• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORETIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORETIS"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN TEORETIS

A. Pengertian Perkawinan

Dalam hukum Islam, perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia

disamping itu merupakan asal usul dari suatu keluarga, yang mana keluarga sebagai

unsur dari suatu negara.

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu

akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan

untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan

suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah

wa rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah swt.1

Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan

peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan. Allah tidak

menjadikan manusia seperti makhluk-makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti

nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara bebas atau tidak ada

aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah swt

memberikan tuntutan yang sesuai dengan martabat manusia. Bentuk perkawinan ini

memberi jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara keturunan dengan

baik dan menjaga harga diri agar ia tidak laksana rumput yang dapat di makan oleh

binatang ternak manapun dengan seenaknya.2

1Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Yogyakarta: LibertyYogyakarta, 1989), h. 9.

2Slamet Dam Aminuddin, Fiqih Munakahat I (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), h. 298.

(2)

Mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih

sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai Allah swt.3

Sementara Sulaiman Rasyid berpandangan bahwa perkawinan ialah aqad

yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong

menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.

Sedangkan Prof. Dr. H. Mahmud Yunus berpendapat bahwa perkawinan ialah

aqad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur

oleh syari’at.4

Melihat pengertian perkawinan yang diberikan oleh cendekiawan muslim

tampaknya hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan yaitu

kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan

yang semula dilarang menjadi dibolehkan, yaitu kebutuhan melakukan hubungan

kelamin setelah berlangsungnya aqad nikah untuk mendapatkan kesenangan dari

pasangannya.

Dalam kaitan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih

luas, bahwa perkawinan ialah Aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan

mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan perempuan dan

mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta

pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.5

3Abd. Kadir Ahmad, Sistem Perkawinan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, h. 17.

4Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam(Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1985), h. 1

(3)

B. Hukum Perkawinan

Perkawinan adalah sebuah perbuatan yang diperintahkan Allah dan disuruh

oleh Nabi saw. Banyak seruan Allah dan Nabi saw untuk melaksanakan perkawinan.

Diantaranya Firman Allah dalam (QS An-Nuur/24: 32) yang berbunyi :













Terjemahnya:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari budak sahayamu yang lelaki dan budak-budak sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.6

Manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi kelangsungan

hidupnya.Karena itu agama Islam menganjurkan orang untuk segera

menikah.Menikah adalah naluri hidup manusia, hal ini merupakan sebuah keharusan

bahkan merupakan kewajiban bagi setiap orang yang sanggup

melaksanakannya.Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat

penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Dalam hal itu, Nabi saw bersabda:

(4)

kawinlah.Karena sesungguhnya kawin itu dapat mengurangi pandangan mata dari yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Dan barang siapa yang tidak mampu untuk kawin, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu baginya pengekang hawa nafsu.

Ajaran Islam perkawinan bukan sekedar hubungan yang terjadi antara

laki-laki dan perempuan, tetapi berkaitan fitrah manusia dan sunnah Rasulullah saw

yang mengacu pada niat seseorang untuk melangsungkan perkawinan.Al-Jaziry

mengatakan bahwa:Sesuai dengan keadaan orang yang akan melakukan perkawinan,

hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib,

haram, makruh, sunnat (mandub) dan adakalanya mubah.8

Melihat kepada hakikat perkawinan yang merupakan aqad atau perjanjian

yang menghalalkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya

diharamkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu adalah mubah.

Namun, dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnatullah, fitrah manusia dengan

sunnah Rasulullah saw yang mengacu kepada niat seseorang melangsungkan

perkawinan, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum perkawinan itu hanya

semata mubah. Oleh karena itu, hukum perkawinan berubah-ubah sesuai keadaan dan

motif orang yang akan melangsungkan perkawinan.

7Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari(Mesir: Darul Fiqr, 1347 H), h. 3.

(5)

Dengan demikian, perkawinan dapat menjadi wajib manakala kedua

mempelai sudah mampu secara fisik, materi dan mentalitas batiniahnya. Jika orang

yang dengan kondisi ini tidak menikah, sedang nafsu seksualnya tidak dapat ditahan

lagi, ia akan berdosa.

Berbeda halnya dengan seseorang yang mampu secara lahiriah dan batiniah,

tetapi ia mampu menahan nafsu seksualnya, maka menikah baginya hukumnya

sunnah.

Adapun orang yang tidak memiliki kemampuan, baik kemampuan lahiriah

maupun kemampuan batiniah (tidak mampu menunaikan kewajibannya terhadap

istrinya, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin), maka menikah baginya hukumnya

haram, karena akan membahayakan hidup dalam berumah tangga.

Sedangkan seseorang yang hanya mengandalkan kemampuan seksualitasnya,

akan tetapi secara ekonomi dan kemampuan materialnya masih nol, maka menikah

baginya hukumnya makruh.Sementara seseorang yang tidak terdesak oleh

alasan-alasan yang mewajibkan segera menikah atau alasan-alasan-alasan-alasan yang mengharamkan

menikah, maka menikah baginya hukumnya mubah.

Dari beberapa hukum perkawinan yang bervariasi sebagaimana telah

dikemukakan di atas, tampak jelas bahwa perkawinan itu memerlukan kesiapan

mental spiritual, kesiapan lahir dan batin.Karena perkawinan itu adalah suatu hal

yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan hukum antara suami dan

istri.Dengan perkawinan timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban,

diantaranya kewajiban membeli belanja rumah tangga, melindungi istri, hak waris,

(6)

sebagian lainnya, haram untuk seogolongan tertentu, dan makruh untuk segolongan

yang lain.

C. Syarat dan Rukun Perkawinan

Pada dasarnya perdebatan tentang syarat dan rukun nikah merupakan masalah

yang serius di kalangan para ulama dan imam mazhab. Sehingga terjadi silang

pendapat berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan yang mana yang tidak.

Bahkan terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan mana yang termasuk rukun

dan yang manah yang termasuk syarat.9

Namun terlepas dari istilah yang digunakan oleh ahli hukum islam di atas,

penulis dalam hal ini menggunakan istilah dan rukun syarat perkawinan yang

diterima oleh sebagian besar ulama. Meskipun pada penempatannya berbeda-beda

karena pada dasarnya perlunya pengaturan syarat dan rukun adalah untuk

merealisasikan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah, agar tujuan

disyari’atkannya perkawinan dapat tercapai.

Adapun rukun perkawinan yang disertai syarat-syarat tertentu tersebut,

diantaranya yaitu;10

a. Adanya calon suami atau mempelai laki-laki.

b. Adanya calon isteri, atau calon mempelai perempuan.

9Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-undang No.1/1974 sampai KHI (Jakarta:Kencana Prenada Media Group), cet. Ke-3, h. 60.

(7)

c. Adanya wali.

d. Ijab qabul.

e. Saksi nikah.

Adapun undang-undang perkawinan menetapkan bahwa syarat-syarat

perkawinan diatur dalam pasal 6 s.d pasal 11 UU RI No.1 tahun 1974 tentang

perkawinan, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut11:

a. Terdapat persetujuan kedua mempelai.

b. Terdapat izin dari orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berumur

21 (dua puluh satu) tahun.

c. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan

mempelai perempuan sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.

d. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah yang dilarang

kawin.

e. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain.

f. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau isteri yang sama,yang

hendak dikawini.

g. Bagi seorang perempuan (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum masa tunggu

berakhir. 12

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur tentang rukun dan

syarat perkawinan dalam pasal 14 yaitu dalam satu perkawinan harus ada:

a. Calon suami,

b. Calon isteri,

11 Lihat Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan, h.142-143

(8)

c. Wali nikah,

d. Dua orang saksi,

e. Ijab dan Kabul.13

D. Pesta perkawinan (Walima )

Pesta perkawinan atau walimah adalah adalah istilah yang terdapat dalam

literature Arab yang secara arti kata berarti jamuan yang khusus untuk prkawinan

dan tidak digunakan untuk perhelatan di luar perawinan dan ulama menggunakan

kata walimahitu untuk setiap jamuan makan, untuk setiap kesempatan

mendapatkan kesenangan, hanya penggunaan untuk kesempatan perkawinan lebih

banyak. Berdasarkan pendapat ahli bahasa diatas untuk selain kesepatan

perkawinn tidak digunakan kata walima meskipun jua menghidankan makanan.

Defenisi yang terkenal dalam ulama walima al-ursy diartikan dalam rangka

mengsyukuri nikmat Allah atas telah terterlaksananya nikmat Allah swt, atas telah

terlaksananya akad perkawinan dfengan menghidankan, Walimah al-ursiy

mempunyai nilai melebihi nilai melebihi helatan lainya. Oleh karena itu walima

al-usry dibicarakan dalam setiap kitap fiqh. 14

Perintah Nabi untuk mengadakan walimah tidak mengandung arti wajib

tetapi hanya sunnah menurut jumhur ulama karena demikian hanya merupkan

tradisi yang hidup melanjutkan tradisi yang berlaku di kalangan kalangan Arab

sebelum Islam dating, pelaksanaan walimah masa lalu itu juga di akui oleh Nabi

untuk dilanjutkan dengan sedikit perubahan dengan menyesuaikanya dengan

tuntutan Islam.

13Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 116-117.

(9)

Hikma dari walimah adalah untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa

akad nikah telah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan

dikemudian hari. Ulama Malikiyah dengan tujuaan untuk member tahukan terjadinya

perkawinan itu lebih mengutamakan walimah mengutamakan menghadirkan dua

orang saksi dalam akad perkawinan.

E. Larangan Perkawinan

Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat yang

ditentukan belum tentu perkawinan tersebut sah, karena masih tergantung lagi pada

satu hal, yaitu perkawinan perkawinan itu telah terlepas lagi pada satu hal, yang

menghalang. Halangan perkawinan itu disebut juga dengan larangan perkawinan.

Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam pembahasan ini adalah

orang tidak boleh melakukan perkawinan.Yang dibicarakan disini ialah

perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, atau

sebaliknya laki-laki laki mana saja yang tidak boleh mengawini oleh seorang

perempuan.keseluruhanya diatur dalam AL-Qur’an dan dalam hadis Nabi. Larangan

perkawinan itu ada dua macam:

Pertama:larangan perkawinan yang berlaku haram untuk selamanya dalam arti sampai

kapan pun dan dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh

(10)

Kedua: larangan perkawinan berlaku untuk sementara waktu dalam arti larangan itu

berlaku dalam keadaan dalam waktu tertentu, suatu ketika bila keadaan dan waktu

tertentu itu sudah berubah ia tidak lagi menjadi haram.

1. Mahram maubad

Mahram muabbadyaitu orang-orang yang melakukan pernikahan untuk

selamanya, ada tiga kelompok:

1. Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan.

Perempuan-perempuan yang haram di kawini oleh seorang laki-laki untuk

selamanya disebabkan oleh hubungan kekerabatanatau nasab adalah

sebagai berikut:

1. Ibu

2. Anak

3. Saudara

4. Saudara ayah

5. Saudara ibu

6. Anak dari saudara laki-laki

7. Anak dari saudara perempuan

Keharaman perempuan-perempuan yang disebut sesuai dengan Firman Allah

SWT dalam (QS. An-Nisa/4: 23)

Tujuh orang yang disebutkan diatas dalam ayat AL_Qur’an dinyatakan dalam

bentuk jamak. Dengan demikian, dapat pengertianya dikembangkan secara vertical

(11)

perempuan yang diharamkan untuk dikawini oleh seorang laki-laki karena nasab itu

adalah:

1. Ibu, ibunya ibu,ibunya ayah, dan seterusnya dalam garis lurus keatas .

2. Anak, anak dari anak laki-laki, anak perempuan, dan seterusnya secara garis

lurus kebawah.

3. Saudara, baik sekandung, seayah, atau atau seibu,

4. Saudara ayah, baik hubunganya kepada ayah secara kandung, seayah atau sei

bu, dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.

5. Saudara ibu, baik hubunganya kepada ibu dalam bentuk bentuk kandung,

seayah atau seibu,saudara nenek kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya

dalam garis lurus keatas.

6. Anak saudara laki-laki kandung, seayah atau seibu, cucu saudara laki-laki

kandung, seayah atau seibu, dan seterusnya dalam garis lurus kebawah.

Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin untuk selaman-lamaya

karena hubungan kekerabatan dengan laki-laki tersebut di bawah ini:

Ayah, ayahnya ayah dan ayah ibu dan seterusnya ke atas.

a. Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-lakiatau anak anak perempuan

dan seterusnya ke bawah.

b. Saudara-saudara laki-laki ayah kandung, seayah atau seibu.

c. Saudara-saudara laki-laki ayah, kandung, seayah atau seibu atau dengan

ayah,saudara laki-laki kakek, kandung atau seayah atau seibu dengan kakek,

(12)

d. Saudara-saudara laki-laki ibu, kandung, seayah atau seibu dengan ibu, saudara

laki-laki nenek, kandung,seayah atau seibu dengan nenek, kandung, seayah

atau seibu dengan nenek, dan seterusnya ke atas.

e. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung, seaayah atau seibu cucu laki-laki

dari saudara laki-laki kandung,seayah atau seibu, dan seterusnya garis lurus ke

atas.

f. Anak lakidari saudara perempuan, kandung, seayah atau seibu,cucu

laki-laki dari saudara perempuan kandung, seayah atau seibu dan seterusnyadalam

garis lurus ke bawa.

2. Larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan yang disebut

dengan hubungan mushaharah.

Bila sesorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seorang perempuan,

maka terjadilah hubungan antara hubungan antara si laki-laki dengan si kerabat

perempuan, demikian pula sebaliknya terjadi juga hubungan antara perempuan,

demikian pula sebaliknya terjadi pula hubungan dengankerabat dari laki-laki

itu.Hubungan-hubungan tersebut dinamai hubungan mushahara.Dengan terjadinya

hubungan mushahara itu timbul pula laranga perkawinan.

Perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk

selamanya karena hubungan mushahara itu adalah sebagai berikut:

a. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri.

b. Perempuan yang telah dikawini oleh anak laki-laki atau menantu.

c. Ibu istri atau martua.

d. Anak dari istri dengan ketentuan istri telah digauli.

(13)

Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang

wajar dan legal.Agama Islam tidak membenarkan manusia hidup membujang.Karena

pilihan hidup membujang tidak sejalan dengan kodrat dan naluriyah manusia yang

normal.Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan dan berjodoh-jodohan untuk

melanjutkan keturunan dan yang mana merupakan kebutuhan esensial manusia.Hal

ini sesuai dalam Firman Allah SWT(QS. Az Zariyaat/51: 49) disebutkan:

Terjemahnya:

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.15

Perkawinan bagi manusia diatur oleh berbagai etika dan peraturan yang

menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, beradab dan berakhlak.Karena

itulah perkawinan yang sarat nilai bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.Agama Islam mengaturnya dengan baik

dan detail, dengan syarat-syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkannya

perkawinan untuk membina rumah tangga dan melanjutkan keturunan dapat tercapai

.

Referensi

Dokumen terkait

Regresi logistik ordinal adalah suatu analisis regresi yang digunakan untuk memodelkan hubungan antara variabel bebas dengan variabel respon yang berskala ordinal.. Metode

RSUD Kabupaten Sidoarjo khususnya poliklinik eksekutif diharapkan terus bisa mempertahankan dan meningkatkan pelayanannya, dalam hal ini akan lebih baik apabila ada dokter

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perubahan konsentrasi nitrogen dan fosfor dalam proses reduksi lumpur dengan cacing akuatik.. Penelitian

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam dan dosis pupuk kandang sapi serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata

Mengenai hal tersebut, Lembaga Amil Zakat PKPU menyalurkan dana zakat melalui salah satu program yaitu Program Sinergitas Pemberdayaan Ekonomi Komunitas, program ini

Model terbaik adalah hasil pemodelan dari metode RKU yang ditambahkan peubah boneka pada data presipitasi GCM dengan time lag berdasarkan bentuk model yang lebih

Dari tujuh karakteristik responden Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir hanya dua karakter yang akan diuji dengan menggunakan pengujian regresi linear berganda, diduga dua

Saran yang dapat diberikan terkait dengan sistem sanksi dalam hukum Islam adalah: Negara Indonesia seharusnya tidak membatasi keberlakuan hukum Islam di Indonesia