NURUL FITRIYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
Nurul Fitriya. Species Composition of Copepod in Berau Waters, East Kalimantan. Under direction of R. KASWADJI, and MULYADI.
Copepods is a dominant group of marine zooplankton, and has an important role in the marine food chain. Copepods live in various habitats, i.e. freshwater, estuaries, and seas. Information on copepods in Indonesia mostly come from expedition reports in east Indonesian waters. Nevertheless, information concerning estuarine copepods is very limited. The Berau waters has a unique ecosystem. It has a high biodiversity, in most of them are copepods. Therefore, a study on biodiversity of copepods in Berau waters was conducted in September 2005. The objectives of this study were to understand the diversity of copepods species in Berau waters, to get available information on description and illustration of copepods. Biological and physical parameters were measured with analysis included dominance, diversity, and similarity. The results showed that there were fourty-four species belonging to 19 families was recorded. They include 27 species of Calanoida, 8 species of Cyclopoida, 2 species of Harpacticoida, 6 species of Poecilostomatoida and one species of Siphonostomatoida. The Calanoids were the most abundant in the community with Acartia pacifica and Acartia eryhtraea as the main species. This indicated that the two species were common and distributed more widely than others. During the observations, one new record of species (Centropages dorsispinatus), male of Kelleria pectinata and one new species (Oncaea sp.) were obtained.
RINGKASAN
NURUL FITRIYA. Komposisi Jenis Kopepoda di Perairan Berau,
Kalimantan Timur. Dibimbing oleh R. KASWADJI, dan MULYADI.
Kopepoda merupakan mikrokrustasea holoplanktonik yang memiliki peranan yang sangat penting artinya bagi ekosistem laut. Kopepoda seringpula dijuluki sebagai insect of the sea karena keanekaragaman dan kelimpahannya yang tinggi sama seperti serangga pada ekosistem darat. Akan tetapi perhatian dan penelitian kopepoda masih sangat terbatas. Kajian biosistematika kopepoda laut di Indonesia pun masih sangat minim, tidak sebanding dengan luas wilayah perairan Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis kopepoda meliputi kelimpahan, dominansi, keanekaragaman dan keseragaman jenis kopepoda yang ada di perairan Berau, Kalimantan Timur serta menyediakan ilustrasi dan deskripsi jenis yang ditemukan secara akurat.
Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2005 di 10 stasiun penelitian. Parameter yang diukur meliputi suhu dan salinitas yang diukur menggunakan CTD, sedangkan arah dan kecepatan arus diukur menggunakan Direct Reading Currentmeter RCM-2. Sampel kopepoda dikoleksi menggunakan conical plankton net dengan ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring 0,45 m dan panjang 180 cm. Pada mulut jaring plankton dipasang flowmeter TSK untuk mengukur volume air yang tersaring. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menarik jaring plankton secara horizontal dengan perahu motor berkecepatan 3 knot selama 5 menit. Sampel yang tersaring dikoleksi dalam botol plastik berukuran 250 cc dan diberi pengawet formalin pekat hingga konsentrasi solusi formalin/air laut menjadi 4%. Di laboratorium sampel kopepoda disortir dari organisme planktonik lainnya dan diidentifikasi sampai tingkat jenis di bawah mikroskop compound Nikon.
Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian ini yang berkisar antara 28,5 – 31 oC masih merupakan kisaran suhu optimum bagi perkembangan kopepoda. Salinitas di perairan Berau yang berkisar antara 26 – 33 psu nampaknya memberi pengaruh pada distribusi kopepoda di perairan tersebut yang lebih banyak didominasi oleh genera dari ordo Calanoida. Arus yang berkembang pada perairan ini murni arus pasang surut dan berlaku untuk seluruh badan air. Pada periode air pasang di permukaan laut pola aliran pada perairan lepas dari muara, kecepatan arus lebih kecil dari 1 mil/jam dan kemudian makin deras setelah mendekati perairan muara yang sempit. Pada perairan lepas muara pola aliran tercatat ke arah selatan dan barat daya mengikuti pola aliran pasang pada pesisir barat Selat Makassar pada umumnya.
merupakan campuran antara massa air sungai dengan air laut sekitarnya. Pola arus pada saat penelitian menunjukkan bahwa massa air saat pasang menyusup ke muara sungai yang ada dan memungkinkan beberapa jenis kopepoda oseanik ditemukan di perairan ini.
Berdasarkan distribusi geografi kopepoda dari berbagai penelitian yang telah dilakukan di dunia terlihat bahwa jenis kopepoda di perairan Berau sebagian besar ada di Samudera Pasifik dan Samudera India, seperti Acartia eryhraea, A. pacifica, Centropages furcatus, Acrocalanus gibber, dan Parvocalanus crassirotris. Hal lain yang menarik pada penelitian ini adalah ditemukannya satu jenis kopepoda yang baru ditemukan di perairan Indonesia yaitu Centropages dorsispinatus, yang biasa ditemukan di perairan Korea dan China (Kim, 1985). Dalam penelitian di perairan Berau ditemukan jenis Kelleria pectinata berjenis kelamin jantan. Penemuan Kelleria pectinata jantan ini memberikan catatan tersendiri bagi penelitian kopepoda laut di Indonesia, karena sebelumnya hanya dilaorkan oleh Scott (1909) dari ekspedisi Siboga. Satu jenis lainnya Oncaea sp. diidentifikasi sebagai jenis baru yang masih memerlukan penanganan lebih lanjut dalam publikasinya sebagai new species. Kehadiran jenis kopepoda di perairan Berau ini diharapkan dapat menambah koleksi data kopepoda laut Indonesia dan dunia pada umumnya agar dapat digunakan untuk menjawab fenomena yang terjadi dalam distribusi geografi kopepoda.
Secara keseluruhan komposisi kopepoda di perairan Berau selama penelitian menunjukkan bahwa ordo Calanoida memiliki kisaran persentase terbesar, diikuti oleh Poecilostomatoida dan Cyclopoida, sementara Harpacticoida dan Siphonostomatoida hanya memiliki persentase tidak mencapai 1 %. Tingginya persentase Calanoida karena jumlah jenis dari Calanoida lebih banyak dibanding ordo lainnya dengan nilai kelimpahan juga tinggi. Tingginya persentase Calanoida karena kondisi suhu dan salinitas perairan yang mendukung pertumbuhan beberapa jenis Calanoida seperti; Acartia erythraea, A. pacifica, Pseudodiaptomus incisus, dan Acrocalanus gibber. Kelimpahan total kopepoda di perairan Berau berkisar antara 32-812 ind/m3 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kelimpahan kopepoda di perairan Cilacap yang berkisar antara 23-201 ind/m3 (Haryono, 1998). Kelimpahan jenis tertinggi terdapat di stasiun 1 (812 ind/m3) dan terendah di stasiun 10 yaitu 32 ind/m3. Kisaran kelimpahan kopepoda ini menunjukkan kecenderungan kelimpahan kopepoda semakin menurun ke arah lepas pantai. Hal ini terjadi karena daerah muara dan tengah perairan kaya akan bahan organik dari sungai-sungai yang bermuara di perairan tersebut. Bahan organik ini akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh kopepoda untuk melangsungkan hidupnya.
Nilai indeks dominansi di perairan Berau yang berkisar antara 0,17-0,53 menunjukkan bahwa di perairan tersebut tidak ada satu jenis tertentu yang mendominasi melainkan didominasi oleh beberapa jenis seperti Acartia, Acrocalanus dan Pseudodiaptomus. Indeks keanekaragaman yang berkisar antara 1,09 – 1, 74 merupakan petunjuk lingkungan yang cenderung stabil. Nilai indeks keseragaman yang berkisar antara 0,40-0,68 dapat diartikan bahwa ada beberapa spesies kopepoda yang tidak melimpah secara merata di lapisan permukaan perairan Berau.
KOMPOSISI JENIS KOPEPODA
DI PERAIRAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR
NURUL FITRIYA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1973 dari ayah H. Appe Mallimoengan dan Ibu Hj. Darmiah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah pada 15 Juni 2002 dengan Agus Nurhidayat dan telah dikaruniai seorang putra yaitu M. Wirayudha (Aranda).
Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 15 Jakarta dan melanjutkan pendidikan sarjana pada Jurusan Biologi, fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada tahun 2004, penulis diterima di sekolah Pasca Sarjana IPB pada program studi Ilmu Kelautan. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Komposisi Jenis Kopepoda Di Perairan Berau, Kalimantan Timur” berhasil diselesaikan.
Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas penulis sampaikan kepada
Bapak Dr. Ir. R. Kaswadji, M.Sc dan Bapak Dr. Mulyadi, atas kesediaan dan
kesabarannya memberi bimbingan sampai selesainya penulisan karya ilmiah ini.
Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Bapak Ir. L.F.Wenno yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk ikut dalam penelitian CoML.
Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan kepada:
1. Bapak Dr. Suharsono, selaku Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh staf karyawan
3. Ketua Program Studi IKL IPB beserta staf pengajar dan karyawan
4. Kepala BOK LIPI beserta staf karyawan
5. Bapak Dr. Augy S., Ibu Dra. Hikmah Thoha, Msi., ibu Trimaningsih, ibu
Sugestiningsih, ibu Elly, Bapak SH. Riyono serta seluruh staf dan teknisi P2O
6. Conny MS Ssi., beserta seluruh staf dan teknisi Museum Zoologi Bogor
7. Rekan-rekan IKL atas suka dan duka bersama. Mbk Riris, Hani, Iwan, Meutia,
Heron, Nurman, Hawis, Mbk Ninit, Yayank, Nani, Begin...”Love u
all”……….
8. Bapak, Ibu, Suami dan anak tercinta (Mas Agus & Aranda) serta seluruh
keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
9. Rekan-rekan seperjuangan di P2O LIPI (Ari, Amran, Yoni, Mbk Erna, Teri,
Rahman, Dani) yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat sebagaimana yang
diharapkan. Amin.
Bogor, Juli 2007
DAFTAR ISI Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Kopepoda... Suhu ... Salinitas ... Arus ...
METODE PENELITIAN ... Lokasi dan Waktu Penelitian ... Pengambilan Sampel di Lapangan...
Saran .………...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ... 46
47
NURUL FITRIYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
Nurul Fitriya. Species Composition of Copepod in Berau Waters, East Kalimantan. Under direction of R. KASWADJI, and MULYADI.
Copepods is a dominant group of marine zooplankton, and has an important role in the marine food chain. Copepods live in various habitats, i.e. freshwater, estuaries, and seas. Information on copepods in Indonesia mostly come from expedition reports in east Indonesian waters. Nevertheless, information concerning estuarine copepods is very limited. The Berau waters has a unique ecosystem. It has a high biodiversity, in most of them are copepods. Therefore, a study on biodiversity of copepods in Berau waters was conducted in September 2005. The objectives of this study were to understand the diversity of copepods species in Berau waters, to get available information on description and illustration of copepods. Biological and physical parameters were measured with analysis included dominance, diversity, and similarity. The results showed that there were fourty-four species belonging to 19 families was recorded. They include 27 species of Calanoida, 8 species of Cyclopoida, 2 species of Harpacticoida, 6 species of Poecilostomatoida and one species of Siphonostomatoida. The Calanoids were the most abundant in the community with Acartia pacifica and Acartia eryhtraea as the main species. This indicated that the two species were common and distributed more widely than others. During the observations, one new record of species (Centropages dorsispinatus), male of Kelleria pectinata and one new species (Oncaea sp.) were obtained.
RINGKASAN
NURUL FITRIYA. Komposisi Jenis Kopepoda di Perairan Berau,
Kalimantan Timur. Dibimbing oleh R. KASWADJI, dan MULYADI.
Kopepoda merupakan mikrokrustasea holoplanktonik yang memiliki peranan yang sangat penting artinya bagi ekosistem laut. Kopepoda seringpula dijuluki sebagai insect of the sea karena keanekaragaman dan kelimpahannya yang tinggi sama seperti serangga pada ekosistem darat. Akan tetapi perhatian dan penelitian kopepoda masih sangat terbatas. Kajian biosistematika kopepoda laut di Indonesia pun masih sangat minim, tidak sebanding dengan luas wilayah perairan Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis kopepoda meliputi kelimpahan, dominansi, keanekaragaman dan keseragaman jenis kopepoda yang ada di perairan Berau, Kalimantan Timur serta menyediakan ilustrasi dan deskripsi jenis yang ditemukan secara akurat.
Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2005 di 10 stasiun penelitian. Parameter yang diukur meliputi suhu dan salinitas yang diukur menggunakan CTD, sedangkan arah dan kecepatan arus diukur menggunakan Direct Reading Currentmeter RCM-2. Sampel kopepoda dikoleksi menggunakan conical plankton net dengan ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring 0,45 m dan panjang 180 cm. Pada mulut jaring plankton dipasang flowmeter TSK untuk mengukur volume air yang tersaring. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menarik jaring plankton secara horizontal dengan perahu motor berkecepatan 3 knot selama 5 menit. Sampel yang tersaring dikoleksi dalam botol plastik berukuran 250 cc dan diberi pengawet formalin pekat hingga konsentrasi solusi formalin/air laut menjadi 4%. Di laboratorium sampel kopepoda disortir dari organisme planktonik lainnya dan diidentifikasi sampai tingkat jenis di bawah mikroskop compound Nikon.
Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian ini yang berkisar antara 28,5 – 31 oC masih merupakan kisaran suhu optimum bagi perkembangan kopepoda. Salinitas di perairan Berau yang berkisar antara 26 – 33 psu nampaknya memberi pengaruh pada distribusi kopepoda di perairan tersebut yang lebih banyak didominasi oleh genera dari ordo Calanoida. Arus yang berkembang pada perairan ini murni arus pasang surut dan berlaku untuk seluruh badan air. Pada periode air pasang di permukaan laut pola aliran pada perairan lepas dari muara, kecepatan arus lebih kecil dari 1 mil/jam dan kemudian makin deras setelah mendekati perairan muara yang sempit. Pada perairan lepas muara pola aliran tercatat ke arah selatan dan barat daya mengikuti pola aliran pasang pada pesisir barat Selat Makassar pada umumnya.
merupakan campuran antara massa air sungai dengan air laut sekitarnya. Pola arus pada saat penelitian menunjukkan bahwa massa air saat pasang menyusup ke muara sungai yang ada dan memungkinkan beberapa jenis kopepoda oseanik ditemukan di perairan ini.
Berdasarkan distribusi geografi kopepoda dari berbagai penelitian yang telah dilakukan di dunia terlihat bahwa jenis kopepoda di perairan Berau sebagian besar ada di Samudera Pasifik dan Samudera India, seperti Acartia eryhraea, A. pacifica, Centropages furcatus, Acrocalanus gibber, dan Parvocalanus crassirotris. Hal lain yang menarik pada penelitian ini adalah ditemukannya satu jenis kopepoda yang baru ditemukan di perairan Indonesia yaitu Centropages dorsispinatus, yang biasa ditemukan di perairan Korea dan China (Kim, 1985). Dalam penelitian di perairan Berau ditemukan jenis Kelleria pectinata berjenis kelamin jantan. Penemuan Kelleria pectinata jantan ini memberikan catatan tersendiri bagi penelitian kopepoda laut di Indonesia, karena sebelumnya hanya dilaorkan oleh Scott (1909) dari ekspedisi Siboga. Satu jenis lainnya Oncaea sp. diidentifikasi sebagai jenis baru yang masih memerlukan penanganan lebih lanjut dalam publikasinya sebagai new species. Kehadiran jenis kopepoda di perairan Berau ini diharapkan dapat menambah koleksi data kopepoda laut Indonesia dan dunia pada umumnya agar dapat digunakan untuk menjawab fenomena yang terjadi dalam distribusi geografi kopepoda.
Secara keseluruhan komposisi kopepoda di perairan Berau selama penelitian menunjukkan bahwa ordo Calanoida memiliki kisaran persentase terbesar, diikuti oleh Poecilostomatoida dan Cyclopoida, sementara Harpacticoida dan Siphonostomatoida hanya memiliki persentase tidak mencapai 1 %. Tingginya persentase Calanoida karena jumlah jenis dari Calanoida lebih banyak dibanding ordo lainnya dengan nilai kelimpahan juga tinggi. Tingginya persentase Calanoida karena kondisi suhu dan salinitas perairan yang mendukung pertumbuhan beberapa jenis Calanoida seperti; Acartia erythraea, A. pacifica, Pseudodiaptomus incisus, dan Acrocalanus gibber. Kelimpahan total kopepoda di perairan Berau berkisar antara 32-812 ind/m3 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kelimpahan kopepoda di perairan Cilacap yang berkisar antara 23-201 ind/m3 (Haryono, 1998). Kelimpahan jenis tertinggi terdapat di stasiun 1 (812 ind/m3) dan terendah di stasiun 10 yaitu 32 ind/m3. Kisaran kelimpahan kopepoda ini menunjukkan kecenderungan kelimpahan kopepoda semakin menurun ke arah lepas pantai. Hal ini terjadi karena daerah muara dan tengah perairan kaya akan bahan organik dari sungai-sungai yang bermuara di perairan tersebut. Bahan organik ini akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh kopepoda untuk melangsungkan hidupnya.
Nilai indeks dominansi di perairan Berau yang berkisar antara 0,17-0,53 menunjukkan bahwa di perairan tersebut tidak ada satu jenis tertentu yang mendominasi melainkan didominasi oleh beberapa jenis seperti Acartia, Acrocalanus dan Pseudodiaptomus. Indeks keanekaragaman yang berkisar antara 1,09 – 1, 74 merupakan petunjuk lingkungan yang cenderung stabil. Nilai indeks keseragaman yang berkisar antara 0,40-0,68 dapat diartikan bahwa ada beberapa spesies kopepoda yang tidak melimpah secara merata di lapisan permukaan perairan Berau.
KOMPOSISI JENIS KOPEPODA
DI PERAIRAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR
NURUL FITRIYA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1973 dari ayah H. Appe Mallimoengan dan Ibu Hj. Darmiah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah pada 15 Juni 2002 dengan Agus Nurhidayat dan telah dikaruniai seorang putra yaitu M. Wirayudha (Aranda).
Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 15 Jakarta dan melanjutkan pendidikan sarjana pada Jurusan Biologi, fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada tahun 2004, penulis diterima di sekolah Pasca Sarjana IPB pada program studi Ilmu Kelautan. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Komposisi Jenis Kopepoda Di Perairan Berau, Kalimantan Timur” berhasil diselesaikan.
Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas penulis sampaikan kepada
Bapak Dr. Ir. R. Kaswadji, M.Sc dan Bapak Dr. Mulyadi, atas kesediaan dan
kesabarannya memberi bimbingan sampai selesainya penulisan karya ilmiah ini.
Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Bapak Ir. L.F.Wenno yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk ikut dalam penelitian CoML.
Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan kepada:
1. Bapak Dr. Suharsono, selaku Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh staf karyawan
3. Ketua Program Studi IKL IPB beserta staf pengajar dan karyawan
4. Kepala BOK LIPI beserta staf karyawan
5. Bapak Dr. Augy S., Ibu Dra. Hikmah Thoha, Msi., ibu Trimaningsih, ibu
Sugestiningsih, ibu Elly, Bapak SH. Riyono serta seluruh staf dan teknisi P2O
6. Conny MS Ssi., beserta seluruh staf dan teknisi Museum Zoologi Bogor
7. Rekan-rekan IKL atas suka dan duka bersama. Mbk Riris, Hani, Iwan, Meutia,
Heron, Nurman, Hawis, Mbk Ninit, Yayank, Nani, Begin...”Love u
all”……….
8. Bapak, Ibu, Suami dan anak tercinta (Mas Agus & Aranda) serta seluruh
keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
9. Rekan-rekan seperjuangan di P2O LIPI (Ari, Amran, Yoni, Mbk Erna, Teri,
Rahman, Dani) yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat sebagaimana yang
diharapkan. Amin.
Bogor, Juli 2007
DAFTAR ISI Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan Kopepoda... Suhu ... Salinitas ... Arus ...
METODE PENELITIAN ... Lokasi dan Waktu Penelitian ... Pengambilan Sampel di Lapangan...
Saran .………...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ... 46
47
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Singkatan (abbreviation) bagian morfologi kopepoda ... 2 Jenis kopepoda di perairan Berau beserta habitat ... 3 Nilai dominansi, keanekaragaman dan keseragaman jenis ...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perkembangan kopepoda ………...………..
2 Skema hubungan filogenetik kopepoda..…….……….
3 Peta lokasi penelitian di perairan Berau ...………..…… 4 Morfologi dan pembagian ruas tubuh pada kopepoda betina …...……. 5 Sebaran horizontal suhu di perairan Berau... 6 Sebaran horisontal salinitas di perairan Berau ... 7 Sebaran horisontal arah dan kecepatan arus pada saat pasang di Berau .. 8 Komposisi kopepoda di perairan Berau ... 9 Kelimpahan jenis kopepoda di perairan Berau …..………..
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Komposisi jenis kopepoda berdasarkan ordo .……….. 2 Kelimpahan jenis kopepoda di perairan Berau, Kalimantan Timur….…. 3 Foto jenis kopepoda di perairan Berau, Kalimantan Timur..……… 4 Deskripsi jenis kopepoda (Mulyadi 2003; 2004) ...
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kopepoda merupakan mikrokrustasea holoplanktonik yang menghuni
berbagai tipe perairan dan membentuk berbagai tipe kehidupan. Ditinjau dari segi
ekologis kopepoda memiliki peranan yang sangat penting artinya bagi ekosistem
laut dan mendominasi komunitas zooplankton di lautan dengan persentase
berkisar antara 50-80% (Wickstead 1976). Kopepoda sering pula dijuluki sebagai
insect of the sea karena keanekaragaman dan kelimpahannya yang tinggi sama
seperti serangga pada ekosistem darat. Akan tetapi perhatian dan penelitian
kopepoda di dunia masih sangat terbatas. Humes (1994) menyatakan bahwa
jumlah kopepoda yang telah dikenal umum di dunia baru mencapai 11.500 jenis
yang terbagi dalam 200 famili dan 1650 genera yang menghuni berbagai tipe
perairan tawar, payau dan laut.
Kajian biosistematika kopepoda di wilayah perairan Indonesia masih sangat
minim. Kontribusi pengetahuan mengenai kopepoda laut Indonesia umumnya
berasal dari laporan ekspedisi besar yang dilakukan pada satu abad lalu terutama
di perairan timur, seperti Ekspedisi Challenger (1872-1876), Siboga (1899-1900),
dan Snellius I (1929-1930). Laporan penelitian kopepoda laut Indonesia paling
penting hingga saat ini dilaporkan oleh Scott (1909) dari sampel yang diperoleh
dalam Ekspedisi Siboga. Sayangnya Scott (1909) tidak menyediakan deskripsi
ataupun ilustrasi dari sebagian besar jenis yang disebutkan. Catatan mengenai
variabilitas dalam jenis dan kelompok jenis tidak disinggung, dan beberapa jenis
diantaranya diragukan akurasinya. Kelangkaan data kopepoda laut Indonesia ini
memerlukan suatu kajian biosistematika kopepoda yang akurat untuk menambah
koleksi data keanekaragaman jenis kopepoda laut di Indonesia lengkap dengan
deskripsi ataupun ilustrasi jenisnya.
Propinsi Kalimantan Timur memiliki wilayah perairan yang luas dan
strategis dari segi lalulintas pelayaran karena merupakan bagian dari Selat
Makassar. Salah satu kabupaten di propinsi ini yang 70% daerahnya merupakan
lingkungan perairan adalah Berau. Di wilayah ini bermuara tiga sungai besar dan
estuaria. Perairan ini merupakan campuran antara massa air sungai dengan air
laut sekitarnya. Lokasi percampuran air di perairan ini tidak tetap, tergantung
kepada banyaknya air tawar yang masuk ke laut dan juga arus pasang surut yang
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pola distribusi kopepoda. Seperti telah
diketahui bahwa kecenderungan pola distribusi kopepoda sebagai penyusun utama
komunitas zooplankton tampaknya sangat terkait dengan pola pasang surut, aliran
arus dan suplai air tawar dari beberapa sungai di daerah tersebut.
Perumusan Masalah
Dalam periode sebelum tahun 1960, penelitian plankton di Indonesia lebih
dititikberatkan pada studi biosistematika. Karya ilmiah yang terbit umumnya
ditulis oleh para peneliti asing berdasarkan sampel dari hasil ekspedisi besar di
kawasan perairan Indonesia. Perkembangan biosistematika plankton dalam hal ini
kopepoda dari ahli Indonesia sendiri dapat dikatakan sangat minim, dan sampai
saat ini baru ada satu orang ahli taksonomi kopepoda di Indonesia. Hal ini tentu
tidak sebanding dengan luas wilayah perairan Indonesia.
Ditinjau dari segi ekologis kopepoda memiliki peranan yang sangat
penting artinya bagi ekosistem laut dan mendominasi komunitas zooplankton di
lautan. Akan tetapi perhatian dan penelitian kopepoda di perairan Indonesia masih
sangat terbatas. Data mengenai komposisi jenis kopepoda yang ada di perairan
Indonesia yang dilengkapi dengan ilustrasi dan deskripsi jenis yang ditemukan
masih sangat minim. Komposisi dan kelimpahan jenis kopepoda di suatu perairan
sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia. Salah satu faktor utama yang
mempengaruhi adalah arus. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang
menghubungkan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia melalui poros
utama di Selat Makassar sekiranya memberikan dampak pada komposisi jenis
kopepoda di perairan Berau, Kalimantan Timur. Kespesifikan habitat di perairan
Berau ini akan berkaitan dengan spesifitas jenis kopepoda yang ada (endemik).
Dari permasalahan ini maka perlu kiranya dilakukan suatu kajian mengenai
komposisi jenis kopepoda yang dilengkapi dengan deskripsi jenis yang
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi kopepoda
yang meliputi kelimpahan, dominansi, keanekaragaman, dan keseragaman di
perairan Berau, Kalimantan Timur serta menyediakan ilustrasi dan deskripsi jenis
yang ditemukan secara akurat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dan panduan dalam
mendeskripsikan jenis-jenis kopepoda yang ditemukan di perairan estuaria
Kopepoda
Zooplankton terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili
hampir seluruh filum hewan mulai dari filum Protozoa (hewan bersel tunggal)
sampai ke filum Chordata (hewan bertulang belakang). Tetapi ditinjau dari aspek
ekologi, hanya satu golongan zooplankton yang sangat penting dan mendominasi
perairan laut yaitu subklas kopepoda yang termasuk dalam filum Arthropoda.
Kopepoda merupakan krustacea holoplanktonik, berukuran relatif kecil,
yang mendominasi komunitas zooplankton di perairan laut dan samudera. Nama
kopepoda sendiri berasal dari bahasa Yunani cope dan podos yang masing-masing
berarti dayung dan kaki, sehingga secara keseluruhan kopepoda dapat berarti kaki
dayung. Hal itu sesuai dengan morfologi kopepoda yang mempunyai kaki-kaki
kuat yang dapat dipergunakan sebagai alat berenang dengan kecepatan tinggi.
Kopepoda merajai komunitas zooplankton di laut baik dalam jumlah jenis
maupun kelimpahannya yang sangat tinggi. Selain itu karena ukurannya yang
kecil tetapi sangat dominan di laut maka kopepoda sering dijuluki sebagai insect
of the sea.
Kopepoda mempunyai kulit atau kerangka luar yang keras, terdiri dari bahan
chitin. Oleh sebab itu kopepoda melakukan molting dalam fase-fase
perkembangannya. Secara umum tubuhnya mempunyai dua pasang antena; yaitu
antenula yang berukuran relatif panjang dan antena yang berukuran kecil.
Kopepoda mempunyai 5 pasang kaki renang sedangkan kaki ke-6 pada umumnya
mereduksi. Tubuhnya beruas-ruas yang terdiri dari kepala (chepalon), dada
(thorax), dan abdomen (urosome). Secara umum bentuk kepala dan dada oval atau
lonjong. Di belakangnya bersambung bagian ekor yang sebenarnya merupakan
perut (abdomen) yang pendek dan sempit dengan ujung yang bercabang. Antenula
panjang dan biasanya terbentang ke samping yang dihiasi dengan seta dan
aestetask di sepanjang permukaan anterior. Kopepoda jantan pada umumnya
mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dari betinanya. Kaki ke-5 yang jantan
mempunyai bentuk khas yang berfungsi untuk memegang betinanya pada saat
larva yang disebut nauplius. Larvanya kecil sekali dengan tiga pasang bakal
antenula, antena, dan mandibel. Pasangan apendiks pertama tidak bercabang,
sedangkan kedua pasang lainnya bercabang. Bentuk badannya bulat telur dengan
bagian belakang meruncing. Setitik berkas mata tunggal menghiasi bagian badan
agak ke pinggir depan. Setelah berganti kulit (molting) beberapa kali, nauplius
berkembang menjadi metanauplius yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda
bakal maxillula dan maxilla serta beberapa bakal kaki renang pada dada. Setelah
metanauplius berkembang menjadi fase kopepodit maka bentuknya sudah mirip
dengan induknya tetapi berukuran sangat kecil dan jumlah ruas tubuhnya belum
sempurna (Gambar 1).
Gambar 1 Perkembangan kopepoda.
Menurut Milne (1840) kopepoda merupakan takson yang terpisah dalam
Krustasea. Setelah itu berkembanglah berbagai skema klasifikasi untuk kopepoda
dan sekarang ini dikenal 10 ordo kopepoda, yaitu Platycopioida, Calanoida,
Harpacticoida, Monstrilloida, Mormonilloida, Misophrioida, Gelyelloida,
umum digambarkan analisis filogeni yang telah dilakukan oleh Ho (1990) dalam
Huys dan Boxshall (1991).
Gambar 2 Skema hubungan filogenetik kopepoda (Huys dan Boxshall 1991).
Peranan Kopepoda
Kopepoda sangat penting artinya bagi ekosistem laut karena merupakan
herbivora primer. Kopepoda mendominasi komunitas zooplankton di lautan
dengan persentase sebesar 70-90% dan berperan penting sebagai mata rantai
antara produsen primer (fitoplankton) dengan para karnivora kecil dan besar
(Nybakken 1992). Persentase yang besar ini akan berpengaruh nyata terhadap
keberadaan fitoplankton sebagai produsen primer di perairan terutama
kepadatannya. Hal itu terjadi karena sebagian besar fitoplankton yang ada di
perairan dimakan oleh kopepoda dengan cara memanfaatkan gerakan kaki renang
dan appendiks pada mulutnya yang menghasilkan pusaran air dan arus yang akan
membawa partikel makanan ke saringan maxilla untuk kemudian diteruskan ke
mulut untuk ditelan dan dicerna. Hal ini menyebabkan kopepoda mendapat
julukan sebagai pelahap terbesar tumbuhan di dunia ini (the biggest grazer in the
world) jika dilihat dari total seluruh biomassa kopepoda di bumi ini. Selanjutnya
Barnes (1963) menyatakan bahwa bagian terbesar dari produksi primer di suatu
perairan berada dalam tubuh kopepoda, bukan pada sel-sel fitoplankton. Energi
yang tersimpan itu kemudian akan ditransfer ke ikan kecil, dan selanjutnya sampai
ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Selain itu sebagai akhir dari proses pencernaan
makanannya, kopepoda akan mengeluarkan feses yang jumlahnya sangat banyak
dalam bentuk butiran-butiran kecil yang disebut faecal pellet. Seiring dengan
kegiatan memakan fitoplankton di permukaan perairan, maka akan terus terbentuk
pula faecal pellet yang kemudian akan turun dan tenggelam ke dasar perairan.
Faecal pellet yang turun ke dasar itu akan menjadi sumber makanan atau bahan
organik bagi berbagai biota yang hidup di laut dalam. Dengan demikian kopepoda
juga memegang peran penting dalam alir energi dan daur hara di laut dalam
(Nontji 2006).
Kehadiran kopepoda sebagai sumber pakan bagi semua anak ikan dan ikan
pelagik dalam ekosistem laut yang melimpah sering dikaitkan dengan indikasi
kesuburan suatu perairan. Dari hasil penelitian pada berbagai jenis ikan di seluruh
dunia, terbukti banyak jenis ikan pelagis dan larvanya memanfaaatkan plankton
sebagai makanannya. Dari seluruh produksi ikan di dunia, 74% merupakan ikan
pelagis dan berdasarkan jenis makanannya ternyata 63% adalah ikan pemakan
plankton, 24 % ikan predator dan 8 % yang hidup di dasar (demersal) (Martinsen
1966). Jadi jelas ikan pemakan plankton lebih banyak daripada ikan pemangsa
lainnya. Pentingnya plankton sebagai pakan ikan dapat dibuktikan di perairan
Inggris, dimana penangkapan ikan mackerel mencapai puncaknya pada setiap
bulan Mei yang bertepatan dengan puncak melimpahnya kopepoda. Korelasi
positif antara hasil tangkapan ikan hering dengan banyaknya kopepoda juga dapat
dibuktikan dalam penelitian (Lucas 1956). Dari berbagai penelitian itu dapat
disimpulkan bahwa bila di perairan tertentu banyak terdapat plankton maka
diharapkan ikan pemakan plankton akan banyak pula. Karena dalam kondisi
normal, bergerombolnya biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya
pangan (Tham 1953).
Di Indonesia beberapa pakar telah meneliti isi lambung beberapa jenis
ikan seperti lemuru (Sardinella longiceps) di Selat Bali. Di dalam lambung ikan
85-95% (Soerjodinoto 1960). Makanan utama ikan teri di Teluk Jakarta juga
berupa zooplankton terutama kopepoda dan jenis krustasea lainnya (Burhanuddin
dkk. 1975). Sedangkan ikan tembang (Sardinella fimbriata) memakan plankton
dengan preferensi kopepoda (Hutomo & Martosewojo 1975). Di perairan Maluku,
ikan umpan untuk cakalang, juga memangsa zooplankton dengan unsur utama
kopepoda dan larva dekapoda (Sutomo dan Arinardi 1978).
Beberapa jenis kopepoda juga dapat digunakan sebagai indikator biologi
dari suatu kondisi lingkungan seperti upwelling. Arinardi, dkk. (1997) menemukan
populasi yang melimpah dari Calanoides philippinensis dan Rhincalanus nasutus
di permukaan perairan pada saat terjadi upwelling di Laut Banda. Kehadiran
kedua jenis kopepoda laut dalam ini menunjukkan bahwa di perairan tersebut
sedang terjadi pengadukan air yang disebabkan oleh terjadinya upwelling pada
perairan tersebut.
Distribusi Kopepoda
Keberadaan dan sebaran biota laut termasuk kopepoda merupakan hasil dari
kejadian yang teratur dan terus menerus yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan tunggal maupun ganda yang menata bentuk sebaran, kelulusan hidup
dan kepadatannya. Populasi kopepoda di berbagai habitat akuatik mempunyai
nilai kelimpahan dan komposisi yang bervariasi tergantung pada kondisi
lingkungan yang erat kaitannya dengan perubahan musim. Faktor fisik-kimia
seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH dan zat cemaran di suatu perairan
memegang peranan penting dalam menentukan kelimpahan jenis plankton.
Sedangkan faktor biotik seperti tersedianya pakan, banyaknya predator dan
adanya pesaing dapat mempengaruhi komposisi spesies (Arinardi, dkk. 1997).
Demikian pula pernyataan Smith (1971) dan Parson & Takashi (1973) bahwa
distribusi plankton di laut ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan seperti
intensitas cahaya, salinitas, suhu, kecerahan, zat hara, arus, gelombang, musim,
siklus reproduksi dan predator.
Di laut, kopepoda sebagai hewan pelagik dapat hidup di berbagai kolom air;
ada yang hidup di dekat dasar perairan (benthopelagik/hyperbenthik); hidup di
hewan lainnya. Kopepoda yang hidup di setiap lapisan perairan laut merupakan
perenang aktif, dan dapat bermigrasi baik secara horizontal maupun vertikal.
Migrasi vertikal berkaitan erat dengan penyebaran kopepoda dalam kolom air.
Migrasi vertikal kopepoda bersifat harian (diurnal migration) dimana pada siang
hari kopepoda bergerak menuju dasar perairan dan naik kembali ke permukaan
pada malam hari akibat intensitas cahaya matahari dan ketersediaan makanan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Kopepoda Suhu
Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi organisme perairan.
Setiap organisme akuatik memiliki toleransi kisaran suhu tertentu untuk
pertumbuhannya. Nybakken (1992) menyatakan bahwa suhu adalah faktor
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu air
mempengaruhi keberadaan zooplankton secara fisiologis dan ekologis. Secara
fisiologis perbedaan suhu perairan sangat berpengaruh pada fekunditas, lama
hidup dan ukuran dewasa zooplankton. Secara ekologis perubahan suhu
menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan zooplankton di perairan
dangkal (Kennish 1990). Kopepoda pada umumnya akan berkembang dengan
baik pada suhu sekitar 25oC atau lebih (Riley 1967).
Beberapa spesies kopepoda terdistribusi secara horizontal berdasarkan
kemampuan penyesuaian diri pada perubahan suhu, misalnya Cosmocalanus
darwinii, Copilia mirabilis, dan Candacia pachydactyla yang biasa ditemukan di
perairan tropis dan dapat menjadi indikator arus hangat (Zhong 1989).
Salinitas
Pola penyebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan pola aliran sungai. Daerah estuari
yang merupakan daerah pertemuan antara air tawar dan air laut mempunyai
struktur salinitas yang kompleks (Nontji 2006). Pada daerah estuari faktor
salinitas merupakan pembatas penyebaran zooplankton.
Kennish (1990) menyatakan bahwa perubahan salinitas yang dapat ditolerir
hidupnya. Salinitas diduga mempengaruhi struktur dan fungsi fisiologis
organisme perairan melalui perubahan tekanan osmosis, proporsi relatif bahan
pelarut, koefisien absorbsi dan kejenuhan larutan, kerapatan dan viskositas,
perubahan penyerapan sinar, pengantar suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan
mengubah komposisi jenis pada situasi ekologi saat itu.
Plankton euryhaline dapat mentolerir kisaran salinitas yang luas, sebaliknya
plankton stenohaline hanya dapat mentolerir kisaran salinitas yang sempit (Odum
1994). Perbedaan toleransi organisme terhadap salinitas dipengaruhi oleh umur,
stadia daur hidup dan jenis kelamin (Kinne 1963). Riley (1967) menyatakan
bahwa Acartia tonsa, Eurytemora hirundoides, E. Affinis dan Pseudodiaptomus
coronatus merupakan jenis Calanoida yang dominan di perairan estuaria dengan
salinitas 18-30 psu. Sedangkan Zhong (1989) menyatakan ada beberapa spesies
kopepoda yang terdistribusi secara horizontal berdasarkan kemampuan
penyesuaian diri pada perubahan salinitas seperti Pleuromamma abdominalis
yang merupakan spesies pada perairan oseanik sedangkan Labidocera euchaeta
biasa hidup di perairan neritik terutama pada pantai berkadar salinitas rendah,
demikian pula dengan Eurytemora affini yang ditemukan di perairan estuaria
dengan salinitas yang sangat rendah.
Arus
Odum (1994) menyatakan bahwa arus dalam air tidak hanya
mempengaruhi konsentrasi sebagian besar gas-gas dan hara tetapi juga bertindak
secara langsung sebagai faktor pembatas. Arus merupakan salah satu parameter
fisika yang mempengaruhi penyebaran zooplankton di laut (Wickstead 1965).
Nontji (1993) menyatakan bahwa arus yang terjadi di perairan pantai dan teluk
lebih banyak dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran sungai.
Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya dapat diamati di
perairan pantai terutama pada selat-selat yang sempit dengan kisaran pasang surut
yang tinggi. Di laut terbuka, arah dan kekuatan arus di lapisan permukaan sangat
Sampel kopepoda dikoleksi dengan menggunakan conical plankton net
ukuran mata jaring 300 µm, diameter mulut jaring 0,45 m dan panjang 1,8 m.
Pada mulut jaring plankton dipasang flowmeter TSK untuk mengukur volume air
tersaring. Pengukuran volume air tersaring dihitung dengan rumus: Sampel Kopepoda
Pengukuran suhu dan salinitas dilakukan dengan menggunakan CTD. Arah
dan kecepatan arus diukur menggunakan Direct Reading Currentmeter RCM-2.
Pola sebaran suhu, salinitas dan arus digambar dengan bantuan Surfer-8. Parameter suhu, salinitas dan arus
Pengambilan Sampel di Lapangan
Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September 2005 di 10 lokasi
(Gambar 3). Lokasi 1, 2, dan 3 merupakan muara dari Sungai Kasei, Garura dan
Pantai. Lokasi 4 , 5 dan 10 merupakan perpanjangan dari lokasi 3 ke arah lepas
pantai dengan jarak antar lokasi sekitar 1o, demikian pula lokasi 6 dan 9 yang merupakan perpanjangan dari lokasi 2, serta lokasi 7 dan 8 perpanjangan dari
lokasi 1.
Lokasi dan Waktu Penelitian
p: panjang kolom air (m) yang ditempuh untuk satu rotasi a: luas mulut jaring
R: jumlah rotasi baling-baling flowmeter V: volume air tersaring (m3)
yang tersaring dikoleksi dalam botol plastik berukuran 250 cc dan diberi
pengawet formalin pekat hingga konsentrasi solusi formalin/air laut menjadi 4%.
Analisis Sampel di Laboratorium
Sampel kopepoda yang sudah diperoleh kemudian dibawa ke laboratorium
untuk disortir atau dipisahkan dari organisme planktonik lainnya kemudian
diidentifikasi sampai tingkat jenis di bawah mikroskop compound Nikon.
Pembuatan gambar/ilustrasi dari setiap jenis secara detil, dilakukan dengan cara
meletakkan spesimen pada slide glass yang telah dibubuhi campuran gliserin dan
akuades dengan perbandingan 1:1 yang diberi pewarna methyl blue, kemudian
diamati di bawah mikroskop.
Gambar 4 Morfologi dan pembagian ruas tubuh pada kopepoda betina secara ventral (Giesbrecht & Schmeil, 1898).
Singkatan (abbreviation) dalam teks yang digunakan untuk menggambarkan
Tabel 1 Singkatan (abbreviation) bagian morfologi kopepoda
Singkatan Singkatan
A1 Antenula B2 basis
A2 Antena Re eksopod
Ms1-Ms5 metasomal somites 1-5 Ri endopod
P1-P5 pereiopod 1-5 Si inner spine
Ur1-Ur5 urosomal somites 1-5 S2 outer spine
CR caudal rami St terminal spine
B1 coxa
Selain singkatan diatas, ada beberapa istilah teknis yang masih digunakan
agar tidak menimbulkan kerancuan, antara lain:
• prosome/cephalothorax: kesatuan kepala dan ruas dada
• urosome/abdomen: bagian belakang tubuh
• grasping organ: alat pemegang
• prehensile: antena yang bentuknya seperti alat pemegang dan bergerigi
• geniculate: menggembung
• anterior: bagian depan
• posterior: ujung belakang
• posteromedial: ujung belakang bagian tengah
• posterolateral: ujung belakang bagian tepi
• posterodorsal: ujung belakang bagian punggung
• lateral: samping/tepi
• ventral: bawah
• dorsal: punggung
• uniramous: tidak bercabang
• biramous: bercabang dua
• distal: ujung
• proximal: pangkal.
Terminologi yang dipakai dalam penelitian ini terutama mengacu pada
¾ Tubuh kopepoda terdiri dari dua bagian : prosome dan urosome.
¾ Prosome terdiri dari kepala dan lima ruas metasome (Ms).
¾ Urosome : pada jantan umumnya memiliki lima ruas, dan pada betina
bervariasi antara dua sampai lima ruas
¾ Kepala dan Ms1 seringkali menyatu; Ms4 dan Ms5 pada beberapa kasus juga
menyatu.
¾ A1 umumnya terdiri dari 25 ruas. Pada kopepoda jantan, A1 bagian kanan
seringkali termodifikasi menjadi alat pemegang (grasping organ).
¾ A2 dan P1-P4 biramous (bercabang dua).
¾ P5 sering termodifikasi, pada betina P5 mereduksi atau sama sekali absen,
sedangkan pada jantan P5 termodifikasi menjadi alat pemegang pada saat
kopulasi.
Analisis Data Kelimpahan Jenis
Data kelimpahan jenis kopepoda dalam individu/m3 diperoleh dengan cara membagi seluruh jumlah individu yang diperoleh dengan volume air tersaring
(m3) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : n
N = V
Dimana N = kelimpahan kopepoda
n = jumlah individu kopepoda
V = volume air tersaring
Dominansi Jenis
Dominansi jenis kopepoda dihitung menggunakan indeks dominansi
Simpson (Magurran, 1988) dengan persamaan:
D = ∑ (ni(ni-1)/N(N-1))
Dengan D = indeks dominansi
N = jumlah total individu yang terkumpul
Keanekaragaman Jenis
Penghitungan keanekaragaman jenis dilakukan berdasarkan rumus
Shannon dan Weaver (1963) dalam Parsons et al. (1984) dengan persamaan :
n
H1 = Σ Pi ln Pi ; Pi = ni/N i=1
H1 = Indeks keanekaragaman ni = Jumlah kopepoda jenis ke-i
N = Jumlah total kopepoda
Keseragaman Jenis
Untuk melihat keseragaman populasi kopepoda pada setiap pengambilan
sampel dilakukan perhitungan Indeks Keseragaman, yaitu:
E = H1 ; E = H1
Hmaks Ln S
E = Indeks Keseragaman
H1 = Indeks Diversitas Hmaks = Ln S
Kondisi Lingkungan Suhu
Sebaran horisontal suhu secara keseluruhan pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5 Sebaran horizontal suhu di perairan Berau.
Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian berkisar antara
28,5 o – 31o C. Kisaran suhu yang tinggi terdapat pada stasiun-stasiun penelitian yang berada dekat muara, makin mendekati muara nilai suhu semakin tinggi dan
semakin berkurang ke arah luar. Kisaran suhu yang tinggi dapat terjadi karena
pengukuran suhu dilakukan pada siang hari di saat intensitas cahaya matahari
paling tinggi, selain itu dangkalnya lokasi penelitian di sekitar muara
mempermudah penyerapan sinar matahari secara merata. Hal lain yang turut
mempengaruhi tingginya suhu di sekitar muara adalah kondisi kekeruhan pada
lokasi tersebut. Kekeruhan yang tinggi menandai besarnya jumlah bahan organik
maupun anorganik tersuspensi maupun terlarut yang erat kaitannya dalam proses
Kisaran suhu di perairan Berau pada saat penelitian masih merupakan
kisaran suhu optimum bagi perkembangan kopepoda sesuai dengan pernyataan
Riley (1967) bahwa zooplankton akan berkembang dengan baik pada kisaran suhu
diatas 25o C.
Salinitas
Sebaran horizontal salinitas pada periode air pasang (Gambar 6)
menunjukkan bahwa pengaruh Selat Makassar dengan salinitas yang tinggi
menyusup sampai ke perairan dekat mulut sungai. Salinitas yang tinggi ini diduga
karena pada saat penelitian, perairan sedang mengalami pasang sehingga tidak ada
pengaruh limpasan suplai air tawar dari muara sungai sekitarnya. Nilai salinitas
yang relatif rendah yaitu < 25 psu tercatat pada muara sungai yang ditengah,
makin membesar ke arah laut lepas, namun tidak melebihi 3 km sudah mencapai
nilai maksimum yaitu 33-34 psu.
Gambar 6 Sebaran horizontal salinitas di perairan Berau.
Zhong (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor utama yang mengontrol
distribusi kopepoda di perairan adalah salinitas. Salinitas di perairan Berau yang
kopepoda di perairan tersebut yang lebih banyak didominasi oleh genera dari ordo
Calanoida. Hal ini sesuai dengan pernyataan Riley (1967) bahwa beberapa jenis
Calanoida yang dominan di daerah estuari biasa hidup pada kisaran salinitas
18 – 30 psu.
Arus
Arus yang berkembang pada perairan ini murni arus pasang surut dan
berlaku untuk seluruh badan air, dari permukaan sampai dengan dasar laut. Pada
periode air pasang di permukaan laut (Gambar 7) pola aliran berbalik 180 derajat
dibandingkan dengan yang tercatat pada saat air surut. Pada perairan lepas dari
muara, kecepatan arus lebih kecil dari 1 mil/jam dan kemudian makin deras
setelah mendekati perairan muara yang sempit. Pada perairan lepas muara pola
aliran tercatat ke arah selatan dan barat daya mengikuti pola aliran pasang pada
pesisir barat Selat Makassar pada umumnya.
Gambar 7 Sebaran horizontal arah dan kecepatan arus saat pasang di Berau. Komposisi dan Kelimpahan Jenis Kopepoda
Sebanyak 44 jenis kopepoda yang berhasil diidentifikasi pada penelitian
ini terdiri atas 27 jenis Calanoida, 8 jenis Cyclopoida, 2 jenis Harpacticoida, 6
Tabel 2 Jenis kopepoda di perairan Berau beserta habitat
HABITAT
Ordo Famili Genus Spesies
P I O E N
Ket. P=Pasifik; I=India; O=Oseanik; E=Estuarine; N=Neritik; nr = new record; ns = new species
Pada Tabel 2 terlihat bahwa pada umumnya jenis kopepoda yang
ditemukan merupakan jenis kopepoda estuaria dan neritik walaupun terdapat
beberapa jenis kopepoda oseanik seperti Subeucalanus crassus, S. subcrassus,
Centropages furcatus dan Phaenna spinifera. Hal itu terjadi karena wilayah
besar dan beberapa sungai kecil lainnya sehingga massa air yang ada merupakan
campuran antara massa air sungai dengan air laut sekitarnya. Dari pola arus pada
saat penelitian (Gambar 7) juga terlihat bahwa massa air saat pasang menyusup ke
muara sungai yang ada dan memungkinkan beberapa jenis kopepoda oseanik
ditemukan di perairan estuari ini.
Berdasarkan distribusi geografi kopepoda dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan di dunia seperti tercantum dalam Tabel 2 terlihat bahwa jenis
kopepoda di perairan Berau sebagian besar ada di Samudera Pasifik dan
Samudera India. Jenis kopepoda yang ditemukan pada umumnya merupakan jenis
kosmopolitan seperti Acartia eryhraea. A. pacifica, Centropages furcatus,
Acrocalanus gibber, dan Parvocalanus crassirotris. Beberapa jenis lainnya baru
dilaporkan ditemukan di wilayah tertentu seperti Labidocera javaensis, new
spesies dari perairan Tegal (Mulyadi 1997), Pontellopsis herdmani sebagai jenis
endemik Samudera India yang juga ditemukan di perairan Jepang (Mulyadi 2002),
Centropages brevifurcus dan Pseudodiaptomus incisus yang ada di Laut Jawa
tetapi sebelumnya tercatat sebagai spesies endemik Laut Cina Selatan (Mulyadi
2004). Hal lain yang menarik pada penelitian ini adalah ditemukannya satu jenis
kopepoda yang baru ditemukan di perairan Indonesia yaitu Centropages
dorsispinatus, yang biasa ditemukan di perairan Korea dan China (Kim 1985).
Dalam penelitian di perairan Berau juga ditemukan jenis Kelleria pectinata
berjenis kelamin jantan. Penemuan Kelleria pectinata jantan ini memberikan
catatan tersendiri bagi penelitian kopepoda laut di Indonesia, karena sebelumnya
hanya dilaporkan oleh Scott (1909) dari ekspedisi Siboga tahun 1899-1900
(Lampiran 3). Spesimen Kelleria pectinata berjenis kelamin betina sudah
dikoleksi dari perairan Tegal, Jawa Tengah (Mulyadi 2005). Satu jenis lainnya
yaitu Oncaea sp. dan Kelleria sp. diidentifikasi sebagai jenis baru yang masih
memerlukan penanganan lebih lanjut dalam publikasinya sebagai new spesies.
Kehadiran jenis kopepoda di perairan Berau ini diharapkan dapat menambah
koleksi data kopepoda yang ada di Indonesia khususnya dan di dunia pada
umumnya agar dapat digunakan untuk menjawab fenomena yang terjadi dalam
Secara keseluruhan komposisi kopepoda di perairan Berau selama
penelitian menunjukkan bahwa ordo Calanoida memiliki kisaran persentase
terbesar, diikuti oleh Poecilostomatoida dan Cyclopoida, sementara Harpacticoida
dan Siphonostomatoida hanya memiliki persentase yang tidak mencapai 1 %
(Gambar 8). Calanoida sebagai unsur dominan yang ditemukan di perairan ini
merupakan jenis kopepoda neritik dimana jenis kopepoda ini umumnya berukuran
relatif lebih kecil dan biasa hidup pada perairan yang masih mendapat pengaruh
daratan, seperti yang banyak ditemukan di Laut Jawa (Arinardi, dkk. 1997). Salah
satu penyebab tingginya persentase Calanoida karena jumlah jenis dari Calanoida
lebih banyak dibanding ordo lainnya yaitu 27 jenis. Hal lain yang turut
mempengaruhi tingginya persentase Calanoida karena kondisi suhu dan salinitas
perairan yang mendukung pertumbuhan sebagian besar jenis kopepoda dari ordo
Calanoida.
Komposisi jenis Kopepoda di Perairan Berau
Harpacticoida 0%
Cyclopoida 1%
Calanoida 83% Poecilostomatoida
16%
Siphonostomatoida 0%
Gambar 8 Komposisi kopepoda di perairan Berau.
Jenis-jenis Calanoida yang ditemukan melimpah di perairan Berau antara
lain Acartia erythraea yang biasa melimpah pada perairan dengan salinitas lebih
dari 20 psu, Pseudodiaptomus incisus yang dominan pada salinitas lebih dari 15
psu dan Temora turbinata yang dapat berkembang dengan baik pada kisaran
salinitas 4-25 psu (Wellershaus & Gargari 1991; Mulyadi & Ishimaru 1994).
bahwa Acartia dan Pseudodiaptomus merupakan kopepoda karakteristik di
perairan estuaria dan seringkali melimpah di sekitar perairan pantai dan dapat
mendominasi biomassa zooplankton.
Berdasarkan perhitungan kelimpahan jenis kopepoda pada masing-masing
stasiun penelitian ditemukan bahwa kelimpahan tertinggi terdapat di stasiun 1
(812 ind/m3) dan terendah di stasiun 10 yaitu 32 ind/m3 (Gambar 9). Kisaran kelimpahan kopepoda ini menunjukkan kecenderungan kelimpahan kopepoda
semakin menurun ke arah luar (lepas pantai). Hal ini diduga karena daerah muara
dan tengah perairan kaya akan bahan organik dari sungai-sungai yang bermuara di
perairan tersebut. Bahan organik ini akan dimanfaatkan oleh fitoplankton dan
pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh kopepoda untuk melangsungkan
hidupnya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Delsman (1939) bahwa
kopepoda memiliki coastal characteristic.
Kelimpahan Jenis Kopepoda di Perairan Berau
0
Gambar 9 Kelimpahan jenis kopepoda di perairan Berau.
Kelimpahan total kopepoda di perairan Berau pada penelitian ini yang
berkisar antara 32-812 ind/m3 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kelimpahan kopepoda di perairan Cilacap yang berkisar antara 23-201 ind/m3 (Haryono 1998). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan Berau masih sangat
mendukung kehidupan berbagai jenis kopepoda. Pada Gambar 9 terlihat bahwa
ordo Calanoida memiliki kelimpahan tertinggi pada masing-masing stasiun
kelimpahan relatif rendah. Secara umum ordo Calanoida tetap mendominasi setiap
stasiun penelitian dengan jumlah kelimpahan yang lebih tinggi dibandingkan ordo
lainnya. Hal ini disebabkan oleh melimpahnya jumlah spesies dari beberapa jenis
calanoida seperti Acartia pacifica, Acartia erythraea, Pseudodiaptomus incisus,
dan Acrocalanus gibber (Lampiran 2). Tingginya kelimpahan dari Acartia
erythraea karena jenis ini termasuk dalam kelompok euryhaline marine yang
umumnya melimpah pada perairan dengan salinitas 20 psu ke atas sedangkan
Acartia pacifica termasuk dalam kelompok estuarine marine yang mempunyai
toleransi yang lebih luas terhadap salinitas (Mulyadi 2004).
Secara keseluruhan kehadiran jenis tertinggi di perairan Berau pada saat
penelitian adalah Acartia erythraea dan Corycaeus asiaticus yang dapat
ditemukan pada semua stasiun penelitian, diikuti oleh Acartia pacifica dan
Acrocalanus gibber (9 stasiun), Pseudodiaptomus incisus dan Subeucalanus
subcrassus (8 stasiun), Temora turbinata dan Tortanus forcipatus (7 stasiun),
Centropages dorsispinatus, Labidocera javaensis dan Kelleria australica (6
stasiun) sedangkan jenis-jenis lainnya hanya terdapat kurang dari 5 stasiun
penelitian.
Dominansi, Keanekaragaman, dan Keseragaman Jenis Kopepoda
Nilai yang diperoleh dalam penghitungan indeks keanekaragaman (H’),
indeks keseragaman (E) dan dominansi jenis dapat digunakan untuk menunjukkan
stuktur komunitas kopepoda pada suatu perairan dan umumnya untuk menilai
kestabilan komunitas terutama hubungannya dengan kondisi suatu perairan. Nilai
indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi kopepoda di perairan Berau
didasarkan atas perhitungan indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi
berdasarkan tingkatan jenis (Tabel 3).
Tabel 3 Nilai dominansi, keanekaragaman dan keseragaman jenis kopepoda
Stasiun Indeks
Nilai indeks dominansi menunjukkan ada tidaknya suatu jenis atau
kelompok organisme tertentu yang mendominasi (Odum 1994). Berdasarkan nilai
indeks dominansi secara keseluruhan, kopepoda di perairan Berau memiliki nilai
yang rendah yaitu berkisar antara 0,17-0,53 (Tabel 3). Rendahnya nilai dominansi
yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa di perairan Berau tidak
ada satu jenis tertentu yang mendominasi melainkan didominasi oleh beberapa
jenis. Hal itu dapat dilihat pada perhitungan nilai kelimpahan kopepoda di setiap
stasiun dimana jenis-jenis tertentu seperti Acartia, Acrocalanus dan
Pseudodiaptomus memiliki kelimpahan yang jauh lebih tinggi dibandingkan jenis
kopepoda lainnya. Brower et. al. (1990) menyatakan bahwa suatu koleksi spesies
dengan dominansi yang rendah akan memiliki diversitas yang tinggi.
Hasil perhitungan indeks keanekaragaman kopepoda di perairan Berau
berkisar antara 1,09–1,74 (Tabel 3). Nilai indeks keanekaragaman dapat
menunjukkan kekayaan jenis suatu organisme. Nilai indeks keanekaragaman yang
tinggi biasanya dipakai sebagai petunjuk lingkungan yang stabil sedangkan nilai
yang rendah menunjukkan kecenderungan lingkungan yang selalu berubah-ubah
(Nybakken 1992).
Magurran (1983) menyatakan bila indeks keseragaman mendekati 1, maka
semua spesies kopepoda melimpah secara merata atau hampir sama di semua
lapisan permukaan perairan. Nilai indeks keseragaman kopepoda di perairan
Berau berkisar antara 0,40-0,68. Nilai ini dapat diartikan bahwa spesies kopepoda
tidak melimpah secara merata di lapisan permukaan perairan Berau.
Deskripsi Jenis Kopepoda
Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 44 jenis kopepoda yang terdiri
dari 19 famili dan 25 genus. Beberapa jenis kopepoda lainnya masih dalam bentuk
anakan sehingga secara morfologi belum dapat diidentifikasi sampai pada tingkat
jenisnya.
Berdasarkan sistematika Huys & Boxshall (1991), kopepoda yang
ditemukan di perairan Berau, Kalimantan Timur pada bulan September 2005,
Phylum Arthropoda Siebold & Stannius, 1848
Class Crustacea Pennant, 1777
Subclass Copepoda Milne-Edwards, 1840
Infraclass Neocopepoda Huys & Boxshall, 1991
Superordo Gymnoplea Giesbrecht, 1882
ORDO CALANOIDA Sars, 1903 Famili ACARTIIDAE Sars, 1903
Ukuran tubuh kecil sekitar 1-2 mm, silindris dan memanjang. Kepala dan
Ms1, serta Ms4 dan Ms5 menyatu. Sudut posterior Ms5 membulat atau
meruncing. Urosome relatif pendek, tiga ruas pada betina dan lima ruas pada
jantan. Ur1 dan beberapa ruas urosome lainnya kadang kala dilengkapi dengan
duri atau gerigi. A1, 17 ruas pada betina, sedangkan sisi kanan “prehensile”
(seperti alat pemegang) pada yang jantan. A2 sangat pendek, Re dan Ri tidak
sempurna (rudimenter). P1- P4 terdiri atas 3 ruas Re dan 2 ruas Ri, ujung Re
dilengkapi dengan duri terminal yang bergerigi. P5 pada betina rudimenter,
uniramous, terdiri dari 2-3 ruas, pada yang jantan kedua belah kaki uniramous
pada umumnya terdiri dari empat ruas.
Genus Acartia Dana, 1846
Kepala terpisah dari Ms1, kait lateral (cephalic hooks) absen; Ms4 dan
Ms5 menyatu. Urosome pada betina 3 ruas, jantan 5 ruas. A2, Ri lebih panjang
daripada Re; Ri1 menyatu dengan B2. P1- P4 terdiri dari 3 ruas Re dan 2 ruas Ri.
P5, sudut luar Re1 dan Re2 mempunyai 1 duri, sedangkan sudut luar Re3
mempunyai 3 duri. P5 pada betina uniramous, terdiri dari 3 ruas, ruas terakhir
berbentuk duri panjang dan silindris; P5 pada jantan uniramous, asimetris,
termodifikasi menjadi alat pemegang (prehensile), 4 ruas pada kaki kanan dan 3
Acartia (Odontocartia) erythraea Giesbrecht, 1889 Acartia erythraea Giesbrecht, 1889; 26; 1892: figs. 5, 19, 32, pl. 43, figs. 12-13
Betina : Ujung posterolateral Ms5 membentuk duri yang kokoh, pada bagian posteromedial dilengkapi dengan sepasang duri kecil. Ur1, oval, dua kali lebih
panjang dari Ur2, ujung lateral dilengkapi dua duri panjang; Ur2 dengan 2-3 duri
kecil; panjang CR hampir sama dengan lebarnya, permukaan dorsal dilengkapi
dengan sebaris setula. A1, ruas pertama dilengkapi dengan 2 duri kokoh dan 1
duri kecil pada pangkalnya, ruas ke-2, ke-3 dan ke-4 berturut-turut dilengkapi
dengan 1, 3 dan 2 duri kecil. Ruas terakhir dari P5 (Re) ± 2/3 kali panjang seta
pada ruas kedua.
Jantan : Ujung posterolateral Ms5 membentuk duri lebih ramping daripada betina, pada bagian posteromedial terdapat sepasang duri kecil. Ur1 sangat
pendek, dengan bulu-bulu pendek pada sisi lateral dan posterior. Ur2 memiliki
berkas bulu pada sisi lateral dan sepasang duri pada ventrolateralnya. Permukaan
posterodorsal Ur3 dan Ur4 dilengkapi dengan 4 dan 2 duri kecil (spinules). CR
dilengkapi dengan sebaris bulu-bulu kaku yang melintang pada batas tepi dalam.
P5, sisi dalam dari ruas ke-2 kaki kanan membentuk protrusion, ruas ke-3
memiliki 1 duri panjang pada sisi dalam proximal. Ruas terakhir kaki kiri
dilengkapi dengan 1 duri luar, 1 duri dalam, dan 2 duri terminal (ujung), dimana
duri sebelah dalam besar dan kokoh.
Catatan : Tersebar luas didaerah tropik Indo-Pasifik, banyak dilaporkan dari Samudra India yang meliputi pantai Birma, Kepulauan Maldive dan Laccadive,
Teluk Persia, Laut Arab, dan Afrika Timur, Laut Cina Timur, dan Laut Merah. Di
Indonesia jenis ini sering ditemukan di sepanjang pesisir Pulau Jawa dan
terkadang dalam jumlah yang sangat melimpah terutama di Pantai Cilacap.
Pada penelitian ini dapat ditemukan di semua stasiun penelitian dan dalam jumlah
yang sangat melimpah di St 7
Acartia (Odontocartia) bispinosa Carl, 1907
Acartia bispinosa, Carl, 1907: 13, pl.1, figs. 1-2
Acartia tokiokai, Mori, 1942: 556, pl. 11, figs. 1-18
Betina : Ujung posterolateral Ms5 membentuk duri yang kokoh, pada bagian posteromedial dilengkapi dengan duri kecil dan satu setula. Urosome, CR
dilengkapi dengan sebaris bulu-bulu kaku melintang pada permukaan dorsal. A1,
ruas pertama dengan 2 duri kokoh dan 1 duri kecil pada pangkalnya, ruas ke2
dengan 1 cakar; panjang ruas terakhir dari P5 2.4 kali lebarnya, duri ujung kecil
dengan lapisan bergerigi.
Jantan : Ujung posterolateral Ms5 dilengkapi dengan 2 duri. Urosome, Ur1 dengan bulu-bulu pendek pada sisi lateral posterior; Ur2 memiliki berkas bulu
pada sisi lateral dan sepasang duri kecil pada bagian ventrolateral; CR dilengkapi
dengan sebaris bulu-bulu kaku pada sisi dalam seta terluar.
Catatan : Teluk Ambon, Indonesia, Gulf of Persian, Srilanka, Seychells, Kepulauan Gilbert dan Fiji, perairan Australia, Palao, Teluk Kabira, Jepang.
Pada penelitian ini ditemukan di St 4 dan melimpah di St 6
Acartia (Odontocartia) pacifica Steur, 1915
Acartia pacifica Steur, 1915; 205
Acartia pacifica mertoni Steur, 1917; 255, figs. 9-12: 1923: 29, figs. 134-141
Acartia (odontocartia) pacifica, Tanaka, 1964: 391, fig. 241-f
Betina : Ujung posterolateral Ms5 membentuk duri panjang yang kokoh mencapai pertengahan Ur1, dengan sepasang duri kecil pada permukaan dorsal.
Urosome, permukaan dorsal Ur1 dan Ur2 masing-masing dengan 2 duri. Duri-duri
pada Ur2 lebih besar daripada Ur1. Ur1 memiliki berkas bulu pada bagian ventral
dekat organ genital, CR panjang. A1 mencapai ujung distal Ur2 jika dilipat ke
belakang, ruas ke-1 dan ke-2 tidak mempunyai duri.
Jantan : Prosome mirip seperti betinanya. Ur2 panjang dan besar dengan 2 duri di bagian ventral. Ur3 dan Ur4 masing-masing mempunyai sepasang duri, Ur4 lebih
pendek. CR lebih pendek dibandingkan betina.
Catatan : Merupakan jenis yang banyak ditemukan di daerah tropik Indo-Pasifik. Dari Samudra Pasifik ditemukan di bagian utara Laut Jepang, di perairan sekitar
Great Barrier Reef, Samudera India, Kawasan Timur Indonesia dan Laut Jawa.
Pada penelitian ini ditemukan berasosiasi dengan Acartia erythraea di semua
Famili CENTROPAGIDAE Giesbrecht, 1892
Kepala umumnya terpisah dengan Ms1, Ms4 dan Ms5. Urosome terdiri
dari 3-4 ruas pada betina dan 5 ruas pada jantan. A1 terdiri dari 23-25 ruas,
simetris pada yang betina, ruas 18-19 kanan A1 pada jantan geniculate dengan
artikulasi seperti lutut. P3-P4, R1 terdiri dari 3 ruas; P5 pada yang jantan
termodifikasi menjadi alat pemegang (grasping organ).
Genus Centropages Kroyer, 1849
Seperti pada famili, dengan tambahan beberapa karakter; kepala tanpa kait
lateral. Urosome terdiri dari 3 ruas, Ur1 seringkali asimetris. A1 24 ruas, dua ruas
terakhir menyatu. A2, Re lebih panjang daripada Ri. P1-P4 terdiri dari 3 ruas Re
dan Ri, bagian tonjolan berbentuk seperti duri pada sisi dalam. Pada jantan,
urosome terdiri dari 5 ruas, sisi kanan A1 geniculate, ruas 13-18 menggembung.
Centropages brevifurcus Shen & Lee, 1963
Centropages brevifurcus Shen & Lee, 1963 : 593, figs. 11-14
Betina : Rostrum biramous. Kepala dan Ms1 terpisah serta Ms4 dan Ms5 terpisah, ujung posterolateral asimetris melengkung pada sisi kiri; sisi kanan tajam dan
melengkung, masing-masing memiliki duri pendek. Ujung posterolateral Ms5
trifurcate.
Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini
Catatan : C. brevifurcus di koleksi oleh Shen & Lee dari perairan estuaria Chiekong, China Selatan. Sejauh ini baru ditemukan di China dan Laut Jawa
(Mulyadi, 2004)
Pada penelitian ini hanya ditemukan di St 6.
Centropages furcatus Dana, 1849
Catopia furcata Dana, 1849 : 25; 1852 : 1173; 1855, pl. 79, fig.1.
Centropages furcatus, Brady, 1883, pl.28, fig. 1-11; Giesbrecth, 1892 : 304, 316, 320,
322, pl. 17, fig.33,34,50, pl. 38, fig.13, 17, pl. 38, fig.5, 15, 20.
yang kanan. Urosome terdiri dari lima ruas, Ur5 berkembang baik hampir sama
panjang dengan Ur3. CR tiga kali panjang Ur5. Kanan A1 prehensille, permukaan
atas ruas 15-16 dilengkapi gerigi yang sangat kecil. P4, Re2 mempunyai duri luar
yang panjang. P5 asimetris, kaki kanan, Re2 dilengkapi dengan spinal process
(thumb) yang panjangnya sama dengan cakar terminal, pangkal Re3 dilengkapi
dengan dua gigi. Kaki kiri, Re2 dengan spinal process diujungnya dan dua duri
distolateral.
Betina : Tidak ditemukan pada penelitian ini
Catatan : C. furcatus mempunyai distribusi yang sangat luas, dilaporkan dari perairan tropis kawasan Samudra Atlantik, Pasifik dan India.
Pada penelitian ini ditemukan di St 2, 4, 6, 7, 8, 9, dan 10
Centropages orsini Giesbrecht, 1889
Centropages orsini, Giesbrecht, 1892: 305, t. 17, fig, 35-36, 41-42; t. 18, fig. 2, 14, 23
Betina : Sudut posterior Ms5 meruncing. Ur1 dilengkapi dengan duri ventral: panjang CR dua kali lebarnya dengan 5 seta panjang dan 1 seta kecil, A1 terdiri
dari 24 ruas, panjangnya mencapai CR jika dilipat kebelakang. P1- P4 terdiri dari
2 ruas basal, 3 ruas Re dan 2 ruas Ri. P5, agak simetris, duri dalam Re2 pendek
dan kuat yang dilengkapi dengan duri-duri kecil, namun tidak mencapai ujung
Re3.
Jantan : Tidak ditemukan pada penelitian ini
Catatan : Perairan hangat Indo-Pasifik; Teluk Aden dan Laut Merah, bagian utara Samudera India dan Pasifik . Pada penelitian ini ditemukan di St 8 dan 13
Centropages dorsispinatus Thompson & A. Scott, 1903
Betina : Kepala oval. Kepala dan thoraks, Th4 dan Th5 terpisah. Rostrum pendek. Bagian posterior dorsal kepala mempunyai tonjolan duri ke belakang. Di
sekeliling duri tersebut berwarna ungu. Ujung Th5, asimetris dan tajam. Ur3
relatif panjang. CR ramping membentuk kurva ke arah luar. P5 simetris.
Jantan : Kepala sama dengan betina tetapi ujung Th5 lebih pendek. A1, ruas 18 dan 19 prehensile. P5 asimetris. P5 kiri, Re1 pendek, Re2 panjang dan sempit