WACANA POLITIK DI MEDIA SOSIAL
(Studi Analisis Wacana dengan Paradigma Positivis mengenai
Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala
Daerah Sumatera Utara Tahun 2013)
TESIS
Oleh
Farida Hanim Nim: 117045016
M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I
F A K U L T A S I L M U S O S I A L D A N I L M U P O L I T I K U N I V E R S I T A S S U M A T E R A U T A R A
WACANA POLITIK DI MEDIA SOSIAL
(Studi Analisis Wacana dengan Paradigma Positivis mengenai
Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala
Daerah Sumatera Utara Tahun 2013)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Ilmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Oleh
Farida Hanim Nim: 117045016
M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I
F A K U L T A S I L M U S O S I A L D A N I L M U P O L I T I K U N I V E R S I T A S S U M A T E R A U T A R A
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Judul Tesis : WACANA POLITIK DI MEDIA SOSIAL
(Studi Analisis Wacana dengan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara Tahun 2013) Nama Mahasiswa : Farida Hanim
Nomor Pokok : 117045016
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
(Drs. Amir Purba, M.A, Ph.D)
NIP. 195102191987011001 NIP. 196710021994031002 (Drs. Hendra Harahap, MSi)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Dra.Lusiana Andriani Lubis, MA,Ph.D)
NIP. 196704051990032002 NIP. 196805251992031002 (Prof.Dr.Badaruddin,M.Si)
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Telah diuji pada
Tanggal: 12 Februari 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Drs. Amir Purba, M.A., Ph.D. Anggota : Drs. Hendra Harahap, MSi
Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A. Ph.D. Dra. Dewi Kurniawati, MSi., Ph.D.
PERNYATAAN
Judul Tesis
“WACANA POLITIK DI MEDIA SOSIAL”
(Studi Analisi Wacana dengan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala Daerah Sumatera
Utara tahun 2013)
Dengan ini peneliti menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Master Ilmu Komunikasi pada Program Studi Magister
Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis
sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai norma, kaidah, dan etika penulisan
ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebahagian tesis
ini bukan hasil karya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis
sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
Medan, 11 Februari 2014
Penulis,
Political Discourse in Social Media
( Discourse Analysis Study with Positivist Paradigm
Approach on the Application of Public Sphere on Facebook
regarding the local election in North Sumatera in 2013)
Abstract
This study is titled Political Discourse in Social Media, Discourse Analysis Study with Positivist Paradigm Approach on the Application of Public Sphere on Facebook regarding the local election in North Sumatera in 2013. This study is a modification of the use of critical theory applied to the positivist approach. Positivist approach is used to obtain empirical data on how well the Habermas approach can perform in measuring an issue especially in this case in measuring the social media conversation. The theory used in this study is Communicative Act Theory to describe the competence in communication which eventually improve the quality of conversation in public space on social media.
The method used in this study is content analysis method, while the population of this study is the conversations that took place on Facebook regarding local election issues during election campaign period on February 18th until March 3rd 2013. The data collection used in this particular study is documentation technique where researcher documented every conversation that took place on Facebook regarding North Sumatera’s local election in 2013. The purpose of this study was to compare the quality of conversation which took place on Ganteng’s support group account and ESJA’s support group account.
The findings in this study indicate that both support group account during the campaign period was more widely used as a support forum rather than as a campaign tool. Other findings indicate that the quality of conversation that took place on both account was quite good but still weak in legitimacy. The general conversation themes found was the support of group participants towards the candidates.
Besides, the quality of public space on GANTENG’s support group account looked more ideal than the public space found on ESJA’s support group account. However, there was no significant difference between both support group account. It is seen on the results of hypothetical test which was done using Mann-Whitney U test formula. From the test it was found that the mean value of the GANTENG’s support group account is significantly higher than ESJA’s support group account. Participants in both group accont were noticably weak in the application of legitimacy especially for the participants on the ESJA’s support group account, which leads to the unjustified conversation.
WACANA POLITIK DI MEDIA SOSIAL
(Studi Analisis Wacana dengan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala
Daerah Sumatera Utara Tahun 2013)
Abstrak
Penelitian ini berjudul Wacana Politik di Media Sosial, Studi Analisis Wacana dengan Pendekatan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013. Penelitian ini adalah modifikasi dari penggunaan teori kritis yang diaplikasikan dengan pendekatan positivis. Penggunaan pendekatan positivis ini digunakan untuk mendapatkan data empiris mengenai seberapa baiknya pendekatan Habermas dalam mengukur persoalan dalam hal ini percakapan di media sosial. Teori yang digunakan adalah Teori Tindakan Komunikatif yang dapat menggambarkan kompetensi dalam komunikasi yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas percakapan di ruang publik di media sosial.
Metode yang digunakan adalah metode analisis isi, dimana populasi dalam penelitian adalah percakapan yang berlangsung di Facebook mengenai persoalan pemilukada selama masa kampanye yaitu 18 Februari hingga 3 Maret 2013. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi dimana peneliti mendokumentasikan setiap percakapan yang berlangsung di Facebook mengenai Pemilkada Sumatera Utara tahun 2013. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kualitas percakapan yang berlangsung pada akun grup pendukung GANTENG dan akun grup pendukung ESJA.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kedua akun grup pendukung selama periode kampanye lebih banyak digunakan sebagai forum dukungan daripada sebagai alat kampanye. Temuan lain menunjukkan bahwa kualitas percakapan yang berlangsung sudah cukup baik namun lemah dalam klaim legitimasi. secara umum tema dalam percakapan yang berlangsungadalah dukungan partisipan terhadap kandidat.
Selain itu kualitas ruang publik dalam akun grup pendukung GANTENG lebih ideal dibandingkan dengan akun grup pendukung ESJA. Akan tetapi perbedaannya tidak cukup signifikan. Hal ini diketahui dari perolehan uji hipotesis yang dilakukan melalui uji beda dengan rumus Mann – Whitney U Test. Dari pengujian ini didapati bahwa nilai mean dalam akun grup pendukung GANTENG lebih tinggi daripada akun grup pendukung ESJA dengan perbedaan yang signifikan. Partisipan dalam kedua kelompok lemah dalam penerapan legitimasi terutamanya partisipan pada akun grup pendukung ESJA, sehingga banyak
percakapan yang berlangsung di ruang publik pada akun facebook grup
pendukung tersebut tidak terjustifikasi.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah peneliti senantiasa panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat serta hidayah sehingga peneliti dapat
menyelesaikan tesisWacana Politik di Media Sosial, Studi Analisis Wacana
dengan Pendekatan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013.
Tesis ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar
Magister Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
Penelitian ini tidak terlepas dari kendala dan kekurangan, namun berkat
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, tesis ini pun bisa juga diselesaikan.
Oleh karena itu, peneliti ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak di bawah ini :
1. Prof. Dr. Badaruddin, MSi selaku Dekan pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Sumatera Utara.
2. Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A. Ph.D selaku Ketua Program Magister
Ilmu Komunikasi yang telah banyak membantu sehingga peneliti dapat
melaksanakan proses penyelesaian tesis ini dengan baik.
3. Drs. Amir Purba, MSi., Ph.D selaku dosen pembimbing I yang telah banyak
membantu dalam mendiskusikan, mengarahkan, dan memperbaiki tesis ini
sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya.
4. Drs. Hendra Harahap, MSi selaku dosen pembimbing II dan Sekretaris
Program Magister Ilmu Komunikasi yang telah banyak membantu dalam
mendiskusikan, serta membuka cakrawala peneliti sehingga tesis ini
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
5. Dra. Dewi Kurniawati, MSi. Dan Yovita Sabarina, S.Sos. MSi selaku dosen
pembanding yang telah banyak memperbaiki kekurangan dalam penelitian
ini.
6. Bapak dan Ibu dosen di Departemen Ilmu Komunikasi yang telah
tesis ini dengan sebaik-baiknya. Peneliti tidak dapat menjabarkan rasa
terima kasih peneliti kepada satu per satu orang karena semua orang punya
peran dan jasa tersendiri pada peneliti. Semua orang berperan sebagai
bapak, ibu, abang, kakak, saudara, dan teman bagi peneliti.
7. Igede Putu Kristian Artawan selaku suami yang tidak hanya memberikan
dukungan moril namun juga tenaga dan pikiran untuk mengkoreksi tata cara
penulisan peneliti. Terima kasih juga karena selama 9 tahun ini telah
memberi dukungan emosinal kepada peneliti. Mudah-mudahan sampai akhir
usia.
8. Windi Adwina Siregar yang telah bersedia meluangkan waktu dan berpikir
keras untuk mengkoding data penelitian peneliti selaku pengkoding II dan
menjadi teman yang memberikan dukungan moril dan semangat kepada
peneliti.
9. Munzaimah Masril sebagai teman seperjuangan yang sama-sama memberi
semangat dan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini dan menjadi teman
bertukar pikiran mengenai tesis ini.
10.Teman-teman satu angkatan di Magister Ilmu Komunikasi FISIP USU yang
telah membantu lewat motivasi dan semangat selama masa-masa
perkuliahan maupun penulisan tesis ini.
11.Sri Handayani dan Nurhanifah Nasution yang telah sangat membantu proses
penyelesaian administrasi sehingga peneliti dapat menyelesaikan
tahapan-tahapan perkuliahan hingga meja hijau dengan sebaik-baiknya.
Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tesis ini. Oleh
karena itu, peneliti sangat berharap akan kritik dan saran agar tesis ini bisa
dijadikan salah satu contoh yang baik untuk tesis-tesis di masa yang akan datang.
Medan, 12 Februari 2014
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENETAPAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRACT ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 15
1.3.Tujuan Penelitian ... 16
1.4.Manfaat Penelitian ... 16
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori ... 17
2.1.1 Ruang Publik (Public Sphere) ... 21
2.1.1.1. Sejarah dan Perkembangan Public Sphere ... 2.1.1.2. Ekualitas dalam Ruang Publik ... 23
2.1.1.3. Konsep Legitimasi dalam Ruang Publik ... 24
2.1.1.4. Kritik Terhadap Konsep Ruang Publik ... 26
2.1.2. Teori Tindakan Komunikatif ... 27
2.1.3.1. Rasionalitas dan Kekuatan Illocutionary ... 30
2.1.3.2. Tindakan Komunikatif sebagai Wacana Moralitas ... 33
2.1.3.3. Validitas Kebenaran ... 35
2.1.3. Media Sosial ... 39
2.1.3.1. Bentuk-bentuk Media Sosial... 45
2.2. Hipotesis ... 51
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 53
3.2. Metode Pengukuran ... 54
3.2.1. Variabel Konsep ... 54
3.2.2. Defenisi Operasional ... 55
3.3. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 59
3.3.1. Populasi ... 59
3.3.2. Metode Pengambilan Sampel ... 61
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 64
3.5. Reliabilitas Penelitian ... 65
3.6. Metode Analisis Data ... 65
3.7. Unit Analisis ... 67
BAB IV TEMUAN PENELITIAN 4.1. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 68
4.1.1 Analisa Frekuensi ... 69
4.1.2. Uji Hipotesis ... 69
4.2. Analisa Frekuensi ... 71
4.2.1. Tema yang Dibahas dalam Akun Grup Pendukung ... 71
4.2.2. Klaim Komprehensibilitas ... 75
4.2.3. Klaim Kebenaran ... 92
4.2.4. Klaim Ketulusan ... 122
4.2.5. Klaim Legitimasi ... 131
4.3. Uji Hipotesis ... 146
BAB V PEMBAHASAN 5.1. Kegagalan Komunikasi dalam Pandangan Habermas ... 152
5.2. Tema yang Dibahas Partisipan dalam Percakapan di Akun Grup Pendukung ... 156
5.3. Kualitas Penerapan Ruang Publik di Media Sosial ... 158
5.5. Keterbatasan Temuan Penelitian ... 162
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 163
6.2. Saran ... 164
5.2.1. Saran Penelitian ... 164
5.2.2. Saran dalam Kajian Akademis ... 165
5.2.3. Saran dalam Kajian Praktis ... 165
DAFTAR PUSTAKA ... 166
DAFTAR TABEL
2.1.3.3. Tabel Klaim Validitas ... 39
3.2.1.1. Variabel Konsep ... 54
3.3.1. Data Populasi ... 60
3.3.2. Jumlah Sampel ... 63
4.2.2.1. Penghilangan Kata ... 76
4.2.2.3.1. Dukungan dalam Jargon pada Akun Grup Pendukung Ganteng ... 81
DAFTAR GAMBAR
4.2.1.1. Pembahasan tentang Pemilukada ... 71
4.2.1.2. Kampanye AHER yang Disebar oleh Partisipan di Grup Pendukung GANTENG ... 73
4.2.1.3. Anas Urbaningrum dalam Percakapan Grup Pendukung ... 74
4.2.2.1. Penghilangan kata ... 75
4.2.2.2. Penggunaan Jargon ... 78
4.2.2.3. Penggunaan Jargon secara Positif atau Negatif ... 79
4.2.2.4. Penggunaan Kata-kata yang Ambigu atau Sulit Diinterpretasikan ... 83
4.2.2.5. Apakah ada penggunaan strategi semantik berupa penekanan tertentu? ... 86
4.2.2.6. Positif atau negatif ... 91
4.2.3.1. Tema yang diangkat oleh Partisipan ... 92
4.2.3.2. Ada kelompok yang dirugikan dari tema yang diangkat oleh komunikator dalam status di dinding grup ... 96
4.2.3.3. Apakah partisipan memberikan bukti berkaitan dengan persoalan yang dibahas dalam percakapan? ... 114
4.2.3.4. Apakah informasi ataupun argumentasi memiliki distorsi? .... 117
4.2.3.5. Bentuk Distorsi Pesan pada Akun Grup Pendukung ... 120
4.2.3.6. Bentuk Distorsi Pesan pada Akun Grup Pendukung ... 121
4.2.4.1. Ada Tidaknya penggunaan majas? ... 122
4.2.4.2. Penggunaan majas-majas atau gaya bahasa tertentu yang digunakan untuk mengarahkan pada saling pengertian ... 126
4.2.4.3. Penggunaan majas-majas atau gaya bahasa tertentu yang digunakan untuk mengarahkan sikap permusuhan ... 128
4.2.4.4. Partisipan lain yang ikut berkomentar dalam status ... 131
4.2.4.7. Partisipan yang Terlibat Menggunakan Daya Tarik Emosional Dalam Percakapan Yang Berlangsung ... 138 4.2.4.8. Penggunaan Pendapat Dari Ahli, Tokoh yang Lebih Tinggi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Rekapitulasi Temuan Penerapan Klaim Komprehensibilitas 2. Rekapitulasi Temuan Penerapan Klaim Kebenaran
3. Rekapitulasi Temuan Penerapan Klaim Ketulusan 4. Rekapitulasi Temuan Penerapan Klaim Legitimasi
WACANA POLITIK DI MEDIA SOSIAL
(Studi Analisis Wacana dengan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala
Daerah Sumatera Utara Tahun 2013)
Abstrak
Penelitian ini berjudul Wacana Politik di Media Sosial, Studi Analisis Wacana dengan Pendekatan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013. Penelitian ini adalah modifikasi dari penggunaan teori kritis yang diaplikasikan dengan pendekatan positivis. Penggunaan pendekatan positivis ini digunakan untuk mendapatkan data empiris mengenai seberapa baiknya pendekatan Habermas dalam mengukur persoalan dalam hal ini percakapan di media sosial. Teori yang digunakan adalah Teori Tindakan Komunikatif yang dapat menggambarkan kompetensi dalam komunikasi yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas percakapan di ruang publik di media sosial.
Metode yang digunakan adalah metode analisis isi, dimana populasi dalam penelitian adalah percakapan yang berlangsung di Facebook mengenai persoalan pemilukada selama masa kampanye yaitu 18 Februari hingga 3 Maret 2013. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi dimana peneliti mendokumentasikan setiap percakapan yang berlangsung di Facebook mengenai Pemilkada Sumatera Utara tahun 2013. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kualitas percakapan yang berlangsung pada akun grup pendukung GANTENG dan akun grup pendukung ESJA.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kedua akun grup pendukung selama periode kampanye lebih banyak digunakan sebagai forum dukungan daripada sebagai alat kampanye. Temuan lain menunjukkan bahwa kualitas percakapan yang berlangsung sudah cukup baik namun lemah dalam klaim legitimasi. secara umum tema dalam percakapan yang berlangsungadalah dukungan partisipan terhadap kandidat.
Selain itu kualitas ruang publik dalam akun grup pendukung GANTENG lebih ideal dibandingkan dengan akun grup pendukung ESJA. Akan tetapi perbedaannya tidak cukup signifikan. Hal ini diketahui dari perolehan uji hipotesis yang dilakukan melalui uji beda dengan rumus Mann – Whitney U Test. Dari pengujian ini didapati bahwa nilai mean dalam akun grup pendukung GANTENG lebih tinggi daripada akun grup pendukung ESJA dengan perbedaan yang signifikan. Partisipan dalam kedua kelompok lemah dalam penerapan legitimasi terutamanya partisipan pada akun grup pendukung ESJA, sehingga banyak
percakapan yang berlangsung di ruang publik pada akun facebook grup
Political Discourse in Social Media
( Discourse Analysis Study with Positivist Paradigm
Approach on the Application of Public Sphere on Facebook
regarding the local election in North Sumatera in 2013)
Abstract
This study is titled Political Discourse in Social Media, Discourse Analysis Study with Positivist Paradigm Approach on the Application of Public Sphere on Facebook regarding the local election in North Sumatera in 2013. This study is a modification of the use of critical theory applied to the positivist approach. Positivist approach is used to obtain empirical data on how well the Habermas approach can perform in measuring an issue especially in this case in measuring the social media conversation. The theory used in this study is Communicative Act Theory to describe the competence in communication which eventually improve the quality of conversation in public space on social media.
The method used in this study is content analysis method, while the population of this study is the conversations that took place on Facebook regarding local election issues during election campaign period on February 18th until March 3rd 2013. The data collection used in this particular study is documentation technique where researcher documented every conversation that took place on Facebook regarding North Sumatera’s local election in 2013. The purpose of this study was to compare the quality of conversation which took place on Ganteng’s support group account and ESJA’s support group account.
The findings in this study indicate that both support group account during the campaign period was more widely used as a support forum rather than as a campaign tool. Other findings indicate that the quality of conversation that took place on both account was quite good but still weak in legitimacy. The general conversation themes found was the support of group participants towards the candidates.
Besides, the quality of public space on GANTENG’s support group account looked more ideal than the public space found on ESJA’s support group account. However, there was no significant difference between both support group account. It is seen on the results of hypothetical test which was done using Mann-Whitney U test formula. From the test it was found that the mean value of the GANTENG’s support group account is significantly higher than ESJA’s support group account. Participants in both group accont were noticably weak in the application of legitimacy especially for the participants on the ESJA’s support group account, which leads to the unjustified conversation.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah peneliti senantiasa panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat serta hidayah sehingga peneliti dapat
menyelesaikan tesisWacana Politik di Media Sosial, Studi Analisis Wacana
dengan Pendekatan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013.
Tesis ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar
Magister Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
Penelitian ini tidak terlepas dari kendala dan kekurangan, namun berkat
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, tesis ini pun bisa juga diselesaikan.
Oleh karena itu, peneliti ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak di bawah ini :
12.Prof. Dr. Badaruddin, MSi selaku Dekan pada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Sumatera Utara.
13.Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A. Ph.D selaku Ketua Program Magister
Ilmu Komunikasi yang telah banyak membantu sehingga peneliti dapat
melaksanakan proses penyelesaian tesis ini dengan baik.
14.Drs. Amir Purba, MSi., Ph.D selaku dosen pembimbing I yang telah banyak
membantu dalam mendiskusikan, mengarahkan, dan memperbaiki tesis ini
sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya.
15.Drs. Hendra Harahap, MSi selaku dosen pembimbing II dan Sekretaris
Program Magister Ilmu Komunikasi yang telah banyak membantu dalam
mendiskusikan, serta membuka cakrawala peneliti sehingga tesis ini
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
16.Dra. Dewi Kurniawati, MSi. Dan Yovita Sabarina, S.Sos. MSi selaku dosen
pembanding yang telah banyak memperbaiki kekurangan dalam penelitian
ini.
17.Bapak dan Ibu dosen di Departemen Ilmu Komunikasi yang telah
tesis ini dengan sebaik-baiknya. Peneliti tidak dapat menjabarkan rasa
terima kasih peneliti kepada satu per satu orang karena semua orang punya
peran dan jasa tersendiri pada peneliti. Semua orang berperan sebagai
bapak, ibu, abang, kakak, saudara, dan teman bagi peneliti.
18.Igede Putu Kristian Artawan selaku suami yang tidak hanya memberikan
dukungan moril namun juga tenaga dan pikiran untuk mengkoreksi tata cara
penulisan peneliti. Terima kasih juga karena selama 9 tahun ini telah
memberi dukungan emosinal kepada peneliti. Mudah-mudahan sampai akhir
usia.
19.Windi Adwina Siregar yang telah bersedia meluangkan waktu dan berpikir
keras untuk mengkoding data penelitian peneliti selaku pengkoding II dan
menjadi teman yang memberikan dukungan moril dan semangat kepada
peneliti.
20.Munzaimah Masril sebagai teman seperjuangan yang sama-sama memberi
semangat dan motivasi untuk menyelesaikan tesis ini dan menjadi teman
bertukar pikiran mengenai tesis ini.
21.Teman-teman satu angkatan di Magister Ilmu Komunikasi FISIP USU yang
telah membantu lewat motivasi dan semangat selama masa-masa
perkuliahan maupun penulisan tesis ini.
22.Sri Handayani dan Nurhanifah Nasution yang telah sangat membantu proses
penyelesaian administrasi sehingga peneliti dapat menyelesaikan
tahapan-tahapan perkuliahan hingga meja hijau dengan sebaik-baiknya.
Peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tesis ini. Oleh
karena itu, peneliti sangat berharap akan kritik dan saran agar tesis ini bisa
dijadikan salah satu contoh yang baik untuk tesis-tesis di masa yang akan datang.
Medan, 12 Februari 2014
DAFTAR ISI
ABSTRAK
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... iii DAFTAR TABEL ... vi DAFTAR GAMBAR ... vii BAB I PENDAHULUAN
1.5.Latar Belakang Masalah ... 1 1.6.Perumusan Masalah ... 13 1.7.Pembatasan Masalah ... 13 1.8.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14 1.8.1. Tujuan Penelitian ... 14 1.8.2. Manfaat Penelitian ... 15 BAB II URAIAN TEORITIS
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 51 3.1.1. Sejarah dan Perkembangan Facebook ... 51 3.2. Metode Penelitian ... 53 3.2.1. Analisis Isi ... 53 3.2.2. Populasi dan Sampel ... 54 3.2.2.1. Populasi ... 54 3.2.2.2. Sampel ... 56 3.2.3. Unit Analisis ... 58 3.2.4. Teknik Pengumpulan Data ... 59 3.2.5. Teknik Analisis Data ... 60 3.2.5.1. Hipotesis Penelitian ... 62 3.2.5.2. Reliabilitas Penelitian ... 63 3.2.6. Defenisi Operasional ... 64 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 70 4.1.1 Analisa Frekuensi ... 71 4.1.2. Uji Hipotesis ... 71 4.2. Analisa Frekuensi ... 73 4.3. Uji Hipotesis ... 150 Perbandingan Klaim Komprehensibilitas ... 150 Perbandingan Klaim Kebenaran ... 152 Perbandingan Klaim Ketulusan ... 152 Perbandingan Klaim Legitimasi ... 153 4.4. Pembahasan ... 155 4.4.1. Kegagalan Komunikasi dalam Pandangan Habermas ... 155 4.4.2. Tema yang Dibahas Partisipan dalam Percakapan di Akun
5.1. Kesimpulan ... 166 5.2. Saran ... 167 5.2.1. Saran Penelitian ... 167 5.2.2. Saran dalam Kajian Akademis ... 168 5.2.3. Saran dalam Kajian Praktis ... 169 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
1. Tabel Klaim Validitas ... 41 2. Data Populasi ... 55 3. Jumlah Sampel ... 58 4. Penghilangan Kata ... 78 5. Dukungan dalam Jargon pada Akun Grup Pendukung
Ganteng ... 83 6. Dukungan dalam Jargon pada Akun Grup Pendukung
ESJA ... 84 7. Perbandingan Klaim Komprehensibilitas ... 150 8. Perbandingan Klaim Kebenaran ... 152 9. Perbandingan Klaim Ketulusan ... 152 10. Perbandingan Klaim Legitimasi ... 153 11. Tema yang Dibahas Partisipan dalam Percakapan di
DAFTAR GAMBAR
4.1 Membahas tentang Pemilukada ... 73 4.2 Penghilangan kata ... 76 4.3 Penggunaan Jargon ... 80 4.4 Penggunaan Jargon secara Positif atau Negatif ... 81
4.5 Penggunaan Kata-kata yang Ambigu atau Sulit
Diinterpretasikan ... 85 4.6 Apakah ada penggunaan strategi semantik berupa
penekanan tertentu? ... 88 4.7 Positif atau negatif ... 93 4.8 Tema yang diangkat oleh Partisipan ... 94 4.9 Ada kelompok yang dirugikan dari tema yang diangkat
oleh komunikator dalam status di dinding grup ... 98 4.10 Apakah partisipan memberikan bukti berkaitan dengan
persoalan yang dibahas dalam percakapan? ... 116 4.11 Apakah informasi ataupun argumentasi memiliki distorsi? .... 120 4.12 Apakah ada penggunaan majas? ... 124 4.13 Penggunaan majas-majas atau gaya bahasa tertentu yang
digunakan untuk mengarahkan pada saling pengertian ... 128 4.14 Penggunaan majas-majas atau gaya bahasa tertentu yang
digunakan untuk mengarahkan sikap permusuhan ... 131 4.15 Partisipan lain yang ikut berkomentar dalam status ... 134 4.16 Selain Pendukung Kandidat, Ada Pendukung Kandidat
yang lain ikut dalam Percakapan ... 136 4.17 Kelompok Tertentu Mendapat Keistimewaan Untuk
Berkomentar ... 138 4.18 Partisipan yang Terlibat Menggunakan Daya Tarik
Emosional Dalam Percakapan Yang Berlangsung ... 141 4.19 Penggunaan Pendapat Dari Ahli, Tokoh yang Lebih Tinggi
WACANA POLITIK DI MEDIA SOSIAL
(Studi Analisis Wacana dengan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala
Daerah Sumatera Utara Tahun 2013)
Abstrak
Penelitian ini berjudul Wacana Politik di Media Sosial, Studi Analisis Wacana dengan Pendekatan Paradigma Positivis mengenai Penerapan Ruang Publik di Facebook tentang Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara tahun 2013. Penelitian ini adalah modifikasi dari penggunaan teori kritis yang diaplikasikan dengan pendekatan positivis. Penggunaan pendekatan positivis ini digunakan untuk mendapatkan data empiris mengenai seberapa baiknya pendekatan Habermas dalam mengukur persoalan dalam hal ini percakapan di media sosial. Teori yang digunakan adalah Teori Tindakan Komunikatif yang dapat menggambarkan kompetensi dalam komunikasi yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas percakapan di ruang publik di media sosial.
Metode yang digunakan adalah metode analisis isi, dimana populasi dalam penelitian adalah percakapan yang berlangsung di Facebook mengenai persoalan pemilukada selama masa kampanye yaitu 18 Februari hingga 3 Maret 2013. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi dimana peneliti mendokumentasikan setiap percakapan yang berlangsung di Facebook mengenai Pemilkada Sumatera Utara tahun 2013. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kualitas percakapan yang berlangsung pada akun grup pendukung GANTENG dan akun grup pendukung ESJA.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kedua akun grup pendukung selama periode kampanye lebih banyak digunakan sebagai forum dukungan daripada sebagai alat kampanye. Temuan lain menunjukkan bahwa kualitas percakapan yang berlangsung sudah cukup baik namun lemah dalam klaim legitimasi. secara umum tema dalam percakapan yang berlangsungadalah dukungan partisipan terhadap kandidat.
Selain itu kualitas ruang publik dalam akun grup pendukung GANTENG lebih ideal dibandingkan dengan akun grup pendukung ESJA. Akan tetapi perbedaannya tidak cukup signifikan. Hal ini diketahui dari perolehan uji hipotesis yang dilakukan melalui uji beda dengan rumus Mann – Whitney U Test. Dari pengujian ini didapati bahwa nilai mean dalam akun grup pendukung GANTENG lebih tinggi daripada akun grup pendukung ESJA dengan perbedaan yang signifikan. Partisipan dalam kedua kelompok lemah dalam penerapan legitimasi terutamanya partisipan pada akun grup pendukung ESJA, sehingga banyak
percakapan yang berlangsung di ruang publik pada akun facebook grup
Political Discourse in Social Media
( Discourse Analysis Study with Positivist Paradigm
Approach on the Application of Public Sphere on Facebook
regarding the local election in North Sumatera in 2013)
Abstract
This study is titled Political Discourse in Social Media, Discourse Analysis Study with Positivist Paradigm Approach on the Application of Public Sphere on Facebook regarding the local election in North Sumatera in 2013. This study is a modification of the use of critical theory applied to the positivist approach. Positivist approach is used to obtain empirical data on how well the Habermas approach can perform in measuring an issue especially in this case in measuring the social media conversation. The theory used in this study is Communicative Act Theory to describe the competence in communication which eventually improve the quality of conversation in public space on social media.
The method used in this study is content analysis method, while the population of this study is the conversations that took place on Facebook regarding local election issues during election campaign period on February 18th until March 3rd 2013. The data collection used in this particular study is documentation technique where researcher documented every conversation that took place on Facebook regarding North Sumatera’s local election in 2013. The purpose of this study was to compare the quality of conversation which took place on Ganteng’s support group account and ESJA’s support group account.
The findings in this study indicate that both support group account during the campaign period was more widely used as a support forum rather than as a campaign tool. Other findings indicate that the quality of conversation that took place on both account was quite good but still weak in legitimacy. The general conversation themes found was the support of group participants towards the candidates.
Besides, the quality of public space on GANTENG’s support group account looked more ideal than the public space found on ESJA’s support group account. However, there was no significant difference between both support group account. It is seen on the results of hypothetical test which was done using Mann-Whitney U test formula. From the test it was found that the mean value of the GANTENG’s support group account is significantly higher than ESJA’s support group account. Participants in both group accont were noticably weak in the application of legitimacy especially for the participants on the ESJA’s support group account, which leads to the unjustified conversation.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dalam banyak
hal telah membantu manusia untuk meningkatkan kapasitas hidupnya. Dalam
artian keberadaan ragam teknologi komunikasi tersebut telah banyak membantu
perkembangan hidup manusia. Manusia dapat bersosialisasi dengan banyak orang
dalam waktu yang bersamaan, menjalin komunikasi secara intens dengan orang
yang berjauhan jaraknya, serta dapat mempermudah penyebaran informasi.
Dengan kata lain, teknologi memungkinkan tidak adanya lagi hambatan jarak dan
waktu dalam interaksi manusia. Menurut Jim Foust, internet bahkan “telah
menjadi kekuatan sosial yang mempengaruhi bagaimana, kapan, dan kenapa
manusia berkomunikasi. Lebih jauh, internet malah telah menjadi kekuatan
ekonomi, merubah bagaimana perusahaan beroperasi serta cara berinteraksi”
(Grant, 2004: 187).
Teknologi komunikasi, dalam hal ini internet menjadi kebutuhan yang
primer pada masyarakat maju. Ragam aktivitas masyarakat khususnya pada
masyarakat perkotaan dimudahkan oleh keberadaan internet. Tidak hanya untuk
mencari informasi, namun juga untuk menjalin interaksi dengan anggota
Keberadaan internet yang terus berkembang pesat sejak era 90-an kini
menimbulkan perdebatan mengenai konsekuensi potensial dari media baru
initerhadap perkembangan proses politik. Hal ini dikarenakan banyak aktivitas
diskusi publik termasuk didalamnya pembahasan politik yang kini beralih ke
ranah dunia maya. Media massa tidak lagi menjadi primadona untuk
diskusi-diskusi publik mengenai persoalan politik. Diskusi tersebut telah berpindah ke
forum yang lebih atraktif dan interaktif.
Dunia maya, khususnya lewat media sosial telah memungkinkan
terjadinya percakapan yang sifatnya many to many. Dengan percakapan seperti itu, setiap orang bisa melibatkan diri dalam percakapan bersama. Hal ini yang
tidak dapat diakomodir sepenuhnya oleh media massa.
Media massa, yang selama ini mendominasi ruang publik, bersifat one to many, dimana arah pembicaraan dalam ruang publiknya hanya berasal dari media massa. Publik tidak sepenuhnya terlibat dalam pembicaraan yang interaktif.
Dengan kata lain, publik mendapatkan wacana sesuai dengan kepentingan media.
Persoalannya, apa yang penting bagi media belum tentu penting bagi publik.
Situasi yang terjadi kini, nilai penting tidaknya suatu wacana dilihat dari
kepentingan media.
Persoalan semakin besar ketika para pemilik media massa kini mulai
memanfaatkan medianya untuk kepentingan politis pribadinya. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Rahmat Saleh (Saleh, 2004) menemukan bahwa kepentingan
media sebenarnya menerjemahkan ideologi dari pemilik media. Pada akhirnya,
terjemahan atas ideologi pemilik media ini justru mengaburkan peran media
kepentingan politis pemilik media. Menurut Nicholas Garnham, “kepemilikan
media oleh kapitalis mendorong terjadinya propaganda kapitalis” (Garnham,
2007: 206). Kondisi terkini, malah menunjukkan bahwa beberapa pemilik media
kini ikut dalam bursa capres untuk Pemilu 2014. Hal ini kemudian berpengaruh
pada isi media yang turut ‘mengarahkan’ agenda publik agar menganggap penting
pemilik media bersangkutan sebagai calon presiden dalam pemilihan umum
berikutnya.Perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan pers kemudian ternodai
oleh kepentingan pengusaha media yang ingin duduk di puncak kekuasaan.
Di Indonesia, media telah mengalami jatuh bangun untuk mencapai
kemerdekaan pers. Selama Soeharto berkuasa banyak media dibredel jika
memberitakan persoalan yang sensitif bagi penguasa meskipun persoalan tersebut
penting bagi kepentingan publik. Pasca jatuhnya Soeharto mediakemudian
memiliki kemerdekaan untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat.
Akan tetapi dalam perkembangannya media kemudian menjadi industri besar
yang berkiblat pada pilar bisnis.Hal ini ditegaskan oleh Hague, bahwasanya “jika
kita menilik kembali kepemilikan media massa, dan pengaruh dari perusahaan
periklanan, tidaklah mengherankan jika kemudian isi media massa – tidak hanya
berita namun juga hiburan –secara umum bersahabat dengan kepentingan
perusahaan”(Hague,1999:43).
Pengaruh kepentingan bisnis ini kemudian membuat perusahaan media
berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya Akibatnya,
pemberitaan media cenderung mengedepankan unsur kontroversi dibandingkan
Di tengah situasi ini, keberadaan media sosial membawa angin segar untuk
keberadaan ruang publik yang lebih baik. Media baru telah melahirkan
komunikasi yang lebih interaktif dalam masyarakat demokrasi. Dalam kajian
ilmiah, situasi ini disebut sebagai demokrasi digital (digital democracy). Menurut Bryan, Tsagarousianou dan Tambini (Van Dijk,2006), demokrasi digital dapat
meningkatkan kapasitas dalam beberapa hal, yaitu:
1. Demokrasi digitalmeningkatkan pencarian dan pertukaran informasi antara
pemerintah, administrasi publik, perwakilan masyarakat, organisasi politik
dan komunitas, maupun individu warga negara.
2. Demokrasi digital mendukung terjadinya debat publik, proses pertimbangan
keputusan, dan pembentukan formasi komunitas.
3. Demokrasi digital meningkatkan partisipasi warga negara dalam proses
pembuatan keputusan.
Komunikasi interaktif merupakan hal yang vital dalam masyarakat
demokratis tersebut. Perbincangan yang terjadi secara aktif dan timbal balik
dianggap sebagai bagian dari partisipasi politik dalam konteks publik
sphere.Public spheredidefenisikan sebagai “model interaksi dimana individu yang setara dan saling bergantung satu sama lain dapat membangun interpretasi yang
memungkinkan bagi setiap orang tersebut untuk menyerukan respon umum untuk
segala kebutuhan kolektifnya ataupun menunjukkan ketidakpuasan” (Johnson,
2006: 1)
Dunia maya pada akhirnya telah membantu memperluas ruang publik
alternatif yang menawarkan cita rasa baru dan lebih memberdayakan
untuk berbagai aktivitas politik. Kampanye politik kini telah berkembang kepada
media baru, yaitu media sosial. Kalangan masyarakat menengah perkotaan kini
secara aktif menggunakan media sosial sepeti facebook, youtube, twitter,
thumbler, Linkedin dan sebagainya sebagai bagian dari proses interaksi. Tidak mengherankan kalau kemudian para politisi pun menggiatkan penggunaan
medium ini untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Semakin aktif
masyarakat bermedia sosial, semakin agresif pula para politisi untuk menyuarakan
programnya di media tersebut. Para politisi telah mengembangkan media
kampanyenya dari media konvensional seperti penyebaran brosur, spanduk,
baliho, ataupun media massa ke media sosial. Masing-masing kandidat memiliki
akun grup pendukung di facebook maupun twitter. Melalui facebook, grup pendukung ini menuangkan segala bentuk dukungan terhadap para kandidat.
Di sisi lain, media baru ini juga meningkatkan partisipasi publik terhadap
berbagai persoalan politik yang berkembang. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh Aelst and Walgrave yang meyakini bahwa partisipasi politik dapat difasilitasi
melalui teknologi. Aksi-aksi politik semakin dimudahkan, dipercepat dan lebih
universal dengan mengembangkan teknologi (Donk, 2004). Dengan kata lain,
keberadaan internet cukup mumpuni untuk meningkatkan kepedulian masyarakat
terhadap persoalan politik, walaupun tidak ada hubungan pasti antara keberadaan
internet terhadap partisipasi langsung masyarakat dalam pemungutan suara.
Keberadaan media sosial telah menjadi alternatif saluran informasi tanpa
perlu mengkhawatirkan persoalan kepentingan bisnis maupun politis media.
kepentingan masing-masing individu ataupun kelompok yang terlibat dapat
terakomodir lewat media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial mampu
menunjukkan konsep ruang publik yang sebenarnya yaitu ruang publik yang
berasal dari warga dan untuk warga.
Akan tetapi, keberadaan internet dalam ruang publik juga bukannya tanpa
perdebatan. Media sosial telah memunculkan berbagai perdebatan bebas di
masyarakat maupun forum diskusi yang melibatkan komentar maupun wacana
baru yang tak jarang justru menyesatkan masyarakat. Kebebasan berkomentar di
dunia maya seringkali digunakan tidak pada tempatnya. Partisipan yang terlibat
dalam proses tersebut seringkali tidak memiliki kompetensi komunikasi sehingga
justru menimbulkan persoalan baru. Dalam media sosial, terjadi percakapan
seperti layaknya di dunia nyata. Setiap partisipan yang terlibat dapat melempar
sebuah isu yang kemudian akan ditanggapi oleh partisipan lainnya. Percakapan
terjadi lewat status, komentar, tweet, ataupun foto yang diunggah ke akun media sosial tersebut.
Beragam persoalan pun kemudian digulirkan di media sosial. Mulai dari
hal yang sederhana seperti peristiwa yang dialami sehari-hari, hingga persoalan
yang berkaitan dengan pemerintahan, ekonomi, maupun politik. Setiap orang
bebas menyampaikan isi pikiran maupun perasaannya di media sosial. Bebas,
tanpa ada sensor dari pemerintah.
Percakapan dalam media ini tak jarang kemudian menimbulkan polemik
tersendiri di masyarakat. Hal ini dikarenakan percakapan tersebut justru
kata-kata yang tidak senonoh, hingga tindakan yang disengaja untuk merusak
reputasi orang lain (cyberharassment).
Cyberharassment sendiri memang belum menjadi kajian yang umum di Indonesia. Dari beberapa literatur yang peneliti baca, tidak banyak yang
membahas persoalan cyberharassment ini. Akan tetapi di Amerika Serikat, persoalan cyberharassment sudah menjadi perhatian. Di negara ini, tindakan yang dikategorikan sebagai cyberharassment adalah perilaku yang dimaksudkan untuk mengganggu orang ataupun kelompok lain yang dilakukan melalui perangkat
teknologi komunikasi. Perangkat ini dapat berupa pesan singkat (sms), pesan di
blackberry (BBM), ataupun media sosial. Cyberharassment hanya dilakukan oleh orang dewasa. Apabila pelaku adalah anak-anak dan remaja, diistilahkan sebagai
cyberbully (sumber: uslegal.com/c/cyberbully).
Peristiwa cyberharassment dapat terjadi di media sosial, mengingat banyaknya isu dan percapan yang tidak terkontrol dan memiliki filter. Partisipan
yang terlibat di dalamnya secara sadar maupun tidak sadar sering melakukan
tindakan yang merusak reputasi orang lain lewat informasi yang disebarluaskan,
ataupun pemilihan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Sebuah lembaga non
profit Amerika, yaitu National Crime Prevention Council (NCPC) kemudian
membuat beberapa klasifikasi tindakan yang dikategorikan sebagai
cyberharassment. Tindakan ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu, berpura-pura sebagai orang lain untuk mengelabui orang lain, menyebarluaskan
kebohongan dan rumor, mengelabui orang lain agar mau mengungkapkan
data-data personal, mengirimkan atau meneruskan pesan-pesan yang tidak baik
Situasi ini mengakibatkan terjadinya perang komentar di media sosial
yang bersangkutan. Perang komentar terjadi ketika masing-masing pihak yang
terlibat mempertahankan pendapatnya sebagai hal yang paling benar
dibandingkan dengan pendapat orang lain. Pada akhirnya, debat yang terjadi
didalamnya hanyalah sebuah debat kusir tanpa penyelesaian apapun. Seringnya
bahkan informasi yang disampaikan sama sekali tidak memiliki dasar/bukti.
“Perang” ini pun tak jarang berpindah ke dunia nyata, sehingga banyak relasi
sosial yang rusak karena perang komentar tadi.
Hal inilah yang kemudian dilihat sebagai nilai negatif dari media sosial.
Ketiadaan sensor membuat setiap partisipan dapat mengeluarkan pernyataan yang
tidak berdasar dan tidak mempertimbangkan hak-hak sosial orang lain. Dengan
semakin terbukanya percakapan di media sosial maka lebih besar pula peluang
terjadinya persoalan hukum berkaitan dengan pernyataan yang disampaikan
melalui media sosial tersebut. Indonesia sendiri mengatur persoalan yang
berkaitan dengan dunia maya melalui UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elekroktronik. Disini disebutkan bahwa perkembangan dan
kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat menyebabkan perubahan
kegiatan manusia yang pada akhirnya melahirkan bentuk-bentuk perbuatan hukum
baru.
Percakapan yang berlangsung dapat mengalami kegagalan karena siapa
saja, dengan latar belakang apa saja, dapat memberikan komentar apa saja.
Dengan kata lain, tidak setiap partisipan memiliki kompetensi untuk memberikan
komentar terhadap berbagai persoalan yang dilempar dalam forum media sosial.
kompetensi partisipan. Padahal, wacana membutuhkan legitimasi tersebut. Dalam
paparan Van Leeuwen (Leeuwen, 2007) wacana dilihat sebagai wacana legitimasi
dapat memperluas dimensi wacana itu sendiri. Di satu sisi dapat menjelaskan
praktek sosial, dan di sisi lain menjelaskan nilai wacana yang berlangsung.
Munculnya debat kusir yang disertai dengan komentar negatif, kata-kata
kasar, mendiskreditkan, dan merusak reputasi orang lain adalah gambaran
bagaimana tidak komunikatifnya partisipan yang terlibat dalam percakapan di
media sosial, yang pada akhirnya menjadi cyberharasment. Perilaku seperti ini menunjukkan bahwa percakapan dalam media sosial akhirnya kehilangan nilai
moral wicara.
Akan tetapi, di sisi lain media sosial tak pelak lagi diakui sebagai bagian
kebebasan berekspresi alternatif selain media yang sudah ada sebelumnya seperti
televisi, media penyiaran, ataupun media cetak. Media sosial menjadi bagian yang
tidak dapat diabaikan begitu saja dalam perkembangan publik sphere di
masyarakat. Bahkan dalam pandangan peneliti dapat dikatakan bahwa media
sosial lebih menggambarkan konsep publik sphere itu sendiri dibandingkan dengan media massa.Dengan sifatnya yang many to many, media sosial memberi kesempatan yang sama bagi setiap pemilik akun untuk mengambil manfaat
sebesar-besarnya. Setiap pemilik akun bebas menyebarkan informasi maupun
memberikan komentar terhadap berbagai wacana yang muncul dalam media
sosial. Berbeda dengan media massa yang bersifat one to many, dimana informasi yang disebarluaskan bersifat satu arah.
percakapan memiliki kompetensi dalam berkomentar. Tidak hanya sekedar
memberikan komentar, namun dapat memberikan komentar yang
bermakna.Ruang publik yang ideal juga tercapai ketika setiap orang yang terlibat
dalam percakapan bersedia untuk menerima berbagai perbedaan pendapat yang
muncul, dan tidak merasa bahwa pendapatnya yang paling benar. Setiap orang
yang terlibat harus bersedia untuk “sepakat untuk tidak sepakat”. Ketika hal ini
terjadi, maka dapat dikatakan bahwa proses komunikasi yang berlangsung menuju
pada publik sphere yang cerdas.
Format media sosial yang paling populer di Indonesia saat ini adalah
twitter dan facebook. Kedua akun ini menjadi salah satu akun favorit dan tidak jarang dikoneksikan dengan akun media sosial lainnya seperti path, instagram, foursquare, dan sebagainya. Facebook sebagai salah satu media sosial yang populer tercatat memiliki jumlah pengguna yang besar. Hingga Mei 2013, tercatat
terdapat 1,1 milyar pengguna akun ini
Popularitasnya memang berkurang ketika twitter mulai ramai digunakan. Akan tetapi, facebook juga tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh pengguna.
Facebook didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Program Ilmu Komputer di Universitas Harvard. Zuckerberg yang ketika itu berusia 19
tahun mengembangkan facebook sebagai “direktori yang reliabel (dapat
diandalkan) berdasarkan informasi yang nyata mengenai mahasiswa” (Kirpatrick,
2010) di Universitas Harvard.
Pada 4 February 2004, domain facebook yang pada waktu itu masih
dengan mahasiswa lainnya, dimana setiap orang punya akses terhadap orang
lainnya. Dengan thefacebook, orang yang memiliki kecendrungan introvert tetap dapat bersosialisasi dengan orang lain meskipun harus melalui perangkat
teknologi. Lebih jauh, thefacebook telah menjadi jaringan sosial.
Pergerakan thefacebook pada waktu itu sudah cukup progresif. Baru empat hari dirilis saja sudah tercatat 650 orang mahasiswa yang ikut bergabung. Pada
hari kelima, tercatat tiga ribu orang bergabung disini (Kirkpatrick, 2010: 31).
Facebook menjadi pembicaraan di ruang-ruang publik Harvard. Sebagai jaringan sosial Harvard, Zuckerberg membuat beberapa batasan untuk memastikan privasi
pengguna. Diantaranya adalah keharusan untuk menggunakan nama asli dan
memiliki email harvard.edu yang tentu saja hanya dimiliki oleh mahasiswa Harvard.
Akan tetapi pada minggu kedua setelah rilis muncul banyak permintaan dari
kampus-kampus lain untuk bergabung dengan thefacebook. Pada akhirnya
thefacebook telah berkembang tidak hanya sebagai jejaring sosial antar mahasiswa, namun antar kampus.
Dengan pergerakan yang demikian cepat akhirnya Zuckerberg memutuskan
bahwa ia tidak sanggup menangani thefacebook sendirian. Akhirnya ia meminta bantuan Dustin Moskovitz yang juga merupakan teman sekamarnya. Peran
Moskovitz menurut Zuckerberg adalah salah satu peran vital yang membuat
thefacebook sukses besar hingga kini. Moskovitz telah membantu
seperti Columbia, Stanford dan Yale telah bergabung dengan thefacebook. Setelah itu, MIT, Universitas Boston, dan beberapa universitas lain turut bergabung.
Pada pertengahan April 2004, thefacebook resmi menjadi perusahaan yang berbasis profit. Nama Zuckerberg, Moskovitz, dan Saverin tercatat sebagai pendiri
perusahaan. Thefacebook resmi menerima investor sebagai penyandang dana. Akan tetapi jangkauannya masih terbatas pada lingkup universitas.
Beberapa waktu kemudian, seiring semakin banyaknya investor dan
universitas yang bergabung, thefacebook merubah konsep perusahaan skala kecil menjadi perusahaan skala besar. Pada periode ini pula tepatnya 20 September
2005 thefacebook berubah nama menjadi Facebook. Pergantian nama ini dibuat dengan pertimbangan efisiensi nama, dan logo, dengan harapan bahwa pergantian
nama ini akan semakin memudahkan interaksi antara facebook dan pengguna.
Facebook kini telah menjadi perusahaan skala dunia. Hampir seluruh dunia menggunakan akses ini untuk menjalin interaksi sosial melampau batas geografis.
Bahkan kini facebook telah ikut ke bursa saham dunia. Hal ini menunjukkan bahwa facebook, yang awalnya hanya dirancang dari sebuah kamar asrama di Harvard telah berhasil merubah konsep interaksi manusia yang awalnya
mengedepankan komunikasi tatap muka menjadi komunikasi dengan perantaraan
teknologi. Facebook memang tidak akan bisa benar-benar menggantikan fungsi komunikasi tatap muka, namun keberadaannya namun dapat menjadi “alat untuk
meningkatkan hubungan dengan orang lain” (Kirkpatrick, 2010: 12).
Dengan penggunaan akun yang progresif, dapat dikatakan bahwa
lebih cepat dan lebih bebas. Pemilik akun juga memiliki kendali berkaitan dengan
persoalan apa yang menurutnya penting untuk dibicarakan atau disebarluaskan.
p1
Pemilukada yang telah berlangsung pada 7 Maret 2013 lalu diikuti oleh 5
pasang kandidat yang mengajukan beragam program pembangunan demi
Sumatera Utara yang lebih baik.Kelima kandidat tersebut adalah Gus Irawan
Pasaribu-Soekirman (GUSMAN) yang mendapatkan nomor urut 1, Effendi MS
Simbolon-Jumiran Abdi (ESJA) pada nomor urut 2, Chairuman Harahap-Fadly
Nurzal (CHARLY) mendapatkan nomor urut 3, Amri Tambunan-R.E Nainggolan
pada nomor urut 4, dan Gatot Pujo Nugroho-T. Erry Nuradi (GANTENG) yang
menempati nomor urut 5. Proses demokrasi ini sendiri akhirnya dimenangkan
oleh pasangan No. 5 yaitu Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi
(GANTENG) dengan perolehan suara sebanyak 33 persen. Posisi kedua diduduki
oleh pasangan Effendy Simbolon dan Jumiran Abdi (ESJA) yang mampu
mencapai 24 persen dari total perolehan suara.
Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) Sumatera Utara
menjadi salah satu peristiwa politik yang ramai dibicarakan oleh masyarakat
Sumatera Utara. Dalam PEMILUKADA ini, masyarakat Sumatera Utara
menggantungkan harapan akan masa depannya pada tangan kandidat yang
mengajukan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
Keberadaan pasangan Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi pada
posisi puncak pemilihan kepala daerah Sumatera Utara sebenarnya sudah dapat
diprediksi oleh beberapa lembaga survey. Hasil survey dari Polmark Research Centre (PRC) menunjukkan bahwa pasangan ini selalu berada pada level top of
mind calon pemilih Sumatera Utara. Fenomena menarik justru terjadi pada pasangan ESJA. PRC mencatat bahwa pada survey-survey yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pasangan ini selalu berada pada posisi 3, dibawah pasangan
kandidat Gus Irawan Pasaribu dan Sukirman (GUSMAN). Akan tetapi pergerakan
politik justru menunjukkan pasangan ESJA mampu menggeser posisi pasangan
GUSMAN, dengan perolehan suara mencapai 24 persen.
Kedua kandidat ini dapat dikatakan mewakili dua perwakilan masyarakat
dengan latar belakang psikologis budaya yang berbeda. Pasangan GANTENG
mewakili masyarakat dengan latar belakang Islam dan merupakan kombinasi suku
Jawa dan Melayu. Pasangan ESJA sendiri merupakan kandidat dengan latar
belakang kombinasi Kristen dan Islam, serta berasal dari suku Batak dan Jawa.
Keberadaan Effendy Simbolon dalam pemilihan kepala daerah ini pun bukannya
tanpa perdebatan. Latar belakang Effendy Simbolon yang tidak lahir dan
dibesarkan di tanah Sumatera Utara tampaknya menjadi perdebatan tersendiri di
masyarakat mengenai kadar ‘kebatakan’ dari Effendy Simbolon.Dikutip dari
situs
Banjarmasin, dan menghabiskan masa sekolahnya di Banjarmasin dan Jakarta.
Dengan hasil pencapaian sebagai dua kandidat terkuat dalam pemilihan
kepala daerah Sumatera Utara, ditambah dengan latar belakang psikologi yang
beragam tentunya menimbulkan banyak perbincangan dan perdebatan di
masyarakat. Perbincangan terjadi di ruang-ruang publik, mulai dari warung kopi,
kampus, kendaraan umum, media massa, hingga media sosial.
Media sosial sendiri kini menjadi alternatif baru dalam penyampaian
menjadikannya sebagai satu primadona dalam interaksi dan komunikasi
dimasyarakat, khususnya masyarakat menengah perkotaan. Melalui media sosial,
setiap partisipan yang terlibat di dalamnya bebas untuk menyuarakan pendapat
mengenai berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Mulai dari persoalan
ekonomi, sosial, maupun politiktermasuk pemilihan kepada daerah Sumatera
Utara 2013.
Setelah KPU merilis secara resmi nama-nama calon peserta Pemilukada
Sumatera Utara 2013, muncul beragam tanggapan baik positif maupun negatif di
media sosial. Ragam komentar dari masyarakat mewarnai keseluruhan proses
pemilihan kepala daerah ini. Tak jarang pula komentar ini saling sahut menyahut,
bahkan sering mengarah pada debat kusir diantara para pendukung tersebut.
Situasi ini tentu menunjukkan bagaimana media sosial kian menjadi alternatif
untuk berpendapat, baik untuk menyuarakan dukungan maupun menjatuhkan
lawan politik dalam konteks pemilihan kepala daerah di Sumatera Utara. Salah
satu forum yang digunakan dalam media sosial adalah akun-akun grup pendukung
seperti facebook.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti membuat perumusan
masalah sebagai upaya untuk menjawab berbagai persoalan cyberharassment
yang muncul di media sosial, yaitu:
1. “Tema yang menjadi fokus perhatian dalampercakapan di ruang publik
melaluifacebook berkaitan dengan pemilihan kepala daerah Sumatera Utara 2013”
2. “Seberapa baik atau seberapa buruk penerapan ruang publik di facebook
3. “Siapa sajakah partisipan yang terlibat dalam percakapan di ruang publik
melalui facebook berkaitan dengan pemilihan kepala daerah Sumatera Utara 2013”
4. “Bagaimanakah kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh partisipan
yang terlibat dalam percakapan di ruang publik melaluifacebook berkaitan dengan pemilihan kepala daerah Sumatera Utara 2013”
1.3.Tujuan Penelitian
Peneliti merangkum tujuan penelitian ini atas beberapa tujuan, yaitu:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tema-tema apa sajakah yang
diangkat sebagai bahasan dalam percakapan di media sosial berkaitan
dengan pemilihan kepala daerah Sumatera Utara tahun 2013.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas penerapan ruang publik
di media sosial.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas kompetensi
komunikasi pada akun grup pendukung GANTENG dan ESJA.
4. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi komunikasi dari
partisipan yang terlibat dalam pembicaraan di ruang publik melalui media
sosial berkaitan dengan pemilihan kepala daerah Sumatera Utara 2013.
1.4.Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih
terhadap perkembangan analisis wacana dengan paradigma positivis.
2. Secara akademis, penelitian ini dilakukan untuk lebih memperkenalkan
kajian wacana dengan pendekatan Habermas.
3. Secara akademis, penelitian ini dilakukan untuk lebih memberi
4. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi kajian ilmiah mengenai
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Kerangka Teori
2.1.1.Ruang Publik (Public Sphere)
Konsep ruang publik merupakan bagian vital dalam negara demokratis.
Demokrasi dapat berjalan dengan baik jika dalam suatu negara terdapat ruang
publik yang egaliter dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dan menyampaikan idenya (Littlejohn, 2009). Dalam perkembangan
demokrasi modern, egalitas mencakup seluruh individu warga negara dan tidak
terfokus pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Ragam ide dan gagasan
berhak mendapat porsi yang sama di masyarakat. Dalam prakteknya, banyak
upaya pembungkaman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat,
terutama yang mayoritas atas ide-ide yang mereka anggap bertentangan dengan
nilai yang mereka anut, terutama ide yang berasal dari kelompok minoritas. Aneka
ragam pembungkaman tersebut berlangsung di ruang publik, tempat dimana
terjadi percakapan antara kelompok maupun individu masyarakat, baik yang
minoritas maupu n mayoritas.
Secara defenitif, ruang publik dapat didefenisikan sebagai “ruang yang
terletak diantara komunitas ekonomi dan negara tempat publik melakukan diskusi
yang rasional, membentuk opini mereka, serta menjalankan pengawasan terhadap
pemerintah” (Habermas, dalam Saleh, 2004: 49). Habermas juga menekankan
bagaimana “ruang publik dapat dilihat sebagai penyambung jaringan dan jarak
semakin beragam dalam pertemuan masyarakat dunia dan publik, ditambah jarak
yang sepertinya semakin terbatas dikarenakan perkembangan teknologi yang
semakin maju menuntut hubungan yang berkualitas untuk menciptakan
ketentraman dalam proses interaksi tersebut.
Rouper, seperti dikutip oleh Toulouse (1998) mengungkapkan terdapat tiga
prinsip utama dalam ruang publik, dalam (Saleh, 2004) yaitu:
1. Akses yang mudah terhadap informasi.
Teknologi masa kini memungkinkan anggota masyarakat untuk
mendapatkan akses terhadap informasi. Pada masa awal ruang publik
berkembang, akses ini hanya dimiliki oleh sebagian kecil kelompok
masyarakat, dalam hal ini kaum borjuis. Keberadaan publik sphere
kemudian semakin berkembang seiring dengan pesatnya perkembangan
media massa. Media massa semakin memungkinkan setiap anggota
masyarakat untuk menyampaikan ide maupun gagasannya untuk
dibicarakan di forum-forum publik. Akan tetapi, keberadaan media
massa dalam ruang publik kemudian memunculkan persoalan sendiri
ketika kepemilikan media massa terkonsentrasi pada sekelompok kecil
pengusaha media. Ditambah pula dengan kepentingan politik para
pemilik media yang turut memberi warna dalam isi pemberitaannya.
Hal ini lah yang kemudian membuat ketidaksetaraan dalam politik.
Individu awam tidak memiliki akses yang sama seperti halnya
kelompok elite tertentu. Perkembangan terkini dengan adanya internet,
meminimalisir kemungkinan pengaruh ideologi media dan pemiliknya
dalam proses pembentukan opini dalam ruang publik.
2. Tidak ada perlakuan istimewa (privilege) terhadap peserta diskusi (partisipan).
Tidak adanya privelege diartikan bahwa setiap anggota masyarakat memiliki kesetaraan dalam proses wicara. Tidak ada kelompok yang
lebih dominan atas kelompok lainnya. Inilah yang kemudian akan
dijelaskan dalam bagian berikutnya sebagai ekualitas.
3. Peserta/partisipan mengemukakan alasan rasional dalam berdiskusi
mencari konsensus.
Alasan rasional menjadi syarat penting terwujudnya ruang publik yang
baik. Rasionalitas dalam debat akan menjamin bahwasanya debat yang
berlangsung adalah debat yang dapat dipertanggungjawabkan dengan
sumber informasi yang benar dan tepat, sehingga dapat menghindarkan
terjadinya debat kusir ataupun pertarungan emosional antar partisipan.
2.1.1.1.Sejarah dan Perkembangan Teori Public Sphere
Publik sphere sendiri diperkenalkan oleh Jurgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Düsseldorf dan
besar di Gummersbach, Jerman (Kuper, 1999). Habermas memutuskan untuk
bekerjasama dengan Adorno dan Horkheimer karena ia meyakini bahwa kedua
ilmuwan itu mampu membangun teori kritis mengenai masyarakat dengan dari
Kajian ini dimulai pasca holocaust di Jerman, dimana pada masa tersebut sedang terjadi perubahan politik di Jerman. Jerman pada masa itu sedang menuju
masyarakat yang demokratis. Perubahan menuju Jerman yang lebih demokratis ini
membutuhkan demokrasi yang memiliki legitimasi (Garnham, 2007). Habermas menilai bahwa demokrasi yang memiliki legitimasi tersebut tidak semata
persoalan legitimasi oleh suara mayoritas, seperti yang umum diketahui sebagai
demokrasi. Akan tetapi, lebih kepada adanya proses diskusi yang melalui
pertimbangan dan alasan yang rasional.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Habermas pada tahun 1962
lewat bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere. Buku ini menggambarkan “transformasi dan kehancuran virtual rasionalitas ruang publik
yang tengah berkembang pada abad 19 dan 20 di Inggris, Perancis, dan Jerman”
(Johnson, 2006: 19). Dalam pandangan Habermas, ruang publik yang berkembang
pesat pada masa itu seharusnya mampu mengedepankan proses rasional. Akan
tetapi, dalam kenyataannya justru terjadi pengekangan kebebasan dan dominasi.
Inilah yang kemudian disebut sebagai ruang publik borjuis. Ruang publik ini dikuasai oleh sekelompok borjuis yang justru kemudian seolah mengambil alih ruang publik dari negara dan tidak memberikan kesempatan yang sama pada
elemen masyarakat lainnya.
Keberadaan public sphere ini sendiri sebenarnya sudah ada sejak 1700an. Masyarakat barat seperti Perancis dan Amerika mulai melakukan revolusi, dimana
warga masyarakat biasa dilibatkan dalam berbagai proses diskusi publik dalam
rangka pembuatan keputusan mengenai berbagai persoalan publik. Keberadaan