Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Ukir
Batak di Daerah
Pariwisata Samosir
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Bidang Antropologi Sosial
Oleh:
Candra Sinabutar
100905019
Antropologi sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
UNIVERITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Candra Sinabutar
NIM : 100905019
Departeman : Antropologi Sosial
Judul : Studi Etnografi mengenai Komodifikasi Ukir Batak di Daerah Pariwisata Samosir
Medan, Maret 2015
Dosen Pembimbing Ketua Departeman Antropologi
Dra. Rytha Tambunan M.Si Dr. FikarwinZuska
NIP.196308291990032001 NIP. 196212201989031005
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
PERNYATAAN ORIGINALITAS
STUDI ETNOGRAFI MENGENAI KOMODIFIKASI UKIR BATAK
DI DAERAH PARIWISATA SAMOSIR
SKRIPSI
Saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Maret 2015
Penulis
ABSTRAK
Candra Sinabutar, 2015 judul skripsi:”Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Ukir Batak di Daerah Pariwisata Samosir’’. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 98 Halaman, Abstrak, Halaman Persetujuan, Originalitas, 5 Tabel, 23 Foto, Glosarium, Daftar Pustaka, Lampiran: Daftar Informan, Foto Penelitian dan Surat Penelitian.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya benda-benda budaya Batak yang diperjualbelikan di daerah pariwisata Samosir. Padahal benda-benda budaya merupakan sesuatu yang sakral. Perubahan benda sakral menjadi lebih komersial ini disebut sebagai komodifikasi budaya. Komodifikasi berdampak positif dan negatif bagi pelaku kebudayaan itu sendiri. Sehingga tulisan ini memaparkan bagaimana proses-proses terjadinya komodifikasi budaya di daerah pariwisata Samosir. Dengan tujuan penelitian memaparkan atau mengukapkan penetahuan masyarakat mengenai benda-benda sakral, makna, fungsi sampai alasan pengukir memodifikasi benda budaya. Sehingga tulisan ini juga dapat digunakan sebagai inventarisasi budaya khususnya ukir Batak. Metode yang dilakukan menggunakan kerja etnografi. Dalam menemukan data, peneliti tinggal bersama penduduk sekitar dan ikut mempelajari proses pembuatan ukiran Batak.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa komodifikasi budaya terjadi dikarenakan faktor ekonomi dan arus globalisasi. Samosir yang menjadi destinasi wisata menjadikan masyarakat yang ada di sekitaran wilayah untuk mengembangkan kemampuan diri atau berekonomi kreatif. Disamping alam yang indah, keberadaan artefak kemudian dijadikan salah satu hal yang menarik wisatawan. Memanipulasi benda-benda budaya Batak menjadi pilihan bukan hanya untuk ekonomi akan tetapi juga mempertahankan identitas budaya Batak. Dalam mengkomodifikasi benda-benda budaya Batak, pelaku kebudayaan (pengukir) memanfaatkan media massa seperti televisi, majalah hingga buku menjadi refrensi dalam membuat suatu ukiran. Tidak hanya itu kreativitas yang tinggi membuat pengukir dapat menciptakan benda-benda baru.
Dari penelitian ini juga diketahui bahwa terdapat berbagai permasalahan yang dialami pengukir di lokasi penelitian misalnya saat ini cukup sulit mendapatkan kayu (ingul, jior, haumbang). Belum lagi proses mengerjakan satu ukiran memakan waktu yang relatif lama mengingat pembuatannya masih handmade sehingga harga yang dipatokkan cukup mahal, misalnya dalam membuat Gaja Doppak yang dibutuhkan waktu hingga seminggu. Kendala lainnya yang dihadapi adalah regenerasi yang tidak berjalan baik, hingga kurangnya perhatian orang terhadap kebudayaan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji serta syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
kasih dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul STUDI
ETNOGRAFI MENGENAI KOMODIFIKASI UKIR BATAK DI DAERAH
PARIWISATA SAMOSIR. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh
gelar sarjana sosial dari Departemen Atropologi FISIP – USU.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan kesehatan dan berkah untuk menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak
pihak yang telah memberikan saran, dukungan, bimbingan dan bantuan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada orang tua yang sangat saya kasihi
Osman Sinabutar dan Hormauli Br Malau karena tak henti-hentinya memberikan
dukungan, doa dan perhatian hingga sampai saat ini, skripsi ini saya persembahkan untuk
kalian. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: Bapak
Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara, Bapak Dr. Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs.
Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera
Utara. Terimaksih juga diucapkan kepada seluruh dosen Antropologi Fakultas Ilmu
Dra. Sabariah Bangun sebagai dosen Penasehat Akademik saya. Kak Nur dan Kak Sofi
selaku bagian administrasi kemahasiswan Departemen Antropologi.
Saya juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk pembimbing saya
Ibu Rytha Tambunan M.Si yang telah sabar membimbing saya. Terimakasih untuk
waktu, saran, dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis untuk
menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih telah membuat saya menjadi pribadi yang
kuat. Skripsi ini saya dedikasikan untuk beliau.
Pak tua Benny Silalahi, Amangboru Kimson Sidabutar, Amangboru Eston Tamba,
Amangboru Benari Nainggolan dan Namboru Tiar Tindaon yang telah begitu banyak
membantu saya dalam proses mencari data. Terimakasih kepada Tulang dan Nantulang
Melani yang memberi saya tempat tinggal dan fasilitas selama melakukan penelitian.
Terimah kasih juga untuk Pak Tua Antonius Siregar, Lurah Tuktuk Siadong yang
melancarkan segala administrasi saya selama penelitian. Masyarakat Tuktuk Siadong
yang telah menerima saya dengan baik dan ramah, sehingga saya merasakan kenyamanan
ketika berada di desa tersebut.
Buat Abang saya Ori Boy Sinabutar dan adik saya Geni Handoris Sinabutar,
terimakasih buat doa dan dukungan serta semangatnya untuk menyelesaikan bangku
perkuliahan. Buat sahabat-sahabat saya: Debora Ginting, Gintarius Ginting, Lina Manalu,
Mega Natalia, Obrin Yuniarti Sianturi dan Simson Simanullang. Spesial buat sahabat
yang menjadi kekasih hati saya Helpi Yohana Togatorop yang merelakan waktu, tenaga,
ini. Terimakasih buat segala nasihat, dukungan, semangat, canda tawa yang kalian
berikan dan sudah kita lewati.
Kerabat-kerabat Mahasiswa/i Antropologi angkatan 2010: Andi Sasongko, Dapot
Silalahi, Dina Aulia, Edison Butar butar, Efendi Nainggolan, Eki Gunawan, Mario
Sembiring, Reza, Zulhan Rusdi dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada saya.
Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang
telah membantu penulisan skripsi dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa
senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada
penulis. Menyadari akan keterbatasan penulis, maka hasil penelitian ini masih terdapat
kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan masukan dari berbagai pihak sangat
diharapkan oleh penulis guna penyempurnaannya. Semoga tulisan ini berguna bagi
pihak-pihak yang memerlukannya.
Medan, Maret 2015
Candra Sinabutar
RIWAYAT HIDUP
Candra Sinabutar, lahir pada tanggal 26 Februari
1991 di Perawang, Riau. Anak dari Bapak Osman
Sinabutar dan Ibu Hormauli Br Malau, memiliki
dua saudara laki-laki. Menempuh pendidikan
Sekolah Dasar di SDN 015 Perawang.
Melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di
SLTPN 1 Tualang dan Sekolah Menengah Atas
di SMAN 2 Tualang. Sewaktu menginjak
Sekolah Menengah Pertama lanjut hingga
Sekolah Menengah Atas masuk dalam
keanggotaan IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Prestasi sewaktu masih menginjak
Sekolah Menengah Atas pernah mendapat penghargaan sebagai siswa berbakat dibidang
Seni.
Pernah bekerja di Indonesia Research Centre pada survey 1 dan 2 Pemilu 2014
sebagai Surveyer. Dan bekerja di TNP2K (Tim Nasional Percepatan Pemberantasan
Kemiskinan) sewaktu erupsi gunung Sinabung di Tanah Karo sebagai Enumerator.
KATA PENGANTAR
Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen
Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara,
Medan. Untuk memenuhi persyaratn tersebut saya telah menyusun sebuah skripsi dengan
judul “Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Ukir Batak di Daerah Pariwisata
Samosir”.
Ketertarikan penulis mengkaji masalah ini dilatarbelakangi oleh banyaknya
benda-benda budaya Batak yang diperjualbelikan di kios yang terdapat di daerah
pariwisata Samosir. Padahal benda-benda budaya merupakan sesuatu yang sakral,
memiiki nilai dan makna tertentu bagi penganut kebudayaan tersebut. Tingginya arus
globalisasi membuat pelaku budaya mengkomodifikasi kebudayaannya. Dimana
komodifikasi berarti perubahan kebudayaan yang dahulunya sakral menjadi lebih bersifat
komersial. Disisi lain komodifikasi budaya menimbulkan permasalah lain yakni
hilangnya sensitifitas terhadap kebudayaan. Keadaan seperti ini lambat laun akan
menghilangkan identitas dari pelaku kebudayaan itu sendiri. Secara otomatis generasi
berikutnya tidak akan memiliki identitas yang bisa dibanggakan.
Tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan saya sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun sehingga tulisan ini benar-benar bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
1.3Rumusan Masalah... 11
1.4Lokasi Penelitian………... 12
1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian... 13
1.6Metode Penelitian... 14
1.6.1 Teknik Pengumpulan Data………... 14
1.6.2 Pengalaman Penelitian………..…... 16
1.6.3 Analisi Data………... 16
BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Gambaran Umum Kelurahan Tuktuk Siadong...…... 20
2.2 Sejarah Kelurahan Tuktuk Siadong………... 20
2.3 Bahasa………... 21
2.4 Pola Permukiman Penduduk dan Pemanfataan Ruang………... 22
2.5 Sarana Fisik 2.5.1 Jalan dan Angkutan………... 23
2.5.2 Sarana Kesehatan………... 24
2.5.3 Sarana Pendidikan………... 25
2.5.4 Sarana Ibadah……….. 25
2.6.1 Jumlah Penduduk ………... 26
2.6.2 Komposisi Penduduk………... 26
2.6.2.1 Berdasarkan Pendidikan ………... 26
2.6.2.2 Berdasarkan Agama ... 27
2.6.2.3 Berdasarkan Mata Pencaharian ………... 28
2.7 Samosir Sebagai Destinasi Pariwisata………... 29
BAB III. SENI UKIR BATAK
3.1Bahan Yang Digunakan Dalam Mengukir…………... 30
3.1.1 Kayu………... 32
3.1.2 Tanduk Dan Tulang Kerbau………... 34
3.1.3 Kulit Kayu ………... 36
3.1.4 Bambu………. ... 37
3.1.5 Buah Labu………... 38
3.2 Alat Yang Digunakan Dalam Mengukir…………... 41
3.3 Proses Dan Teknik Mengukir………... 44
3.4 Lamanya Pekerjaan Dan Harga... 49
3.5 Benda Sakral... 53
3.5.1 Tunggal Panaluan... 53
3.5.2 Hombung Dan Dompet Raja... 56
3.5.3 Bata Idup... 58
3.5.4 Sahan Atau Naga Marsorang... 59
3.5.5 Singa Singa Dan Gaja Doppak... 62
3.6 Inspirasi Dalam Memodifikasi Benda Budaya... 64
3.7 Alasan Merubah Benda Budaya... 65
3.8 Kendala Dalam Mengukir... 66
3.8.1 Regenerasi Pengukir... 66
3.8.2 Pengadaan Bahan Baku... 67
3.8.3 Kurangnya Kepedulian Terhadap Budaya... 68
BAB IV. KOMODIFIKASI UKIR BATAK DI KELURAHAN TUKTUK SIADONG 4.1Proses Perubahan Benda Budaya Batak di Tuktuk Siadong... 72
4.1.1 Kedatangan Agama Kristen ke Tanah Batak... 72
4.1.2 Arus Globalisasi dan Ekonomi... 74
4.2Komodifikasi Replika Benda Batak di Tuktuk Siadong... 77
4.3 Benda Budaya Batak Bagi Wisatawan... 87
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sarana Transportasi Kelurahan Tuktuk Siadong... 24
Tabel 2. Sarana Kesehatan... 25
Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama……….. 27
Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencarian... 28
DAFTAR FOTO
Foto 1. Kayu Ingul... 33
Foto 2. Tanduk Kerbau... 35
Foto 3. Kuit Kayu... 37
Foto 4. Tabu-Tabu Sebelum Dimodifikasi ... 39
Foto 5. Pembudidayaan Buah Labu... 40
Foto 6. Tabu-Tabu Yang Telah Dimodifikasi... 41
Foto 7. Pisau Ukir... 43
Foto 8. Pahat... 44
Foto 9. Patung Domba... 45
Foto 10. Penggunaan Penjepit Dalam Proses Mengukir... 47
Foto 11. Ukiran Kayu Yang Retak... 48
Foto 12. Mengukir Menggunakan Teknik Manual... 49
Foto 13. Pembuatan Gaja Doppak... 50
Foto 22. Replika Rumah Tradisional Batak... 64
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam penelitian ini mengkaji mengenai komodifikasi budaya. Maksudnya ialah
kebudayaan yang dahulunya dianggap sakral diubah sedemikian rupa menjadi lebih
bersifat profan atau komersial. Karl Marx mengatakan komodifikasi merupakan
transformasi hubungan. Sesuatu yang sebelumnya bersih dari perdagangan menjadi
hubungan komersial, hubungan pertukaran membeli dan menjual.
Dewasa ini komodifikasi telah menyentuh berbagai aspek yang terdiri dari
unsur-unsur kebudayaan1
1
Menurut Koentjaraningrat (1990:186) ada 3 wujud dari kebudayaan yaitu: wujud pertama adalah wujud
ideal kebudayaan yaitu suatu kompleks dari ide-ide, gagasan dan nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas suatu dari yang lain, melainkan selalu
berkaitan, menjadi suatu sistem, dan inilah yang disebut dengan sistem budaya (cultural system); wujud
yang kedua, disebut sebagai sistem sosial, (social system) adalah segala tindakan berpola dari manusia,
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan satu dengan yang lain, dari detik ke detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat. Sistem sosial ini bersifat konkrit,
terjadi disekeliling kita sehari-hari; dan wujud ketiga dari kebudayaan adalah disebut sebagai kebudayaan
fisik (materil), yaitu berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan difoto.
merupakan warisan budaya milik masyarakat lokal. Misalnya kerajinan tangan berupa
patung, tenun, Gorga dan lainnya masing-masing memiliki corak, motif, pembuatan dan
fungsi menurut kebudayaan lokal. Kini kebudayaan tersebut dimodifikasi sedemikian
rupa agar lebih menarik dan laku dijual.
Salah satu faktor yang mendukung terjadinya komodifikasi yakni adanya
pengaruh arus globalisasi2
Cerita-cerita rakyat ikut juga dimodifikasi. Cerita mengenai raja-raja Batak
dengan penggunaan alat-alat saktinya dipersingkat, dibuat semenarik mungkin dan yang semakin terbuka. Mudahnya mengakses informasi
melalui teknologi dan mobilitas yang tinggi menyebabkan orang lebih gampang untuk
berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini dijadikan peluang bagi pelaku
komodifikasi budaya untuk menjual produknya disektor industri pariwisata.
Pelaku kebudayaan memanfaatkan stuasi dan psikologis wisatawan. Mereka
mengetahui bahwa wisatawan tidak terlalu memiiki banyak waktu akan tetapi disisi lain
tetap ingin menikmati seluruh keindahan alam dan serta budaya setempat. Maka dari itu
para pelaku kebudayaan memodifikasi kebudayaan mereka sedemikian rupa. Misalnya
tarian tradisional Batak yakni Tor-tor, tarian yang dimodifikasi sedemikan rupa sehingga
wisatawan tidak perlu berlama-lama menghabiskan waktunya hanya untuk satu
pertunjukan dan mengorbankan hal lain dengan cara durasi pertunjukannya telah
disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan.
2
pengujung dapat langsung melihat bendanya. Kemudian wisatawan disuguhkan oleh
replika-replika yang telah tersedia dideretan penjual souvenir. Tidak hanya itu,
komodifikasi budaya yang akhir-akhir ini banyak dijumpai yaitu pada kain tradisional
Batak yakni Ulos. Kain ini biasanya berbentuk selendang dan merupakan kain yang
digunakan dalam acara-acara tertentu pada orang Batak seperti acara pernikahan. Dalam
acara tersebut biasanya Hula-hula3
Pada tulisan ini, penulis akan lebih memfokuskan mengenai komodifikasi ukir
Batak. Kenapa ukir Batak? Alasan utama yakni karena ketika penulis berkunjung di
daerah wisata yang ada di Samosir, penulis melihat banyak benda-benda budaya Batak
yang diperjualbelikan di kios-kios yang terdapat di daerah pariwisata Samosir khususnya
Tomok dan Tuktuk Siadong. Saat itu penulis yang berada di Tomok menyempatkan
waktu untuk membeli beberapa benda khas dari daerah ini sebagai kenang-kenangan.
Tidak sengaja, penulis mendengar pembicaraan penjual yang sedang menawarkan benda
yang ada di kiosnya kepada wisatawan asing yang sedang berkunjung. Dia menunjukan
tongkat dengan ukiran khas Batak yang cukup rumit. Dia sebut tongkat itu gaib, akan memberikan Ulos kepada Boru. Kain Ulos
digunakan sebagai simbol berkat yang diberikan untuk mengarungi rumah tangga yang
akan dibangun. Bagi orang Batak penggunaan Ulos tidaklah sembarangan tetapi saat ini
keberadaan Ulos banyak ditemui dalam bentuk-bentuk lain seperti jas, kotak tisu, tas,
kipas dan lain sebagainya.
3
digunakan Datu4
Pada saat itulah Tunggal Panaluannya membisikan apa yang harus dilakukan.
Tidak hanya Tunggal Panaluan, dalam praktek ritualnya Datu juga memerlukan
benda-benda lainnya seperti Buku Najum atau lazim disebut dengan Pustaha Lahlak
untuk pemanggilan hujan. Penulis berfikir bagaimana benda yang sakral
dapat diperjualbelikan. Walaupun penulis tahu itu hanya replika tetapi pasti ada proses
dari benda sakral menjadi benda profan. Dari sinilah, awal penulis ingin meneliti
mengenai cara pelaku kebudayaan (pengukir) merubah kebudayaannya.
Komodifikasi ukir Batak yang menjadi kajian penulis yakni Tunggal Panaluan,
Naga Marsarang, Pukkur Unte, Gorga dan lainnya sebagai kebudayaan materil.
Misalnya Tunggal Panaluan merupakan tongkat mistis orang Batak yang dibuat dan
digunakan oleh Datu. Menurut Rassers (2008:84) Tunggal Panaluan digunakan untuk
kepentingan anggota masyarakat dan biasanya dipakai dalam ritual tertentu seperti
pengobatan. Dalam ritualnya seorang Datu menyediakan berbagai sesaji kepada Tunggal
Panaluan dengan diiringi musik Gondang sang Datu dan tongkatnya menari bersama.
5
Dewasa ini benda-benda budaya tersebut telah dikomodifikasi semenarik
mungkin agar bernilai jual tinggi. Benda-benda tersebut kini bisa dapat dengan mudah
kita temui di daerah destinasi wisata yang ada di Samosir. Benda-benda yang dahulunya dan
berbagai wadah untuk menyimpan ramuan gaibnya seperti Naga Marsarang dan
Buli-buli. Tetapi tetap saja Tunggal Panaluan menjadi simbol yang paling penting dalam
ritual tersebut.
4
Datu adalah orang yang memiliki kekuatan untuk mengobati dan ahli mantraguna. 5
hanya digunakan dalam ritual oleh Datu, kini dijadikan sebagai cenderamata. Ole-ole
khas sebagai pertanda bahwa wisatawan benar-benar telah mengunjungi Samosir .
Apa yang terjadi diatas merupakan komodifikasi kebudayaan, dimana kebudayaan
diubah baik sebagian atau seluruhnya menjadi sebuah komoditi yang memiliki nilai
ekonomis. Komodifikasi membuat pelaku kebudayaan memandang kebudayaan atau
tradisi tidak lagi dilihat dari aspek sentimental (bersifat menyentuh perasaan) tetapi pada
nilai ekonomi. Merubah sesuatu yang dahulunya dianggap sakral dan kini lebih bersifat
profan. Ketika dikomodifikasi makna dan fungsi dari sebuah benda akan menjadi
berbeda. Mengapa ini terjadi, Apa yang membuat pelaku kebudayaan merubah
kebudayaannya, dan bagaimana proses terjadinya komodifikasi pada ukir Batak. Hal
itulah yang penulis coba untuk mengungkapkannya melalui penelitian ini.
1.2 Tinjauan Pustaka
Komodifikasi menjadi salah satu konsep yang merubah sesuatu dari yang
sebelumnya bersifat sakral menjadi lebih komersial. Komodifikasi telah terjadi
diberbagai aspek kehidupan manusia yang bisa saja disadari atau tidak. Misalnya Aspek
agama, sensitifitas keagamaan mulai dimanfaatkan atau dikomodifikasi untuk
keuntungan bisnis. Contoh dikalangan umat muslim yang kini marak dengan iklan
industri yang menawarkan “wisata religius”, umroh bersama Kiai beken, berdirinya
sekolah Islam yang eksklusif, kafe khusus muslim, Al-Quran elektronik dan lainnya.
Komodifikasi biasanya terjadi pada unsur-unsur kebudayaan manusia seperti ide,
aktivitas dan materil atau fisik. Contohnya pada kebudayaan fisik, dimana kebudayaan
fisik dapat diinovasi dan dikreasikan agar dapat meningkatkan pendapatan dan sangat
strategis sebagai unsur budaya yang dikembangkan untuk membangun masyarakat lokal.
Dan pada akhirnya akan mampu menompang ekonomi penduduk setempat. Seperti yang
disebutkan oleh Rytha Tambunan6
Kebudayaan lokal yang ditambah dengan sedikit kreativitas dan ide akan
menghasilkan produk budaya fisik yang dapat dijual. Contohnya adalah proses
pembuatan Ulos yang dapat dijadikan sesuatu yang menaikan taraf ekonomi atau objek
wisata. Niessen (1985) menyebutkan bahwa bagi orang batak proses menenun Ulos
memiliki nilai-nilai religius-magis yang tak dapat diabaikan. Dimana didalamnya terdapat
elemen-elemen yang berhubungan dengan Dalihan Na Tolu
bila kerajinan tradisional berkembang pada masa
mendatang pasti akan meningkatkan taraf ekonomi. Karena, aspek-aspek tradisional yang
asli dan khas suatu daerah dapat dijadikan sebagai alat promosi wisata yang ampuh untuk
menarik minat para wisatawan untuk berkunjung ke daerah itu.
7
6
Kain Tenun Oles Pakpak; Inventarisasi Aspek Tradisi, Direktorat Tradisi Jenderal Balai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayan dan Pariwisata. Medan: makalah yang tidak dipublikasi.
sebagai konsep hidup orang
7
Dalihan na tolu: Filosofi sosial kultural yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak yang artinya
sendiri tungku berkaki tiga. Dalihan na tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat
darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok (Hula-hula, Dongan Tubu, Boru).
Dalam adat Batak, dalihan na tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai kontruksi
sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar kebersamaan. Per tama, Somba Marhula-hula/
hormat kepada pihak pemberi isteri. Kedua, Manak Mardongan Tubu/ bersikap hati-hati kepada teman
semarga dan terakhir Elek Marboru/ mengayomi pihak isteri. Perlu ada kesemimbangan keseimbanga yang
absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut harus disadari
Batak. Jika nilai-nilai ini dapat terus dipertahankan oleh suku Batak maka wisatawan dan
peredaran uang akan cepat diberputar di Tanah Batak.
Ide yang dikembangkan melalui wisata budaya yang menampilkan Ulos
merupakan sesuatu yang sangat kecil, ditengah masih banyaknya ide yang dapat
dikembangkan di Samosir. Paul Romer mengatakan bahwa ide adalah barang ekonomi
yang sangat penting lebih penting dari objek yang ditekankan dikebanyakan model-model
ekonomi. Di dunia dengan keterbatasan fisik ini, adanya penemuan ide-ide besar
bersamaan dengan penemuan jutaan ide-ide kecillah yang membuat ekonomi tetap
tumbuh. Ide adalah instruksi yang membuat kita mengkombinasi sumber daya fisik yang
penyusunannya terbatas menjadi lebih bernilai.
Contoh kasus yang terjadi dimana ide sangat berperan dalam ekonomi masyarakat
ialah adanya objek wisata Makam Raja Sidabutar di Desa Sialagan. Ketika memasuki
objek wisata ini, akan ada seorang guide yang menjelaskan berbagai cerita besar yang
berhubungan dengan makam tersebut. Cerita mengenai raja-raja dengan penggunaan
alat-alat saktinya. Kemudian wisatawan dibuat agar menikmati cerita yang pada akhirnya
mereka diarahkan untuk melihat peninggalan benda-benda tersebut di museum. Dimana
museum masih satu kompleks dengan objek wisata Makam Sidabutar. Sepanjang
perjalanan menuju museum, wisatawan akan disuguhkan dengan replika-repika yang
telah tersedia dideretan penjual sovenir.
Ini merupakan satu strategi yang diciptakan oleh masyarakat di desa Sialagan
dimana mereka membuat serangkaian wisata yang terintegrasi dengan yang lainnya.
Maksudnya makam Raja Sidabutar yang dahulunya sudah ada lebih dikembangkan lagi
dengan menjual ceritanya. Bagi mereka yang ingin melihat peninggalan benda-benda
dalam cerita yang disajikan bisa mengunjungi museum dan nantinya kunjungan tersebut
bisa memberi pendapatan lain bagi mereka. Tidak hanya itu, masyarakat juga dapat
medapat keuntungan dari hasil penjuaan replika-replika benda budaya Batak yang mereka
jual di sekitar kompleks objek wisata Makam Raja Sidabutar.
Causey (2006:323) juga menyebutkan bahwa seorang pengukir bernama Partoho
selalu memperbaharui karya-karyanya bahkan ia menciptakan karya baru sesuai dengan
imajinasinya dan mendapatkan media massa sebagai rekomendasi pembaharuan tersebut.
Dalam menciptakan benda baru, Partoho selalu menyisipkan unsur-unsur budaya Batak
yang cukup rumit agar tidak ada seorangpun yang mampu meniru karyanya. Terbukti
memang karyanya dengan ukiran yang secara esensial tradisional8
Komodifikasi benda budaya Batak juga yang menjadi kajian dalam tulisan ini.
Benda-benda budaya yang memiliki makna, nilai fungsi bagi pemeluk kebudayaan Batak.
Contohnya yakni: Tunggal Panaluan, Naga Marsorang, Gorga, Pukkur Unte dan lain
sebagainya. Bagi orang Batak sendiri benda-benda budaya tersebut dahulunya memiliki langsung laku terjual
pada seorang wanita berkewarganegaraan Denmark.
8
Benda ciptaan partoho disebut sebagi benda yang tradisioanl berdasarkan pada piringan berkaki gaya lama serta bentuk wadah bertutup, ujung atasnya dihiasi dengan motif bentuk ganda yang kadang dijumpai pada
makna dan nilai yang sakral dalam kehidupan mereka. Terlihat bagaimana Datu sebagai
tokoh yang dihormati membawa Tunggal Panaluannya untuk mengatasi berbagai
masalah yang ada diperkampungan orang Batak. Seorang Datu juga membawa berbagai
obat didalam Naga Marsorang dan menumbuk atau meracik obat-obatan dengan Pukkur
Unte. Namun saat ini, hal tersebut tidak dapat ditemukan lagi. Tradisi dan benda-benda
budaya berubah mengikuti zaman dan diubah untuk kepentingan pelaku-pelaku
kebudayaan.
Hal ini bisa terjadi karena arus globalisasi yang semakin terbuka membuat
seseorang dapat dengan mudah untuk mengakses berbagai informasi melalui teknologi.
Mereka yang ingin mengetahui mengenai tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi
dapat mengetahui informasinya melalui teknologi yang semakin canggih. Secara otomatis
ini mengakibatkan mobilitas seseorang kesuatu tempat akan semakin tinggi. Hal ini
dijadikan peluang bagi pelaku komodifikasi budaya untuk menjual produknya disektor
industri pariwisata.
Menurut Barker inilah yang disebut sebagai komodifikasi. Dimana komodifikasi
merupakan proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme sebagai objek, kualitas dan
tanda-tanda (simbol) dijadikan sebagai komoditas yang tujuan utamanya dijual di pasar.
Sedangkan Karl Marx dalam Encyclopedia of Marxism mengemukakan pengertian
komodifikasi berarti transformasi hubungan. Sesuatu yang sebelumnya bersih dari
Dengan kata lain komodifikasi yakni merubah sesuatu menjadi sebuah komoditi yang
lebih bernilai ekonomi.
Karl Marx menyebutkan bahwa komersialisasi budaya merupakan bagian dari
praktik-praktik budaya kapitalisme yang mana kebudayaan sebagai komoditas dipahami sebagai
suatu hasil produksi yang dibuat untuk ditukar di pasar. Kapitalis berusaha membuat apa
saja yang pada akhirnya laku dijual termasuk barang-barang konsumsi yang baru.
Kebutuhan manusia pun pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa
yang diproduksi. Seperti halnya dalam penelitian ini, ukiran Batak dimodifikasi
sedemikian mungkin dengan masih menggunakan unsur budaya Batak agar menarik
wisatawan untuk datang. Meskipun ukiran pada dasarnya bukan sebuah kebutuhan
pokok, tetapi tetap saja ukiran dianggap sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi yang
menandakan seseorang pernah melakukan perjalanan ke suatu daerah.
Apa yang sedang terjadi saat ini sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat di era
ini. Padahal apabila ditinjau ulang munculnya suatu barang disebabkan oleh adanya
kebutuhan terhadap barang tersebut. Tetapi, saat ini barang yang ada dipasaran bukan
merupakan suatu kebutuhan melainkan sebuah gaya hidup. Sistem yang terjadi saat ini
merupakan sistem yang sengaja dibuat oleh kapitalis.
Komodifikasi budaya tersebut memiliki dampak positif dan negatif bagi pelaku
kebudayaan itu sendiri. Pelaku kebudayaan dipaksa harus terus berinovasi mencari
ide-ide baru sehingga dapat mengembangkan kebudayaan agar laku dijual di sektor
wisatawan yang nantinya juga meningkatkan pendapatan para pelaku kebudayaan
tersebut. Namun di sisi lainnya komodifikasi kebudayaan berdampak negatif dimana
pelaku kebudayaan secara tidak sadar menghilangkan makna dan sakralitas suatu
kebudayaan. Untuk itu diperlukan sebuah penelitian agar makna benda sakral bagi orang
Batak dapat dituliskan sebagai inventaris budaya Batak itu sendiri. Maksud dari
pembuatan inventarisasi ini adalah melestarikan budaya daerah Batak, untuk
mendokumentasikan berbagai data tentang aspek tradisi dan kebudayaan dalam suatu
kelompok masyarakat. Termasuk didalamnya proses pembuatan, motif, fungsi dan
kegunaan dari benda-benda ukir Batak.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah yang
menjadi topik dalam tulisan ini adalah bagaimana proses terjadinya komodifikasi pada
ukir Batak. Permasalahan ini dijabarkan melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa yang mendorong pelaku kebudayaan (pengukir) melakukan komodifikasi
ukir Batak.
2. Bagaimana proses komodifikasi ukir Batak terjadi di daerah wisata Tuktuk
1.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini difokuskan pada Kelurahan Tuktuk Siadong, Kabupaten
Samosir. Alasan Pemilihan lokasi ini disebabkan Daerah Tuktuk Siadong merupakan
salah satu tujuan wisata kebudayaan Batak serta terdapat kios-kios yang menjajakan
berbagai macam ukiran patung. Dalam kios tersebut pengrajin (pengukir) memproduksi
benda-benda materil yang menjadi kajian dalam tulisan ini.
Jalur yang digunakan untuk mencapai daerah ini yaitu: Medan-Siantar-Parapat
(Tigaraja)-Tuktuk atau melalui Medan-Tele-Pangururan-Tuktuk. Para wisatawan
biasanya lebih memilih jalur Medan-Siantar-Parapat (Tigaraja) karena jaraknya lebih
dekat yakni sekitar 4-5 jam daripada Medan-Tele-Pangururan-Tuktuk yang hampir
Penumpang/wisatawan dapat menggunakan angkutan umum melalui Medan
dengan Bus Sejahtera dari terminal Amplas. Bus tersebut akan menghantarkan
penumpang sampai pelabuhan di Tigaraja, Parapat. Kemudian dari pelabuhan ini
penumpang dapat menaiki kapal wisata untuk menyeberang ke Tuktuk Siadong. Biaya
yang dikenakan dengan jalur tersebut juga relatif murah. Menurut pengalaman penulis
sekitar Rp 46.000,- (empat puluh enam rupiah). Dengan rincian biaya sebagai berikut dari
Medan menuju Terminal Amplas Rp 4.000,- kemudian Amplas-Prapat Rp 32.000,- dan
terakhir dari Pelabuhan Tigaraja menuju Tuktuk Rp 10.000,-
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dilakukan ialah untuk mengambarkan
atau mengungkapkan pengetahuan masyarakat mengenai benda-benda sakral, kegunaan
manfaat serta fungsi dari benda-benda sakral serta alasan-alasan pengrajin membuat
benda sakral tersebut menjadi barang komoditi. Melalui penelitian ini juga dapat
menginventariskan benda-benda kebudayaan materi orang Batak.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan referensi bagi masyarakat
dikalangan akademisi, mahasiswa, aktivis dan lain sebagainya, khususnya bagi mereka
yang berlatarbelakang disiplin Ilmu Antropologi yang ingin mengkaji lebih dalam tentang
Danau Toba terutama masalah nilai tradisional ukir Batak. Bagi penulis sendiri,
penelitian ini diharapkan menjadi sebuah sarana pengembangan diri untuk lebih paham
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan menggunakan kerja etnografi9
1.6.1 Teknik Pengumpulan Data
. Dimana penulis
melakukan wawancara langsung dengan pengukir di Tuktuk Sioadong. Dari data yang
terdapat di kantor kelurahan jumlah pengukir di daerah ini berkisar 20 orang akan tetapi
yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini berjumlah 5 orang. Dengan informan
pangkal adalah Lurah Tuktuk Siadong. Untuk mendeskripsikan secara rinci maka penulis
melakukan penelitian lapangan (field research) selama dua bulan. Selama dua bulan
tersebut penulis mencoba memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli mengenaiukir Batak.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data primer yakni
observasi partisipasi, wawancara, dan pengembangan rapport terhadap informan. Namun
disamping itu juga sebelum melakukan penelitian lapangan, penulis melakukan
pengumpulan data sekunder yakni pengumpulan data dari beberapa buku, jurnal, majalah,
koran dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan komodifikasi budaya
guna menambah pengertian dan wawasan penulis demi kesempurnaan akhir penelitian
ini. Maka dengan demikian penulis melakukan 2 teknik pengumpulan data; primer dan
skunder. Adapun data primer yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut:
9
1.6.1.1 Wawancara
Adapun yang akan ditanyakan kepada para informan adalah jenis dan bahan yang
digunakan untuk membuat patung, pengetahuan pengrajin mengenai benda-benda sakral,
cara pengrajin mendapatkan ide untuk membuat benda-benda seni menjadi komersial,
alasan pengrajin untuk mengkomodifikasikan benda-benda sakral, serta hal-hal lainnya
yang berkembang di lapangan saat melakukan penelitian. Wawancara ini dianggap
penulis menjadi suatu teknik yang paling efektif untuk mengumpulkan data atau
keterangan tentang kejadian yang tidak dapat diamati. Wawancara yang akan penulis
lakukan adalah wawancara mendalam (depth interview) dengan menggunakan pedoman
wawancara serta instrument wawancara, untuk merekam dan mencatat hasil wawancara
akan digunakan alat seperti tape recorder, buku tulis, pena dan alat tulis lainnya.
1.6.1.2Observasi dan Observasi Partisipasi
Dalam metode observasi atau pengamatan, penulis berada di tengah-tengah
masyarakat pengrajin untuk melihat atau mengamati serta menuliskan hasil pengamatan
yang diperoleh dari lapangan dalam sebuah catatan lapangan (fieldnote). Observasi
partisipasi yang dilakukan penulis adalah ikut serta dalam proses-proses pembuatan
benda-benda seni ukir, proses pengambilan bahan baku dan proses pemasaran. Hal
tresebut dianggap penting karena menjadi satu kesatuan untuk mendapatkan data guna
1.6.1.3 Pengembangan Rapport
Penulis akan berusaha membangun rapport yang baik terhadap informan untuk
mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian, serta untuk membuat informan
menjadi lebih nyaman. Sehingga mudah terbuka atas jawaban-jawaban dari pertanyaan
penelitian yang akan ditanyakan. Sebelumnya penulis telah menjalin raport dengan
informan yakni pada saat melakukan pra lapangan pada saat itu penduduk sekitar cukup
ramah dan kooperatif saat melakukan wawancara awal, maka penulis rasa tidak akan sulit
saat melakukan penelitian.
Setelah melakukan semua teknik penelitian dan menemukan data maka penulis
akan melakukan analisis data, data yang telah ditemukan dari lapangan akan
dikelompokkan kedalam kategori-kategori yakni pengetahuan pengrajin mengenai
benda-benda sakral, cara mereka menginovasi benda-benda-benda-benda sakral, alasanan mereka
memodifikasi patung dan tanggapan pembeli terhadap benda-benda seni yang terdapat di
di Kelurahan Tuktuk Siadong dan mencari hubungan-hubungan data tersebut sehingga
pada saat melakukan penulisan akhir akan lebih mudah.
1.6.2 Pengalaman Penelitian
Pengalaman yang berkesan bagi saya yakni, ketika saya mendatangi salah satu
pengukir yang punya “Parpulo Batak Art”. Hari pertama saya datang ke tempat tersebut
saya disambut oleh ibu Tiar Tindaon, beliau ialah istri dari pengukir. Bu Tiar mengajak
saya masuk ke ruang dapur karena dia sedang masak untuk makan siang. Sambutan yang
ramah membuat saya merasa nyaman datang ke tempat ini dan kami pun mulai banyak
Sembari mengobrol Bu Tiar membuatkan saya teh manis dan ditambah dengan
kentang goreng. Sebenarnya saya agak segan melihat bu Tiar repot-repot, dan mengingat
beliau yang beberapa hari lalu baru saja mengalami kecelakaan. “itulah, amangborumu
lagi ke Siantar memperbaiki kreta itu can. Jadi besok ajalah ya kalau mau bicara banyak
sama amangboru itu”, ujar bu Tiar. “Tidak apa apa namboru, besok saya bisa datang
lagi”, balas saya sambil meminum teh manis yang telah disediakan. Dan tak lama
kemudian saya mengakhiri obroan dan berpamitan dengan Bu Tiar.
Keesokan harinya saya datang kembali kerumah Bu Tiar dan melihat ada suami
dari Bu Tiar dirumah. Tapi sayang mereka sepertinya agak terburu-buru hendak
berpergian dan menyuruh saya untuk datang lagi besok. Keesok harinya tepat jam 11.00
WIB saya kembali ke “Parpuo Batak Art” dan saya disambut oleh suami dari Ibu Tiar.
Raut muka yang agak tegang mengatarkan pertemuan hari itu. Beliau mempersilahkan
saya untuk duduk di bangku kayu yang terbuat dari akar-akaran pohon. Singkat cerita
setalah saya menjelaskan maksud dan tujuan maka saya langsung kepertanyaan
penelitian.
Untuk memudahkan mendapatkan data maka saya mengaktualisasikan sistem
kekerabatan. Saya mencari sapaan yang cocok kepada beliau agar tekesan lebih sopan
dan setelah bertutur maka memanggil amangboru lebih pas dirasa karena marga saya
masih berhubungan dengan marga isteri beliau. Bagi Orang Batak marga merupakan
Setelah partuturan selesai, maka saya langsung menanyakan nama lengkap dari
amangboru tersebut. Kimson Sidabutar, jawab beliau dengan nada yang datar. Muka
beliau yang dari tadi kusut membuat saya berinisiatif untuk mencoba mencairkan
keadaan. Saya mencoba membuat sedikit lelucon kepada beliau dengan menyebut
namanya seperti nama orang Korea sambil memberi sedikit senyuman. Tak disangkat
beliau melotot kepada saya sambil berkata “tulis aja disitu”. Saya merasa suasana pun
semakin memburuk. Sejenak saya menarik nafas yang panjang untuk mencoba kembali
memulai pertanyaan. Dalam hati saya sebenarnya saya merasa takut untuk melanjutkan
wawancara ini karena tidak ada tanda-tanya suasananya akan membaik. Tetapi saya harus
menyelesaikannya karena saya sudah terlanjur menjadikan beliau menjadi informan
saya. Selanjutnya saya mencoba kembali mengajukan beberapa pertanya kepada beliau,
tak disangka beliau yang memiliki kumis tebal dan logat Bataknya kental mengatakan
saya terlalu banyak bertanya. Sejenak saya hanya terdiam dan berusaha untuk tersenyum
dan saya merasa hari ini merupakan hari yang paling sial dalam hidup saya.
Beberapa saat kemudian beliau menunjukan kepada saya buku mengenai
benda-benda budaya Batak. Saya pun tertarik melihat buku yang memang bisa menjadi refrensi
dalam penulisan saya nantinya. Saya pun banyak bertanya mengenai buku yang
dimilikinya tersebut. Melihat antusias saya yang tinggi beliau mulai tersenyum. Dan tak
lama kemudian beliau menawarkan saya minuman. Dengan sedikit basa basi saya
menolak dengan mengatakan tidak usah repot-repot. Tetapi tetap saja beliau pergi
kebelakang dan mengambilkan segelas air putih. Pembicaran kami pun mulai semakin
Ditengah-tengah pembicaraan beliau bertanya kepada saya apakah saya telah
makan siang dan beliau menawarkan untuk makan siang ditempatnya. Sayapun pun
menjawab sudah karena ada sedikit rasa segan saya mengingat kejadian sebelumnya.
Ditengah saya sedang asik membalik-balikan halaman buku beliau sudah bayak orang
yang kayak saya datang kemari. Bertanya tentang ukiran Batak samanya, dan beliau tidak
pernah menawari minuman apalagi makan siang. Dengan sedikit mengartikan perkataan
beliau dihati, sayapun mulai tersenyum. Saya mengartikan perkataan beliau yakni saya
berbeda dengan kebanyakan orang yang datang kesini untuk mencari informasi mengenai
ukiran Batak. Beliau mengisyaratkan cuma saya yang bisa mengambil perhatiannya. Saya
pun senyum-senyum sendiri sembari berpura-pura membalik-balikan buku. Pendekatan
saya yang berbeda yang mungkin lebih berkenan dihati beliau. Maklum saja, saya fikir
saya adalah calon antropolog. Dan ini akan membuat jalan lebih mudah kedepannya
untuk pengumpulan data.
1.6.3 Analisis Data
Setelah melakukan semua teknik penelitian dan menemukan data maka penulis
akan melakukan analisis data. Data yang telah ditemukan dari lapangan akan
dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yakni: seni ukir Batak Toba, benda-benda
budaya Batak, sejarah berdirinya Tuktuk Siadong, sampai pada Komodifikasi yang
terjadi di Tuktuk Siadong. Data-data tersebut dianalisis untuk mencari
hubungan-hubungan. Sehingga, pada saat melakukan penulisan akhir akan mudah menyimpulkan
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Gambaran Umum Kelurahan Tuktuk Siadong
Secara Administratif Kelurahan Tuktuk Siadong termasuk ke dalam Kecamatan
Simanindo Kabupaten Samosir dengan batas-batas wilayah terdiri dari:
1. Sebelah Timur berbatasan dengan Danau Toba
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Danau Toba
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Garoga
4. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sialagan
Kelurahan Tuktuk Siadong terbagi atas 3 lingkungan yakni lingkungan pertama
Huta Irnga, Lumban Holbung, Sibolopian, Jalan Gereja Atas, Lumban Nangka, dan
Lumban Bakkara. Lingkungan Dua terdiri dari Jalan Gereja Bawah, Pandan, Lumban
Manurung dan Kompleks Ambaroba. Lingkungan Tiga terdiri dari Tuktuk Pulo, Sosor
Galung, dan Lumban Bakara. Kelurahan Tuktuk Siadong berada pada ketinggian 904 -
2.157 m diatas permukaan laut. Suhu rata-ratanya berkisar antara 18°- 24°C dan luas
daratan Kelurahan Tuktuk Siadong 340 Ha dan luas perairan (danau) adalah 410 Ha
Ketika kita pertama kali masuk ke Kelurahan Tuktuk Siadong maka akan
disambut dengan gapura besar yang bermotif gorga dan bentang alam yang indah.
Sebelah kanan Tuktuk Siadong langsung berbatasan dengan Danau Toba, jalanannya
langsung disuguhkan tempat-tempat penginapan, tempat penjual souvenir, restoran, rental
sepeda dan sepeda motor pokonya khas tempat pariwisata.
2.2 Sejarah Kelurahan Tuktuk Siadong
Pada dasarnya Kelurahan Tuktuk Siadong sendiri merupakan semenanjung yang
berada di sebelah Timur Pulau Samosir. Kelurahan Tuktuk Siadong merupakan sebuah
daerah yang semua wilayahnya terdiri dari bebatuan. Menurut masyarakat sekitar
dahulunya ketika bebatuan tersebut diketuk akan menghasilkan bunyi “tuktuk” dan dari
sinilah awalnya nama Tuktuk digunakan. Secara administratif nama desa Tuktuk Siadong
sebelumnya adalah Tuktuk si asu. Akan tetapi tidak diketahui secara pasti, sejak tahun
berapa Tuktuk Siadong menjadikan nama kelurahan. (Gita Sarah Siallagan: Perkawinan
Antarbangsa (studi kasus perkawinan campur antara Orang Batak dengan Wisatawan
Asing di Samosir, 2009)
Awalnya Kelurahan Tuktuk Siadong sama dengan kelurahan-kelurahan yang ada
di Samosir, akan tetapi ketika kebutuhan masyarakat untuk merileksasikan diri dari
kejenuhan rutinitas menjadikan Tuktuk Siadong sebagai tempat wisata. Hal ini
disebabkan bentang alam Tuktuk Siadong yang merupakan dataran tinggi, sehingga
memberikan pemandangan seperti lukisan yang indah. Lambat laun mereka yang
berkunjung semakin banyak dan mulai mendirikan tenda tenda rekreasi ke tempat
tersebut. Kemudian beberapa penduduk memprakarsai mendirikan beberapa rumah
berkembang menjadi daerah tujuan wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan baik
wisatawan lokal maupun wisatawan asing.
2.3 Bahasa
Bahasa merupakan sarana dalam melakukan pergaulan manusia dalam
komunikasinya. Itulah sebabnya bahasa merupakan satu unsur penting dalam
kebudayaan. Indonesia yang memiliki keberagaman budaya dipersatukan dengan bahasa
nasional yakni bahasa Indonesia. Meskipun demikian di pelosok-pelosok tanah air masih
banyak suku bangsa yang masih menggunakan bahasa daerahnya sebagai alat
komunikasi.
Begitupula yang terdapat di daerah penelitian ini, bahasa yang sering
dipergunakan adalah bahasa Batak Toba. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk di
Kelurahan ini adalah suku bangsa Batak Toba. Terkadang penduduk lokal menggunakan
bahasa nasional ketika berinteraksi dengan wisatawan, tak jarang pula mereka
menggunakan bahasa inggris. Hal ini dikarenakan Kelurahan Tuktuk Siadong merupakan
salah satu destinasi wisata yang ada di Samosir, sehingga penduduk setempat cukup fasih
berbahasa inggris.
2.4 Pola Permukiman Penduduk dan Pemanfataan Ruang
Masyarakat Kelurahan Tuktuk Siadong bermukim di sepanjang pinggiran jalan
umum dan pinggiran danau Toba, dimana hampir semua perkampungan warga sudah
dilalui oleh jalan aspal, rumah-rumah penduduk sudah berpencar, tidak seperti
atau kelompok keturunan tertentu. Penduduk yang tinggal di rumah tradisonal Batak
Toba sudah jarang dijumpai di Kelurahan ini.
2.5 Sarana Fisik
2.5.1 Sarana Jalan dan Angkutan
Sarana jalan yang terdapat di daerah penelitian berada dalam kondisi yang baik
hanya terdapat beberapa titik yang rusak. Tetapi selama penulis berada di lokasi
penelitian, jalan-jalan yang sedikit rusak sedang proses perbaikan. Dari data lapangan
diketahui tidak terdapat sarana bus umum di tempat ini, hanya ada satu bus yang
disediakan pemerintah setempat. Bus tersebut disediakan sebagai sarana transportasi
pelajar yang bersekolah di luar Kelurahan Tuktuk Siadong. Alasan tidak diadakan bus
umum karena pemerintah setempat ingin menjaga ketenangan wisatawan yang ada di
Kelurahan Tuktuk Siadong.
Untuk angkutan darat penduduk biasanya menggunakan sepeda motor. Selain
sebagai alat transportasi yang biasa digunakan, sepeda motor juga disewakan kepada
wisatawan. tarif sewa sebesar Rp 90.000,-/ hari, biaya bahan bakar ditanggung oleh
penyewa. Bagi wisatawan yang suka berkendaraan dengan sepeda, warga sekitar juga
memilikinya. Sewa perjamnya sekitar Rp 60.000,-/hari. Akan tetapi harga tersebut bukan
merupakan harga mutlak, artinya harga tersebut dapat di negoisasikan.
Alat transportasi umum yang digunakan di desa Tuktuk Siadong adalah kapal.
Kapal ini umumnya adalah kapal wisata yang dapat di temui melalui rute pelabuhan
alat angkut umum, kapal juga dapat disewakan untuk keperluan lain seperti untuk
perjalanan wisata, keperluan pesta dan sebagainya. Adapula transportasi lain yakni
sampan. Sampan biasanya digunakan nelayan untuk menangkap ikan, akan tetapi
wisatwan dapat menyewanya jika ingin menikmati pengalaman naik sampan kecil di atas
Danau Toba. Data mengenai transportasi dapat dilihat pada tabel berikut ini:
TABEL 1
SARANA TRANPORTASI KELURAHAN TUKTUK SIADONG
No Sarana Transportasi Jumlah (unit)
1 Bus Umum -
2 Sepeda Motor 120
3 Kapal Umum 20
4 Sampan 16
5 Sepeda 53
Sumber: Monografi kelurahan Tuktuk Siadong tahun 2008/200910
2.5.2 Sarana Kesehatan
Di Kelurahan Tuktuk Siadong tidak terdapat rumah sakit yang ada hanya 1 unit
Puskesmas milik Kelurahan. Terdapat pula 1 unit Apotek dan 3 unit Posyandu. Biasanya
jika keadaan yang lebih mendesak, maka penduduk akan berobat ke luar seperti Rumah
Sakit Ambarita, Pangururan, Pematang Siantar atau bahkan ke kota Medan. Data
mengenai sarana kesehatan dapat dilihat pada tabel berikut:
10
TABEL 2
SARANA KESEHATAN
No Sarana Kesehatan Jumlah (unit)
1 Rumah Sakit -
2 Puskesmas 1
3 Apotek 1
4 Posyandu 3
Sumber: Monografi Kelurahan Tuktuk Siadong tahun 2008/2009
2.5.3 Sarana Pendidikan
Dewasa ini pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan masyarakat.
Penduduk Tuktuk Siadong juga demikian, orangtua sudah sangat sadar akan pendidikan
anak-anaknya. Sebagai buktinya anak-anak mereka akan disekolahkan sampai keluar
desa, kota, bahkan provinsi. Hal tersebut terjadi dikarena Kelurahan Tuktuk Siadong
belum memiliki sarana pendidikan yang lengkap.
Daerah Kelurahan Tuktuk Siadong memiliki sarana pendidikan berupa gedung
sekolah. Sarana pendidikan tersebut terdiri dari 1 unit TK (taman kanak kanak) atau play
group, 1 unit SD Negeri, 1 unit SD Inpres, dan 1 unit SMK. Sementara bagi anak yang
ingin melanjutkan pendidikan SLTP dan SMA mereka harus sekolah di luar Kelurahan
Tuktuk Siadong. Umumnya mereka bersekolah di desa tetangga atau ibukota Kecamatan
yakni Ambarita.
2.5.4 Sarana Ibadah
Sarana ibadah yang terdapat di Kelurahan Tuktuk Siadong terdapat 3 unit
bangunan ibadah yang terdiri dari 1 unit Gereja Katolik, 1unit Gereja Protestan dan satu
Kelurahan Tuktuk Siadong. Kondisi dari ke tiga unit sarana ibadah tersebut dalam
keadaan baik
2.6 Keadaan Penduduk
Keadaan penduduk Kelurahan Tuktuk Siadong cukup beragam dengan tingkat
pendapatan yang cukup tinggi. Di desa ini rata-rata masyarakatnya bertaraf kehidupan
menengah keatas. Di desa ini bangunannya berbentuk permanen dengan rumah bertingkat
dengan fasilitas lengkap bahkan seluruh penduduknya memiliki kendaraan bermotor.
Keadaan ini dikarenakan Tuktuk Siadong merupakan daerah distinasi wisatawan,
sehingga perputaran uang cukup tinggi terutama pada masa liburan. Untuk lebih
mengetahui bagaimana keadaan penduduk di Desa Tuktuk Siadong, penulis akan uraikan
secara rinci dalam sub judul berikut:
2.6.1 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kelurahan Tuktuk Siadong dalam data statistik tahun
2008/2009 yang diperoleh dari kantor Kelurahan Tuktuk Siadongl adalah 1997 jiwa.
Dimana mayoritas penduduk bersuku Batak Toba dan sebagian kecil suku Jawa dan Nias.
2.6.2 Kompsisi Penduduk
Komposisi penduduk di Kelurahan Tuktuk Siadong dapat dikelompokkan
berdasarkan agama, jenis kelamin, usia, mata pencaharian dan pendidikan.
2.6.2.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam perkembangan hidup
diketahui babhwa penduduk sekitar tidak ditemukan lagi yang buta aksara. Dimana
terdapat 97 penduduk yang tidak tamat SD, 161 orang tamatan SD, 50 orang tamatan
SMP, 185 orang tamatan SMA, 26 orang tamatan akademisi, dan 39 orang tamatan
sarjana. Sehingga memang Keurahan Tuktuk Siadong cukup memperhatikan pendidikan.
Penduduk yang berkerja sebagai karyawan di hotel atau penginapan mayoritasnya
adalah lulusan SMA. Lulusan SD dan SMP biasanya bekerja sebagai nelayan dan buruh
harian seperti di kapal, ladang, akan tetapi adapula yang bekerja di hotel dan penginapan
bahkan restauran. Penduduk lulusan akademisi dan sarjana mayoritas bekerja di instansi
pemerintahan dan sebagai guru.
2.6.2.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama
Masyarakat Kelurahan Tuktuk Siadong mayoritas beragama Kristen Katolik
dengann penganut sebanyak 1158 orang atau 58% dari jumlah keseluruhan penduduk.
Penduduk yang beragama Kristen Protestan merupakan penduduk yang terbanyak kedua
yang berjumlah 823 orang atau 41,2%. Penganut agama Islam dikelurahan ini merupakan
penduduk yang paling sedikit dengan jumlah penganut 16 orang atau 0,8% dari
keseluruhan jumlah penduduk yang ada di Kelurahan Tuktuk Siadong ini. Untuk lebih
jelasnya komposisi penduduk Tuktuk Siadong dapat di lihat pada tabel berikut:
TABEL 3
2.6.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Ada beberapa jenis mata pencaharian yang digeluti oleh masyarakat Kelurahan
Tuktuk Siadong seperti petani, pedagang, nelayan, pegawai negeri, pengusaha, buruh dan
lain sebagainya. Mata pencarian bertani dan berkebun di daerah ini didukung oleh lahan
pertanian yang luas. Karena Kelurahan Tuktuk Siadong merupakan destinasi wisata maka
banyak pengusaha membuka dan mendirikan fasilitas-fasilitas pelayanan seperti hotel,
penginapan, restoran, tempat penukaran uang asing, biro perjalanan dan saranan hiburan
seperti cafe, bar dan lainnya. Dibidang perdagangan tampak ada pembuat sekaligus
penjual barang-barang kerajinan tangan atau souvenir.
Selain sebagai pedagang dan pengusaha, di Kelurahan Tuktuk Siadong juga
banyak ditemui karyawan atau guide lokal yang bekerja di fasilitas pelayanan jasa
kepariwisataan seperti hotel atau restoran. Untuk lebih jelasnya mengenai mata pencarian
di Kelurahan Tuktuk Siadong dapat dilihat pada tabel berikut.
TABEL 4
Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No Mata Pencarian Jumlah (jiwa)
1 Petani 291
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa pekerjaan sebagai petani di
Kelurahan Tuktuk Siadong merupakan mata pencarian paling banyak yakni sebanyak
291 jiwa sedangkan Pegawai Swasta merupakan pekerjaan terbanyak kedua dengan
jumlah sebanyak 287 jiwa. Para petani di daerah ini biasanya menanam padi, jagung,
sayuran dan kacang-kacangan di ladang mereka. Tanaman tersebut ditanam dalam
jumlah yang tidak terlalu banyak dan biasanya hanya di konsumsi sendiri dan sisahnya
di jual kepada tetangga atau pasar tradisional.
Buruh yang ada biasanya bekerja sebagai anak buah kapal di kapal umum, tenaga
harian di hotel atau penginapan misalnya sebagai tukang kebun, juru masak dan teknisi
mesin. Sedangkan nelayan di Kelurahan ini menangkap ikan dengan menggunakan
sampan.
2.7 Samosir Sebagai Destinasi Pariwisata
Ketika berbicara mengenai Samosir maka yang pertama kali diingat adalah Danau
Toba. Dimana Danau Toba menjadi salah satu danau terluas di Asia Tenggara. Danau
Toba di kelilingi oleh tujuh kabupaten yakni Simalungun, Karo, Dairi, Humbang
Hasudutan, Tobasa, Tapanuli Utara dan samosir. Masing-masing kabupaten memiliki
keunggulannya dalam menarik wisatawan, hal ini juga terlihat di Samosir. Samosir
sebagai titik lokasi penelitian memiliki berbagai tempat yang mengagumkan. Misalnya
wisata budaya dan alam.
Wisata budaya yang terdapat di Samosir misalnya Makam Raja Sidabutar, Batu
Parhusipan, dan banyak lagi. Wisatawan dapat pulak melihat langsung berbagai sajian
tarian Tor-tor dan melihat pembuat tenun Ulos. Di Samosir juga terdapat berbagai
keindahan alam dari pantai pasir putih, Panatapan, dan danau di atas Danau Toba yakni
Danau Sidihoni. Di Samosir juga disediakan penginapan, restoran, lukisan dan ukiran
khas Batak yang terdapat di Sekitar Tuktuk Siadong. Sehingga memang cukup beralasan
Samosir dijadikan daerah tujuan wisata di Sumatera Utara bahkan Indonesia.
Turis yang memiliki ketertarikan dengan ukiran khas batak dapat langsung belajar
atau dapat pula membelinya sebagai souvenir di Tuktuk Siadong. Di Tuktuk Siadong
terkenal dengan sebutan sebagai kampungnya turis mancanegara. Turis-turis ini datang
untuk sekedar menginap semasa liburannya bahkan dari hasil penelitian terdapat turis
mancanegara ini yang menikah dengan penduduk sekitar.
2.7.1 Gambaran Umum Kios-Kios Penjual Ukir Batak.
Kelurahan Tuktuk Siadong merupakan salah satu tujuan wisata yang ada di
Samosir. Ada banyak hal yang dapat dinikmati di daerah ini, pemandangan alam yang
menyejukan mata merupakan salah satu daya tariknya. Selain pemandangan yang indah,
kebudayaan masyarakat setempat juga mengambil andil untuk ikut menarik wisatawan
untuk datang. Salah satu kebudayaan itu yakni seni ukir.
Kelurahan Tuktuk Siadong kini banyak terdapat kios-kios yang menyediakan
ukiran Batak. Kios-kios tersebut berada di pinggiran jalan lingkar Tuktuk Siadong
dengan jumlah pengukir Tuktuk berkisar antara 20 orang. Kios-kios ini berdiri
bergabung dengan rumah si pengukir. Dimana sebenarnya kios tersebut merupakan
bagian depan rumah atau teras dijadikan tempat berusaha. Ada beberapa kios yang
beronamenkan Gorga pada bagian atas maupun dinding. Untuk memberikan identitas
pemiliknya, kios tersebut diberikan pamflet di bagian depan.
Meja ukir merupakan satu benda yang paling mencolok keberadaannya. Terlihat
dari bentuknya yang besar, dengan tumpukan alat-alat yang digunakan untuk mengukir.
Hal ini dikarenakan kios penjualan tersebut juga difungsikan sebagai tempat pengukir
memproduksi benda-benda yang dijual. Akan tetapi keadaan ini tidak berada disemua
kios. Adapula beberapa kios yang terpisah dari tempat pembuatan ukirannya. Beberapa
pengukir membuat ruang terpisah karena menginginkan adanya ruang privasi.
Keprivasian ini menyangkut konstrasi pengukir untuk menciptakan suatu benda yang
inovatif.
Kios tersebut menyediakan beberbagai seni ukiran dari yang berukuran kecil
sampai ukuran besar. Benda-benda yang berukuran kecil seperti gantungan kunci,
Laklak, replika Rumbi, kalender Batak, dan lain-lain. Beberapa benda dibuat dalam
BAB III
3.1 Bahan Yang Digunakan Dalam Mengukir
Ada beberapa bahan yang biasanya digunakan oleh pengukir yang ada di
Kelurahan Tuktuk Siadong yakni; kayu, tanduk dan tulang kerbau, kulit kayu, bambu dan
terakhir buah labu. Sub bab selanjutnya akan menjelaskan bahan tersebut secara
terperinci menurut data yang diperoleh penulis.
3.1.1 Kayu
Kayu merupakan bahan yang paling penting dalam pembuatan seni ukir meskipun
kayu merupakan bahan paling penting akan tetapi tidak semua jenis kayu dapat dibuat
menjadi benda ukiran. Saat ini kayu yang paling banyak digunakan di Tuktuk terdapat 3
jenis yakni: Jior, Ingul dan Haumbang. Ketiga kayu ini merupakan kayu keras. Jior dan
Ingul banyak ditemui di sekitaran desa sedangkan untuk kayu haumbang hanya terdapat
di hutan. Selain ketiga jenis kayu tersebut, ada juga jenis kayu yang dahulu sering
digunakan yakni kayu nangka dan kayu Rukam.
Kayu nangka biasanya digunakan untuk membuat kecapi, pada perkembangan
selanjutnya kayu nangka banyak digantikan oleh kayu jior. Hal ini disebabkan kayu
nangka sulit ditemukan belum lagi harga kayu nangka yang mahal, sehingga pengukir
menggantikannya dengan kayu Jior. Kayu Jior harganya relatif murah dan banyak
ditemukan di hutan kawasan Tuktuk Siadong serta memiliki kualitas yang tidak kalah
dengan kayu nangka. Sedangkan jenis kayu Rukam, dahulu merupakan bahan utama
dan sekelilingnya terdapat duri. Duri pada kayu ini mempersulit proses pengolahan,
belum lagi kayu ini hanya terdapat di daerah Tongging. Hal ini dituturkan oleh informan
di lapangan.
“saya dulu waktu SD pernah melihat Tunggal Panaluan yang terbuat dari kayu Rukam. Di setiap lima centinya ada ranting, nah rantingnya itukan di potong waktu ngukir. Ranting-ranting yang dipotong itu menyebabkan ada mata-matanya, bayangkanlah pisau aja kalah dibikin matanya itu. Durinya pun banyak, nyarinya sulit jadi dia ditinggalkan pengukir. Memang gak semua Tunggal Panaluan pake kayu Rukam.” (Benari Nainggolan, 60 tahun)
Foto 1
Sumber: Foto Candra Sinabutar, 2014. Kayu Ingul, merupakan salah satu kayu yang sering digunakan untuk membuat ukiran Batak.
Pengukir biasanya mendapatkan bahan baku kayu dari hutan masyarakat dimana
mereka biasanya membeli per pohon. Untuk ukuran pohon dengan tinggi 10 meter dan
bahan baku kayu tersebut bisa bertahan hingga satu setengah tahun. Menurut Benny
Silalahi ada beberapa pengukir Batak yang biasanya menggunakan kayu muda untuk
ukirannya. Untuk pengadaan bahan baku terutama kayu, sebenarnya pengukir mulai sulit
mendapatkannya. Hal ini dikarenakan Pemkab setempat kuatir dengan maraknya
kasus-kasus pembalakan yang terjadi di Samosir. Kesalahan pahaman yang terjadi antara polisi
kehutanan dengan warga juga tak dapat dihindari. Informan menyebutkan ketika
pengukir memasuki hutan, kemudian bertemu dengan polisi maka pengukir tersebut akan
ditangkap meskipun memang pada akhirnya dilepaskan karena memang tidak terbukti
mengambil kayu pinus milik pemerintah.
Kayu yang diambil pengukir bukan merupakan jenis kayu yang dikuatirkan
tersebut seperti kayu pinus yang memiliki nilai jual dipasaran. Kayu yang diambil oleh
pengukir merupakan kayu alami yang tumbuh di hutan-hutan dekat perkampungan
warga. Dahulu pengukir dapat mengambilnya tanpa izin dari pemerintah setempat.
Namun dewasa ini pengukir harus mendapatkan izin dari pemerintah, bahkan harus
menghindari pertemuan dengan pihak kehutanan pada saat mengambil kayu. Sehingga
tak jarang para pengukir hanya mendapatkan jenis kayu muda. Nah, keadaan ini tetap
dimanfaatkan para pengukir daripada mereka tidak mngukir.
3.1.2 Tanduk dan Tulang Kerbau
Ada beberapa benda budaya Batak yang menggunakan tanduk dan tulang salah
satu contohnya adalah Sahan dan Parholaan. Tanduk dan tulang yang digunakan
dan tulang yang biasa digunakan oleh pengukir saat ini khususnya untuk daerah Tuktuk
Siadong adalah tanduk dan tulang kerbau.
Bagian tulang kerbau yang digunakan yakni bagian paha dan rusuk. Pengukir
memperoleh bahan ini dari rumah potong hewan yang berada di Siantar tepatnya di Jalan
Nias, Pematang Siantar. Pengukir biasanya membeli tanduk kerbau dengan harga Rp
100.000,- perpasang. Dahulunya tanduk dan tulang kerbau dianggap sampah oleh rumah
potong hewan, sehingga pengukir bisa mendapatkannya dengan cuma-cuma. Akan
tetapi sejak kebutuhan akan tulang dan tanduk meningkat, pengukir pun harus
mengeluarkan uang untuk membelinya.
Foto 2
Sumber: Candra Sinabutar, 2014. Tanduk Kerbau yang akan diolah untuk membuat
3.1.3 Kulit kayu
Selain kayu, pengukir juga menggunakan kulit kayu sebagai bahan dasar dalam
membuat benda-benda budaya. Kulit kayu sering digunakan untuk pembuatan Pustaha
atau Lahlak Batak. Untuk Pustaha, Parholaan dan kalender Batak yang seuruhnya
mengandung aksara Batak, pengukir biasanya mendapatkanya dalam bentuk setengah
jadi. Maksudnya pengukir yang berada di Kelurahan Tuktuk Siadong sudah mempercayai
pekerjaan tersebut pada pengukir yang ada di Desa Sosor Tolong.
Menurut salah seorang pengukir yakni pak Benny Silalahi, dalam membuat aksara
Batak pengukir yang berada di Desa Sosor Tolong sudah lebih ahli. Bukan berarti mereka
tidak bisa membuatnya tetapi hanya untuk mengefisiensikan waktu yang dibutuhkan
dalam membuat aksara Batak. Sehingga setelah mendapatkan kulit kayu yang telah diisi
dengan aksara Batak, para pengukir hanya tinggal mengerjakan pembuatan alas atas dan
bawah Pustaha atau Lahlak Batak ini. Pengukir yang berada di daerah Sosor Tolong
Foto 3
Sumber: Candra Sinabutar, 2014. Pustaka Laklak yang berbahan dasar kulit kayu.
3.1.4 Bambu
Bambu yang biasanya digunakan untuk ukiran tidaklah sembarangan. Biasanya
pengukir menggunakan Bambu Bolon dan Bambu Bulu Duri. Kedua jenis bambu ini
banyak ditemui di hutan bahkan di pekarangan rumah warga sekitar. Para pengukir bisa
mendapatkan bambu ini dengan cuma-cuma. Hal ini berkaitan dengan masih banyaknya
jumlah bambu di sekitar lokasi penelitian.
Proses pengelolaan bambu sebelum diukir, biasanya bambu direndam terlebih
dahulu menggunakan air. Perendaman ini biasanya memakan waktu dua bulan, akan
tetapi pengukir dapat menggunakan cara singkat yakni dengan melakukan perebusan
menghilangkan binatang-binatang dan zat-zat yang mempercepat pembusukan pada
bambu.
3.1.5 Buah Labu
Buah labu biasanya digunakan untuk membuat Tabu-tabu yakni wadah yang
dahulunya digunakan untuk menyimpan air minum dan biasanya dibawa saat berladang.
Bisa juga digunakan untuk wadah menyimpan tuak. Tabu-tabu dahulu dalam
penggunaanya ditambah jaring yang dibuat dari ijuk atau rotan kecill. Jaring ini berfungsi
Foto 4
Sumber: Achim Sibeth, 2000. Tabu-tabu, merupakan wadah yang digunakan sebagai tempat penyimpan air yang akan dibawa ke ladang.
Tidak seperti saat ini Tabu-tabu kini tidak memiliki jaring tetapi hampir seluruh
bagian ditutupi oleh aksara Batak. Dahulunya buah labu merupakan tanaman liar yang
banyak tumbuh disekitaran rumah namun seiring perjalanan waktu kini keberadaannya
mulai sulit ditemui. Bila kita datang ke Kelurahan Tuktuk Siadong maka kita bisa melihat
dimamfaatkan adalah kulitnya, dengan mencongkel daging dan biji buah dari atas dan
mengeringkan kulit yang sudah bersih maka selanjutnya buah tersebuh siap untuk diukir.
Foto 5
Foto 6
Sumber: Candra Sinabutar, 2014. Tabu-tabu yang telah dimodifikasi. Hampir seluruh permukaan Tabu-tabu ini diukir dan biasanya ukiran yang terdapat berupa kalender Batak, mata angin, Boraspati dan berbagai ukiran Gorga.
3.2 Alat Yang Digunakan Dalam mengukir
Dahulu ukiran batak dibuat hanya menggunakan pisau saja dan cara mengukir
dengan pisau ini juga yang menjadikan ciri khas ukiran dari daerah Batak. Akan tetapi
sekarang sudah banyak pengukir menggunakan alat bantu lainnya seperti pahat, palu,
parang, kampak, gergaji, alat penjepit, bor, jenso, meteran, pensil (alat tulis), kertas pasir,