• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan sapi perah di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan sapi perah di Indonesia"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN SAPI PERAH DI INDONESIA

1

Oleh

Suryahadi, T. Toharmat dan Despal2

Permasalahan Sapi Perah di Indonesia

Tahun 2007, harga susu dunia mencatat puncak tertinggi dalam sejarah ($58/100

kg). Pada bulan Oktober 2008, walaupun harga sudah turun 40%, namun susu menjadi

komoditas pertanian paling volatile (Hemme, 2008). Mengikuti pasar global, IPS

Indonesia berupaya menurunkan harga susu dari peternak yang sudah sangat kesulitan

untuk menutupi biaya produksinya.

Meskipun harga susu dunia tahun 2007 mencapi puncaknya, produksi susu

nasional tidak banyak berubah dan hanya mampu memenuhi 25% kebutuhan dalam

negeri. Populasi dan produktivitas ternak yang rendah diduga menjadi penyebab hal

tersebut. Selama 4 tahun terakhir, populasi sapi perah yang merupakan penghasil susu

utama hanya tumbuh < 0.7%/tahun (Deptan, 2009). Sedangkan rata-rata produktivitas

sapi FH yang digunakan di Indonesia (10 - 12 kg/ekor/hari) jauh dibawah rataan produksi

FH yang dilaporkan Miron et al. (2007) yaitu sebesar 41 kg/ekor/hari.

Beberapa kendala dalam pengembangan populasi dan produktivitas sapi perah di

Indonesia sudah lama diketahui. Kendala tersebut baru sebagian kecil yang dapat

terselesaikan secara nasional. Meskipun kajian akademis sudah banyak dilakukan,

namun belum sepenuhnya dapat diterapkan dan menjangkau akar permasalahan

tersebut karena kurangnya sinergisme dan aksi nyata didalam penyelesaian

permasalahan tersebut. Kendala-kendala tersebut antara lain:

1) Kondisi iklim yang panas menyebabkan performa, produksi dan reproduksi sapi

perah mengalami gangguan baik secara langsung maupun secara tidak langsung

karena menurunnya kualitas pakan dan berkembangnya penyakit (McDowell, 1989).

2) Peternakan sapi perah terkonsentrasi di Pulau Jawa yang didiami > 60% penduduk

Indonesia (Atmadilaga, 1989) menyebabkan kompetisi penggunaan lahan menjadi

sangat tinggi. Tidak tersedia lahan yang cukup untuk menanam hijauan. Persyaratan

kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh sapi perah (dataran tinggi dengan iklim

sejuk), memperburuk kondisi tersebut dimana lahan-lahan tersebut merupakan

1

(2)

favorit orang-orang berduit untuk menghabiskan waktu luang sambil menatap

hamparan lingkungan yang bersih dan tidak berbau. Belum tersedia kelembagaan

yang membantu peternak dalam pengadaan hijauan secara efisien dan

berkesinambungan.

3) Skala produksi yang rendah (3 – 4 ekor) (Suryahadi et al., 2007) menyebabkan

income per household dari sapi perah belum dapat dijadikan sebagai sumber

pendapatan utama yang layak bagi peternak.

4) Lack of capital and technology (Atmadilaga, 1989) menyebabkan peternak kurang

mampu mengembangkan usahanya dan berproduksi pada taraf optimum. Bahkan

minimum maintenance sering kali terpaksa dilewatkan oleh peternak seperti

pemberian pakan sesuai kebutuhan ternak terutama untuk ternak-ternak yang tidak

mendatangkan cash income (Suryahadi et al., 2007). Hal ini merupakan salah satu

sebab mengapa breeding stock (replacement stock) kurang berjalan dengan baik

pada tingkat peternak. Sementara ketersediaan sistem permodalan di Indonesia

belum dapat dimanfaatkan karena kurang sesuai dengan skema dan kemampuan

peternak.

5) Lemahnya posisi tawar peternak diantara mata rantai produksi dan pemasaran.

Dimulai dari penyediaan lahan untuk hijauan, penyediaan pakan penguat,

penyediaan input produksi, penilaian hasil (kualitas dan kuantitas produksi),

penentuan harga, resiko usaha dan gejolak harga (peternak seringkali menderita

paling awal dan banyak).

6) Lack of information untuk mempelajari kondisi peternakan sapi perah di Indonesia

(McDowell, 1989). Hal tersebut disebabkan recording yang belum berjalan pada

tingkat peternak dan rendahnya publikasi informasi baik pada tingkat koperasi,

perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga lain yang dapat diakses oleh semua

stakeholder. Data yang ada belum dapat dijadikan informasi yang berguna karena

belum diolah dan disampaikan kepada masyarakat. Seringkali data statistik dari

institusi resmi yang diperoleh dari pemodelan dengan asumsi kondisi normal

digunakan untuk merencanakan pengembangan sapi perah di Indonesia.

Kenyataannya, perkembangan sapi perah dan produksi susu tidak pernah normal,

sangat bergejolak sejalan dengan perkembangan harga susu. Peternak seringkali

berproduksi suboptimal jika harga susu kurang bergairah atau saat input jauh diluar

jangkauan peternak.

7) Kurangnya dukungan pemerintah untuk pengembangan sapi perah di Indonesia.

(3)

industri dan kompetitor lain terkesan kurang fair. Keberpihakan terhadap konsumen

dan industri masih menjadi prioritas dan favorit kebijakan nasional

8) Kurangnya penilaian terhadap fungsi-fungsi sapi perah dalam masyarakat, sebagian

besar indikator diarahkan pada penilaian ekonomis saja. Fungsi lain seperti penyedia

lapangan kerja, penyedia bio-fertilizer, pengentasan kemiskinan, pengentasan gizi

buruk, perbaikan lingkungan dan fungsi sosio-cultural lainnya belum banyak

dipertimbangkan.

Beranjak dari permasalahan tersebut, tujuan pengembangan peternakan sapi

perah hendaknya diarahkan untuk food security, proverty alleviation, pemenuhan

kebutuhan domestik, meningkatkan income peternak dan pemeliharaan kelestarian

lingkungan. Dengan memajukan integrasi fungsi ekonomi, sosio-kultural dan

sustainabilitas serta kelestarian lingkungan, diharapkan peternakan sapi perah lebih

mendapat tempat dalam prioritas pembangunan nasional.

Untuk membantu pemecahan masalah tersebut diatas dan pencapaian tujuan

dimaksud, perlu dikembangkan dan disepakati 1) model peternakan sapi perah

berkelanjutan, 2) model bisnis kemitraan pengembangan sapi perah 3) performa kunci

yang harus dicapai dan 4) best practices dan contoh kongkrit

Model Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan

Secara konseptual dan atas dasar perkembangan peternakan sapi perah akhir-akhir

ini, maka perlu pengembangan peternakan sapi perah berkelanjutan yang memenuhi

unsur/faktor-faktor keberlanjutan sebagai berikut :

1) Ketersediaan bibit berkualitas: Di Indonesia, Frisien Holstein sudah beradaptasi dengan kondisi lokal dan sudah lama digunakan sebagai sumber bibit untuk

pengembangan sapi perah di Indonesia. Walaupun performa FH tidak sebaik di

daerah asalnya, namun sapi FH sudah menunjukkan ketahanan terhadap kondisi

lokal dibandingkan dengan bangsa sapi perah unggul lainnya. Karena itu, bangsa FH

sudah dipilih sebagai bibit untuk banyak proyek pengembangan sapi perah di

Indonesia. Selama 20 tahun terakhir, kualitas bibit FH di Indonesia belum banyak

menunjukkan perbaikan meski IB dengan bibit unggul sudah diterapkan.

2) Ketersediaan lahan: Ketersediaan lahan subur untuk penyediaan rumput dan legum untuk sapi perah sangat penting karena >50% dari kebutuhan sapi perah harus

dipenuhi dari HMT atau pakan sumber serat lainnya. Untuk mempertahankan

(4)

suatu wilayah bervariasi tergantung dari kesuburan lahan, jenis HMT yang

ditanaman, pemupukan, metode pemanenan dan pengawetan hijauan. Suatu lahan

yang subur yang ditanam dengan hijauan tertentu seperti jagung dapat memenuhi

seluruh kebutuhan sapi perah tanpa penambahan konsentrat. Lahan juga diperlukan

untuk kandang dan gudang. Karena itu, kebutuhan lahan harus juga mendapat

perhatian yang lebih seksama.

3) Ketersediaan Sumber air: Berbeda dengan ternak lainnya, usaha sapi perah membutuhkan lebih banyak air bersih. Untuk memproduksi 1 liter susu diperlukan

setidaknya 40 l air untuk minum dan 300 – 400 liter untuk membersihkan kandang

per satuan ternak. Air juga diperlukan untuk membersihkan peralatan kandang dan

makanan. Pada kondisi yang panas, air juga diperlukan untuk melembabkan ruangan

kandang agar ternak merasa lebih nyaman. Saat ini terdapat sentra-sentra sapi

perah yang mengalami kesulitan dalam pengadaan air bersih.

4) Sumberdaya manusia: Idealnya, peternakan sapi perah membutuhkan tenaga kerja yang berpengalaman dalam menangani ternak, karena kesalahan pada penanganan

baik pada masa pedet, dara maupun pada awal laktasi akan berpengaruh pada

tahapan produksi berikutnya. Karena itu, pelatihan dan training perlu dilakukan untuk

menjamin suatu produksi sapi perah yang berkelanjutan.

5) Ketersediaan Modal: Modal diperlukan untuk mengembangkan usaha sapi perah. Modal diperlukan untuk membeli ternak, membangun kandang, lahan HMT, pakan,

peralatan makan, peralatan pemerahan susu dan penyimpanan susu. Untuk suatu

usaha sapi perah yang ekonomis dengan 10 ekor ternak diperlukan modal paling

kurang 200 juta Rupiah. Peternak maupun koperasi, masih memiliki kendala dalam

akses permodalan. Pengembangan usaha sulit, terhambat karena keterbatasan

modal.

6) Penyebaran Cooling unit: Cooling Unit diperlukan untuk menjaga agar susu tetap segar dan tahan lebih lama sebelum diproses oleh industri. Setiap pengunduran

waktu penanganan akan menyebabkan penurunan kualitas susu sejalan dengan

meningkatnya angka kuman. Karena itu, pembangunan cooling unit sangat penting

sedekat mungkin dengan peternak. Program penyebaran/bantuan cooling unit

merupakan program yang strategis bagi pengemabangan sapi perah.

7) Pelayanan kesehatan ternak: Pelayanan kesehatan ternak adalah bagian dari rantai produksi sapi perah yang akan menentukan tingkat keberhasilan sapi perah

tersebut. Disamping untuk pencegahan penyakit, pelayanan kesehatan ternak juga

(5)

melahirkan ternak. Untuk kecepatan dan ketepatan pelayanan kesehatan, sebaiknya

pusat pelayanan kesehatan berada sedekat mungkin dengan peternak.

8) Jalur transportasi: Jalan merupakan syarat lainnya yang harus dipenuhi dari pengembangan sapi perah. Jarak tempuh dan kualitas jalan dari peternakan ke IPS

(dalam artian waktu) harus diperhitungkan sebelum membuka suatu area

pengembangan sapi perah yang baru. Jarak tempuh yang panjang dan jalan

bergelombang memperbesar kemungkinan rusaknya atau penurunan mutu susu.

9) Skala ekonomis sapi perah: Sebuah usaha sapi perah skala kecil harus berproduksi pada skala ekonomis dimana penerimaannya harus lebih besar dari

pada biaya variable. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa skala usaha

yang ekonomis untuk suatu usaha sapi perah adalah 10 ekor dengan persentase

ternak laktasi >70%. Di bawah skala tersebut, inefisiensi penggunaan input akan

terjadi, sedangkan diatas skala tersebut, input teknologi diperlukan yang

kadang-kadang juga tidak efisien jika diterapkan pada peternak skala kecil.

10) Kelestarian Lingkungan: Merupakan isu yang menjadi perhatian dunia saat ini. Dalam sistem produksi yang berkesinambungan, isu ini menjadi prioritas dimana

biaya pelestarian lingkungan masuk pada input produksi. Pada sistem peternakan

sapi perah, melestarikan lingkungan dapat menjadi benefit dan sekaligus biaya.

Pengelolaan limbah yang baik akan meningkatkan manfaat limbah baik untuk

kesuburan tanah maupun pendapatan peternak, menurunkan komplain masyarakat

sekitar terhadap cemaran air dan udara. Namun pada pengelolaan padang rumput,

hal ini menjadi biaya yang sangat mahal. Banyak peternak yang terpaksa menanam

rumput dilahan berkemiringan tinggi atau pada daerah-daerah konservasi, menanam

pada atau memanen rumput covering tanaman perkebunan, menanam rumput pada

lahan bera yang sengaja dibiarkan untuk menumbuhkan humus. Hal tersebut

berdampak kurang baik terhadap kelestarian lingkungan, namun menghilangkan

sumber hijauan dari tempat-tempat tersebut membutuhkan biaya yang besar.

Model Bisnis Kemitraan Pengembangan Sapi Perah

Konsep akademik dijadikan dasar untuk penyusunan model bisnis yang berisi interaksi antara pelaku dan peranan yang dilakukannya. Model ini bersifat general agar

mudah direplikasi sesuai lokasi dan komoditi yang akan dikembangkan. Contoh model

bisnis yang pernah dikembangkan di daerah Ciater terlihat pada Gambar 1.

Model bisnis pengembangan sapi perah di Ciater memuat pelaku-pelaku antara

(6)

Industri Pengolahan Susy, Perbankan, Perguruan Tinggi/Litbang yang melakukan

kerjasama secara sinergi untuk mendukung peternak dalam mengembangkan usahanya.

Gambar 1. Model Bisnis Pengembangan Sapi Perah di Ciater, Kabupaten Subang

Peternak

Peternak sebagai pelaku utama, adalah penentu utama dari keberhasilan

usahanya. Keterbukaan peternak terhadap masukan dari berbagai pihak serta ketaatan

pada komitmen untuk menjaga mutu sesuai dengan permintaan pasar akan sangat

menentukan keberlanjutan usaha. Ketaatan peternak untuk melaksanakan kewajibannya

dalam pengembalian pinjaman bank juga menentukan program pengembangan sapi

perah di daerah Ciater untuk tahap selanjutnya.

Pemerintah Daerah memiliki peranan dalam penetapan kebijakannya untuk

perlindungan terhadap pengusahaan lahan oleh peternak serta perlindungan terhadap

peruntukan kawasan tersebut sebagai kawasan pengembangan peternakan sapi perah.

Dukungan sarana transportasi dalam bentuk perluasan dan perbaikan jalan juga sangat

diperlukan dalam pengembangan sapi perah di wilayah ini. Karena kualitas susu yang

(7)

Perbaikan jalan akan membantu peternak karena harga yang diterima peternak akan

ditentukan dari kualitas yang diterima IPS. Melalui Dinas Peternakan Kabupaten

Subang, pembinaan terhadap peternak dan bantuan fasilitas secara sinergis untuk

peternak juga akan mempercepat pengembangan wilayah Ciater.

Koperasi Produksi Susu dalam hal ini sebagai badan pembina pengembangan

usaha peternak akan melakukan investasi usaha untuk pengembangan sapi perah di

Ciater seperti pengembangan usaha pembuatan konsentrat, pengelolaan HMT, bibit

sapi, sarana produksi ternak lainnya. Investasi usaha yang dilakukan disertai dengan

sarana penunjang pelayanan seperti pelayanan Inseminasi, kesehatan ternak, cooling

unit, transportasi dan lainnya.

Perbankan melakukan penguatan modal peternak baik berupa modal kerja

dalam bentuk kredit sapi potong maupun modal investasi pengembangan usaha dalam

bentuk lahan, pembangunan kandang dan sarana produksi ternak lainnya. Pemilihan

calon debitur yang layak dan pola kredit yang dikucurkan berkerja sama dengan

Koperasi dan atas masukan dari perguruan tinggi akan sangat menentukan

kelangsungan pengembalian kredit oleh peternak. Kesiapan BRI dalam pengucuran

kredit secara bertahap akan menentukan kelancaran pengembangan usaha sapi perah

di Ciater.

IPS (Industri Pengolahan Susu) bekerja sama dengan berbagai pihak untuk

menjamin kelancaran suplai susu dari peternak. Disamping melakukan pembelian susu,

IPS juga melakukan pembinaan kepada peternak bekerjasama dengan PT dan Badan

Litbang serta investasi fasilitas seperti cooling unit. Akselerasi pengucuran kredit juga

dilakukan dengan melakukan investasi pada Perbankan terlebih dahulu.

Perguruan Tinggi/Badan Litbang mengambil peran sebagai pendamping bagi

berbagai stakeholder. PT/Badan Litbang melakukan peningkatan kemampuan peternak

baik menyangkut aspek hulu, budidaya maupun aspek hilir atau sosio-ekonomik.

PT/Badan Litbang lebih pada penekanan peran sebagai nara sumber atau sumber

inovasi teknologi.

Performance Indicator

Untuk dapat mengukur keberhasilan pelaksanaan suatu konsep, maka

selayaknya konsep tersebut disertai dengan suatu indikator yang berisi kondisi ideal

(8)

Capaian-ideal tersebut. Performance indicator untuk pengembangan sapi perah dapat dijabarkan

seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Indikator Performa Pengembangan Sapi Perah

No. Indikator Nilai Indikator

1. Persentase ternak laktasi, % 70-80%

2. Jumlah populasi, ST/peternak > 10 ST/peternak

3. Produksi susu, l/ekor/hari > 14 l/ekor/hari

4. S/C Ratio < 2

5. Periode laktasi 300 hari

6. Kandungan Protein 3,2%

7. Total Solid > 12%

8. Rasio harga susu/konsentrat > 2

9. Replacement stock Dilaksanakan secara mandiri

10. Suplai konsentrat berkualitas tinggi Kontinyu dengan kualitas prima

11. Pengontrolan harga susu, sapi, anak, pakan,

Harga dapat meminimisasi biaya

12. TPC, komposisi susu, dan higienis susu Memenuhi standar/normal

Best Practices dalam Pengembangan Sapi Perah

Beberapa contoh keberhasilan dan langkah konkrit pengembangan sapi perah di

Indonesia yang dapat diinventarisisr antara lain:

1. GERIMISBAGUS (Gerakan Minum Susu bagi Anak Usia Sekolah). Suatu

program kerjasama kopersai, pemda dan Perguruan Tinggi dalam meningkatkan

konsumsi susu segar dikalangan siswa di kabupaten Sukabumi.

2. Introduksi Peternakan Sapi Perah pada areal reklamasi lahan Tambang

sebagaimana yang di perlihatkan di areal tambang di Bangka Belitung.

Kebutuhan Susu segar disana meningkat untuk pekerja tambang, demikian pula

penyuburan kembali sangat dipercepat dengan keberadaan ternak (sapi perah).

3. Aktualisasi pembuatan pakan berbasis potensi lokal dan penyimpanan atau

pengawetan. Pemanfaatan lahan marjinal, lahan sekitar perkebunan maupun

kehutanan sudah banyak diterapkan peternak untuk penyediaan hijauan. Bila hal

ini direplikasi dan juga mendapat dukungan Pemerintah, maka akan sangat

memacu perkembangan sapi perah di tanah air.

4. Penggunaan ransum komplit baik dalam bentuk pellet maupun silase. Teknologi

(9)

dari wilayah produsen pakan ke wilayah sentra-sentra sapi perah, yang pada

umumnya berjarak cukup jauh dari pabrik pakan. Selain itu, pakan komplit dapat

diandalkan dalam upaya meningkatkan umur simpan pakan. Pakan komplit

umumnya diformulasikan secara Least Cost Balanced Ration dengan

memaksimalkan potensi pakan lokal yang tersedia, sehingga manfaat biologis

dan ekonomisnya dapat mudah terlihat langsung oleh peternak dan dapat

diproduksi secara berkesinambungan.

5. Penggunaan pakan suplemen yang bersifat komplementer. Misalnya komponen

serat yang bulk disediakan secara lokal, kekurangan nutrien disuplai dari aditif

atau suplemen. Suplementasi untuk di Indonesia dapat dipandang sebagai

langkah yang strategis, mengingat : (1) mudah dilakukan, (2) suplemen dapat

diformulasikan secara tepat, (3) dilaporkan dari banyak penelitian, mampu

meningkatkan pendapatan peternak. Program suplementasi akan meningkat

efektivitasnya, bila dilakukan Mapping tentang Status Nutrisi Ternak di berbagai

wilayah. Ada hal-hal yang berlaku secara general, namun hal-hal yang bersifat

spesifik lokasi perlu mendapat perhatian pula.

6. Pendeteksian dini dan pencegahan mastitis dan brucelosis. Peluang peningkatan

produksi dan kualitas susu peternakan sapi perah sangat besar, bila kedua

penyakit tersebut dapat ditangani/dikontrol. Pembelajaran peternak, tersedianya

sistem kontrol kedua penyakit tersebut dan tersedianya penyuluh-penyuluh di

tingkat lapang merupakan program yang tepat bagi kontrol kedua penyakit

tersebut.

7. Pengembangan village breeding centre. Pada dasarnya Ilmu Beternak adalah

bagaimana mengembang biakkan ternak secara baik menuju peningkatan

produktivitas. Dalam hal ini, program replacement stock pada usaha peternakan

menjadi program kunci. Pengadaan bibit unggul secara berkesinambungan yang

dihasilkan oleh peternak, akan lebih baik dari pada mendatangkan bibit (bibit

yang sudah besar/bibit bunting tua) dari luar. Upaya calf rearing (perbibitan dari

pedet) pada beberapa sentra produksi sudah berjalan. Program seperti ini perlu

dibina dan diarahkan dan bagi yang sudah berhasil dapat direplikasi ke daerah

lain.

8. Bantuan kredit langsung untuk peternak dengan scheme khusus (bantuan kredit

bergulir). Suku bunga dan tatacara pembayaran kredit, seyogyanya disesuaikan

(10)

9. Melaksanakan sinergi dengan pelaku bisnis di tingkat peternak. Misalnya

kerjasama pelaku (pedagang pengumpul pedet dan peternak dalam program calf

rearing)

Penutup

Keberhasilan pengembangan sapi perah berkelanjutan dicapai dengan 1)

peningkatan kemandirian peternak berproduksi, penyediaan bibit, penyediaan pakan, 2)

adanya sinergisme antar stakeholder dalam pengembangan sapi perah dengan

mengacu performance indicators yang disepakati bersama 3) penguatan modal, 4)

penguatan kapasitas SDM dan institusi lokal seperti koperasi, 5) penilaian produktivitas

peternakan sapi perah haruslah dinilai sampai pada manfaatnya bagi

pendapatan/kesejahteraan peternak, 6) peningkatan dan penstabilan harga jual susu di

tingkat peternak yang cukup adil dan memberi manfaat secara signifikan bagi peternak,

7) Penjajagan dan peningkatan pemanfaatan dana hibah, CSR serta dana bantuan

lainnya dan 8) peningkatan keberpihakan pemerintah terhadap peternak, 9) peningkatan

relevansi penelitian dan daya serap hasil penelitian secara nasional dan 10) peningkatan

ketersediaan informasi real untuk ketepatan model pengembangan sapi perah di

Indonesia.

Daftar Pustaka

Atmadilaga, D. 1989. Dairy industry system in Indonesia. Proceeding International

Seminar on Holstein Friesian” Dairying in Tropical Environments”. Bandung, 22 –

25 May 1989.

Deptan. 2009. Basis Data Statistik Pertanian. http://www.deptan.go.id/tampil.php? page=

inf_basisdata [Download: 17 Februari 2009].

Hemme, T. 2008. IFCN Dairy report 2008. http://www.ifcnnetwork.org/DR08_PR_30.10. pdf [Download: 17 Februari 2009]

McDowell, R.E. 1989. Environmental and genetics influencing performance in Holsteins in Warm Climates.

Miron, J., E. Zuckerman, G. Adin, R. Solomon. E. Shoshani., M. Nikbachat, E. Yosef., A. Zenou, Z. G. Weinberg., Y. Chen., I. Halachmi and D. B. Ghedalia. 2007. Comparison of two forage sorghum varieties with corn and the effect of feeding their silages on eating behaviour and lactation performance of dairy cows. Anim. Feed Sci. Technol. 139: 23 – 39.

Suryahadi, B.P. Purwanto, I.G. Permana dan Despal. 2007. Development of dairy cattle in Ciater, Subang Regency. Final Report. IPB Research and Community Empowerment Centre, Bogor. Proceeding International Seminar on Holstein

Gambar

Gambar 1. Model Bisnis Pengembangan Sapi Perah di Ciater, Kabupaten Subang
Tabel 1.  Indikator Performa Pengembangan Sapi Perah

Referensi

Dokumen terkait

Banyak sekali manfaat yang diberikan oleh Cyclea barbata L. Sehingga, hal tersebut semakin membuka pintu bagi tanaman ini untuk banyak dikonsumsi dan dapat juga dikembangkan

Teman-teman seperjuangan penulis ; Desy, Steffie, Bunga, Evelyn, Sandy, Bima, Anda, Alya, Nora, Mitha, Robby, dan teman-teman penulis lainnya yang telah memberikan pendapat,

(plankton, perifiton, bentos, neuston dan nekton), sedangkan faktor abiotik adalah faktor yang bersifat tak hidup, seperti pada parameter fisika dan kimia (suhu, kedalaman,

Besar energi selama satu bulan dari ketidak- harmonisan modul fotovoltaik Solar World dengan modul fotovoltaik Sun Earth adalah 41.744,49 Watt Hour, dari nilai

Pengurai, perombak, atau “decomposer”, yaitu organisme heterotrofik yang menguraikan bahan organic yang berasal dari organisme mati (bahan organisme kompleks),

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa uji t menunjukkan bahwa arus kas operasi berpengaruh signifikan terhadap arus kas masa depan, disebabkan karena arus kas

Jadi dapat disimpulkan bahwa stres kerja merupakan salah satu variabel yang berpengaruh positif terhadap turnover intention , dimana semakin tinggi beban kerja dan