penjabaran sebagai berikut69
Sedangkan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial jika kita ingin
melihat konsep pengawasanya bisa dilihat dari pernyataan Charles Simabura yang
menyatakan,
:
a. Pengawasan Melekat
Merupakan fungsi pengawasan yang inheren dalam fungsi kepempimpinan pengadilan dalam perspektif manajemen atau fungsi pengadilan atasan dalam perspektif susunan kelembagaan.
b. Pengawasan Fungsional
Merupakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh satuan organisasi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut, yakni jika di Mahkamah Agung adalah Badan Pengawas Mahkamah Agung.
70
68
Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Jakarta Timur : Setara Press, 2001, 180.
69
Ibid.
70
Charles Simabura. Membangun Sinergi dalam Pengawasan Hakim, Jurnal Mahkamah Konstitusi Volume 6 Nomor 2 bulan Juli tahun 2009, hlm. 47.
Kembali ke pemikiran Ahmad Fadlil melengkapi konsep pengawasan
internal, menyatakan ada dua bentuk pengawasan berdasarkan pelaksanaanya,
antara lain71
Setelah membahas urgernsi dan klasifikasi dari pengawasan dalam
peradilan maka selanjutnya yang akan di sampaikan adalah mengenai objek yang
akn menjadi pengawasan dalam peradilan khususnya bagi seorang hakim yaitu
etika dan perilaku dari seorang hakim. Ruang lingkup pengawasan terhadap etika
dan perilaku hakim ini masihlah sangat relevan dengan konsep pengawasan :
a. Pengawasan dengan Pelaksanaan Aktif dan Terus-menerus
Proses pengawasan ini dilakukan secara rutin dan reguler maka penyelenggaraan fungsi pengawasan ini memerlukan pengelolaan berdasarkan fungsi-fungsi menajemen, sehingga terdapat manajemen pengawasan. Pelaksanaan Pengawasan Aktif ini digunakan untuk melaksanakan Pengawasan Internal dengan bentuk Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional seperti yang dijelaskan sebelumnya.
b. Pengawasan dengan Pelaksanaan Pasif
Proses pengawasan yang pelaksanaanya bergantung pada adanya pengaduan dari masyarakat. Pengaduan ini dilaksanakan dengac cara monitoring, observasi, konfirmasi, dan/atau investigasi guna menungkapkan kebenaran hal yang diadukan. Pengaduan merupakan masukan yang berasal dari pengawasan masyarakat terhadap jalanya peradilan dan perilaku hakim yang menjalalankanya. Pemimpin atau lembaga pengawas berkewajiban untuk menindaklanjuti setiap pengaduan. Kewajiban tersebut dikonstruksikan bersuber dari hak masyarakat dalam mengawasi jalanya peradilan yang baik dalam konsep negara hukum yang demokratis. Termasuk ke dalam pengawasan pasif ini adalah penerimaan laporan dari pengadilan atau pimpinan bawahan kepada pengadilan atau pimpinan yang lebih tinggi, baik laporan yang bersifat rutin maupun laporan insidentil ketika terjadi kasus.
71
terhadap peradilan secara umum, dengan berbagai alasan menurut Imam Anshori
Shaleh berikut72
Pengawasan terhadap etika dan perilaku hakim ini tidak dapat terlepas dari
enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia,
seperti yang tercatum dalam The Bangalore Principle of Judicial Conduct, antara
lain
:
1. Pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap hakim adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum dapat berjalan dengan baik;
2. Tolak ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan hakim dalam bentuk material maupun hukum formal (rechmatigheid), serta maanfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelmatigheid);
3. Ada pencocokan antara perbuatan dan tolak ukur yang telah diteteapkan;
4. Jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolak ukur tersebut dapat dilakukan tindakan pencegahan.
73
72
Imam Anshori Shaleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang : Setara Press, 2014, hlm. 128.
73
Ibid.
:
1. Independensi (Independence Principle)
Yaitu jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum.
2. Ketidakberpihakan (Impartiality Prniciple)
Adalah prinisip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya;
3. Integritas (Integrity Principle)
Merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatanya;
4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Priciple)
Adalah norma kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan antara pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan;
Merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial, ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa;
6. Kecakapan dan keseksamaan (Competence and Diligence Principle) Merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik
dan terpercaya. Kecakapan tercerin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas professional hakim.
Dari berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi dari
adanya pengawasan peradilan khususnya terhadap hakim adalah untuk menjamin
agar segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang hakim sebagai pemegang
kekuasaan kehakiman haruslah dapat disesuaikan dengan peraturan yang ada,
selain yang sifatnya teknis yudisial melalui adanya pengujian terhadap putusan
hakim melalui tingkatan peradilan ataupun non yudusial melalui administratif
peradilan, pengawasan terhadap kode etik dan perilaku yang berlaku merupakan
hal yang sangat penting khususnya bagi seorang hakim. Ketika pengawasan
terhadap etika dan perilaku seorang hakim telah dapat ditegakan maka setidaknya
hakim telah mengikuti standard etika dan perilaku seorang yang ideal sesuai Kode
Etik dan Perilaku Hakim yang telah disepakati. Pengawasan terhadap etika dan
perilaku seorang hakim inilah yang dapat menjaga prinsip independensi dan
D. Korelasi Independesi Peradilan, Akuntabilitas Peradilan, dan Pengawasan Peradilan
Dari ketiga komponen pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu
independensi peradilan, akuntabilitas peradilan, dan sistem pengawasan peradilan
dapat di hasilkan sebuah korelasi yang saling menghubungkan ketiga hal tersebut.
Kembali kepada konsep peradilan secara umum, Bagir Manan menyatakan ada 4
(empat) asas peradilan demokratis yaitu74
1. Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), hal ini menyebabkan tidak boleh membentuk pendapat umum yang dikesankan bahwa terdakwa bersalah;
:
2. Larangan peradilan oleh Pers (Trial by press), tidak jarang pengadilan oleh pers ini melanggar hak pribadi dan kematian perdata atau pembunuhan karakter terhadap seseprang bahkan terhadap keluarganya;
3. Prinsip Fairness, yang mengandung makna tidak saja memuat tanggung jawab hakim untuk berlaku jujur dan tidak memihak, tetapi mengandung makna pula bahwa setiap pihak yang berperkara (termasuk terdakwa) mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara. Keadilan bukan hanya hak publik atau hak korban, tetapi juga hak mereka yang disangkakan bersalah atau sedang diadili; dan
4. Prinsip kebebasan hakim, kebebasan ini termasuk di dalamnya bebas dari rasa kebimbangan dan rasa takut hakim sebagai akibat dari adanya tekanan publik baik berupa perusakan gedung pengadilan atau penganiayaan yang ditunjukan pada hakim.
Dari pendapatnya tersebut terlihat konsep independensi peradilan sangat
dibutuhkan untuk menciptakan peradilan yang demokratis, lebih lanjut Bagir
Manan berpendapat bahwa ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman
yang merdeka yaitu75
1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan fungsi peradilan atau fungsi yustisial meliputi
:
74
Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 35.
75
memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum;
2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum;
3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur, dan tidak memihak;
4. Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum baik berupa hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri;
5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman; dan
6. Semua tindakan terhadap hakim samara-mata dilakukan menurut undang-undang.
Meski demikian, konsep independensi peradilan bukanlah tanpa batasan.
Al insaanu ma’al khoto’ wal nisyaan, manusia adalah tempat salah dan lupa.
Pepatah Arab tersebut memiliki korelasi dengan doktrin umum yang diungkapkan
oleh Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power, courrupt absolutely.
Kekuasaan cenderung dikorupsi, kekuasaan mutlak, mutlak dikorupsi. Hal inipun
disadari oleh Bagir Manan yang merumuskan bahwa diperlukan batasan-batasan
terhadap independensi kekuasaan kehakiman yaitu76
1. Hakim hanya memutus menurut hukum, hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim dalam memutus perkara kongret harus dapat menunjuk secara tegas ketentuan hukum dalam perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dari suatu negara yang berdasarkan hukum;
:
2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hal ini berimplikasi bahwa hakim dapat melakukan penafsiran, melakukan konstruksi, bahkan tidak menerapkan atau mengenyampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan keadilan sehingga tidak dapat dilaksanakan dengan sewenang-wenang;
3. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kewenangan atau kebebasannya.
76
Sehingga dibutuhkan suatu konsep lagi untuk dapat mendampingi konsep
independensi peradilan yaitu akuntabilitas peradilan.
Fungsi akuntabilitas peradilan terhadap independensi peradilan ini
menurut Suparman Marzuki,77
Pembatasan mengenai independensi peradilan dengan adanya akuntabilitas
peradilan lebih lanjut menurut Suparman Marzuki menyatakan,
“Keberadaan Akuntabilitas adalah untuk
memastikan bahwa kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan baik,
sumber daya dipakai secara patut, sekaligus untuk mencegah timbulnya “tirani
yudisial” yang pada akhirnya akan menghancurkan prinsip Independensi
kekuasaan kehakiman itu sendiri.” Jadi fungsi dari akuntabilitas peradilan ini akan
mengawal agar independensi peradilan tidak disalahgunakan oleh pemegang
kekuasaan kehakiman maka segala aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.
78
Mengkorelasikan antara independensi peradilan dan akuntabilitas
peradilan dengan sistem pengawasan peradilan maka pendapat Paulus E Lotolung “Tidak ada
independensi tanpa pertanggungjawaban. Indepedensi dibatasi oleh asas-asas
umum berperkara yang baik, oleh hukum materiil dan formil yang berlaku,
kehendak para pihak yang berperkara, komitmen ketuhanan para hakim, Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE dan PPH), serta nilai-nilai keadilan.”
Aspek-aspek inilah yang harus dicapai untuk dapat menciptakan independensi
peradilan yang akuntabel.
77
Suparman Marzuki, Kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman. Bunga Rampai Komisi Yudisial Edisi tahun 2013. Hlm. 101.
78
dalam makalahnya “Streghtening the Independence and Efficiency of Judiciary”
berikut dapat dijadikan rujukan79
Menanggapi doktrin tersebut Imam Anshori Shaleh memberikan pandanganya
terhadap eksistensi dari pengawasan peradilan terhadap independensi dan
akuntabilitas peradilan, pengawasan diharapkan, ,
“…perlunya independensi peradilan tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik atau diawasi. Sebagai keseimbangan dari independensi, selalu harus dapat terdapat akuntabilitas peradilan atau tanggung jawab peradilan untuk mencegah ketidakadilan. Mekanisme tu harus dikembangkan oleh lembaga peradilan itu sendiri dan masyarakat dalam pengertian untuk menjadi akuntabilitas seorang hakim.”
80
Pengejawantahan dari pertemuan konsep independensi dan akuntabilitas
peradilan ini yang secara mekanisme terdapat dalam sistem pengawasan
peradilan, dengan adanya pengawasan maka hakim khususnya hakim sebagai 1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan,
penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan.
2. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan.
3. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksankan tugas pokok dan fungsinya secara efektif.
Dari berbagai pandangan dari ahli hukum diatas maka dapat di simpulkan
bahwa ada hubungan yang erat antara konsep independensi peradilan dan
akuntabilitas peradilan dengan pengawasan. Independensi peradilan yang
merupakan prinsip dasar untuk terciptanya kekuasaan kehakiman yang
professional tidak bisa berjalan dengan sendirinya, disinilah prinsip dari
akuntabilitas peradilan melengkapi independensi peradilan untuk menghindari
terhadap penyalahgunaan independensi peradilan tersebut.
79
Imam Anshori Shaleh, Loc. Cit. hlm. 127.
80
pemegang kekuasaan kehakiman dapat dituntut untuk selalu menjaga etika dan
perilakunya agar selalu mencerminkan sikap independensi dan akuntabel sehingga
hanya mendasarkan setiap berbuatannya baik di dalam dan diluar peradilan