• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mutu dan potensi brownies kukus sebagai pangan fungsional dengan substitusi tepung pisang modifikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mutu dan potensi brownies kukus sebagai pangan fungsional dengan substitusi tepung pisang modifikasi"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

MUTU DAN POTENSI BROWNIES KUKUS SEBAGAI PANGAN

FUNGSIONAL DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG PISANG

MODIFIKASI

SKRIPSI

ANNISA VANIA

F24061582

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

QUALITY AND POTENCY OF STEAMED BROWNIES AS

FUNCTIONAL FOOD BY SUBSTITUTION OF MODIFIED

BANANA FLOUR

Annisa Vania and Betty Sri Laksmi Jenie

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor, West Java, Indonesia.

ABSTRACT

Banana (Musa Paradisiaca) is a good source of starch to modified into type III resistant starch (RS). One of the banana plantain types is uli variety which is found abundant in Bogor. The RS content in banana could be increased by starch modification. Modified banana flour (MBF) was prepared by spontaneous fermentation and autoclaving-cooling. The objectives of this study were to prepared steamed brownies using MBF and to determined the effect of modified banana flour (MBF) substitution in steamed brownies making toward product quality (organoleptic characteristics, physical, chemical, and value biological) and its potential as a functional food.

Combination process of spontaneous fermentation and autoclaving-cooling could increased banana flour level of RS from 6.17% up to 9.19%, higher than autoclaving-cooling process (7.02%). MBF was contained high level of fiber up to 18.38%. High content of RS and dietary fiber were caused low starch digestibility of MBF (58.96%). MBF had a high RS III retention of steaming up to 70.71%. Therefore, MBF was still suitable to use as functional food ingredient.

In this study, the MBF was applied to substitute the wheat flour in steamed brownies making. The steamed brownies was prepared using several substitution of MBF i.e. 70%, 80%, 90%, 100% from total weight of flour. To obtain the best substitution of MBF, the sensory properties of steamed brownies were evaluated by the panelist using hedonic and ranking test. Objective test was also conducted to analyze steamed brownies color and texture. The result showed that steamed brownies made of 70% MBF substitution was the most preferred product and contained higher RS (1.51%), dietary fiber (10.08%) and lower starch digestibility (45.96%) than product without MBF substitution. Therefore, this steamed brownies had a potential as functional food. Steamed brownies made of 70% MBF substitution could be claimed as a good source of fiber because it was contained 3.79 grams fiber/serving. Steamed brownies made of 70% MBF substitution consumption per serving was meet the needs of 15.16% dietary fiber per day based oan 2000 calories. In addition, this steamed brownies had a potential to reduce heart disease risk because it was contained 2.14 grams of SDF/serving.

(3)

Annisa Vania. F24061582. Mutu dan Potensi Brownies Kukus Sebagai Pangan Fungsional dengan Substitusi Tepung Pisang Modifikasi. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. 2010

RINGKASAN

Pati buah pisang dapat dimodifikasi melalui proses fermentasi dilanjutkan dengan pemanasan dalam otoklaf dan pendinginan untuk menghasilkan tepung pisang modifikasi (TPM) kaya pati resisten. Dalam rangka pengembangan pangan fungsional, TPM ini akan diolah menjadi produk browinies kukus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi TPM terhadap mutu produk (sifat organoleptik, fisik, kimia, dan nilai biologis) dan potensinya sebagai pangan fungsional.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan tepung pisang uli modifikasi (TPM) yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses fermentasi, otoklaf, dan pendinginan terhadap kadar RS tepung pisang dan potensi tepung pisang modifikasi (TPM) sebagai sumber prebiotik. Tahap selanjutnya adalah pembuatan brownies kukus TPM. Tahap ini bertujuan untuk menentukan formula terbaik hasil evaluasi sensori dan potensi formula terbaik brownies kukus TPM ini sebagai pangan fungsional. Dari kedua tahap ini dapat diketahui retensi RS III pada TPM dan adonan brownies kukus TPM setelah proses pengukusan.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, diketahui bahwa proses pemanasan otoklaf maupun kombinasi antara proses pemanasan otoklaf dan fermentasi dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang uli secara signifikan (p<0.05). Pemanasan otoklaf dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang uli dari 6.17% bk menjadi 7.02% dan pemanasan otoklaf yang dikombinasikan dengan fermentasi dapat meningkatkan kadar RS tepung pisang uli lebih tinggi lagi yaitu menjadi 9.19 % bk. Tepung pisang modifikasi (TPM) memiliki kadar RS dan serat pangan masing-masing sebesar 9.19% bk dan 18.38% bk. Tingginya kadar RS dan serat pangan ini menyebabkan TPM memiliki daya cerna yang rendah yaitu 58.96% bk. TPM memiliki retensi RS III terhadap pengukusan yang cukup tinggi yaitu 70.71%. Dengan demikian TPM cocok untuk diolah sebagai pangan fungsional

Substitusi tepung terigu oleh TPM dapat dilakukan dengan baik mulai dari 70%, 80%, 90%, dan 100%. Berdasarkan hasil evaluasi sensori terhadap empat formula brownies kukus diperoleh 70% substitusi dengan nilai total pembobotan rata-rata dan nilai mutu overall tertinggi yaitu 41.05 dan 4.33 sebagai formula terbaik. Disamping itu, formula ini pun merupakan formula yang paling disukai dengan ranking kesukaan rata-rata yaitu 1.8. Formula terbaik brownies kukus TPM ini memiliki karakteristik warna dengan nilai °h (hue angle) sebesar 64.24° (kuning-merah) dan tekstur dengan nilai elastisitas rata- rata 61.29%.

(4)

MUTU DAN POTENSI BROWNIES KUKUS SEBAGAI PANGAN

FUNGSIONAL DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG PISANG

MODIFIKASI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ANNISA VANIA

F24061582

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul : Mutu dan Potensi Brownies Kukus Sebagai Pangan Fungsional dengan Substitusi Tepung Pisang Modifikasi

Nama : Annisa Vania NRP : F24061582

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S

NIP. 19480319.197412.2.001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.

NIP. 19650814.199022.1.001

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Mutu dan Potensi Brownies Kukus Sebagai Pangan Fungsional dengan Substitusi Tepung Pisang Modifikasi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2010 Yang membuat pernyataan

(7)

ii

BIODATA PENULIS

(8)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Pengaruh Substitusi Tepung Pisang Modifikasi Pada Pembuatan Brownies Kukus Terhadap Mutu dan Potensi Sebagai Pangan Fungsional dilaksanakan di departemen ilmu dan teknologi pangan sejak bulan Februari sampai Agustus 2010.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Jafar Muflih dan Mahmudah Rohaeti, atas doa, kasih sayang, pengorbanan dan dorongan semangat yang selalu menyertai penulis dalam menempuh pendidikan.

2. Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS., sebagai dosen pembimbing yang telah bersabar dalam memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga bagi penulisan skripsi ini.

3. Ir. Sutrisno Koswara M.Si., sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan yang sangat berharga bagi penulisan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Sukarno MSc., sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan yang sangat berharga bagi penulisan skripsi ini

5. Bu Novi, Mbak Ani, dan pegawai UPT lainnya yang telah membantu penulis dalam pembuatan surat-surat dan keterangan lainnya di UPT.

6. Ibu Ari, Pak Taufik, Ibu Sari, Pak Nur, Pak Iyas, Pak Deni, Pak Jun yang telah membantu penulis bekerja di pilot plant PAU dan SEAFAST.

7. Pak Sobirin, Pak Wahid, Pak Rojak, Bu Rubiyah, dan Pak Yahya yang telah membantu penulis bekerja di laboratorium ITP.

8. Desi Ratih, Federika Rosephin, ibu Nurha sebagai teman seperjuangan tim peneliti yang telah bekerja sama dengan penulis dalam menyelesaikan penelitian dan tugas akhir.

9. Adik penulis Dinna N H. dan Dwi H R atas doa dan dukungannya dalam menyelesaikan kuliah, penelitian dan tugas akhir di ITP.

10. Rimawati Oktavia, Siti Winarti, Desi Ratih, Wahyu Anggarini, Tsani Fasikhatun, Septi Dwi Utami yang telah menemani penulis selama masa-masa perkuliahan.

11. Semua ITP 43 yang telah menemani penulis selama berkuliah dan telah berbagi informasi.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu dan teknologi pangan.

Bogor, Desember 2010

(9)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. BOTANI PISANG ... 3

B. TEPUNG PISANG ... 4

C. MODIFIKASI PATI ... 6

1. Modifikasi Asam ... 6

2. Modifikasi Fisik ... 7

D. PATI RESISTEN ... 8

E. SERAT PANGAN ... 9

F. PANGAN FUNGSIONAL ... 10

G. BROWNIES KUKUS ... 11

III. METODE PENELITIAN ... 13

A BAHAN DAN ALAT ... 13

1. Bahan... 13

2. Alat ... 13

B METODE PENELITIAN ... 13

1. Kerangka Penelitian ... 13

2. Metode Pembuatan Tepung Pisang Modifikasi ... 14

3. Pembuatan Brownies Kukus TPM ... 15

C METODE ANALISA ... 17

1. Analisis Profil Mikroflora ... 17

2. Analisis Kimia dan Nilai Biologis ... 17

a. Kadar Pati ... 17

b. Kadar Pati Resisten ... 18

c. Uji Daya Cerna Pati in vitro ... 19

d. Kadar Serat Pangan ... 19

3. Analisis Fisik ... 21

(10)

v

b. Derajat Warna ... 21

c. Derajat Putih (whiteness) ... 22

d. Analisis Tekstur ... 22

4. Evaluasi Sensori ... 22

a. Uji Organoleptik ... 22

b. Uji Pembobotan ... 23

5. Analisis Proksimat ... 23

6. Analisis Statistik ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. PENGARUH FERMENTASI DAN PEMANASAN OTOKLAF TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG PISANG ULI ... 25

1. Perubahan Mikroflora dan pH Cairan Fermentasi ... 25

2. Kadar Pati dan Pati Resisten ... 25

3. Derajat Putih ... 28

4. Komposisi Kimia Proksimat ... 29

B. PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG PISANG MODIFIKASI (TPM) TERHADAP MUTU BROWNIES KUKUS ... 29

1. Pengukuran Objektif Sifat Produk ... 29

a. Warna ... 29

b. Tekstur ... 31

2. Evaluasi Sensori ... 32

a. Uji Rating Hedonik ... 32

1) Warna ... 32

2) Tekstur ... 32

3) Rasa ... 33

4) Aroma ... 34

5) Overall (keseluruhan) ... 35

b. Uji Pembobotan ... 36

c. Uji Ranking Hedonik ... 36

C. KARAKTERISTIK KIMIA BROWNIES KUKUS TPM ... 37

1. Pati Resisten (Resistant Starch atau RS) ... 37

2. Serat Pangan ... 40

3. Daya Cerna Pati ... 41

4. Komposisi Kimia (Proksimat) Formula Terbaik Brownies Kukus TPM ... 42

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

A. KESIMPULAN ... 43

B. SARAN... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(11)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Sifat fisikokimia tepung pisang nangka, siam dan uli ... 4

Tabel 2. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995) ... 5

Tabel 3. Formulasi brownies kukus tepung pisang modifikasi ... 15

Tabel 4. Deskripsi warna berdasarkan °Hue ... 22

Tabel 5. Pengaruh substitusi TPM terhadap karakteristik warna brownies kukus TPM... 30

(12)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Musa paradisiaca (pisang uli) ...3

Gambar 2. Metode pembuatan tepung pisang uli modifikasi (TPM) dengan perlakuan fermentasi dan otoklaf (Modifikasi Abdillah 2010) ... 14

Gambar 3. Diagram alir pembuatan brownies kukus tepung pisang modifikasi (TPM) (Modifikasi Febrial 2009) ... 16

Gambar 4. Pengaruh proses fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati tepung pisang ... 25

Gambar 5. Pengaruh proses fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati resisten tepung pisang... 26

Gambar 6. Penampakan tiga jenis tepung pisang (Dari kiri ke kanan: Tepung pisang tanpa modifikasi, tepung pisang otoklaf dan tepung pisang modifikasi) ... 28

Gambar 7. Grafik warna CIELAB ... 30

Gambar 8. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu warna brownies kukus TPM ... 32

Gambar 9. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu tekstur brownies kukus TPM ... 33

Gambar 10. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu rasa brownies kukus TPM ... 34

Gambar 11. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai mutu aroma brownies kukus TPM... 34

Gambar 12. Pengaruh tingkat substitusi TPM terhadap nilai mutu overall brownies kukus TPM ... 35

Gambar 13. Pengaruh substitusi TPM terhadap nilai total pembobotan rata-rata brownies kukus TPM ... 36

Gambar 14. Pengaruh susbstitusi TPM terhadap ranking kesukaan rata-rata brownies kukus TPM ... 37

Gambar 15. Pengaruh proses substitusi TPM terhadap kadar pati resisten brownies kukus TPM ... 37

Gambar 16. Diagram kesetimbangan massa pembuatan brownies kukus TPM ... 38

Gambar 17. Diagram perhitungan kadar RS III sebelum dan setelah proses pengukusan dalam pembuatan brownies kukus TPM ... 39

Gambar 18. Pengaruh substitusi TPM terhadap kadar IDF, SDF, dan TDF brownies kukus TPM ... 40

(13)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1a. Tabel rendemen tepung pisang fermentasi otoklaf ... 49

Lampiran 1b. Tabel derajat putih tepung pisang ... 49

Lampiran 1c. Tabel analisis ragam (α = 0.05) derajat putih tiga jenis tepung pisang ... 49

Lampiran 1d. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) derajat putih tida jenis tepung pisang ... 50

Lampiran 2a. Tabel profil mikroflora selama fermentasi jam ke-0 ... 50

Lampiran 2b. Tabel profil mikroflora selama fermentasi jam ke-24 ... 51

Lampiran 2c. Tabel penurunan pH selama fermentasi ... 51

Lampiran 3a. Tabel kadar pati brownies dan tepung pisang ... 52

Lampiran 3b. Gambar grafik standar glukosa 1 dan 2 analisis kadar pati ... 53

Lampiran 3c. Tabel analisis ragam (α = 0.05) kadar pati tiga jenis tepung pisang ... 54

Lampiran 3d. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) tiga jenis tepung pisang ... 55

Lampiran 3e. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap kadar pati brownies kukus TPM ... 55

Lampiran 4a. Tabel kadar pati resisten brownies dan tepung pisang ... 56

Lampiran 4b. Gambar grafik standar glukosa 1 dan 2 analisis kadar pati resisten ... 57

Lampiran 4c. Tabel analisis ragam (α = 0,05) kadar pati resisten tiga jenis tepung pisang ... 57

Lampiran 4d. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) kadar pati tiga jenis tepung pisang ... 58

Lampiran 4e. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap kadar pati resisten brownies kukus TPM... 59

Lampiran 5a. Tabel kadar IDF, SDF dan TDF tepung pisang modifikasi (TPM) dan brownies kukus TPM ... 60

Lampiran 5b. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap TDF brownies kukus TPM ... 61

Lampiran 5c. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap IDF brownies kukus TPM ... 61

Lampiran 5d. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap SDF brownies kukus TPM ... 62

Lampiran 6a. Tabel daya cerna pati tepung pisang modifikasi TPM dan brownies kukus ... 63

Lampiran 6b. Gambar grafik standar glukosa 1 dan 2 analisis daya cerna pati ... 64

Lampiran 6c. Tabel paired-samples T test (α = 0.05) pengaruh substitusi 70% TPM terhadap daya cerna pati brownies kukus TPM ... 65

Lampiran 7a Tabel analisis warna empat formula brownies kukus TPM ... 65

Lampiran 7b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) atribut warna empat formula brownies kukus TPM ... 66

(14)

ix

Lampiran 8a. Tabel analisis tekstur empat formula brownies kukus TPM ... 67

Lampiran 8b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) atribut tekstur empat formula brownies kukus TPM ... 67

Lampiran 9. Tabel analisis proksimat TPM dan brownies kukus TPM ... 68

Lampiran 10. Kuesioner uji ranking mutu sensori brownies kukus TPM ... 69

Lampiran 11. Kuesioner uji ranking hedonik brownies kukus TPM ... 69

Lampiran 12. Kuesioner uji rating hedonik empat formula brownies kukus TPM... 70

Lampiran 13a. Tabel data rekapitulasi hasil uji ranking hedonik empat mutu sensori brownies kukus TPM ... 71

Lampiran 13b. Tabel data rekapitulasi hasil uji pembobotan empat formula brownies kukus TPM ... 72

Lampiran 13c. Tabel analisis ragam (α = 0.05) nilai total pembobotan empat formula brownies kukus TPM ... 73

Lampiran 13d. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) nilai total pembobotan empat formula brownies kukus TPM ... 73

Lampiran 14a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik warna empat formula brownies kukus TPM ... 74

Lampiran 14b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik warna empat formula brownies kukus TPM ... 75

Lampiran 14c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik warna empat formula brownies kukus TPM ... 75

Lampiran 15a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM ... 76

Lampiran 15b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM ... 77

Lampiran 15c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM ... 77

Lampiran 16a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik rasa empat formula brownies kukus TPM ... 78

Lampiran 16b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik rasa empat formula brownies kukus TPM ... 79

Lampiran 16c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik tekstur empat formula brownies kukus TPM ... 79

Lampiran 17a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik aroma empat formula brownies kukus TPM ... 80

Lampiran 17b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik aroma empat formula brownies kukus TPM ... 81

(15)

x Lampiran 18a. Tabel data rekapitulasi hasil uji rating hedonik overall empat formula

brownies kukus TPM ... 82

Lampiran 18b. Tabel analisis ragam (α = 0.05) uji rating hedonik overall empat formula

brownies kukus TPM ... 83

Lampiran 18c. Tabel uji lanjut Duncan (α = 0.05) uji rating hedonik overall empat formula

brownies kukus TPM ... 83

Lampiran 19a. Tabel data rekapitulasi hasil uji ranking hedonik empat formula brownies

kukus TPM ... 84

Lampiran 19b. Tabel Friedman Test hasil uji ranking hedonik empat formula brownies

kukus TPM ... 85

(16)

I. PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Dewasa ini masyarakat semakin menyadari bahwa fungsi pangan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuh, tetapi juga diharapkan dapat memberikan manfaat lain terhadap kesehatan, hal ini menyebabkan permintaan masyarakat terhadap pangan fungsional pun semakin meningkat. Salah satu pangan fungsional yang masih dikembangkan adalah prebiotik. Sumber prebiotik yang dianggap potensial untuk dikembangkan adalah pati resisten. Pati resisten digolongkan sebagai sumber serat (British Nutrition Foundation 2005). Bahan prebiotik diklasifikasikan sebagai GRASS atau generally recognized as save (Gibson 2004; dan FAO 2007).

Sifat prebiotik pati resisten memiliki kelebihan dibandingkan sifat prebiotik lain yang umum digunakan seperti FOS dan inulin. Umumnya prebiotik tidak dapat dikonsumsi dalam jumlah yang banyak karena dapat menyebabkan sembelit, sedangkan pati resisten mampu mengikat air, memerangkap air dan dapat mempertahankan air dalam feses, sehingga tidak menimbulkan sembelit jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar. Selain itu, pati resisten juga diketahui mampu menurunkan kolesterol dan indeks glikemik (Lehman et al, 2002), serta mencegah terjadinya kanker kolon karena mikroflora mampu mengubah pati resisten menjadi senyawa asam lemak berantai pendek, mereduksi pembentukan batu empedu, dan membantu penyerapan mineral (Sajilata et al. 2006).

Jenis pati resisten yang mendapatkan perhatian lebih adalah RS III karena bersifat sangat stabil selama pemanasan, sangat kompleks dan tahan enzim pencernaan (Eerlingan and Delcour 1995), sehingga sifat fungsionalnya tidak mengalami perubahan ketika digunakan sebagai komponen dalam pangan olahan (Shamai et al. 2004). Berdasarkan rekomendasi CSIRO Division of Human Nutrition Australia, pati resisten dapat menimbulkan efek kesehatan jika dikonsumsi sebanyak 20 gram setiap hari (Oldways, 2007). Kadar pati resisten pisang alami yaitu RS II masih sangat rendah yaitu 1.51 g/100 g bk (Saguilan et al. 2005). Oleh karena itu kadar pati resisten pisang perlu ditingkatkan dengan proses modifikasi pembuatan tepung ditingkat pati dengan perlakuan fermentasi dan otoklaf agar dapat dijadikan sebagai komposisi pangan fungsional.

Menurut Sajilata et al. (2006) untuk mengembangkan pati resisten komersional, sebaiknya digunakan pati yang secara alami mengandung kadar amilosa tinggi. Pisang mengandung kadar amilosa yang cukup tinggi dan dapat dijadikan sebagai sumber pati yang potensial untuk mengembangkan pati resisten komersial dan penelitian sebelumnya telah dapat meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang (Jenie et al. 2009). Jenis pisang yang baik digunakan dalam pembuatan tepung pisang modifikasi ini adalah jenis plantain. Empat jenis pisang plantain yaitu kapok, siam, uli, dan tanduk memiliki kisaran kadar pati 61-73%, dan kadar amilosa yang tinggi yaitu 30-39%, serta daya cerna yang relatif rendah 27-45% (Jenie et al. 2010). Pisang uli dipilih sebagai bahan utama pembuatan produk tepung pisang modifikasi karena potensi sifat fisik dan kimia yang baik dan ketersediaannya yang tinggi, dan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis pisang lainnya sehingga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan dalam skala yang lebih besar.

Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kadar pati resisten tepung pisang yaitu dengan cara pemanasan bertekanan menggunakan otoklaf dan kombinasinya dengan proses fermentasi (Jenie et al. 2009), namun belum diketahui apakah pengolahan tepung pisang lebih lanjut menjadi berbagai jenis produk pangan akan mempengaruhi kadar pati resisten tipe III. Disamping itu belum diketahui apakah sifat fisikokimia tepung pisang yang dibuat menggunakan proses fermentasi dan pemanasan otoklaf masih cocok untuk diolah menjadi berbagai jenis produk pangan fungsional.

(17)

2

B.

TUJUAN

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

BOTANI PISANG

Pisang termasuk divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, sub kelas Monocotyledone, ordo Scitaminae, yang terdiri dari tiga family yaitu Musaceae, Zingiberaceae, dan Cannaceae. Famili Musaceae terdiri dari tiga sub family, yaitu Muscoideae dengan genus Musa yang meliputi semua jenis pisang, Streplitzoideae, dan Lowivedeae. Menurut sifat fisiologisnya, genus Musa dibagi menjadi tiga sub genus yaitu Physocanlis, Eumusa, dan Rhodoclamys. Pisang yang umum dikonsumsi sebagian besar berasal dari sub genus Eumusa (Simmonds 1968).

Gambar 1. Musa paradisiaca (pisang uli)

Tanaman pisang tumbuh di daerah beriklim tropis, dengan suhu antara 10°C sampai 40.5°C dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Tanaman ini akan tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, cukup air dan terhindar dari angin kencang (Loesecke 1950). Produktivitas pisang merupakan tertinggi kedua di antara jenis buah-buahan lainnya, yaitu 510.30 kuintal/Ha pada tahun 2005 (Deptan 2007).

Berdasarkan cara penggunaannya, menurut Simmonds (1966), pisang dibagi atas dua golongan, yaitu :

1. Banana (Musa paradisiaca var sapientum), merupakan golongan pisang yang dapat langsung dimakan setelah buahnya matang. Jenis pisang yang termasuk golongan banana diantaranya adalah pisang ambon, pisang sereh, pisang raja, dan pisang badak.

2. Plantain (Musa paradisiaca forma typica), merupakan golongan pisang yang dapat dimakan setelah mengalami pengolahan terlebih dahulu. Jenis pisang yang termasuk golongan planatain diantaranya adalah pisang nangka, pisang tanduk, pisang uli, pisang kepok, dan pisang siam.

Karbohidrat pada pisang sebagian besar adalah pati dan gula. Jenis plantain memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding jenis banana. Banana mengandung 80% (bobot kering) gula dan 5% pati, sedangkan pada jenis plantain kandungan patinya mencapai 17% dan gula sebesar 66% (Ketiku (1973) yang diacu dalam Gowen (1995)).

Pisang termasuk dalam golongan buah-buahan klimakterik, yaitu buah-buahan yang mengalami proses pematangan setelah dipanen sebagai hasil perubahan kimia di dalam jaringan secara biologis dan diawali dengan proses pembentukan etilen. Menurut Loesecke (1950) dan Simmonds (1966), selama proses pematangan buah pisang, terjadi perubahan sifat-sifat fisiologis, kimia, dan fisik, sehingga dapat menyebabkan perubahan warna, tekstur, rasa, dan aroma. Perubahan nyata pada proses pematangan tersebut adalah perubahan laju respirasi, keasaman, kadar air, karbohidrat, pektin, protopektin, nisbah daging dan kulit, tanin, dan zat-zat volatil yang mudah menguap.

(19)

4 Sehubungan dengan turunnya kandungan pati pada peristiwa pematangan, kandungan gula dalam daging buah akan berubah dari 1-2% ketika masih hijau dan menjadi 15-20% pada saat buah matang. Beberapa jenis gula yang terdapat pada buah yang masak adalah sukrosa, fruktosa, dan glukosa.

B.

TEPUNG PISANG

Pemanfaatan buah pisang kebanyakan masih sebatas konsumsi dalam bentuk asal dan pengolahan dari buah segarnya. Peningkatan pemanfaatan pisang dapat dilakukan dengan membuat tepung pisang. Tersedianya tepung pisang dalam jumlah yang cukup dan kualitas simpan yang baik akan membantu persediaan bahan pangan sebagai sumber kalori dan menambah nilai variasi penyediaan makanan sebagai sumber karbohidrat. Dengan demikian tepung pisang dapat membantu memperingan beban penyediaan kalori dalam bentuk beras (Hardiman 1982) dan dapat mendukung program ketahanan pangan pemerintah.

Pisang dapat diproses menjadi tepung karena kandungan karbohidratnya yang tinggi. Karbohidrat pada pisang sebagian besar adalah pati dan gula. Jenis plantain memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding jenis banana. Banana mengandung 80% bk gula dan 5%bk pati, sedangkan pada jenis plantain kandungan patinya mencapai 17% dan gula sebesar 66% (Ketiku (1973) yang diacu dalam Gowen (1995)).

Menurut Crowther (1979), tepung pisang sebaiknya dibuat dari buah pisang dengan tingkat kematangan ¾ penuh, yaitu sekitar 80 hari setelah berbunga. Hal ini disebabkan karena pada kondisi tersebut pembentukan pati telah mencapai maksimum dan tanin sebagian besar telah berubah menjadi ester aromatik dan fenol, sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang. Apabila buah pisang yang digunakan terlalu matang, maka pada proses pengeringannya akan mengalami kesukaran karena terbentuknya cairan. Sebaliknya apabila pisang terlalu muda yaitu kurang dari ¾ penuh, akan menghasilkan tepung pisang yang mempunyai rasa pahit dan sepat. Hal ini disebabkan karena kadar asam dan tanin yang cukup tinggi sedangkan kadar patinya rendah.

Judoamidjojo dan Lestari (2002) melaporkan bahwa kadar pati dari tiga jenis pisang plantain (nangka, siam dan uli) cukup tinggi yaitu berkisar antara 55-62%. Perbandingan karakteristik jenis tepung pisang nangka, siam dan uli dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisikokimia tepung pisang nangka, siam dan uli

Karakteristik Jenis Pisang

nangka Siam Uli

Rendemen 30.02 30.11 39.6

Kadar air (%) 9.04 12.05 10.82

Kadar total gula (%) 9.58 12.82 26.56

Kadar pati 61.61 56.82 55.23

Kadar amilopektin (%) 54.29 49.63 48.54

Derajat putih (%) 42.96 57.08 41.6

(Judoamidjojo dan Lestari 2002)

Proses pembuatan tepung pisang secara umum terdiri atas dua cara, yaitu proses basah dan proses kering.

1. Proses basah

(20)

5 8-11 % dari buah pisang segar, sedangkan pengeringan dengan drum drier menghasilkan rendemen sekitar 13% dari buah segar.

2. Proses kering

Pada proses pembuatan tepung pisang secara kering, setelah dikupas pisang diiris tipis. Hasil irisan tersebut dikeringkan dengan menggunakan alat pengering ataupun sinar matahari. Setelah pisang kering, selanjutnya pisang digiling atau dihancurkan sampai kehalusan tertentu sehingga akan dihasilkan tepung pisang (Hardiman 1982).

Menurut SNI 01-3841-1995, terdapat dua klasifikasi tepung pisang yaitu jenis A dan jenis B. Tepung pisang jenis A diperoleh dari penepungan pisang yang sudah matang melalui proses pengeringan dengan menggunakan mesin pengering sedangkan tepung pisang jenis B diperoleh dari penepungan pisang yang sudah tua, tidak matang melalui proses pengeringan.

Tabel 2. Syarat mutu tepung pisang (SNI 01-3841-1995)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

Jenis A Jenis B

1 Keadaan:

1.1 Bau - Normal Normal

1.2 Rasa - Normal Normal

1.3 Warna - Normal Normal

2 Benda asing - Tidak ada Tidak ada

3 Serangga (dalam segala bentuk stadia dan

potongan-potongan)

- Tidak ada Tidak ada

4 Jenis pati lain selain tepung pisang - Tidak ada Tidak ada

5 Kehalusan lolos ayakan 60 mesh %b/b Min. 95 Min. 95

6 Air %b/b Maks. 5 Maks. 12

7 Bahan tambahan makanan - SNI 01-0222-1987

8 Sulfit (SO2) mg/Kg Negatif Maks. 10

9 Cemaran logam:

9.1 Timbal (Pb) mg/Kg Maks.1.0 Maks.1.0

9.2 Tembaga (Cu) mg/Kg Maks.10.0 Maks.10.0

9.3 Seng (Zn) mg/Kg Maks.40.0 Maks.40.0

9.4 Raksa (Hg) mg/Kg Maks.0.05 Maks.0.05

10 Cemaran Arsen (As) mg/Kg Maks.0.5 Maks.0.5

11 Cemaran mikroba:

11.1 Angka Lempeng Total Kol/g Maks. 104 Maks. 106

11.2 Bakteri pembentuk coli APM/g 0 0

11.3 E. coli Kol/g 0 Maks. 106

11.4 Kapang dan khamir Kol/g Maks. 102 Maks. 104

11.5 Salmonella/25 gram - Negatif -

(21)

6 Masalah yang dihadapi saat pembuatan tepung pisang adalah adanya reaksi pencoklatan. Pencoklatan merupakan suatu hasil reaksi yang terjadi pada pengolahan bahan makanan yang banyak mengandung gula. Reaksi ini akan menyebabkan tepung yang dihasilkan berwarna gelap. Fennema (1996) menyatakan bahwa warna coklat pada makanan yang diproses dengan pemanasan biasanya terjadi karena reaksi antara gula pereduksi terutama D-glukosa dan asam amino bebas atau gugus amina bebas pada asam amino yang merupakan unit terkecil dari rantai protein. Reaksi ini disebut dengan reaksi Maillard. Proses pemanasan karbohidrat dalam hal ini suksrosa dan gula pereduksi tanpa adanya komponen yang mengandung nitrogen dapat menyebabkan dehidrasi gula. Hasil dehidrasi ini akan menghasilkan senyawa furan yang berwarna coklat. Proses pembentukan warna coklat ini dikenal dengan karamelisasi.

C.

MODIFIKASI PATI

1. Modifikasi Asam

Proses lintnerisasi (hidrolisis asam sebagian) dapat menurunkan derajat polimerisasi pati, bila proses ini diikuti dengan retrogradasi maka akan meningkatkan kadar pati resisten kacang polong kira-kira 20% (Lehmann et al. 2003). Beberapa strain bakteri asam laktat yang tumbuh pada fermentasi spontan dapat menghasilkan beberapa jenis asam organik terutama asam asetat, asam laktat dan asam n-butirat (Greenhill et al. 2008). Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik (asam laktat) dan enzim pululanase secara signifikan meningkatkan pembentukan RS selama pemanasan pada suhu otoklaf (Sajilata 2006). Berry (1989) dan Saguilan (2005) pun menyatakan bahwa pati yang mengalami perlakuan lintnerisasi (hidrolisis sebagian menggunakan asam), pemanasan dan pendinginan menunjukkan kandungan pati resisten yang lebih tinggi dikarenakan adanya peningkatan rantai liniar glukan.

Abdillah (2010) melakukan modifikasi tepung pisang tanduk dengan aplikasi fermentasi spontan yang dilanjutkan dengan pemanasan otoklaf. Proses fermentasi spontan dapat mengakibatkan pengembangan granula pati. Meyer (2003) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30%. Selain mengakibatkan pengembangan granula pati, fermentasi spontan akan menghasilkan asam laktat sebagai hasil metabolisme bakteri asam laktat yang secara alami terdapat pada irisan pisang. Manfaat lain yang dapat diperoleh dari perlakuan fermentasi baik dengan cara spontan maupun dengan penambahan kultur adalah adanya bakteri asam laktat yang menghasilkan asam laktat sehingga membantu dalam meningkatkan kadar pati resisten.

Lintnerisasi secara selektif memecah bagian amorfous pada granula pati menghasilkan material-material yang kaya akan kristalit-kristalit amilopektin (Mumny 2000; Saguilan et al. 2005). Perubahan derajat polimerisasi amilosa dan linierisasi amilopektin ini dapat meningkatkan jumlah molekul amilosa yang akan berperan dalam pembentukan ikatan hidrogen yang sangat stabil pada proses pemanasan yang diikuti dengan proses pendinginan, sehingga akan meningkatkan jumlah RS III yang terbentuk selama retrogradasi. Wurzburg (1989) menunjukkan bahwa pada tahap awal proses modifikasi asam, jumlah amilosa atau fraksi linear meningkat, yang mengindikasikan bahwa asam turut menghidrolisis bagian amilopektin yang mudah dijangkau. Wurzburg (1989) menunjukkan pula bahwa selama modifikasi asam tidak terjadi pembengkakan granula pati dan pati tidak kehilangan sifat birefringence, yang membuktikan bahwa asam akan lebih cenderung menyerang bagian amorfous dibandingkan dengan bagian kristalin.

(22)

7 dengan kontrol (tanpa fermentasi) (Sobowale et al. 2007). L. plantarum L137 yang diisolasi dari makanan fermentasi tradisional (ikan dan nasi) menghasilkan enzim amilolitik dan pululanase (amilopululanase) yang mampu menghidrolisis ikatan amilosa dan amilopektin (Kim et al. 2008; Kim et al. 2009).

Abdillah (2010) melaporkan bahwa kadar amilosa dari tepung pisang yang difermentasi secara spontan selama 24 dan 48 jam tanpa kombinasi dengan pemanasan otoklaf adalah 35.64% bk dan 34.95% bk, tidak berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol (35.68% bk). Kadar pati resisten dari tepung pisang yang difermentasi selama 24 jam dan 48 jam dengan kombinasi pemanasan otoklaf masing-masing adalah 15.24% bk dan 11.01% bk (Abdillah 2010).

2. Modifikasi Pati Secara Fisik

Perlakuan modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor antara lain: suhu, tekanan, dan kadar air pada pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan. Bila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai reaksi kimia, modifikasi secara fisik antara lain: ekstruksi, parboiling, steam-cooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrothermal treatment dan autoclaving. (Sajilata et al.2006).

Perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode autoclaving-cooling dapat meningkatkan produksi pati resisten hingga 9% (Saguilan 2005). Metode autoclaving-cooling dilakukan dengan penambahan air 1 : 3.5 (b/v) (Sievert & Pomeranz 1989), kemudian dipanaskan menggunakan otoklaf pada suhu tinggi. Setelah diotoklaf, suspensi pati yang telah mengalami gelatinisasi tersebut disimpan pada suhu rendah sehingga terjadi retrogradasi. Pati resisten tertinggi diperoleh pada suhu otoklaf 120oC (Sievert dan Pomeranz 1989) dan suhu retrogradasi 4oC (Niba 2003). Lehmann (2002) menyatakan bahwa pembuatan RS III dilakukan dengan mensuspensikan pati dalam air (20% w/w), kemudian di-otoklaf selama 30 menit pada suhu 1210C, didinginkan dan disimpan pada suhu 40C selama 24 jam, kemudian dikeringkan dengan freeze dryer.

Tujuan dari pemanasan dengan otoklaf adalah terjadinya proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi dapat menyebabkan granula mengembang, kehilangan sifat birefringent, dan kehilangan kristalinitasnya. Proses gelatinisasi dapat menyebabkan granula pecah dan melepaskan molekul-molekul pati terutama amilosa (Fennema 1996). Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringent granula pati akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu sehingga granula membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible) (Belitz dan Grosch 1999). Harper (1981) mengemukakan bahwa mekanisme gelatinisasi diawali dengan adanya pemberian air yang mengganggu kristanilitas amilosa dan mengganggu struktur heliksnya. Gelatinisasi pati terjadi karena granula pati secara bertahap menyerap air ketika suspensinya dipanaskan yang menyebabkan volumenya meningkat secara perlahan-lahan.

Penyerapan air tersebut disebabkan oleh molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Ikatan hidrogen tersebut semakin melemah dengan naiknya suhu suspensi. Di sisi lain, molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul air pun semakin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi meningkat, air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa dan amilopektin sehingga menghasilkan ukuran granula yang semakin besar (Meyer 2003).

(23)

8 Proses pendinginan dilakukan setelah proses pemanasan berakhir pada suhu 40C selama 24 jam. Selama proses pendinginan, pati mengalami pembentukan strukturnya secara perlahan yang disebut dengan retrogradasi. Retrogradasi merupakan perubahan amilosa dari bentuk amorf menjadi bentuk kristalin. Retrogradasi terjadi apabila antar gugus hidroksil molekul amilosa yang berdekatan saling berikatan dengan ikatan hidrogen. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur yang kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen tersebut. Amilosa mengalami proses retrogradasi lebih cepat dibandingkan dengan amilopektin. Struktur ini biasanya sangat stabil (Fennema 1996).

Bila pati didinginkan maka energi kinetik tidak cukup tinggi untuk mencegah kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk berikatan satu sama lain. Dengan demikian terjadi semacam jaring-jaring yang membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno 1997). Faktor yang mendukung terjadinya retrogradasi adalah suhu yang rendah, konsentrasi amilosa yang tinggi, dan adanya ion-ion organik tertentu (Jane 2004). Retrogradasi mengakibatkan perubahan sifat gel pati diantaranya meningkatkan ketahanan pati terhadap hidrolisis enzim amilolitik, menurunkan kemampuan melewatkan cahaya (transmisi) dan kehilangan kemampuan untuk membentuk kompleks berwarna biru dengan iodin.

D.

PATI RESISTEN

Englyst et al. (1992) menyatakan bahwa pati dapat dikelompokan menjadi tiga bagian berdasarkan kondisinya ketika diinkubasi dengan enzim pencernaan yaitu rapidly digestable starch (RDS), slowly digestable starch (SDS), dan resistant starch (RS). Pati Resisten adalah bagian pati yang tidak dapat dihidrolisis menjadi α-glukosa dalam usus kecil dalam waktu 120 menit setelah dikonsumsi. Pati resisten dapat difermentasi dalam usus besar. Pati resisten merupakan molekul linier yang terdiri dari 1,4- α-glukan, yang dihasilkan dari proses retrogradasi molekul amilosa. Pati resisten memiliki bobot molekul yang relatif rendah (1.2 x 105 Da) (Tharanathan 2002).

Pati resisten diklasifikasikan ke dalam 4 jenis, yaitu: (1) RS I, merupakan pati resisten yang secara fisik tidak dapat dicerna karena pati terdapat pada matriks sel, seperti pada polong-polongan atau biji-bijian; (2) RS II adalah pati resisten yang terbentuk secara alami karena kristalisasi dari struktur granula mengakibatkan rendahnya kemampuannya untuk dihidrolisis; (3) RS III adalah pati resisten yang berasal dari pati yang telah teretrogradasi hasil dari proses pemasakan bahan pangan yang kemudian disimpan dibawah suhu ruang; (4) RS IV adalah pati resisten yang dibentuk oleh proses kimiawi (Onyango et al. 2006). Dari keempat jenis pati resisten tersebut, pati jenis RS III mendapatkan perhatian lebih karena bersifat sangat stabil selama pemanasan, sangat kompleks dan tahan enzim pencernaan (Eerlingan and Delcour 1995), sehingga sifat fungsionalnya tidak mengalami perubahan ketika digunakan sebagai komposisi dalam pangan olahan (Shamai et al. 2004).

RS III terbentuk karena proses retrogradasi pati yang telah tergelatinisasi. Selama pendinginan rantai polimer amilosa yang lepas dari granula pati akan bergabung kembali membentuk struktur double helix yang distabilkan oleh ikatan hidrogen (Wu dan Sarko 1978). Struktur double helix ini diperlukan untuk pembentukan struktur kristal pati. Derajat polimerisasi (DP) amilosa dapat mempengaruhi pembentukan RS III ini. Gidley menyatakan bahwa untuk membentuk struktur double helix dibutuhkan polimer dengan DP 10-100 (Gidley et al. 1995). Thompson (2000) melaporkan bahwa jika derajat polimerisasi amilosa lebih tinggi dari 300 dapat menyebabkan amilosa tidak mudah untuk mengkristal (membentuk kristalitas resisten).

(24)

9 pun dapat mempengaruhi kadar RS. Komponen-komponen tersebut diantaranya adalah protein, serat, inhibitor enzim, ion, gula, lemak dan emulsifier.

Interaksi protein dengan pati dapat menurunkan kadar RS seperti yang terjadi pada pati kentang yang ditambah dengan albumin ketika diotoklaf dan didinginkan pada suhu -20°C. Serat pangan tidak larut seperti selulosa dan lignin memberikan pengaruh yang kecil dibandingkan dengan ion kalium dan kalsium terhadap kadar RS. Ion kalium dan kalsium dapat menurunkan kadar pati resisten karena ion-ion ini dapat menghambat pembentukan ikatan hidrogen antar rantai amilosa dan amilopektin (Escarpa et al. 1997). Penambahan gula seperti glukosa, maltosa, sukrosa, dan ribosa diketahui dapat menurunkan tingkat kristalisasi dan menurunkan kadar RS. Hal ini terjadi karena mekanisme retrogradasi dapat dihambat oleh interaksi antara molekul gula sederhana dan rantai molekul pati yang dapat mengubah matriks dari pati yang tergelatinisasi (Kohyama dan Nishinari 1991). Lemak dapat berinteraksi dengan rantai amilosa membentuk kompleks yang mudah dihidrolisis oleh enzim pencernaan. Pembentukan kompleks amilosa dan lemak ini dapat menurunkan pembentukan RS (Czuchajowska et al. 1991).

Kadar pati resisten pisang alami yaitu RS II masih sangat rendah yaitu 1.51 g/100 g bk (Saguilan et al. 2005). Menurut Sajilata et al. (2006) untuk mengembangkan pati resisten komersil, sebaiknya digunakan pati yang secara alami mengandung kadar amilosa tinggi. Pisang adalah sumber karbohidrat tinggi dimana komponen utamanya adalah pati. Eggleston et al. (1992) melaporkan bahwa kandungan amilosa plantain berkisar antara 10-11%. Kandungan amilosa pisang yang tinggi ini dapat membantu dalam peningkatan kadar pati resisten di dalam tepung pisang modifikasi yang dihasilkan. Sajilata et al. (2006) menyatakan bahwa amilosa akan membentuk pati resisten tipe III yang stabil terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim amilase. Saguilan et al. (2005) menyatakan bahwa RS yang terkandung pada pati alami pisang adalah 1.51% dan mengalami peningkatan 10 kali setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan pada suhu 121oC selama 1 jam (autoclaved starch).

RS memiliki sifat resisten terhadap enzim pencernaan manusia dan dapat diklasifikasikan sebagai serat pangan oleh AACC (2000). Meskipun terdapat kemungkinan bahwa RS terdiri dari molekul dextrin dengan berat molekul yang rendah, namun RS mengandung molekul-molekul amilosa teretrogradasi sebagai fraksi utama dalam RS (Ranhotra et al. 1991). Haralampu (2000) menyatakan bahwa dalam analisis, RS akan teruji sebagai IDF tetapi memiliki fungsi fisiologis seperti SDF.

RS telah direkomendasikan untuk digunakan sebagai prebiotik untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri menguntungkan seperti Bifidobacterium (Brown et al. 1996). Setelah mencapai kolon RS akan difermentasi oleh mikroflora usus dan menghasilkan asam lemak rantai pendek atau short-chain fatty acid (SCFA) (Sajilata 2006). SCFA yang dihasilkan dari fermentasi RS mengandung asatat dalam jumlah yang rendah dan butirat dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan SCFA yang dihasilkan dari fermentasi serat pangan biasa. SCFA merupakan sumber energi untuk sel-sel kolon (butirat) dan untuk sel-sel tubuh lainnya (asetat dan propionat).

Respon insulin setelah mengonsumsi makanan yang mengandung sejumlah RS akan lebih rendah jika dibandingkan dengan setelah mengonsumsi pati yang dapat dicerna (Cherbuy et al. 2004). RS dalam usus halus menurunkan respon glikemik dan insulemik pada manusia penderita diabetes, hiperinsulemik, dan disiplidemia (Okoniewska dan Witwer 2007). Suplemen serat pangan dan RS berpotensi memperbaiki sensitivitas hormon insulin (Robertson et al. 2005). Menurut Lehmann (2002), dibandingkan FOS (Fruktooligosakarida), RS memiliki beberapa kelebihan diantaranya tidak menyebabkan sembelit, dapat menurunkan kolesterol, dan indeks glikemik, dengan sumber yang beragam.

E.

SERAT PANGAN

(25)

10 meningkatkan massa feses dan mempersingkat waktu transit. Gabungan dari serat pangan yang larut air dan serat pangan yang tidak larut air disebut serat pangan total (Total Dietary Fiber atau TDF).

IDF terdiri atas selulosa dan hemiselulosa yang berperan dalam pencegahan penyakit kanker usus besar, divertikulosis, konstipasi, dan hemorrhoid, sedangkan yang termasuk dalam serat pangan larut adalah pektin, β-glukan, gum, dan musilase. Inulin disetarakan sebagai IDF dan dapat difermentasi, karena sifatnya yang tidak bisa dihidrolisis oleh sistem pencernaan manusia namun dapat difermentasi oleh koloni mikroflora di usus besar, hal ini akan mempengaruhi fungsi fisiologis sistem pencernaan (Tungland 2000). Ikatan 2,6-β-glikosidik pada rantainya menyebabkan inulin resisten terhadap enzim-enzim pencernaan mamalia seperti disakaridase (sukrase, maltase, isomaltase, atau laktase) yang dihasilkan di mukosa usus dan α-amilase yang dihasillan oleh pankreas (Oku et al. 1984). Akibatnya, inulin mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan.

Serat pangan dapat berfungsi sebagai prebiotik bagi mikroba usus sehingga baik bagi kesehatan. Selain itu serat pangan juga dapat mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan sehingga memperlambat lewatnya makanan dalam saluran pencernaan dan pergerakan enzim. Pencernaan yang lambat menyebabkan respon glukosa darah juga menjadi rendah (Rimbawan dan Siagian 2004).

Pisang jenis plantain memiliki buah dengan kandungan pati resisten dan serat yang tinggi (Kahlon dan Smith 2007) dan tepungnya merupakan sumber serat pangan yang tinggi (6-9%) (Higgins et al. 2004; Kahlon dan Smith 2007). American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat pangan bagi orang dewasa sekitar 20-35 gram per hari. Selain itu petunjuk penyajian makanan (USDA 2000) pun merekomendasikan jumlah minimum konsumsi serat pangan adalah 25 gram per hari, atau sama dengan 12.5 gram per 1000 Kal yang dikonsumsi. Sebuah studi menunjukkan bahwa konsumsi serat pangan lebih dari 25 gram per hari dapat menurunkan resiko terkena penyakit jantung 36% dan konsumsi 29 gram serat per hari dapat menurunkan risiko serangan jantung sebesar 41% (Wardlaw 1999).

F.

PANGAN FUNGSIONAL

Pangan fungsional adalah pangan yang dapat menguntungkan salah satu atau lebih dari target fungsi-fungsi dalam tubuh seperti halnya nutrisi yang dapat memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, dan menurunkan risiko dari suatu penyakit (Roberfroid 2002). Menurut Badan POM (2005), beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1) wajib memenuhi kriteria produk pangan; (2) menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan lain yang ditetapkan; (3) mempunyai manfaat bagi kesehatan yang dinilai dari komponen pangan fungsional berdasarkan kajian ilmiah; (4) disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman; (5) memiliki karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur atau konsistensi dan cita rasa yang dapat diterima konsumen; dan (6) komponen pangan fungsional tidak boleh memberikan interaksi yang tidak diinginkan dengan komponen lain.

Prebiotik adalah salah satu jenis pangan fungsional yang masih dikembangkan. Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna, memiliki efek menguntungkan terhadap inang dengan menstimulir pertumbuhan secara selektif terhadap bakteri di dalam usus (Lactobacilii dan Bifidobacteria), sehingga meningkatkan kesehatan inang (Gibson 2004; Manning et al. 2004; Manning dan Gibson 2004). Menurut FAO (2007), prebiotik adalah komponen pangan yang tidak hidup (not viable) yang memberikan keuntungan kesehatan inang berasosiasi dengan memodulisasi mikrobiota.

(26)

11 atau sudah diformulasikan dapat mengubah komposisi atau aktivitas mikrobiota target inang, mekanisme tersebut meliputi fermentasi, penghentian reseptor atau lainnya.

Bahan baku pangan fungsional prebiotik yang dianggap potensial untuk dikembangkan dan paling sering digunakan adalah pati resisten tipe III (RS III). Pati resisten digolongkan sebagai sumber serat (British Nutrition Foundation 2005). RS III adalah pati hasil retrogradasi, terbentuk karena pemanasan pada suhu tinggi yang dilanjutkan dengan pendinginan (Onyango 2004). Menurut Weese (2002); Manning dan Gibson (2004), dietary fiber (serat makanan) dapat dikelompokan sebagai prebiotik, apabila: substrat tidak dapat diserap atau dihidrolisis di dalam usus halus, secara selektif substrat dapat difermentasi oleh bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium, fermentasi substrat yang memberikan efek sistemik bagi inangnya. Bahan prebiotik diklasifikasikan sebagai GRASS atau generally recognized as save (Weese 2002; Gibson 2004; dan FAO 2007).

G.

BROWNIES KUKUS

Brownies merupakan salah satu jenis cake yang berwarna coklat kehitaman. Brownies dapat dibagi menjadi dua macam, yakni brownies kukus dan brownies oven. Struktur brownies sama seperti cake yaitu ketika dipotong terlihat keseragaman pori remah, berwarna menarik, dan jika dimakan terasa lembut, lembab, dan menghasilkan cita rasa yang baik (Sulistyo 2006). Tekstur yang dikehendaki dari brownies agak bantat sehingga ia tidak membutuhkan pengembangan gluten sebagaimana cake. Bahan penyusun utamanya antara lain telur, lemak, gula, dan terigu. Sebagai bahan tambahan dapat ditambahkan emulsifier dan bahan pengembang (Sulistiyo 2006).

Tepung yang umum digunakan sebagai bahan pembuat brownies adalah terigu. Tepung ini, di dalam adonan, berfungsi sebagai pembentuk struktur dan tekstur brownies, pengikat bahan-bahan lain, dan penditribusi bahan-bahan-bahan-bahan lain secara merata, serta pembentuk citarasa (Matz 1992). Tepung terigu yang biasanya digunakan adalah terigu lunak (Subarna 1996). Alasan penggunaan terigu jenis lunak adalah kelebihannya dalam membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket (Matz 1992).

Bahan utama lain dalam pembuatan brownies adalah gula yang berfungsi memberikan rasa manis. Selain itu, ia juga berperan dalam pembentukan struktur, tekstur, keempukan, pengikat air, serta penjaga kelembaban (Berenbaum 2003). Gula juga dapat berfungsi sebagai pengawet karena gula dapat mengurangi aw bahan pangan yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al. 1981).

Lemak sebagai bahan penyusun utama brownies berfungsi melembutkan tekstur, membentuk citarasa, memacu pengembangan, membantu aerasi dan emulsifikasi adonan. Selain itu, lemak juga berperan meningkatkan nilai gizi. Adapun lemak yang biasa digunakan adalah mentega. Margarin lebih sering digunakan karena harganya lebih murah dari mentega. Margarin adalah lemak plastis yang dibuat dari proses hidrogenasi parsial minyak nabati (Haryadi et al. 2000).

Telur dalam pembuatan brownies berfungsi sebagai penggaanti air, pembentuk struktur, pelembut, pengikat udara (aerasi), dan pendistribusi adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, aroma, dan rasa. Lesitin pada kuning telur memiliki daya pengemulsi sedangkan putih telurnya membentuk tekstur yang lebih ringan (Berenbaum 2003).

Sebagai pemberi warna dan rasa utama brownies adalah dark cooking chocolate yang khusus digunakan untuk membuat produk-produk bakery. Selain ditambahkan dark cooking chocolate dapat juga ditambahkan bubuk coklat. Bahan tambahan lainnya adalah emulsifier seperti valet. Fungsi emulsifier ini adalah mendorong pembentukan dan mempertahankan emulsi agar tetap stabil. Selain itu valet juga berperan sebagai pelembut tekstur. Penambahan garam dan flavor lain juga dapat dilakukan dalam pembuatan brownies. Keduanya berperan dalam meningkatkan cita rasa serta meningkatkan penerimaan produk.

(27)

12 Metode sugar-batter mencampurkan bagian gula dan margarin terlebih dulu, baru kemudian ditambahkan telur, tepung, dan bahan-bahan lainnya. Keuntungan dari metode ini adalah daya serap lemaknya terhadap udara dapat maksimal. Pada metode flour-batter, tepung dan margarinlah yang dicampur terlebih dulu. Metode ini lebih efektif dalam mendistribusikan dan mendispersikan margarine dalam adonan serta menghasilkan cake dengan tekstur yang lebih halus. Sedangkan metode single-step (mencampurkan dan mengaduk semua bahan sekaligus dan menambahkan baking powder ketika mendekati akhir pengadukan) memiliki kelebihan pada pengerjaannya yang lebih sederhana meskipun mutu cake yang dihasilkan tidak sebaik kedua metode lainnya.

Sulistiyo (2006) melakukan proses pembuatan adonan dengan metode yang berbeda: telur dan gula dikocok terlebih dahulu, kemudian ditambahkan tepung, cokelat bubuk, baking powder dan garam yang sudah diayak. Margarin dan dark cooking chocolate yang sudah dicairkan diaduk dengan sendok dan dicampur ke dalam adonan hingga merata.

Setelah pembuatan adonan, proses inti berikutnya adalah pengukusan. Pengukusan (steaming) merupakan salah satu teknik pengolahan produk cake yang menggunakan uap air panas bersuhu 1000C. Pengukusan adalah salah satu cara pemasakan bahan, selama proses pemasakan terjadi penurunan gizi tergantung pada suhu dan lamanya proses pemasakan. Tiga jenis reaksi yang dapat menurunkan nilai gizi selama proses pemasakan atau pemanasan yaitu (1) oksidasi lemak; (2) denaturasi protein berupa perubahan ikatan asam amino sehingga absorpsi terganggu dan terbentuknya ikatan baru sehingga enzim pencernaan tidak mampu lagi mencerna; dan (3) reaksi Maillard (Winarno 1997). Perubahan yang terjadi selama proses pengukusan (pemanasan) antara lain gelatinisasi pati membentuk struktur jaringan yang kokoh, koagulasi protein membentuk struktur yang lebih keras, penguapan zat volatil, serta reaksi maillard dan hidrolisis yang menyebabkan perubahan flavor dan warna pada brownies (Matz 1992).

(28)

III.

METODE PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

1.

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan tepung pisang adalah buah pisang uli yang didapatkan dari daerah sekitar Bogor dengan tingkat kematangan ¾ penuh dan warna kulit masih hijau. Bahan yang digunakan untuk pembuatan brownies kukus adalah tepung pisang, tepung terigu, gula pasir, garam, telur, valet, margarin. Bahan yang digunakan untuk uji kimia adalah akuades, bubuk K2SO4, bubuk HgO, larutan H2SO4, larutan H3BO4, larutan NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0.02 N, pelarut heksama, indikator metil merah - metilen biru, larutan buffer Na-fosfat 0.1 N dengan pH 7.0, etanol, dietil eter, NaOH 0.1 M, asam asetat 1 N, larutan iod, petroleum benzene, buffer enzim termamil, HCl 4 N, pepsin, enzim protease, larutan maltosa, enzim α-amilase, DNS, Na-K tartarat, aseton, glukosa standar, maltosa standar, NaCO3 jenuh, dan celite kering. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi antara lain medium NA, medium APDA, medium MRSA dan larutan pengencer NaCl 0.85%.

2.

Alat

Peralatan pembuatan tepung pisang modifikasi meliputi pisau, plastik, erlenmeyer 2000 ml, oven pengering (cabinet drier), otoklaf, refrigerator, disc mill dan ayakan 60 mesh. Peralatan yang digunakan untuk membuat brownies kukus antara lain wadah plastik, mixer, loyang, mangkok, timbangan, dan alat pengukus. Peralatan pengujian mikrobiologi adalah cawan petri, pipet mikro, bunsen, hot plate, tabung reaksi, otoklaf,, pH meter, dan incubator. Peralatan pengujian kimia adalah oven, tanur listrik, desikator, labu Kjeldahl, destilator, Soxhlet, penyaring vakum, cawan porselin, oven pengering, neraca analitik, penangas air, penangas bergoyang, inkubator, sentrifus, magnetic stirrer, pH-meter, spektrofotometer, alat-alat gelas, alufo, kapas, kertas saring whatman. Peralat-alatan untuk analisis organoleptik antara lain piring-piring saji, kuesioner, dan label.

B.

METODE PENELITIAN

1.

Kerangka Penelitian

Penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yakni pembuatan tepung pisang uli modifikasi (Gambar 2) yang dilanjutkan dengan pembuatan brownies kukus. Tepung pisang modifikasi (TPM) yang dihasilkan dari tahap pertama ini kemudian dianalisis sifat kimia dan fisiknya. Analisis kimia dan fisik tersebut meliputi analisis kadar pati, kadar pati resisten, daya cerna pati, proksimat. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui potensi TPM sebagai sumber prebiotik.

(29)

14 pun dilakukan terhadap keempat formula tersebut untuk menentukan formula terbaik yaitu formula dengan tingkat substitusi tertinggi yang dapat diterima secara sensori. Evaluasi sensori ini meliputi uji rating, ranking hedonik dan pembobotan. Selanjutnya analisis kimia dan nilai biologis dilakukan terhadap formula terbaik berdasarkan hasil evaluasi sensori untuk mengetahui potensi brownies kukus TPM sebagai pangan fungsional prebiotik. Analisis kimia dan nilai biologis ini meliputi kadar pati, serat pangan, pati resisten, daya cerna pati in vitro.

2.

Metode Pembuatan Tepung Pisang Modifikasi

Pembuatan tepung pisang modifikasi (TPM) secara skematis dapat dilihat pada diagram berikut.

Gambar 2. Metode pembuatan tepung pisang uli modifikasi (TPM) dengan perlakuan fermentasi dan otoklaf (Modifikasi Abdillah 2010)

(30)

15 selama 24 jam, dilakukan penirisan irisan pisang, pemanasan bertekanan dengan otoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit, pendinginan pada suhu 5-10°C selama 24 jam, dan thawing. Setelah rangkaian proses modifikasi tersebut, pengeringan dilakukan dengan cabinet dryer pada suhu 50-60°C sampai kadar air irisan pisang 8% bk. Irisan pisang yang telah kering tersebut kemudian ditepungkan dengan menggunakan disc mill dan diayak menggunakan vibrating siever berukuran 60 mesh.

Pada pembuatan tepung pisang otoklaf tidak dilakukan proses fermentasi spontan, sedangkan pada proses pembuatan tepung pisang tanpa fermentasi dan otoklaf tidak dilakukan rangkaian proses modifikasi yaitu fermentasi, pemanasan, dan pendinginan.

Pembuatan TPM ini bertujuan untuk memperpanjang umur simpan pisang, mempermudah penggunaan pisang untuk diversifikasi produk olahan. Selain itu pembuatan tepung pisang ini pun bertujuan untuk memodifikasi pati alami pisang menjadi pati resisten tipe III sehingga dapat digunakan sebagai bahan pangan fungsional.

TPM yang digunakan untuk formulasi adalah tepung pisang dengan metode pengeringan terbaik. Metode pengeringan terbaik adalah metode yang menghasilkan TPM sesuai dengan persyaratan mutu yang ditentukan oleh SNI untuk tepung pisang dan memiliki karakteristik mutu visual yang baik.

Analisis mikrobiologi yang dilakukan pada tahap fermentasi pada proses pembuatan TPM adalah analisis profil mikroflora selama fermentasi pada jam ke-0 dan jam ke-24 meliputi analisis total bakteri mesofilik, total bakteri asam laktat (Bolognani et al. 2001), dan total kapang dan khamir. Analisis kimia dan nilai biologis yang dilakukan pada tepung pisang tanpa modifikasi, tepung pisang otoklaf, dan tepung pisang modifikasi adalah kadar air (AOAC 1995), kadar lemak (AOAC 1995), kadar pati (AOAC 1995), dan kadar pati resisten in vitro (Goni et al 1998). Sedangkan analisis nilai biologis seperti daya cerna pati in vitro (Anderson et al. 2002) dan kadar serat pangan (Asp 1983), hanya dilakukan untuk tepung pisang dengan kadar pati resisten atau potensi yang tinggi sebagai sumber prebiotik.

3.

Pembuatan Brownies Kukus TPM

Pembuatan brownies kukus bertujuan untuk mengetahui apakah TPM dapat diaplikasikan dalam pembuatan brownies sebagai salah satu jenis produk yang diolah dengan menggunakan panas uap air (pengukusan). Selain itu, tujuan lain dari pembuatan brownies adalah untuk mengetahui retensi pati resisten tepung pisang dalam pembuatan brownies kukus TPM.

[image:30.612.199.458.546.683.2]

Variabel peubah dalam formulasi ini adalah jumlah subtitusi tepung terigu dengan tepung pisang modifikasi. Formula yang diinginkan adalah formula dengan jumlah substitusi tepung pisang yang tinggi dan memiliki sifat sensori yang baik.

Tabel 3. Formulasi brownies kukus tepung pisang modifikasi

Bahan % Substitusi Tepung Pisang Modifikasi (TPM)

70 80 90 100

Telur ayam 5 buah 5 buah 5 buah 5 buah

Gula pasir 100 gram 100 gram 100 gram 100 gram

Tepung pisang 140 gram 160 gram 180 gram 200 gram

Tepung terigu 60 gram 40 gram 20 gram -

Margarin 125 gram 125 gram 125 gram 125 gram

Valet 1 sdt 1 sdt 1 sdt 1 sdt

(31)
[image:31.612.162.478.126.500.2]

16 Pembuatan brownies kukus TPM secara skematis dapa dilihat pada diagram berikut ini

Gambar 3. Diagram alir pembuatan brownies kukus tepung pisang modifikasi (TPM) (Modifikasi Febrial 2009)

Adonan dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) telur, gula, dan valet; (2) TPM dan tepung terigu; dan (3) margarin. Margarin dicairkan dengan cara dikukus. Telur, gula, dan valet diaduk rata dengan mixer sampai mengental, kemudian ditambahkan campuran TPM dan terigu diaduk hingga merata. Proses selanjutnya, margarin yang telah dicairkan dimasukan ke dalam adonan dan diaduk hingga merata. Adonan dituangkan ke dalam loyang kemudian dikukus selama 25 menit dengan api kecil (Febrial 2009).

Analisis fisik dilakukan untuk seluruh formula. Analisis fisik tersebut diantaranya adalah analisis tekstur dan analisis warna. Analisis tekstur dan warna dilakukan pada seluruh produk brownies kukus TPM untuk melihat kesesuaian antara uji fisik instrumental dengan evaluasi sensori dan untuk mengkonfirmasi produk terbaik hasil evaluasi sensori produk brownies kukus TPM apabila hasil evaluasi sensori menunjukkan bahwa tekstur atau warna setiap formula berbeda nyata taraf signifikansi sebesar 0.05. Pengukuran tekstur dilakukan dengan alat texture analyzer TAXT Stable Micro Systems yang langsung dihubungkan dengan program pengukuran tekstur pada komputer sedangkan pengukuran warna dapat langsung diukur menggunakan Chromameter CR 300 Minolta.

Margarin

Dicairkan dengan cara dikukus

Margarin cair

Tambahkan margarin cair Telur, gula, ovalet

Diaduk rata dengan mixer hingga kental dan kaku

Adonan ditambahkan TPM dan terigu dengan perbandingan tertentu

Diaduk hingga merata

Diaduk hingga merata

Adonan ditempatkan dalam loyang yang telah diolesi margarin secukupnya

Adonan dikukus selama 25 menit dengan api yang sedang

(32)

17 Evaluasi sensori bertujuan untuk mengetahui formula brownies kukus TPM terbaik. Uji ranking atribut dilakukan oleh setiap panelis terhadap empat atribut mutu yaitu aroma, rasa, tekstur, dan warna. Nilai ranking atribut mutu yang ditetapkan oleh setiap panelis ini kemudian dikalikan dengan nilai rating kesukaan yang ditetapkan oleh setiap panelis untuk masing-masing parameter pada setiap formula. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai total pembobotan dari masing-masing panelis untuk setiap formula. Formula terbaik yang dapat diterima adalah fomula dengan nilai total pembobotan rata-rata tertinggi dari setiap panelis.

Formula terbaik berdasarkan nilai total pembobotan ini akan dikonfirmasi ulang dengan menentukan formula yang memperoleh nilai tertinggi untuk uji rating hedonik terhadap parameter oveall. Analisis kimia dilakukan pada formula terbaik yang dihasilkan dari evaluasi sensori. Skala yang digunakan dalam uji rating hedonik adalah skala 1 (tidak suka) sampai 5 (suka) dengan nilai 3 sebagai rasa antara (netral). Uji ranking hedonik dilakukan untuk mengetahui formula yang paling disukai.

Panelis yang digunakan dalam uji rating, uji pembobotan, ujiranking hedonik merupakan panelis tidak terlatih sejumlah 40 orang. Rekruitmen panelis dilakukan secara acak dengan prosedur pengambilan data CLT (Central Location Test). Data yang didapatkan dari uji rating dan uji pembobotan kemudian dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Jika hasil uji menyatakan terdapat signifikansi perbedaan pada taraf 0.05, maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan. Data dari uji ranking kemudian dianalisis menggunakan Friedman Test. Semua data yang didapatkan dari analisis ini dievaluasi dengan menggunakan SPSS 16.0.

Analisis kimia dan nilai biologis hanya dilakukan pada formula brownies kukus TPM terbaik hasil evaluasi sensori dan brownies kukus kontrol. Brownies kukus kontrol adalah brownies kukus yang tidak disubstitusi dengan tepung pisang modifikasi. Analisis kimia yang dilakukan diantaranya adalah analisis kadar pati (AOAC 1995) dan proksimat (AOAC 1995), sedangkan analisis nilai biologis diantaranya adalah analisis kadar serat pangan (AOAC 1995), kadar pati resisten in vitro (Goni et al 1997), dan daya cerna pati in vitro (Anderson et al. 2002).

C.

METODE ANALISIS

1.

Analisis Profil Mikroflora

Analisis mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari uji profil mikroflora selama fermentasi pisang 0 dan 24 jam yang meliputi bakteri mesofilik, kapang khamir dan bakteri asam laktat (Bolognani et al. 2001).

2.

Analisis Kimia dan Nilai Biologis

a. Kadar Pati (AOAC 1995)

(33)

18 Analisis kadar pati dengan metode hidrolisis langsung oleh asam (Direct Acid Hydrolysis). Selanjutnya sebanyak 0.5 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Lalu ditambahkan 25 ml akuades dan 5 ml HCl 25%. Erlenmeyer ditutup dan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 100°C. setelah dingin larutan yang terbentuk dinetralkan dengan NaOH 25%, disaring, dan ditepatkan hingga 100 ml. Penentuan kadar pati dinyatakan sebagai glukosa pada filtrat. Total glukosa dianalisis dengan menggunakan metode DNS.

Sebanyak 1 ml sampel (telah dihidrolisis dengan asam, dinetralkan, disaring dan ditepatkan hingga volume 100 ml) dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi DNS. Setelah itu dipanaskan dalam waterbath pada suhu 100°C selama 10 menit lalu didinginkan pada suhu ruang. Sampel kemudian diencerkan dengan penambahan 10 ml akuades dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Akuades digunakan sebagai blanko. Kurva standar dibuat menggunakan larutan glukosa standar, yaitu 5000 ppm sebagai larutan induk. Larutan kerja yang digunakan sebagai standar adalah 500 ppl, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm, 3500 ppm, 4000 ppm, 4500 ppm, dan 5000 ppm. Persen pati diperoleh dengan mengalikan persen glukosa dengan faktor koreksi 0.9.

% Pat i = A S x

FP

W x 100 x 0.9

Keterangan :

A = Absorbansi sampel

S = Slope atau kemiringan kurva Fp = Faktor Pengenceran W = Berat sampel (g)

b.

Kadar Pati Resisten (Goni

et al.

1998)

Sebanyak 100 mg sampel kering yang telah bebas lemak dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, kemudian ditambahkan 10 ml buffer KCl-HCl pH 1.5 (penepatan pH menggunakan HCl 2M atau NaOH 0.5M) dan dihomogenkan. Larutan pepsin (1 g pepsin/10 ml buffer KCl-HCl) ditambahkan se

Gambar

Tabel 3. Formulasi brownies kukus tepung pisang modifikasi Bahan % Substitusi Tepung Pisang Modifikasi (TPM)
Gambar 3.  Diagram alir pembuatan brownies kukus tepung pisang modifikasi (TPM) (Modifikasi Febrial 2009)
Tabel 4. Deskripsi warna berdasarkan °Hue
Gambar 5.  Pengaruh proses fermentasi spontan dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati resisten tepung pisang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai rata-rata kadar protein mie kering dengan perlakuan substitusi tepung kulit pisang kepok pada tepung terigu dan penambahan telur. Perlakuan substitusi tepung kulit pisang

Bagaimanakah cara pemanasan yang dilakukan pada saat pengujian kadar glukosa hasil hidrolisa tepung pisang klutuk?. Jawaban :

Perbandingan tepung jantung pisang, tepung kacang hijau, dengan tepung terigu memberi pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar

Irisan pisang difermentasi dengan menggunakan starter selama 12 dan 24 jam yang selanjutnya diberi proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan untuk menghasilkan tepung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan brownies pisang memberikan hasil yang optimal pada perlakuan penggunaan tepung pisang 75% dengan kadar serat kasar 1.88%, kadar air

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, maka masalah yang dapat diidentifikasikan adalah bagaimana pengaruh perbandingan tepung kulit pisang raja dengan tepung

Secara umum terjadi peningkatan kadar pati resisten secara signifikan (p&lt;0,05) pada tepung ubi jalar ungu termodifikasi akibat perlakuan pemanasan

TUGAS AKHIR SUBSTITUSI TEPUNG KULIT PISANG PADA PRODUCT BROWNIES KUKUS Diajukan untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Ahli Madya Diploma III Program Studi Perhotelan Politeknik