• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI : SUDAH TERLAMBATKAH?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI : SUDAH TERLAMBATKAH?"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SUDAH TERLAMBATKAH?

Setia Asyanti

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta setia_asyanti@yahoo.com

Abstraksi. Berbagai artikel ilmiah maupun populer mengenai pendidikan karakter telah banyak beredar. Masyarakat makin menyadari pentingnya pendidikan karakter setelah mencermati berbagai peristiwa beruntun di Indonesia yang menggambarkan perilaku anak, remaja, orang dewasa dari rakyat biasa, aparatur negara, bahkan elit politik yang dianggap menciderai nilai–nilai luhur. Pendidikan budi pekerti mulai dilirik kembali untuk diterapkan pada pendidikan tingkat TK hingga SMA. Tujuannya adalah menciptakan generasi muda yang berkarakter unggul sehingga kehidupan bangsa ini menjadi lebih baik. Dilain pihak, pembahasan dan implementasi pembentukan karakter mahasiswa di perguruan tinggi masih minim, meskipun keberhasilan pendidikan karakter di pendidikan sebelumnya belum menampakkan hasil yang signifikan. Perguruan tinggi masih sangat menekankan pada muatan ilmiah yaitu penguasaan ilmu sebagai jawaban atas kebutuhan pasar kerja. Hal ini nampak pada isi silabus tiap mata kuliah yang ada. Tak heran jika lulusan perguruan tinggi mampu menguasai bidangnya namun kurang memiliki karakter yang unggul. Sementara itu, masyarakat menganggap bahwa mengirimkan anaknya ke perguruan tinggi secara otomatis akan memperbaiki perilaku anaknya. Tulisan ini akan membahas tentang hal-hal yang bisa dilakukan perguruan tinggi untuk membantu membentuk karakter unggul pada mahasiswanya.

Kata kunci : pendidikan karakter, perguruan tinggi, mahasiswa

Pendidikan karakter yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir ini, ternyata bukanlah suatu hal yang baru bahkan sudah ada sejak institusi pendidikan berdiri. The Constitution of the Commonwealth of Massachusetts, tahun 1780 yang merupakan konstitusi tertua yang masih berpengaruh saat ini, memuat tujuan institusi pendidikan sebagai institusi publik ini yaitu mendukung dan menanamkan prinsip-prinsip kemanusiaan, kejujuran, pemurah, membantu orang miskin, kerja keras dan hemat, kejujuran dan tepat waktu; kebenaran, humor yang baik dan memiliki afeksi sosial dan perasaan yang halus terhadap semua orang. Menurut Barber (Creighton, 2009) pada abad ke-18 dan ke-19, semua institusi pendidikan baik yang sekuler maupun religius, swasta maupun milik pemerintah bahkan menjadi bagian yang penting dalam membentuk warga negara yang kompeten dan bertanggungjawab. Hanya saja, sekitar tahun 1940 dan 1950 pendidikan moral, yang telah menjadi bagian integral dari

sekolah publik di masa awal berdirinya Amerika, mulai mengalami erosi karena pendidik lebih memprioritaskan pengajaran akademis dibandingkan moral. Hal ini berlanjut pada tahun 1960an dan 1970an ketika pergerakan pendidikan menempatkan domain moral menjadi bagian dari sejarah (Millon, dalam Creighton 2009). Kebangkitan atau mulai didengungkannya kembali pendidikan moral terjadi pada awal abad 21 ketika sekolah kembali kepada misi aslinya yaitu membantu siswa mencapai moral and membentuk kebiasaan baik yang bermanfaat untuk mencapai kesuksesan hidup (Ryan, dalam Creighton 2009).

(2)

masyarakat mencermati berbagai peristiwa beruntun yang menggambarkan perilaku anak, remaja, orang dewasa dari rakyat biasa, aparatur negara, bahkan elit politik yang dianggap menciderai nilai–nilai luhur. Sebagai contoh adanya kecurangan dalam ujian akhir nasional, tawuran antar pelajar atau mahasiswa, vidio mesum, penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja maupun eksekutif muda, perdagangan wanita dan anak, korupsi oleh aparatur negara sampai dengan perilaku wakil rakyat dalam sidang DPR yang tidak bisa dijadikan panutan. Meskipun tidak memungkiri masih banyak yang berperilaku terpuji, namun berbagai peristiwa yang tidak menggambarkan karakter unggul ini makin menguatkan kesadaran pentingnya mengimplementasikan pendidikan karakter ini secara formal dalam dunia pendidikan.

Secara khusus, Pemerintah Indonesia melalui kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa, menekankan perlunya pendidikan karakter bagi bangsa dengan beberapa alasan adanya (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; (2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; (3) bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (4) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan (5) melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025, dalam Siswanto 2011). Melalui UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan komitmen tentang pendidikan karakter sebagaimana termuat dalam rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam kaitannya dengan perguruan tinggi, Peraturan Pemerintah no 17 tahun 2010 pasal 84 ayat 2, menyebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki tujuan membentuk insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur, sehat, berilmu dan cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan berjiwa wirausaha, serta toleran, peka sosial dan lingkungan, demokrtis dan bertanggung jawab.

Berdasarkan UU Sisdiknas tahun 2003 dan PP no 17 tahun 2010 diatas, nampak jelas bahwa pemerintah Indonesia memberikan dukungan secara konkrit pada pendidikan karakter ini. Mengingat keberhasilan institusi pendidikan terletak tidak saja pada penguasaan ilmu pengetahuan namun juga pada pembentukan karakter yang baik pada anak didiknya, maka tanggungjawab pembentukan karakter baik ini terletak tidak hanya pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan menengah namun juga perguruan tinggi. Meskipun demikian, yang selama ini terjadi adalah penerapan pendidikan karakter dominan dilakukan pada pendidikan dikedua level sebelumnya, dan belum pada level perguruan tinggi. Hal ini nampak dari sedikitnya artikel ilmiah yang membahas tenteng pembentukan karakter di perguruan tinggi di Indonesia.

Implementasi pendidikan karakter

(3)

pelajaran dan kurang memberi porsi pada pembentukan karakter baik yang menjadi amanat UU sisdiknas. Pendidik memandang nilai lebih utama untuk dicapai, sedangkan karakter yang baik itu meskipun dianggap penting dalam kehidupan tidak mendapatkan porsi seimbang. Masalah karakter, lebih diserahkan pada orangtua, sebagai pendidik utama di keluarga, sementara orangtua mengharapkan guru ikut mendidik anak-anaknya menjadi lebih baik. Kondisi ini jika diibaratkan seperti gayung tak bersambut.

Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian sekolah telah berupaya untuk mengimplementasikan pembentukan karakter, hanya saja selama ini upaya tersebut belum menjadi upaya yang komprehensif dan integral dari level pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Masing-masing sekolah nampaknya masih memilih karakter tersendiri yang dianggap penting untuk dikembangkan dan belum ada pengelompokan karakter apa saja yang akan dikembangkan pada tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi secara berkelanjutan. Kondisi ini terjadi karena pemerintah Indonesia melalui kementrian pendidikan nasionalnya memang memberikan kebebasan pada institusi sekolah memilih karakter yang akan dikembangkan berdasarkan kondisi masing-masing sekolah. Ke 18 nilai yang bisa dikembangkan di sekolah menurut Kementrian Pendidikan Nasional bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai tersebut adalah (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab (Puskur. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).

Tolak ukur keberhasilan pendidikan karakter

Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan (Lickona, dalam Siswanto 2011).

Keberhasilan pendidikan karakter akan memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dalan jangka pendek, Ellias (2010) menyatatakan melalui pengembangkan karakter moral, sekolah dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman, mencegah bullying dan viktimisasi oleh teman sebaya, menurunkan problem disiplin, mengurangi ketidakjujuran, mendukung pengembangan etika, dan menghasilkan warga negara yang baik. Sedangkan dalam jangka panjang, Bier dan Berkowitz (2005) menyebutkan penerapan pendidikan karakter dengan serius dan berkualitas akan membentuk generasi yang memiliki etika, bertanggung jawab dan menjadi warga negara yang baik.

(4)

pendidikan karakter yang disebut efektif dan menyimpulkan bahwa mengukur keberhasillan pendidikan karakter itu tidak mudah, namun yang bisa disimpulkan adalah program pendidikan karakter bisa berjalan dengan sukses. Berikut ini beberapa komponen yang menentukan kesuksesan program pendidikan karakter, antara lain :

a. Pengembangan profesional. Semua program yang efektif telah menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dari struktur pengalaman latihan profesional yang terus menerus berlangsung selama penerapan pendidikan karakter.

b. Interaksi kelompok sebaya baik dikelas maupun dalam kelompok kecil misalnya engan bermain peran atau cooperative learning.

c. Direct teaching atau instruksi langsung tentang karakter.

d. Skill training. Program yang dibentuk adalah mendukung dan bahkan mengajarkan secara langsung ketrampilan sosial-emosional, seperti ketrampilan interpersonal-intrapersonal. e. Explisit agenda. Lebih dari separuh program yang efektif menyatakan fokusnya secara eksplisit tentang moralitas, nilai-nilai, nilai kebenaran dan etik yang akan dicapai.

f. Family and community involvement, dapat ditempuh dengan mengirimkan newsletter ke komunitas sehingga komunitas dapat menerapkan inisiatif pendidikan karakter ini.

g. Ketersediaan model yang akan menjadi contoh baik model kelompok sebaya maupun dewasa dan ketersediaan mentor dalam membentuk karakter.

h. Integrasi pendidikan karakter ke dalam kurikulum. Hampir setengah program yang efektif mengintegrasikan pendidikan karakter dengan kurikulum dan hasil yang mencengangkan adalah pendidikan karakter benar-benar

mendukung pembelajaran akademis dan pencapaian prestasi.

i. Pendekatan strategi yang beragam, artinya jarang sekali program yang berhasil hanya mengandalkan 1 strategi. Dari 33 program yang efektif ini semua menggunakan lebih dari 7 komponen strategi.

Selain itu, Melinda dan Berkowitz (2005) mengungkapkan beberapa kondisi di sekolah yang bersifat non kurikulum yang mendukung keberhasilan implementasi pendidikan karakter yaitu : 1) budaya kampus dan praktik-praktik interpersonal yang menjamin bahwa mahasiswa diperlakukan dengan perhatian dan hormat. 2) Dosen, staf menjadi model karakter yang baik bagi mahasiswa, menghidupkan nilai-nilai dalam interaksi keseharian dengan mahasiswa, 3) memberikan kesempatan pada mahasiswa memiliki otonomi dan pengaruh dalam pengelolaan perguruan tinggi seperti memberikan wadah untuk menampung aspirasi mahasiswa, 4) memberikan kesempatan mahasiswa untuk reflesi, berdebat maupun berkolaborasi mencari pemecahan masalah isu-isu moral, 5) sharing visi dan sense of collectivity and responsibility, 6) social skill training artinya kampus menyelenggarakan pelatihan bagi mahasiswa yang tujuannya agar mahasiswa dapat melakuan penyesuaian jangka panjang dengan memperkuat ketrampilan pemecahan masalah interpersonal, 7) memberi kesempatan lebih pada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam dalam kegiatan pelayanan masyarakat oleh kampus yang bisa menaikkan perilaku moral.

Pendidikan karakter di perguruan tinggi : masihkah diperlukan ?

(5)

(2009) menyatakan dunia perguruan tinggi merupakan tempat menyemai, mendidik dan melatih mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang memiliki daya nalar tinggi, analisis tajam dan luas. Sayangnya perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pembentukan karakter mahasiswa. Bahkan Arthur (dalam Syukri, 2009) menyatakan jika perguruan tinggi menjanjikan pembentukan dan pengembangan karakter mahasiswa seperti yang terjadi di Inggris, semua itu hanya retorika institusi universitas modern. Sementara itu, menurut Syukri (2009) masyarakat Indonesia masih menaruh harapan pada perguruan tinggi sebagai tempat latihan dan pendidikan putra putrinya menjadi kaum intelektual yang memiliki ilmu tinggi dan perilaku terpuji. Ironisnya tak ada perguruan tinggi yang menjamin lulusannya memiliki moral etika yang baik.

Disisi lain, misi perguruan tinggi adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan (Arthur, dalam Syukri 2009), sehingga secara eksplisit pembentukan karakter dianggap bukan merupakan tugas perguruan tinggi. Oleh karena itu implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui tantangan tersendiri. Schwartz (2000) menyatakan beberapa hal yang menyebabkan pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menemui kendala karena adanya pendapat yang keliru yaitu :

1. Karakter seseorang sudah terbentuk sebelum masuk ke perguruan tinggi dan merupakan tanggung jawab orangtua untuk membentuk karakter anaknya. 2. Perguruan tinggi, khususnya dosen,

tidak memiliki kepentingan dengan pembentukan karakter, karena mereka direkrut bukan untuk melakukan hal tersebut

3. Karakter merupakan istilah yang mengacu pada agama atau idiologi konservatif tertentu, sementara itu perguruan tinggi di barat secara umum

melepaskan diri dari agama atau idiologi tertentu.

Keengganan perguruan tinggi di barat seperti Inggris dan Amerika Serikat, mengurus masalah moral antara lain karena masalah moral merupakan wilayah pribadi dan mereka dipengaruhi oleh idiologi liberal yang telah menjadi gaya hidup. Selain itu, ada empat alasan perguruan tinggi, khususnya di Inggris yang tidak menaruh perhatian pada pembentukan moral mahasisiwa : 1) takut dengan tuntutan berbagai macam karakter dan perilaku mahasiswa untuk mendapatkan pembinaan, 2) menjalankan pendidikan sesuai dengan kebijakan politik pemerintah, 3) mahasiswa diarahkan menjadi warga negara yang demokratis, 4) perguruan tinggi mengembangkan karakter sesuai dengan tuntutan pasar dan jaringan (Arthur, dalam Syukri 2009).

Uraian diatas menggambarkan bahwa meskipun pendidikan karakter di perguruan tinggi bisa melengkapi puzzle karakter yang belum terbentuk pada tingkatan pendidikan sebelumnya, namun hal tersebut tidak akan berjalan dengan mudah. Schwartz (2000) juga menyatakan hanya ada relatif sedikit institusi, biasanya institusi kecil yang berafiliasi agama atau berjuang untuk menginspirasi, yang memiliki komitmen luas dan komprehensif terhadap perkembangan karakter dalam semua dimensi kehidupan perguruan tinggi.

(6)

nasional tahun 2003 dan PP no 17 tahun 2010 tentang perguruan tinggi. Apalagi jika mengingat data dari Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) mengklaim indeks pembangunan manusia (IPM), alias kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia pada 2011 yang masih menempatkan indonesia di bawah Malaysia (61), Singapura (26) dan Brunei Darussalam (33) (neraca.co.id, 17 April 2012) dan juga kerusakan moral bangsa ini telah membawa perjalanan bangsa ini mencapai masyarakat madani menjadi terseok-seok.

Selain itu, jika pun pendidikan karakter sudah ada atau dilaksanakan pada tingkat pendidikan sebelumnya maka pendidikan karakter di perguruan tinggi akan menjadi pelengkap, untuk rebuild dan reshape, mengingat karakter bukanlah suatu hal yang menetap dan sama sekali tidak bisa berubah atau baik kearah yang lebih baik atau malah kearah kemerosotan karena pengaruh lingkungan. Selain itu, ketiadaan koordinasi mengenai karakter apa yang akan dibentuk pada tingkat pendidikan dasar, menengah pertama maupun menengah atas, menjadikan kedudukan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang paling akhir untuk melengkapi puzzle karakter yang belum ada dan membentuk karakter menjadi “bangunan moral yang sudah jadi dan kokoh” pada mahasiswa. Dengan demikian, lulusan perguruan tinggi akan menjadi manusia dengan kualitas ganda baik kualitas profesional sesuai keilmuannya dan kualitas moral yang tinggi, sehingga dapat berkiprah sebagai warga negara yang baik sesuai bidang pekerjaannya.

Untuk mewujudkan pembentukan karakter Schwartz (2000) menyatakan universitas, baik yang berlatarbelakang religius maupun yang sekuler, dapat menggunakan kekuatan kurikulumnya, khususnya efek baiknya, untuk membentuk pemikiran tetapi juga karakternya. Kurikulum ini tidak saja membentuk

intelectual habits namun juga moral habits mahasiswa.

Perguruan tinggi memiliki pilihan dalam mengajarkan pembentukan karakter yaitu dapat mengintegrasikannya secara alami dengan kurikulum standar maupun mengajarkan beriringan dengan kurikulum standar. Dibandingkan dengan menambahkan serangkaian pertemuan terpisah pada kurikulum yang sesungguhnya sudah padat, pilihan yang mudah adalah mengintegrasikan dengan mata pelajaran/mata kuliah pada semua kelas oleh semua pendidik (Stiff-William, 2010). Hal ini sesuai dengan salah satu pilar pendidikan yang digariskan UNESCO dalam memberikan rambu-rambu menyusun kurikulum untuk pengembangan kepribadian mahasiswa yaitu learning to be (belajar memahami diri sendiri). Perguruan tinggi di Indonesia, menggunakan istilah khusus berkaitan dengan hal tersebut yaitu Mata Kuliah Pengembangan kepribadian (Syukri, 2009).

Dengan demikian jika perguruan tinggi tidak menyusun program pendidikan karakter tersendiri namun mengintegrasikannya kedalam kurikulum standar yang sudah ada, maka yang perlu dilakukan adalah meninjau kembali muatan mata kuliah pengembangan kepribadian dan mengembalikannya ke arah pembentukan karakter sesuai amanat Undang-undang Sisdiknas. Tentu saja hal ini membawa konsekuensi cara pengajaran yang berbeda dan cara pemberian nilai yang berbeda, tidak lagi mengevaluasi penguasaan teori atau kemampuan kognitif mahasiswa namun lebih jauh mengevaluasi implementasi karakter atau nilai-nilai luhur. Adapun bentuk evaluasi maupun formula penilaiannya dapat didiskusikan lebih lanjut dengan dosen-dosen sehingga kepemilikan program ini menjadi ada pada seluruh civitas akademika.

(7)

dalam semua aktivitas di kelas maupun di luar kelas. Jika hal ini bisa dilakukan maka semua lingkungan di kampus, baik di kelas, luar kelas maupun kantor administratif akan mencerminkan lingkungan yang mendukung pembentukan karakter.

Beberapa kondisi diluar kurikulum yang perlu diperhatikan perguruan tinggi karena hal-hal tersebut mendukung suksesnya implementasi pendidikan karakter menurut Melinda dan Berkowitz (2005) adalah : 1) budaya kampus dan praktik-praktik interpersonal yang menjamin bahwa mahasiswa diperlakukan dengan perhatian dan hormat, 2) Dosen, staf menjadi model karakter yang baik bagi mahasiswa, menghidupkan nilai-nilai dalam interaksi keseharian dengan mahasiswa, 3) memberikan kesempatan pada mahasiswa memiliki otonomi dan pengaruh dalam pengelolaan perguruan tinggi seperti memberikan wadah untuk menampung aspirasi mahasiswa, 4) memberikan kesempatan mahasiswa untuk reflesi, berdebat maupun berkolaborasi mencari pemecahan masalah isu-isu moral, 5) sharing visi dan sense of collectivity and responsibility, 6) social skill training artinya kampus menyelenggarakan pelatihan bagi mahasiswa yang tujuannya agar mahasiswa dapat melakuan penyesuaian jangka panjang dengan memperkuat ketrampilan pemecahan masalah interpersonal, 7) memberi kesempatan lebih pada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam dalam kegiatan pelayanan masyarakat oleh kampus yang bisa menaikkan perilaku moral.

Dengan demikian, dosen maupun staf administratif akan menemui tantangan tersendiri karena mereka akan menjadi pribadi yang juga berupaya menjadi model yang baik bagi mahasiswa. Schwartz (2000) menyebutnya dengan istilah mendorong dan

menginspirasi agar mahasiswa

mengembangkan moral yang baik dan trait, yang akan membuat mereka menjadi orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab.

Hal yang tak kalah penting menurut Syukri (2009) adalah kejujuran perguruan tinggi akan ketidakmampuannya untuk berdiri sendiri menyelenggarakan pendidikan karakter. Perguruan tinggi harus mengakui bahwa kerjasama dengan stake holder, dalam hal ini orangtua dan masyarakat sekitar adalah penting. Satu hal yang bisa dilakukan, menurut Melinda dan Berkowitz (2005) adalah dengan memberikan newsletter mengenai pembentukan karakter dalam keluarga dan masyarakat.

Meskipun berbagai strategi dan pendekatan yang digunakan mungkin berbeda namun tujuannya adalah sama yaitu mendorong dan menginspirasi mahasiswa untuk mengembangkan dan menerapkan moralnya sendiri ketika berada dalam tekanan lingkungan (Schwartz, 2000)

Simpulan

1. Pendidikan karakter di perguruan tinggi tetap diperlukan dalam rangka reshape dan rebuild, melengkapi dan mengokohkan karakter baik yang dibentuk pada tingkat pendidikan sebelumnya.

2. Implementasi pendidikan karakter dapat dilakukan dengan membentuk program tersendiri atau berjalan seiring kurikulum yang sudah ada.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Creighton, T. (2009). Character Education : An Hystorical Review. The International Journal of Educational Leadership Preparation, Volume 4, Number 1 (January - March, 2009). Melinda,CB., Berkowitz MW. (2005). What Work in Character Education ? Leadership For Students

Activities, October 2005, vol 34, no 2, page 1-7

Schwartz, AJ. (2000). It’s Not to Late to Teach College Student about Values. The Chronicle of Higher Education. Vol 46. No 40.pg A68

Siswanto, HW. (2011). Pendidikan Karakter: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Implementasinya di Satuan Pendidikan. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang Kemendiknas.

Syukri. (2009). Peran Pendidikan di Perguruan Tinggi terhadap Perubahan Perilaku Kaum Intelektual (sosial-Individu). Jurnal Ilmiah Kreatif.vol 6 no 1, hal 1-15.

Stiff-William, HR. (2010). Widening Lens toTeach Character Education Alongside Standart Curriculum. Abstract. The Clearing House. Vol 83.no 4.pg 115-120.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil dan pembahasan, diperoleh kesimpulan: 1) Hasil prosentase karakter mahasiswa FKIP UMS dalam mendukung implementasi kurikulum 2013 yaitu 84% (SB),

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan judul “Meninjau Se jauh Mana Implementasi Nilai Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Kewarganega- raan Di

Buku kecil ini, yang diberi judul Kurikulum Pendidikan Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum, disusun sebagai hasil beberapa kali pertemuan tentang Kurikulum Pendidikan Agama

Adaptasi yang dimaksud adalah berupa perubahan pada komponen SAP yaitu penambahan atau modifikasi pada 1 kegiatan perkuliahan, sehingga ada kegiatan pembelajaran yang mengembangkan

Berdasarkan hasil penelitian yang penu- lis lakukan dengan judul “Meninjau Sejauh Mana Implementasi Nilai Pendidikan Karakter Melalui Pen- didikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi

"Implementasi Nilai-nilai Moderasi Beragama Melalui Kegiatan Seminar Keagamaan di Mesjid Al-Qauman Desa Gunung Melayu", Reslaj : Religion Education Social Laa Roiba Journal, 2023

Peran Perpustakaan Perguruan Tinggi dalam Mendukung Implementasi Kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar Dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 dinyatakan bahwa perpustakaan sebagai institusi

33 Pendidikan Karakter Anak Usia Dini: Implementasi brain based teaching di Taman Kanak-kanak di Kota Parepare Pembelajaran di TK Kota Parepare mengacu kepada kurikulum yang