• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala-Kendala Dalam Pembuktian Wibe Site Sebagai Alat Bukti Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

KENDALA-KENDALA PEMBUKTIAN WIBE SITE DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

C. Kendala-Kendala Dalam Pembuktian Wibe Site Sebagai Alat Bukti Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

216

Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti, namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP.217 Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu

terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.218

1. Keterangan saksi;

Pengaturan alat bukti secara umum diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yaitu:

2. Keterangan ahli; 3. Surat;

4. Petunjuk; dan

5. Keterangan terdakwa.

Apabila berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat bukti yang

tercantum dalam Pasal 184 (1) KUHAP.219

Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil juga mengatur menggenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian, secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang diatur dalam KUHAP. UUPTPT selain mengatur tentang pidana material yaitu Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja. Akan tetapi, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KUHAP bukanlah satu-satunya undang-undang pidana formil yang mengatur mengenai ketentuan pembuktian.

217

Djoko Prakoso., Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana,

(Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 37.

218

M. Yahya Harahap., Op. cit., hal. 285.

219

tentang macam pidana yang diklasifikasikan sebagai terorisme atau unsur tindak pidana terorisme juga mengatur aspek formil atau acara dari pidana terorisme tersebut. Dalam sub bab ini yang akan dibahas secara khusus adalah terkait dengan alat bukti yang diatur dalam UUPTPT.

Berdasarkan pengaturan mengenai alat bukti dalam UUPTPT diatur dalam Pasal 27, dapat dipahami bahwa penggunaan bukti digital dalam UUPTPT, terlihat pada Pasal 27 tersebut. Dalam Pasal 27 UUPTPT dinyatakan yang dapat menjadi alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme adalah alat bukti sebagaimana dalam Hukum Acara Pidana (merujuk pada KUHAP) dan terdapat dua alat bukti lainnya yang merupakan alat bukti digital.

Sehubungan dengan alat bukti tersebut di atas, dalam penjelasan pasal diuraikan bahwa yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data

yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau

Write Once Read Many (WORM). Sedangkan yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (email), telegram, teleks, dan faksimili.

UUPTPT memuat alat bukti elektronik menandakan adanya perkembangan penggunaan alat bukti konvensional menjadi alat bukti berteknologi modern sesuai perkembangan zaman. Hal tersebut berbeda dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Beberapa alat bukti yang diatur dalam KUHAP adalah surat dan petunjuk. Akan tetapi, KUHAP tidak mengakomodir kemungkinan bahwa surat atupun

petunjuk tersebut ditemukan dalam format, misal, email atau website di Internet. Namun demikian, ketiga undang-undang tersebut mengatur lebih lanjut alat bukti yang mengandung unsur elektronik. Sehingga, dengan adanya UUPTPT ini memungkinkan penggunaan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana terorise.

Dikaitkan dengan tindak pidana terorisme, pengaturan alat bukti berupa informasi dan dokumen elektronik sangat diperlukan. Alasannya adalah bahwa tindak pidana terorisme semakin gencar dan menghalalkan segala cara untuk dapat beraksi. Aksi terorisme yang dilakukan pun lebih pintar yaitu dengan digunakannya teknologi modern. Contohnya saja dengan adanya wibe site www.anshar.net. Wibe Site tersebut seakan ingin lebih menunjukkan saat ini dunia menghadapi terorisme.

Dalam Wibe Site ditemukan pengetikan kode sumber HTML, terkadang

beberapa programer menulisnya tidak secara sistematik. Hal tersebut menyebabkan kode sumber dari HTML tersebut tidak mudah untuk dipahami strukturnya. Selain itu

format markup language dalam HTML terkadang menyebabkan kesulitan dalam

membaca konten dari dokumen HTML, karena banyaknya tag dan sintak yang digunakan dalam HMTL. Untuk mempermudah membaca konten dari dokumen HTML, sebagian besar produk HTML editor menerapkan perbedaan warna dalam

membedakan antara tag HTML dengan konten.220

220

Robert Jones, Internet Forensics (United State of America: O’Reilly Publishing, 2005),

hal. 5. diterjemahkan oleh Ahmad Zakariah., Kode Sumber Wibe Site (Depok: Fakultas Hukum

Berdasarkan hasil penelitian kendala yang dihadapi terasa sangat sulit untuk

mengidentifikasi HTML dari Wibe Site tersebut misalnya kesulitan dalam mencari

data, nilai, sintak atau tag yang berubah dalam suatu dokumen HTML. Hal tersebut disebabkan, baris program HTML yang digunakan sebagai contoh hanya terdiri dari delapan baris. Namun, sebagai contoh yang komplek dapat digunakan dokumen

HTML yang berasal dari Wibe Site Al-Anshar.net dengan nama dokumen “tc-1.htm”

yang memiliki jumlah program HTML sebanyak 326 baris. Dengan jumlah baris program sebanyak itu, tentu akan menghabiskan waktu apabila dilakukan pemeriksaan baris per baris.

Kendala ditemukan petugas disebabkan transaksi dan komunikasi yang dilakukan teroris tersebut melalui internet ini terasa sulit dilacak oleh karena ruang dan waktu yang cukup cepat, sementara fasilitas sarana dan prasarana termasuk sumber daya Polri untuk itu masih kurang memadai untuk mencari dan mengejar pelaku.

Dalam hal penindakan, mengenai siapa pelaku yang membuat, mengakses,

dan mempublikasikan di media internet misalnya membuat web site dalam waktu

seketika dapat dihapus, walaupun petugas berkat kerja sama dengan pihak yang memiliki sarana blog di internet tersebut dapat melacak tempatnya, namun kalau pelaku sudah kabur dari tempat pembuatan web site tersebut, petugas sulit untuk menentukan kemana pelaku tersebut pergi, selain itu juga belum dapat diketahui identitas wajah yang akan dimasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena dalam sistem jaringan internet hanya data-data pribadi yang dicantumkan di

dalamnya itu pun bisa diganti-ganti dan mengenai wajah pelaku tidak secara otomatis ada dalam internet tersebut kalau tidak diunggah atau dimasukkan. Jadi, ini sebagai kendala Polri menentukan profil wajah pelaku atau teroris berdasarkan data dari internet.221

Dalam hal pembuktian alat-alat bukti berdasarkan data-data dari internet belum banyak ahli yang khusus menguasai mengenai hal ini di tubuh Polri sendiri, Polri masih melakukan kerja sama dengan pihak lain baik individu, organisasi, dan ahli IT di luar institusi Polri sehingga prosedur demikian juga menjadi kendala masalah waktu yang terasa lama dan berbelit-belit.

Kendala dalam tahap penyelidikan terasa sulit dalam proses karena dalam tahap ini penyidik harus dapat membuktikan tindak pidana yang terjadi serta bagaimana dan sebab-sebab tindak pidana tersebut untuk dapat menentukan bentuk laporan polisi yang akan dibuat. Informasi biasanya didapat dari NCB/Interpol yang menerima surat pemberitahuan atau laporan dari negara lain yang kemudian

221

Balihan Zahab., Prosedur Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Cyber Crime, (Bangka

Belitung, Universitas Langlangbuana Bandung, 2009), hal. 3-4. Penindakan kasus cyber crime sering

mengalami hambatan terutama dalam penangkapan tersangka dan penyitaan barang bukti. Dalam penangkapan tersangka sering kali kita tidak dapat menentukan secara pasti siapa pelakunya karena mereka melakukannya cukup melalui komputer yang dapat dilakukan dimana saja tanpa ada yang mengetahuinya sehingga tidak ada saksi yang mengetahui secara langsung. Hasil pelacakan paling jauh

hanya dapat menemukan IP Address dari pelaku dan komputer yang digunakan. Hal itu akan semakin

sulit apabila menggunakan warnet sebab saat ini masih jarang sekali warnet yang melakukan registrasi terhadap pengguna jasa mereka sehingga kita tidak dapat mengetahui siapa yang menggunakan komputer tersebut pada saat terjadi tindak pidana. Penyitaan barang bukti banyak menemui permasalahan karena biasanya pelapor sangat lambat dalam melakukan pelaporan, hal tersebut membuat data serangan di log server sudah dihapus biasanya terjadi pada kasus deface, sehingga penyidik menemui kesulitan dalam mencari log statistik yang terdapat di dalam server sebab biasanya secara otomatis server menghapus log yang ada untuk mengurangi beban server. Hal ini membuat penyidik tidak menemukan data yang dibutuhkan untuk dijadikan barang bukti sedangkan data log statistik merupakan salah satu bukti vital dalam kasus hacking untuk menentukan arah datangnya serangan.

diteruskan ke Unit cybercrime/satuan yang ditunjuk. Dalam penyelidikan kasus-kasus

cybercrime yang modusnya seperti kasus carding metode yang digunakan hampir sama dengan penyelidikan dalam menangani kejahatan narkotika terutama dalam

undercover dan control delivery. Petugas setelah menerima informasi atau laporan

dari Interpol atau merchant yang dirugikan melakukan koordinasi dengan pihak

shipping untuk melakukan pengiriman barang. Permasalahan yang ada dalam kasus seperti ini adalah laporan yang masuk terjadi setelah pembayaran barang ternyata ditolak oleh bank dan barang sudah diterima oleh pelaku, disamping adanya kerjasama antara carder dengan karyawan shipping sehingga apabila polisi melakukan koordinasi informasi tersebut akan bocor dan pelaku tidak dapat ditangkap sebab identitas yang biasanya dicantumkan adalah palsu.

Pemeriksaan terhadap saksi dan korban banyak mengalami hambatan, hal ini disebabkan karena pada saat kejahatan berlangsung atau dilakukan tidak ada satupun

saksi yang melihat (testimonium de auditu). Mereka hanya mengetahui setelah

kejadian berlangsung karena menerima dampak dari serangan yang dilancarkan tersebut seperti tampilan yang berubah maupun tidak berfungsinya program yang ada, hal ini terjadi untuk kasus-kasus hacking. Untuk kasus carding, permasalahan yang ada adalah saksi korban kebanyakan berada di luar negeri sehingga sangat menyulitkan dalam melakukan pelaporan dan pemeriksaan untuk dimintai keterangan dalam berita acara pemeriksaan saksi korban.

BAB V