• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Status dan Pengaturan Tanah di Batam Berdasarkan Politik Hukum Pertanahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II Status dan Pengaturan Tanah di Batam Berdasarkan Politik Hukum Pertanahan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

27 BAB II

STATUS DAN PENGATURAN TANAH DI BATAM BERDASARKAN POLITIK HUKUM PERTANAHAN

A. Politik Hukum Pertanahan di Indonesia

Politik hukum nasional adalah sebagai suatu kebijaksanaan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.1 Selanjutnya dikatakan bahwa dari segi lain masalah politik

hukum adalah mengenai nilai-nilai, penentuan, pengembangan dan pemberian bentuknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

masalah politik hukum nasional akan selalu berupa keharusan atau kebijaksanaan untuk mengadakan suatu pilihan terhadap hukum mana yang harus dibentuk dan diberlakukan serta mengenai kearah mana

hukum hendak dikembangkan dalam suatu wilayah Negara Republik Indonesia yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya,

sehubungan dengan bermacam-macam sistem hukum yang ada.

Politik Hukum adalah Legal Policy yang akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang mencakup2:

1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan,

termasuk materi-materi hukum di bidang pertanahan.

1 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Penerbit Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1986 halaman 160.

2 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Penerbit LaksBang Pressinso, Surabaya,

(2)

28

2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan supermasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum,

fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

3. Politik hukum mencakup proses pembangunan dan

pelaksanaan hukum yang menunjukkan peranan, sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan, termasuk hukum di bidang pertanahan.

Politik hukum pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan

pemeliharaan unsur-unsur agraria yang meliputi : bumi, air dan ruang angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang dituangkan dalam kebijakan (policy) yang dalam kenyataannya tertuang pada kaidah-kaidah hukum

agraria.3

Amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan

kebijakan pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan pada sila kelima Pancasila dalam pembukaan Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan pada

Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Nilai-nilai dasar ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah.

(3)

29

Kemudian politik agraria pada waktu yang lalu, tidak menjadikan pembaharuan agraria sebagai landasan pembangunan. Tanah dan

sumber-sumber agraria lainnya (yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya) hanyalah dipandang sebagai objek, tempat segala kegiatan pembangunan dilaksanakan dengan orientasi tunggal yakni pertumbuhan ekonomi. Sebagai dampaknya, hingga saat ini dapat dirasakan adanya

ketimpangan dalam struktur pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang tidak jarang berujung pada terjadinya

berbagai konflik antar subjek hak dengan posisi tawar yang berbeda. Di samping itu, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber-sumber agraria itu telah mengakibatkan kemunduran sumber agraria dalam kualitas

maupun kuantitasnya.

Pembaharuan agraria diperlukan sebagai suatu agenda politik

selama bagian terbesar penduduk tinggal di pedesaan dan pendapatannya tergantung pada kegiatan yang terkait dengan pertanian. Ketika ketimpangan dalam struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan

sumber-sumber agraria lainnya masih terjadi, dan diperlukan upaya untuk merestrukturisasi hubungan yang tidak adil antara manusia dengan tanah

dan sumber-sumber agraria lainnya, maka diperlukan pembaharuan agraria.4

4 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,

(4)

30

Kata kunci pembaharuan agraria, adalah keadilan dalam upaya menyejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat petani, nelayan dan

masyarakat adat. Dengan kata lain, pembaharuan agraria merupakan upaya untuk memperdayakan masyarakat, yang operasionalisasinya

dapat dijumpai dalam beberapa prinsip. Prinsip-prinsip dasar pembaharuan agraria tersebut adalah sebagai berikut5:

1. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber-sumber agraria/sumber-sumber daya alam merupakan hak ekonomi setiap orang.

2. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat (pluralisme).

3. Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria/sumber daya alam (keadilan gender, keadilandalam satu generasi dan angar generasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria/sumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya).

4. Fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria/sumber daya alam lainnya; bahwa hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi yang bersangkutan karena haknyadibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas.

5. Penyelesaian konflik pertanahan.

6. Pembagian tanggung jawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan manajemen sumber-sumber agraria/sumber daya alam.

7. Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan.

8. Landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan sumber-sumber agraria/sumber daya alam.

9. Usaha-Usaha produksi di lapangan agraria.

10. Pembiayaan program-program pembaharuan agraria.

Secara umum, pembaharuan agraria ditujukan untuk menata kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan

sumber-sumber agraria/sumber-sumber daya alam menuju kepada terciptanya

(5)

31

pengelolaan sumber-sumber agraria/sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan menyejahterakan masyarakat.

Kemudian sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat. Hal ini tercermin dari rumusan Pasal 5

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang menyatakan bahwa, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercermin

dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Hukum adat merupakan sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Ini berarti antara lain bahwa pembangunan

Hukum Tanah Nasional dilandasi konsepsi hukum adat, yang dirumuskan dengan kata-kata Komunalistik Religius, yang artinya memungkinkan

penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang

bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan.6

Sifat komunalistik dalam konsepsi hukum tanah nasional tercermin

dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) UUPA yang menyebutkan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia

6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang

(6)

32

yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Sementara itu, sifat religius konsepsi hukum tanah nasional terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA

yang menyebutkan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik

Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Konsepsi ini sedikit berbeda dengan hukum adat, yaitu hanya

menyangkut wilayah cakupannya. Dalam hukum adat, tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang

bersangkutan, sedangkan dalam hukum tanah nasional, semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.7 Dibandingkan

dengan Konsepsi Hukum Tanah Barat dan Konsepsi Tanah Feodal, konsepsi Hukum Tanah Nasional yang didasarkan pada hukum adat jelas

merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah Eropa yang didasarkan pada semangat individualisme dan liberalisme tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup

bangsa Indonesia yang komunal dan religius.

(7)

33

Menurut Konsep Burgerlijk Wetboek (BW) dalam sistem hukum Belanda, hak perorangan disebut Hak Eigendon sebagai hak penguasaan

atas tanah yang tertinggi.8 Sebagai hak yang paling sempurna, pemilik hak Eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja terhadap tanah tersebut,

baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusaknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain.9

Konsepsi tanah feodal juga tidak sesuai dengan falsafah dan

pandangan hidup bangsa Indonesia karena hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah hak milik raja. Semua tanah yang terdapat di seluruh

wilayah kekuasaan raja adalah milik sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak lagi menganut bentuk kerajaan, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ada pada

negara sebagai pengganti kedudukan raja.10

Berdasarkan pembahasan tentang sejumlah konsepsi di atas, tentu

tidak berlebihan jika kita berkesimpulan bahwa konsepsi hukum tanah nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya

8 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh

R.Subekti dan R. Tjitrisisudibio, Cet. Ke-31, Perdata Paramita, Jakarta, 2001, Pasal 570. Ketentuan ini sempat berlaku di Indonesia (Hindia-Belanda) sebagai daerah jajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka dan terbit UUPA, ketentuan buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kakayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketenuan mengenai Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini. Sementara itu, ketentuan mengenai Hypotheek dicabut berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nopmor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai

Hypotheek sebagaimana tersebut dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia

sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

9 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Intermasa,Jakarta, 2001 halaman 69.

(8)

34

bangsa kita. Penyempurnaan terhadap hukum tanah nasional layaknya dilakukan dengan tetap mempertahankan konsepsi yang lahir dan digali

dari akar budaya nasional tanpa menutup diri dari perubahan-perubahan yang berlansung sejak beberapa dasawarsa terakhir seperti era

globalisasi, otonomi daerah, dan hak asasi manusia. Konsepsi komunalistik religius yang telah dianut sejak 24 September 1960, di samping telah teruji hingga saat ini, hendaknya perlu juga dilestarikan

untuk mewujudkan cita-cita politik Agraria nasional yang tercantum dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.11

B. Status dan Pengaturan Tanah di Batam 1. Hak Pengelolaan Otorita Batam

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Hak Pengelolaan (HPL) tidak

disebutkan secara eksplisit, baik dalam diktum, batang tubuh, maupun penjelasannya.

Namun demikian, dalam praktik, keberadaan Hak Pengelolaan

berikut landasan hukumnya telah berkembang sedemikian rupa dengan berbagai ekses dan permasalahannya.

Semula Hak Pengelolaan dimaksudkan sebagai fungsi “pengelolaan”, namun dalam perkembangannya kemudian, fungsi itu berubah menjadi “hak”. AP Perlindungan (1989) berpendapat bahwa Hak

(9)

35

Pengelolaan adalah hak atas tanah yang tidak dijumpai istilahnya di dalam UUPA, sedangkan Boedi Harsono berpendapat bahwa Hak Pengelolaan

adalah “gempilan” dari hak menguasai Negara. Pemegang Hak Pengelolaan mempunyai kewenangan menggunakan tanahnya untuk

keperluan sendiri, namun, ditegaskan oleh Boedi Harsono (1997) bahwa hal itu bukanlah tujuan pemberian Hak Pengelolaan. Tujuan utama pemberian Hak Pengelolaan adalah bahwa tanah Hak Pengelolaan itu

disediakan untuk digunakan bagi pihak lain yang memerlukan.

Maria S.W. Sumardjono berpendapat bahwa Hak Pengelolaan

merupakan “bagian” dari hak menguasai Negara yang (sebagian) kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan. Oleh karena itu, Hak Pengelolaan itu merupakan fungsi/kewenangan publik

sebagaimana hak menguasai Negara, dan tidak tepat untuk disamakan dengan “hak” sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA karena hak atas

tanah hanya menyangkut aspek keperdataan. Akan tetapi, karena kebutuhan praktis yakni untuk memberikan hak atas tanah diatas Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga lebih mengemuka, maka pemberian hak

atas tanah kepada pihak ketiga melalui perjanjian antara pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga itu pada akhirnya lebih menonjolkan

aspek keperdataan dari Hak Pengelolaan itu.12

(10)

36

Hak Pengelolaan menurut R. Atang Ranoemihardja adalah hak atas tanah yang dikuasai negara dan hanya dapat diberikan kepada

badan hukum atau pemerintah daerah baik dipergunakan untuk usahanya sendiri maupun untuk kepentingan pihak ketiga. Pengertian Hak

pengelolaan yang dikemukakan oleh R. Atang Ranoemihardja memberi arti bahwa hak pengelolaan bersifat alternatif, dimana hak pengelolaan obyektifnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang

diberikan kepada badan hukum pemerintah atau diberikannya kepada pihak ketiga.13

Berbeda dengan R. Atang Ranoemihardja, Ramli Zein memberikan pengertian bahwa hak pengelolaan bersifat kumulatif. Artinya, tanah yang dikuasai oleh negara akan diberikan dengan hak pengelolaan kepada

suatu badan hukum pemerintah atau pemerintah daerah, apabila tanah itu disamping akan dipergunakan untuk kepentingan pelaksanakan tugasnya,

juga bagian-bagian tanah itu akan diserahkan dengan sesuatu hak tertentu kepada pihak ketiga.14

Definisi resmi mengenai hak pengelolaan sendiri terdapat di dalam

beberapa peraturan antara lain :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah;

13 Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta,

1995 halaman 53

(11)

37

b. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian

Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Peraturan tersebut menyatakan bahwa Hak Pengelolaan

merupakan Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya

Atas dasar Hak Menguasai Negara, Hak Pengelolaan Areal Pulau

Batam diberikan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang

Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana diubah terakhir kali dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perubahan Kelima atas Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri

Pulau Batam.

2. Wewenang yang diberikan kepada Otorita Batam

(12)

38

pertumbuhan Daerah Industri Pulau Batam dan mempunyai tugas sebagai berikut :15

a. Mengembangkan dan mengendalikan Pembangunan Pulau Batam sebagai suatu Daerah Industri;

b. Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan-kegiatan pengalih-kapalan (transhipment) di Pulau Batam;

c. Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan

instalasi-instalasi prasarana dan fasilitas lainnya;

d. Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang

diajukan oleh para pengusaha serta mengajukannya kepada instansi-instansi yang bersangkutan;

e. Menjamin agar tata-cara perizinan dan pemberian jasajasa

yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha di Pulau Batam dapat berjalan lancar dan tertib, segala

sesuatunya untuk dapat menumbuhkan minat para pengusaha menanamkan modalnya di Pulau Batam.

Dalam pelaksanaan tugas Otorita Batam seluruh areal tanah yang

terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan kepada Ketua Otorita Batam yang mempunyai wewenang untuk :

15 Mustofa Wijaya, Wawancara Pribadi, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan

(13)

39

a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;

b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan

tugasnya;

c. menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak

ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria;

d. menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan.

Hal-hal yang yang bersangkutan dengan pengurusan tanah di

dalam wilayah Industri Pulau Batam diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di

bidang agraria.

Pada tanggal 18 Pebruari 1977 setelah 4 tahun Kepres 41 Tahun 1973 diterbitkan, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Menteri

Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah Di Daerah Industri Pulau Batam.

Melalui Keputusan tersebut Menteri Dalam Negeri memutuskan memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atas seluruh areal tanah yang terletak di Pulau

Batam termasuk areal tanah di gugusan Pulau Janda Berhias, Tanjung Sauh & Ngenang dan Pulau Kasam Kabupaten Kepulauan Riau Propinsi

Riau dengan syarat-syarat/ketentuan sebagai berikut 16:

16 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengelolaan dan

(14)

40

1. Hak Pengelolaan tersebut diberikan untuk jangka waktu selama tanah yang dimaksud dipergunakan untuk kepentingan penerima hak dan terhitung sejak didaftarkannya pada Kantor Sub Direktorat Agraria setempat;

2. Hak Pengelolaan tersebut diberikan kepada penerima hak untuk dipergunakan sebagai pengembangan daerah industri, pelabuhan, pariwisata, pemukiman, peternakan, perikanan dan lain-lain usaha yang berkaitan dengan itu;

3. Apabila diatas areal tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat, maka pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, demikian pula pemindahan penduduk ketempat pemukiman baru;

4. Penerima hak untuk pemberian Hak Pengelolaan tersebut diharuskan membayar biaya administrasi sebesar :

a. Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah rupiah) yang harus disetor kepada Kas Negara setempat atas mata anggaran Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri dan harus dilunaskan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keputusan ini.

b. Rp. 50.000,- (Lima puluh ribu rupiah) yang harus disetor ke Bank Rakyat Indonesia Jalan Veteran Jakarta atau rekening Yayasan Dana Landreform No. Rek. 32-A-7-2274, atau di setor langsung kepada Administratur Yayasan Dana Landreform Jalan Sisingamangaraja No. 2 Kebayoran Baru Jakarta dan harus dilunaskan dalam waktu yang sama seperti ditentukan dalam sub a diatas.

5. Dalam rangka pemberian Hak Pengelolaan ini, tanah-tanah yang telah dibebaskan dari hak-hak rakyat, harus diberi tanda-tanda batas sesuai dengan ketentuan sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria No. 8 Tahun 1961, untuk kemudian dilakukan pengukuran oleh Kantor Sub Direktorat Agraria setempat;

6. Terhadap areal tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan dan telah dilakukan pengukuran, sebagai dimaksud pada angka 5 diatas sehingga telah dapat diketahui luasnya dengan pasti harus didaftarkan pada Kantor Sub Direktorat Agraria Setempat untuk kemudian dapat dikeluarkan sertifikat tanda bukti haknya menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 1 tahun 1966;

(15)

41

a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan

tugasnya.

c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah Hak Pengelolaan tersebut kepada pihak ketiga dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan Agrarian yang berlaku.

d. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan dari pihak ketiga tersebut.

8. Tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut harus dipelihara sebaik-baiknya;

9. Pemindahan hak atas tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan ini kepada pihak lain dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan, kecuali dengan izin Menteri Dalam Negeri c.q Direktur Jenderal Agraria;

10. Penerima hak wajib mengembalikan areal tanah yang dikuasai Hak Pengelolaan tersebut seluruhnya atau sebagian kepada Negara, apabila areal tanah tadi tidak dipergunakan lagi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tersebut diatas;

11. Pemberian Hak Pengelolaan tersebut dapat ditinjau kembali atau dibatalkan apabila :

a. Luas tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut ternyata melebihi keterluan

b. Tanah tersebut sebagian atau seluruhnya tidak dipergunakan dipelihara sebagaimana mestinya

c. Salah satu syarat atau ketentuan dalam surat keputusan ini tidak dipenuhi sebagaimana mestinya.

12. Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang timbul karena pemberian Hak Pengelolaan ini menjadi beban/tanggungan sepenuhnya dari Penerima hak.

Otorita Batam sebagai pemegang Hak Pengelolaan memiliki kewenangan yang sangat luas atas tanah-tanah di Pulau Batam dan

sekitarnya, mulai dari merencanakan peruntukan, penggunaan, menyerahkan bagian-bagian tanah kepada pihak lain termasuk memungut uang wajib tahunan (UWTO) atas tanah yang diserahkan penggunaannya

(16)

42

Hak Pengelolaan tersebut diberikan kepada Otorita Batam untuk jangka waktu selama dipergunakan dan berlaku terhitung sejak

didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kota Batam. Artinya Otorita Batam diwajibkan oleh peraturan perundangan untuk mendaftarkan Hak

Pengelolaannya supaya menjadi berlaku, sebelum didaftarkan maka belum berlaku, belum berkekuatan hukum. Dengan perkataan lain, pendaftaran merupakan syarat yang wajib dipenuhi Otorita Batam agar

Hak Pengelolaannya berlaku.

Apabila diatas areal tanah yang diberikan dengan hak pengelolaan

masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat, sebelum dilakukan pendaftaran ke Kantor Pertanahan Batam, Otorita Batam diwajibkan terlebih dahulu menyelesaikan pembayaran ganti rugi serta

melakukan pemindahan penduduk ketempat pemukiman baru.

Setelah hampir 39 tahun penyerahan Hak Pengelolaan kepada

Otorita Batam, ternyata masih terdapat kepemilikan tanah masyarakat yang belum diberikan ganti rugi, namun pada kenyataannya sudah dialokasikan kepada pihak ketiga dan Otorita Batam telah menerima Uang

Wajib Tahunan Otorita Batam (UWTO), hal ini tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 yang

menegaskan supaya Otorita Batam melakukan pembayaran ganti rugi atas tanah, bangunan dan tanaman rakyat sebelum pendaftaran Hak Pengelolaan untuk mendapatkan sertipikat Hak Pengelolaan sebagai

(17)

43

Keberadaan Otorita Batam dengan Kepres 41 Tahun 1973 telah berubah menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Batam dengan

diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, dimana

pada ketentuan peralihan dinyatakan bahwa :

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 menyatakan :17 1. Semua asset Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau

Batam dialihkan menjadi asset Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, kecuali asset yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam, sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan;

2. Pegawai pada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi pegawai pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

Sedangkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 menyatakan :18

1. Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (2) beralih kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan;

2. Hak-hak yang ada diatas Hak Pengelolaan atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir;

3. Untuk perpanjangan/pembaharuan hak setelah hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir akan diberikan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

17 Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas Batam.

(18)

44

Status Hak Pengelolaan Otorita Batam saat ini dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni19 :

(1). Hak Pengelolaan yang sudah terdaftar dan (2). Hak Pengelolaan yang belum didaftar.

Disini perlu dikritisi dua hal, pertama, Hak Pengelolaan yang sudah terdaftar dan diatasnya telah diterbitkan hak milik. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 menegaskan bahwa hak-hak yang ada diatas Hak

Pengelolaan tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir. Jelas sekali maksudnya untuk hak-hak yang berjangka waktu seperti Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai yang ada diatas Hak Pengelolaan Otorita Batam yang dialihkan kewenangannya kepada Badan Pengusahaan Kawasan Batam. Sedangkan Hak Milik tidak berjangka waktu, Hak Milik berlaku

terus menerus dan dengan demikian Hak Milik tidak termasuk jenis hak yang dimaksudkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007,

sehingga tidak termasuk yang akan dialihkan kepada Badan Pengusahaan Kawasan Batam.

Kedua, Hak Pengelolaan yang belum didaftarkan. Karena belum

didaftarkan maka secara yuridis belum berlaku. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 menegaskan Hak Pengelolaan berlaku

sejak didaftarkan. Demi hukum Otorita Batam wajib melakukan pendaftaran ke Kantor Pertanahan Kota Batam supaya Hak Pengelolaannya berlaku dan memenuhi syarat hukum. Dengan demikian

(19)

45

tanah Hak Pengelolaan yang belum didaftarkan secara yuridis belum berlaku dan karena itu belum dapat dikatakan sebagai Hak Pengelolaan

Otorita Batam. Maka untuk memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 mengenai pengalihan Hak Pengelolaan Otorita

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Bahwa gaya kepemimpinan transaksional yang diterapkan di Polres Tanjung Jabung Barat tergolong sangat tinggi, sementara itu

Dalam hal ini dimensi tangible (terjamah) berarti bagaimana petugas Kantor Pelayanan Masyarakat Satuan Intelijen dan Keamanan Polrestabes Surabaya memberikan pelayanan

Sebagian besar asupan balita picky eater berada dalam kategori cukup pada jenis makanan sayuran, sedangkan pada kelompok makanan dengan kalori tinggi seperti produk

Kegiatan pemberdayaan KPPAH Dadi Makmur ini dilakukan dalam bentuk pelatihan dan pendampingan terkait proses pembuatan aktivator Beauveria bassiana menggunakan prosedur yang

• Bagi Puskesmas telah akreditasi akan dapat melihat keberlangsungan mutu pelayanan kesehatan, yang merupakan aspek dari akreditasi...

Kurang lebih 10% pasien dengan trauma tulang servikal mengalami fraktur kolumna vertebralis kedua yang tidak berhubungan.. Menyingkirkan adanya trauma spinal pada pasien

1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. dalam artian bahwa sesuatu akan

Dari identifikasi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Tegal dalam pelaksanaan urusan perencanaan pembangunan