• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru (H1N1) - [BUKU]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Influenza A Baru (H1N1) - [BUKU]"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan

Inluenza A Baru (H1N1)

DEPARTEMEN KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA

2009

(2)
(3)

PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN

Kejadian Luar Biasa (KLB) inluenza A Baru (H1N1) di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Meskipun inluenza yang ditimbulkan termasuk ringan, tetapi penyebarannya yang sangat mudah dari manusia ke manusia menyebabkan tingginya tingkat kesakitan karena virus inluenza ini. Selain itu adanya kekhawatiran kemungkinan perubahan atau mutasi genetik dari virus inluenza A Baru (H1N1) yang ada menjadi lebih lebih berat daripada saat ini.

Meskipun saat ini jumlah kasus inluenza yang disebabkan Inluenza A Baru (H1N1) di dunia mulai menurun, tetapi ada kekhawatiran dari para ahli akan adanya kemungkinan terjadinya peningkatan kasus (gelombang kedua) di pergantian musim mendatang.

Untuk itu dalam upaya pelaksanaan penanggulangan Pandemi Inluenza perlu adanya suatu kegiatan yang menyeluruh yang meliputi pencegahan melalui komunikasi, edukasi dan informasi ke seluruh masyarakat dan penatalaksanaan kasus.

Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan inluenza A Baru (H1N1) ini disusun oleh para Tim Pakar untuk menjadi acuan pegangan yang dapat digunakan oleh para petugas dalam pelaksanaan penanggulangan pandemi inluenza.

Pedoman ini dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan perkembangan situasi dan akan direvisi sesuai dengan situasi dan informasi terbaru.

Jakarta, 30 September 2009 Dirjen PP&PL

(4)

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Inluenza A Baru (H1N1).-- Jakarta: Departemen Kesehatan, 2009.

(5)

Hal Kata Pengantar Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan i

Daftar isi iii

I Pendahuluan 1

II Epidemiologi dan Surveilans 2

III Diagnosis pada Dewasa dan Anak 4

IV Tatalaksana pada Dewasa dan Anak 6

V Tatalaksana ICU pada Dewasa 11

VI Tatalaksana ICU pada Anak 16

VII Laboratorium 18

VIII Imunisasi Inluenza A Baru (H1N1) 19

IX Rekomendasi Penelitian 20

X Penutup 21

Daftar Rujukan 22

(6)
(7)

PEDOMAN DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

INFLUENZA A BARU (H1N1)

PENDAHULUAN I.

Pedoman ini membahas Diagnosis dan Penatalaksanaan Inluenza A Baru (H1N1) yang merupakan rangkuman rekomendasi dari berbagai keilmuan epidemiologi, mikrobiologi, farmakologi, klinik yang meliputi berbagai cabang spesialisasi (pulmonologi, penyakit dalam, pediatri, intensivist anak dan dewasa, kebidanan) dan TAG imunisasi yang dibantu penuh oleh jajaran Depkes yaitu Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan dan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Dasar.

Penyusunan pedoman didasarkan pada berbagai data epidemiologi terkini, data klinik serta dari berbagai Badan yang berwenang dalam bidang virologi khususnya inluenza, Jurnal Kedokteran dan Biomedis terkemuka.

Beberapa hal yang perlu dipahami adalah sebagai berikut:

Situasi inluenza A baru (H1N1) baik di tingkat global •

maupun regional serta di Indonesia sendiri terus mengalami perkembangan

Hingga sekarang karakteristik virus H1N1 masih tetap sama •

dengan karakteristik virus yang pertama terjadi di Meksiko Sebagian besar penderita Inluenza A Baru (H1N1) dengan •

gejala ringan sembuh dengan sendirinya maupun dengan terapi antivírus dan sebagian kecil memerlukan perawatan rumah sakit Dan perawatan ICU

Telah terjadi kematian akibat virus Inluenza A Baru (H1N1) •

Data klinik baik yang dipublikasikan maupun data klinik di •

(8)

Walaupun risiko kematian relatif kecil namun kejadian kematian •

dapat terjadi sangat cepat pada inluenza A baru (H1N1) untuk itu pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan lebih memfokuskan pada kasus kasus berat, khususnya kasus yang mengancam jiwa atau yang memerlukan penanganan di ICU agar dapat mencegah kematian dan menekan angka kematian seminimal mungkin.

EPIDEMIOLOGI DAN SURVEILANS II.

Persiapan Menghadapi Gelombang Kedua a.

WHO memberitahukan kepada negara-negara belahan utara •

untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan terjadinya gelombang kedua pandemi. Negara dengan iklim tropis, sebaiknya juga bersiap untuk bertambahnya jumlah kasus. Pandemi biasanya dating dalam bentuk gelombang (ada •

peningkatan kasus sampai puncak kemudian menurun) yang umumnya berlangsung antara 6-8 minggu. Yang dimaksud pandemi gelombang kedua adalah peningkatan kembali jumlah kasus setelah penurunan kasus pada gelombang pertama (WHO).

Untuk negara belahan selatan sebaiknya tetap waspada •

karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, titik utama (hot spot) lokal dapat meningkatkan transmisi dan berpotensi menjadi pandemi

Virus H1N1 saat ini merupakan strain virus yang dominan. •

Surveilans Epidemiologi Inluenza A baru (H1N1)

b.

(9)

kasus-kasus dari 25 provinsi ini menunjukkan bahwa penularan virus ini sudah terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pada kondisi seperti ini, maka yang bias dilakukan dari sisi epidemiologi adalah :

Sistem deteksi dini Inluenza A baru (H1N1), pelacakan •

kontak dan lokalisasi/containment area kejadian dalam

rangka penghentian penularan, sudah tidak cocok lagi dilaksanakan.

Sistem surveilans lebih ditujukan untuk mengetahui luas •

dan cepatnya penyebaran, kecenderungan epidemiologi, tingkat keganasan penyakit, perubahan virus dan pola penyakit. Sehingga pengamatan di tempat unit pelayanan kesehatan di kab/kota perlu dilakukan untuk kasus ILI baik klinis maupun berbasis laboratorium, kasus-kasus ILI yang memerlukan rawat inap.

Penyelidikan epidemiologi tetap dilakukan untuk kejadian-•

kejadian potensi wabah, penyebaran yang sangat cepat dan kasus berat serta kematian.

Khusus untuk kasus meninggal perlu dilengkapi data •

medis yang lebih lengkap, dengan tujuan mendalami lebih lanjut karakteristik kasus yang meninggal baik dari aspek klinis, epidemiologi, maupun virologi termasuk penatalaksanaannya.

Pemasangan

thermal scanner, di pintu-pintu masuk negara RI dengan tujuan untuk mendeteksi kemungkinan kasus H1N1 yang berasal dari luar negeri.

Penghitungan tambahan kasus positif masih diperlukan •

(10)

Pada saat ini Inluenza A H5N1 masih menjadi masalah •

di Indonesia, oleh karena itu surveilans Inluenza A H1N1 sebaiknya dipadukan dengan surveilans Inluenza A H5N1 dalam satu sistem.

Surveilans Virologi c.

Surveilans virology masih terus aktif dilakukan terutama •

dalam kerangka pengamatan secara intensif terhadap kemungkinan mutasi virus H1N1 ataupun reassortment

dengan virus Inluenza A lainnya (surveilans virologi di laboratorium dan kasus klaster). Hal ini dimaksudkan untuk memonitor kemungkinan peningkatan virulensi virus tersebut atau perubahan karakteristik virus.

DIAGNOSIS PADA DEWASA DAN ANAK III.

Diagnosis inluenza A baru (H1N1)

• ditegakkan berdasarkan

kriteria klinis sebagai berikut: gejala Inluenza Like Ilness (ILI) yaitu demam dengan suhu > 380C, batuk, pilek, nyeri otot dan

nyeri tenggorok. Gejala lain yang mungkin menyertai adalah sakit kepala, sesak napas, nyeri sendi, mual, muntah dan diare. Pada anak gejala klinis fatique dapat terjadi.

Diagnosis inluenza A baru (H1N1) dengan RT-PCR dilakukan •

hanya untuk pasien yang dirawat, kluster dan kasus-kasus inluenza yang tidak lazim (unusual).

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien yang •

dirawat (kriteria sedang dan berat) adalah:

Laboratorium: darah perifer lengkap, tes fungsi hati, tes o

fungsi ginjal, gula darah sewaktu. Radiologi: foto toraks

o

(11)

Pada pemeriksaan darah perifer lengkap bila ditemukan •

leukopenia dan trombositopenia dapat memperkuat diagnosis namun bila tidak ditemukan leukopenia dan trombositopenia tidak menyingkirkan diagnosis

Diagnosis inluenza A baru (H1N1) secara klinis

• dibagi atas

kriteria ringan, sedang dan berat. Kriteria ringan

o yaitu gejala ILI, tanpa sesak napas, tidak disertai pneumonia dan tidak ada faktor risiko.

Kriteria sedang

o gejala ILI dengan salah satu dari kriteria: faktor risiko, pneumonia ringan (bila terdapat fasilitas foto rontgen toraks) atau disertai keluhan gastrointestinal yang mengganggu seperti mual, muntah, diare atau berdasarkan penilaian klinis dokter yang merawat.

Kriteria berat

o bila dijumpai kriteria yaitu pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran menurun, sindrom sesak napas akut (ARDS) atau gagal multi organ.

Kelompok

risiko tinggi pada dewasa adalah kelompok yang memiliki faktor yang dapat memperberat keadaan yaitu penyakit paru kronik (asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)), kehamilan, obesitas, penyakit kronik lainnya (penyakit jantung, diabetes mellitus, gangguan metabolik, penyakit ginjal, hemoglobinopati, penyakit immunosupresi, gangguan neurologi), malnutrisi dan usia > 65 tahun.

Kelompok

risiko tinggi pada anak adalah: Anak berusia kurang dari 5 tahun

o .

Anak atau remaja (usia 6 bulan – 18 tahun) yang mendapat o

terapi aspirin jangka panjang dan berisiko mengalami sindrom Reye setelah mendapat infeksi virus inluenza. Anak dengan penyakit paru kronik (asma, bronkiektasis, o

(12)

Anak dalam keadaan imunokompromais (keganasan, o

anemia aplastik,dalam terapi imunosupresi atau HIV), diabetes mellitus, hipertensi, obesitasdan tinggal di rumah perawatan dan fasilitas perawatan kesehatan lainnya. Kriteria pneumonia berat

pada dewasa yaitu bila dijumpai salah satu atau lebih kriteria minor atau mayor.

Kriteria minor yaitu Frekuensi napas ≥ 30 x/menit, rasio o

PaO2/FiO2 ≤ 250, iniltrat multilobus, kebingungan atau disorientasi, uremia (blood urea nitrogen ≥ 20 mg/dl), leukopenia (leukosit < 4000 sel/mm3), trombositopenia

trombosit < 100.000 sel/mm3), hipotermia (suhu < 36˚ C) dan

hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan agresif. Kriteria mayor yaitu Memerlukan ventilasi mekanis invasif o

dan syok sepsis yang memerlukan vasopresor

Pasien yang memerlukan perawatan di ruang rawat intensif (ICU) •

adalah pasien yang mempunyai sekurang-kurangnya 1 dari 2 gejala mayor atau minimal 3 dari kriteria minor.

Kriteria pneumonia pada anak

• yaitu gejala ILI dan frekuensi

napas yang cepat (frekuensi napas sesuai usia) dan/atau terdapat kesukaran bernapas yang ditandai dengan retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal, retraksi subkostal (chest indrawing) atau napas cuping hidung

TATALAKSANA PADA DEWASA DAN ANAK IV.

Kasus ringan. a.

(13)

boleh diberikan pada anak di bawah 18 tahun karena dapat menyebabkan Reye Syndrome.

Kasus sedang. b.

Perawatan dilakukan di ruang isolasi dan diberikan antivirus. Pemeriksaan RT-PCR hanya dilakukan satu kali pada awal perawatan. Jika keadaan umum dan klinis baik dapat dipulangkan dengan KIE. Jika terjadi perburukan, dilakukan perawatan di ICU

dengan penatalaksanaan sesuai kasus berat (pengawasan ketat tanda kegawatdaruratan misal pemeriksaan laktat dehidrogenase > 4, analisis gas darah menunjukkan PaCO2 <30 mmHg,

C-reactive protein atau procalcitonin).

Kasus berat. c.

Dilakukan perawatan di ruang isolasi ICU/PICU/NICU dan diberikan antivirus serta diperiksa RT-PCR satu kali pada awal. Pada inluenza A baru (H1N1) yang berat dengan pneumonia ditemukan gambaran yang sama dengan pneumonia pada lu burung .

Kasus berat pada anak

d.

Apabila terdapat pneumonia dan/atau ditemukan gejala berbahaya/berat seperti: pasien tidak bisa minum, muntah terus menerus, kebiruan di sekeliling bibir, kejang, tidak sadar , anak dibawah 2 tahun dengan demam atau hipotermia, pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran menurun, ARDS (sindroma sesak nafas akut), gagal multi organ, pasien dirawat di PICU/NICU.

Kriteria rawat ICU

e.

(14)

tekanan darah diastolic < 80 mmHg, pada anak takikardia, kadar laktat darah > 4 mmol/L)

Antiviral

Direkomendasikan pemberian Oseltamivir atau Zanamivir. •

Zanamivir diberikan pada kasus yang diduga resisten Oseltamivir atau tidak dapat menggunakan Oseltamivir.

Pemberian antiviral tersebut diutamakan untuk pasien rawat inap •

dan kelompok risiko tinggi komplikasi.

Pengobatan dengan Zanamivir atau Oseltamivir harus dimulai •

sesegera mungkin dalam waktu 48 jam setelah awitan penyakit. Dosis Oseltamivir untuk dewasa adalah 2 x 75 mg selama 5 (lima) •

hari, dapat diperpanjang sampai 10 hari tergantung respons klinis.

Dosis Zanamivir untuk usia ≥ 7 tahun dan dewasa adalah 2 x 10 •

mg inhalasi.

Dosis Oseltamivir pada anak, 2 mg/kg BB dibagi dalam 2 (dua) •

dosis atau berdasarkan kisaran berat badan.

Berat Badan Dosis Oseltamivir < 15 Kg 30 mg (2x/hari) 15-23 Kg 45 mg (2x/hari) 24-40 Kg 60 mg (2x/hari) >40 Kg 75 mg (2x/hari)

Rekomendasi dosis oseltamivir untuk anak < 1 tahun. •

Usia Dosis Oseltamivir < 3 bulan 12 mg (2x/hari)

(15)

Perempuan hamil direkomendasikan untuk diberi Oseltamivir •

atau Zanamivir.

Antiviral tidak direkomendasikan untuk proilaksis pada inluenza •

A baru (H1N1).

Antibiotik

Bila terjadi pneumonia maka antibiotik direkomendasikan untuk •

diberikan berdasarkan evidence based dan pedoman pneumonia komunitas. Antibiotik diberikan sesuai pedoman lokal.

Tidak direkomendasikan pemberian antibiotik proilaksis. •

Rekomendasi antibiotik pneumonia komunitas (CAP/Community Acquired Pneumonia - sesuai IDSA/ATS 2007)

Antibiotik untuk pasien dewasa rawat inap non ICU

• yang dianjurkan

adalah luorokuinolon respirasi (moksiloksasin, levoloksasin) atau ß-laktam (cefotaksim, ceftriakson atau ampicilln-sulbactam atau amoksisilin - asam klavulanat) + makrolid baru (azitromisin, klaritromisin)

Antibiotik untuk pasien dengan perawatan ruang rawat intensif •

Bila dicurigai infeksi non pseudomonas diberikan ß-laktam

+ makrolid baru atau luorokuinolon respirasi. Untuk pasien alergi penisilin, dapat diberikan luorokuinolon respirasi atau aztreonam.

Bila dicurigai infeksi pseudomonas dapat diberikan

(16)

Bila dicurigai infeksi CA-MRSA dapat ditambahkan

vankomisin atau linezolid

Pengobatan antibiotik secara empirik pada pasien dengan •

hospital acquired pneumonia (HAP) atau Ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada pasein tanpa faktor risiko patogen MDR,

awitan dini (pneumonia yang terjadi kurang dari 4 hari setelah perawatan atau pemasangan alat bantu napas) dan semua derajat penyakit (ATS/IDSA 2005):

Patogen yang potensial yaitu

Streptococcus pneumonia, Haemophylus inluenza, Metilsilin-sensitif Staphylococcus aureus, Antibiotik sensitif basil Gram negatif enterik (E.Coli, Klebsiela penumoniae, Enterobacter spp, Proteus

spp, Serratia marcescens) diberikan ß-laktam + anti ß-laktamase (amoksisilin klavulanat) atau Sefalosporin generasi 3 nonpseudomonal (ceftriakson, cefotaksim) atau luorokuinolon respirasi (levoloksasin, moksiloksasin) Pengobatan antibiotik secara empirik pada pasien dengan •

hospital acquired pneumonia (HAP) atau Ventilator Associated Pneumonia (VAP) untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan awitan lanjut ( pneumonia yang terjadi lebih dari 4 hari setelah perawatan atau pemasangan alat bantu napas) atau terdapat faktor risiko pathogen MDR:

Patogen MDR tanpa atau dengan patogen diatas (pseudomonas •

aeruginosa, klebsiela pneumonia (ESBL) Acinobacter sp), Methylcillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Legionella pneumophilia diberikan Sefalosporin anti pseudomonas (sefepim, seftazidim, sefpirom) atau Karbapenem antipseudomonas (Meropenem, imipenem) atau ß-laktam/anti- ß-laktam (piperasilin-tazobaktam) + Fluorokuinolon antipseudomonal (Siproloksasin atau levoloksasin) atau aminoglikosida (Amikasin, gentamisin atau tobramisin + Linezolid atau vankomisin atau teikoplanin Pada anak dengan pneumonia ringan dapat diberikan Ampicillin •

(17)

dapat dikombinasikan dengan golongan Aminoglikosida yaitu Gentamisin (7.5mg/kgBB/hr) atau Amikasin (15-25 mg/kgBB/ hr).

Kortikosteroid

Penggunaaan kortikosteroid secara rutin harus dihindarkan pada •

pasien inluenza A baru (H1N1).

Kortikosteroid dapat diberikan pada syok septik yang memerlukan •

vasopresor dan diduga mengalami insuisiensi adrenal, dengan hidrokortison dosis rendah 300 mg /hari dosis terbagi.

V. TATALAKSANA ICU PADA DEWASA

Kriteria perawatan di ruang rawat intensif: semua pasien yang •

memenuhi kriteria sepsis berat, syok septic, acute lung injury

(ALI) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) harus dirawat di ICU.

Bila terjadi gangguan fungsi napas yang memerlukan perawatan •

intensif atau kriteria intubasi dan penggunaan ventilator sesuai dengan kriteria Pontoppidan yang dimodiikasi.

Bila memerlukan tindakan observasi ketat, isioterapi dada dan •

terapi oksigen sebaiknya pasien dirujuk ke ICU atau paling tidak di high care unit.

Bila terjadi kecenderungan perburukan dalam waktu kurang dari •

(18)

Pengelolaan umum di ICU

Pada umumnya penderita H1N1 yang berat mengalami ARDS, •

sedangkan ARDS sering menyebabkan komplikasi pneumonia dan sepsis. Oleh sebab itu tata kelola sepsis harus menjadi perhatian. Tata kelola yang ada adalah sesuai Surviving Sepsis Campaign 2008. Rekomendasinya adalah:

Resusitasi awal (dalam 6 jam pertama) pada pasien hipotensi o

atau yang mengalami peningkatan serum laktat > 4 mmol/L dengan target atau tujuan resusitasi yang telah ditentukan. Membuat diagnosis dengan melakukan pemeriksaan kultur o

sebelum memulai pemberian antibiotika (tidak menunda pemberian antibiotika secara bermakna). Melakukan pemeriksaan pencitraan segera untuk memastikan dan mencari sumber infeksi.

Antibiotik diberikan sesegera mungkin dan diberikan dalam o

jam pertama setelah diagnosis sepsis berat atau syok sepsis ditegakkan. Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik spektrum luas. Harus dilakukan evaluasi ulang antibiotik setiap hari untuk menilai eikasi, mencegah resistensi dan lainnya.

Identiikasi sumber infeksi dilakukan sesegera mungkin dalam o

6 jam pertama dan dilakukan tindakan untuk mengatasinya. tindakan source control yang menghasilkan eikasi maksimal dan gangguan isiologi minimal.

Terapi cairan. Resusitasi cairan dengan menggunakan o

kristaloid atau koloid. Targer CVP ≥ 8 mmHg (dengan ventilasi mekanik ≥ 12 mmHg). Menggunakan luid challenge tehnique

(19)

Pemberian vasopresor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 o

mmHg. Pilihan pemberian awal norepineprin dan dopamin adalah melalui vena sentral. Tidak menggunakan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal. Menggunakan kateter arterial pada pasien yang menggunakan vasopresor.

Terapi inotropik. Menggunakan dobutamin pada pasien o

dengan gangguan miokard yang ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah. Jangan meningkatakan cardiac index untuk mendapatkan level supranormal.

Penggunaan steroid tidak direkomendasikan pada infeksi o

H1N1 tapi dosis rendah kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada syok septik yang memerlukan vasopresor dan diduga mengalami insuisiensi adrenal. Hidrokortison lebih dipilih daripada deksametason. Dosis hidrokortiosn sebaiknya < 300 mg/hari. Jangan menggunakan kortikosteroid untuk menangani sepsis apabila tidak ada syok.

Penggunaan rhAPC (Recombinant Human Activated Protein o

C). Saat ini obat tersebut belum tersedia di Indonesia. Pertimbangkan rhAPC pada pasien dengan gangguan fungsi organ yang diinduksi oleh sepsis dengan penilaian klinis mempunyai risiko kematian tinggi (APACHE II ≥ 25 atau kegagalan organ multiple) jika tidak terdapat kontraindikasi. Pasien dewasa dengan sepsis berat dan risiko kematian yang rendah (APACHE II < 20 atau kegagalan organ tunggal) sebaiknya jangan diberikan rhAPC.

Pemberian komponen darah

o diberikan apabila penurunan

(20)

Ventilasi mekanik pada sepsis yang dipicu ALI/ARDS. o

Ventilasi mekanik dapat menggunakan mode ventilator apa saja. Set ventilator setting untuk mencapai inisial Vt = 8 ml/ kg prediksi BB. Set inisial laju napas mendekati volume baseline (tidak lebih dari 35x/menit). Target volume tidal 6 ml/kg prediksi berat badan pasien dengan ALI/ARDS. Target pH 7.30 – 7.45. Manajemen asidosis (pH < 7.30). PaCO2 dapat ditingkatkan diatas normal. Jika dibutuhkan untuk meminimalisir tekanan plateau dan volume tidal.Target oksigenisasi PaO2 55-80 atau SpO2 88-95%. Pengaturan PEEP untuk mencegah kolpas paru ekstensif pada ekspirasi akhir. Pasien dengan ventilasi mekanik pertahankan posisi semirecumbent (bagian atas tempat tidur dinaikkna sampai 45˚). Menggunakan protokol weaning dan SBT secara teratur

untuk mengevaluasi potensi penghentian ventilasi mekanik. Jangan menggunakan kateter arteri plmonalis untuk monitor rutin pasien ALI/ARDS. Mengunakan strategi cairan konservatif pada pasien ALI yang tidak terbukti mengalami hipoperfusi jaringan.

Sedasi, analgesia dan blok neuromuskular pada sepsis. o

Dapat menggunakan protokol sedasi dengan target sedasi untuk pasien ventilasi mekanik dalam keadaan kritis. Dapat menggunakan sedasi bolus intermitten atau sedasi infuse kontinu untuk mencapai titik akhir (skala sedasi) dengan

lightening/interupsi harian untuk mengembalikan kesadaran.

Titrasi jika dibutuhkan. Mencegah blok neuromuskuler jika memungkinkan. Monitor kedalaman blok dengan train of four ketika menggunakan infus kontinu.

Mengontrol kadar glukosa darah menggunakan insulin IV o

(21)

1-2 jam (setiap 4 jam saat stabil). Pada pasien yang mendapatkan insulin IV. Intrepretasi glukosa darah yang rendah secara hati-hati pada hasil pemeriksaan point of care

testing, karena teknik ini mungkin memberikan nilai yang

lebih tinggi (overestimate) dari nilai glukosa pada darah arteri atau plasma.

Penggantian fungsi ginjal. Hemodialisis intermiten dan o

CVVH (Continous Veno-Venous Haemoiltration) dianggap sama nilainya dalam menggantikan fungsi ginjal. CVVH menawarkan manajemen yang lebih mudah pada pasien dengan status hemodinamik tidak stabil.

Terapi bikarbonat. Jangan menggunakan terapi bikarbonat o

untuk tujuan memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor sewaktu menangani asidosis laktat yang dipicu oleh hipoperfusi dengan pH ≥ 7.15.

Proilaksis

o Deep Vein Thrombosis (DVT). Gunakan

unfractionated heparin (UFH) dosis rendah atau low

molecular weight heparin (LMWH), kecuali ada kontraindikasi. Gunakan peralatan proilaksis mekanik, seperti compression

stockings atau intermittentcompression device, bila heparin

merupakan kontraindikasi. Proilaksis

o Stress Ulcer. Lakukan pencegahan stress ulcer dengan menggunakan H2blocker atau Proton pump inhibitor. Keuntungan pencegahan perdarahan saluran cerna atas harus mempertimbangkan potensi munculnya ventilator acquiredpneumonia.

Mempertimbangkan keterbatasan dukungan. Diskusikan o

(22)

Kriteria keluar ICU

Setiap pasien yang dirawat di ICU dapat dikeluarkan setelah memenuhi kriteria yaitu penyakit atau keadaan pasien dan cukup stabil sehingga tidak memerlukan terapi atau pemantauan intensif lebih lanjut, terapi atau pemantauan intensif tidak diharapkan bermanfaat atau tidak memberikan hasil (pasien dengan mati batang otak, penyakit dengan stadium akhir). Dalam hal tersebut pengeluaran pasien dari ICU dilakukan setelah memberitahu dan disetujui oleh keluarga terdekat pasien, pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut di ICU (keluar paksa). Dalam hal keluar paksa harus diperkuat dengan penandatanganan surat penolakan perawatan di ICU.

TATALAKSANA ICU PADA ANAK

VI.

Indikasi untuk masuk ICU anak

• yaitu jika ditemukan

peningkatan Work of Breathing (WOB), kebutuhan terapi oksigen dengan FiO2 > 0.5, PaO2 menurun, PCO2 meningkat, PaO2/FiO2 < 300, gangguan sirkulasi yang mengancam nyawa, kesadaran menurun atau kelainan neurologik lain, gangguan metabolik berat dan gagal multi organ

Perawatan Jalan Nafas dan Respirasi

Terapi oksigen dengan dengan alat non invasif seperti nasal •

kanul, masker atau nasal CPAP, pertahankan saturasi ≥ 90%. Jika memakai ventilasi mekanik, dianjurkan dengan pengaturan •

awal sebagai berikut: Mode :

o Pressure Control Ventilation (PCV) Volume tidal : 6-8 ml/kgBB

o

Tekanan Inspirasi : mulai dari 10 cm H o

2O

FiO o

(23)

Lakukan pemeriksaan analisis gas darah 30 menit setelah •

pengaturan awal.

Pertahankan saturasi 88-95%. •

Mempertahankan Sirkulasi yang Adekuat

Pemberian cairan resusitasi berupa kristaloid atau koloid 20 ml/ •

kgBB dalam 5-10 menit dengan pemantauan tingkat kesadaran, frekuensi denyut jantung, kualitas nadi, waktu pengisian kapiler < 3 detik, produksi urin > 1 ml/kgBB/jam, saturasi vena sentral > 70% dan kadar laktat < 2 mmol/L.

Vasopresor dan inotropik hanya digunakan setelah resusitasi •

cairan yang adekuat.

Dopamin adalah pilihan pertama pada hipotensi yang refrakter •

terhadap cairan.

Pertahankan volume cairan tubuh normal

• dan pemantauan

dengan CVP.

Pemberian kortikosteroid seperti hidrokortison atau •

metilprednisolon 1-2 mg/kgBB hanya diberikan bila terindikasi adanya insuisiensi adrenal relatif.

Antibiotik

Antibiotik empirik diberikan sesuai pedoman pengobatan di •

masyarakat dan pedoman lokal, misalnya:

Sefalosporin generasi III: sefotaksim, seftazidim (25-50 mg/kgBB/ •

hr dibagi 3) dosis pemberian secara intravena

Aminoglikosida: gentamisin (7,5mg/kgBB/hr), amikasin (15-25 •

(24)

Pemberian Nutrisi

Kebutuhan energi sesuai berat badan • Kontrol glukosa : 4-6 mg/kgBB/menit •

Indikasi keluar ICU Anak

Bila pasien tidak membutuhkan

• tunjangan dan pemantauan ketat

pernafasan dan hemodinamik. Kondisi pasien stabil minimal 24 jam. •

LABORATORIUM VII.

Uji diagnostik laboratorium yang direkomendasi untuk uji

konirmasi kasus inluenza A (H1N1) adalah real time

(25)

Uji Rapid Test untuk inluenza A

• tidak direkomendasikan untuk

uji konirmasi kasus inluenza A baru (H1N1).

Lembaga khusus

• untuk melakukan pemantauan karakter dan perubahan virus secara terus menerus perlu ditetapkan

dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi serta pengembangan vaksin inluenza.

IMUNISASI INFLUENZA A BARU (H1N1) VIII.

Vaksinasi inluenza musiman A dan B (

seasonal inluenza

vaccine), yang tersedia tidak bermanfaat untuk mencegah virus Inluenza A baru (H1N1).

Untuk mencegah penyebaran virus Inluenza A baru (H1N1) di •

masyarakat, maka perlu diupayakan vaksin Inluenza A baru (H1N1).

Prioritas sasaran imunisasi inluenza A baru (H1N1) mengacu •

kepada rekomendasi SAGE, ACIP dan CDC adalah petugas

kesehatan dan personal pelayanan gawat darurat, anak sampai dewasa dengan faktor risiko tinggi (menderita penyakit kronis dan deisiensi sistem kekebalan/immuno compromized). Apabila vaksin inluenza A baru (H1N1) mencukupi akan disusun skala prioritas selanjutnya.

Dosis dan Cara pemberian: •

Dosis vaksin Inluenza A Baru H1N1 (konten 3.75 μg): o

usia 6 bulan sampai kurang dari 3 tahun: 0,25 ml -

usia diatas 3 tahun sampai dewasa : 0,5 ml. -

Dengan satu kali pemberian terbukti memperlihatkan daya proteksi yang baik.

Vaksin diberikan secara intramuskular di daerah otot deltoid o

pada orang dewasa dan pada anak yang lebih besar sedangkan untuk bayi diberikan di paha anterolateral. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) vaksin Inluenza A Baru •

(26)

Reaksi lokal dan ringan: nyeri lokal bekas suntikan, o

kemerahan dan indurasi

Reaksi sistemik berupa: demam ringan, nyeri kepala, o

menggigil, lemas dan mialgia (lu-like symptoms) jarang terjadi. Reaksi sistemik yang segera terjadi (sistemik anailaktik) jarang ditemukan dan belum dilaporkan. Reaksi sistemik lain yang perlu diantisipasi dan dilaporkan pada orang dewasa adalah Sindrom Guillane Barre

Pada pasien dengan riwayat anailaksis setelah makan telur o

atau adanya respons alergi terhadap protein telur, vaksinasi inluenza A baru (H1N1) jangan diberikan.

Kontra indikasi vaksinasi Inluenza A baru (H1N1) apabila terdapat •

riwayat anailaksis pada imunisasi terdahulu, sedang menderita penyakit demam akut yang berat dan individu dengan deisiensi imun.

REKOMENDASI PENELITIAN IX.

Memantau proporsi H1N1/H5N1 terhadap lu musiman secara •

Mengevaluasi efektivitas obat antivirus baik monoterapi maupun •

kombinasi pada kasus berat.

Meneliti kasus berat dan meninggal, faktor-faktor yang •

berpengaruh, diagnostik virologik, karakteristik klinik, parameter yang digunakan untuk menilai prognosis, evaluasi terapi farmakologik dan non farmakologik.

Mengevaluasi manfaat vaksin lu musiman terhadap H1N1, •

khususnya dalam mencegah atau menekan tingkat keparahan penyakit dan kematian.

(27)

PENUTUP X.

(28)

DAFTAR RUJUKAN

1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Swine Inluenza A (H1N1) Virus Biosafety Guidelines for Laboratory Workers. p.1-2. http:// www/cdc.gov/swinelu/guidelines_labworkers.htm. p.1-2. 2009

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Interim Guidance for 2.

Infection Control for Care of Patients with Conirmed or Suspected Swine Inluenza A (H1N1) Virus Infection in a Healthcare Setting. http://www/cdc. gov/swinelu/guidelines_labworkers.htm. p.1-2. 2009

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Interim CDC Guidance 3.

for Nonpharmaceutical Community Mitigation in Response to Human Infections with Swine Inluenza (H1N1) Virus. http://www/cdc.gov/swinelu/ guidelines_labworkers.htm. p.1-3. 2009

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Interim Guidance for 4.

Follow-up of Contacts of Persons with Suspected Infection with Highly Pathogenic Avian Inluenza A (H5N1) Virus in the United States. http://www. cdc.gov/lu/avian/professional/guidance-followup.htm. p.1-3. 2009

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Interim Recommendations 5.

for Facemask and Respirator Use in Certain Community Setting Where Swine Inluenza A (H1N1) Virus Transmission Has Been Detected. http:/ www.cdc.gov/swinelu/mask.htm.p.1-2. 2009

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Interim Guidance on 6.

Antiviral Recommendations for Patients with Conirmed or Suspected Swine Inluenza A (H1N1) Virus Infection and Close Contacts. http://www.cdc.gov/ swinelu/ recommendations.htm. p.1-15. 2009

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Interim Guidance for 7.

Swine inluenza A (H1N1) : Taking Care of a Sick Person in Your Home. http://www.cdc.gov/swinelu/guidance_homecare.htm.p.1-4. 2009

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Interim guidance for 8.

Clinicians on Identifying and Caring for Patients with Swine-origin Inluenza A (H1N1) Virus Infection. http://www.cdc.gov/h1n1lu/identifyingpatients. htm.p.1-4.2009

CDC. Evaluation of Rapid Inluenza Diagnostic Tests for Detection of Novel 9.

(29)

CDC. Interim Guidance on Specimen Collection, Processing, and Testing for 10.

Patients with Suspected Novel Inluenza A (H1N1) Virus Infection, May 13, 2009, 12:45 AM ET

CDC. Interim Guidance for Clinicians to Identify and Caring for Patient with 11.

Swine-origin Inluenza A Virus Infection, 2009.

CDC. Interim Guidance on Antiviral Recommendation for Patient with 12.

Conirmed or Suspected Swine Inluenza A (H1N1) Virus Infection & Close Contact, 2009.

CDC. Interim Guidance on Case Deinitions to be used for Investigations of 13.

Swine Origin Inluenza A (H1N1) Cases, 2009.

CDC. Interim Guidance for Clinicians on the Prevention & Treatment of 14.

Swine Origin Inluenza Virus Infection in Young Children, 2009.

CDC. Interim Guidance for Clinicians on the Prevention and Treatment of 15.

Novel Inluenza A (H1N1) Inluenza Virus Infection in Infants and Children, 2009.

CDC. Interim Guidance for Clinicians on Identifying and Caring for Patients 16.

with Swine-origin Inluenza A (H1N1) Virus Infection, May 4, 2009 4:45 PM ET

CDC’s - ACIP

17. (Advisory Committee on Immunizaton Practices), 29 July 2009

Chan KH et al. Analytical sensitivity of rapid inluenza antigen detection tests 18.

for swine-origin inluenza virus (H1N1). J Clin Virol. 2009 Jul;45(3):205-7; Clinical Management of Human Infection with New Inluenza A (H1N1) Virus: 19.

Initial Guideline, WHO May 21st,2009.

Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving Sepsis

20. Campaign:

International guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2008. Crit Care Med. 2008; 36(1):296-327

Department of Health and Human Services Centers for Disease Control and 21.

Prevention. Update : Novel Inluenza A (H1N1) virus infections-Worlwide. Morbidity and Mortality Weekly Report. www.cdc.gov/mmwr. p.453-88. 2009

Departemen Kesehatan,Ditjen PP & PL. Surveilans Inluenza Pandemi, 22.

2008

EMEA. CHMP recommendation for the pharmacovigilance plan as part of 23.

(30)

EMEA. Press release meeting highlights from the committee for medical 24.

products from human use, 19-22 October 2009. 23 October 2009 Faix DJ, Sherman SS, Waterman SH.

25. Rapid-Test Sensitivity for Novel Swine-Origin Inluenza A (H1N1) Virus in Humans. N Engl J Med. 2009 Jun 29 [Epub ahead of print];

FDA center for Biologics Evaluation and Research Ofice of Vaccines 26.

Research and Review. Regulatory considerations regarding the use of novel inluenza A (H1N1) virus vaccines. Vaccines and related biological products advisory committee, July 23rd 2009

Ginocchio CC et al.

27. Evaluation of multiple test methods for the detection of the novel 2009 inluenza A (H1N1) during the New York City outbreak. J Clin Virol. 2009 Jul;45(3):191-5.

Guidelines for the deployment of a pandemic inluenza vaccines. Department 28.

of immunization, vaccines and biological and Department of epidemic, alert and response, WHO, Geneve, Switzerland. May 2008

Guideline for the management of adult with Hospital associated, ventilator 29.

associated and Health care associated pneumonia. Am J Respir Crit Care 2005; 171:388-416.

IDSA/ATS guideline for CAP in adults.clinical infectious disease 30.

2007;44:S27-2.

Informal meeting on regional production of Pandemic Inluenza Vaccine, 31.

WHO-SEARO 29-30 October 2009. Overview of global and regional situation 2009

Kajian Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional. Imunisasi Inluenza 32.

musiman dan vaksin Inluenza A Baru (H1N1). 27 Agustus 2009

Pandemic inluenza A (h1N1) vaccine authorized via the core dossier 33.

procedure. Explanatory note on scientiic considerations regarding the licensing of pandemic A (H1N1) vaccines.

Rebecca J. Garten,

34. et al.Antigenic and genetic characteristics of

Swine-Origin 2009 A(H1N1) Inluenza Viruses Circulating in Humans. Science 325,

197-201 (2009);

Product information as approved by the CHMP on 22 October 2009, pending 35.

endorsement by the European Commission

Richard Robinson. Reye’s syndrome: Deinition from Answer.com.

36. http://

www.answers.com/topic/reye-s-syndrome.p.p1-7. 2009 SAGE-WHO

(31)

World Health Organization (WHO). Interim WHO guidance for the surveilllance 38.

of human infection with swine inluenza A (H1N1) virus. 2009

World Health Organization (WHO), Organisation Mondiale De La Sante. 39.

Weekly epidemiological record Releve epiemiologique hebdomadaire. http:// www.who.int/wer. 2009

World Health Organization (WHO). Infection prevention and control in 40.

health care in providing care for conirmed or suspected A (H1N1) swine inluenza patients. http://www.who.int/csr/resource/publications/WHO_CD_ EPR_2007_6/en/index.html. .p.1-3. 2009

World Health Organization (WHO). Guidance to Inluenza Laboratories. 41.

Diagnosis Swine Inluenza A/H1N1 Infections of current concern. http:// www.who.int/csr/disease/avian_inluenza/guidelines/humanspecimens/en/ index.html.p.1-2. 2009

WHO –

42. Weekly epidemiological record of position paper, No. 30, 24 July 2009, 84, 301-308

WHO. Expert advise WHO on pandemic vaccine policies and strategies 43.

pandemic (H1N1) 2009 brieing note 14. Geneva, 30 Oktober 2009

World Health Organization (WHO. Preparing for the second wave: lessons 44.

from current outbreaks, Pandemic (H1N1) 2009 brieing note 9

Wikipedia. Inluenza A virus Subtype H1N1. http.//en.wikipedia.org/wiki/ 45.

inluenza _A_virus_subtype_H1N1.p.1-5. 2009 Wikipedia. Swine inluenza.

46. File:///C:/DOCUME~1/PULMON~1/LOCALS~1/ Temp/Swine%2 OF.p.1-10. 2009

Wikipedia. 2009 swine lu outbreak.

47. http://en.wikipedia.org/wiki/2009_

swine_lu_ outbreak.p.1-19. 2009 Wikipedia. Swine inluenza.

48. http://en.wikipedia.org/wiki/Swine_inluenza. p.1-15. 2009

(32)

TIM PENYUSUN

1. Ketua Pelaksana:

Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp. P (K) RS Persahabatan 2. Sekertaris:

dr. Priyanti Z Soepandi, Sp. P (K) RS Persahabatan 3. Prof. dr. Herdiman Pohan, Sp. PD (K) FKUI

4. Prof. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp. A(K), Ph.D TAG 5. Prof. dr. Amir Madjid, Sp. An, KIC IDSAI

6. dr. Iwan Muljono, MPH Direktur P2ML 7. dr. T. Marwan Nusri, MPH Direktur Yanmedik

Dasar 8. dr. Sardikin Giriputro, Sp. P, MARS Dirut RSPI 9. Dr. dr. Trihono, MSc. Kapuslit Biomedis

dan Farmasi 10. dr. I Nyoman Kandun, MPH PAEI

11. dr. David Mulyono, Sp. PD, PhD. Lembaga Eijkman 12. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp. A (K) RSCM

13. dr. Sri Suprapti RSCM

14. dr. Rudi P RSCM

15. dr. Rismala Dewi, Sp. A RSCM

16. dr. C Martin Rumende Sp. PD-KP RSCM 17. dr. Julianto Witjaksono, MGO, Sp. OG, KFER RSCM

18. dr Zuswayudha Samsu Sp. An KIC, KAKV RS Harapan Kita

19. dr. Dewa RS Persahabatan

20. dr. Sulastri, Sp. A RSPI-SS

(33)

22. dr. Supriyantoro, Sp. P, MARS RSPAD

23. dr. Alexander K Ginting RSPAD

24. dr. Erlina Burhan RSIJ

25. dr. Fera Ibrahim, PhD. Mikrobiologi UI

26. dr. Fathyan FKUI

27. dr. Indriyono Tantoro, MPH GF PP-PL 28. Dr. dr. Julitasari Sundoro, MSc TAG

29. dr. Rinaldi, Sp. An. IDSAI

30. dr. Darmawan Budi Setyanto, Sp. A (K) IDAI

31. dr. Sidik Utoro, MPH POSKO KLB PP-PL 32. dr. Roenizar Roesin, MPH POSKO KLB PP-PL 33. dr. Moh. Erfandi, MPH POSKO KLB PP-PL

34. Imam Setiaji, SH Hukormas

35. dr. Wuwuh Utami N, MKes Kasubdit Gawat Darurat, Yanmedik Dasar

36. dr. Arie Bratasena Kasubdit ISPA

37. Dr. Hari Santoso, SKM, M. Epid Kasubdit Surveilans Epidemiologi 38. drh. Wilfried Purba, MKes Kasubdit Zoonosis 39. dr. Sholah Imari, MSc Kasubdit Kesehatan

Haji

40. Dr. Komarruddin K3

(34)

TIM EDITOR

1. Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp. P (K) 2. dr. Priyanti Z Soepandi, Sp. P (K)

Referensi

Dokumen terkait

Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS.Gambaran klinis penumonia pada bayi dan

Secara klinis, sesuai rekomendasi WHO malaria dapat dicurigai berdasarkan daerah epidemiologisnya: • Di daerah non-endemis, diagnosis klinis malaria tidak berat harus

Pada kasus, hasil pemeriksaan DIF tidak dijumpai deposit IgA linear di membran basalis sehingga diagnosis banding CBDC dapat disingkirkan.. Patofisiologi terbentuknya bula

Pertama adalah untuk memberikan pedoman penulisan kepada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas Surabaya, khususnya bagi yang sedang menulis tugas akhir,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan metode diagnosis cepat virus AI pada spesimen lapangan dari pasar unggas berdasarkan amplifikasi RT-PCR gen M dan H5 dengan

Neto dan kawan kawan melakukan ligasi arteri sfenopalatina pada kasus epistaksis yang berat, epistaksis berat didefinisikan sebagai epistaksis yang dapat mengancam jiwa,

I GR SIFAT & CIRI PENYAKIT PENEGAKAN DIAGNOSIS Stroke • Onset cepat Acute í Defisit Neurologis í diagnosis klinis koma dan ditandai oleh kerusakan otak yang berat pada