KEKUATAN PEMBUKTIAN KODE
WIBE SITE
DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
TESIS
Oleh
SYMON MORRYS 077005122 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEKUATAN PEMBUKTIAN KODE
WIBE SITE
DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SYMON MORRYS 077005122 / HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : KEKUATAN PEMBUKTIAN KODE WIBE SITE DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
Nama Mahasiswa : Symon Morrys Nomor Pokok : 077005122 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Chainur Arrasjid, SH Ketua
)
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum
Anggota Anggota
)
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada Tanggal 23 Juli 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Chainur Arrasjid, SH
Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum 2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum
3. Prof. Dr. Suwarto, SH, MH
ABSTRAK
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara. Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa, sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga. Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi sering kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Di antara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat di dalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia? kedua, bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme? dan ketiga, Apa saja yang menjadi
kendala dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan
tindak pidana terorisme?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Putusan Perkara Nomor 84/PID/B/2007 PN SMG.
Kesimpulan yang diperoleh adalah pertama, kedudukan alat-alat bukti wibe
site dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, hanya sebagai alat bukti pendukung digolongkan kepada alat bukti petunjuk jika dipandang dari hukum acara pidana, kedua, kekuatan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, tidak termasuk sebagai alat
bukti bukti petunjuk sebagaimana menurut pandangan hukum acara pidana, ketiga,
kendala dalam pembuktian Wibe Site terasa sangat sulit untuk mengidentifikasi data-data misalnya kesulitan dalam mencari data-data, nilai, yang selalu berubah dalam suatu dokumen HTML disebabkan baris program HTML yang digunakan hanya terdiri dari
delapan baris. Namun, dokumen HTML yang berasal dari Wibe Site Al-Anshar.net
memiliki jumlah program HTML sebanyak 326 baris. Dengan jumlah baris program sebanyak itu, menghabiskan waktu apabila dilakukan pemeriksaan baris per baris.
ABSTRACT
Terrorism is a crime against humanity and civilization and is one of the serious threatto the sovereignty of each State. Criminal acts of terrorism prevention efforts embodied by the government issued Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2002, which is then approved by Parliament to be a Law No. 15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism. Need for this law because the government realizes the crime of terrorism is an extraordinary crime, requiring extraordinary handling as well. In some cases, mastery of technology is often misused to commit a crime. Among the variety of crime using technology, there is in it some new forms of terrorism crimes.
The problem in this study is the first, how the position of evidences in the form of electronic information in criminal procedural law in Indonesia? second, how the evidence proving the power of electronic information in the legislation the eradication of terrorism? and third, What are the obstacles in the proof wibe code site in the legislation the eradication of terrorism?
The methode used in this research is normative reference to the values and legal norms contained in legislation and court decisions.In this case,act no.15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism and Decision Case Number 84/PID/B/2007 PN SMG.
Conclusions obtained are first, the position of the means of proof wibe site in Law Number 15 Year 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism, just as a means of supporting evidence is classified to guide evidence when viewed from the law of criminal procedure, secondly, the strength of evidence in Law Number 15 Year 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism is evidence of an independent, not included as evidence as proof instructions in the view of criminal procedural law, third, difficulties in proving Wibe Site was very difficult to identify such data problems in search of data, value, which is always changing in an HTML document is caused program lines of HTML that is used only consists of eight lines. However, an HTML document derived from Al-Anshar.net Wibe Site has a number of programs as much as 326 lines of HTML. With the number of lines of the program that much, spend time checking if it is done line by line.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai
gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Univesitas Sumatera Utara, Medan.
Adapun judul Tesis penelitian ini adalah: “ KEKUATAN PEMBUKTIAN
KODE WIBE SITE DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
TERORISME ”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Chainur Arrasjid, SH.,
Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum., Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum.,
Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk
menyelesaikan penulisan Tesis ini.
Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti
2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan
menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH,
atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Suwarto, SH, MH, sebagai Komisi Penguji penulis, yang telah
meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan dorongan,
bimbingan, saran kepada penulis.
5. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., sebagai Komisi Penguji sekaligus Sekretaris
yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian memberikan
dorongan, bimbingan, saran dan masukan yang sangat penting kepada penulis.
6. Kepada Kedua Orang Tua tercinta yang semasa hidupnya mendidik dengan
penuh rasa kasih sayang.
7. Kepada Abang , Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan
pengertiannya serta memberikan Doa dan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan Tesis ini.
8. Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, Beserta seluruh Staff Ilmu Hukum terima kasih atas segala bantuan
selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga Tuhan membalas kebaikan
yang berlipat ganda, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan
menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat
kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan
serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.
Medan, Oktober 2010
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Symon Morrys
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 25 Oktober 1981
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : PNS KEJARI
Alamat : Jl. Bumi Raya VI No. 24 Duren Sawit
Jakarta Timur
Pendidikan : SD Budi Luhur Tangerang Tamat Tahun 1994
SMP Budi Luhur Tangerang Tamat Tahun 1997
SMA Negeri 53 Tangerang Tamat Tahun 2000
Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Tri Sakti Tamat Tahun 2006
Strata Dua (S2) Program Studi Ilmu Hukum
ABSTRAK
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara. Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa, sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga. Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi sering kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Di antara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat di dalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertama, bagaimana kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia? kedua, bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme? dan ketiga, Apa saja yang menjadi
kendala dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan
tindak pidana terorisme?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Putusan Perkara Nomor 84/PID/B/2007 PN SMG.
Kesimpulan yang diperoleh adalah pertama, kedudukan alat-alat bukti wibe
site dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, hanya sebagai alat bukti pendukung digolongkan kepada alat bukti petunjuk jika dipandang dari hukum acara pidana, kedua, kekuatan alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, tidak termasuk sebagai alat
bukti bukti petunjuk sebagaimana menurut pandangan hukum acara pidana, ketiga,
kendala dalam pembuktian Wibe Site terasa sangat sulit untuk mengidentifikasi data-data misalnya kesulitan dalam mencari data-data, nilai, yang selalu berubah dalam suatu dokumen HTML disebabkan baris program HTML yang digunakan hanya terdiri dari
delapan baris. Namun, dokumen HTML yang berasal dari Wibe Site Al-Anshar.net
memiliki jumlah program HTML sebanyak 326 baris. Dengan jumlah baris program sebanyak itu, menghabiskan waktu apabila dilakukan pemeriksaan baris per baris.
ABSTRACT
Terrorism is a crime against humanity and civilization and is one of the serious threatto the sovereignty of each State. Criminal acts of terrorism prevention efforts embodied by the government issued Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2002, which is then approved by Parliament to be a Law No. 15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism. Need for this law because the government realizes the crime of terrorism is an extraordinary crime, requiring extraordinary handling as well. In some cases, mastery of technology is often misused to commit a crime. Among the variety of crime using technology, there is in it some new forms of terrorism crimes.
The problem in this study is the first, how the position of evidences in the form of electronic information in criminal procedural law in Indonesia? second, how the evidence proving the power of electronic information in the legislation the eradication of terrorism? and third, What are the obstacles in the proof wibe code site in the legislation the eradication of terrorism?
The methode used in this research is normative reference to the values and legal norms contained in legislation and court decisions.In this case,act no.15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism and Decision Case Number 84/PID/B/2007 PN SMG.
Conclusions obtained are first, the position of the means of proof wibe site in Law Number 15 Year 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism, just as a means of supporting evidence is classified to guide evidence when viewed from the law of criminal procedure, secondly, the strength of evidence in Law Number 15 Year 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism is evidence of an independent, not included as evidence as proof instructions in the view of criminal procedural law, third, difficulties in proving Wibe Site was very difficult to identify such data problems in search of data, value, which is always changing in an HTML document is caused program lines of HTML that is used only consists of eight lines. However, an HTML document derived from Al-Anshar.net Wibe Site has a number of programs as much as 326 lines of HTML. With the number of lines of the program that much, spend time checking if it is done line by line.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia.
Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar
lagi (non derogable rights).1 Artinya, hak untuk hidup mutlak harus dimiliki setiap
orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya.
Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada
orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya. Dalam hal ini terdapat
beberapa pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum, sebagaimana yang
diatur dalam Article 2 European Convention on Human Rights yang menyatakan:2
“Protection the right of every person to their life. The article contains exceptions for the cases of lawful executions, and deaths as a result of the use of force which is no more than absolutely necessary in defending ones self or others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections”.
Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada
penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup
manusia adalah eksekusi putusan pengadilan melalui sanksi pidana mati bagi pelaku
1
I. Sriyanto., dan Desiree Zuraida,, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak
Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri, (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001), hal. 1
2
http://en.wikipedia.org/, “European_Convention_on_Human_Rights_files, “European
tindak pidana terorime. Sanksi pidana mati dalam tindak pidana terorisme dibuat
karena aksi terorisme jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma
agama. Terorisme juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi
manusia.3
Terorisme merupakan kejahatan terhadap peradaban kemanusiaan serta
merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena
terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat transnasional (internasional) yang
menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan
kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana
dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan
dijunjung tinggi.4 Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang
termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.5
Secara global, modus-modus serangan bom oleh teorisme masih marak salah
satu faktornya adalah kerasnya pertarungan politik dalam kerangka perang global.
Secara konstitusi, politik luar negeri Indonesia menganut paham bebas aktif yang
berarti tidak memiliki posisi konflik terhadap kelompok mana pun, tetapi imbas
3
Abdul Wahid., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif
Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), hal. 2.
4
Indonesia (a)., Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT), LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284, Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme paragraf 2.
5
kejadian terorisme internasional kadang mencapai wilayah kedaulatan Republik
Indonesia. Pada Juli 2008, Kedutaan Besar RI (KBRI) Afghanistan di Kabul terkena
dampak sampingan ledakan bom mobil bunuh diri di Kedubes India. Akibatnya, lima
orang petugas keamanan KBRI tewas dan dua orang diplomat luka-luka dan 60%
kaca dan pintu hancur, serta bangunan KBRI di Kabul rusak parah.6
Selain dari kejadian yang bersifat dampak sampingan tersebut, hasil
penyelidikan dan penyidikan tindak terorisme besar yang pernah terjadi di Indonesia
mengindikasikan bahwa motif pelaku memiliki keterkaitan langsung dengan konflik
di dunia internasional atau regional. Masih banyaknya aktor teroris yang belum
tertangkap hingga tahun 2010 ini membuktikan bahwa kekuatan berbaur, militansi,
mobilitas, dan adaptasi para tokoh terorisme sangat kuat. Sisa jaringan yang
melakukan aksi peledakan besar sepanjang 2002-2010 seperti bom Bali pada tahun
2002, Bom di gedung World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, bom di JW
Marriot pada tahun 2003, bom di depan Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004,
bom Bali II pada tahun 2005, dan sekelompok pelatihan teroris di Nangro Aceh
Darussalam, masih berkembang biak di Nusantara, yaitu dengan perekrutan dan
penambahan anggota jaringan baru dalam kerangka kaderisasi organisasi. Jaringan
tersebut juga diindikasikan masih memiliki sejumlah senjata api, amunisi, dan bahan
peledak yang sangat berbahaya.
6
Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom
Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan
Peddy’s Club, Kuta, Bali. Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi terorisme di
Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada tanggal 19 April 1999, Bom Malam
Natal pada tanggal 24 Desember 2000, Bom di Bursa Efek Jakarta pada September
2000, serta penyanderaan dan pendudukan Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh
Merdeka pada tahun yang sama.
Kembali pada kasus Bom Bali I. Aksi terorisme melalui peledakan bom mobil
di Jalan Raya Legian Kuta ini semula direncanakan dilaksanakan pada 11 September
2002, bertepatan dengan peringatan setahun tragedi di Gedung World Trade Center
New York, Amerika Serikat. Seperti diketahui, peristiwa tanggal 11 September 2002
ini mengawali “Perang Global” terhadap terorisme yang dipimpin oleh Amerika
Serikat. Kebijakan Amerika Serikat yang berat sebelah seperti memunculkan “Jihad
adalah Terorisme” khususnya di kalangan umat Islam. Dalam memerangi terorisme
telah menjadi alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan perlawanan, salah
satunya dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, dan Amrozi.7
Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk
melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan
warga negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara
terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan
7
hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian
disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disbut UUPTPT).
Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak
pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary
crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary
measures).8
Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian
merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal
ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan UUPTPT ini selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil.
Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari
KUHP dan KUHAP. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian
perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat
segera dilakukan.
8
T. Nasrullah, ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”,
Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police
proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian
terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.
Mengenai pembuktian dalam KUHAP mengenal adanya Alat Bukti dan
Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk
membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. KUHAP
menyebutkan bahwa alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti
yang diatur Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) adalah:9
5. Keterangan terdakwa.
Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP
tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal ini
menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat
perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang
sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi
Arief disebut dengan tindak pidana mayantara.10
9
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209, Pasal 184.
Secara garis besar cybercrime terdiri
dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan Teknologi Informasi (TI) sebagai
fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.
10
Abdul Wahid., dan Muhammad Labib., Kejahatan Mayantara (Cybercrime), (Bandung:
Perkembangan teknologi dan perkembangan hukum telah menyebabkan
tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media digital (paper less). Perlu
diperhatikan dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, bukti yang akan
mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah berupa data elektronik, baik yang berada
di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print
out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna
komputer.11
Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh terhenti dengan ketidakadaan
hukum yang mengatur penggunaan barang bukti maupun alat bukti berupa informasi
elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain itu, proses
mengajukan dalam proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu
pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini
serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses
pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan penyimpanan (storing) dengan
menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing
process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan
melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital.
Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga
menyangkut aspek validasi (keakuratan) data digital yang dijadikan alat bukti
tersebut. Aspek lain yang terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut,
11
Edmom Makarim., Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT
apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus
dengan perangkat kerasnya (hardware). Sebagaimana telah dijelaskan terlebih
dahulu, bahwa bukti digital tidak dikenal dalam KUHAP. Namun, untuk beberapa
perbuatan hukum tertentu, bukti digital dikenal dan pengaturannya tersebar pada
beberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1997 Tentang Dokumen Perusahaan, Undang-undang Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, Undang-undang Tentang Kearsipan, Undang-Undang Tentang
Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi fokus dalam penelitian ini.
Sebagai lex specialis, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memiliki
kekhususan secara formil dibandingkan KUHAP. Salah satu kekhususan tersebut
yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah terkait penggunaan alat bukti yang
merupakan pembaharuan proses pembuktian konvensional dalam KUHAP yakni
dengan menerapkan proses pembuktian alat bukti non konvensional yang tidak diatur
dalam KUHAP.12
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
Pengaturan mengenai alat bukti pada Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tersebut terlihat dalam Pasal 27, yaitu:
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
12
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, (Bandung: Citra Aditya
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar,
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam
secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1) Tulisan, suara, atau gambar;
2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.13
Beberapa penambahan alat bukti terdapat di dalam UUPTPT, alat bukti yang
disebutkan dalam UUPTPT tersebut merupakan bagian dari alat bukti non
konvensional. Macam-macam alat bukti nonkonvensional semakin banyak diajukan
dalam persidangan di pengadilan. Oleh karena itu, maka pada beberapa
undang-undang telah memasukkan seperti dokumen atau bukti elektronik sebagai alat bukti.
Seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik terdapat dalam Pasal 25 menyebutkan, “Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya
intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.
Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti,
tetapi berdasarkan doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai Barang Bukti yang
13
berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti.14
Dijadikannya alat bukti yang berdiri sendiri dalam UUPTPT tersebut karena
adanya prinsip dalam hukum pidana dan perdata menyatakan terdapat model alat
bukti yang terbuka ujung (open end), yang memungkinkan masuknya berbagai alat
bukti baru, sesuai dengan perkembangan Informasi dan Teknologi yang canggih
termasuk alat bukti yang bersifat sainstifik dan atau eksperimental. Alat-alat bukti
yang terbuka ujung tersebut menurut Munir Fuady digolongkan ke dalam alat bukti
persangkaan dalam hukum acara perdata, dan digolongkan sebagai alat bukti petunjuk
dalam hukum acara pidana, dan alat bukti yang terbuka ujung ini sering disebut
sebagai alat bukti nonkonvensional.
Akan tetapi berbeda dengan
pembuktian di dalam UUPTPT, dimana dalam UUPTPT alat bukti dikenal alat bukti
yang berdiri sendiri sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 27 UUPTPT.
15
Alat bukti dalam UUPTPT yang telah ditentukan tersebut dapat digunakan
sebagai alat bukti yang sah dan mengikat serta memiliki kekuatan pembuktian yang
sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Meskipun demikian, prinsip lex
specialis derogat legi generalis tetap berlaku. Dengan penafsiran secara a contrario,
dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus, dalam hal ini
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP.
14
T. Nasrullah, Op. cit., hal. 16.
15
Penelitian ini bertolak dari permasalahan penggunaan bukti digital (digital
evidence) sebagai alat bukti tindak pidana terorisme di Indonesia. Objek dari
penelitian ini adalah Source Code atau Kode Sumber sebuah website yang merupakan
media informasi teroris, yaitu website Al-Anshar dengan alamat di
http://www.anshar.net. (website ini sekarang sudah diblokir oleh Kepolisian RI dan
dinyatakan dilarang untuk diterbitkan akan tetapi data didapatkan penulis dari
Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor Perkara 84/PID/B/2007 PN SMG).
Dipilihnya kode sumber sebagai objek penelitian dikarenakan kode sumber
adalah tampilan yang paling orisinal dari sebuah website. Segala tampilan yang
ramah pengguna atau user friendly interface dari sebuah website dibangun dari baris
kalimat pada kode sumber website tersebut. Sehingga apabila tampilan dari suatu
website mengandung substansi yang merupakan upaya terorisme, maka harus dilihat
dari kode sumber website tersebut. Selain itu, dari website tersebut kode sumber lah
yang paling mungkin dijadikan alat bukti.
Situs www.anshar.net yang diduga dibuat oleh Agung Setyadi, dosen salah
satu perguruan tinggi di Semarang, dan M. Agung Prabowo Max Fiderman alias
Kalingga alias Maxhaser, mahasiswa salah satu universitas di kota itu, dipakai untuk
menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media
informasi perjuangannya.16
Untuk selanjutnya, pembahasan penelitian ini akan menjelaskan bagaimana
kode sumber dari sebuah website dapat dijadikan alat bukti. Penjelasan tersebut akan
16
dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memungkinkan
penggunaan alat bukti digital dalam persidangan, khususnya Undang-Undang
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu dari penelitian ini akan
terlihat sikap aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam mempergunakan alat
bukti yang ada.
Akibat semakin berkembangnya tindak pidana saat ini, ketentuan di dalam
KUH Pidana mengenai tindak pidana yang telah diatur sebelumnya, tidak dapat
menampung berbagai modus-modus tindak pidana yang terjadi sekarang ini. Tindak
pidana yang tidak ada pengaturannya di dalam KUH Pidana disebut delik-delik
khusus yang pengaturannya diatur secara khusus pula. Delik khusus tersebut seperti
tindak pidana terorisme, tindak pidana pencucian uang, dan lain-lain. Tindak pidana
terorisme dikriminalisasi sebagai tindak pidana karena sangat berbahaya bagi
keamanan, kenyamanan, dan ketenteraman warga negara bahkan mengancam
kedaulatan negara itu sendiri. Oleh karenanya, negara Indonesia harus memberantas
tindak pidana terorisme ini melalui diundangkannya Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak Pidana Terorisme Menjadi
Undang-Undang.
Tindak pidana terorisme dihubungkan dengan peranan kejaksaan merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan. Karena kejaksaan adalah penuntut umum juga
sebagai aparatur negara dalam melakukan supremasi hukum di Indonesia. Kemudian
memberantas tindak pidana terorise di Indonesia. Namun pada prakteknya, mengenai
pembuktian tindak pidana terorisme di Indonesia masih menggunakan sistem
pembuktian dan alat-alat bukti yang dikenal di dalam KUHAP. Oleh karenanya,
kejaksaan sebagai penuntut umum dalam melakukan tuntutannya di pengadilan
mengajukan berbagai alat bukti yang disebutkan di dalam KUHAP dan alat bukti lain
yang di kenal di dalam UUPTPT.
Jika dihubungkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Repubik Indonesia (UU Kejaksaan), tidak secara terperinci
disebutkan, namun tugas dan wewenang kejaksaan dalam mengantisipasi terorisme di
Indonesia dapat dilihat pada Pasal 35 UU Kejaksaan. Dimana disebutkan dalam Pasal
35 tersebut bahwa mengenai terjadinya aksi teror ditentukan tugas dan wewenang
secara khusus kepada Jaksa Agung yakni terdapat di dalam Pasal 35 huruf f UU
Kejaksaan, berbunyi sebagai berikut, “Mencegah atau menangkal orang tertentu
masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena
keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Kalimat yang menyatakan, “Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk
atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya
dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Mencegah atau
menangkal berarti Jaksa Agung berwenang bertindak mencegah atau menangkal
orang-orang tertantu atau kelompok tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia jika
sebenarnya telah ada tanda-tanda yang dapat menguatkan bahwa orang atau
samping pencegahan yang dimaksud tersebut, seseorang mungkin saja melakukan
tindak pidana di luar negara keastuan Republik Indonesia misalnya melalui internet,
secara otomatis wibe site yang dijadikan sarana aksi, masuk ke wilayah Indonesia
melakukan aksi tindak pidana terorisme.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk memilih,
”Kedudukan Pembuktian Kode Wibe Site Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme”, sebagai judul dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga
pokok permasalahan, yaitu:
1. Bagaimana kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum
acara pidana di Indonesia?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme?
3. Apa saja yang menjadi kendala dalam pembuktian kode wibe site dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang
1. Untuk mengetahui dan mendalami kedudukan alat bukti berupa informasi
elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia;
2. Untuk mengetahui dan mendalami kekuatan pembuktian alat bukti informasi
elektronik dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme; dan
3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala dalam pembuktian kode
wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi sejumlah manfaat baik
secara teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dan paradigma
berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya
pemahaman tentang pembutian berupa informasi elektronik melaui website
sebagai alat bukti di dalam tindak pidana terorisme. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan
serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga
diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan
mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia;
2. Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum
dalam hal ini Polisi, Jaksa, dan aparatur hukum lain, khususnya Jaksa dalam
mengajukan tuntutannya beserta alat-alat bukti berupa informasi elektronik
sistem pembuktian terhadap informasi teror melalui website, serta agar dapat lebih
mengetahui dan memahami tentang peran serta wewenang kejaksaan sebagai
penuntut umum dalam perkara terorisme.
E. Keaslian Penulisan
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka sebelumnya peneliti telah melakukan pemeriksaan di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, perpustakaan fakultas pascasarjana USU, perpustakaan
fakultas hukum USU. Namun penulis tidak ada menemukan judul tesis yang memiliki
kemiripan dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, judul
dan permasalahan di dalam penelitian ini, dapat dinyatakan masih asli dan jauh dari
sifat plagiat terhadap karya tulis orang lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Beberapa teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian rekaman
elektronik ini, peneliti mendasarkan pada teori-teori pembuktian yakni Conviction in
Time,17 Conviction-Raisonee,18
17
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. (Jakarta: Pustaka Kartini, 1988), hal. 278, sistem pembuktian
conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik
Positif,19 Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk
Stelsel),20
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-in time, sudah
barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas "dasar keyakinan" belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa. Jadi, dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa
sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.
gunanya sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang
18
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor
keyakinan hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran ”keyakinan
hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem convic-tion-raisonee, keyakinan hakim harus didukung
dengan ”alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem
conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus ”reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar-dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
19
Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak
belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian menurut
undang-undang secara positif, ”keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ”digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah ”robot pelaksana” undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuraduk hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Bagaimana kalau
diatur dalam KUHAP. Teori pembuktian lain yang digunakan peneliti adalah, peneliti
juga menggunakan sistem pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian
dimana si terdakwa diperbolehkan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan
tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya.
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa alat bukti rekaman elektronik dalam
tindak pidana pencucian uang tidak termasuk ke dalam bukti pendukung atau alat
bukti petunjuk sebagaimana alat-alat bukti yang disebutkan di dalam KUH Pidana
dan KUHAP akan tetapi merupakan alat bukti tersendiri atau berdiri sendiri.21
Sebenarnya bahwa tindak pidana terorisme merupakan kejahatan yang luar
biasa (exstra ordinary crime), oleh sebab itu, maka untuk membuktikan kesalahan
pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip "penghukuman berdasar hukum". Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
20
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif ”menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Rumusannya berbunyi adalah ”salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.”
21
Ibid, hal. 317, Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain. Sebagaimana dengan kekuatan pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli dan alat bukti surat, hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian ”yang bebas”.
1. Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang dieujudkan oleh petunjuk oleh karena itu,
Hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian;
terdakwa dalam tindak pidana terorisme, diperlukan hukum acara yang dikecualikan
dari KUHAP karena akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana teorisme ini
menyangkut banyak korban nyawa selain itu dengan banyaknya aksi teror di suatu
negara, menjadikan eksistensi negara tersebut jatuh di mata dunia sehingga investor
pun enggan untuk menanamkan modalnya di negara yang terkena teror tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan dalam
pembuktian alat-alat bukti tindak pidana terorisme, di samping teori pembuktian yang
dianut di dalam KUHAP yaitu pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif
(Negatief Wettelijk Stelsel) yang merupakan teori antara sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time, juga digunakan teori pembuktian dengan asas pembalikan beban
pembuktian atau pembuktian terbalik yang dikenal di beberapa tindak pidana tertentu
termasuk tindak pidana terorisme.22
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Dari
keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
yakni “menggabungkan” ke dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut
keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Dari
hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah
suatu ”sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Sehingga
22
rumusannya berbunyi, ”salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan
hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang”.
Oleh sebab itu, salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan
keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian
menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan
yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan terdakwa
dibarengi dengan keyakinan hakim.
Bertitik tolak dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat
dua komponen:23
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang.
b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut Undang-Undang.
Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur ”objektif” dan ”subjektif”
dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di
antara kedua unsur tersebut. Jika salah satu di antara dua unsur itu tidak ada, tidak
cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara
23
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa
cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, hakim ”tidak yakin” akan
kesalahan terdakwa, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.
Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan
kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan
pembuktian yang cukup menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.
Oleh karena itu, di antara kedua komponen tersebut harus saling mendukung.
Jika diperhatikan kepada pembuktian menurut undang-undang secara negatif,
menempatkan keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan
salah atau tidaknya terdakwa, pembuktian semacam ini pernah dianut di Indonesia
yakni pada pengadilan distrik dan kabupaten.24
24
Andi Hamzah (I)., Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 260.
Umpamanya, walaupun kesalahan
terdakwa telah cukup terbukti menurut cara dan dengan alat bukti yang sah,
pembuktian itu dapat ditiadakan dengan adanya keyakinan hakim. Apalagi jika pada
diri hakim terdapat motivasi yang tidak terpuji demi keuntungan pribadi, dengan
suatu imbalan materi, dapat dengan mudah membebaskan terdakwa dari
pertanggungjawaban hukum, atas alasan hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
Terdakwa memang cukup terbukti secara sah. Namun, sekalipun terbukti secara sah,
hakim tidak yakin akan kesalahan yang telah terbukti tersebut. Oleh karena itu,
kelemahan sistem ini. Sekalipun secara teoretis antara kedua komponen itu tidak
saling dominan, tetapi dalam praktek, secara terselubung unsur keyakinan hakim
yang paling menentukan dan dapat melemparkan secara halus unsur pembuktian yang
cukup. Terutama bagi seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang
tangguh benteng iman dan moralnya, mudah sekali memanfaatkan sistem pembuktian
ini dengan suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.25
Pembuktian menurut R. Subekti disebutkan bahwa, ”Proses meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil-dalil dan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam
suatu perkara. Dengan demikian tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah
diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan”.26
Menurut R. Supomo, pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas
dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah membenarkan hubungan hukum, yaitu
misalnya apabila Hakim mengabulkan tuntutan, maka pengabulan ini mengandung
arti bahwa, hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang didakwakan adalah benar.
Untuk membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim
dengan syarat-syarat yang sah. Dalam arti yang terbatas terdapat pembuktian yang
hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan Jaksa Penuntut Umum dalam
dakwaannya dibantah oleh terdakwa dan apa yang tidak dibantah tidak perlu
dibuktikan. Dalam arti yang terbatas inilah orang mempersoalkan hal pembagian
25
Ibid, hal. 279-280.
26
beban pembuktian.27
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai beberapa
pengertian, yaitu pengertian secara logis, secara konvensional, dan secara yiridis.
28
Dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif, yaitu hakim berkewajiban untuk
memperoleh bukti yang cukup mampu membuktikan tentang apa yang dituduhkan
kepada terdakwa.29
Pembuktian dalam ilmu hukum diatur secara komprehensif dan lugas.
Meskipun telah diatur secara komprehensif dan lugas, namun nilai pembuktiannya
tidak dapat secara mutlak dan lebih bersifat subyektif. Jadi, kebenaran yang dicapai
merupakan kebenaran yang relatif. Hal ini disebabkan karena pembuktian dalam
27
R. Supomo., Hukum Acara Pidana Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978),
hal. 62-63.
28
Sudikno Mertokusumo., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberti, 1988), hal.
103-104, membuktikan dalam dalam arti logis ialah memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Contohnya berdasarkan aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mengkin bersilang. Pembuktian dalam arti konvensional
adalah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif dengan tingkatan yaitu, Pertama,
Kepastian yang didasarkan atas atas perasaan belaka, karena didasarkan atas perasaan maka, kepastian ini bersifat intuitif (conviction in time); dan Kedua, Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee. Membuktikan dalam arti yuridis ialah memberikan dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka, dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, karena ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian atau bukti tertulis itu tidak benar atau dipalsukan, maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan secara yuridis dalam hukum acara pidana tidak sama
dengan hukum acara perdata, terdapat ciri-ciri khusus, Pertaman, dalam hukum acara perdata, yang
dicari adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran berdasarkan anggapan dari pada pihak yang berperkara. Sedangkan dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materil, yaitu
kebenaran sejati, yang harus diusakahan tercapai, Kedua, dalam hukum acara perdata, hakim bersifat
passif yaitu hakim memutuskan perkara semata-mata berdasrkan hal-hal yang dianggap benar oleh pihak-pihak yang berperkara dan berdasarkan bukti-bukti yang dibawa mereka itu dalam sidang pengadilan. Jadi, hakim tidak mencampuri hak-hak induividu yang dilanggar, selama orang yang dirugikan tidak melakukan penuntutan di pengadilan.
29
Teguh Samudera., Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal.
ilmu hukum hanyalah sebagai upaya memberikan keyakinan terhadap fakta-fakta
yang dikemukakan agar masuk akal, yaitu apa yang dikemukakan dengan
fakta-fakta itu harus selaras dengan kebenaran. Sehingga, keyakinan tentang sesuatu hal
memang benar-benar telah terjadi harus dapat diciptakan dan dapat diterima oleh
pihak lainnya, karena apabila hanya dapat diciptakan tanpa diikuti dengan dapat
diterimanya oleh pihak lain, maka akan tidak memunyai arti. Tidak mempunyai arti
dimaksud karena bukti dalam ilmu hukum itu hanya menetapkan kebenaran
terhadap pihak-pihak yang berperkara saja. Jadi, tidak seperti bukti dalam ilmu pasti
yakni berlaku umum, yang berarti menetapkan kebenaran untuk setiap orang dan
mutlak sifatnya.30
Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa-peristiwa tertentu (communis opinio). Secara tidak langsung bagi hakim
karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa mengkualifisirnya dan kemudian
mengkonstituir maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas
pembuktian tersebut.31
Menurut A. Mukti Arto, tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh
kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi
guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat
menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang
diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya
30
Ibid, hal. 10-11.
31
hubungan antara para pihak.32
Sekalipun kebenaran pembuktian dalam ilmu hukum bersifat relatif, akan
tetapi mempunyai nilai yang cukup signifikan bagi para hakim. Karena fungsi
pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum
yang menjadi pokok perkara bagi hakim.33
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli hukum tentang arti
pembuktian sebagaimana disebutkan di atas, dapat dimengerti bahwa pembuktian
adalah suatu proses mempergunakan atau mengajukan atau mempertahankan
alat-alat bukti di muka persidangan sesuai dengan hukum acara yang berlaku (dalam hal
tindak pidana pencucian uang berlaku hukum acara pidana) sehingga mampu
meyakinkan hakim terhadap kebenaran dari alat-alat bukti yang menjadi dasar
tuntutan, atau alat-alat bukti yang dipergunakan untuk menyanggah tentang
kebenaran alat-alat bukti yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.
Karena itu, hakim akan selalu
berpedoman dalam menjatuhkan putusannya dari hasil pembuktian. Oleh karena itu,
acara pembuktian menempati posisi penting dari jalannya persidangan di
pengadilan.
Dalam kaitannya terhadap KUHAP, yang perlu dibuktikan adalah perbuatan
yang memiliki unsur kesalahan (schuld). Menurut Pompe, yang perlu dibuktikan
adalah kesalahan si terdakwa, yang mengandung ciri-ciri atau unsur-unsur sebagai
32
A. Mukti Arto., Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), hal. 140.
33
Bachtiar Effendi, dkk., Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata,
berikut:34
1. Kelakuan yang bersifat melawan hukum;
2. Dolus (kesengajaan) atau Culpa (kealpaan); dan
3. Kemampuan bertanggung jawab pelaku.
Sehubungan dengan itu, pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan
perkara perdata. Biasanya pembuktian dalam perkara pidana lebih ketat
dibandingkan dengan pembuktian dalam perkara perdata. Karena dalam praktek
pidana yang mencari kebenaran materiil, dianut pembuktian dengan stelsel
negative, artinya untuk menjatuhkan putusan dalam perkara pidana tidak cukup
berdasarkan alat bukti saja, tetapi juga diperlukan adanya keyakinan hakim, apakah
terdakwa bersalah atau tidak bersalah, dan pembuktian ini dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum.35
Pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang menyatakan atau
menuntut atau mengklaim suatu hak. Beban pembuktian seperti ini, berlaku di
negara-negara yang menganut sistem civil law (continental), seperti di Indonesia.
Dimana pembuktian terbalik dilakukan oleh terdakwa pada waktu membacakan
pembelaannya dan dapat diulangi lagi pada memori banding dan memori kasasi.36
Teori Negatif dalam hukum pidana mengatakan bahwa hakim boleh
menjatuhkan pidana, jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang
34
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”,
(Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 163.
35
Adrian Sutedi., Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 288.
36
sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori ini dianut
dalam HIR, sebagaimana terdapat dalam Pasal 294 HIR Ayat (1), yang pada
dasarnya ialah:37
a. Keharusan adanya keyakinan Hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada;
b. Alat-alat bukti yang sah.
Teori ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana terkandung dalam ketentuan
Pasal 183 KUHAP, meyebutkan sebagai berikut;38
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Meneliti Pasal 183 menyatakan, ”Sekurang-kurangnya harus ada dua alat
bukti yang sah”, ”bukan satu alat bukti”, maka seorang terdakwa telah memenuhi
unsur batas minimum pembuktian. Namun menurut hukum posistif unsur
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah harus ditambah dengan unsur keyakinan hakim
sebagai unsur complimentary (pelengkap) dan lebih berwarna sebagai unsur formal
dalam model putusan.39
Teori bebas adalah teori yang tidak mengikat hakim kepada aturan hukum
yang dijadikan pokok, asal saja ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa yang
didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh
37
Ibid, hal. 279.
38
KUHAP, Op. cit, Pasal 183.
39
pengalaman.40
Teori bebas dimungkinkan terjadi karena globalisasi menimbulkan teori baru
yang relevan dengan situasi saat ini dan akhir-akhir ini berkembang suatu teori baru
yakni teori modern. Teori ini tidak dianut dalam sistem HIR maupun sistem KUHAP.
Berdasarkan teori-teori pembuktian yang telah dikemukakan, dan sistem
pembalikan beban pembuktian di atas, secara khusus bahwa sesuai dengan ketentuan
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, (UUPTPT) ditentukan bahwa,
alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1) Tulisan, suara, atau gambar;
2) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pada Pasal 27 huruf a, mencakup alat bukti yang disebutkan di dalam
KUHAP. Sedangkan pada huruf b, dan c inilah yang dimaksud dengan alat bukti lain
yang dikenal di dalam UUPTPT selain itu juga dikenal di dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPTPPU), Undang-Undang
40
Martiman Prodjohamidjojo., Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE). Dimana
dalam undang-undang terkait ini dikenal dengan alat bukti elektronik yang dijadikan
sebagai alat bukti di dalam pembuktian tindak pidana terorisme.
Sedangkan dalam pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang, yakni
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak
pidana yang didakwakan terhadapnya dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaanya.
Kata-kata ”bersifat terbatas” dimaksudkan bahwa apabila terdakwa secara
yakin dapat membuktikan bahwa dakwaan yang ditujukan kepadanya tidak terbukti
atau tidak benar, hal ini bukan berarti terdakwa tidak melakukan tindak pidana sesuai
dengan apa yang didakwakan oleh JPU. Sebab JPU, masih tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.41 Dipandang dari sisi tersangka atau terdakwa, alat bukti
artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan tersangka atau terdakwa untuk dapat
meyakinkan hakim di muka persidangan. Sedangkan jika dipandang dari pengadilan
yang memeriksa perkara, alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan
oleh hakim untuk menjatuhkan putusan.42 Jadi, alat-alat bukti sangat diperlukan oleh
para pencari keadilan maupun pengadilan.43
Dalam KUHAP, perihal alat-alat bukti tercantum dalam Pasal 184 dinyatakan
dalam pasal tersebut bahwa alat-alat bukti yang sah terdiri dari, keterangan saksi,
41
Ibid, hal. 108.
42
Nashr Farid Washil., Nazhoriyah ad Da’wa wa Istbat fii Fiqhi Islamiyyi ma’a
al-Muqoronati bi al-Qoonunniyyi al- Wad’iyyi, (Kairo: Daaru Asy Syuruq, 2002), hal. 23.
43
Roihan A. Rasyid., Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal.
keterangan ahli, surat, petunjuk; dan keterangan terdakwa. Jika alat-alat bukti
dalam KUHAP yang dijadikan dasar sebagai alat bukti dalam tindak pidana
terorisme mengenai alat bukti wibe site tidak dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sah dan kuat, dengan kata lain alat bukti tersebut merupakan alat
bukti yang lemah, karena wibe site menurut KUHAP dimasukkan ke dalam
alat bukti petunjuk.44
Hal tersebut sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam Pasal 189
Ayat (4) KUHAP bahwa, ”Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”.
Ketentuan itu, ketentuan tersebut sama halnya dengan pengaturan di dalam Pasal 308
HIR yang menegaskan bahwa, ”Untuk dapat menghukum terdakwa, selain daripada
pengakuannya harus dikuatkan pula dengan alat-alat bukti yang lain”. Jadi, jelaslah Dikatakan lemah karena ”sekurang-kurangnya harus ada
dua alat bukti” barulah putusan dapat dijatuhkan kepada terdakwa. Dengan
demikian rekaman elektronik menurut KUHAP bukan alat bukti yang dapat
berdiri sendiri.
44
bahwa jika hakim menerapkan macam-macam alat bukti yang ditentukan dalam
KUHAP, harus didukung oleh alat bukti lain untuk menjatuhkan sebuah putusan.
Oleh karena adanya pengecualian alat bukti dalam UUPTPT tersebut,
disebabkan karena alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP sudah tidak mampu
sebagai lex generalis dalam hal merangkum alat-alat bukti, sehingg muncullah
pengaturan yang bersifat lex specialist.
Mengenai elektronik disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE), yang
dimaksud dengan informasi elektronik adalah, ”Satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.”
Elektronik telah diterima sebagai alat bukti yang sah di dalam UUITE dan
UUTPPU walaupun dalam hal pencarian pembuktiannya di perlukan keterangan ahli
dalam bidang elektronik tersebut untuk menguatkan suatu pembuktian yang
menggunakan elektronik.
Ada beberapa cara untuk mengakui elektronik sebagai alat bukti yang sah di
dalam persidangan pengadilan adalah sebagai berikut:45
45