SKRIPSI
PENGARUH KOMPETENSI SUMBER DAYA MANUSIA DAN BUDAYA KERJA DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI
INSPEKTORAT KABUPATEN LABUHANBATU UTARA
OLEH
LAILY WASHLIATI NASUTION 110503128
PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “PENGARUH KOMPETENSI
SUMBER DAYA MANUSIA DAN BUDAYA KERJA DALAM
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INSPEKTORAT KABUPATEN
LABUHANBATU UTARA” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang
disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan akademik pada Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau
lembaga, atau yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin
dan dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma kaidah dan
penulisan etika ilmiah.
Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam
skripsi saya, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Medan, 12 Oktober 2015
ABSTRAK
PENGARUH KOMPETENSI SUMBER DAYA MANUSIA DAN BUDAYA KERJA DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI
INSPEKTORAT KABUPATEN LABUHANBATU UTARA
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja baik secara parsial maupun simultan berpengaruh dalam mewujudkan good governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang disampaikan kepada 32 orang aparat pemerintahan di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara. Model analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda yang dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS versi 22.0 dengan menggunakan uji kualitas data yang terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas serta menggunakan uji asumsi klasik yang terdiri dari uji normalitas, hesteroskedastisitas, multikolonieritas, dan uji hipotesis yaitu linear berganda, uji koefisien determinasi, uji t dan uji F.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan semua variabel independen mempengaruhi variabel dependen. Pengujian secara parsial memperlihatkan hasil bahwa variabel kompetensi sumber daya manusia berpengaruh dalam mewujudkan good governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara sedangkan variabel budaya kerja tidak berpengaruh dalam mewujudkan good governance.
ABSTRACT
THE EFFECT OF HUMAN RESOURCE COMPETENTION AND BUDAYA KERJA TO IMPLEMENT GOOD GOVERNANCE IN INSPECTORAT OF
NORTH LABUHANBATU
The purpose of this research is to determine the effect of human resource competention and budaya kerja to implement good governance in Inspectorat of North Labuhanbatu.
Data was collected by using questionnaire to the government employee of Inspectorat of North Labuhanbatu. The analysis model used is multiple linear regression were performed with the aid of a computer program SPSS version 22.0 using the data quality test that consisting the validity test and reliability test and classical asumption test which consisting of normality test, hesteroskedastisitas test, and multikolinear test and t test and F test.
.
Simultaneous testing concluded that all the independent variables affect the dependent variable. Partial testing results show that human resource competent significant influence implement good governance in inspectorat of North Labuhanbatu. Meanwhile budaya kerja not significant influence implement good governance in inspectorat of North Labuhanbatu.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta ‘alla
atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaian skripsi
ini guna memperoleh Sarjana Ekonomi Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Sumatera Utara. Penulis telah banyak menerima bimbingan,
saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan, yaitu kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec.Ac., Ak., CA., selaku Dekan
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Syafruddin Ginting Sugihen, MAFIS., Ak., selaku Ketua
Departemen Akuntansi dan bapak Drs. Hotmal Ja’far, MM., Ak selaku
Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Firman Syarif, M.Si., Ak., selaku Ketua Program Studi S-1
Akuntansi dan Ibu Dra. Mutia Ismail, MM., Ak selaku Sekretaris
Program Studi S-1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera
Utara sekaligus sebagai Dosen Penguji saya.
4. Bapak Drs. Mhd. Zainul Bahri Torong, M.Si., Ak., selaku Dosen
Pembimbing saya yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
dan bapak Iskandar Muda, S.E., M.Si., Ak selaku Dosen Pembanding
saya, atas segala saran dan masukan yang telah diberikan selama ini.
5. Kedua orang tua penulis, Ayah dan Ibu tercinta, H.Ahmad Rizal
Nasution, SH dan Drs. Fadhillah Bahar Dalimunthe. Abang saya Faizal
Amanda Nasution S.STP dan ketiga adik-adik saya, Mhd. Luthfi Amri
Nst, Fadlina adriyani Nst dan Arif Abdillah Nst. Terimakasih atas
segala curahan kasih sayang, perhatian, doa, dukungan dan pengorbanan
selama ini yang telah diberikan.
6. Kepada teman-teman saya terkhusus Dewita Pratiwi, Diah Puji Astika,
Siti Uly Mawaddah Simbolon, dan Wiwik Puspa yang banyak terlibat
membantu penyelesaian skripsi penulis. Kepada teman sekaligus guru
saya, Yunita Deby, terimakasih atas ilmu dan bantuannya selama ini.
Kepada rekan terbaik saya Fahmi Marajuang, semoga bisa
menyelesaikan sarjana secepatnya. Kepada sahabat-sahabat saya Dwiva,
Eki, Joko, Nanda, Pai, Ratih, Rafiq, Walid, Iman, Eza, Arif, Hadi, Nisa,
Ongga, Amita , Devi, Novri, Martin serta semua teman-teman FEB USU
yang selalu memberikan dorongan nya agar saya tetap semangat dan
berjuang untuk menyelesaikan study di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
USU.
7. Terimakasih banyak kepada setiap orang, baik itu sahabat, teman, rekan,
dan setiap pihak yang saya kenal dengan baik dan tidak dapat saya
sebutkan namanya satu-persatu. Terimakasih banyak untuk semuanya,
Saya berharap skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak. Saya juga
berharap semoga skripsi ini dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian
selanjutnya dan dapat menambah ilmu bagi yang membaca. Saya menyadari
bahwa skripsi ini juga masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 12 Oktober 2015
DAFTAR ISI
2.1.1 Konsep Good Governance dalam pelayanan publik ... 14
2.2 Sumber Daya Manusia ... 18
2.2.1 Pegawai Negeri Sipil ... 19
2.2.2 Pegawai Tidak Tetap ... 21
2.3 Kompetensi Sumber Daya Manusia ... 23
2.4 Budaya Kerja ... 28
2.4.1 Pengertian Budaya ... 28
2.4.2 Pengertian Kerja ... 28
2.4.3 Pengertian Budaya Kerja ... 29
2.4.4 Terbentuknya Budaya Kerja ... 29
2.5 Penelitian Terdahulu ... 30
2.6 Kerangka Konseptual ... 33
2.7 Hipotesis ... 34
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ……….. ... 35
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 35
3.3 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 35
3.3.1 Good Governance ... 36
3.3.2 Kompetensi Sumber Daya Manusia ... 37
3.3.3 Budaya Kerja ... 37
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian ... 39
3.6 Metode Pengumpulan Data ... 40
3.7 Teknik Analisis …. ... 41
3.7.1 Uji Kualitas Data ... 41
3.7.2 Uji Asumsi Klasik ... 42
3.7.3 Uji Hipotesis ... 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 46
4.1.1 Gambaran Singkat Objek Penelitian ... 46
4.1.2 Deskripsi Data …...…...………...……...……...…... 47
4.1.3 Statistik Deskriptif... 47
4.1.4 Uji Kualitas Data ... 48
4.1.5 Uji Asumsi Klasik ... 49
4.1.6 Uji Hipotesis ... 54
4.2 Pembahasan ... 58
4.2.1 Pengaruh kompetensi sumber daya manusia dalam mewujudkan good governance ... 58
4.2.2 Pengaruh budaya kerja dalam mewujudkan good governance ... 59
4.2.3 Pengaruh kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja dalam mewujudkan good governance ... 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 60
5.2 Keterbatasan ... 60
5.3 Saran ... 61
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
2.1 Review Penelitian Terdahulu ... 32
3.1 Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 38
4.1 Output SPSS Statistik Deskriptif ... 47
4.2 Output Uji Reliabilitas ... 49
4.3 Output Uji Normalitas ……...…...………...………... 50
4.4 Output Uji Multikolinearitas ... 53
4.5 Output Uji Regresi Linear Berganda ... 55
4.6 Output Uji Determinasi ... 56
4.7 Output Uji-t ……... 57
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
2.1 Kerangka Konseptual ... 33
4.1 Output SPSS Normal P-Plot ... 51
4.2 Output SPSS Grafik Histogram ... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ………. 66
Lampiran 2 Data Hasil Kuesioner ……… 70
Lampiran 3 Hasil Uji Statistik Deskriptif ……… 73
Lampiran 4 Uji Kualitas Data ……….. 73
Lampiran 5 Uji Asumsi Klasik ………. 77
ABSTRAK
PENGARUH KOMPETENSI SUMBER DAYA MANUSIA DAN BUDAYA KERJA DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI
INSPEKTORAT KABUPATEN LABUHANBATU UTARA
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja baik secara parsial maupun simultan berpengaruh dalam mewujudkan good governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara.
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang disampaikan kepada 32 orang aparat pemerintahan di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara. Model analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda yang dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS versi 22.0 dengan menggunakan uji kualitas data yang terdiri dari uji validitas dan uji reliabilitas serta menggunakan uji asumsi klasik yang terdiri dari uji normalitas, hesteroskedastisitas, multikolonieritas, dan uji hipotesis yaitu linear berganda, uji koefisien determinasi, uji t dan uji F.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan semua variabel independen mempengaruhi variabel dependen. Pengujian secara parsial memperlihatkan hasil bahwa variabel kompetensi sumber daya manusia berpengaruh dalam mewujudkan good governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara sedangkan variabel budaya kerja tidak berpengaruh dalam mewujudkan good governance.
ABSTRACT
THE EFFECT OF HUMAN RESOURCE COMPETENTION AND BUDAYA KERJA TO IMPLEMENT GOOD GOVERNANCE IN INSPECTORAT OF
NORTH LABUHANBATU
The purpose of this research is to determine the effect of human resource competention and budaya kerja to implement good governance in Inspectorat of North Labuhanbatu.
Data was collected by using questionnaire to the government employee of Inspectorat of North Labuhanbatu. The analysis model used is multiple linear regression were performed with the aid of a computer program SPSS version 22.0 using the data quality test that consisting the validity test and reliability test and classical asumption test which consisting of normality test, hesteroskedastisitas test, and multikolinear test and t test and F test.
.
Simultaneous testing concluded that all the independent variables affect the dependent variable. Partial testing results show that human resource competent significant influence implement good governance in inspectorat of North Labuhanbatu. Meanwhile budaya kerja not significant influence implement good governance in inspectorat of North Labuhanbatu.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Tata kelola kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan issue
yang menonjol dalam pengelolaan administrasi publik saat ini. Tuntutan gencar
yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya
tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat, selain adanya pengaruh
globalisasi (Sedarmayanti, 2003:4).
Good governance merupakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang universal, karena itu seharusnya diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan
di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Apalagi setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, yang di dalamnya telah diatur secara tegas dan limitatif asas-asas
umum penyelenggaraan negara. Good governance merupakan proses
penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public good
and service di dalam governance (pemerintahan atau kepemerintahan) sedangkan praktek baiknya disebut “good governance” (kepemerintahan yang baik).
Penyediaan public good and service di dalam praktek good governance erat
Pelayanan publik (public service) merupakan suatu perwujudan dari fungsi
aparatur negara sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Pelayanan publik
adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan,
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(Kepmenpan No.25/KEP/M.PAN/02/2004). Pelayanan publik oleh birokrasi
publik dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menilik dari
fungsi utama pemerintah yang merupakan penyelenggara pelayanan publik, sudah
seharusnya pemerintah melakukan perbaikan dalam pelayanan publik tersebut dan
tidak menjadikan good governance hanya sebagai sloganistik.
Dewasa ini, kepercayaan masyarakat/publik terhadap kinerja pemerintah
atau birokrasi mengalami degradasi yang kian semakin parah oleh akibat dari
lemahnya kinerja aparat-aparat pemerintahan/birokrasi. Kepercayaan dan
kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika pemerintah/birokrasi
yang seharusnya berperan menghadirkan pelayanan prima kepada publik menjadi
didominasi dan ditentukan oleh rezim yang berkuasa sehingga menyebabkan
kebalikan daripada pelayanan publik menjadi publiklah yang menjadi pelayan
bagi birokrasi. Hal ini membuktikan bahwa pelayanan publik yang selama ini
dirasakan masyarakat belum bisa memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi
masyarakat itu sendiri. Selain itu banyak pelayanan publik yang diberikan kepada
masyarakat tidak secara efektif dan efisien, dimana pelayanan yang diberikan
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dimana telah mengalami perubahan sebanyak dua kali, yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 dan Undang-Undang No.12 Tahun 2008,
telah membawa perubahan besar terhadap bentuk sistem pemerintahan yang
sebelumnya menganut sistem sentralisasi (terpusat) menjadi desentralisasi
(otonomi daerah). Perubahan sistem ini memberikan dampak besar dalam
pelaksanaan administrasi dan manajemen sumber daya manusia sektor publik.
Perubahan ini membawa implikasi yang sangat luas bagi pelaksanaan tugas
aparatur di daerah. Perubahan yang sangat mendasar adalah kewenangan yang
diberikan pemerintah kepada kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) yang
sangat besar berkenaan dengan pengelolaan kepegawaian di daerah, mulai dari
pengangkatan, promosi dalam jabatan, kenaikan pangkat, hingga kepada
pemberhentian pegawai. Kewenangan yang besar tersebut diharapkan akan
membantu kelancaran keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, karena sumber
daya manusia aparatur di daerah merupakan ujung tombak dalam implementasi
kebijakan otonomi daerah. Sesuai dengan pendapat Thoha dalam Torang
(2013:50) yang menyatakan bahwa “manusia (man) adalah salah satu dimensi
dalam organisasi yang amat penting, merupakan salah satu faktor dan pendukung
organisasi”.
Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa setelah lebih dari satu
dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak terjadi penyalahgunaan
wewenang oleh kepala daerah, diantaranya pengangkatan tenaga honorer yang
pegawai negeri sipil (CPNS) dan promosi jabatan yang banyak terimplikasi ada
praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan pengangkatan jabatan yang
tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi. Padahal seharusnya penempatan
pegawai disesuaikan dengan keahliannya sesuai prinsip the right man on the right
job yang merupakan kaidah dan prinsip yang berlaku secara universal. Apabila hal ini terus terjadi, maka akan mengganggu kinerja sumber daya manusia
aparatur secara umum, mengganggu sistem karir dan akan menghambat aktivitas
pelayanan publik sehingga berimplikasi terhadap penurunan kepercayaan publik
kepada pemerintah daerah dan pada gilirannya akan berimbas kepada sulitnya
atau gagalnya pelaksanaan otonomi daerah dalam mewujudkan good governance.
Padahal seharusnya good governance digunakan sebagai sebuah kerangka
institusional untuk memperkuat otonomi daerah karena secara subtantif
desentralisasi dan otonomi daerah bukan hanya masalah pembagian kewenangan
antara level pemerintahan, melainkan upaya membawa negara lebih dekat
terhadap masyarakat dan good governance adalah basis penyelenggaraan otonomi
lokal.
Sejalan dengan pendapat Thoha, Tajuddin (2008) juga menyatakan bahwa
“berhasil atau tidaknya pelaksanaan good governance sebagian besar tergantung
pada pemerintah daerah (local government) yang terdiri dari unsur-unsur
pimpinan daerah, DPRD. Disamping itu terdapat aparatur atau alat perlengkapan
daerah lainnya yaitu para pegawai daerah itu sendiri”. Berdasarkan pendapat ahli
tersebut diketahui bahwa salah satu unsur penyelenggaraan pemerintahan yang
yang baik (good governance) ialah penataan aparatur pemerintah yang meliputi
penataan kelembagaan birokrasi pemerintahan, sistem dan penataan manajemen
sumber daya pegawai (PNS).
Jika diamati dengan seksama, persoalan yang menjadikan aparatur negara
kurang amanah salah satunya disebabkan oleh terabaikannya faktor moral dan
etika. Konsentrasi aparatur negara lebih banyak bernuansa materi. Vonita (2010),
‘untuk negara yang lebih baik maka terlebih dahulu membangun peradaban
manusia-manusia yang baik, hal ini dapat terwujud dengan membangun
individu-individu yang membentuk masyarakat itu sendiri. Sebab individu-individu merupakan
pondasi dari masyarakat. Tanpa memperhatikan hal tersebut, peradaban yang
baik sesuai dengan tujuan bangsa tidak akan terwujud’.
Fenomena yang terjadi di Indonesia penyebab kurang berhasilnya good
governance disebabkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap budaya kerja aparat. Budaya kerja adalah sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur
negara yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah
menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan
sehari-hari. Budaya kerja diharapkan bermanfaat bagi pribadi aparat negara maupun unit
kerjanya, dimana secara pribadi memberi kesempatan berperan, berprestasi dan
aktualisasi diri, dan dalam kelompok bisa meningkatkan kualitas kinerja
kelompok. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan dan pengembangan
budaya kerja adalah bertumbuh kembangnya nilai-nilai moral dan budaya kerja
produktif aparat negara, meningkatnya persepsi, pola pikir, pola sikap, pola
meningkatnya kinerja aparat negara, dan terbentuknya citra aparat negara dan
kepercayaan masyarakat (trust).
Agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik dan bersih terwujud, maka pengawasan sebagai
instrumen dalam manajemen organisasi pemerintahan harus berjalan dan
terlaksana secara optimal. Optimalisasi pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah selain mewujudkan cita-cita otonomi daerah dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga mencegah terjadinya
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Guna mencegah terjadinya
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan
pemerintahan, maka di setiap institusi pemerintah dibentuk lembaga pengawasan
internal pemerintah yang secara khusus melaksanakan fungsi pengawasan.
Lembaga pengawasan internal pemerintah adalah lembaga yang dibentuk dan
secara inheren merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang memiliki tugas
pokok dan fungsi dibidang pengawasan. Pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilakukan oleh Inspektorat. Pengawasan sebagai suatu
proses merupakan rangkaian tidak terputus, salah satu unsur manajemen
pemerintah yang penting untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, efektif,
efisien, terarah dan terkoordinasi. Pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah merupakan amanat dari ketentuan Bab XII, Pasal 218
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
1. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah meliputi :
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di daerah.
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.
Guna mewujudkan pemerintahan yang baik lembaga pengawasan
selayaknya memainkan peran aktifnya dalam menghadapi tuntutan perkembangan
dan pencapaian sasaran pembangunan sesuai dengan aspirasi reformasi, peranan
aparatur negara dan tuntutan masyarakat. Sesuai dengan tuntutan masyarakat
terhadap kinerja aparatur pemerintah dalam penyelenggaraan kepemerintahan
yang baik (good governance), maka perlu dilakukan upaya perbaikan secara
terus-menerus terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah ketidakekonomisan,
ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam praktek manajemen publik baik
dimasa lalu maupun yang berpotensi timbul di masa yang akan datang.
Perubahan yang terjadi terus menerus juga menuntut peningkatan kompetensi aparat pengawas internal. Pengetahuan dan ketrampilan minimal yang dibutuhkan dari pengawas intern juga mengalami perubahan. Jika dahulu aparat lebih didominasi oleh ilmu akuntansi dan auditing, saat ini pengawas intern membutuhkan berbagai jenis disiplin ilmu untuk mendukungnya (Warta Pengawasan, 2012:9)
Kabupaten Labuhanbatu Utara merupakan kabupaten hasil pemekaran
Kabupaten Labuhanbatu. Pembentukan Kabupaten ini sendiri didasarkan pada
Undang-Undang No.23 Tahun 2008 tanggal 21 Juli 2008. Sebagai kabupaten
baru, peneliti tertarik untuk melihat sejauhmana peran Inspektorat Kabupaten
dalam melakukan pengawasan demi mewujudkan good governance.
Penelitian Syamsir (2014) mencoba menganalisis hubungan peran
inspektorat daerah sebagai lembaga pengawas daerah dan budaya organisasi
terhadap penerapan good governance yang mengatakan bahwa inspektorat tidak
Bukittinggi, sedangkan budaya organisasi memiliki pengaruh langsung terhadap
penerapan good governance.
Amelia et al. (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa good
governance berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah di Kabupaten Pelalawan sedangkan budaya kerja organisasi tidak berpengaruh terhadap kinerja
pemerintah.
Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ingin melihat pengaruh budaya
kerja dalam mewujudkan good governance. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya terletak pada (1) objek penelitian, yaitu Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) dalam penelitian ini adalah Inspektorat Kabupaten
Labuhanbatu Utara dan (2) penambahan variabel penelitian, yaitu kompetensi
sumber daya manusia.
Dari uraian diatas dan berdasarkan hasil dari penelitian terdahulu, maka
penulis melakukan penelitian ini dengan judul: “PENGARUH KOMPETENSI
SUMBER DAYA MANUSIA DAN BUDAYA KERJA DALAM
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INSPEKTORAT
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang sudah dipaparkan, maka dapat
dirumuskan permasalahan penelitian terfokus pada :
1. Apakah kompetensi sumber daya manusia berpengaruh dalam
mewujudkan Good Governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu
Utara?
2. Apakah budaya kerja berpengaruh dalam mewujudkan Good Governance
di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara ?
3. Apakah kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja berpengaruh
dalam mewujudkan Good Governance di Inspektorat Kabupaten
Labuhanbatu Utara ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan beberapa masalah yang yang telah diuraikan diatas, maka
tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Untuk menguji apakah kompetensi sumber daya manusia berpengaruh
dalam mewujudkan Good Governance di Inspektorat Kabupaten
Labuhanbatu Utara
2. Untuk menguji apakah budaya kerja organisasi berpengaruh dalam
mewujudkan Good Governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu
Utara
3. Untuk menguji apakah kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja
berpengaruh dalam mewujudkan Good Governance di Inspektorat
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian mengenai pengaruh kompetensi sumber
daya manusia dan budaya kerja organisasi dalam mewujudkan Good Governance,
maka terdapat manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat tersebut adalah :
1. Bagi peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah wawasan,
pengetahuan dan pemahaman mengenai penerapan good governance
berkaitan dengan kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja.
2. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat memperkaya hasil penelitian
dan sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian yang ingin
mengkaji masalah yang sama di masa yang akan datang.
3. Bagi Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara, diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran kepada aparat pemerintahan sebagai
tambahan informasi dan bahan kajian dalam memahami fungsi, peran,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Good Governance
Istilah governance pertama kali dipergunakan pada abad ke-14 di Perancis.
Pada waktu itu, istilah governance diartikan sebagai seat of government (kursi
pemerintah). Governance menjadi populer tatkala World Bank mempergunakan
istilah governance untuk memperkanalkan pendekatan baru dalam melaksanakan
proses pembangunan. Jika mengacu pada program World Bank dan United
Nation Development Program (UNDP), orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian good governance sering
diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. World Bank (1989) dalam
Fajonyomi (2013) mendefenisikan governance sebagai ‘the exercise of political
power to manage a nation’s affairs”. Sedangkan United Nation Development Program (UNDP) dalam Fajonyomi (2013) mendefenisikan governance sebagai ‘the exercise of economic, political and administrative authority to manage a country’s affair at all levels’. Dalam hal ini, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan
pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek
politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan negara.
Peraturan Pemetintah Nomor 101 tahun 2000 merumuskan arti good
demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh
masyarakat”.
Kunci utama memahami good governance yaitu pemahaman atas
prinsip-prinsip didalamnya. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah
bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance.
Prinsip-prinsip good governance menurut United Nation Development Program (UNDP,
1997) dalam Mardiasmo (2004:24) memberikan beberapa karaktertik pelaksanaan
good governance, meliputi : 1. Partisipasi (Partisipation)
Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Aturan Hukun (Rule of Law)
Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh tanpa pandang bulu.
3. Transparansi (Transparancy)
Transparansi harus dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
4. Daya Tangkap (Responsiveness)
Lembaga-lembaga publik harus cepat tanggap dalam melayani stakeholder.
5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation)
Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. 6. Berkeadilan (Equity)
Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang sama terhadap masyarakatnya dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
7. Efektif dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
8. Akuntabilitas (Accountability)
Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. 9. Visi Strategis (Strategic Vision)
Sejalan dengan UNDP, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2000 dinyatakan bahwa prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari:
1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintah agar mampu member pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3. Transparansi, menciptakan kepercayaan timbale balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tariff, kepastian waktu, kemudian akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
5. Demokrasi dan pertisipasi, mendorong setiap warga untuk
mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
6. Efisiensi dan efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab.
7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat,
mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. (Ramadhan, 2015: 708)
Tajuddin (2008) menyatakan bahwa ada 5 (lima) faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi good governance yaitu:
1. Faktor Manusia Pelaksana (Man)
Berhasil atau tidaknya pelaksanaan good governance sebagian besar tergantung pada pemerintah daerah (local government) yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, DPRD. Disamping itu terdapat aparatur atau alat perlengkapan daerah lainnya yaitu para pegawai daerah itu sendiri
2. Faktor Partisipasi Masyarakat (Public Participation)
Masyarakat di daerah baik sebagai sistem maupun sebagai individu merupakan bagian integral yang sangat penting dalam sistem pemerintah daerah.
3. Faktor Keuangan Daerah (Funding or Budgeting)
faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat pencapaian good governance. Ini berarti bahwa penerapan dan
pencapaian good governance di daerah/lokal membutuhkan
dana/finansial.
4. Faktor Peralatan (tools)
Dalam pengertian ini peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar dan mempermudah pekerjaan gerak dan aktivitas pemerintah dalam upaya pencapaian dan perwujudan good governance.
5. Faktor Organisasi dan Manajemen (Organization and Managament) Faktor ini meliputi POAC (Planning, Organizing, Actuating, and Controlling)/ POSCORB (Planning, Organizing, Staffing, Coodinating). Agar pencapaian good governance dapat terwujud maka diperlukan adanya organisasi dan manajemen yang baik pula.
2.1.1. Konsep Good Governance Dalam Pelayanan Publik
Pelayanan publik di Indonesia seringkali dicirikan oleh inefisiensi yang
tinggi, prosedur yang berbelit-belit, serta tidak adanya kepastian waktu dan
biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan layanan. Lebih dari itu,
penyelenggaraan pelayanan publik masih sangat dipengaruhi oleh
subjektivitas, baik yang dimiliki oleh penyelenggaraan atau para pengguna
dalam konteks ini upaya pengembangan pelayanan publik dengan
memperhatikan prinsip-prinsip good governance menjadi sangat penting.
Prinsip-prinsip dimaksud adalah:
1. Transparansi/Keterbukaan (Transparency)
Transparansi dalam pelayanan memiliki peran kritis dalam
pengembangan praktik governance karena sebagian besar permasalahan dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan pelayanan bersumber dari rendahnya
transparansi. Ketidakpastian pelayanan, praktik suap, dan terlalu besarnya
biaya transaksi dalam kegiatan pemerintahan dan pelayanan bersumber dari
mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, waktu penyelesaian, rincian
waktu/tariff serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib
diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat baik diminta maupun tidak diminta”.
2. Akuntabilitas (Accountability) Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan,
baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi
pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Akuntabilitas dalam negara demokrasi (Lenvine, 1990: 188) dari aspek
akuntabilitas menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan
sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang
dalam masyarakat”. Pertanggungjawaban pelayanan publik meliputi
akuntabilitas kinerja pelayanan publik, akuntabilitas biaya pelayanan publik,
dan akuntabilitas produk pelayanan publik (Ratminto dan Winarsih, 2006:
216-219).
3. Responsivitas (Responsiveness) Pelayanan Publik
Merupakan daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan,
keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan. Responsivitas
diartikan juga sebagai kerelaan untuk menolong pengguna layanan dan
menyelenggarakan pelayanan publik secara ikhlas (Zeithaml et al., 1990: 26).
pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan proses penyelengaraan layanan (Subarsono, 2008: 135-171).
4. Keadilan (Fairness) Yang Merata
A level playing field (perlakuan yang adil/perlakuan kesetaraan). Ini berlaku bagi pemerintah kepada masyarakat dalam pelayanan publik,
perusahaan kepada pelanggan dan sebagainya.
Kriteria keadilan yang merata mengandung arti cakupan/jangkauan
pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan
diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat (Widodo, 2002: 276).
Hubungan antara pemerintah sebagai pelayanan publik dan mereka
yang menggunakan layanan tersebut secara historis lebih tepat didefinisikan
sebagai hubungan antara pemerintah dengan warga negara daripada hubungan
antara pemberi layanan dan customer. Walsh (1994: 69) dalam Laing
(2003:433) mengatakan sebagai berikut: ‘the fundamental relationship between
citizen and government is not one of simple exchange but one mutual commitment, and public services are not simply a reciprocation on taxes’. Dapat diartikan sebagai hubungan fundamental antara warga negara dan
pemerintah bukanlah suatu pertukaran yang sederhana akan tetapi lebih
merupakan komitmen bersama, dan pelayanan publik bukanlah semata-mata
bentuk resiprokal dari pajak. Karena hubungan antara pemerintah dan warga
negara yang dilayani memiliki landasan fundamental yang ditandai oleh
adanya komitmen bersama antara pihak yang memerintah dan pihak yang
diperintah untuk membangun suatu negara, maka salah satu hal penting yang
equality (persamaan). Dengan demikian, setiap warga negara harus mempunyai akses yang sama untuk memperoleh pelayanan publik yang
mereka butuhkan.
5. Efesiensi dan Efektivitas (Efficiency & Effectiveness)
Savas (1987: 115) ada tiga kriteria fundamental dalam pelayanan publik
yaitu efesiensi, efektivitas dan keadilan (equity). Untuk meningkat efisiensi
dan efektivitas pelayanan publik, serta prospek pelayanan publik di masa
datang mengisyaratkan perlu dilakukan reformasi mendasar terutama dalam
kinerjanya.
Beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelayanan yang efisien, efektif dan ekonomis (Arif, 2008: 22). antara lain:
a. melakukan reformasi internal dari aparat/birokrasi tentang tugas yang diembannya. Persepsi selama ini ia dibutuhkan rakyat atau publik harus dirubah bahwa dialah yang membutuhkan rakyat.
b. Peningkatan suasana kompetensi dengan sesame aparat dalam
memberikan layanan. Dengan kompetensi output layanan menjadi lebih baik namun tidak menambah biaya.
c. Mendeskripsikan dan mempublikasikan secara jelas-tegas, kriteria efisien dan efektif suatu kegiatan layanan publik. Efisien atau efektif tidaknya aktivitas layanan publik menjadi indikasi kinerja dan jenjang karies aparat yang bersangkutan.
d. Adanya otonomi, demokratisasi serta keterlibatan aparat dalam merumuskan suatu kebijakan.
e. Peningkatan moralitas aparat, ini berangkutan dengan kesadaran masing-masing aparat/birokrasi sebagai aktor pelayanan publik.
6. Partisipasi (Participation) dalam pelayanan publik
menyelenggarakan pelayanan publik, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme untuk mengevaluasi pelayanan (Purwanto, 2008: 190).
Pentingnya partisipasi publik dalam upaya meningkatkan kualitas
pelayanan publik juga memperoleh momentum yang tepat seiring dengan
munculnya era otonomi daerah di Indonesia yang memberikan keleluasaan
lebih besar kepada daerah untuk merancang dan menentukan sendiri jenis
pelayanan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. “Kewenangan yang
dimiliki daerah tersebut tentunya dapat mendatangkan manfaat besar bagi
masyarakat apabila pemerintah daerah mampu membangun demokrasi pada
kepuasannya (Darodjat, 2015: 90)”.
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (UU ASN) tingkat lokal (local level democracy),
melalui peningkatan partisipasi publik dengan melibatkan masyarakat dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik, pemerintah
daerah akan memperoleh berbagai keuntungan.
2.2. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya
fisik yang dimiliki individu, perilaku dan sifatnya ditentukan oleh keturunan dan
lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk
memenuhi kepuasannya (Darodjat, 2015:90).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang
Nomor 43 Tahun 1999, pegawai Aparatur Sipil Negara terdiri atas: Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Namun sehubungan dengan belum diberlakukannya UU ASN maka penelitian ini
masih berpedoman terhadap Undang – Undang Nomor 43 Tahun 1999. Di dalam
Undang – Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa di
samping Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat
yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap.
2.2.1. Pegawai Negeri Sipil
Undang – Undang No. 43 Tahun 1999, pada bab 1 pasal 1 tentang Ketentuan Umum menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah setiap warga negara republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Berdasarkan pada pengertian sebagaimana tersebut di atas, maka untuk
dapat disebut sebagai pegawai negeri harus memenuhi beberapa unsur yaitu:
1. Warga negara Republik Indonesia
Warga negara Indonesia sebagaimana dinyatakan pada pasal 2
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan adalah orang-orang
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
2. Memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang
Syarat yang harus dipenuhi oleh setiap calon pegawai negeri menurut
Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 tahun 2002 adalah:
a. Warga negara Indonesia
b. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun
c. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan
d. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta
e. Tidak berkedudukan sebagai calon/pegawai negeri
f. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan ketrampilan yang diperlukan
g. Berkelakuan baik
h. Sehat jasmani dan rohani
i. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh pemerintah dan;
j. Syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan
3. Diangkat oleh pejabat yang berwenang
Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan
mengangkat, menempatkan, memindahkan dan memberhentikan pegawai
negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
4. Diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara
lainnya
Jabatan negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang – undangan, termasuk di dalamnya jabatan
dalam kesekretariatan lembaga tertinggi atau tinggi negara, dan kepaniteraan
pengadilan, sedangkan yang dimaksudkan dengan tugas negara adalah tugas
5. Digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Berdasarkan PP No. 7 Tahun 1977 tentang gaji PNS, penghasilan sah
yang diterima seorang PNS terdiri dari gaji pokok, kenaikan gaji berkala,
kenaikan gaji istimewa, tunjangan serta honorarium.
2.2.2. Pegawai Tidak Tetap
Berdasarkan Perubahan Undang – Undang Pokok – Pokok
Kepegawaian (PUUPPK) Pasal 2 ayat (3), dimana rumusan pasal ini
menegaskan bahwa disamping Pegawai Negeri, pejabat yang berwenang dapat
mengangkat pegawai tidak tetap. Penjelasan dari pasal ini menegaskan bahwa
pegawai tidak tetap adalah pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu
guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis
professional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
organisasi.
Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setelah disahkannya
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU
ASN), istilah pegawai tidak tetap atau pegawai honor sudah tidak berlaku lagi
dan berganti menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang
selanjutnya disingkat PPPK. Berdasarkan UU ASN PPPK adalah warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan
perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas
pemerintahan. PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b Undang –
Undang ASN merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan
Instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang. Pengadaan PPPK harus
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
1. Perencanaan pengadaan PPPK
2. Pengumuman lowongan PPPK
3. Pelamaran
4. Seleksi
5. Pengumuman hasil seleksi
6. Pengangkatan menjadi PPPK
Proses penerimaan PPPK hampir sama dengan proses pengadaan CPNS
dari kalangan umum. Setiap tahapan proses rekrutmen dilakukan dengan
penilaian objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan Instansi
Pemerintah dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan. Persyaratan
untuk menjadi seorang PPPK adalah yang bersangkutan harus memiliki masa
kerja sebagai honorer dan memenuhi persyaratan sesuai dengan perundangan
yang berlaku. Persyaratan untuk menjadi PPPK pada umumnya adalah hampir
sama dengan persyaratan untuk menjadi PNS, yang menjadi perbedaan
mencolok diantara keduanya adalah dari segi umur dimana seorang pelamar
PPPK bisa berumur lebih dari 35 tahun sedangkan umur dari seorang CPNS
2.3. Kompetensi Sumber Daya Manusia
Kompetensi sumber daya manusia mencakup kapasitasnya, yaitu
kemampuan seseorang atau individu, suatu organisasi (kelembagaan), atau suatu
sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi atau kewenangannya untuk mencapai
tujuannya secara efektif dan efisien. Kapasitas harus dilihat sebagai kemampuan
untuk mencapai kinerja, untuk menghasilkan keluaran-keluaran (outputs) dan
hasil-hasil (outcomes).
Tjiptoherijanto (2001) dalam Winidyaningrum, Celviana dan Rachmawati.
(2010) menyatakan ‘untuk menilai kapasitas dan kompetensi sumber daya
manusia dalam melaksanakan suatu fungsi, dapat dilihat dari level of
responsibility dan kompetensi sumberdaya tersebut’. Tanggung jawab dapat dilihat dari atau tertuang dalam deskripsi jabatan. Deskripsi jabatan merupakan
dasar untuk melaksanakan tugas dengan baik. Tanpa adanya deskripsi jabatan
yang jelas, sumberdaya tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Sedangkan kompetensi dapat dilihat dari latar belakang pendidikan,
pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti, dan dari keterampilan yang dinyatakan dalam
pelaksanaan tugas.
‘Kompetensi merupakan suatu karakteristik dari seseorang yang memiliki
keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan kemampuan (ability) untuk
melaksanakan suatu pekerjaan’ (Hevesi, 2005) dalam Winidyaningrum, Celviana
dan Rachmawati (2010). Menurut beberapa pakar, kompetensi adalah
karakteristik yang mendasari seseorang mencapai kinerja yang tinggi dalam
bekerja tersendat-sendat dan juga mengakibatkan pemborosan bahan, waktu, dan
tenaga. Dunnetts (2004: 110) menyatakan ‘skill adalah kapasitas yang dibutuhkan
untuk melaksanakan suatu rangkaian tugas yang berkembang dari hasil pelatihan
dan pengalaman’. Blanchard & Thacker (2004), ‘skill seseorang tercermin dari
seberapa baik seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan yang spesifik seperti
mengoperasikan suatu peralatan, berkomunikasi efektif, atau
mengimplementasikan suatu strategi bisnis’.
Dharma (2005: 47) menyatakan “kemampuan identik dengan kompetensi
yang dimiliki yang mengacu kepada dimensi prilaku dari sebuah peran perilaku
yang diperlukan seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya secara
memuaskan”. Berikut ini terdapat beberapa daftar kompetensi dalam manajemen
kinerja menurut Amstrong (2005: 59) yaitu :
1. Pengetahuan kerja dan professional 2. Kesadaran organisasi/konsumen 3. Komunikasi
4. Keahlian interpersonal 5. Kerjasama tim
6. Inisiatif
7. Keahlian Analitis 8. Produktifitas 9. Kualitas
10. Manajemen/pengawas 11. Kepemimpinan
Kompetensi didefinisikan (Mitrani et al, 1992 ; Spencer and spencer, 1993)
dalam Dharma (2005: 109) sebagai ‘an underlying characteristic’s of an
Ada 3 kata penting untuk dipahami dari pengertian ini (1) Underlying
characteristics mengandung arti kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi
pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. (2) Causally Related berarti
kompetensi adalah suatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan
kinerja. (3) Criterionreferenced mengandung makna bahwa kompetensi
sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari
criteria atau standar yang digunakan. Maka dapat disimpulkan bahwa
kompetentsi seorang individu merupakan sesuatu yang melekat dalam dirinya
yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kinerjanya. Sesuatu yang
dimaksud bisa menyangkut motif, konsep diri, sifat, pengetahuan maupun
kemampuan/keahlian.
Spencer and Spencer (1993), Mitrani et al. (1992) menyatakan terdapat 5
(lima) karakteristik kompetensi, yaitu: (1) Knowledge (2) Skill (3) Motives (4)
Traits (5) Self-Concept.
(1) Knowledge adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang untuk bidang
tertentu. Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks karena
sampai saat ini tes pengetahuan tetap tidak bisa mengukur pengetahuan
dan keahlian seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam pekerjaan.
Tes pengetahuan mengukur kemampuan peserta tes untuk memilih
jawaban yang benar tetapi tidak bisa melihat apakah seseorang dapat
(2) Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik
secara pisik maupun mental.
(3) Motives adalah drive, direct and select behavior ti ward certain actions
or goals and away from other. Seseorang memiliki motif berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang memberikan
tantangan pada dirinya dan bertanggungjawab penuh untuk mencapai
tujuan tersebut serta mengharapkan feed back untuk memperbaiki
dirinya.
(4) Traits adalah watak yang membuat orang untuk berprilaku atau
bagaimana seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu.
(5) Self-concept adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor :
43/Kep/2001 Tanggal 20 Juli 2001 ada beberapa standar Kompetensi yang
ditentukan yang harus dimiliki oleh jenjang Jabatan Struktural Eselon III dan IV
sebagai berikut :
Standar Kompetensi Umum Jabatan Struktural Eselon III :
1. Mampu memahami dan mewujudkan kepemerintahan yang baik
(good governance) dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasinya.
2. Mampu memberikan pelayanan-pelayanan yang baik terhadap
kepentingan publik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab unit organisasinya.
3. Mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
4. Mampu melakukan pengorganisasian dalam rangka pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab unit organisasinya.
5. Mampu melakukan pendelegasian wewenang terhadap bawahannya.
6. Mampu mengatur/mendayagunakan sumberdaya-sumberdaya untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan tugas unit organisasi.
8. Mampu melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam unit organisasinya
9. Mampu menumbuh-kembangkan inovasi, kreasi dan motivasi
pegawai untuk mengoptimalkan kinerja unit organisasinya.
10. Mampu menetapkan kegiatan-kegiatan yang tepat dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam unit organisasinya.
11. Mampu mendayagunakan teknologi informasi yang berkembang
dalam menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
12. Mampu menetapkan kegiatan-kegiatan pengawasan dan
pengendalian dalam unit organisasinya.
13. Mampu memberikan akuntabilitas kinerja unit organisasinya.
14. Mampu melakukan evaluasi kinerja unit organisasinya/unit
organisasi dibawahnya dan menetapkan tindak lanjut yang diperlukan.
15. Mampu memberikan masukan-masukan tentang
perbaikan/pengembangan program kepada pejabat atasannya tentang kebijakankebijakan maupun pelaksanaannya
Standar Kompetensi Umum Jabatan Struktural Eselon IV :
1. Mampu memahami dan mewujudkan kepemerintahan yang baik
(good governance) dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasinya.
2. Mampu memberikan pelayanan prima terhadap publik sesuai dengan tugas dantanggung jawab unit organisasinya.
3. Mampu melaksanakan pengorganisasian dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawab unit organisasinya.
4. Mampu mengatur/mendayagunakan sumberdaya-sumberdaya untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan tugas unit organisasi.
5. Mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kewenangan dan prosedur yang berlaku di unit kerjanya.
6. Mampu membangun jaringan kerja/melakukan kerjasama dengan
unit-unit terkait baik dalam organisasi maupun di luar organisasi untuk meningkatkan kinerja unit organisasinya.
7. Mampu melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam unit organisasinya.
8. Mampu menumbuh-kembangkan inovasi, kreasi dan motivasi
pegawai untuk mengoptimalkan kinerja unit organisasinya.
9. Mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam unit organisasinya.
10. Mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan pengawasan dan
pengendalian dalam unit organisasinya.
11. Mampu memberikan akuntabilitas kinerja unit organisasinya.
13. Mampu memberikan masukan-masukan tentang perbaikan-perbaikan/ pengembangan-pengembangan kegiatan-kegiatan kepada pejabat diatasnya
2.4. Budaya Kerja
2.4.1. Pengertian Budaya
Poespowardojo (dalam Tanjung et al. 2002: 32), budaya secara harfian berasal dari Bahasa Latin, yaitu colore yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang. Selanjutnya, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Koentjaraningrat (1984), budaya adalah keseluruhan sistem gagasan
tindak dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.
Jadi sederhananya, bahwa budaya adalah kristalisasi nilai-nilai dan tata
cara hidup yang dianut suatu komunitas atau kelompok. Budaya tiap
komunitas tumbuh dan berkembang secara unik karena perbedaan pola hidup
komunitas. Dalam praktik yang lebih sempit budaya juga menunjukkan pola
kerja yang terdapat pada suatu komunitas (Tanjung et al. 2002:33)
2.4.2. Pengertian Kerja
Pada hakikatnya bekerja merupakan bentuk atau cara manusia untuk
mengaktualisasikan dirinya. “Bekerja merupakan bentuk nyata dari
nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi
untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian suatu tujuan
2.4.3. Pengertian Budaya Kerja
Budaya aparatur negara dapat dikenali wujudnya dalam bentuk
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, institusi atau sistem kerja, serta sikap dan
perilaku SDM aparatur yang melaksanakannya (Kepmenpan Nomor:
25/KEP/M.PAN/04/2002). Sehingga budaya kerja aparatur negara dalam
keputusan tersebut diartikan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok
aparatur negara yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan
telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan
sehari-hari. Budaya kerja aparatur negara diharapkan akan bermanfaat bagi
pribadi aparatur negara maupun unit kerjanya, dimana secara pribadi member
kesempatan berperan, berprestasi dan aktualisasi diri, sedangkan dalam
kelompok dapat meningkatkan kualitas kinerja bersama. Nilai-nilai, perilaku,
dan falsafah yang dianut setiap orang mempunyai arti proses yang panjang
yang terus menerus disempurnakan sesuai dengan tuntutan dan kemampuan
sumber daya manusia itu sendiri sesuai dengan prinsip pedoman yang diakui.
Sehingga budaya kerja dapat diartikan sebagai cara pandang yang
menumbuhkan keyakinan atas dasar nilai-nilai yang diyakini pegawai untuk
mewujudkan prestasi kerja terbaik.
2.4.4. Terbentuknya Budaya Kerja
Budaya kerja terbentuk begitu satuan kerja atau organisasi berdiri. Sithi
Amnuai dalam Ndraha (2003) menjelaskan “being developed as they learn to
belajar menghadapi masalah, baik yang menyangkut perubahan-perubahan
eksternal maupun internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan
organisasi. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk membentuk budaya
kerja. Pembentukan budaya kerja diawali oleh para pendiri (founders) atau
pimpinan paling atas (top management) atau pejabat yang ditunjuk dimana
besarnya pengaruh yang dimilikinya akan menemukan suatu cata tersendiri
yang dijalankan dalam satuan kerja yang dipimpinnya.
Budaya kerja dibangun dan dipertahankan yang ditunjukkan dari
filsafat pendiri atau pimpinannya. Tindakan pimpinan akan sangat
berpengaruh terhadap perilaku bawahannya untuk dapat diterima di lingkungan
tempat kerjanya. Namun secara perlahan nilai-nilai tersebut dengan sendirinya
akan terseleksi untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang pada
akhirnya akan muncul budaya kerja yang diinginkan.
Di Indonesia terdapat perilaku dan sikap budaya yang tercermin dari
perilaku dan norma-norma kehidupan sehari-hari , hal ini tidak terlepas dari
akar budaya yang dianut masyarakat atau bangsa yang bersangkutan.
2.5. Penelitian Terdahulu
Toni Syamsir (2014) meneliti pengaruh peran inspektorat daerah dan
budaya organisasi terhadap penerapan good governance pada Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD). Penelitiannya dilakukan di Kota Bukittingggi.
Penelitian ini tergolong penelitian kausatif. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh SKPD kota Bukittinggi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
digunakan adalah data subyek, dan sumber data yang digunakan adalah data
primer. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan
kuesioner. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa :
1) peran inspektorat daerah tidak berpengaruh dan negatif terhadap penerapan
good governance, dimana t hitung > t tabel yaitu -0,439 < 2,0017 (sig 0,663> 0,05) yang berarti H1 ditolak.
2) Budaya organisasi berpengaruh signifikan positif terhadap penerapan good
governance, dimana t hitung > t tabel yaitu 4,852 > 2,20017 (sig 0,000 < 0,05) yang berarti H2 diterima.
Dalam penelitian ini disarankan : (1) pemerintah menetapkan indikator
kinerja agar kinerja pemerintah lebih mudah untuk diukur oleh auditor dan
penerapan good governance dapat tercapai, (2) peningkatan peran budaya
organisasi dalam pelayanan terhadap masyarakat dan (3) penelitian selanjutnya
dapat menambahakan variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap penerapan
good governance.
Eka Nurmala Sari (2012), melakukan penelitian mengenai pengaruh budaya
organisasi terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik serta
dampaknya terhadap good governance. Penelitian dilakukan pada Satuan Kerja
Perangkat Daerah di Kota Medan dengan menggunakan metode sensus.
Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan angket kuesioner dan
browsing di Website Pemerintahan Kota Medan. Analisis data dan pengujian
Tabel 2.1
Review Penelitian Terdahulu
No Peneliti Variabel Penelitian Hasil Penelitian 1. Toni Syamsir
(2014)
Variabel Independen : Peran Inspektorat Daerah, Budaya Organisasi Daerah
Variable Dependen : Good Governance
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran
inspektorat daerah tidak berpengaruh terhadap
penerapan good
governance. Tetapi budaya
organisasi daerah berpengaruh terhadap
penerapan good
governance. Semakin baik budaya organisasi daerah maka akan sebaik juga penerapan good governance
2. Eka Nurmala
Sari (2012)
Variabel Independen : Budaya organisasi
Variabel Dependen : Akuntansi sektor publik, good governance
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya
organisasi berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik. Selain itu budaya organisasi juga berpengaruh signifikan terhadap Good Governance. Besaran pengaruh yang diberikan termasuk ke dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi kurang mampu memberikan kontribusi dalam
meningkatkan good
governance sehingga belum mencapai tingkat maksimal yang diharapkan.
2.6. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah suatu hubungan atau kaitan yang
mencerminkan hubungan antara variabel satu dengan variabel lainnya dari
penelitian yang sedang diteliti. Pada penelitian ini akan dianalisis hubungan
antara kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja dalam mewujudkan
good governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara. Kerangka konseptual penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
H1
H2
H3 Gambar 2.1 Kerangka konseptual
Good governance merupakan proses yang baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public good and service di
dalam governance (kepemerintahan). Pelayanan publik merupakan tugas dan
tanggungjawab aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Agar penyelenggaraan
good governance berhasil tentu dibutuhkan sumber daya manusia yang kompeten. Kompetensi sumber daya manusia didefenisikan sebagai karakteristik yang
mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam
pekerjaannya. Dalam menciptakan sumber daya manusia yang kompeten tentu Kompetensi Sumber Daya
Manusia (SDM)
(X1) Good Governance
(Y)
Budaya Kerja Organisasi
diperlukan lingkungan kerja yang mendukung, dalam hal ini lingkungan kerja
dapat kerja diartikan sebagai budaya kerja. Budaya kerja adalah cara kerja
sehari-hari yang bermutu dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga
menjadi motivasi, memberi inspirasi untuk senantiasa bekerja lebih baik dan
memuaskan bagi masyarakat yang dilayani.
2.7. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian (Sugiyono, 2007:51). Dari kerangka konseptual, maka dapat
dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut:
1. Kompetensi sumber daya manusia berpengaruh dalam mewujudkan Good
Governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara.
2. Budaya kerja organisasi berpengaruh dalam mewujudkan Good Governance di
Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara
3. Kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja organisasi berpengaruh
dalam mewujudkan Good Governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Berdasarkan pada judul penelitian dan permasalahan, maka jenis penelitian
ini ialah penelitian kausalitas yaitu penelitian yang disusun untuk meneliti
kemungkinan adanya hubungan sebab-akibat antarvariabel. Penelitian ini
diarahkan untuk memberikan bukti empiris dan mengetahui sejauhmana pengaruh
variabel Kompetensi Sumber Daya Manusia dan Budaya Kerja mempengaruhi
variabel Good Governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara.
3.2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kantor Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu
Utara. Penelitian ini berlangsung Januari-Mei 2015.
3.3. Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel penelitian terdiri dari variabel dependen (dependent variable) dan
2 variabel independen (independent variable). Variabel independen adalah
variabel yang dapat mempengaruhi perubahan dalam variabel dependen dan
mempunyai pengaruh positif ataupun negatif bagi variabel dependen nantinya.
Dalam penelitian ini Variabel dependen yang digunakan adalah Good Governance
(Y), sedangkan variabel independen adalah kompetensi sumber daya manusia
(X1), dan budaya kerja organisasi (X2).
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan memudahkan pelaksanaan
sebagai dasar dalam menyusun kuesioner penelitian, definisi operasional dapat
dijelaskan sebagai berikut :
3.3.1 Good Governance.
Good Governance merupakan mekanisme institusi negara dalam melayani kepentingan publik. Pengukuran good governance dalam penelitian
ini dilihat dari sejauh mana pemerintah daerah melaksanakan prinsip-prisip
good governance berdasarkan United Nation Development Program (UNDP, 1997) yaitu, mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, berpegang teguh
pada aturan hukum, transparan, responsif terhadap perubahan, berorientasi
pada konsensus, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa,
efektif dan efesiensi, akuntabilitas dan memiliki visi jauh ke depan. Kuesioner
dalam penelitian ini diambil dari penelitian Toni Syamsir (2014) dimana dalam
penelitian tersebut juga menggunakan good governance sebagai variabel Y dan
menggunakan prinsip-prisip good governance berdasarkan United Nation
Development Program sebagai indikator pengukurannya. Skala pengukuran yang digunakan untuk variabel ini adalah skala Likert 1 sampai dengan 5.
Skala Likert adalah skala yang dapat digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorang atas suatu objek atau fenomena tertentu.
Bentuk jawaban skala Likert terdiri dari ; Sangat Setuju (SS) dengan nilai 5,
Setuju (S) dengan nilai 4, Ragu-Ragu (RR) dengan nilai 3, Tidak Setuju (TS)