• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM DAN KORELASI INDEPENDENSI PERADILAN, AKUNTABILITAS PERADILAN, DAN SISTEM PENGAWASAN PERADILAN A. Tinjauan Umum tentang Independensi Peradilan - Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Persepektif Independensi Peradilan dan Akuntabili

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM DAN KORELASI INDEPENDENSI PERADILAN, AKUNTABILITAS PERADILAN, DAN SISTEM PENGAWASAN PERADILAN A. Tinjauan Umum tentang Independensi Peradilan - Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Persepektif Independensi Peradilan dan Akuntabili"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM DAN KORELASI

INDEPENDENSI PERADILAN, AKUNTABILITAS PERADILAN, DAN SISTEM PENGAWASAN PERADILAN

A. Tinjauan Umum tentang Independensi Peradilan

Independensi merupakan prinsip berbasis kepercayaan yang berfungsi

sebagai proteksi terhadap institusi maupun seorang pemegang kekuasaan yudikatif

sebagai penegak keadilan dari kemungkinan intervensi atau pengaruh dari

pihak-pihak yang berkepentingan, hal ini agar peradilan dapat menjalankan

kekuasaannya dengan baik dan benar.46

Konsep dari independensi peradilan telah banyak dikemukakan oleh para

pakar hukum di Indonesia, pembahasan akan dimulai dengan memberikan tujuan

yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan. Bagir Manan

menyatakan,47 “Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara

yang langsung atau tidak langsung melibatkan kepentingan cabang-cabang

kekuasaan yang lain.” Sedangkan menurut Efik Yusdiansyah tujuan dasar dari

kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah48

a. Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan di antara badan-badan penyenggara Negara, kekuasaan kehakiman yang

:

46

Suparman Marzuki, “Kekuasaan …” Loc.. Cit. hlm. 285.

47

Hukum Online, “Masalah Independensi Hakim dan Rasa Keadilan Masyarakat hukumonline.com/klinik/detail/cl3026/masalah-independensi-hakim-dan-rasa-keadilan-masyarakat> [diakses pada 27/2/2014]

48

(2)

merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu;

b. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerintah bertindak dengan kekerasan atau semena-mena dan menindas;

c. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintah atau suatu peraturan perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakan; dan

d. Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral (impartiality) dari hakim dalam memutus suatu perkara.

Sedangkan untuk dapat menguji apakah tujuan dari indepedensi peradilan

tersebut menurut Erhard Blakenburg dapat dilihat dari dua hal,49

Dari tujuan keberadaan prinsip independensi peradilan tersebut

menunjukan bahwa kekuasaan peradilan harus merdeka dari berbagai campur

tangan atau intervensi pihak-pihak yang dapat mengganggu independensi

peradilan, Salman Luthan mencoba mengartikan mendeskripsikan bentuk dari

intervensi terhadap independesi tersebut dengan menamakan independesi

struktural dan independensi fungsional, yaitu sebagai berikut

Ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusanya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak berperkara. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas. Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik.

50

Peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan di luar kekuasaan badan peradilan, misalnya bebas dari campur tangan eksekutif, legilatif,

:

49

Ibid.

50

(3)

dan campur tangan kekuatan-kekuatan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam pengertian ini termasuk pula pengertian peradilan tertentu bebas dari campur tangan peradilan lain (misalkan peradilan umum beras dari campur tangan peradilan militer), peradilan yang lebih rendah bebas campur tangan dari peradilan yang lebih tinggi kecuali melalui mekanisme upaya hukum dan pembinaan peradilan.

Melengkapi konsep dari bentuk intervensi ini, selain peradilan harus

independen dari intervensi lembaga negara lainya dan kekuatan sosial yang

terdapat dalam masyarakat, menurut Ansyahrul,51

Dari bentuk intervensi yang telah dibahas maka independensi peradilan

dapat dilasifikasikan, menurut Richard D. Aldrich membagi kekuasan kehakiman

yang merdeka ke dalam dua pengertian,

Dalam mengemban tugasnya Hakim harus bebas dari berbagai tekanan kepentingan, baik eksternal (kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan kekuatan-kekuatan politik lainya), maupun internal dari lingkungan kekuasaan Yudikatif sendiri. Juga terkandung di dalamnya bebas dari pengaruh-pengaruh dari pihak-pihak yang berperkara, pihak-pihak yang berkepentingan, serta pengaruh dari kepentingan Hakim itu sendiri.

52

yaitu : “Kemerdekaan personal

(personal independent) dan kemedekaan substatif (substantive independent).

Kemerdekaan personal adalah kemerdekaan yang dikaitkan dengan keberadaan

dari individu hakim itu sendiri. Sedangkan kemerdekaan substantif adalah

kebebasan yang berkaitan dengan isi dari putusan yang akan dilakukanya.” Seide

dengan pendapat ini Shimon Sheret dalam Judicial Independence : New

Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi Independence of

Judiacry menjadi empat hal yaitu53

51

Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara, Jakarta : Mahakamah Agung RI, 2008, hlm. 179.

52

Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 33.

: “Substantive Independence (Independensi

53

(4)

dalam memutus perkara), Personal Independence (misalnya adanya jaminan kerja

dan jabatan), Internal Independence (misalnya Independensi dari atasan dan rekan

kerja), dan Collective Independence (misalnya adanya partisipasi pengadilan

dalam administrasi pengadilan, termasuk penentuan budget pengadilan).” Lebih

lanjut berdasarkan doktrin independesi peradilan dari Simon ini, menurut Saldi

Isra Independensi Hakim yang tidak dapat disentuh hanyalah Independensi dalam

memutus perkara (Substantive Independence).54

Dari sudut pandang lain Salman memberikan indikator perkembangan dari

independensi peradilan yang dapat dilihat independensi dalam tataran normatif

dan independesi peradilan dalam tataran budaya, seperti berikut

55

a. Independensi Peradilan dalam tataran Normatif

:

Independensi ini terkait dengan apakah norma-norma hukum memberikan perlindungan terhadap Independensi Struktural dan Fungsional dari lembaga peradilan.

b. Independensi Peradilan dalam tataran Budaya

Independesi ini terkait dengan sikap dan perilaku institusi, termasuk perilaku apaturnya (hakim) dalam menjalankan Indepedensi Struktural dan Independensi Fungsionalnya.

Melengkapi doktrin-doktrin dari independesi peradilan, Ansyahrul

menyatakan bahwa independensi peradilan, “harus bebas dari dan bebas untuk”.56

1. Lembaga-lembaga negara lainya seperti eksekutif dan legislatif;

Dari konsep tersebut jika disandingkan berbagai pendapat ahli diatas dapat

disimpulkan bahwa independensi peradilan mencakup dua dimensi yaitu ‘bebas

dari’ dan ‘bebas untuk’. Bebas dari maksudnya, peradilan harus independen dari

berbagai intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain seperti :

dan-masa-depan-komisi-yudisial&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5> [diakses 3 Maret 2014]

54

Ibid.

55

Salman Luthan, Loc. Cit.. Hlm. 317.

56

(5)

2. Lembaga peradilan itu sendiri seperti atasan dan rekan kerja;

3. Pihak-pihak yang berperkara;

4. Kekuatan politik;

5. Kelompok masyarakat;

6. Media massa.

7. Kepentingan hakim sendiri.

Sedangkan bebas untuk maksudnya, hakim bebas untuk mewudkan dari

tujuan-tujuan dari peradilan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan

antara lain :

1. Merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep pemisahan kekuasaan dari

cabang-cabang kekuasaan lainya dalam suatu negara;

2. Menguatkan check and balances diantara cabang kekuasaan negara lainya

dengan kewenangan peradilan menilai keabsahan secara hukum peraturan

perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat menciptakan keadilan dan

kepastian hukum;

3. Menjaga agar hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki sikap

dan perilaku adil, jujur, imparsial dalam memeriksa, mengadili, dan

memutuskan perkara yang diajukan kepadanya;

4. Menjamin agar hakim dalam melaksanakan kewenanganya tetap berdasarkan

peristiwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Melindungi hak-hak individu dari setiap warga negara agar tetap sesuai dengan

(6)

B. Tinjauan Umum tentang Akuntabilitas Peradilan

Akuntabilitas merupakan prinsip yang dibutuhkan untuk melengkapi

independensi, seperti pada independensi peradilan, basis moral dari akuntabilitas

adalah kepercayaan dari masyarakat sehingga keduanya menjadi instrumen

penguat kepercayaan dari pemberi kekuasaan kepemegang kekuasaan.57 Disinilah tujuan dari eksistensi akuntabilitas peradilan memiliki keterkaitan dengan

independensi peradilan, menurut Shameela Seedat dalam Judicial Accountability

Mechanism58

Keberadaan dari akuntabilitas tidak terlepas dari adanya kekuasaan yang

dimiliki oleh suatu instansi atau seseorang, keberadaan akuntabilitas menurut

Gayus Lumbun, ,

Akuntabilitas merupakan pelengkap independensi. Aturan konflik kepentingan, mekanisme pencegahan suap, dan pengawasan hakim merupakan contoh mekanisme akuntabilitas yang bertujuan memastikan hakim bertindak independen, imparsial, dan profesional dalam proses ajudikasi. Dengan begitu, mekanisme akuntabilitas tak bisa dilihat sebagai ancaman terhadap independensi, melainkan lebih menumbuhkan kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan.

59

57

Suparman Marzuki, “Kekuasaan…” Loc.. Cit. hlm. 302.

Akuntabilitas menuntut adanya kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah. Pemberi amanah dapat diartikan pihak yang mengangkat, pihak yang dilayani secara langsung maupun kepada pihak masyarakat atau publik, yang merupakan sumber utama dari kewenangan dan tanggung jawab yang diembannya. Untuk itu, pemegang amanah diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan, baik dalam bentuk keberhasilan maupun kegagalan dalam pelaksanaan tugas yang diembanya.

58

Oce Madril, “Komisi Yudisial dan Akuntabilitas Hakim”

[diakses 1 Maret 2014]

59

(7)

Menurut Artidjo Alkostar, akuntabilitas peradilan ditujukan untuk,60 “para Hakim yang telah memiliki knowledge, skill legal technic capacity, and integrity

harus dapat mempertanggung jawabkan pekerjaan profesionalnya kepada

kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani dan kepada Allah Yang

Maha Kuasa.” Sedangkan Romzek menyatakan jenis-jenis dari akuntabilitas

antara lain,61

Ada beberapa pendekatan untuk lebih mamahami konsep dari akuntabilitas

peradilan menurut J. Djohansjah, antara lain

“(1) akuntabilitas hukum, dicirikan dengan otonomi kelembagaan

yang rendah dengan kontrol eskternal; (2) akuntabilitas politik, dicirikan dengan

otonomi kelembagaan yang tinggi dan control eksternal; (3) akuntabilitas hirarki,

dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang rendah dan kontrol internal; (4)

akuntabilitas professional, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang tinggi dan

kontrol internal.”

62

60

Artidjo Alkostar, “Independesi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman”, Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim seluruh Indonesia, Lombok, 2012, hlm. 3

61

J. Djohansyah, Reformasi Mahkamah Agung menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Bekasi : Percetakan KBI, 2008, hlm. 178.

62

J. Djohansjah, Loc. Cit. hlm 181.

,

(8)

Menyambung ide pendekatan untuk membahas mengenai akuntabilitas

peradilan tersebut, Gayus Lumbun memberikan konsep dari pembenahan prioritas

jangka pendek adalah pengembangan akuntabilitas dan tranparansi khususnya

pada aspek kinerja badan peradilan, diuraikan sebagai berikut63 :

Akuntabilitas dan Tranparansi dari aspek Kinerja merupakan aspek krusial yang menyangkut kinerja di lingkungan badan peradilan dalam hal penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Secara konseptual, kegiatan pelatihan berkaitan dengan peningkatan kompetensi hakim. Akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan diklat sangatlah penting untuk menjamin bahwa kepersetaan dalam diklat relevan dengan bidang tugas dan tanggung jawabnya, dan narasumber yang berkompeten dengan kriteria yang jelas.

Dari berbagai argumentasi-argumentasi mengenai akuntabilitas peradilan

diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain, dasar munculnya

akuntabilitas peradilan adalah karena adanya kekuasaan yang diberikan oleh

pemegang kekuasaan asli yaitu rakyat kepada pemegang kekuasaan kehakiman

yaitu hakim sehingga segala aktivitas dan perbuatan hakim tersebut haruslah

sesuai dengan amanah yang diberikan oleh rakyat. Realisasi dari akuntabilitas ini

ditujukan terutama seharusnya kepada Allah Yang Maha Esa dan hati nurani

seorang hakim, namun dikarenakan hal tersebut bersifat abstrak dan sulit diukur

maka diperlukan indikator lain untuk melihat akuntabilitas dari seorang hakim

yaitu melalui keprofesionalanya yang tercermin dari etika dan perilaku yang

dimilikinya sedangkan akuntabilitas terhadap ilmu pengetahuan, institusi dan

publik dapat tercermin melalui argumentasi hukum dalam putusanya.

63

(9)

C. Tinjauan Umum tentang Sistem Pengawasan Peradilan

Pengawasan diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim

memiliki sikap berintegritas tinggi, jujur, imparsial, dan profesional dalam

menjalankan kewenanganya maupun dalam keseharianya yang akan

mempengaruhi tugas yudisialnya. Pengawasan dapat mencegah potensi

pelanggaran atau pengabaian independensi oleh pribadi hakim sendiri, pimpinan

pengadilan, dari pihak-pihak yang berperkara, tekanan kekuatan lainya, atau dari

masyarakat tertentu. Pengawasan dibutuhkan untuk menjaga akuntabilitas hakim

agar selalu dapat mempertanggungjawabkan setiap perbuatanya hanya

berdasarkan kebenaran.64

Urgensi dari adanya sebuah pengawasan menurut Bambang Widjajanto,

“Adanya sistem pengawasan yang baik yang memuat rinci atas hal-hal penting

yang perlu diawasi untuk menjaga martabat dan kehormatan kekuasaan

kehakiman, adanya kode etik dan, perilaku yang applicable, tersedianya tata cara

dan mekanisme pengawasan yang utuh dan solid, tersedianya orang-orang yang

memiliki profesionalitas dan integritas dalam melakukan pengawasan.”65

Untuk meneliti sistem pengawasan terhadap Hakim konstitusi berikut akan

disampaikan konsep-konsep dari pengawasan secara umum maupun pengawasan Dalam

bahasa lebih sedehana, pengawasan harus memiliki pengaturan yang jelas dan

terperinci untuk dapat mencapai tujuan utama dari adanya pengawasan yaitu

menciptakan hakim yang memiliki profesionalitas sesuai kode etik dan perilaku

hakim.

64

Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 101.

65

(10)

yang teradapat dalam lembaga peradilan. Paulus Effendi Lotulung memetakan

suatu lembaga pengawasan sebagai berikut66

Konsep selanjutnya untuk dapat mengklasifikasikan sistem pengawasan

terhadap Hakim Konstitusi, menurut Suparman Marzuki menyatakan ada tiga

pendekatan Pengawasan Hakim yaitu Preemtif, Preventif, dan Represif sebagai

pendekatan yang saling melengkapi, sebagai berikut :

a. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan atau organ yang melaksanakan kontrol

1. Kontrol intern atau built in control, berarti pengawasan yang dilakukan oleh organisasi atau struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri; dan

2. Kontrol eksternal, pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi atau struktural berada di luar pemerintah.

b. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaanya suatu kontrol

1. Kontrol a priori, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pengawasan kepadanya; dan

2. Kontrol a poteriori, yakni pengawasan yang baru terjadi sesudah dikeluarkan peraturan perundangan atau sesudah terjadinya tindakan atau peristiwa yang akan dikontrol.

c. Ditinjau dari segi obyek yang diawasi

1. Kontrol segi hukum, adalah kontrol untuk menilai segi-segi pertimbangan yang bersifat hukum dari tindakan pemerintah; dan 2. Kontrol dari segi kemanfaatan, adalah untuk menilai tepat tidaknya

tindakan pemerintah dilihat dari segi pertimbangan kemanfaatannya.

67

a. Pengawasan dengan Pendekatan Preemtif :

Dijalankan dengan program-program peningkatan kapasitas (pelatihan) dan peningkatan kesejahteraan.

b. Pengawasan dengan Pendekatan Preventif

Dilakukan dengan pemantauan persidangan, pemantauan terhadap hakim tertentu secara rutin atau insidental.

c. Pengawasan dengan Pendekatan Represif (penindakan)

66

Ahmad Basuki, “Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebagai Upaya dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan Pidana”, Jurnal Perspektif Volume XVIII No. 1 Tahun 2013 Edisi Januari, hlm. 62.

67

(11)

Dijalankan dengan program pemanggilan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi baik karena tindakan murni perilaku maupun putusannya.

Sebagai bahan perbandingan, Ahmad Fadlil Sumadi memberikan

gambaran konsep pengawasan terhadap ranah kekuasaan Mahkamah Agung,

pengawasan internal dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan

negara dan pengawas tertinggi terhadap pengadilan yang berada dibawahnya

sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. 68 Pengawasan internal dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pengawasan melekat dan

pengawasan fungsional, dengan penjabaran sebagai berikut69

Sedangkan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial jika kita ingin

melihat konsep pengawasanya bisa dilihat dari pernyataan Charles Simabura yang

menyatakan,

:

a. Pengawasan Melekat

Merupakan fungsi pengawasan yang inheren dalam fungsi kepempimpinan pengadilan dalam perspektif manajemen atau fungsi pengadilan atasan dalam perspektif susunan kelembagaan.

b. Pengawasan Fungsional

Merupakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh satuan organisasi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut, yakni jika di Mahkamah Agung adalah Badan Pengawas Mahkamah Agung.

70

68

Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Jakarta Timur : Setara Press, 2001, 180.

69

Ibid.

70

Charles Simabura. Membangun Sinergi dalam Pengawasan Hakim, Jurnal Mahkamah Konstitusi Volume 6 Nomor 2 bulan Juli tahun 2009, hlm. 47.

(12)

Kembali ke pemikiran Ahmad Fadlil melengkapi konsep pengawasan

internal, menyatakan ada dua bentuk pengawasan berdasarkan pelaksanaanya,

antara lain71

Setelah membahas urgernsi dan klasifikasi dari pengawasan dalam

peradilan maka selanjutnya yang akan di sampaikan adalah mengenai objek yang

akn menjadi pengawasan dalam peradilan khususnya bagi seorang hakim yaitu

etika dan perilaku dari seorang hakim. Ruang lingkup pengawasan terhadap etika

dan perilaku hakim ini masihlah sangat relevan dengan konsep pengawasan :

a. Pengawasan dengan Pelaksanaan Aktif dan Terus-menerus

Proses pengawasan ini dilakukan secara rutin dan reguler maka penyelenggaraan fungsi pengawasan ini memerlukan pengelolaan berdasarkan fungsi-fungsi menajemen, sehingga terdapat manajemen pengawasan. Pelaksanaan Pengawasan Aktif ini digunakan untuk melaksanakan Pengawasan Internal dengan bentuk Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional seperti yang dijelaskan sebelumnya.

b. Pengawasan dengan Pelaksanaan Pasif

Proses pengawasan yang pelaksanaanya bergantung pada adanya pengaduan dari masyarakat. Pengaduan ini dilaksanakan dengac cara monitoring, observasi, konfirmasi, dan/atau investigasi guna menungkapkan kebenaran hal yang diadukan. Pengaduan merupakan masukan yang berasal dari pengawasan masyarakat terhadap jalanya peradilan dan perilaku hakim yang menjalalankanya. Pemimpin atau lembaga pengawas berkewajiban untuk menindaklanjuti setiap pengaduan. Kewajiban tersebut dikonstruksikan bersuber dari hak masyarakat dalam mengawasi jalanya peradilan yang baik dalam konsep negara hukum yang demokratis. Termasuk ke dalam pengawasan pasif ini adalah penerimaan laporan dari pengadilan atau pimpinan bawahan kepada pengadilan atau pimpinan yang lebih tinggi, baik laporan yang bersifat rutin maupun laporan insidentil ketika terjadi kasus.

71

(13)

terhadap peradilan secara umum, dengan berbagai alasan menurut Imam Anshori

Shaleh berikut72

Pengawasan terhadap etika dan perilaku hakim ini tidak dapat terlepas dari

enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia,

seperti yang tercatum dalam The Bangalore Principle of Judicial Conduct, antara

lain

:

1. Pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap hakim adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum dapat berjalan dengan baik;

2. Tolak ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan hakim dalam bentuk material maupun hukum formal (rechmatigheid), serta maanfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelmatigheid);

3. Ada pencocokan antara perbuatan dan tolak ukur yang telah diteteapkan;

4. Jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolak ukur tersebut dapat dilakukan tindakan pencegahan.

73

72

Imam Anshori Shaleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang : Setara Press, 2014, hlm. 128.

73

Ibid.

:

1. Independensi (Independence Principle)

Yaitu jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum.

2. Ketidakberpihakan (Impartiality Prniciple)

Adalah prinisip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya;

3. Integritas (Integrity Principle)

Merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatanya;

4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Priciple)

Adalah norma kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan antara pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan;

(14)

Merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial, ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa;

6. Kecakapan dan keseksamaan (Competence and Diligence Principle) Merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik

dan terpercaya. Kecakapan tercerin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas professional hakim.

Dari berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi dari

adanya pengawasan peradilan khususnya terhadap hakim adalah untuk menjamin

agar segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang hakim sebagai pemegang

kekuasaan kehakiman haruslah dapat disesuaikan dengan peraturan yang ada,

selain yang sifatnya teknis yudisial melalui adanya pengujian terhadap putusan

hakim melalui tingkatan peradilan ataupun non yudusial melalui administratif

peradilan, pengawasan terhadap kode etik dan perilaku yang berlaku merupakan

hal yang sangat penting khususnya bagi seorang hakim. Ketika pengawasan

terhadap etika dan perilaku seorang hakim telah dapat ditegakan maka setidaknya

hakim telah mengikuti standard etika dan perilaku seorang yang ideal sesuai Kode

Etik dan Perilaku Hakim yang telah disepakati. Pengawasan terhadap etika dan

perilaku seorang hakim inilah yang dapat menjaga prinsip independensi dan

(15)

D. Korelasi Independesi Peradilan, Akuntabilitas Peradilan, dan Pengawasan Peradilan

Dari ketiga komponen pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu

independensi peradilan, akuntabilitas peradilan, dan sistem pengawasan peradilan

dapat di hasilkan sebuah korelasi yang saling menghubungkan ketiga hal tersebut.

Kembali kepada konsep peradilan secara umum, Bagir Manan menyatakan ada 4

(empat) asas peradilan demokratis yaitu74

1. Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), hal ini menyebabkan tidak boleh membentuk pendapat umum yang dikesankan bahwa terdakwa bersalah;

:

2. Larangan peradilan oleh Pers (Trial by press), tidak jarang pengadilan oleh pers ini melanggar hak pribadi dan kematian perdata atau pembunuhan karakter terhadap seseprang bahkan terhadap keluarganya;

3. Prinsip Fairness, yang mengandung makna tidak saja memuat tanggung jawab hakim untuk berlaku jujur dan tidak memihak, tetapi mengandung makna pula bahwa setiap pihak yang berperkara (termasuk terdakwa) mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara. Keadilan bukan hanya hak publik atau hak korban, tetapi juga hak mereka yang disangkakan bersalah atau sedang diadili; dan

4. Prinsip kebebasan hakim, kebebasan ini termasuk di dalamnya bebas dari rasa kebimbangan dan rasa takut hakim sebagai akibat dari adanya tekanan publik baik berupa perusakan gedung pengadilan atau penganiayaan yang ditunjukan pada hakim.

Dari pendapatnya tersebut terlihat konsep independensi peradilan sangat

dibutuhkan untuk menciptakan peradilan yang demokratis, lebih lanjut Bagir

Manan berpendapat bahwa ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman

yang merdeka yaitu75

1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan fungsi peradilan atau fungsi yustisial meliputi

:

74

Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 35.

75

(16)

memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum;

2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum;

3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur, dan tidak memihak;

4. Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum baik berupa hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri;

5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman; dan

6. Semua tindakan terhadap hakim samara-mata dilakukan menurut undang-undang.

Meski demikian, konsep independensi peradilan bukanlah tanpa batasan.

Al insaanu ma’al khoto’ wal nisyaan, manusia adalah tempat salah dan lupa.

Pepatah Arab tersebut memiliki korelasi dengan doktrin umum yang diungkapkan

oleh Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power, courrupt absolutely.

Kekuasaan cenderung dikorupsi, kekuasaan mutlak, mutlak dikorupsi. Hal inipun

disadari oleh Bagir Manan yang merumuskan bahwa diperlukan batasan-batasan

terhadap independensi kekuasaan kehakiman yaitu76

1. Hakim hanya memutus menurut hukum, hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim dalam memutus perkara kongret harus dapat menunjuk secara tegas ketentuan hukum dalam perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dari suatu negara yang berdasarkan hukum;

:

2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hal ini berimplikasi bahwa hakim dapat melakukan penafsiran, melakukan konstruksi, bahkan tidak menerapkan atau mengenyampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan keadilan sehingga tidak dapat dilaksanakan dengan sewenang-wenang;

3. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kewenangan atau kebebasannya.

76

(17)

Sehingga dibutuhkan suatu konsep lagi untuk dapat mendampingi konsep

independensi peradilan yaitu akuntabilitas peradilan.

Fungsi akuntabilitas peradilan terhadap independensi peradilan ini

menurut Suparman Marzuki,77

Pembatasan mengenai independensi peradilan dengan adanya akuntabilitas

peradilan lebih lanjut menurut Suparman Marzuki menyatakan,

“Keberadaan Akuntabilitas adalah untuk

memastikan bahwa kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan baik,

sumber daya dipakai secara patut, sekaligus untuk mencegah timbulnya “tirani

yudisial” yang pada akhirnya akan menghancurkan prinsip Independensi

kekuasaan kehakiman itu sendiri.” Jadi fungsi dari akuntabilitas peradilan ini akan

mengawal agar independensi peradilan tidak disalahgunakan oleh pemegang

kekuasaan kehakiman maka segala aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan

tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.

78

Mengkorelasikan antara independensi peradilan dan akuntabilitas

peradilan dengan sistem pengawasan peradilan maka pendapat Paulus E Lotolung “Tidak ada

independensi tanpa pertanggungjawaban. Indepedensi dibatasi oleh asas-asas

umum berperkara yang baik, oleh hukum materiil dan formil yang berlaku,

kehendak para pihak yang berperkara, komitmen ketuhanan para hakim, Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE dan PPH), serta nilai-nilai keadilan.”

Aspek-aspek inilah yang harus dicapai untuk dapat menciptakan independensi

peradilan yang akuntabel.

77

Suparman Marzuki, Kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman. Bunga Rampai Komisi Yudisial Edisi tahun 2013. Hlm. 101.

78

(18)

dalam makalahnya “Streghtening the Independence and Efficiency of Judiciary”

berikut dapat dijadikan rujukan79

Menanggapi doktrin tersebut Imam Anshori Shaleh memberikan pandanganya

terhadap eksistensi dari pengawasan peradilan terhadap independensi dan

akuntabilitas peradilan, pengawasan diharapkan, ,

“…perlunya independensi peradilan tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik atau diawasi. Sebagai keseimbangan dari independensi, selalu harus dapat terdapat akuntabilitas peradilan atau tanggung jawab peradilan untuk mencegah ketidakadilan. Mekanisme tu harus dikembangkan oleh lembaga peradilan itu sendiri dan masyarakat dalam pengertian untuk menjadi akuntabilitas seorang hakim.”

80

Pengejawantahan dari pertemuan konsep independensi dan akuntabilitas

peradilan ini yang secara mekanisme terdapat dalam sistem pengawasan

peradilan, dengan adanya pengawasan maka hakim khususnya hakim sebagai 1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan,

penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan.

2. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan.

3. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksankan tugas pokok dan fungsinya secara efektif.

Dari berbagai pandangan dari ahli hukum diatas maka dapat di simpulkan

bahwa ada hubungan yang erat antara konsep independensi peradilan dan

akuntabilitas peradilan dengan pengawasan. Independensi peradilan yang

merupakan prinsip dasar untuk terciptanya kekuasaan kehakiman yang

professional tidak bisa berjalan dengan sendirinya, disinilah prinsip dari

akuntabilitas peradilan melengkapi independensi peradilan untuk menghindari

terhadap penyalahgunaan independensi peradilan tersebut.

79

Imam Anshori Shaleh, Loc. Cit. hlm. 127.

80

(19)

pemegang kekuasaan kehakiman dapat dituntut untuk selalu menjaga etika dan

perilakunya agar selalu mencerminkan sikap independensi dan akuntabel sehingga

hanya mendasarkan setiap berbuatannya baik di dalam dan diluar peradilan

Referensi

Dokumen terkait

Anies mengatakan dalam aturan BI justru tertulis, “Kredit atau pembiayaan dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah pusat dan/atau pemda sebagaimana dimaksud

Kudus: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus.. Jakarta: Pusat

Penelitian ini menilai secara kuantitatif mengenai jenis dan kepadatan sampah laut (makro dan mikroplastik) di lingkungan laut serta dampaknya terhadap kepadatan makrozoobenthos

Catatan : Agar membawa dokumen penawaran asli sesuai yang di-upload lewat aplikasi SPSE2. Demikian undangan dari kami dan atas perhatiannya disampaikan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut (1) penerapan pembelajaran dengan metode Tutorial and Drill memiliki

Pancasila sebagai Pandangan Hidup bangsa atau Way of Life mengandung makna bahwa semua aktifitas kehidupan bangsa Indonesia sehari-hari harus sesuai dengan sila-sila

Hakikat belajar menurut teori kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Atau

Penelitian ini menggambarkan bahwa sebagian besar mahasiswa studi akhir Fakultas Keperawatan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya mengalami stres sedang dalam