• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histopatologi dan Tampilan Imunohistokimia Fibronektin Selaput Ketuban pada Perempuan Hamil yang Mendapat Acetylsalicylic Acid (ASA) Dosis Rendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Histopatologi dan Tampilan Imunohistokimia Fibronektin Selaput Ketuban pada Perempuan Hamil yang Mendapat Acetylsalicylic Acid (ASA) Dosis Rendah"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

DAN TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA FIBRONEKTIN

PADA SELAPUT KETUBAN PEREMPUAN HAMIL

YANG MENDAPAT ACETYLSALICYLIC ACID (ASA)

DOSIS RENDAH

TESIS

Oleh:

CUT MOURISA

107008005

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI

DAN TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA FIBRONEKTIN

PADA SELAPUT KETUBAN PEREMPUAN HAMIL

YANG MENDAPAT ACETYLSALICYLIC ACID (ASA)

DOSIS RENDAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

CUT MOURISA

107008005

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : GAMBARAN HISTOPATOLOGI DAN TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA

FIBRONEKTIN PADA SELAPUT KETUBAN PEREMPUAN HAMIL YANG MENDAPAT

ACETYLSALICYLIC ACID (ASA) DOSIS RENDAH

Nama Mahasiswa : Cut Mourisa No Induk Mahasiswa : 107008005 Program Studi : Ilmu Biomedik

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK)

Anggota

(dr. Betty, M.Ked (PA), Sp.PA)

Ketua Program Studi

NIP. 19550807 198503 2 001 (dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D)

Dekan

NIP. 19540220 198011 1 001

(Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp.PD,KGEH)

(4)

Telah diuji pada tanggal :18 Juni 2014

__________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK

Anggota : 1. dr. Betty, M.Ked (PA), Sp.PA

2. dr. Makmur Sitepu, Sp.OG(K)

(5)

LEMBARAN PERSETUJUAN

Gambaran histopatologi

dan tampilan imunohistokimia fibronektin

pada selaput ketuban perempuan hamil

yang mendapat acetylsalicylic acid (ASA) dosis rendah

Oleh:

Cut Mourisa

107008005

Medan, Juni 2014

Disetujui oleh :

Pembimbing I

Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK

Pembimbing II

(6)

ABSTRAK

Acetylsalicylic acid (ASA)/aspirin adalah obat yang banyak digunakan dengan berbagai khasiat, diantaranya sebagai antitrombotik (pada dosis rendah yaitu 80-325mg) dengan indikasi pada penatalaksanaan strok, infark miokard, trombosis, sindrom antiphospholipid dan pencegahan pre-eklamsia dan eklamsia selama kehamilan. Pemberian ASA jangka panjang pada perempuan hamil menyebabkan keadaan defisiensi vitamin C melalui mekanisme hambatan absorpsi, transpor, peningkatan ekskresi vitamin C, sehingga mengganggu sintesa protein (kolagen, fibronektin) pada matriks ekstraseluler (MES) selaput ketuban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gambaran struktur histopatologi (ketebalan lapisan amnion-korion) dan tampilan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban perempuan hamil yang mendapat ASA dosis rendah. Jenis penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan 81 subjek yang dipilih dengan teknik consecutive sampling. Sebanyak 27 subjek (kelompok kasus) mendapat ASA dosis rendah dan 54 subjek (kelompok kontrol) tanpa ASA

dosis rendah. Pada saat persalinan dilakukan pengambilan selaput ketuban untuk diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan selaput ketuban pada kelompok kasus (85,18±15,98) lebih tipis dibandingkan kelompok kontrol (111,68±27,19) (p<0,05). Tampilan imunohistokimia fibronektin pada kelompok kasus (1,85±0,53) lebih lemah dibandingkan kelompok kontrol (2,49±0,63) (p<0,05). Pemberian ASA dosis rendah jangka panjang pada perempuan hamil terbukti menurunkan ketebalan selaput ketuban dan tampilan imunohitokimia fibronektin pada selaput ketuban.

(7)

ABSTRACT

Acetylsalicylic acid (ASA)/aspirin, a drug that is widely used, has a variety of properties. One such property permits an antithrombotic use (at low doses are 80-325 mg) indicating treatment of stroke, myocardial infarction, thrombosis, antiphospholipid syndrome and prevention of pre-eclampsia and eclampsia during pregnancy. Long-term use of ASA during pregnancy causes vitamin C deficiency via a mechanism of disturbance absorption, distribution and increased excretion of vitamin C, thereby disrupting the synthesis of proteins (collagen, fibronectin) in the extracellular matrix (ECM) of fetal membranes. This study aims to determine histopathological changes in the structural overview (amnion-chorion layer thickness) and immunohistochemical appearance of fibronectin on the fetal membranes of pregnant women who receive low-dose ASA. This study follows a cross sectional design with 81 subjects selected using a consecutive sampling technique. A total of 27 subjects (cases) received low-dose ASA and 54 subjects (control group) without low-dose ASA. The fetal membranes were collected at experiment end as per results delivery and next were to be examined. The results showed that the fetal membranes in the case group (85.18 ± 15.98) were thinner than the control group (111.68 ± 27.19) (p <0.05). Further, the immunohisto-chemical appearance of fibronectin in the case group (1.85 ± 0.53) was weaker than the control group (2.49 ± 0.63) (p <0.05). The provision of long-term low-dose ASA in pregnant women was shown to decrease the thickness of fetal membranes and weaken the immunohistochemical appearance of fibronectin.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Gambaran Histopatologi dan Tampilan Imunohistokimia Fibronektin Selaput Ketuban pada Perempuan Hamil yang Mendapat Acetylsalicylic Acid (ASA) Dosis Rendah”

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar. A. Siregar, Sp.PD-KGEH dan jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Rasa terima kasih yang besar dan tulus kepada Ketua Program Studi S2 Ilmu Biomedik Universitas Sumatera Utara dr. Yahwardiah Siregar Ph.D dan terima kasih tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ketua komisi pembimbing Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK serta anggota komisi pembimbing dr. Betty, M.Ked (PA), Sp.PA yang telah menyediakan waktu, memberikan motivasi, bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih yang tak terhingga pula penulis sampaikan kepada dr. Makmur Sitepu, Sp.OG(K), dr. Soekimin, Sp.PA yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran dan masukan serta ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.

(9)

pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang begitu banyak membantu penulis dalam menjalani pendidikan.

Persembahan dengan rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis

sampaikan kepada Ayahanda H. T. Zainal Arifin dan Ibunda tersayang Hj. Siti Zainab yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik penulis

sehingga menjadi manusia yang berguna. Teristimewa untuk suami tercinta Meristika Valeri, ST yang selalu memberikan dorongan moril dan materil serta anak-anakku tersayang, Rayyan dan Rifat yang selalu memberikan senyuman dan rasa bahagia sehingga menjadi semangat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.

Semoga segenap bantuan, bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Akhirnya penulis menyadari dengan keterbatasan yang ada, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang kesehatan dan kita semua. Aamiin.

Medan, Mei 2014 Penulis

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I.DATA PRIBADI

Nama : dr. Cut Mourisa

Tempat/tanggal lahir : Sigli, 23 Mei 1980

Pekerjaan : Staf Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UISU

Alamat : Jl. Garu II B komplek VHI No. 80 Medan

Agama : Islam

Status : Menikah

Telp/HP : 08126906510

II.RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1986-1987 : Taman kanak-kanak Aisyiah Sigli

Tahun 1987-1993 : SDN 3 Sigli

Tahun 1993-1995 : SLTPN 1 Sigli

Tahun 1995-1998 : SMAN 1 Sigli

Tahun 1998-2005 : Pendidikan dokter Universitas Syiah Kuala B.Aceh Tahun 2010-sekarang : Peserta Program Magister Ilmu Biomedik FK USU

III.PENGALAMAN KERJA

Tahun 2006 s/d 2007 : PTT di Puskesmas Padang Tiji

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1.2 Rumusan masalah ... 1.3 Tujuan penelitian... 1.3.1 Tujuan umum ... 1.3.2 Tujuan khusus... 1.4 Hipotesis ... 1.5 Manfaat penelitian ... 1

2.1 Antiphospholipidsyndrome (APS)... 2.2 Antibodi antiphospholipid (aPL) ... 2.3 Pre-eklamsia dan eklamsia... 2.4 Acetylsalicylic acid ... 2.5 Selaput ketuban ... 2.6 Kolagen ... 2.7 Fibronektin ... 2.8 Fibronektin dan vitamin C ... 2.9 Kerangka teori ... 2.10 Kerangka konsep ... 8 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 22

3.1 Desain penelitian ... 3.2 Lokasi dan waktu penelitian ... 3.3 Populasi dan sampel penelitian ...

(12)

3.3.2 Sampel penelitian... 3.3.3 Cara pengambilan sampel... 3.4 Besar sampel ... 3.5 Kriteria inklusi & eksklusi ... 3.5.1 Kriteria inklusi... 3.5.2 Kriteria eksklusi... 3.6 Kerangka operasional ... 3.7 Identifikasi variabel penelitian ... 3.8 Definisi operasional ... 3.9 Bahan & alat penelitian ... 3.10 Prosedur penelitian ... 3.10.1 Pengumpulan data…... 3.10.2 Prosedur perlakuan jaringan ……….. 3.10.3 Prosedur pembuatan sediaan histopatologi……... 3.10.4 Pengukuran ketebalan jaringan ……….. 3.10.5 Prosedur pembuatan sediaan imunohistokimia ….. 3.10.6 Interpretasi tampilan imunohistokimia fibronektin 3.10.7 Keandalan ………... 3.11 Pengolahan dan analisis data ... 3.12 Etik penelitian ... 3.13 Jadwal penelitian...

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 4.1

4.2

4.3

4.4

Jadwal penelitian ... Rerata dan simpangan baku ketebalan selaput ketuban pada kelompok kontrol dan kelompok kasus………. Rerata dan simpangan baku intensitas pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban kelompok kontrol dan kelompok kasus……… Rerata dan simpangan baku luas tampilan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban kelompok kontrol dan kelompok kasus……… Rerata dan simpangan tampilan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban kelompok kontrol dan kelompok kasus.

40

42

44

46

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Rumus bangun acetylsalicylic acid... 13

2.2 Mikroskopik selaput ketuban pewarnaan HE………. 15

2.3 Struktur mikroskopis selaput ketuban………... 17

2.4 Biosintesa kolagen ………….………... 19

2.5 Kerangka teori ……….. 21

2.6 Kerangka konsep ……….. 22

3.1 Kerangka operasional..………... 28

3.2 Pembuatan gulungan selaput ketuban.………. 33 4.1 Grafik rerata ketebalan selaput ketuban (lapisan amnion

dan korion) pada kelompok kasus dan kontrol………

43

4.2 Grafik rerata kekuatan intensitas pewarnaan

imunohistokimia fibronektin pada kelompok kasus dan kontrol ………..

45

4.3 Grafik rerata luas tampilan imunohistokimia fibronektin pada kelompok kasus dan kontrol ………..

47

4.4 Grafik rerata tampilan imunohistokimia fibronektin pada kelompok kasus dan kontrol ………

(15)

DAFTAR SINGKATAN

ACA Anticardiolipin antibody

aCL Anticardiolipin

ASA Acetylsalicylic acid

aPL Antiphospholipid

APS Antiphospholipid syndrome β2GP I Beta-2 glycoprotein I

COX Cyclo-oxygenase

DAB Diamino benzidine

HE Hematoxylin Eosin

IHC Immunohistochemistry

LA Lupus anticoagulant

MES Matriks ekstraseluler

PROM Premature rupture of the membrane/selaput ketuban pecah dini (KPD)

MCI Myocardial infarct

NHS Normal Horse Serum

RGD

Arginin-glisin-Recurrent spontaneous abortion/abortus spontan berulang

Tris Buffered Saline

TTP

Tx A

Tanggal taksiran persalinan

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Persetujuan komisi etik... 67

2 Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian………. 68

3 Surat persetujuan setelah penjelasan……… 70

4 Profil data subjek penelitian ………. 71

5 Dokumentasi……….………. 73

6 Data Perhitungan Statistik ……….………. 80

(17)

ABSTRAK

Acetylsalicylic acid (ASA)/aspirin adalah obat yang banyak digunakan dengan berbagai khasiat, diantaranya sebagai antitrombotik (pada dosis rendah yaitu 80-325mg) dengan indikasi pada penatalaksanaan strok, infark miokard, trombosis, sindrom antiphospholipid dan pencegahan pre-eklamsia dan eklamsia selama kehamilan. Pemberian ASA jangka panjang pada perempuan hamil menyebabkan keadaan defisiensi vitamin C melalui mekanisme hambatan absorpsi, transpor, peningkatan ekskresi vitamin C, sehingga mengganggu sintesa protein (kolagen, fibronektin) pada matriks ekstraseluler (MES) selaput ketuban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gambaran struktur histopatologi (ketebalan lapisan amnion-korion) dan tampilan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban perempuan hamil yang mendapat ASA dosis rendah. Jenis penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan 81 subjek yang dipilih dengan teknik consecutive sampling. Sebanyak 27 subjek (kelompok kasus) mendapat ASA dosis rendah dan 54 subjek (kelompok kontrol) tanpa ASA

dosis rendah. Pada saat persalinan dilakukan pengambilan selaput ketuban untuk diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan selaput ketuban pada kelompok kasus (85,18±15,98) lebih tipis dibandingkan kelompok kontrol (111,68±27,19) (p<0,05). Tampilan imunohistokimia fibronektin pada kelompok kasus (1,85±0,53) lebih lemah dibandingkan kelompok kontrol (2,49±0,63) (p<0,05). Pemberian ASA dosis rendah jangka panjang pada perempuan hamil terbukti menurunkan ketebalan selaput ketuban dan tampilan imunohitokimia fibronektin pada selaput ketuban.

(18)

ABSTRACT

Acetylsalicylic acid (ASA)/aspirin, a drug that is widely used, has a variety of properties. One such property permits an antithrombotic use (at low doses are 80-325 mg) indicating treatment of stroke, myocardial infarction, thrombosis, antiphospholipid syndrome and prevention of pre-eclampsia and eclampsia during pregnancy. Long-term use of ASA during pregnancy causes vitamin C deficiency via a mechanism of disturbance absorption, distribution and increased excretion of vitamin C, thereby disrupting the synthesis of proteins (collagen, fibronectin) in the extracellular matrix (ECM) of fetal membranes. This study aims to determine histopathological changes in the structural overview (amnion-chorion layer thickness) and immunohistochemical appearance of fibronectin on the fetal membranes of pregnant women who receive low-dose ASA. This study follows a cross sectional design with 81 subjects selected using a consecutive sampling technique. A total of 27 subjects (cases) received low-dose ASA and 54 subjects (control group) without low-dose ASA. The fetal membranes were collected at experiment end as per results delivery and next were to be examined. The results showed that the fetal membranes in the case group (85.18 ± 15.98) were thinner than the control group (111.68 ± 27.19) (p <0.05). Further, the immunohisto-chemical appearance of fibronectin in the case group (1.85 ± 0.53) was weaker than the control group (2.49 ± 0.63) (p <0.05). The provision of long-term low-dose ASA in pregnant women was shown to decrease the thickness of fetal membranes and weaken the immunohistochemical appearance of fibronectin.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acetylsalicylic acid (ASA)/aspirin adalah obat yang banyak digunakan untuk

berbagai indikasi, yaitu sebagai analgesik, antipiretik, anti-inflamasi dan

antitrombotik (bekerja dengan menghambat agregasi trombosit, sehingga obat ini

dapat memperpanjang waktu perdarahan) (Goodman dan Gillman, 2007). Sebagai

antitrombotik, dosis ASA/aspirin yang digunakan adalah dosis rendah (80-325mg)

(Katzung, 2010), dan berguna pada penatalaksanaan strok, infark miokard (MCI),

trombosis(Walsh dan Schwartz-Bloom, 2005) sindrom antiphospholipid dan

pencegahan pre-eklamsia dan eklamsia selama kehamilan(Levine et al., 2002;

WHO, 2011).

Sindrom antiphospholipid (APS) adalah gangguan autoimun yang dapat

menyebabkan trombosis pembuluh darah, abortus berulang akibat adanya

trombosis di pembuluh darah plasenta (Rand, 2002).

Perempuan hamil dengan antibodi aPL

Antibodi antiphospholipid

(aPL) utama yang berhubungan dengan APS adalah antibodi anticardiolipin

(aCL), antikoagulan lupus (LA),danantibodiglikoprotein anti-beta2 I

(anti-beta-2GPI) (McNeil et al., 2002).

positif, mempunyai kecenderungan

mengalami keguguran berulang sebesar 15% pada trimester pertama, dan 21%

pada trimester kedua (Vashisht dan Regan, 2005). APS masih menjadi penyakit

yang sering mengakibatkan keguguran berulang (Rai, 2002). Morbiditas

(20)

vasculophaty) dan infark plasenta (Tektonidou, 2004). Pengobatan kombinasi

aspirin/ASA dosis rendah dengan heparin merupakan terapi pilihan (Bates, 2010).

Pemberian ASA/aspirin dosis rendah (50 mg/hari) pada perempuan dengan

riwayatabortus spontan berulang (recurrent spontaneous abortion/ RSA) dengan

atau tanpa antibodi anticardiolipin (ACA) yang positif, dapat menghambat

produksi tromboxan A2 (Tx A2), sehingga menghambat agregasi trombosit

(Tulppala et al., 2000 dan Berg, 2011).

Selain itu pemberian antitrombotik, juga ditujukan untuk menurunkan risiko

terjadinya trombosis, keguguran, dan kehamilan dengan hipertensi, sehingga

pemberian harian ASA/aspirin dosis rendah, merupakan regimen pengobatan pada

kehamilan dengan APS (Branch dan Khamashta, 2003).

ASA/aspirin dosis rendah juga diberikan pada kehamilan dengan atau riwayat

pre-eklamsia (Duley et al., 2007) dikarenakan pre-eklamsia merupakan salah satu

faktor risiko terjadinya trombosis, kelahiran prematur dan kelahiran mati pada

neonatal (Duley et al.,2001;

Pada kehamilan, pembentukan selaput amnion berasal dari jaringan

ekstra-embrio yang terdiri dari bagian fetal (the chorionic plate) dan bagian maternal

(the decidua). Bagian fetal (amnion dan membran korion), memisahkan fetus dari

endometrium (Niknejad et al., 2008).Kolagen merupakan komponen dari

membran yang berfungsi untuk menjaga

Hague et al., 2001). WHO (2011) merekomendasikan

intervensi pemberian ASA/aspirin dosis rendah untuk mencegah terjadinya

pre-eklamsia pada perempuan dengan risiko tinggi sebelum kehamilan 20 minggu.

kekuatan jaringan pada amnion dan

(21)

Selaput amnion dan korion manusia terdiri dari beberapa lapisan, dengan

berbagai jenis kolagen (tipe I, III, IV, V, VI) dan glikoprotein non-kolagen

(laminin, nidogen dan fibronektin) yang terdapat didalam matriks ekstraseluler

(MES) (Benirschke dan Kaufmann, 2006).

Lapisan-lapisan pada selaput ketuban akan mempengaruhi ketebalannya, dan

akan memberikan kontribusi terhadap ketahanannya. Namun selaput ketuban yang

tipis belum tentu menyebabkan penurunan ketahanannya, karena ketahanan

selaput ketuban juga dipengaruhi oleh keberadaan dan kondisi (keterikatan)

berbagai komponen penunjang selaput ketuban, seperti kolagen, dan glikoprotein

non-kolagen lainnya, yaitu: laminin, nidogen dan fibronektin. Perubahan pada

membran, termasuk penurunan kadar kolagen, struktur kolagen, peningkatan

aktivitas kolagenolitik, merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya

ketuban pecah dini/KPD (premature rupture of the membrane/PROM)

(Parry dan Strauss, 1998).

Vitamin C(ascorbic acid) adalah zat yang dibutuhkan untuk pembentukan

kolagen dan stabilitas collagent cross-link,kadar vitamin C jaringan merupakan

mediator penting dalam proses inisiasi ruptur membran sebagai fungsi dari

kolagen cross-link rasio (Myllyharju, 2003). Konsentrasi total vitamin Cpada

perempuan dengan PROM, secara signifikan lebih rendah daripada perempuan

yang mengalami ruptur membran pada saat proses persalinan (Stuart, et al., 2005).

Selain itu, vitamin C mempengaruhi pertumbuhan komponen MES lainnya,

fibronektin dan laminin (Ronchetti et al., 1998). Pemberian vitamin C sebanyak

100 mg/hari pada perempuan hamil, dapat menurunkan risiko terjadinya PROM

(22)

Pemberian ASA/aspirin bersama vitamin C (ascorbic acid) mengakibatkan

terjadinya interaksi farmakokinetik pada tahap absorpsi, distribusi dan ekskresi.

Pemberian aspirin pada dosis > 25 mg bersama vitamin C (ascorbic acid) dengan

dosis 50-100 mg menyebabkan hambatan transpor ascorbic acid ke dalam

leukosit (Das dan Nebiogiu, 1999). Obat golongan salisilat juga menghambat

uptake vitamin C kedalam leukosit dan platelet (Levine et al., 1999).

Selain itu ASA/aspirinjuga dapat meningkatkan ekskresi vitamin C melalui

urin dan menurunkan konsentrasi vitamin C platelet (Levine et al., 2006);

menurunkan kadar ascorbic acid leukosit dan menurunkan kemampuan

metabolismenya. (Stargrove et al., 2008).

Berdasarkan uraian di atas, maka akan diteliti pengaruh pemberian ASA/

aspirin dosis rendah (80-100 mg) pada perempuan hamil (mengalami APS atau

pre-eklamsia/eklamsia atauriwayat pre-eklamsia/eklamsia), terhadap gambaran

histopatologi struktur selaput ketuban dan tampilan imunohistokimia fibronektin

pada MES selaput ketuban.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Apakah pemberian ASA/aspirin dosis rendah (80-100 mg) pada perempuan

hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atau riwayat

pre-eklamsia/eklamsia), dapat menyebabkan penipisan lapisan amnion dan

(23)

2. Apakah pemberian ASA/aspirin dosis rendah (80-100 mg) pada perempuan

hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atauriwayat pre-eklamsia/

eklamsia), dapat menyebabkan penurunan tampilan imunohistokimia

fibronektin pada matriks ekstraseluler selaput ketuban (amnion dan korion)?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perubahan gambaran struktur histopatologi dan tampilan

imunohistokimia fibronektin pada matriks ekstraseluler (MES) selaput ketuban

perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atauriwayat

pre-eklamsia/eklamsia), yang mendapat ASA/aspirin dosis rendah (80-100 mg).

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui pengaruh pemberian ASA/aspirin dosis rendah (80-100 mg)

terhadap gambaran struktur histopatologi (ketebalan lapisan amnion dan

korion) selaput ketuban, pada perempuan hamil (mengalami APS atau

pre-eklamsia/eklamsia atauriwayat pre-eklamsia/eklamsia).

2. Mengetahui pengaruh pemberian ASA/aspirindosis 80 - 100 mg terhadap

kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada MES

selaput ketuban perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/

eklamsia atauriwayat pre-eklamsia/eklamsia).

3. Mengetahui pengaruh pemberian ASA/aspirindosis 80 - 100 mg terhadap

(24)

selaput ketuban perempuan hamil (mengalami APS atau pre-eklamsia/

eklamsia atauriwayat pre-eklamsia/eklamsia).

4. Mengetahui pengaruh pemberian ASA/aspirindosis 80 - 100 mg terhadap

tampilan (perkalian kekuatan intensitas pewarnaan dengan luas tampilan

imunohistokimia fibronektin) pada MES selaput ketuban perempuan hamil

(mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atauriwayat pre-eklamsia/

eklamsia).

1.4 Hipotesis

Ada perbedaan gambaran histopatologi dan tampilan imunohistokimia

fibronektin selaput ketuban antara perempuan hamil (mengalami APS atau

pre-eklamsia/eklamsia atau riwayat pre-eklamsia/eklamsia) serta mendapat

ASA/aspirin dosis rendah (kelompok kasus), dengan perempuan hamil normal dan

tidak mendapat ASA/aspirin (kelompok kontrol), berupa :

1. Selaput ketuban (amnion dan korion) pada kelompok kasus lebih tipis

dibandingkan selaput ketuban kelompok kontrol.

2. Kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada

MES selaput ketuban kelompok kasus lebih lemah dibandingkan

kelompok kontrol.

3. Luas tampilan pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada MES

selaput ketuban kelompok kasus lebih lemah dibandingkan kelompok

(25)

4. Tampilan (perkalian kekuatan intensitas dengan luas tampilan)

pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada MES selaput ketuban

kelompok kasus lebih lemah dibandingkan kelompok kontrol.

1.5 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi tentang pengaruh pemberian ASA/aspirin dosis

rendah (80-100 mg) terhadap perubahan gambaran histopatologi dan tampilan

imunohistokimia fibronektin pada MES selaput ketuban perempuan hamil

(mengalami APS atau pre-eklamsia/eklamsia atauriwayat pre-eklamsia/eklamsia),

agar kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini (KPD) dapat diprediksi dan

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antiphospholipidsyndrome (APS) 2.1.1 Definisi

Antiphospholipid syndrome (APS) atau Hughes syndrome adalah suatu

kumpulan kondisi yang ditandai dengan trombosis vaskuler (arteri dan atau vena),

dan keguguran (abortus) berulang. Karakteristik laboratorium dari APS adalah

adanya antibodi antiphospholipid (aPL), yaitu lupus anticoagulant (LA), antibodi

anticardiolipin (aCL), antiphosphatidylserine atau beta-2 glycoprotein I / B2GPI

(apolipoprotein H) (Tektonidou, 2004; Keeling et al., 2012). APS merupakan

salah satu penyebab terjadinya abortus (Branch and Khamashta, 2003).

2.1.2 Epidemiologi APS

Frekuensi pasien APS terkini pada populasi umum tidak diketahui,

tetapi 1-5% individu sehat mempunyai antibodi aPL dan antibodi aCL serta

cenderung meningkat pada usia lanjut. Dari sekitar 30-40% pasien SLE dengan

antibodi aPL, 10% menderita APS. Dari hasil penelitian terhadap 100 pasien

dengan trombosis vena dan tanpa riwayat SLE, ternyata ditemukan 24% antibodi

aCL positif dan 15% lupus anticoagulant (LA) positif (Belilos, 2012).

2.1.3 Penatalaksanaan APS

Penanganan ideal untuk kehamilan dengan APS bertujuan untuk: (1)

menurunkan risiko trombosis pada ibu selama kehamilan; (2) upaya pencegahan

(27)

Untuk mengobati kondisi ini, dapat diberikan antikoagulan, heparin dan

ASA/aspirin dosis rendah (Branch and Khamashta, 2003).

2.1.4 Profilaksis pasien asimptomatik dengan antibodi aCL positif atau LA

positif

Dalam praktek klinik, pengobatan empiris dilakukan dengan pemberian ASA

(aspirin) dosis rendah (80 mg/hari), walaupun belum ada penelitian prospektif

tentang manajemen profilaksis (Tektonidou, 2004).

2.2 Antibodi Antiphospholipid (aPL)

Antibodi Antiphospholipid (aPL) merupakan autoantibodi yang ditemukan

pada plasma/serum dalam solid-phase immunoassay. Antibodi aPL utama yang berhubungan dengan APS terdiri dari :

(a) Antibodi aCL / antibodi lain yang menyerang bagian negatif fosfolipid :

phosphatidylserine, phosphatidylinositol phosphatidic acid, phosphatidyl

glycerol;

(b) Lupus anticoagulants (LAs), dan

(c) Anti-beta2 glycoprotein I (anti-β-2GPI) (Danowski et al.,2013).

2.3 Pre-eklamsia dan eklamsia

2.3.1 Definisi

Pre-eklamsia adalah sindroma yang spesifik dalam kehamilan yang dapat

menyebabkan perfusi darah ke organ berkurang karena adanya vasospasme dan

(28)

pada kehamilan, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria

(Lowe et al., 2008).

Eklamsia adalah pre-eklamsia yang disertai kejang dan atau koma. Kejang

bisa timbul pada sebelum, selama atau sesudah proses kehamilan. Kejang bisa

juga terjadi pada 48 jam atau lebih sesudah melahirkan, bahkan bisa terjadi

10 hari sesudah kelahiran (Cunningham et al., 2005).

2.3.2 Pencegahan pre-eklamsia dan eklamsia

Pencegahan pre-eklamsia dan eklamsia difokuskan untuk memperbaiki

perubahan patofisiologi yang terjadi. Jalur akhir dari patogenesis terjadinya

pre-eklamsia adalah kerusakan sel endotel, sehingga pencegahan dan pengobatan

ditujukan untuk mengurangi kerusakan sel endotel (pencegahan primer), atau

mengurangi akibat yang muncul dari kerusakan sel endotel (pencegahan sekunder

atau tersier). Beberapa strategi dapat digunakan untuk mencegah pre-eklamsia,

seperti modifikasi diet dan pendekatan farmakologi dengan pemberian ASA/

aspirin dosis rendah (Sofoewan, 2003; Duley et al., 2007). Pemberian ASA/

aspirin dosis rendah, kalsium dan antioksidan, dipercaya efektif untuk

menurunkan risiko pre-eklamsia (Wagner, 2004; Taherian dan Shirvani, 2003).

2.4 Acetylsalicylic acid (ASA)

2.4.1 Uraian umum

Acetylsalicylic acid (ASA) yang nama lainnya aspirin atau asetosal

merupakan derivat asam salisilat dengan rumus molekul C9H8O4 dan berat

(29)

non-steroid, dengan khasiat sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi, yang

diperoleh pada penggunaan dosis >325 mg (Goodman and Gilman, 2007).

Namun, pada dosis <325 mg, ASA/aspirin berkhasiat sebagai antitrombotik/

antiplatelet. Dosis efektif ASA sebagai antitrombotik/antiplatelet berkisar antara

80 - 320 mg (Patrono et al., 1980).

Gambar 2.1 Rumus bangun Acetylsalicylic Acid (Goodman and Gilman, 2007)

2.4.2 Farmakokinetik ASA

Setelah pemberian oral, ASA yang tak terionisasi diabsorpsi secara pasif di

lambung dan usus halus. ASA dapat menembus sawar darah otak dan plasenta.

ASA dimetabolisme di hati, dihidrolisis menjadi salisilat dan asam asetat oleh

esterase yang ada di jaringan dan darah. Konjugat hasil metabolisme yang larut

dalam air diekskresikan oleh ginjal (Mycek, 2003).

2.4.3 Farmakodinamik ASA

ASA bekerja dengan menghambat aktifitas enzim siklooksigenase sehingga

menghambat sintesa tromboksan A2 (TXA2) (hambatan agregasi trombosit) serta

(30)

ASA menghambat produksi TxA2 dengan mengasetilasi residu serin secara

kovalen yang terletak di dekat active-site cyclo-oxygenase (COX). COX adalah

enzim yang menghasilkan pre-kusor endo-peroksida siklik TxA2, dan TxA2

2.4.4 Interaksi ASA dengan ascorbic acid (vitamin C)

merupakan produk utama COX pada trombosit yang merupakan penginduksi

agregasi trombosit yang labil dan mempunyai sifat vasokonstriktor kuat.

Trombosit tidak mensintesis protein baru, sehingga kerja ASA pada

trombosit-COX bersifat permanen dan bertahan sepanjang usia trombosit yaitu 7-10 hari.

Sehingga pengulangan pemberian dosis ASA menghasilkan efek kumulatif dari

fungsi trombosit (Goodman and Gilman, 2007).

Acetylsalicylic Acid (ASA)/Aspirin dapat meningkatkan ekskresi vitamin C

melalui urin, menurunkan kadar ascorbic acid/vitamin C leukosit dan menurunkan

kemampuan metabolismenya (Stargrove et al., 2008). Pemberian ASA/aspirin

pada dosis > 25 mg bersama vitamin C (ascorbic acid) dengan dosis 50-100 mg

menyebabkan hambatan transpor ascorbic acid ke dalam leukosit (Das dan

Nebiogiu, 1999). Obat golongan salisilat juga menghambat uptake vitamin C

kedalam leukosit dan platelet (Levine et al., 1999).

2.5 Selaput ketuban

2.5.1 Anatomi dan histologi

Selaput ketuban manusia terdiri dari amnion dan non-plasenta korion.

Amnion adalah lapisan terdalam dari selaput ketuban dan berhubungan dengan

(31)

pembuluh darah, sehingga bahan nutrisi yang dibutuhkan janin disediakan oleh

cairan ketuban. Walaupun lapisan amnion hanya mengisi sekitar 20% ketebalan

selaput ketuban, namun sangat dominan dalam respon mekanik selaput ketuban

(Oyen et al., 2001), sedangkan korion adalah bagian luar selaput dan memisahkan

selaput amnion dari desidua dan uterus (Benirschke dan Kaufmann, 2006;

Rohen dan Lutjen-Drecoll, 2009)

Gambar 2.2 Mikroskopik selaput ketuban pewarnaan Haematoxylin-Eosin (HE) (AE: amniotic epithelial layer, AM: amniotic mesenchymal layer, CM: chorionic mesenchymal layer, CT: chorionic trophoblastic (Parolini et al., 2008)

2.5.2 Amnion

Selaput amnion manusia dapat dibedakan menjadi lima lapisan yaitu :

(1) epithelium amnoinic, (2) basement membrane, (3) compact layer, (4) fibroblas

layer, dan (5) Spongy layer. Lapisan paling dalam adalah epitel amnion; berada

paling dekat dengan janin (Gambar 2.1). Sel epitel mensekresi kolagen tipe III, IV

(32)

compact layer disekresi oleh sel-sel mesenkim pada fibroblast layer, yaitu tipe III,

V, VI. Lapisan fibroblast (fibroblast layer) adalah lapisan paling tebal pada

amnion, terdiri dari sel-sel mesenkim dan sebaran sel makrofag dalam matriks

ekstraseluler. Spongy layer/intermediate layer terletak di antara amnion dan

korion dan kaya akan proteoglikan serta mengandung kolagen tipe I, III, dan IV

(Parry and Strauss, 1998). Tebal lapisan epithelium amnoinic adalah 20-30 µm,

sedangkan tebal lapisan basement membrane, compact layer, fibroblast layer

(amnionic mesoderm) adalah 15-30 µm (Baergen, 2005).

2.5.3 Korion

Korion terdiri dari lapisan lapisan retikuler dan basal membran. Korion

menyerupai membran epitel yang khas dengan polaritas mengarah ke bagian

desidua maternal. Pada kehamilan yang lebih lanjut, vili trofoblas pada lapisan

korion akan mengalami regresi. Di bawah lapisan sitotrofoblas terdapat basal

membran dan jaringan ikat chorionic yang kaya akan fibril kolagen. Kolagen pada

lapisan retikular dan basal membran adalah kolagen tipe I, III, IV, V, dan VI.

Walaupun lapisan korion lebih tebal daripada amnion, namun amnion mempunyai

daya regang yang lebih tinggi dibandingkan korion (Parry and Strauss, 1998).

(33)

Gambar 2.3 Struktur mikroskopis selaput ketuban (Parry dan Strauss, 1998)

2.6 Kolagen

Kolagen merupakan protein terbanyak dalam tubuh manusia dan

membentuk lebih dari 25% massa protein. Kolagen adalah protein fibrosa dan

salah satu serat jaringan ikat yang dibentuk dari protein berpolimerisasi menjadi

struktur yang panjang. Protein matriks ekstraseluler ini sangat memegang peran

penting dan dirancang untuk memberikan struktur dan ketahanan terhadap

jaringan (Mecham, 2009). Kolagen terdapat pada kulit, tulang, tulang rawan,

jaringan fetal, plasenta, basal membran, dentin, dinding pembuluh darah, sklera,

kornea mata dan jaringan ikat seperti ligamentum dan tendo sehingga menjadikan

jaringan tersebut memiliki daya regang tinggi (Junqueira, 2007). Kolagen yang

terdapat pada amnion terdiri dari kolagen interstisium tipe I, III, V, dan VI, yang

(34)

2.6.1 Struktur kolagen

Tropokolagen terdiri dari 3 serat, yang masing-masing mengandung 1000

asam amino yang bersatu membentuk helix triple collagen. Helix triple collagen

memiliki 3,3 residu, salah satunya adalah glisin pada setiap asam amino ketiga

rantai polipeptida dan menghasilkan suatu rangkaian Gly-X-Y yang berulang.

Kolagen juga kaya akan prolin atau hidroksiprolin. Prolin sering menduduki posisi

X, sedangkan hidroksiprolin atau hidroksilisin menduduki posisi Y pada urutan

asam amino. Hidroksiprolin memaksimalkan pembentukan ikatan hidrogen antar

rantai sehingga berperan penting untuk menstabilkan struktur helix triple collagen

(Champe et al., 2010 ; Gordon dan Hahn, 2010).

2.6.2 Biosintesa kolagen

Kolagen disintesa sebagai prokolagen yang dibentuk dalam fibroblas

(memproduksi sekitar 5-10% protein totalnya); osteoblas dan kondroblas

kemudian akan disekresi ke dalam matriks ekstraseluler. Kolagen mengandung

hidroksiprolin dan hidroksilisin yang tidak terdapat pada kebanyakan protein yang

lain. Hidroksiprolin memegang peran penting dalam penstabilan struktur helix

triple collagen karena memaksimalkan pembentukan ikatan hidrogen antar rantai

(Champe et al., 2010).

Sintesa diawali dengan pembentukan pro-rantai α, hidroksilasi, glikosilasi, perakitan molekul pro-kolagen, sekresi, pembelahan di luar sel, pembentukan

(35)

2.6.3 Hidroksilasi dan vitamin C

Hidroksiprolin dibentuk melalui reaksi hidroksilasi yang dikatalisis oleh

enzim prolil hidroksilase dengan ko-faktor asam askorbat (vitamin C). Defisiensi

asam askorbat menyebabkan gangguan sintesis kolagen akibat defisiensi prolil

dan lisil hidroksilase dan berakibat gangguan stabilitas helix triple collagen

(Murray et al., 2009; dan Osaikhuwuomwan, 2010).

(36)

2.7 Fibronektin

2.7.1 Struktur

Fibronektin adalah glikoprotein utama matriks ekstraseluler (MES)

(Korhonen dan Virtanen, 2001). Fibronektin berfungsi mengikat heparin, fibrin,

kolagen, DNA dan permukaan sel. Fibronektin merupakan anggota kelas integrin

transmembran dan berinteraksi dengan reseptor sel, protein ini berperan penting

dalam perlekatan sel pada MES (Murray et al., 2009).

Fibronektin mempunyai tempat khusus untuk berikatan dengan komponen

MES yang lain (berspektrum luas) seperti kolagen, heparin dan proteoglikan

(Robbins et al.,2007).

Pada plasenta manusia, molekul fibronektin terdapat pada lapisan amnion,

membran basal, lapisan korion, desidua, plasenta fibrinoid, vili dan umbilical cord

(Demir-Weuesten, 2002).

Fibronektin terdiri dari fibronektin tipe I, II, dan III, dimana terjadi

pengulangan yang berbeda pada monomer karena differential splicing mRNA

fibronektin, dan lebih dari 20 varian monomer berbeda telah diidentifikasi sampai

saat ini (White, et al., 2008). Fibronektin terbentuk dari dua sub-unit dengan berat

masing-masing sekitar 250kD. Domain ikatan sel mengandung

arginin-glisin-asam aspartat (RGD) yang merupakan sekuensi penting untuk interaksi

sel integrin dan RGD site (Jourdan, 2010).

2.8 Fibronektin dan vitamin C

Jumlah proteoglikan, fibronektin dan protein microfibrillar meningkat

(37)

memicu terjadinya penggabungan ['4 C] prolin menjadi protein seluler dan

perubahan parameter pertumbuhan sel dan morfologi. Hanya sejumlah kecil

fibronektin hadir dalam matriks ketika askorbat tidak ditambahkan, meskipun

terdapat jumlah fibronektin yang cukup signifikan dalam serum. Hal ini

menunjukkan bahwa kolagen memberikan tempat yang diperlukan untuk ikatan

fibronektin

2.9 Kerangka Teori

(Schwartz, et al., 2000).

Gambar 2.5 Kerangka teori

Peningkatan risiko premature rupture of membrane (PROM)

Pemberian acetylsalicylic acid jangka panjang

Peningkatan ekskresi ascorbic acid (vitamin C)

Defisiensi ascorbic acid (vitamin C)

Gangguan struktur, stabilitas cross-link kolagen, ketebalan selaput ketuban Gangguan hidroksilasi prolin

(38)

2.10 Kerangka konsep

Gambar 2.6 Kerangka konsep

Perempuan hamil dengan APS atau mengalami/mempunyai riwayat

pre-eklamsia dan eklamsia, diberikan salah satu regimen pengobatan ASA/Aspirin

dosis rendah (80-325mg). Pemberian ASA yang terus menerus selama proses

kehamilan dapat menyebabkan defisiensi ascorbic acid (vitamin C) melalui

mekanisme interaksi kedua obat. ASA menurunkan kadar ascorbic acid (vitamin Perempuan hamil + APS atau mengalami/mempunyai

riwayat pre-eklamsia dan eklamsia

Terapi anti-agregasi trombosit

Pemberian ASA dosis rendah (80-100 mg)

Peningkatan ekskresi ascorbic acid (vitamin C)

Defisiensi ascorbic acid (vitamin C)

Gangguan sintesa kolagen Gangguan hidroksilasi prolin Gangguan sintesa fibronektin

Mempengaruhi ketebalan selaput ketuban

(39)

Defisiensi ascorbic acid (vitamin C) mempengaruhi pembentukan struktur

kolagen, stabilitas cross-link, struktur fibronektin MES dan ketebalan lapisan

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan penelitian

cross sectional (potong lintang).

3.2 Lokasi dan waktu penelitian

3.2.1 Lokasi penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di beberapa praktek spesialis kandungan

di kota Medan. Proses pembuatan dan pembacaan preparat imunohistokimia

dilaksanakan di laboratorium Patologi Anatomi, sedangkan pembacaan preparat

histopatologi (pengukuran ketebalan jaringan) dilaksanakan di Laboratorium

Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

3.2.2 Waktu penelitian

Penelitian dilakukan selama 14 bulan, dari bulan April 2013 sampai Mei

2014 yang mencakup pembacaan proposal, pengumpulan data, pengolahan,

analisis data dan pelaporan hasil.

3.3 Populasi dan sampel penelitian

3.3.1 Populasi penelitian

Semua perempuan hamil (20-45 tahun), yang berobat ke klinik dokter

(41)

3.3.2 Sampel penelitian

− Perempuan hamil (20-45 tahun) dengan kehamilan normal dan tidak mendapat

acetylsalicylic acid(ASA).

− Perempuan hamil (20-45 tahun) dengan salah satu diagnosa:

APS

− Mengalami/mempunyai riwayat pre-eklamsia/eklamsia dan mendapat

acetylsalicylic acid(ASA) dosis rendah (80-100 mg/hari).

3.3.3 Cara pengambilan sampel

Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode consecutive

sampling, bagi perempuan hamil yang memenuhi kriteria penelitian (kriteria

inklusi dan eksklusi). Pengambilan sampel akan dihentikan bila jumlah minimal

sampel telah terpenuhi.

3.4 Besar sampel

Untuk membuktikan hipotesis adanya perbedaan gambaran histopatologi

antar subyek, digunakan rumus besar sampel untuk uji analitik komparatif

numerik tidak berpasangan (Dahlan, 2010).

Rumus :

(

)

α= tingkat kemaknaan (ditetapkan peneliti) α= 0,05 zα

β= power of test (ditetapkan peneliti) 80% z = 1,96

β

σ= simpangan baku = 0,3 (penelitian sebelumnya)

= 0,824

(42)

(

)

Dari rumus di atas, didapatkan besar sampel minimal adalah 35 orang.

Untuk membuktikan hipotesis adanya perbedaan tampilan imuno-histokimia

fibronektin selaput ketuban antara subjek, digunakan rumus besar sampel untuk

uji analitik komparatif kategorik tidak berpasangan (Dahlan, 2010). Jika kesalahan tipe 1 ditetapkan 5%, hipotesis 1 arah sehingga Zα=1,96, kesalahan tipe II

Dari rumus di atas, didapatkan besar sampel minimal adalah 32 orang.

Berdasarkan kedua rumus yang digunakan, disimpulkan bahwa besar sampel

minimal yang akan diambil untuk menilai perubahan gambaran histopatologi dan

tampilan imunohistokimia pada penelitian ini adalah 35 orang perempuan hamil.

Setelah menjalani proses pengambilan sampel selama 5 bulan, ternyata

jumlah kelompok kasus yang dibutuhkan masih belum memenuhi jumlah sampel

yang dibutuhkan. Sehingga karena keterbatasan waktu dan dana, maka besar

sampel untuk kelompok kasus dihitung kembali dengan cara memperbanyak

kontrol dengan rumus sebagai berikut (Dahlan, 2010).

�′ = �(�+ 1)

(43)

n’= besar sampel kasus

n= besar sampel semula

c= jumlah kontrol= 2 (karena direncanakan 2 kontrol/kasus)

n’ = 35(2+1)

2�2

n’ = 105

4 =26,3  27

Dari rumus di atas didapatkan jumlah kasus sebanyak 27 orang, jumlah

kontrol sebanyak 2x27= 54 orang, sehingga total sampel adalah 81 orang.

3.5. Kriteria inklusi dan eksklusi

3.5.1 Kriteria inklusi

− Perempuan hamil (20-45 tahun)

− Usia kehamilan > 37 minggu

− Kehamilan normal (tanpa APS, tidak mengalami/mempunyai riwayat

pre-eklamsia/eklamsia dan tidak mendapat ASAkelompok kontrol

− Kehamilan dengan salah satu diagnosa:

APS

− Mengalami atau mempunyai riwayat pre-eklamsia/eklamsia dan

mendapat ASA dosis rendah (80-100 mg/hari) sejak trimester

pertama kehamilan dan berhenti pada waktu 2 minggu sebelum

tanggal taksiran persalinan (TTP) kelompok kasus

− Persalinan spontan atau sectiocaesarea

− Sampel jaringan selaput ketuban: berwarna putih dan mengkilat; tanpa

(44)

− Bersedia ikut dalam penelitian (bersedia untuk menandatangani

informed consent)

3.5.2 Kriteria eksklusi

− Diabetes mellitus

− Diabetes gestasional

− Perokok

− Kehamilan kembar

3.6 Kerangka operasional

Gambar 3.1 Kerangka operasional

Kehamilan dengan APS/ mengalami atau mempunyai riwayat pre-eklamsia/eklamsia

dan mendapat acetylsalicylic acid(ASA) dosis rendah (80-100 mg)

Informed consent

Kehamilan normal dan tidak mendapat acetylsalicylic acid(ASA)

Perempuan hamil (usia 20-45 tahun)

Kriteria inklusi dan eksklusi

(45)

3.7 Identifikasi variabel penelitian

− Variabel bebas : acetylsalicylic acid (ASA) dosis rendah (80-100 mg)

− Variabel tergantung :

− Gambaran histopatologi selaput ketuban ( ketebalan lapisan amnion

dan korion)

− Tampilan imunohistokimia fibronektin selaput ketuban

3.8 Definisi operasional

Selaput ketuban:

Selaput yang melindungi janin, terdiri atas amnion dan korion; berwarna

putih mengkilat

Gambaran histopatologi selaput:

Adalah ketebalan lapisan kolagen pada lapisan amnion dan lapisan korion.

− Hasil pengukuran: dinyatakan dalam satuan µm.

− Alat ukur: sediaan histopatologi selaput ketuban, mikroskop Primostar

ZEISS yang dilengkapi kamera Axiocam ERc5s dan software Axiovision

Rel. 4.8.2 (06-2010).

− Skala pengukuran : numerik.

Lapisan amnion:

Lapisan yang terdiri dari epitel amnion, membran basal, lapisan kompak,

lapisan fibroblas, lapisan intermediat (spongy).

Lapisan korion:

(46)

Tebal lapisan amnion:

Ketebalan yang diukur dari batas atas epitel amnion sampai batas bawah

lapisan intermediat (spongy).

Tebal lapisan korion:

Ketebalan yang diukur dari batas bawah lapisan intermediat (spongy)

sampai batas bawah membran basal (batas atas trophoblast).

Tebal kolagen lapisan amnion:

Ketebalan yang diukur dari batas bawah epitel amnion sampai batas bawah

lapisan intermediat (spongy)

Tebal kolagen lapisan korion:

Ketebalan yang diukur dari batas bawah lapisan intermediat (spongy)

sampai batas bawah membran basal (batas atas trophoblast).

Acetylsalicylic acid (ASA) dosis rendah

Acetylsalicylicacid(ASA) dosis 80-100 mg

Kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia

Penilaian intensitas tampilan pewarnaan dengan ketentuan : 0 = negatif

1 = lemah 2 = sedang 3 = kuat

Luas tampilan pewarnaan imunohistokimia

Penilaian luas tampilan pewarnaan dengan ketentuan : 0 = negatif

(47)

Tampilan imunohistokimia

Perkalian kekuatan intensitas pewarnaan dengan luas tampilan pewarnaan

imunohistokimia dengan penilaian skor :

0 = negatif

1-3 = tampilan lemah 4-6 = tampilan sedang 7-9 = tampilan kuat

(modifikasi quantitative method score/Q-score)

− Hasil pengukuran: dinyatakan dalam Q-score.

− Alat ukur: sediaan imunohistokimia (IHC) selaput ketuban, mikroskop

cahaya merk Olympus CX21

− Skala pengukuran : kategorik

3.9. Bahan dan alat penelitian

3.9.1 Bahan penelitian

− Jaringan selaput ketuban

− Larutan neutral buffered formalin, larutan alkohol 70%, 80%, 90%,

95%, 100%, aseton, xylol, parafin, albumin, gliserin, timol, larutan

haematoxylin , larutan eosin, entelan balsam Canada, antibodi fibronektin

14-9869 clone FN-3mouse anti-human

3.9.2 Alat penelitian

purified eBioscience.

− Mikrotom (Leica RM 2245), blade mikrotom (Leica) kaset, cetakan blok

parafin, lemari pendingin, waterbath, hot plate (Thermo), stainning jar,

stanning rack, sengkelit, glas objek, glas penutup, vortex, automatic

(48)

+Axiocam ERc5s yang dilengkapi software Axiovision Rel. 4.8.2

(06-2010).

3.10 Prosedur penelitian

3.10.1 Pengumpulan data

1. Perempuan hamil (20-45 tahun) yang mendapatkan acetylsalisilic acid

(ASA) dosis rendah (80-100 mg) yang memenuhi kriteria penelitian

diminta kesediaannya untuk ikut serta dalam penelitian.

2. Subjek yang bersedia ikut serta dalam penelitian, diminta

persetujuannya dalam bentuk informed consent tertulis. Pada calon

subjek penelitian satu persatu diberikan penjelasan secara lisan dan

tulisan tentang tujuan, manfaat dan prosedur penelitian.

3. Pada saat subjek mengalami persalinan, dilakukan pengambilan sampel

selaput ketuban di rumah sakit/klinik tempat subjek melakukan

persalinan untuk dilakukan pemeriksaan makroskopis selaput ketuban.

4. Kemudian dilakukan fiksasi jaringan selaput ketuban dan dibawa ke

laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi dan

imunohistokimia fibronektin.

3.10.2 Prosedur perlakuan jaringan

Setelah menentukan daerah yang ruptur pada selaput ketuban, dibuat

daerah dengan lebar sekitar 10 cm. Dengan menggunakan forsep, bagian yang

(49)

selaput ketuban. Kemudian gulungan jaringan tersebut difiksasi dan dilakukan

pengirisan.

Gambar 3.2 Pembuatan gulungan selaput ketuban (dikutip dari Benirschke and

Kaufmann, 2006)

3.10.3 Prosedur pembuatan sediaan histopatologi

a. Fiksasi

− Jaringan dimasukkan ke dalam larutan neutral buffered formalin,

dan difiksasi selama 18-24 jam.

− Setelah itu, jaringan dimasukkan ke dalam larutan aquadest

selama 1 jam; ini bertujuan untuk penghilangan larutan fiksasi.

b. Dehidrasi

− Potongan jaringan dimasukkan dalam alkohol konsentrasi

bertingkat 70%, 80%, 90% (masing-masing 1 hari)  alkohol 95%

selama 2 hari, 2 kali pergantian alkohol 100% selama 2 hari,

2 kali pergantian

c. Penjernihan (clearing)

− Jaringan direndam di dalam larutan xylol sebanyak 20 kali volume

(50)

d. Pembenaman/ infiltrasi (Impregnasi)

− Jaringan dimasukkan ke dalam parafin cair dan disimpan di oven

yang bersuhu 60⁰C, selama 3 x 1 jam.

e. Pengecoran (Blocking)

− Parafin dituang secukupnya pada cetakan, kemudian letakkan

jaringan pada dasar cetakan dan beri label.

f. Pengirisan (Sectioning)

− Blok paraffin diiris dengan mikrotom dengan ketebalan potongan ±

5-10 µm

− Atur jarak preparat yang dipegang holder kearah pisau sedekat

mungkin

− Gerakkan rotor pada mikrotom secara ritmis searah jarum jam.

− Buang pita parafin awal yang tanpa jaringan.

− Setelah irisan mengenai jaringan, iris blok paraffin hati-hati.

− Pita paraffin yang diinginkan dipindahkan dengan sengkelit ke atas

air dalam waterbath suhu 55⁰C

− Setelah pita parafin terkembang dengan baik, tempelkan pada kaca

objek yang telah disalut (50 ml albumin + 50 ml gliserin + sedikit

timol dan disimpan pada refrigerator bersuhu 4⁰C)

− Kaca objek yang berisi pita paraffin dibiarkan mengering

(51)

g. Pewarnaan dengan Haematoxylin dan Eosin

− Jaringan pada kaca objek dilakukan deparafinisasi dengan xylol

selama 2x2 menit.

− Hidrasi dengan alkohol 100% (selama 2x2 menit); alkohol 95%

(selama 2 menit); 90% (selama 2 menit), 80% (selama 2 menit);

70% (selama 2 menit); air kran (selama 3 menit).

− Inkubasi dalam larutan Haematoxylin Mayer selama beberapa

menit.

− Cuci dalam air kran mengalir selama 15-20 menit.

− Observasi di bawah mikroskop, bila masih terlalu biru cuci lagi

dengan air mengalirbbeberapa menit. Bila sudah cukup warna

lanjutkan dengan counterstaining.

Counterstaining dengan Eosinworkingsolution beberapa menit.

− Dehidrasi dengan larutan alkohol dengan gradasi peningkatan

persentase dari 70%, 80%, 90%, 95%, 100% (masing-masing

selama 2 menit).

− Inkibasi dengan Xylol 2x masing-masing selama 2 menit.

− Mounting dengan EntellanTM

− Beri label dan biarkan hingga entellan mongering. Hasil pewarnaan

pada inti berwarna biru dan sitoplasma berwarna kemerahan. balsam Kanada dan coverglass.

3.10.4 Pembacaan/interpretasi sediaan (slide) histologi (pengukuran ketebalan jaringan)

(52)

ERc5s. Tiap sediaan diperiksa pada 3 area (dengan arah jam 12; teknik Fujikura)

(Benirschke and Kaufmann, 2006) yang masing-masing mewakili tiap lapisan

dari gulungan selaput ketuban.

Prosedur pembacaan dilakukan sebagai berikut: Setelah sediaan

diletakkan di mikroskop, dipilih lapang pandang dengan pembesaran 10 kali. Pada

monitor komputer yang dilengkapi software Axiovision Rel. 4.8.2 (06-2010)

tampak beberapa MENU pilihan. Pada toolbar tampak MENU Live, lalu

ditentukan area yang akan diukur, pilih MENU Snap kemudian Measure. Dari

menu ini dipilih option Length dan dengan menggunakan mouse tarik garis dari

batas bawah epitel aminon sampai batas bawah membran basal korion pada

daerah yang berwarna merah sesuai dengan gambaran kolagen dari pewarnaan

tersebut. Hasil tersebut adalah ketebalan kolagen pada lapisan amnion dan korion.

Data gambar dan hasil pembacaan kemudian disimpan dalam file.

3.10.5 Prosedur pembuatan sediaan (slide) imunohistokimia

1. Dilakukan deparafinisasi sediaan dengan memasukkan sediaan

ke dalam larutan xylol 1, xylol 2 dan xylol 3 selama masing-masing

5 menit

2. Kemudian dilakukan proses rehidrasi untuk menghilangkan sisa xylol

dengan menggunakan larutan alkohol absolut, alkohol 90%, alkohol

80%, alkohol 70% selama masing-masing 4 menit

3. Lalu sediaan dicuci di bawah air mengalir selama 5 menit

4. Masukkan sediaan ke dalam mesin pengering merk PT Link Dako

Epitop Retrieval lalu diatur set up preheat 65 ⁰C, running time 98⁰ C

(53)

5. Selanjutnya jaringan pada sediaan dilingkari dengan spidol Pap pen

agar pada saat penetesan antibody atau cairan lainnya tidak keluar

melewati batas lingkaran Pap pen. Kemudian segera dimasukkan ke

dalam larutan Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 selama 5 menit

6. Kemudian dilakukan blocking dengan peroksidase selama 5-10 menit

dan dicuci TBSpH 7,4 selama 5 menit

7. Selanjutnya dilakukan blocking dengan Normal Horse Serum (NHS

3%) selama 15 menit dan dicuci dengan TBS pH 7,4 selama 5 menit

8. Jaringan pada sediaan ditetesi antibodi primer (antibodi anti-Human

fibronectin purified clone FN-3 eBioscience

9. Lalu dicuci kembali dengan TBS pH 7,4 dan Tween 20 selama

5 menit

) dengan pengenceran

1 : 100 dan di-inkubasi selama 1 jam

10. Selanjutnya jaringan pada sediaan ditetesi Dako Real Envision

Rabbit/Mouse dan inkubasi selama 30 menit dan kembali dicuci

dengan TBSpH 7,4 dan Tween 20 selama 5 -10 menit)

11. Jaringan pada sediaan ditetesi Diamino Benzidine (DAB)+substrat

chromogen solution dengan pengenceran 20 µl DAB: 1000 µl substrat

dan diinkubasi selama 5 menit lalu dicuci kembali dengan air mengalir

12. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan Hematoxylin selama

10 menit

13. Cuci dibawah air mengalir selama 5 menit dan celupkan sediaan ke

dalam lithium karbonat (5% dalam aqua) selama 2 menit dan cuci

(54)

14. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan melalui proses dehidrasi

dengan menggunakan alkohol 80%, alkohol 90% dan alkohol absolut

selama masing-masing 5 menit

15. Kemudian dilakukan clearing dengan menggunakan larutan xylol 1,

xylol 2 dan xylol 3, masing-masing 5 menit

16. Selanjutnya dilakukan mounting dan tutup sediaan dengan coverglass

dan sediaan siap untuk dinilai. (Singapore General Hospital/SGH

methode)

3.10.6 Pembacaan/interpretasi sediaan (slide) imunohistokimia (tampilan fibronektin pada jaringan)

Setelah sediaan diletakkan pada mikroskop, dipilih pembesaran 4x untuk

menilai luas tampilan dan pembesaran 100x untuk menilai intensitas pewarnaan.

Penilaian tampilan pewarnaan imunohistokimia fibronektin sebagai berikut:

− Kontrol positif digunakan jaringan human plasenta normal yang berfungsi

sebagai pembanding tampilan warna coklat yang terwarnai dari hasil

pewarnaan imunohistokimia.

− Sediaan yang tertampil warna coklat pada membran sitoplasma dikatakan

positif dan negatif bila tidak tertampil warna coklat.

− Penilaian intensitas pewarnaan dengan cara membandingkan sediaan sampel

penelitian dengan sediaan kontrol.

Intensitas tampilan :

0 = tidak tertampil warna coklat/negatif

(55)

Luas tampilan :

1 = luas tampilan warna coklat yang tertampil< 25% 2 = luas tampilan warna coklat yang tertampil 25-50% 3 = luas tampilan warna coklat yang tertampil >50%

Tampilan imunohistokimia :

0 = negatif

1 - 3 = tampilan lemah 4 - 6 = tampilan sedang 7 - 9 = tampilan kuat

3.10.7 Keandalan

− Pengukuran ketebalan selaput ketuban dilakukan oleh peneliti dengan

koefisien variasi < 10%.

− Penilaian/pembacaan sediaan imunohistokimia dilakukan oleh peneliti dan

satu orang ahli patologi anatomi dengan cara tersamar. Inter-rater

reliability (keandalan antar pemeriksa) ditetapkan dengan perbedaan tidak

lebih dari satu tingkat skor.

3.11 Pengolahan dan analisis data

Data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rerata ±

SD). Untuk penilaian perbedaan gambaran histopatologi (rerata ketebalan selaput

ketuban) antara subjek dilakukan uji normalitas dan homogenitas data. Jika data

berdistribusi normal dan homogen maka dilakukan uji t tidak berpasangan. Jika

distribusi data tidak normal atau tidak homogen, dilakukan uji Mann-Whitney.

Untuk penilaian perbedaan tampilan imunohistokimia antara subjek,

(56)

uji Chi square, bila syarat tidak terpenuhi lakukan uji Fisher. Semua analisis data

dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 20.0.

3.12 Etik penelitian

Penelitian akan dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Komisi Etik

Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kepada calon sampel penelitian, diberikan penjelasan tertulis dan lisan

tentang tujuan, manfaat serta prosedur penelitian. Pasien berhak menolak untuk

ikut serta dalam penelitian, dan bagi pasien yang bersedia ikut serta dimintakan

persetujuan dengan informed consent tertulis. Identitas subjek penelitian

dirahasiakan.

Seluruh biaya yang berhubungan dengan penelitian ditanggung oleh peneliti

dan kepada subjek penelitian diberikan imbalan sesuai kemampuan peneliti.

3.13 Jadwal penelitian

Keseluruhan kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Jadwal penelitian

No Kegiatan Mar

3 Pengolahan dan analisa data xx

(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil pengukuran

ketebalan selaput ketuban (ketebalan lapisan amnion dan korion) dan tampilan

fibronektin dengan pewarnaan imunohistokimia pada selaput ketuban 2 kelompok

pengamatan, yaitu: kelompok kontrol (tidak mendapat ASA) dan kelompok kasus

(mendapat ASA dosis rendah).

4.1.1 Perbandingan ketebalan selaput ketuban pada kelompok kasus (mendapat ASA dosis rendah) dan kelompok kontrol (tidak mendapat ASA)

Tabel 4.1 Rerata dan simpangan baku ketebalan selaput ketuban pada kelompok kasus dan kelompok kontrol

Kelompok Rerata SD Minimum

Keterangan: SD (Standard deviation)/simpangan baku

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rerata ketebalan selaput ketuban kelompok

kasus (85,18±15,98) lebih tipis dibandingkan kelompok kontrol (111,68±27,19).

Pada kelompok kasus, selaput ketuban yang paling tipis adalah 52,68 µm dan

yang paling tebal adalah 127,46 µm; sedangkan pada kelompok kontrol,

(58)

204,22 µm. Grafik histogram ketebalan selaput ketuban pada masing-masing

kelompok ditampilkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Grafik rerata ketebalan selaput ketuban (lapisan amnion dan korion) pada kelompok kasus dan kontrol (*p<0,05)

Hasil perhitungan analisis statistik terhadap rerata ketebalan selaput

ketuban pada kelompok kasus dan kontrol disajikan pada lampiran 6, dan dapat

dilihat dalam bentuk grafik histogram (Gambar 4.1).

Dari hasil uji normalitas dan homogenitas data, ternyata data dari hasil

penelitian tidak terdistribusi normal dan tidak homogen, sehingga dilakukan

pengulangan transformasi data sebanyak 3 kali, tetapi distribusi data masih tetap

tidak normal. Dengan demikian uji statistik dilakukan dengan uji non- parametrik

Mann Whitney.

Hasil uji statistik Mann Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang

bermakna antara tebal selaput ketuban pada kelompok kasus dan kelompok

kontrol (p<0,05).

(59)

4.1.2 Perbandingan kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban kelompok kasus (mendapat ASA dosis rendah) dan kelompok kontrol (tidak mendapat ASA)

Tabel 4.2 Rerata dan simpangan baku kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada selaput ketuban kelompok kasus dan kontrol

Kelompok Rerata SD Minimum

(skor)

Maksimum (skor)

Kasus

ASA (+)

0,89 0,64 0 2

Kontrol

ASA (-) 1,87 0,65 1 3

Keterangan: SD (Standard deviation)/simpangan baku

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kekuatan intensitas pewarnaan

imunohistokimia fibronektin selaput ketuban pada kelompok kasus (0,89±0,64)

tertampil lebih lemah dibandingkan kelompok kontrol (1,87±0,65). Pada

kelompok kasus, skor kekuatan intensitas pewarnaan yang tertampil paling

rendah adalah 0 dan skor yang paling tinggi adalah 2; sedangkan pada kelompok

kontrol skor kekuatan intensitas pewarnaan yang tertampil paling rendah adalah 1

dan skor yang paling tinggi adalah 3. Grafik histogram kekuatan intensitas

pewarnaan imunohistokimia fibronektin selaput ketuban pada masing-masing

(60)

Gambar 4.2. Grafik rerata kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia fibronektin pada kelompok kasus dan kontrol (*p<0,05)

Hasil perhitungan analisis statistik rerata kekuatan intensitas pewarnaan

imunohistokimia fibronektin pada kelompok kontrol dan kasus, disajikan pada

lampiran 6, dan dapat dilihat dalam bentuk grafik histogram (Gambar 4.2).

Penilaian perbedaan kekuatan intensitas pewarnaan imunohistokimia

fibronektin antar kelompok, tidak memenuhi syarat untuk uji Chi Square maupun

uji Fisher, sehingga analisis data dilanjutkan dengan uji Mann Whitney, yang

menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kekuatan intensitas pewarnaan

imunohistokimia fibronektin selaput ketuban pada kelompok kasus dan kelompok

Gambar

Gambar 2.2 Mikroskopik selaput ketuban pewarnaan Haematoxylin-Eosin (HE) (AE: amniotic epithelial layer, AM: amniotic mesenchymal layer, CM: chorionic mesenchymal layer, CT: chorionic trophoblastic (Parolini et al., 2008)
Gambar 2.3 Struktur mikroskopis selaput ketuban (Parry dan Strauss, 1998)
Gambar 2.4 Biosintesa kolagen (Junqueira, 2007)
Gambar 2.5 Kerangka teori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya tingkat konsumsi produk rambut dan bulu mata palsu negara- negara Uni Eropa dan terus meningkatnya permintaan akan produk tersebut membuka peluang bagi

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kecukupan modal, dan resiko pembiayaan berpengaruh negatif terhadap profit distribution management sedangkan variabel

Daerah ini pada jaman es melanda dunia pada masa plestosin jutaan tahun yang lalu, merupakan bagian daratan yang menghubungkan pulau Sulawesi dengan daratan Filipina bahkan

Saran yang perlu ditindaklanjuti, antara lain: (1) Untuk meningkatkan gaya kepemimpinan, disarankan agar secara efektif pemimpin benar-benar memperha- tikan: pengaruh

“Pertumbuhan dan Produksi Ubi Kayu ( Manihot esculenta Crantz) menggunakan Teknik Sambung Mukibat dengan Penambahan Bahan Organik”, yang akan dilakukan di lahan kebun

Maka dirancanglah sebuah jam digital menggunakan real time clock berbasis mikrokontroler yang dapat mengatur bunyi bel secara otomatis dan memiliki pusat jam, sehingga

Jemaat GKI (Gereja Kristen Injili) Betlehem Wamena merupakan jemaat terbesar untuk wilayah pelayanan Klasis Baliem Yalimo. Proses pendataan, pengolahan, penyajian dan

penemuan, guru berperan antara lain sebagai berikut. 1) Guru merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki