A. LATAR BELAKANG
Salah satu bentuk kesenian di Jawa dan keberadaannya telah ada beratusratus tahun yang lalu adalah wayang. Kata wayang (secara harfiah "bayangan"), sekarang menunjuk pada berbagai boneka dari kulit yang dipahat pipih dari wayang kulit. Bentuknya sendiri yang distilisasi dari boneka Jawa berlebihan, seperti sebuah bayangan bentuk manusia Jawa yang alami. Orang bisa mengatakan bahwa bayangan dari wayang tajam dan mantap atau panjang dan bergetar adalah sebuah bayangan dari bayan gan.1 Akan tetapi kata wayang setelah mengalami perluasan makna merupakan gambaran kehidupan manusia dan alam semesta, ungkapan misteri dari kehidupan yang menampilkan tokohtokoh personifikasi nenek moyang atau leluhur.2 Wayang mengalami perkembangan mulai abad delapan hingga sekarang dalam bentuk cerita, boneka, bentuk pementasan, dan lain lain. Seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan barangbarang elektronik yang semakin melimpah, keberadaan wayang sebagai 1 Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Ter
jemahan R.M Soedarsono (Bandung: MSPI, 2000), 156.
2 Henri Supriyanto, Kamus Kecil: Istilah Seni Drama dan Teater
salah satu kesenian tradisional yang adiluhung mulai tergeser. Wayang menjadi terpinggirkan, kedudukannya digantikan oleh hi buranhiburan yang berisi hurahura atau kadangkadang sedikit diselipi pesan moral. Jika keseniankesenian tradisional maupun kesenian istana tidak dilestarikan dalam bentuk slide, foto, video, serta penerbitan buku dimungkinkan lambat laun akan musnah.
Bentukbentuk yang paling tua dari seni pertunjukan Jawa yang diketahui adalah wayang kulit (drama bayangbayang), wayang bèbèr (pertunjukan gulungan kertas), dan wayang topèng atau topèng (tari bertopèng).3 Topèng merupakan hasil karya seni.4 Keberadaan topèng sudah amat tua. Hal itu dapat ditemui dari berbagai tinggalan kepurbakalaan dan manuskripmanuskrip naskah kuna. Teater topèng adalah teater tradisional yang masing masing aktornya memakai tutup wajah atau bertopèng.5
Sebuah topèng dari jaman prasejarah yang berukir dari se lembar emas ditemukan di Pasir Putih dari Jawa Timur.6 Pada waktu itu penggunaan topèng sebagai kedok atau penutup/tempat wajah bagi orang yang meninggal. Kebenaran dari perilaku terse
3 James R. Brandon, JejakJejak Seni Pertunjukan di Asia Teng gara, terjemahan R.M. Soedarsono (Bandung: P4ST UDI 2003), 62.
4 Hamzuri, Warisan tradisional itu Indah dan Unik (Jakarta: De
partemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000), 481.
5 Supriyanto, 1990, 61.
but belum diketahui, dimungkinkan topèng untuk tengkorak/ kerangka yang dipercaya sebagai salah satu kekuatan setelah melakukan kerja. Pertunjukan topèng ini relatif, setidaknya ada suatu pertemuan dari orangorang tersebut.7 Dalam hubungan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa topèng itu digunakan dalam su atu kepercayaan mengenai alam sesudah kematian. Jadi ini bersangkutan dengan orang yang telah meninggal dunia. Tindakan ini dilakukan oleh kerabatnya atau setidaknya oleh mereka yang mempunyai ikatan erat dengannya. Melalui jalan pikiran ini, maka dapat dikatakan bahwa si mati adalah "nenek moyang" orang yang merawatnya. Dengan demikian ide awal diciptakan topeng oleh nenek moyang adalah sebagai sarana menghormati dan melakukan kontak dengan pendahulupendahulunya yang telah meninggal dunia.
Di Indonesia, mungkin setiap daerah memiliki topèng yang memiliki fungsi dan kegunaan hampir sama antara satu dengan yang lain. Di Irian Jaya, beberapa topèng kematian dihubungkan antara tradisi atau kebiasaan seorang kepala suku dengan masa lalu. Jipai atau Jipae digunakan untuk menutupi rahasia terbesar seorang lelaki, yang menutupi seluruh tubuh kecuali kaki. Di Batak Karo terdapat topèng yang disebut gundalagundala, orang
77 Edi Sedyawati “Topeng dalam Budaya” dalam Jurnal
Batak Simalungun menyebut hudahuda, orang Batak Pakpak menyebut topeng mangkudamangkuda.8 Di Jawa hampir setiap daerah memiliki topèng yang mempunyai ciri khas yang berbeda beda. Di Yogyakarta, repertoar topèng hanya di mainkan sebagai pelengkap suatu cerita yang tertulis, dan lebih menekankan unsur gerak tari, seperti Klana topèng, Gunung SariRegol, KlanaSem bunglangu, DewandiniSihpi, dan sebagainya. Pertunjukan topèng berlakon yang utuh menjadi pertunjukan sporadis di desadesa saja.9 Topèng Babakan dari Cirebon pertunjukannya hanya dita mpilkan babak demi babak, sesuai dengan permintaan penyeleng gara atau "penanggap".10 Di daerah Malang dan Madura Jawa Timur, pertunjukan topèng menekankan peran pencerita atau dalang. Dalang menceritakan cerita dan memimpin percakapan antarpenari. Saat penari topèng memainkan peranannya sesuai percakapan dalam setiap gerakan tarinya.11 Mengenai kapan wayang topèng di Jawa Timur mulai berkembang kami berasumsi pada sekitar pertengahan abad ke16, bersamaan dengan penye baran agama Islam di Pulau Jawa. Ini berarti bersamaan dengan
8 Hamzuri, 2000, 482.
9 I Made Bandem dan Sal Murgiyanto, Teater Daerah (Yogyakarta:
Kanisius, 1996 cetakan ulang 2000), 130.
10 Tati Narawati, Wajah Tari Sunda dari Masa ke Masa (Bandung:
P4ST UPI, 2003), 61.
perkembangan topèng dalang di Cirebon.12 Selain itu, Kemudian pada awal penyebaran agama Islam di Indonesia, para Wali Sanga mencoba memperbaiki tari topèng agar dapat disesuaikan dengan aturan agama Islam. Diantaranya adalah dengan merubah tata busana tari topèng menjadi lebih sopan dan mengganti bahan alat musik tari topèng.13
Topèng Malang merupakan salah satu kesenian rakyat (daerah Malang) yang sangat kental unsur kelokalannya. Ia juga dilatarbelakangi oleh unsur budaya masyarakat agraris. Masyarakat menyadari bahwa secara kodrat kehidupan wayang Jawa Timuran (wayang kulit dan wayang topèng) dan wayang Jawa Tengah (wayang kulit dan wayang topèng) di Surakarta dan Yogyakarta sangat berbeda. Wayang Jawa Timuran (wayang kulit dan wayang topèng) lahir dari kalangan rakyat bawah, seperti hal nya perkembangan wayang pesisiran lainnya. Adapun wayang gaya Surakarta maupun Yogyakarta dipelihara dan dikembangkan oleh kalangan atas (kraton).14
12 Soedarsono (R.M. Soedarsono) dan Tati Narawati, Dramatari di Indonesia, Kontinuitas dan Perubahan (Yogyakarta: UGM Press, 2011), 55.
13 Nurdin Kalim dan kawankawan, Tantra: Tafsir Baru Panji,
Tempo Online, 28 Juni 2010.
14 Suyanto, Wayang Malangan (Surakarta: Citra Etnika, 2002),
Wayang topèng Malang memiliki ciri khas yang berbeda
dengan wayang topèng lain. Hal ini dapat disaksikan pada corak dandanan busana pertunjukan Panji Jabung dan Ked hungmangga sekarang ini. Terutama Jamang (irahirahan kepala) yang mirip dengan Jamang yang digunakan dalam per tunjukan semacam di Bali. Dan Bali merupakan mata rantai kesinambungan budaya sejak jaman abad XIII. Juga pahatan relief candicandi Jawa Timuran menunjukkan corak yang serupa.15
Karakter pembeda lainnya, pementasan wayang topèng Malang bisa disejajarkan dengan teater rakyat lain, walaupun dari segi cerita mengambil latar kerajaan. Hal ini dikarenakan wayang topèng Malang dikelola oleh rakyat (Malang) dan tumbuh dengan subur di lingkungan tersebut.16 Selain itu, peran penting seorang dalang sangat dominan sekali dalam pertunjukan drama tari wayang topèng Malang, karena keberhasilan pertunjukan sangat ditentukan oleh kepiawaian dalang saat memimpin pertunjukan.
Cerita yang digunakan dalam pertunjukan drama tari wayang topèng Malang adalah cerita Panji. Perlu kita ketahui,
cerita Panji merupakan produk Jawa Timur yang muncul pada
15 Soenarto Timoer, Topeng Dhalang di Jawa Timur (Jakarta:
Dekdikbud,1979/1980), 21.
16 Batasan tentang teater rakyat adalah teater yang berasal
masa Kerajaan Kediri di abad12 dan berkembang subur di abad ke14 pada masa Majapahit.17 Pertunjukan topèng di daerah lain tanpa adanya dialog dan merupakan repertoar tari suatu tokoh tertentu tanpa didampingi oleh tokoh lain, seperti dalam pertun jukan topèng babakan yang bersumber pada cerita Ramayana Ma habharata, Damarwulan, ataupun Panji. Di Bali wayang topèng yang mengambil cerita Ramayana disebut dengan wayang wang. Adapun siklus Panji digunakan untuk drama tari klasik gambuh dan arja.
Kesenian topèng Malang jika dilihat dari bentuk topèng dan penyajiannya mempunyai kekhasan tersendiri. Hal ini tampak sangat jelas apabila dibandingkan dengan kesenian topèng dari berbagai daerah lain yang hidup di Jawa. Perbedaan ini dikare nakan adanya nuansa lokal yang begitu kuat seperti pada solah gerak tarinya, busana tari, dialog, dan bentuk dari topèng itu sendiri, serta penampilannya. Oleh sebab itu topèng Malang bisa tumbuh menjadi suatu gaya maupun identitas budaya tersendiri bagi masyarakat Kabupaten Malang yang merupakan keragaman seni pertunjukan di Jawa Timur.18
17 Soedarsono (R.M. Soedarsono) dan Tati Narawati, 2011, 63.
18 Mamik Suharti,"Karimun Seniman Topeng Malang jawa Timur:
Lakon Panji Reni dalam pertunjukan drama tari topèng Malang dibawakan oleh dalang tanpa teks tertulis. Sang dalang mendapatkan cerita berdasarkan ingatan yang dia terima, lihat, dan resapi dari dalang sebelumnya, sehingga pertunjukan wayang topèng Malang bersifat turun temurun. Dalam pertunjukan topèng Malang cerita Panji yang berbentuk lisan dimungkinkan banyak variasivariasi yang dibawakan oleh dalang yang berasal dari satu induk cerita. Variasivariasi tersebut dimungkinkan adanya suatu selipan cerita lain yang dapat menambah kekayaan sastra dan mungkin bisa dilestarikan dalam bentuk dokumentasi tulis seba gai salah satu khasanah budaya bangsa.
B. RUMUSAN MASALAH
perubahan adegan, tempat, suasana, dan lainlain. Penambahan penambahan tersebut memang kadangkadang diperlukan oleh dalang untuk menambah "rasa" pertunjukan drama tari wayang topèng Malang atau juga untuk mengulurulur waktu dalam se malam suntuk.
Uraian yang telah dikemukakan di atas sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian dan penulisan terutama dari segi per tunjukan dan sastra, mengingat belum ada penelitian tentang per tunjukan drama tari wayang topèng Malang yang berfokus pada hal tersebut. Berdasarkan penjabaran di atas, penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah aspekaspek dramaturgi cerita Panji dalam pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni?
2. Bagaimanakah transformasi cerita Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance ke per tunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni?
Dari kedua rumusan masalah di atas, tampaknya sudah mewakili suatu permasalahan yang berkaitan dengan pertunjukan dan cerita Panji itu sendiri, beserta variasivariasi pembentuk su atu lakon pada Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni.
peneliti lebih memfokuskan pada transformasi cerita Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance ke pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni yang diceritakan oleh dalang. Dengan fokusfokus pembahasan tersebut diharapkan dapat menjawab pokok permasalahan dalam penelitian ini.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dijelaskan tujuan dari peneli tian ini, yakni:
1. Untuk mengetahui pertunjukan drama tari wayang topèng Malang Lakon Panji Rèni.
2. Untuk mengetahui unsurunsur pembentuk drama atau motifmotif pembentuk drama dalam pertunjukan drama tari wayang topèng Malang Lakon Panji Rèni.
3. Untuk mengetahui uraian transformasi cerita Panji dari Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Ja vanese Panji Romance ke pertunjukan drama tari wayang topèng Malang dengan lakon Panji Rèni.
yang besar untuk mengetahui deskripsi pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni. Secara lebih rinci berfokus pada disiplin ilmu seni pertunjukan, dan sastra.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa buku referensi yang terkait dengan penulisan drama tari wayang topèng Malang lebih menitikberatkan pada se jarah dan pertunjukan drama tari wayang topèng Malang, akan tetapi berkaitan dengan aspek sastra dan drama dalam penulisan tersebut tidak begitu banyak dikupas. Aspek sastra dalam beber apa buku tentang pertunjukan drama tari wayang topèng Malang hanya menampilkan secara ringkas transkripsi lakon yang beredar di beberapa daerah, tanpa menampilkan secara utuh bentuk lakon tersebut. Demikian juga dengan aspek drama tidak begitu banyak bukubuku yang berkaitan dengan pertunjukan drama tari wayang topèng Malang.
Judul buku Drama tari wayang topeng Malang (1997) yang ditulis oleh Henri Supriyanto dan M. Soleh Adi Pramono menitik beratkan pada transkripsi singkat cerita Panji yang ada di Pulung dawa Tumpang dengan Kedungmangga Pakisaji, sejarah wayang topèng Malang, konsep pertunjukan drama tari wayang topèng
menambah wawasan yang terkait dengan ragam lakon cerita Panji serta variasinya, dan terpenting informasi yang berharga tentang transkripsi lakon Panji Reni.
Soenarto Timoer menulis buku tentang Topeng Dhalang, asalmuasal dan sejarah topeng dhalang (terutama di Jawa Timur)
serta aneka ragam gambar topèng Malang dengan topèng Madura (1979/1980). Informasi penting yang dapat menunjang penelitian ini adalah transkripsi lakon Panji Reni yang dapat dijadikan per bandingan dengan lakon Panji Reni yang telah dipadatkan karena keterbatasan waktu.
Sal M. Murgiyanto dan A.M Munardi melakukan penelitian Wayang Topèng Malang dengan menghasilkan buku yang berjudul Topèng Malang Pertunjukan Drama Tari Tradisional di Daerah
Kabupaten Malang (1979/1980). Buku ini memberikan informasi
yang tidak sedikit tentang sejarah dan persebaran daerah wayang topèng Malang, fungsi dan peranan sosialnya, bentuk penyajian dan Pertunjukan topèng wayang serta dilampiri transkripsi lakon lakon yang ada dalam Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang yang bisa dijadikan awal dan perbandingan dalam peneli tian ini yang berkaitan dengan transkripsi lakon.
Panji Romance (1971) merupakan kidung Bali yang diterjemahkan dari bahasa Bali ke bahasa Inggris. Buku ini merupakan salah satu buku referensi yang sangat penting dalam penelititan ini se bagai salah satu objek penelitian yang dijadikan perbandingan an tara cerita Panji yang telah terlisankan dengan cerita Panji yang telah ditulis. Halhal yang disebut dalam buku: mengapa disebut cerita Panji, kidung dan metrum tengahan, Wangbang Wideya se bagai karya sastra dan hubungan cerita Panji dengan drama.
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Baroroh Baried dan kawankawannya menghasilkan diktat tentang “Panji Citra Pahlawan” (1980), banyak mengupas Cerita Panji beserta carangancarangannya yang tersebar di Indonesia, seperti Serat Panji Jaya Kusuma, Panji Anggrèni, Panji Jayeng Tilam, geguritan
Pakang Raras, Geguritan Cinilaya, Hikayat Panji Kuda Semirang,
Hikayat Galuh Digantung, Jaran Kinanti Asmaradana, dan Hikayat
Misa Taman Jayeng Kusuma.
Dengan adanya penelaahan terhadap beberapa buku refer ensi diharapkan oleh peneliti dapat membantu dalam penelitian ini, dan dapat dicari peluang untuk dijadikan suatu penelitian yang berbeda dengan sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan multidisiplin yakni pendekatan filologi, sastra, dan dramaturgi untuk memahami cerita. Cerita Panji memerlukan dokumentasi tulis yang berasal dari data lisan yakni Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni lalu dipindahkan oleh peneliti ke bentuk tulis untuk bisa diterjemahkan dan dipahami jalan ceritanya. Pe mindahan dari bentuk lisan ke bentuk tulis memerlukan pen dekatan ilmu filologi yang menunjang pencermatan peneliti dalam memahami, menulis, dan mengolah bentuk asli naskah lakon Per tunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni. Kata filologi berasal dari bahasa Yunani Philologia yang arti aslinya
“kegemaran berbincangbincang”. Menurut istilah filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian sesuatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasar bahasa dan kesusastraannya.19
Filologi dimulai dengan penggunaan materi mentah yang belum dibahas dan dalam bentuk naskah yang belum diter bitkan.20 Demikian juga dengan cerita Panji yang di dapat dalam
19 Wagen Voort, “Filologi An Har Methode” (Amsterdam: Serte Ned
erlandse systematisch Ingerichte Encyclopadedie, III, 1947), 41, Seperti yang dikutip oleh Sulastin Sutrisno dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar tetap Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, pada tanggal 19 Maret 1998, 5561.
20 S.O Robson, PrinsipPrinsip Filologi di Indonesia (Jakarta: RuL,
pertunjukan drama tari wayang topèng Malang Lakon Panji Rèni yang masih berupa bentuk mentah dari data lisan. Bentuk atau materi diambil dari pertunjukan drama tari wayang topèng Malang itu ditransliterasi. Translitrasi didefinisikan sebagai pemindahan dari satu tulisan ke tulisan lain.21 Setelah materi mentah yang masih bentuk lisan itu ditransliterasi maka akan didapat bentuk baku yang sudah ditulis dan siap dianalisis. Filologi yang biasanya diterapkan pada sastra tulis perlu pula ditinjau kegunaannya bagi sastra lisan yang mulai berkembang sebagai cabang ilmu sastra sesudah tahun 30 abad ini.22
Setelah naskah lakon pertunjukan drama tari wayang topèng Malang lakon Panji Rèni telah ditranskripsi oleh peneliti ke bentuk tulis, maka dilakukan penerjemahan ke dalam bahasa In donesia, supaya bisa dianalisis. Terjemahan atau translation adalah penggantian materi tekstual dalam bahasa yang satu (ba hasa sumber) dengan materi tekstual yang sama dengan bahasa yang lain (bahasa sasaran).23 Macam terjemahan itu ada tiga, yaitu free translation (terjemahan bebas), literal translation (terjemahan
21 S.O Robson, 1994, 24
22 Amin Sweeney, Profesional Malang StoryTelling, Some Questions of Style and Presentation ( … MBRAS, 11, 1973), 154.
23 Zuchridin Suryawinata, Analisis dan Evaluasi terhadap terjema
han Novel sastra "The Adventures of huckleberng finn" dari bahasa Ing gris ke bahasa Indonesia (Disertasi untuk mendapatkan gelar Doktor dalam Ilmu Sastra, Universitas Negeri Malang), 1982, 23, Seperti yang dikutip oleh Hartono, Belajar Menerjemahkan: Teori dan Praktek,
harfiah), dan word for word translation (terjemahan kata demi kata).24 Setelah naskah lakon Panji Rèni diterjemahkan oleh penulis ke bahasa Indonesia, maka dapat difahami jalan ceritanya, diketahui tokoh, latar, serta alur cerita (struktur dramatik). Naskah lakon Panji Rèni yang sudah berbentuk tulis dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka dilakukan anali sis transformasi yang dikaitkan dengan naskah Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance karya S.O. Robson.
Julia Kristeva mengemukakan bahwa tiap teks itu meru pakan mosaik kutipankutipan dan merupakan penyerapan (transformasi) teksteks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil halhal yang bagus diolah kembali dalam karyanya atau ditulis setelah melihat, meresapi, menyerap hal yang menarik baik secara sadar maupun tidak sadar. Setelah menanggapi teks lain dan menyerap konvensi sastra, konsep estetik, atau pikiranpikirannya kemudian mentransformasikannya ke dalam karya sendiri dengan gagasan dan konsep estetik sehingga terjadi perpaduan baru, kon vensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang menjadi hipogramnya dengan teks baru itu. Teks baru atau teks yang menyerap dan mentransfor
masikan hipogram itu disebut teks transformasi.25 Hubungan an tara filologi lisan dengan filologi tulis dapat berupa teks lisan be rasal dari teks tulis, dan teks tulis berasal dari teks lisan.26 Demikian juga dengan perbandingan teks naskah cerita Panji dalam pertunjukan drama tari wayang topèng Malang mungkin berasal dari naskah Cerita Panji dalam Wangbang Wideya yang telah diubah sedemikian rupa oleh dalang,
Pendekatan selanjutnya dalam penelitian ini adalah pen dekatan dramaturgi. Dramaturgi merupakan ajaran tentang masalah hukum dan konvensi drama.27 Kata Dramaturgi berasal dari istilah Drame. Drama merupakan cerita yang berdialog dari berbagai konflik manusia dengan memakai percakapan dan akting yang dipentaskan kepada penonton.
Drama terdiri dari beberapa unsur yang saling berkaitan dan keberadaan masingmasing unsur tidak dapat ditiadakan dalam pertunjukannya. Unsurunsur tersebut meliputi cerita yang akan dipentaskan (lakon), busana dan aksesoris pendukung, latar baik waktu maupun tempat, musik pengiring, pelaku atau pemain drama, sutradara yang memimpin pertunjukan drama.
25 Rina Ratih, "Pendekatan Intertekstual dalam Sastra" dalam Metodologi Penelitian Sastra, Editor: Jabrohim (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003), 126.
26 Suripan Sadi Hutomo, 1991, 14.
Unsurunsur drama merupakan satu kesatuan yang telah membentuk suatu susunan yang utuh dan berdiri sendiri dalam bentuk pola. Susunan dari unsurunsur drama keberadaannya sangat menunjang dalam keberhasilan pertunjukannya.
Dengan demikian susunan atau struktur drama terbentuk dari unsurunsur yang ada di dalamnya. Hal ini meliputi plot, karakter, konflik, tokoh, penyelesaian, dan lainlain. Unsurunsur tersebut membentuk satu kesatuan yang utuh dan mendukung satu dengan yang lain, serta tidak bisa berdiri sendiri.
Data tulis Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance terlebih dahulu ditranskrip sikan ke bahasa Indonesia supaya bisa difahami isi ceritanya. Transkripsi Wangbang Wideya dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance yang berbentuk bahasa Indonesia lalu dipilahpilah berdasarkan aspek karya sastra meliputi: alur, tokoh, tema, dan latar.
tersebut. Translitrasi lakon Panji Rèni yang berupa bahasa Indone sia dengan mudah akan dikenali aspekaspek dramaturgi seperti uruturutan cerita, tokoh, tema, alur, dan latar.
Sesuai dengan pendekatan yang dipilih, langkah selanjutnya cerita Panji dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Ro mance lalu ditransformasi dengan data tulis lakon Panji Rèni yang berbahasa Indonesia. Pentransformasian tersebut meliputi penam bahan atapun pengurangan cerita, perbedaan atau perbedaan tema, penambahan atau persamaan tokoh, persamaan atau perbe daan latar yang ada dalam teks lakon Panji Rèni dan cerita Panji dalam kidung Wangbang Wideya yang ada dalam buku Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance.
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan metodologi kualitatif se bagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis dan lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati.28
Langkah awal yang dilakukan oleh peneliti dalam pengumpulan data adalah melakukan studi pustaka untuk men dapatkan pemahaman terhadap drama tari wayang topèng Malang
28 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Re
terutama berkaitan dengan aspek sastra dan aspek drama. Hal ini dilakukan karena untuk mendapatkan pemahaman yang men dasar terhadap objek penelitian tersebut. Pertunjukan drama tari wayang topèng Malang yang sudah pernah diteliti oleh peneliti se belumnya bisa dijadikan perbandingan dengan masalah yang akan diteliti. Adapun bukubuku yang berkaitan dengan teoriteori filologi, sastra (intertekstual), dan dramaturgi sangat penting dalam studi pustaka karena pendekatan tersebut digunakan untuk men ganalisis dan menguraikan permasalahan dalam penelitian ini.