• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pati Resisten dan Sifat Fungsional Tepung Pisang Tanduk yang Dimodifikasi Melalui Fermentasi Bakteri Asam Laktat dan Pemanasan Otoklaf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pati Resisten dan Sifat Fungsional Tepung Pisang Tanduk yang Dimodifikasi Melalui Fermentasi Bakteri Asam Laktat dan Pemanasan Otoklaf"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

% & ' & "# ( $ ! ) ) )*

! " "# % + %

, - & ' .,./01 .23 "

4 % # 4 % % % %

% 1 % + ,

-. 5-.1 , 5 -.1 6 5 . & '1 %

" % 7, % % 4 "

% % % % " %" " 1 81

" %# & # " & ' % '

, - % . 5 .1 , 5 .1 6 5 .

" 1 " ' " #

& ' ' " ' #

4 .6 ,,9 ! + %

, - , 5 . 4 "# & '

% " 4 ' 4 ''

% " % ' " % ' " "

" & " ' 4 1 # " .2 :.9 4

4 ' # % + ;. -<

(3)
(4)

' + - ? ' ( 0 =1 #

' ( 0 =1 # # $2 $ %

' ( ' ( ' @ 03 + 2 ' ( ' 0

? ' ( ' ( 9 ?

( # $ ' ( 0 =1 # 2 # $ ' ( 0 =1 # 2

# $ ' ( 0 =1 & 2 # $2 0>

' ( ( 3 ? # $ :

+ ' ' 2 + # #

' ( ' ' : + <

' ( !2 + < '

' * ' (@ ' + ' !

' ( ' ( ' '

' # + (

( 2 '

2 '

! !

;- 3A! ' # ! : '

' (@ # ' ( ' 2 +

+ ' ' (

(5)
(6)

" # $ %

& '

& ()*+,+*-*

! '

.

/ ! / / " $ 0 / /

.

! / / . 0 / /

#

!

.

! / / ! 1 0 / /

! '

/ ! / / . #/ & 0 / /

(7)
(8)
(9)

$ ! % $! & '

( ! ) $ * + , !

!

!

& (

(10)

1

>

7

7

. (

&

"

/ 0 " ! "

3 0 *

(

(11)

0 ) 1 ( +

) . )

7 8 1 %7 '

) 3 * % )*' !

! ! 1 " ! ! " $

/

" 6

! ( ! ! ! % '

9 3 ! ! ! 1 7

* "

" ! 0 !

(12)
(13)

$ ! % $! & '

( ! ) $ * + , !

!

!

& (

(14)

1

>

7

7

. (

&

"

/ 0 " ! "

3 0 *

(

(15)

0 ) 1 ( +

) . )

7 8 1 %7 '

) 3 * % )*' !

! ! 1 " ! ! " $

/

" 6

! ( ! ! ! % '

9 3 ! ! ! 1 7

* "

" ! 0 !

(16)

# $ % & '

' () ! ! '

* + ,

!

-! -!

-# . ! ! /

' & ! ! 0

- + & . )

1 + 2

2 % ! /

# 3

# 4 % ( 0

# " % 0

# # )%) )

# ' )% ! ! 1

# - 5 5).

#-# 1 ! !

#-' + +

' ,) & ! ! %

6 7 #1

' , . " % ' #/

' # ! ! ! '0

' # * " ! '

(17)

' # ' ! ! ! ! 8 " ! !

!

'-' '-' ! ! ! % . ( ! ) , 9 (

6 % '7 % !

3 ) & ':

' ' , % ! ! ':

' ' , %

-' -' # , % )! -#

' ' ' 8 9 ! 5 -1

' ' - ) ! ! -/

' ' 1 ( -:

' - + & ! ) ( ! )% & ! 6 7 1

' - ; . ! ! 1

' - & % % ! . ) 1#

' - # ! . ) " % ( 8 . .

1-' - 1-' , % + 12

' - - , % 9 ( 9 6 7 % . 9

6 7 1/

' - 1 % ! ! 5 1:

- , + +

- , ! ( 2

- + 2

+ , 2#

(18)
(19)

* 1 ,,

) $ )

,&

) $ )

5 6 5 6 ,+

# &%

) $ )

(20)

dengan pembesaran 1000 x ... 81

2 Tampilan output software API Test CHL 50 kik dan

2B4 ... 82

3 Tabel pengukuran berat, panjang, dan diameter pisang tanduk ... 83

4 Kondisi fermentasi irisan pisang tanduk oleh kultur campuran

kik dan 2B4 ... 83

5 Penampakan irisan pisang tanduk setelah fermentasi dan perlakuan

pemanasan otoklaf ... 84

6 Penampakan tepung pisang dan tepung pisang modifikasi ... 84

7 Tabel kurva pertumbuhan kik dan

2B4... 85

8 Tabel kurva pertumbuhan kik dan

2B4 berdasarkan densitas optik (λ = 600 nm) ... 85

9 Tabel pengukuran berat, panjang, dan diameter pisang tanduk ... 86

10a Tabel pengaruh lama fermentasi terhadap jumlah bakteri asam laktat

pada cairan fermentasi (Log cfu/ml) ... 87

10b Tabel analisis deskriptif pengaruh lama fermentasi terhadap jumlah

bakteri asam laktat pada cairan fermentasi (Log cfu/ml) ... 87

10c Tabel analisis ragam pengaruh lama fermentasi terhadap jumlah

bakteri asam laktat pada cairan fermentasi (Log cfu/ml) ... 87

10d Tabel uji lanjut Duncan pengaruh lama fermentasi terhadap jumlah

bakteri asam laktat pada cairan fermentasi (Log cfu/ml) ... 88

11a Tabel pengaruh lama fermentasi terhadap total asam terlarut (TAT)

pada cairan fermentasi (%) ... 88

11b Tabel analisis deskriptif pengaruh lama fermentasi terhadap total

asam terlarut (TAT) pada cairan fermentasi (%) ... 88

11c Tabel analisis ragam pengaruh lama fermentasi terhadap total asam

terlarut (TAT) pada cairan fermentasi (%) ... 89

11d Tabel uji lanjut Duncan pengaruh lama fermentasi terhadap total asam terlarut (TAT) pada cairan fermentasi (%) ... 89

12a Tabel pengaruh lama fermentasi terhadap pH pada cairan fermentasi 89

12b Tabel analisis deskriptif pengaruh lama fermentasi terhadap pada

(21)

cairan fermentasi ... 90

12d Tabel uji lanjut Duncan pengaruh lama fermentasi terhadap pH pada

cairan fermentasi ... 90

13a Tabel pengaruh lama fermentasi terhadap amilase ekstraseluler yang

dihasilkan oleh kultur campuran pada cairan fermentasi (unit/ml) ... 91

13b Tabel Analisis deskriptif pengaruh lama fermentasi terhadap amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh kultur campuran pada cairan

fermentasi (unit/ml) ... 91

13c Tabel Analisis ragam pengaruh lama fermentasi terhadap amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh kultur campuran pada cairan

fermentasi (unit/ml) ... 91

13d Tabel uji lanjut Duncan pengaruh lama fermentasi terhadap amilase ekstraseluler yang dihasilkan oleh kultur campuran pada cairan

fermentasi (unit/ml) ... 92

14 Tabel kadar air tepung pisang (% bk) ... 92

15a Tabel pengaruh rasio kik dan 2B4 dan

pemanasan otoklaf terhadap kadar pati resisten tepung pisang

(% bk) ... 93

15b Tabel analisis deskriptif pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati

resisten tepung pisang (% bk) ... 94

15c Tabel analisis ragam pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati

resisten tepung pisang (% bk) ... 94

16a Tabel pengaruh rasio kik dan 2B4 dan

pemanasan otoklaf terhadap kadar pati tepung pisang (% bk) ... 95

16b Tabel analisis deskriptif pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati

tepung pisang (% bk) ... 96

16c Tabel analisis ragam pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap kadar pati

tepung pisang (% bk) ... 96

17a Tabel pengaruh rasio kik dan 2B4 dan

pemanasan otoklaf terhadap kadar amilosa tepung pisang (% bk) ... 97

17b Tabel analisis deskriptif pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap kadar amilosa

(22)

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap kadar amilosa

tepung pisang (% bk) ... 98

17d Tabel uji lanjut Duncan pengaruh rasio kik dan

2B4 terhadap kadar amilosa tepung pisang (% bk) ... 99

18a Tabel pengaruh rasio kik dan 2B4 dan

pemanasan otoklaf terhadap daya cerna pati tepung pisang secara

(% bk) ... 99

18b Tabel analisis deskriptif pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap daya cerna pati

tepung pisang secara (% bk) ... 100

18c Tabel analisis ragam pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap daya cerna pati

tepung pisang secara (% bk) ... 100

18d Tabel uji lanjut Duncan pengaruh rasio kik dan

2B4 terhadap daya cerna pati tepung pisang secara

(% bk) ... 101

19a Tabel pengaruh rasio kik dan 2B4 dan

pemanasan otoklaf terhadap total asam tertitrasi (TAT) tepung

pisang (% bk) ... 101

19b Tabel analisis deskriptif pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap total asam

tertitrasi (TAT) tepung pisang (% bk) ... 102

19c Tabel analisis ragam pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap total asam

tertitrasi (TAT) tepung pisang (% bk) ... 102

20a Tabel pengaruh rasio kik dan 2B4 dan

pemanasan otoklaf terhadap pH tepung pisang ... 103

20b Tabel analisis deskriptif pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap pH tepung

pisang ... 104

20c Tabel analisis ragam pengaruh rasio kik dan

2B4 dan pemanasan otoklaf terhadap pH tepung

pisang ... 104

20d Tabel uji lanjut Duncan pengaruh rasio kik dan

2B4 terhadap pH tepung pisang ... 105

21a Tabel pengaruh fermentasi terhadap serat pangan larut, serat pangan

tidak larut, dan total serat pangan tepung pisang modifikasi (% bk) ... 105

21b Tabel uji pengaruh fermentasi terhadap serat pangan larut

(23)

larut tepung pisang modifikasi (% bk) ... 106

21d Tabel uji pengaruh fermentasi terhadap total serat pangan

tepung pisang modifikasi (% bk) ... 106

22a Tabel pengaruh fermentasi terhadap pati cepat cerna ( ) dan pati

lambat cerna ( ) tepung pisang modifikasi (% bk) ... 106

22b Tabel uji pengaruh fermentasi terhadap pati cepat cerna

( ) tepung pisang modifikasi (% bk) ... 107

22c Tabel uji pengaruh fermentasi terhadap pati lambat cerna

( ) tepung pisang modifikasi (% bk) ... 107

23 Tabel pengaruh fermentasi terhadap hidrolisis pati tepung pisang

modifikasi ... 108

24a Tabel pengaruh fermentasi terhadap nilai C ekuilibrium (C∞),

konstanta kinetik (k), indeks hidrolisis (IH₉₀), dan estimasi indeks

glikemik secara tepung pisang modifikasi (% bk)... 109

24b Tabel uji pengaruh fermentasi terhadap estimasi indeks

glikemik secara tepung pisang modifikasi (% bk) ... 109

25 Tabel jumlah kultur awal bakteri asam laktat dan

( ) pada pengujian prebiotik ... 109

26 Tabel jumlah kultur bakteri asam laktat setelah 24 jam pada media yang

mengandung TPM dan FOS ... 110

27 Tabel jumlah kultur ( ) setelah 24 jam

pada media yang mengandung TPM dan FOS ... 110

(24)

!

"

!

# $ % !

$ %% !

& ! $ %%%

%' !

( )* ( + + ,

-( .

$ /

0

(25)

2 - /

3 !

+

)

%%%

4 5 ! 677/

8*

#* , %%%

1

1 # %%%

9 /

,: ! ; )

! ; $ 8 < )

%%% %' = (9₃

, : =

> / ?

! 7 6:6, = ? !

)

!

? ?

(26)

(

6 6B9 6

6 /6=

6) = ?

? %%%

C9 6

67 8#= 0 ! : @ / 5 (

) %%%

6 ;3 6 6B9

6 8 B9 )

, ;6

8 B9 D & &: ,

0E #

& ! &

(? *

? 7 0

A

!

(

$

? !

?

6 /6= 0 ! : @ /

(27)

!

5

1# 6 6B9 0

6 6B9

! 5

%D

$ F

6

! 1#

!

1# 6 6B9

8

! 103

! "#

6 A 1#

? ! 103

8 $

# $

(28)

cerna (sekitar 30% dari bagian yang dapat dimakan). Pisang banyak mengandung

komponen karbohidrat terutama pati, sehingga pisang sering ditepungkan atau

terkadang diambil patinya. Pisang memiliki rasa yang sangat enak dan dapat

mengenyangkan, sebagai sumber pro vitamin A, mengandung vitamin C sekitar

20 mg/100g bobot segar, dan vitamin B. Nilai energi pisang sekitar 136 kalori

yang secara keseluruhan berasal dari karbohidrat (Wikipedia 2007).

Pisang tua mengandung 70 80% pati berdasarkan berat kering. Pati pisang

alami bersifat resisten terhadap seranganαamilase dan glukoamilase. Pisang juga

mengandung serat pangan, terutama hemiselulosa dan pektik polisakarida (Zhang

. 2005).

Menurut Nunez Santiago (2004) pati pisang mempunyai ukuran

diameter rata rata 24.31 2m untuk pati yang tidak dimasak dan 59 – 66 2m untuk

pati yang dimasak. Tingkat kematangan pisang juga mempengaruhi komposisi

kimia daging buah seperti kadar pati, gula reduksi, sukrosa dan suhu gelatinisasi

(Zhang . 2005). Pisang mengandung kalium tinggi, walaupun kandungan besi

dan natriumnya rendah. Kandungan protein pisang sekitar 1% dan lemak 0.3%

dari bagian yang dapat dimakan (Rubatzky dan Yamaguchi 1998).

Pati adalah homopolimer glukosa dengan ikatan α glikosidik. Sifat pati

tergantung dari panjang rantai C nya, serta rantai molekul (bercabang atau lurus).

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Amilosa

merupakan fraksi terlarut dan mempunyai struktur lurus dengan ikatan α (1.4) D

glukosa. Amilopektin adalah fraksi tidak larut dan mempunyai struktur bercabang

dengan ikatan α (1.6) D glukosa (Winarno 2002). Amilosa dan amilopektin

(29)

Amilosa memiliki derajat polimerisasi 6000 dengan berat molekul 105

sampai 106 g/mol. Rantainya dapat dengan mudah membentuk rantai heliks

tunggal atau ganda. Amilopektin memiliki derajat polimerisasi rata rata 2 juta

dengan berat molekul 107sampai 109g/mol. Panjang rantai terdiri dari 20 25 unit

glukosa antara setiap percabangan (Sajilata . 2006).

Pati merupakan suatu bentuk utama karbohidrat yang dikonsumsi. Pati

adalah polisakarida yang terbentuk dari sejumlah molekul glukosa yang berikatan

bersama dan membentuk karbohidrat kompleks. Umumnya, pati dapat diurai oleh

enzim pencernaan dalam usus halus menjadi molekul glukosa. Glukosa kemudian

diserap ke dalam darah dan digunakan untuk menghasilkan energi untuk tubuh

(British Nutrition Foundation 2005).

Pati dihidrolisa di dalam saluran pencernaan oleh amilase yang disekresikan

ke dalam saluran pencernaan. Cairan air liur dan pankreas mengandung α amilase

yang mampu menghidrolisa ikatan α (1.4) amilopektin menghasilkan D glukosa,

sejumlah kecil maltosa dan suatu inti yang tahan hidrolisa (limit dekstrin). Limit

dekstrin tidak dihidrolisa lebih jauh oleh α amilase (tidak dapat memecahkan

ikatan α (1.6). Enzim yang berperan dalam pemecahan ikatan ini adalah α (1.6)

glukosidase. Aktivitas gabungan α amilase dan α (1.6) glukosidase dapat

menguraikan amilopektin secara sempurna menjadi glukosa dan sejumlah kecil

maltosa (Lehninger 1993).

Pati dapat dibedakan berdasarkan difraksi sinar X, berdasarkan aktivitas

enzim, dan berdasarkan karakteristik nutrisi. Klasifikasi pati berdasarkan aktivitas

enzim terbagi atas tiga yaitu pati yang dicerna dengan cepat (

pati yang dicerna dengan lambat ( dan pati

resisten. Klasifikasi berdasarkan karakteristik nutrisi, pati terbagi atas dua jenis

yaitu pati yang dapat dicerna dan pati resisten (tidak dapat dicerna) (Sajilata .

2006).

Pati resisten dianggap sebagai jumlah keseluruhan pati dan produk

degradasi pati yang tidak dapat diserap dalam saluran pencernaan (usus

(30)

digolongkan sebagai sumber serat pangan (British Nutrition Foundation 2005).

Pati resisten memiliki tiga peranan yaitu sebagai serat pangan, serat pangan yang

tidak larut, dan sebagian berperan sebagai serat pangan yang dapat larut

(Wikipedia 2008).

Pati resisten tidak dapat diserap dalam tubuh disebabkan oleh beberapa

faktor. Pati secara fisik memiliki ketahanan terhadap enzim saluran pencernaan,

granula pati memiliki struktur yang bersusun sehingga mencegah enzim

pencernaan untuk mendegradasinya. Ketika pati dipanaskan, pati akan

tergelatinisasi dan menjadi mudah untuk dicerna. Namun, jika gel pati

didinginkan, kristal pati terbentuk dalam makanan dan bersifat resisten terhadap

enzim pencernaan. Pati juga tidak dapat diserap diakibatkan diberi perlakuan

kimia sehingga tidak dapat dipecah oleh enzim pencernaan (eterisasi, esterisasi,

dan ikatan silang) (British Nutrition Foundation 2005).

of Australia, merekomendasikan

konsumsi sebanyak 20 gram setiap hari untuk memperoleh manfaat kesehatan.

Negara berkembang mengonsumsi pati resisten berkisar 3 7 gram per hari.

Masyarakat Australia mengonsumsi pati resisten berkisar 5 7 gram per hari,

sedangkan di U.S rata rata berkisar 4,9 gram per hari (Oldways 2007).

Klasifikasi pati resisten berdasarkan mekanisme dan struktur yang

berkontribusi terhadap ketahanannya dalam enzim pencernaan. Pati resisten tipe I,

resisten dalam saluran pencernaan disebabkan pati ini dilindungi dari enzim

pencernaan oleh komponen lain yang secara normal ada dalam matriks pati. Pati

resisten tipe II, resisten terhadap saluran pencernaan diakibatkan struktur granula

dan arsitektur molekulnya. Pati resisten tipe III, sifat resistennya diakibatkan

bentuknya tidak bergranula (struktur kristal), pati ini terutama dihasilkan selama

proses pemasakan dan pendinginan pati selama proses pengolahan makanan (pati

terlepas dari struktur granulanya dan mungkin rantai glukosanya membentuk

kristal atau retrogradasi sehingga sulit untuk dicerna). Pati resisten tipe IV, sifat

resistennya diakibatkan ikatan kimia yang tidak dapat dicerna oleh enzim

pencernaan (Englyst . 1992; Onyango . 2006; Okoniewska dan Witwer

(31)

Faktor faktor yang mempengaruhi pembentukan pati resisten adalah sifat

alami pati (kristalinitas pati, struktur granula, rasio amilosa dan amilopektin,

retrogradasi amilosa, pengaruh panjang rantai amilosa, linearisasi amilopektin),

panas dan kelembaban, interaksi pati dengan komponen lain (protein, serat

pangan, inhibitor enzim, ion, gula, lipid atau emulsifier), kondisi pengolahan dan

proses panas (Sajilata . 2006).

Kadar pati resisten dipengaruhi oleh rasio amilosa : amilopektin. Kadar

amilosa yang tinggi berkorelasi positif dengan kadar pati resisten yang dihasilkan.

Makanan yang mengandung amilosa tinggi (tepung jagung dengan kadar amilosa

70%) memiliki kadar pati resisten lebih tinggi, yaitu 20 g/100 g berat kering

dibandingkan tepung jagung yang mengandung amilosa 25%, yaitu 3 g/100 g

berat kering (Sajilata . 2006). Pembentukan pati resisten tipe III

dipertimbangkan sebagai proses kristalisasi amilosa (Eerlingan dan Delcour 1995;

Thompson 2000). Sievert dan Pomeranz (1990) melaporkan peningkatan kadar

amilosa pada pati dihubungkan dengan peningkatan entalpi gelatinisasi pati.

Menurut Sajilata . (2006) panjang rantai amilosa tidak berpengaruh

terhadap derajat polimerisasi (DPn) pati resisten yang dihasilkan. DPn berkisar

19 29 yang berasal dari panjang rantai amilosa yang berbeda (DPn amilosa

berkisar 40 610). Hal ini menunjukkan pati resisten mungkin dibentuk oleh

aggregasi rantai amilosa dengan residu 24 unit glukosa. Thompson (2000)

melaporkan panjang rantai amilosa dengan DPn 260 meningkatkan kadar pati

resisten, yaitu 28%. Panjang rantai amilosa dengan DPndi atas 260 menghasilkan

kadar pati resisten kurang dari 28%. Eerlingan dan Delcour (1995) melaporkan

fraksi amilosa dengan DPn kurang dari 100 memiliki konsentrasi rantai relatif

tinggi dan tidak memiliki dimensi untuk membentuk struktur kristal. Hal ini

mengakibatkan kadar pati resisten rendah. Menurut Thompson (2000) amilosa

dengan DPn lebih tinggi dari 300 tidak mudah untuk mengkristal sehingga

membutuhkan rantai polimer lurus untuk membentuk kritalitas resisten.

Kandungan protein dan lemak pada pati berpengaruh terhadap suhu

gelatinisasi pati dan kadar pati resisten yang dihasilkan. Kadar pati resisten pati

(32)

kering. Setelah dilakukan hidrolisis protein dan lemak, kadar pati resisten

meningkat secara signifikan. Kadar pati resisten pati beras dan pati ragi setelah

hidrolisis protein meningkat menjadi 0.14 g/100 g berat kering dan 0.04 g/100 g

berat kering. Kadar pati resisten pati beras dan pati ragi setelah hidrolisis lemak

menggunakan berbagai solven berkisar 0.14 0.22 g/100 g berat kering dan 0.05

0.07 g/100 g berat kering (Mangala . 1999).

Kandungan air dari pati berpengaruh terhadap pati resisten yang dihasilkan.

Kadar pati resisten maksimal diperoleh ketika rasio pati : air (1 : 3.5) (Eerlingan

dan Delcour 1995; Sajilata . 2006). Kadar air pati 18 % meningkatkan level

derajat kristalinitas pati, sedangkan kadar air pati 27 % menyebabkan pati lebih

mudah didegradasi oleh enzim (Sajilata . 2006).

Menurut Mangala . (1999) suhu juga berpengaruh terhadap kadar pati

resisten yang dihasilkan. Suhu autoklaf meningkatkan kadar pati resisten pati

beras dan pati ragi setelah diberi perlakuan hidrolisis protein dan lemak. Kadar

pati resisten pati beras dan pati ragi setelah hidrolisis protein dan diotoklaf adalah

0.15 g/100 g berat kering dan 0.10 g/100 g berat kering. Kadar pati resisten pati

beras dan pati ragi setelah hidrolisis lemak menggunakan berbagai solven dan

diotoklaf berkisar 0.39 0.89 g/100 g berat kering dan 0.12 0.15 g/100 g berat

kering. Menurut Onyango . (2006) waktu pemanasan pada suhu autoklaf

berpengaruh terhadap pati resisten tipe III yang dihasilkan dari pati singkong

setelah disuspensi dengan 10 mmol/L asam laktat. Kadar pati resisten tipe III

tertinggi diperoleh pada suhu autoklaf selama 45 menit. Hal ini mengindikasikan

efek hidrolisis panas dan asam berlanjut pada menit ke 45.

Menurut Onyango . (2006) suhu dan waktu retrogradasi secara

signifikan berpengaruh terhadap kadar pati resisten tipe III yang dihasilkan, tetapi

interaksi antara suhu dan waktu retrogradasi tidak berpengaruh terhadap kadar

pati resisten tipe III. Kadar pati resisten tipe III tertinggi dihasilkan dari pati

singkong yang telah disuspensi 10 mmol/L asam laktat dengan suhu dan waktu

retrogradasi 60⁰C selama 48 jam, yaitu 9.97 g/100 g berat kering. Menurut

Schmiedl . (2000) waktu retrogradasi berpengaruh terhadap entalpi (∆H)

retrogradasi dan kadar pati resisten tipe III yang dihasilkan. Pati yang

(33)

lebih tinggi dibandingkan pati yang diretrogradasi selama 24 jam. ∆H pati yang

diretrogradasi selama 2 jam adalah 28.7 mJ/mg dengan pati resisten tipe III 93%,

sedangkan ∆H pati yang diretrogradasi selama 24 jam adalah 10.3 mJ/mg dengan

pati resisten tipe III 56%.

Linierisasi amilopektin menggunakan asam organik (asam laktat) dan enzim

pullulanase secara signifikan meningkatkan pembentukan pati resisten selama

pemanasan pada suhu otoklaf (Sajilata . 2006). Menurut Onyango .

(2006) pati resisten tipe III tertinggi dihasilkan dari konsentrasi 10 mmol/L asam

laktat dibandingkan konsentrasi 1 mmol/L asam laktat dan 100 mmol/L asam

laktat.

Bakteri penghasil asam laktat (BAL) dapat tumbuh pada pati sagu yang

difermentasi secara spontan. BAL mampu menghasilkan beberapa jenis asam

organik. Asam organik yang dihasilkan terutama asam asetat, asam laktat, dan

asam n butirat. Asam laktat meningkat secara signifikan pada hari ke 23

fermentasi, yaitu 37 mM (Greenhill . 2008).! mampu

menghasilkan asam laktat dari metabolisme glukosa (Axelsson 2004).

! A6 yang diisolasi dari singkong mampu menghasilkan enzim

amilolitik, dan secara efisien memiliki kemampuan untuk menghidrolisis pati

secara parsial (Nguyen . 2007; Ouattara . 2009).! L137 yang

diisolasi dari makanan fermentasi tradisional (ikan dan nasi) menghasilkan enzim

amilolitik dan pullulanase (amilopullulanase) yang mampu menghidrolisis ikatan

amilosa dan amilopektin (Kim . 2008; Kim l. 2009). Sobowale .

(2007) melaporkan tepung " " yang diperoleh melalui proses fermentasi tepung

singkong, baik fermentasi tradisional maupun menggunakan kultur !

SL 14 dan ! SL 19 meningkatkan kadar amilosa tepung " "

dibandingkan kontrol (tanpa fermentasi). Kadar amilosa tepung yang difermentasi

berkisar 21,10 21,30 % sedangkan kontrol 19,80%.

Pati resisten dalam usus halus menurunkan respon glikemik dan insulemik

pada manusia penderita diabetes, penderita hiperinsulemik, dan penderita

(34)

penambahan tepung pisang mentah yang mengandung pati resisten tipe II dalam

makanan tidak mempengaruhi penyerapan usus halus terhadap komponen nutrisi

atau jumlah sterol.

Pati resisten dapat mencapai usus besar (kolon) tanpa mengalami perubahan

dan berkontribusi sebagai serat pangan. Pati resisten dapat difermentasi oleh

mikroflora yang secara alami terdapat dalam kolon untuk menghasilkan

sejumlah kecil karbon dioksida, metana, dan hidrogen. Fermentasi pati resisten

dalam usus besar oleh mikroorganisme mampu meningkatkan massa kotoran.

Peningkatan massa kotoran mempengaruhi berbagai agen genotoksik dalam usus

besar, sehingga mereduksi kerusakan DNA dalam sel kolon (British Nutrition

Foundation 2005). Pati resisten secara selektif menstimulasi pertumbuhan atau

aktivitas bakteri menguntungkan seperti # " dan !

(Okoniewska dan Witwer 2007).

Pati resisten secara cepat difermentasi dalam sekum (bagian usus besar) dan

kolon proksimal. Pati resisten dapat secara efektif menghasilkan asam lemak

rantai pendek (butirat) dan menurunkan amoniak yang bersifat toksik melalui

fermentasi dalam kolon proksimal (Govers . 1999), menurunkan jumlah asam

empedu sekunder, memperbaiki saluran pencernaan, dan meningkatkan

penyerapan mikronutrien (magnesium dan kalsium) dalam kolon (British

Nutrition Foundation 2005). Asam lemak ini menurunkan pH kolon, menghambat

pertumbuhan bakteri patogen, mencegah kerusakan DNA akibat mengkonsumsi

protein dalam jumlah tinggi, dan memulihkan keseimbangan usus dari

ketidakseimbangan yang disebabkan oleh bakteri patogen (Okoniewska dan

Witwer 2007).

Suplemen serat pangan pati resisten berpotensi memperbaiki sensitivitas

hormon insulin (Robertson . 2005). So . (2007) melaporkan pemberian

pati resisten pada tikus secara signifikan memberi dampak pada jaringan

adiposa, morfologi dan metabolisme adiposa, metabolisme glukosa dan

insulin, mempengaruhi regulasi nafsu makan yang disebabkan oleh perubahan

aktivitas neuronal dalam pusat pengatur nafsu makan hipotalamik yang

(35)

resisten meningkatkan rasa kenyang karena mampu meningkatkan ekspresi

genetik penstimulasi rasa kenyang yang dihubungkan pada hormon GLP 1 dan

PYY dalam usus besar.

Pati resisten tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi insulin

postprandial, glukosa, triasilgliserol, dan asam lemak bebas dalam darah (Higgins

. 2004), dan tidak mengubah serum lipid, urea, H2, dan CH4 dalam serum

(Jenkins . 1998). Menurut Higgins . (2006) pati resisten secara signifikan

mencegah berat badan dalam jangka waktu yang lama. Konsumsi pati resisten tipe

III mencegah pertumbuhan sel tumor, menurunkan sejumlah proliferasi sel,

meningkatkan apoptosis, menginduksi protein kinase C δ (PKC δ), menginduksi

ekspresi protein $ (HSP 25), tetapi menghambat glutation peroksidase

gastrointestinal (GI GPx), dan mencegah karsinogenesis kolon (Marinovic .

2006).

Reduksi respon glikemik ditingkatkan oleh kombinasi pati resisten dan serat

pangan yang larut. Konsumsi makanan yang mengandung serat pangan ini

memperbaiki metabolisme glukosa (Behall . 2006). Korelasi respon akut

apoptosis terhadap karsinogen genotoksik tidak bergantung pada kelompok serat

pangan tetapi dipengaruhi oleh pati resisten. Perubahan jumlah asupan pati

resisten mampu mengubah aktivitas fermentasi dalam kolon (Le leu . 2003).

Pati resisten memberikan efek yang signifikan terhadap kesehatan kolon pada

manusia dan memudahkan defekasi (Phillips . 1995).

Pati resisten mampu mereduksi kehilangan cairan fekal dan memperpendek

durasi diare pada anak remaja dan orang dewasa yang menderita kolera

(Ramakrishna . 2000). Menurut Ramakrishna . (2008) pati resisten

mampu mempercepat pemulihan diare, mereduksi pertumbuhan %

penyebab kolera.

Menurut Wells . (2008) prebiotik didefenisikan sebagai ingridien

makanan yang tidak dapat diserap dalam usus halus dan bermanfaat bagi

inang melalui stimulasi secara selektif pertumbuhan dan aktivitas sejumlah

(36)

dan Abrams (2008) prebiotik adalah komponen ingridien makanan yang tidak

dapat diserap dalam usus halus, tetapi dapat difermentasi oleh mikroflora dalam

usus besar menjadi asam lemak berantai pendek ( &') yang bersifat volatil.

Kandidat prebiotik diharapkan tidak dihidrolisis atau diserap pada bagian

atas saluran gastrointestinal dan secara selektif difermentasi oleh satu atau

sejumlah bakteri komensial yang menguntungkan pada kolon misalnya

# " dan ! (Wells . 2008). Menurut Roberfroid (2008)

klasifikasi ingridien makanan sebagai prebiotik antara lain : tahan terhadap asam

lambung, tidak dihidrolisis oleh enzim mamalia, tidak diserap pada bagian atas

saluran gastrointestinal, difermentasi oleh mikroflora usus, secara selektif

menstimulasi pertumbuhan atau aktivitas bakteri intestinal yang berpotensial dan

dihubungkan dengan kesehatan.

Menurut ISAPP (2008) suatu “prebiotik” dinyatakan bukan prebiotik jika

dapat didegradasi oleh asam lambung hewan atau manusia, tidak bersifat selektif

(hanya menumbuhkan sejumlah bakteri yang menguntungkan bagi kesehatan

bukan sejumlah besar bakteri yang merugikan bagi kesehatan), hanya diuji dalam

laboratorium dan hewan belum pada manusia, mungkin mengandung senyawa

yang mempengaruhi sifat prebiotiknya, dan belum diatur penggunaannya dalam

jumlah yang rendah untuk memberikan manfaat bagi kesehatan.

Manning . (2004) melaporkan banyak komponen serat yang memiliki

potensi sebagai prebiotik, tetapi sumber prebiotik yang paling banyak

dikembangkan berasal dari oligosakarida yang tidak dapat dihidrolisis dalam

saluran pencernaan seperti fruktooligosakarida (FOS), transgalaktooligosakarida

(TOS), isomaltooligosakarida (IMO), xylooligosakarida (XOS), soyoligosakarida

(SOS), glukooligosakarida (GOS), dan laktosukrosa. Menurut Grajek . (2005)

lactulosa, galaktoligosakarida, fruktooligosakarida, inulin dan hidrolisatnya,

maltooligosakarida, dan pati resisten merupakan prebiotik yang umumnya

digunakan dalam nutrisi manusia.

Oligosakarida merupakan gula yang terdiri antara 2 dan 20 unit sakarida.

Oligosakarida adalah rantai pendek polisakarida. Beberapa terdapat secara

alami pada buah buahan dan sayuran kemudian diekstrak dan sebagian

(37)

enzimatik. Sifat prebiotik dari karbohidrat dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu : (1) Komposisi monosakarida, prebiotik terutama dibentuk dari glukosa,

galaktosa, xylosa, fruktosa, arabinosa, rhamnosa, dan glukosamin; (2) Ikatan

glikosidik, ikatan antara residu monosakarida merupakan faktor penting untuk

menentukan selektifitas fermentasi dan daya cerna dalam usus halus; (3) berat

molekul, polisakarida bukan prebiotik, prebiotik memiliki berat molekul yang

rendah (Manning . 2004).

Menurut ISAPP (2008) serat pangan dan prebiotik merupakan karbohidrat

yang tidak dapat dicerna, dan keduanya dapat difermentasi oleh mikroflora usus.

Walaupun demikian, prebiotik berbeda dengan serat pangan. Prebiotik bersifat

selektif, hanya membantu pertumbuhan bakteri yang bersifat menguntungkan bagi

kesehatan. Prebiotik lebih dihubungkan dengan konsep probiotik dibandingkan

serat pangan.

Saluran gastrointestinal manusia terdiri dari komunitas mikroorganisme.

Konsentrasi bakteri dan aktivitas metabolik tertinggi ditemukan dalam usus besar.

Kelompok bakteri predominan dalam usus besar manusia dewasa adalah bakteri

fakultatif dan obligat anaerob terutama genera # (

# " , dan & (Vanhoutte

. 2006). Menurut Wells . (2008) bakteri dominan pada usus manusia adalah

& # (termasuk genus # ) dan

& (termasuk genera ( ). Keduanya kira kira

meliputi 30% dari total bakteri dalam mucus dan feses. Dalam usus, organisme

anaerob lebih mendominasi dibandingkan organisme aerob. Genera anaerob yang

mendominasi antara lain ) ) # "

. Genera subdominant aerob (fakultatif anaerob) termasuk

( ( ( * ! , dan ) .

Anatomi saluran pencernaan dapat dilihat pada Gambar 1.

Vanhoutte . (2006) melaporkan bakteri kolon berperan untuk

memfermentasi berbagai substrat yang lolos atau komponen serat pangan yang

tidak terserap pada bagian atas saluran gastrointestinal. Produk fermentasi antara

lain asam lemak berantai pendek ( &') yang menyediakan tambahan energi bagi

(38)

dan amoniak. Wells . (2008) melaporkan sumber energi dari fermentasi di

kolon adalah karbohidrat termasuk polisakarida (pektin, hemiselulosa, selulosa,

gum, dan pati resisten), oligosakarida, alkohol yang tidak dapat diserap, dan gula.

Gambar 1 Perbedaan komunitas bakteri pada saluran pencernaan. Wells .

(2008)

Menurut Lichtenstein dan Goldin (2004) usus halus yang lebih rendah

merupakan zona transisi antara populasi bakteri pada bagian atas saluran

gastrointestinal dan populasi bakteri di kolon. Pada ileum yang lebih rendah

sejumlah bakteri meningkat antara 106 dan 107 cfu/ml. Pada kolon, konsentrasi

meningkat antara 1011sampai 1012cfu/ml dari material fekal.

Bakteri kolon diklasifikasikan berdasarkan potensi efeknya bagi kesehatan.

Peningkatan bakteri proteolitik seperti dan # dapat

menyebabkan gangguan bagi kesehatan. # " dan !

memberikan efek positif antara lain menstimulasi sistem imun, menghasilkan

vitamin, menghambat patogen di intestinal, mereduksi amoniak dalam darah dan

sejumlah kolesterol, dan mereduksi konstipasi (Vanhoutte . 2006).

Cummings dan Macfarlane (2002) melaporkan efek prebiotik antara lain :

(1) Melalui fermentasi dalam usus besar, menghasilkan asam lemak berantai

pendek dan laktat, gas terutama CO2 dan H2, meningkatkan biomassa,

meningkatkan energi fekal dan nitrogen, meningkatkan sifat laksatif; (2) Bagi

mikroflora, secara selektif meningkatkan # " dan ! dalam

Usus halus : Jumlah bakteri

Jumlah bakteri 103/ml

Contoh :

Kolon :

Jumlah bakteri 1012/g

Contoh :#

# "

) &

! (

( (

(39)

planktonik dan komunitas biomassa, reduksi , meningkatkan ketahanan

kolonisasi terhadap patogen, memiliki manfaat yang berpotensial mencegah invasi

patogen; (3) Usus halus, efek osmotik prebiotik yang memiliki berat molekul

rendah, memperbaiki penyerapan kalsium, magnesium, dan besi, berinteraksi

dengan mucus mengubah daerah ikatan bakteri, lektin, dan lain lain; (4) Mulut,

melindungi kerusakan gigi; (5) Efek lain, metabolisme asam empedu (perubahan

yang dihasilkan tidak konsisten), efek bervariasi pada enzim mikroba yang

berpotensi berpengaruh terhadap karsinogenesis, menstimulasi apoptosis.

Penelitian pada tikus uji, memperlihatkan prebiotik meningkatkan

penyerapan kalsium, mereduksi terjadinya osteoporosis post gastrektonin, dan

memperbaiki mineral pada tulang. Efek ini dihubungkan dengan peningkatan

berat kandungan fekal, meningkatkan jumlah asam lemak rantai pendek fekal, dan

menurunkan pH fekal (Griffin dan Abrams 2008). Menurut Manning . (2004),

prebiotik mampu mencegah terjadinya kanker kolon, memiliki efek bagi bakteri

patogen, memperbaiki penyerapan kalsium, memiliki efek terhadap lemak darah,

dan memiliki efek imunologi. Prebiotik mungkin secara langsung memodifikasi

aktivitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang terlibat dalam

karsinogenesis seperti azoreduktase, nitroreduktase, dan β glucuronidase.

Pati resisten dianggap memiliki efek prebiotik. Hasil penelitian pada hewan

model (tikus dan babi) secara signifikan meningkatkan jumlah# " dan

! setelah mengkonsumsi pati resisten tipe III. Intervensi diet pati

resisten tinggi pada manusia secara signifikan meningkatkan produksi asam lemak

berantai pendek ( &') yang menandakan pengaruh pati resisten pada mikroflora

(Klinder . 2008). Menurut Manning . (2004) pati resisten ditemukan

mereduksi sterol, asam empedu sekunder, dan enzim genotoksik.

Pati resisten memiliki kelebihan dibandingkan prebiotik jenis lain (FOS dan

inulin). Pati resisten mudah mengikat dan memerangkap air, sehingga dapat

mempertahankan kadar air dalam feses. Hal ini mengakibatkan pati resisten tidak

menyebabkan sembelit jika dikonsumsi dalam jumlah relatif tinggi (Taggart

(40)

Le Leu . (2007) melaporkan hasil penelitian pada tikus uji

memperlihatkan pati resisten mengganggu kolonik luminal melalui peningkatan

konsentrasi asam lemak berantai pendek (butirat) dan menurunkan produksi toksik

hasil fermentasi protein akibat mengkonsumsi protein dalam jumlah yang tinggi.

Pati resisten tidak hanya bersifat sebagai pelindung melawan penyebab tumor

usus tetapi juga memperbaiki efek tumor yang disebabkan oleh protein yang tidak

dapat dicerna. Hylla . (1998) melaporkan pati resisten memiliki potensi

penting bagi metabolisme mikroorganisme yang terdapat dalam kolon manusia

dan berperan penting sebagai pencegah kanker. Menurut Jenkins . (1998) pati

resisten memiliki manfaat fisiologi yang dihubungkan dengan kesehatan kolonik

dalam fekal dan metabolisme &'.

Asam lemak berantai pendek ( &') dibentuk ketika polisakarida

difermentasi oleh bakteri anaerobik yang terdapat dalam usus besar. Terdapat

banyak bentuk polisakarida dalam usus besar, salah satunya pati resisten. &'

utama yang dihasilkan dalam usus manusia adalah butirat, propionat, dan asetat.

Konsentrasi &' dalam usus besar bergantung pada jenis polisakarida.

Umumnya, asetat adalah asam lemak berantai pendek yang paling banyak

dihasilkan sedangkan butirat yang paling rendah. Selain itu, konsentrasi juga

dipengaruhi oleh daerah di usus besar. Konsentrasi tertinggi dideteksi pada daerah

yang paling dekat dengan usus halus (70 140 mM) (British Nutrition Foundation

2005).

!

Serat pangan menurut ' ' " (2001)

Champ (2003) adalah bagian edibel atau analog karbohidrat yang

memiliki sifat resisten terhadap enzim pencernaan dan penyerapan dalam usus

halus dan dapat difermentasi secara parsial atau keseluruhan di dalam usus besar.

Serat pangan terdiri dari polisakarida, oligosakarida, lignin, dan substansi pada

tanaman. Serat pangan memberikan efek kesehatan termasuk menurunkan

kolesterol dan glukosa darah.

Hernot dan Fahey (2007) menyatakan serat pangan terdiri dari karbohidrat

tanaman dan lignin yang terdapat dalam jumlah yang besar pada matriks tanaman

(41)

pati resisten juga digolongkan dalam serat pangan. Serat pangan dibedakan

menjadi dua kelompok yaitu serat pangan larut dan serat pangan tidak larut.

Sajilata . (2006) melaporkan pati resisten walaupun bukan komponen dinding

sel, akan tetapi secara nutrisi memiliki fungsi yang sama dengan polisakarida

bukan pati, pati resisten digolongkan sebagai serat pangan yang tidak larut tetapi

fungsinya sama dengan serat pangan larut.

Menurut McIntyre . (1993) serat pangan menghasilkan konsentrasi

butirat yang lebih tinggi dibandingkan asetat. Hal ini menunjukkan serat pangan

dihubungkan dengan konsentrasi butirat yang tinggi dalam usus besar distal yang

berfungsi sebagai pelindung atau melawan kanker usus besar sedangkan serat

pangan yang bersifat larut tidak menghasilkan peningkatan konsentrasi butirat

dalam distal kolon. Pengujian pada tikus produksi butirat secara signifikan

dihubungkan dengan penghambatan pembentukan sel tumor.

Pati resisten menghasilkan butirat sedangkan pektin berperan untuk

membentuk asetat dalam jumlah besar. Butirat dihubungkan dengan banyak

sifat biologi dalam kolon. Butirat memiliki efek pada tingkat metilase DNA

yang dihubungkan dengan ekspresi gen. Butirat juga meningkatkan proliferasi sel

normal dan menekan proliferasi sel yang telah mengalami perubahan. Apoptosis

mungkin meningkat pada sel yang telah mengalami perubahan tetapi menghambat

sel normal ketika terdapat butirat (Wollowski . 2001).

" # $%

Indeks glikemik adalah pengukuran kecepatan penyerapan karbohidrat serta

kemampuan karbohidrat untuk menaikkan konsentrasi glukosa darah dalam waktu

tertentu. Definisi lain indeks glikemik adalah sebagai respon glukosa darah

terhadap makanan yang mengandung karbohidrat dalam takaran dan waktu

tertentu (Prijatmoko 2007).

Menurut Patterson (2006) faktor yang mempengaruhi IG adalah struktur

matriks makanan, dinding sel dan struktur pati, struktur granula pati, kandungan

amilosa dan amilopektin, kadar serat pangan, asam organik, penghambat amilase,

komposisi monosakarida, komposisi karbohidrat, kadar pati resisten, dan gula

alkohol. Kadar IG dari suatu makanan dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu rendah

(42)

Kadar amilosa yang tinggi menunjukkan derajat hidrolisis yang lebih

rendah, amilosa adalah faktor utama yang mempengaruhi indeks hidrolisis pati

(HI), estimasi nilai indeks glikemik (IG) secara signifikan lebih rendah pada kadar

amilosa yang tinggi dibandingkan kadar amilosa rendah (Frei . 2003; Hu

. 2004; Margareta Leeman . 2006). Xue . (1996) menyatakan pati

jagung yang kaya amilosa berkorelasi positif terhadap penurunan glukosa darah

dan level insulin. Selanjutnya, Akerberg . (1998) menyatakan IG yang rendah

tidak hanya ditentukan oleh pati resisten, tetapi rendahnya IG mungkin juga

dipengaruhi oleh fraksi selain pati resisten, produk dengan kadar amilosa tinggi

(43)

Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Kimia Pangan, dan Pilot Plan SEAFAST

Center IPB dan Laboratorium (Kimia Pangan, Mikrobiologi Pangan, Pengolahan

Pangan, dan Biokimia Pangan) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Bahan utama digunakan dalam penelitian ini adalah pisang tanduk (

) yang diperoleh dari Lumajang, Jawa Timur. Bahan bahan lain yang

digunakan adalah enzim α amilase Fluka 52.9 U/mg α amilase

tahan panas Sigma E.C.3.2.1. type XII A 786 U/mg protein,

pepsin Sigma E.C.34231 porcin pankreas 624 U/mg, AMG (Amiloglukosidase)

Sigma A 7095 300 U/ml, API Test CHL 50, air deionisasi,

akuades, larutan kristal violet, larutan safranin, glukosa, maltosa, amilosa, pati

murni, etanol (95%, 80% dan 10%), petroleum eter, aseton, NaOH (25% dan 1 N),

asam asetat 1 N, larutan iod, HCl (25%, 4 M dan 0,1 N), KOH, pereaksi DNS,

buffer Na fosfat 0,05 M dan 0,01 M pH 6,9 dan pH 7, buffer sodium asetat 0,1 M

pH 5,2 dan pH 6,0, dan 0,4 M pH 4,75, buffer HCl KCl 0,05 M dan 0,1 M (pH

1,5), filter selulosa 0,45µm, dan kertas saring Whatman No. 41.

Media pertumbuhan bakteri yang digunakan adalah MRSA, MRSB, TSA,

TSB, mMRSB terdiri dari (protease pepton, ekstrak daging, ekstrak khamir,

ammonium sitrat, sodium asetat, MgSO4, MnSO4, dan dipotasium fosfat), dan

mTSB terdiri dari (pepton, sodium klorida, dipotasium hidrogen fosfat),

fruktooligosakarida (FOS). Bakteri yang digunakan terdiri dari

kik, 2B4, sa28k, diperoleh

dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan, IPB (ditumbuhkan dalam media MRSB)

( ) diperoleh dari Laboratorium FKH, IPB

ditumbuhkan dalam media TSB. Alat alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah neraca analitik, otoklaf model MC 40, , , lemari pendingin,

oven, sentrifus, spektrofotometer, pH meter, inkubator,

(44)

Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu : tahap pertama,

menentukan lama fermentasi optimal irisan pisang oleh kultur campuran

kik dan 2B4; tahap kedua, penentuan rasio kultur

campuran ( kik dan 2B4) dan pengaruh pemanasan

otoklaf (121ºC) terhadap kadar pati resisten dan sifat fungsionalnya. Diagram alir

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

!

Bakteri digunakan dalam proses fermentasi irisan pisang ( kik

dan 2B4) dikonfirmasi terlebih dahulu menggunakan API Test CHL

50. Kultur yang berumur 24 jam pada media MRSA agar miring, diambil

sebanyak 1 ose dan dimasukkan dalam media API CHL. Media yang telah

diinokulasikan kultur bakteri asam laktat dimasukkan dalam sumur sumur API

Test CHL 50 yang berisi 50 jenis gula berbeda, kultur dimasukkan secara hati hati

dan diusahakan tidak terbentuk gelembung. Selanjutnya ditambahkan parafin cair

steril. API Test CHL 50 diinkubasi selama 24 jam, diamati perubahan warna pada

masing masing sumur dan dimasukkan dalam software API Test.

Pertumbuhan kik dan 2B4 diamati dengan

menumbuhkan masing masing koloni (satu ose) pada media MRSB 100 ml, dan

diinkubasi pada suhu 37⁰C. Sebanyak 5 ml larutan MRSB diambil setiap tiga

jam untuk diukur selama 24 jam. Sebanyak 4 ml cairan MRSB digunakan untuk

mengukur densitas optik (OD) MRSB pada panjang gelombang (λ) 600 nm,

MRSB steril digunakan sebagai blanko.

Jumlah BAL selama pertumbuhan juga diukur dengan metode pemupukan

pada MRSA. Sebanyak 1 ml dimasukkan dalam larutan fisiologis NaCl 0.85%

9 ml dan divorteks untuk pengenceran 101. Pengenceran dilakukan sampai 106

dan 108 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan secara duplo

pada pengenceran 104106dan 106108menggunakan MRSA dalam cawan petri.

Cawan petri diinkubasi pada suhu 37oC dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni

(45)
(46)

" # $ % $ $ ! & ' (

Pisang diiris tipis dengan tebal ± 6 mm. Selanjutnya sebanyak 300 g irisan

pisang direndam dalam 400 ml akuades steril yang telah diinokulasi dengan

kik : 2B4 (1 : 1) 108 cfu/ml sebanyak 0,25% )

(Sobowale . 2007). Inkubasi dilakukan pada suhu ruang (±30°C) selama 0,

24, 48, 72, 96 jam. Untuk menentukan lama fermentasi optimum, pada setiap

interval waktu dilakukan pengukuran jumlah total bakteri asam laktat (unit log),

pH, total asam tertitrasi (%), dan aktivitas enzim amilase ekstraseluler (unit/mL)

pada cairan fermentasi.

# $ % $ $ ) $ *

& !( $ +

& ,*(

Irisan pisang difermentasi mengikuti prosedur yang sama seperti di atas

(Sobowale . 2007) menggunakan tiga rasio kultur campuran

kik : 2B4 yaitu (1 : 1); (2 : 1), dan (3 : 1). Setelah fermentasi selesai,

irisan pisang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tanpa perlakuan pemanasan

otoklaf dan diberi perlakuan pemanasan otoklaf.

Pada kelompok tanpa perlakuan pemanasan otoklaf, irisan setelah

fermentasi langsung dikeringkan dengan sinar matahari. Pada kelompok perlakuan

pemanasan otoklaf, irisan setelah fermentasi ditiriskan dan dipanaskan dalam

otoklaf (tekanan 0.15 Mpa atau 1.5 atm) pada suhu 121°C selama 15 menit,

kemudian didinginkan pada suhu ruang (±30°C) selama 24 jam, dan selanjutnya

irisan dikeringkan menggunakan sinar matahari. Irisan pisang dihaluskan

menggunakan dan diayak menggunakan saringan ukuran 80 mesh.

Perlakuan ini juga dilakukan pada irisan pisang tanpa fermentasi sebagai

perlakuan kontrol. Penentuan rasio kultur campuran yang menghasilkan tepung

pisang modifikasi (TPM) terbaik berdasarkan pada kadar pati resisten (%), daya

(47)

! - . + $ + $ & (

Tepung pisang modifikasi (TPM) terlebih dahulu dicuci dengan etanol 85%

dengan perbandingan TPM : etanol 85% adalah 1 : 2. Selanjutnya sampel disaring

menggunakan kertas saring dan dikeringkan dengan sinar matahari. Tujuan dari

pencucian ini adalah untuk menghilangkan gula gula sederhana (gula gula

reduksi) yang tersedia dalam TPM. Dengan demikian, pertumbuhan bakteri uji

pada media yang mengandung TPM diasumsikan hanya menggunakan sumber

karbon dari pati termasuk pati resisten bukan dari gula gula sederhana.

! /- 0 $ $ " &1

223(

Media pertumbuhan TPM disiapkan. Sebanyak 50 ml mMRSB + 2.5% TPM

dan 50 ml akuades + 2.5% TPM disterilkan. 2.5 ml kultur sp. yang

berumur 24 jam berisi 10⁵ cfu/ml dipipet dan dimasukkan ke dalam media

pertumbuhan yang berisi TPM. Selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu

37oC.

Setelah inkubasi 24 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam

larutan pengencer NaCl 0.85% 9 ml dan divorteks untuk pengenceran 101.

Pengenceran dilakukan sampai 108 dengan cara yang sama. Pemupukan

dilakukan secara duplo pada pengenceran 106 108 menggunakan MRSA

dalam cawan petri. Cawan petri diinkubasi pada suhu 37oC dalam posisi terbalik.

Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam berdasarkan metode ISO dalam

satuan cfu/ml. Prosedur yang sama dilakukan menggunakan prebiotik komersial

fruktooligosakarida (FOS) sebagai kontrol.

! + % $ &) + 224(

Efek prebiotik adalah meningkatnya populasi tetapi

peningkatan ini tidak dihubungkan dengan konsentrasi prebiotik. Indeks prebiotik

adalah peningkatan populasi atau yang dikorelasikan

dengan konsentrasi prebiotik (Roberfroid 2007). Analisis Indeks Prebiotik

(48)

mMRSB dan media mMRSB yang mengandung TPM. Setelah waktu inkubasi 24

jam, sampel dienumerasi dalam media MRSA. Prosedur yang sama dilakukan

menggunakan prebiotik komersial fruktooligosakarida (FOS) sebagai kontrol.

Efek Prebiotik = Log T2 T1

Indeks Prebiotik =

Log T2 T1

Berat

Keterangan :

T1 = media mMRSB

T2 = media mMRSB yang mengandung 2.5% TPM

! - $ 5

&6 224(

Aktivitas prebiotik adalah kemampuan prebiotik untuk membantu

pertumbuhan organisme yang dihubungkan dengan organisme lain dan

dibandingkan dengan glukosa. Oleh karena itu, karbohidrat memiliki aktivitas

prebiotik positif jika dimetabolisme oleh dan secara selektif

dimetabolisme oleh probiotik tetapi tidak oleh bakteri yang lain (Huebner .

2007).

Pengujian dilakukan dengan menambahkan 5% (v/v) kultur

sp. dalam tabung berbeda yang mengandung mMRSB dengan 2.5% (w/v) glukosa

atau 2.5% (w/v) TPM. Setelah 0 dan 24 jam waktu inkubasi, sampel dienumerasi

dalam media MRSA.

Pengujian juga dilakukan pada kultur bakteri penyebab diare. Kultur yang

digunakan adalah ( ) (5% (v/v)). Kultur kemudian

ditambahkan dalam tabung yang berbeda yang mengandung mTSB dengan 2.5%

(w/v) glukosa atau 2.5% (w/v) TPM. Kultur diinkubasi pada suhu 37⁰C, dan

(49)

Nilai Aktivitas

N = Jumlah bakteri probiotik

E = Jumlah ( )

t₀ = Waktu inkubasi awal t₁ = Waktu inkubasi akhir

7 - . +

Pengujian sifat biologi TPM terpilih meliputi pengujian serat pangan, pati

yang cepat dicerna (!"#), pati yang lambat dicerna (#"#), dan indeks glikemik

secara .

! $ $

! ) $ $ & 5$ 88 (

Tepung pisang modifikasi yang telah bebas lemak dan gula sederhana

(1 gram) dalam 20 ml buffer sodium asetat (0.1 M, pH 5.2) dimasak dalam

selama 30 menit. Dispersi pati didinginkan pada suhu 37⁰C, dicampur

dengan larutan enzim (5 ml) yang terdiri dari ekstrak pankreatin dan

amiloglukosidase (AMG), dan diinkubasi dalam pada suhu 37⁰C.

Ekstrak pankreatin diperoleh dari : 3 g pankreatin disuspensi dalam 20 ml air

deionisasi, distirrer selama 10 menit pada suhu ruang, dan disentrifus pada 1500 g

selama 10 menit. Larutan enzim dipersiapkan dengan mencampurkan 13.5 ml

supernatan ekstrak pankreatin, 210 U AMG, dan 1 ml air deionisasi. Pati yang

cepat dicerna (!"#) dinyatakan sebagai total pati yang dicerna selama 20 menit

pertama, dan pati yang lambat dicerna (#"#) dinyatakan sebagai total pati yang

dicerna antara 20 dan 120 menit. Dispersi pati kemudian ditambahkan KOH (10

M) dan disimpan pada suhu 0⁰C selama 15 menit, kemudian ditambahkan AMG

(50)

Sebanyak 1 ml sampel ditambahkan 2 ml pereaksi DNS. Setelah itu dipanaskan

dalam penangas air dengan suhu air (100⁰C) selama 10 menit lalu didinginkan pada

suhu ruang. Sampel kemudian diencerkan dengan penambahan 10 ml akuades dan

diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Akuades

digunakan sebagai blanko. Kurva standar dibuat menggunakan larutan glukosa

standar, yaitu 5000 ppm sebagai larutan induk. Larutan kerja yang digunakan sebagai

standar adalah 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm,

3500 ppm, 4000 ppm, 4500 ppm, dan 5000 ppm. Persen pati diperoleh dengan

mengalikan persen glukosa dengan faktor koreksi 0.9.

% Pati Resisten = A

S ×

FP

W ×100 ×0.9

Keterangan :

A = Absorbansi sampel

S = Slope atau kemiringan kurva Fp = Faktor pengenceran

W = Berat sampel (g)

! & * 887(

Sebanyak 3 g tepung pisang dicuci dengan menggunakan etanol 80%

sebanyak ± 30 ml secara maserasi untuk menghilangkan gula gula sederhana pada

suhu kamar selama 15 menit. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci

dengan akuades sampai volume filtrat mencapai 250 ml. Residu kertas saring

dicuci 5 kali dengan 10 ml eter untuk menghilangkan lemak. Selanjutnya sampel

dibiarkan untuk menguapkan eter dari residu dan dicuci lagi dengan 150 ml

alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Residu

pada kertas saring kemudian dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari

selama 3 jam.

Analisis kadar pati dengan metode hidrolisis langsung oleh asam ("

$% % ). Selanjutnya sebanyak 0.5 g sampel tepung pisang yang telah

bebas lemak dan gula gula sederhana ditimbang dan dimasukkan ke dalam

erlenmeyer. Lalu ditambahkan 25 ml akuades dan 5 ml HCl 25%. Erlenmeyer

ditutup dengan pendingin balik dan dipanaskan di atas penangas air

(51)

dengan NaOH 25%, disaring, dan ditepatkan volumenya hingga 100 ml.

Penentuan kadar pati dinyatakan sebagai glukosa pada filtrat. Total glukosa

dianalisis dengan menggunakan metode DNS.

Sebanyak 1 ml sampel yang dihidrolisis dengan asam, dinetralkan, disaring dan

ditepatkan hingga volume 100 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian

ditambahkan 2 ml pereaksi DNS. Setelah itu dipanaskan dalam penangas air dengan

suhu air (100⁰C) selama 10 menit lalu didinginkan pada suhu ruang. Sampel

kemudian diencerkan dengan penambahan 10 ml akuades dan diukur dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Akuades digunakan sebagai

blanko. Kurva standar dibuat menggunakan larutan glukosa standar, yaitu 5000 ppm

sebagai larutan induk. Larutan kerja yang digunakan sebagai standar adalah 500 ppm,

1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm, 3500 ppm, 4000 ppm, 4500

ppm, dan 5000 ppm. Persen pati diperoleh dengan mengalikan persen glukosa

dengan faktor koreksi 0.9.

% Pati = A

S ×

FP

W ×100 ×0.9

Keterangan :

A = Absorbansi sampel

S = Slope atau kemiringan kurva Fp = Faktor pengenceran

W = Berat sampel (g)

! $ &%))% 84 5 898(

! .

Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam

labu takar 100 ml dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N

lalu didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades.

Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml

lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing masing labu

takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing masing 0.2; 0.4; 0.6;

(52)

ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20

menit, dan diukur intensitas warna yang terbentu dengan spektrofotometer pada

panjang gelombang 625 nm.

! $ .

Sebanyak 100 mg sampel (tanpa lemak) dimasukkan ke dalam labu takar

100 ml, dan ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N lalu

didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades.

Pipet 5 ml larutan tersebut, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml,

dan ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Setelah itu, larutan

ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades, dikocok, lalu didiamkan selama 20

menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada

panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa dihitung dengan persamaan :

% Kadar amilosa = A S

FP W

Keterangan :

A = Absorbansi sampel

S = Slope atau kemiringan kurva Fp = Faktor pengenceran, yaitu 0.002 W = Berat sampel (g)

! ! /- 5 * $ : & $ 22 (

Enzim α amilase dilarutkan di dalam buffer Na Fosfat 0.05 M pH 7.

Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3.5 dinitrosalisilat, 30

gram Na K tartarat dan 1.6 gram NaOH dalam 100 ml akuades. Kurva standar

dibuat menggunakan larutan maltosa standar, yaitu 1000 ppm sebagai larutan induk.

Larutan kerja yang digunakan sebagai standar adalah 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm,

400 ppm, 500 ppm, 600 ppm, 700 ppm, 800 ppm, 900 ppm, dan 1000 ppm.

Sebanyak 0.5 gram pati disuspensikan dalam 50 ml akuades sehingga

diperoleh konsentrasi 1% w/v, kemudian dipanaskan dalam penangas air selama

30 menit pada suhu 90oC kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml sampel

(53)

Na Fosfat 0.1 M, pH 7. Lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit.

Selanjutnya ditambahkan larutan α amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37oC

selama 30 menit.

Sebanyak 1 ml sampel dari tabung reaksi dipipet dan dimasukkan ke dalam

tabung reaksi lain, ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Lalu dipanaskan pada

suhu 100oC selama 10 menit. Warna merah orange yang terbentuk diukur

absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi

dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh

dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat

menggunakan prosedur seperti di atas. Blanko dibuat untuk menghitung kadar

maltosa awal (bukan hasil hidrolisis enzim). Prosedur pembuatan blanko sama

seperti prosedur untuk sampel hanya saja tanpa sampel dan tidak ditambahkan

larutan enzim α amilase. Sebagai gantinya untuk blanko diganti buffer Na Fosfat

0.1 M pH 7.

% DC Pati = Kadar maltosa sampel – Kadar maltosa blanko sampel

Kadar maltosa pati murni – Kadar maltosa blanko pati murni

! 7 /- . & * 887(

Pengukuran serat pangan dibagi menjadi tiga tahap yaitu persiapan sampel,

pengukuran serat pangan tidak larut, dan pengukuran serat pangan larut.

Persiapan sampel

Sampel yang telah diekstraksi lemaknya ditimbang sebanyak 1 gram (W)

dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan larutan buffer.

Sampel ditambahkan 100 KL termamyl lalu dipanaskan sambil ditutup dan

diinkubasi (T = 100⁰C selama t = 15 menit) sambil sesekali diaduk. Sampel

didinginkan kemudian ditambahkan 20 mL akuades dan ditambahkan HCl 4 M

hingga pH 1.5. Sampel ditambahkan 100 mg pepsin, lalu erlenmeyer ditutup dan

ditempatkan pada suhu 40⁰C sambil diaduk selama 60 menit, kemudian sampel

ditambahkan 20 mL akuades dan diatur pH nya hingga 4.5 dengan cara

ditambahkan NaOH. Sampel ditambahkan enzim AMG, lalu erlenmeyer ditutup

dan diinkubasi pada suhu 40⁰C selama 60 menit sambil diaduk, kemudian sampel

ditambahkan NaOH kembali hingga pH 6.8. Sampel disaring melalui

(54)

Pengukuran serat makanan tidak larut

Residu dari hasil persiapan sampel dicuci dengan 10 mL etanol 95%

sebanyak dua kali, dan 10 mL aseton sebanyak dua kali. Residu dikeringkan pada

suhu 105⁰C hingga diperoleh berat yang tetap, kemudian dimasukkan ke dalam

desikator dan ditimbang (D1). Suspensi yang telah kering diabukan dengan suhu

500⁰C selama lima jam, didinginkan, dimasukkan dalam desikator dan ditimbang

(L1).

Pengukuran serat makanan larut

Volume dari filtrat yang didapat dari persiapan sampel ditambahkan

akuades hingga 100 ml. Filtrat ditambahkan etanol 95% dengan suhu 60⁰C

sebanyak 400 mL, kemudian diendapkan selama satu jam. Filtrat disaring,

kemudian dicuci dengan 10 mL etanol 95% dan 10 mL aseton sebanyak dua kali.

Sampel dikeringkan pada suhu 105⁰C selama 24 jam, kemudian dimasukkan ke

dalam desikator dan ditimbang (D2). Sampel yang telah kering diabukan dengan

suhu 500⁰C selama lima jam, didinginkan, dimasukkan dalam desikator dan

ditimbang (L2).

Penetapan blanko

Analisis ini menggunakan blanko yang diperoleh dengan cara yang sama

tetapi tanpa adanya sampel (akuades). Nilai blanko harus diperiksa ulang terutama

jika menggunakan enzim dari kemasan yang baru. Berat blanko bebas serat (B1

dan B2)

Total serat makanan

Total serat makanan diperoleh dengan menjumlahkan serat makanan larut

dan tidak larut

% (bk) serat pangan tidak larut = D1 – L1 – B1 W

% (bk) serat pangan larut = D2 – L2 – B2

W

(55)

! 3 /- % $ ; $ : &; 884(

Sampel sebanyak 50 mg ditambahkan 10 mL buffer HCl KCl pH 1.5.

Kemudian 0.2 ml larutan yang mengandung satu gram pepsin dalam 10 ml buffer

HCl KCl ditambahkan pada sampel dan diinkubasi pada suhu 40⁰C selama satu

jam dalam shaker . Volume ditambahkan 25 mL buffer Tris Maleat pH

6.9 (dalam penelitian ini buffer Tris Maleat digantikan dengan buffer Na fosfat

pH 6.9). 5 mL larutan αamilase dalam buffer Na fosfat ditambahkan pada

sampel. Sampel diinkubasi dalam shaker pada suhu 37⁰C. 1 ml cairan

sampel diambil setiap 30 menit dari 0 sampai 30 jam. Cairan ini ditempatkan

dalam tabung reaksi dan dipanaskan pada suhu 100⁰C selama 5 menit untuk

menginaktifkan enzim dan disimpan dalam lemari pendingin sampai waktu

inkubasi berakhir. Kemudian 3 mL buffer sodium asetat pH 4.75 ditambahkan

pada masing masing cairan, dan 60µL AMG digunakan untuk menghidrolisis pati

yang dicerna menjadi glukosa setelah 45 menit pada suhu 60⁰C dalam .

Sebanyak 1 ml sampel ditambahkan 2 ml pereaksi DNS. Setelah itu dipanaskan

dalam penangas air dengan suhu air (100⁰C) selama 10 menit lalu didinginkan pada

suhu ruang. Sampel kemudian diencerkan dengan penambahan 10 ml akuades dan

diukur pada panjang gelombang 550 nm. Gunakan sampel akuades sebagai blanko.

Kurva standar dibuat menggunakan larutan glukosa standar dengan kisaran 5 mg/ml.

Berat pati diperoleh dengan mengalikan berat glukosa dengan faktor koreksi 0.9.

Pati yang dicerna dinyatakan sebagai persentasi hidrolisis total pati pada

waktu 30, 60, 90, 120, 150, dan 180 menit. Kurva yang diperoleh mengikuti

persamaan non linear yang menggambarkan kinetik hidrolisis pati

C = C∞ 1 ekt

Keterangan :

C = Persentase pati terhidrolisis pada waktu t (menit)

C∞ = Persentase ekuilibrium pati terhidrolisis setelah waktu 180 menit k = Konstanta kinetik

Variabel C∞ dan k masing masing sampel diestimasi menggunakan SPSS for

(56)

Indeks hidrolisis dan estimasi indeks glikemik

Kurva hidrolisis pati yang diperoleh akan dihasilkan area pada kurva

hidrolisis (AUC) yang dihitung menggunakan persamaan integral kinetik

hidrolisis pati :

AUC = C∞ (tf – to) – (C∞/k)[1 – exp [–k(tf – to]]

Keterangan :

tf = Waktu pada menit ke 90 t₀ = Waktu awal

Indeks hidrolisis (IH) diperoleh dari rasio antara AUC setiap sampel dengan nilai

AUC sampel referensi ( IH = 100). IH90 digunakan dalam

penentuan estimasi IG. Indeks glikemik diprediksi menggunakan persamaan :

EGI = 39.21 + 0.803 × IH

! 4 1 ; $ $ "

Perhitungan jumlah koloni bakteri asam laktat berdasarkan metode ISO

dalam satuan cfu/ml

N = C

n n d

Keterangan :

N = Jumlah mikroba (cfu/ml)

∑c = Jumlah koloni dari total cawan (25 250 koloni)

n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama (25 250 koloni) n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua (25 250 koloni) d = Tingkat pengenceran terendah

Perhitungan waktu generasi bakteri dihitung menggunakan persamaan

kecepatan pertumbuhan (Fardiaz 1992).

xt = 2ktx0

Keterangan :

x₀ = Jumlah sel awal

xt = Jumlah sel setelah waktu t

t = Waktu dari x₀ ke xt, dinyatakan dalam jam atau menit

k = Konstan kecepatan pertumbuhan, dinyatakan dalam jumlah generasi per

waktu

(57)

! 9 $ $

Bahan ditimbang sebanyak 5 gram, ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml

sampai batas tanda tera kemudian di homogenkan. Sampel diambil 25 ml dan

dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Campuran ini ditambahkan indikator PP untuk

uji total asam sebanyak 2 hingga 3 tetes. Sampel kemudian dititrasi dengan

larutan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan warna menjadi merah muda.

% Total Asam= ml NaOH ×N NaOH ×BM ×Fp

Berat Bahan ×1000 ×100%

Keterangan :

BM asam laktat = 90,08

! 8 6

pH meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer fosfat pH 4 dan pH 7.

Sampel dalam bentuk tepung sebanyak 1 g dilarutkan dalam 20 ml akuades,

kemudian dikocok (distirer) sampai basah sempurna. Setelah itu, ukur pH pada

supernatan sampel dengan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi terlebih

dahulu. Untuk sampel dalam bentuk cairan, setelah dikalibrasi terlebih dahulu

sampel dapat langsung diukur menggunakan pH meter.

! 2 $ $ $ $ &. 22 (

Supernatan disaring dengan filter selulosa (diameter lubang 0.45 Km) dan

filtrat diambil untuk dianalisis aktivitas amilase ekstraseluler berdasarkan

terbentuknya komplek pati iodin. Cairan fermentasi disentrifuse, filtrat yang

mengandung enzim sebanyak 0.1 mL ditambah 0.5 ml pati 1% b/v dalam buffer

asetat 0.1 M pH 6.0. Selanjutnya diinkubasi selama 10 menit pada suhu 400C.

Inkubasi dihentikan dengan menambah 1.0 ml HCl 0.1 N. Sebanyak 0.5 mL

larutan pereaksi ditambah 5 ml iodin (12 mg I2dan 25 mg KI/100 mL). Jumlah

pati yang tersisa diukur pada panjang gelombang 700 nm. Satu unit aktivitas

amilase adalah banyaknya enzim yang dapat menghidrolisis 1 Sg pati per menit

(58)

! $ $ & * 887(

Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan

dalam desikator, dan ditimbang. Ditimbang dengan cepat ± 5 gram sampel yang

sudah dihomogenkan dalam cawan. Cawan dimasukkan ke dalam oven selama 6

jam. Untuk produk yang tidak mengalami dekomposisi dengan pengeringan yang

lama, dapat dikeringkan selama 1 malam (16 jam). Cawan dipindahkan ke

desikator, didinginkan, dan ditimbang kembali. Cawan dikeringkan kembali

dalam di dalam oven sampai diperoleh bobot yang tetap (konstan).

% Kadar air (berat kering) = W3 W2

% Kadar air (berat basah) = W3 W1

Keterangan :

W1 = Berat sampel sebelum dikeringkan (g) W2 = Berat sampel setelah dikeringkan (g) W3 = W2– W1

7 ) : :

Rancangan percobaan pada penelitian penentuan lama fermentasi optimal

irisan pisang oleh kultur campuran kik dan 2B4 adalah

rancangan acak lengkap dengan lama fermentasi (0, 24, 48, 72, dan 96 jam)

sebagai variabel.

Rancangan percobaan pada penelitian penentuan rasio kultur campuran (

kik dan 2B4) dan pengaruh pemanasan otoklaf (121ºC)

terhadap kadar pati resisten dan sifat fungsionalnya adalah rancangan acak

lengkap pola faktorial dengan rasio kultur campuran BAL (1 : 1, 2 : 1, dan 3 : 1)

sebagai variabel A dan pemanasan otoklaf sebagai variabel B.

3 $ $

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Analisis ragam

(ANOVA). Jika berbeda signifikan maka dilanjutkan dengan Uji Duncan pada

level 95% (α = 0.05). Pada pengujian sifat fungsional, dilakukan analisis

(59)

4.1. Konfirmasi Bakteri Asam Laktat dan Bakteri ( )

!

!

" # $

%& '' !

!

" # $ ( ''

!

!

)

!

##* + ) , - #..

$ / 0 '' ! )

1

! ! ) *

0 0 !

) * 1

)

(60)

$ 4 5 #..2

-- 6 7*

-7 /

! ! !

!

-!

- !

0 0

-%/8 9 7:" ;' %/8

:

%/8 9 7:" ;' ! 2

! 2 8

%/8 9 7:" ;'

! 2 %/8 9 7:" ;'

5 6

(61)

*

4.2. Kurva Pertumbuhan kik dan 2B4

/ )

Waktu pertumbuhan (Jam)

# >

(62)

! ; )

Waktu pertumbuhan (Jam)

# ; 2

(63)

@ # 0

.2 0 ? ) # > . 0 ? ) # ; 2

λ A >'' " 9

(<

<

(< λ A >''

) *#

$ , - #..

5

# #

0 # ?

# ' .> ;3 3

# ' ? 5

0 5

0

%"

4.3. Penentuan Lama Fermentasi Irisan Pisang

1 0

# B # * 0

: )

9 0

(64)

/

* 2. 3'

23 0 . # 0 2 .2

0 >3 0 ';

0 % ''

#*2

,

1 @ ''.

%

-4.3.1. Jumlah Bakteri Asam Laktat

/

! > @ 0

%" ' .> > 2.

2# 0 ?

: /C' ';

%" 0 " #'0 :

< 0 " #' %"

3 0 ? .> 2# 0 ?

%" > 2. 0 ? %"

(65)

! > : 0

4.3.2. Produksi Asam

9

(66)

: /C' ';

(67)

' ?" / 0

#' ?" 7 ''2

4.3.3. Perubahan pH

/ : !

Gambar

Gambar�hasil�pewarnaan�Gram�BAL�dan������di�bawah�mikroskop��
Tabel�kadar�air�tepung�pisang�(%�bk)��..................................................��
Tabel�jumlah�kultur�awal�bakteri�asam�laktat�dan�������������������������������������
Gambar� 1� Perbedaan� komunitas� bakteri� pada� saluran� pencernaan.� Wells� ��� ��.�(2008)��
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal membaca puisi proses mendapat pesan yang disampaikan penyair dalam puisinya tidak dapat dilakukan hanya dengan satu atau dua kali membaca, melainkan ada

VI SDN 16 Mataram melalui penerapan strategi pembelajaran portofolio merupakan permasalahan dari penelitian ini. Tujuannya adalah 1) Menemukan upaya peningkatan kemampuan

Secara singkat dari penjabaran diatas, penelitian ini dilatarbelakangi peristiwa hukum yang bermula dari perubahan sistem Kontrak Karya menjadi Sistem Izin Usaha

Hasil yang didapatkan dalam penelitian mesin pengering kaos kaki sistem terbuka dengan variasi perasan menggunakan tangan dan pengeringan dengan mesin cuci meliputi :

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data yang diperoleh dari hasil uji coba produk pengembangan modul pembelajaran.

Masalah utama yang dialami keluarga Bapak Darma Wijaya adalah

jumlah tanggungan orang tua ada sebagian yang banyak. Prestasi belajar siswa yang diperoleh belum maksimal hasilnya. Kurang maksimalnya sosialisasi perguruan tinggi pada siswa.

yang dapat berupa proses (satu proses atau lebih), data store.