• Tidak ada hasil yang ditemukan

Technology adoption rate of corn hybrids by farmers in Dry-land North Central Timor Regency, East Nusa Tenggara Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Technology adoption rate of corn hybrids by farmers in Dry-land North Central Timor Regency, East Nusa Tenggara Province"

Copied!
266
0
0

Teks penuh

(1)

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

MARSIANUS FALO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

oleh Petani di Lahan Kering Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara

Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(3)

in Dry-land North Central Timor Regency, East Nusa Tenggara Province. Supervised by AMIRUDDIN SALEH and RICHARD W.E. LUMINTANG.

Research objectives were to study the technology adoption rate of corn hybrids by farmers in dry-land of North Central Timor Regency. Data were collected from February to May 2011 in West Insani Sub-district, North Central Timor Regency, East Nusa Tenggara Province. The research population was all corn hybrid farmers as many as 904 people in West Insani Sub-district. The sampling method used was purposive sampling. The number of samples were determined using simple random sampling, respondent study amounted 133 farmers were chosen by Slovin techniques with a research design of descriptive correlation survey. The data analysis used was descriptive statistics, and inferential statistical analysis using Spearman rank correlation test (rs). The research results showed that: (1) the mean of independent

variables of internal factors on formal education variables, non formal education, farming experience of hybrid corn, land size, and access to information was in the low category. The mean of independent variables of external factors which included access to financial capital was in the low category; (2) the farmers’ adoption of hybrid corn technology in the dry lands of North Central Timor Regency was in the medium category; (3) the performance and income of farmers in the production of hybrid corn was low. This was in line with the technological application of hybrid corn in dry land which had not yet been intensive; (4) the correlation between the independent variables of internal factors showed that in general there was no significant correlation with farmer adoption level in the technological application of hybrid corn. External variables in general such as the availability of facilities and infrastructure had a significant correlation with the farmer adoption level in the technological application of hybrid corn on dry-land; and (5) the farmer adoption level of hybrid corn technology with the performance of farmers showed that in general there showed a positive significant correlation with hybrid corn production and their income.

(4)

di Lahan Kering Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh AMIRUDDIN SALEH dan RICHARD W.E. LUMINTANG.

Salah satu upaya peningkatan produksi dan mutu jagung di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah menghadirkan teknologi jagung hibrida dan mengefektifkan penerapannya di tingkat petani. Kondisi di tingkat petani lahan kering di Kabupaten Timor Tengah Utara cenderung masih mempertahankan pola usahatani yang diketahuinya. Hal ini diduga adanya peran faktor internal dan eksternal dalam penerapan teknologi jagung hibrida.

Secara umum, penelitian ditujukan untuk mengetahui tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering. Secara khusus bertujuan: (1) mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang berhubungan dengan tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida; (2) menganalisis tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida; (3) menganalisis tingkat kinerja petani pada teknologi jagung hibrida; (4) menganalisis hubungan faktor internal dan eksternal dengan tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida (5) menganalisis hubungan tingkat adopsi pada teknologi jagung hibrida dengan kinerja petani di lahan kering Kabupaten Timor Tengah Utara.

Penelitian dilakukan bulan Pebruari sampai Mei 2011 di Kecamatan Insana Barat Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasi penelitian adalah semua petani jagung hibrida yang terdapat di Kecamatan Insana Barat sebanyak 904 orang dan penentuan sampel diakukan secara purposive sampling, penentuan jumlah petani contoh dilakukan secara acak sederhana atau simple random sampling, dengan menggunakan rumus Slovin petani contoh yang diperoleh petani responden sebanyak 133 orang, data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Penelitian ini dengan desain survei deskriptif korelasional. Data dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dengan menampilkan distribusi frekuensi, persentase, rataan skor dan total rataan skor, dan analisis statistik inferensial, berupa uji korelasi rank Spearman (rs)

(5)

nonformal berhubungan nyata dalam kegiatan pemupukan, pengairan dan pengendalian HPT serta jumlah anggota keluarga berhubungan nyata dalam kegiatan pemanenan. Peubah eksternal secara umum ketersediaan sarana dan prasarana berhubungan nyata dengan tingkat adopsi petani dalam penerapan teknologi jagung hibrida di lahan kering. Hal ini menunjukkan faktor eksternal di luar ketersediaan sarana dan prasarana bukan penentu tingi rendahnya tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering, intensitas penyuluhan berhubungan nyata dalam kegiatan pengairan; (5) hubungan antara tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida dengan kinerja petani menunjukkan bahwa secara umum berhubungan nyata baik pada produksi dan pendapatan usahatani jagung hibrida.

(6)

@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

MARSIANUS FALO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

(9)

Nama Mahasiswa : Marsianus Falo NRM : I351090011

Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemurahan dan kelimpahan hidayah-Nya, sehingga penulis diberi kekuatan menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Tingkat Adopsi Teknologi Jagung

Hibrida oleh Petani di Lahan Kering Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur.”

Penyelesaian penelitian ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak, baik yang bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu penulis mengucapkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS. dan Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA.,

selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas pengorbanan waktu, tenaga dan kesabarannya memberi bimbingan dan dorongan serta saran dan koreksi kesempurnaan.

2. Program Mayor Penyuluhan Pembangunan Fakultas Ekologi Manusia Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan tugas belajar sampai pembuatan laporan akhir penelitian.

3. Universitas Timor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor dan bantuannya dalam memperlancar penelitian.

4. Para petani responden tercinta yang telah dengan rela meluangkan waktu dan

tenaga memberikan informasi sesuai harapan penulis berkaitan dengan penerapan jagung hibrida di lahan kering di Kecamatan Insana Barat khususnya Desa Subun, Desa Lapeon, Desa Letmafo dan Kelurahan Atmen.

5. Orang tua tercinta Nenek Yasinta Babu, Bapak Daniel Falo, Bapak Martinus Fai,

Bapak Simon Fai, Ibu Regina Ola dan Ibu Rosina Fallo, atas do’a restu kelompok alfa omega serta dukungan moriil dan materiil yang telah diberikan

6. Istri (Praxedis Yuliana Fai) dan anak-anak Liony, Carlo dan Pedro atas segala

(11)

mendoakan penulis selama studi di Parogram Pascasarjana IPB.

8. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana S2 PPN angkatan 2009 atas segala masukan

dan saran dalam percepatan penyelesaian studi khususnya Rio, Baim, Yuda, Selly, Idha Faridah, Yanti serta S3 PPN: Ibu Inta, Ibu Hilda, Pa Agus Purbatin, Pa Faisal dan Pa Marlan, Pa Ayat, dan Pa Farid

9. Semua pihak yang penulis tidak dapat sebutkan namanya satu-persatu yang telah

memberi dukungan mulai penelitian, penyusunan dan kesempurnaan laporan penelitian ini.

Semoga tesis dapat bermanfaat bagi semuanya. Terima Kasih.

Bogor, Agustus 2011

(12)

Penulis dilahirkan di Suanae Kecamatan Miomaffo Barat Kabupaten Timor Tengah Utara pada tanggal 2 Agustus 1971 dari Bapak Daniel Falo dan Ibu Regina Ola dan merupakan anak sulung dari enam bersaudara.

Pendidikan sekolah dasar pada SDK Yaperna Seoam 1 Sallu dari tahun 1979 dan lulus pada tahun 1985, sekolah lanjutan pertama pada SLTP Negeri 1 Miomaffo Barat dari tahun 1985 dan tamat tahun 1988, dan SMA Negeri Ainaro Kabupaten Ainaro Provinsi Timor Timur (Negara Timor Leste) dari tahun 1988 dan lulus tahun 1991. Penulis melanjutkan S1 di Universitas Timor Timur (Untim) Provinsi Timor

Timur (Timor Leste) dari tahun 1991 pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, tamat tahun 1998. Kesempatan melanjutkan studi S2 tahun 2009 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Fakultas Ekologi Manusia Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan atas bantuan dana BPPS.

Mengawali karir sebagai tenaga kerja swasta di LSM Timor Raya di samping

(13)

DAFTAR TABEL ………. xiv

DAFTAR GAMBAR ………... xv

DAFTAR LAMPIRAN ………. xvi

PENDAHULUAN………. ….………... 1

Latar Belakang ………. 1

Masalah Penelitian ……… 5

Tujuan Penelitian ……….. 7

Kegunaan Penelitian ………. 7

TINJAUAN PUSTAKA ……….. . 9

Pengertian Inovasi dan Adopsi………..………... 9

Penerapan Teknologi Jagung Hibrida .………... 11

Rujukan Penelitian Sebelumnya .……….. 18

Faktor Internal Tingkat Adopsi Petani pada Teknologi Jagung Hibrida……... 19

Faktor Eksternal Tingkat Adopsi Petani pada Teknologi Jagung Hibrida….... 25

Kinerja Petani ……… 30

Usaha Pertanian di Lahan Kering .……….……… 32

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS .………. 35

Kerangka Pemikiran .………. 35

Hipotesis .………... 37

METODE PENELITIAN .………... 38

Rancangan Penelitian ……… 38

Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 38

Populasi dan Sampel Penelitian ……… 38

Data dan Instrumentasi Penelitian ………. 40

Definisi Operasional ……….………. 41

Kesahihan dan Keterandalan Instrumen ……… 49

Pengumpulan Data ………. 51

Analisis Data ……….. 52

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 53

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………... 53

Faktor Internal Petani Usahatani Jagung Hibrida ………. 63

Faktor Eksternal Petani Usahatani Jagung Hibrida ………... 69

Tingkat Adopsi Petani pada Teknologi Jagung Hibrida ……… 76

Kinerja Petani pada Usahatani Jagung Hibrida di Lahan Kering ……….. 83

Hubungan Faktor Internal dengan Tingkat Adopsi Petani Jagung Hibrida…… 85

(14)
(15)

1. Perkembangan peserta sasaran program jagung hibrida pertama, luas tanam, luas panen, produktivitas dan produksi, sejak tahun 2007-2009

di Kabupaten Timor Tengah Utara ……… 5

2. Nama kelurahan/desa, populasi dalam teknologi jagung hibrida dan jumlah sampel di Kabupaten Timor Tengah Utara ……….. 40

3. Peubah, indikator dan kategori pengukuran faktor internal petani usahatani jagung hibrida………. 42

4. Peubah, indikator dan kategori pengukuran faktor eksternal petani usahatani jagung hibrida……….. 44

5. Peubah, indikator dan kategori pengukuran tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida………... 47

6. Peubah, indikator dan kategori pengukuran kinerja petani……….. 49

7. Sebaran jumlah penduduk, rumah tangga, luas wilayah dan kepadatan penduduk kondisi tahun 2010 Kecamatan Insana Barat ………. 54

8. Deskripsi faktor internal petani usahatani jagung hibrida ……….... 63

9. Deskripsi faktor eksternal petani usahatani jagung hibrida ………. 70

10. Sebaran petani responden berdasarkan indikator sifat inovasi ……… 74

11. Tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida ………. 77

12. Kinerja petani pada teknologi jagung hibrida ………. 83

13. Hubungan faktor internal dengan tingkat adopsi petani dalam menerapkan teknologi jagung hibrida di lahan kering …………... 85

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta lokasi penelitian ………... 109

2. Hasil olahan uji kesahihan dan keterandalan instrumen ..………... 110

3. Sebaran responden berdasarkan faktor internal petani pada teknologi jagung hibrida di Kecamatan Insana Barat

Kabupaten Timor Tengah Utara ………... 112

4. Sebaran responden berdasarkan faktor eksternal petani pada teknologi jagung hibrida di Kecamatan Insana Barat

Kabupaten Timor Tengah Utara ……….. 113

5. Sebaran responden berdasarkan tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di Kecamatan Insana Barat

Kabupaten Timor Tengah Utara ……….. 114

6. Sebaran responden berdasarkan kinerja petani pada teknologi jagung

hibrida di Kecamatan Insana Barat Kabupaten Timor Tengah Utara …..…… 115

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan dalam bidang pertanian merupakan proses dinamis untuk

meningkatkan kemampuan sektor pertanian dalam menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat dengan menggerakkan segenap daya mampu masyarakat khususnya petani, modal, organisasi atau kelembagaan, teknologi dan pengetahuan untuk memanfaatkan dan sekaligus melestarikan sumberdaya alam demi

kesejahteraan dan kelangsungan hidup petani dan masyarakat secara nasional. Dengan perkataan lain, pembangunan pertanian adalah suatu usaha secara sadar untuk mentransformasikan pertanian tradisional menjadi pertanian maju yang terus meningkat.

Lahan kering sebagai bagian dari pembangunan pertanian sampai saat ini menjadi salah satu penyanggah produksi tanaman pangan dan penyedia bahan baku industri. Karakteristik lahan kering dicirikan dengan permasalahan utama usahatani yaitu: erosi (terutama bila lahan miring dan tidak tertutup vegetasi secara rapat),

kesuburan tanah (umumnya rendah sebagai akibat dari proses erosi yang berlanjut), dan ketersediaan air (sangat terbatas karena tergantung dari curah hujan), makin menurunnya produktivitas lahan (leveling off), tingginya variabilitas kesuburan tanah dan macam species tanaman yang ditanam, memudarnya modal sosial-ekonomi dan budaya, rendah atau tidak optimalnya adopsi teknologi maju, serta terbatasnya

ketersediaan modal dan infrastruktur (Setiawan, 2008).

Upaya mengatasi berbagai pengelolaan lahan kering melalui kegiatan penelitian telah dihasilkan beberapa inovasi teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani, serta untuk mendorong partisipasi petani dalam pelestarian sumberdaya tanah dan air. Menurut Syam (2003) sistem usahatani

(18)

Namun hasil evaluasi dan analisis alternatif sistem konservasi belum memberikan informasi yang komprehensif.

Salah satu komoditi yang cocok dan banyak dikembangkan petani di lahan kering adalah tanaman jagung (Zea mays L). Jagung secara umum merupakan salah satu komoditas strategis palawija di Indonesia sebagai bahan baku pangan dan dapat digunakan juga sebagai pakan ternak serta penyedia bahan baku bioetanol. Secara nasional pada tahun 2008 luas panen 4,001,724 ha dan produksi jagung sebanyak 16,317,252 ton serta rata-rata produktivitas 40,78 kw/ha. Pada tahun 2009 luas panen

4,160,659 ha dan produksi 17,629,748 ton dengan produktivitasnya 42,37 kw/ha yang terjadi peningkatan luas panen 158,935 ha dan produksi 1,312,496 ton (BPS Nasional, 2010).

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat memantapkan program ketahanan pangan sebagai salah satu peran strategis lewat peningkatan produksi komoditi

jagung di mana komoditas ini cocok dengan kondisi lingkungan lahan kering di samping sudah membudaya secara turun-temurun. Perkembangan produksi tahun 2008 luas panen sebesar 270,717 ha dan produksi jagung sebanyak 673,002 ton serta produktivitas 24,85 kw/ha. Pada tahun 2009 luas panen jagung 250,536 ha dan

produksinya sebanyak 638,899 ton serta produktivitasnya 25,50 kw/ha yang mengalami penurunan luas panen sekitar 20,181 ha dengan produksi 34,103 ton dari tahun sebelumnya (BPS Provinsi NTT, 2010).

Adanya teknologi baru, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usaha pertanian dan pendapatan petani sehingga kesejahteraan petani dan keluarganya akan

terjamin. Berusahatani jagung di lahan kering membutuhkan keseriusan dan kesabaran serta harus menggunakan teknologi yang tepat serta berkaitan dengan keahlian dalam pengelolaan lahan dan teknis budidaya tanaman jagung. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produktivitas jagung adalah melalui teknologi komoditi jagung hibrida. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan

(19)

Kehadiran teknologi jagung hibrida di lahan kering ini dengan maksud petani disadarkan dan didorong untuk terus memantapkan ketahanan pangan yang sering rapuh baik di kalangan petani maupun masyarakat pada umumnya. Program ini menjadi acuan “NTT Jagungnisasi” dengan slogan ANGGUR MERAH (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera). Maksud program ini tidak mengesampingkan produk jagung lokal tetapi lebih meningkatkan peran paket teknologi yang lebih bermanfaat kepada petani NTT.

Hubungannya dengan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara

Timur, di Kabupaten Timor Tengah Utara titik berat program pembangunan adalah sektor pertanian karena sebagian besar masyarakat Timor Tengah Utara masih menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut khususnya tanaman pangan yang memiliki luas lahan kering 64,635 ha dan lahan basah 9,710 ha. Pada tahun 2009 Kabupaten Timor Tengah Utara dalam berusahatani jagung mencapai luas panen

22,119 ha dengan produksi 56,744 ton pipilan kering dan produktivitasnya 25,65 kw/ha atau mengalami peningkatan 25,315 ton atau 32,86 persen dari tahun sebelumnya produksi sebanyak 31,429 ton (BPS Kabupaten TTU, 2010).

Potensi peningkatan produktivitas jagung berpeluang besar bila menanam

jagung varietas unggul. Jagung varietas unggul mempunyai potensi hasil pipilan kering antara 4,5-5,7 ton/ha bahkan varietas jagung hibrida dapat mencapai lebih dari 6,0 ton/ha (Warisno, 1999). Hal ini berarti usahatani jagung hibrida masih perlu ditingkatkan pengelolaannya sehingga dapat mencapai produksi maksimal.

Syam (2003) mengatakan bahwa mengadopsi paket teknologi secara utuh,

petani perlu memiliki dan mengakses modal dan bantuan tenaga kerja keluarga serta keterampilan yang memadai. Implikasi kebijakan pada tahapan perbaikan teknologi dan formulasi kebijakan perlu memperhatikan upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat khususnya petani dalam pelestarian sumberdaya tanah dan air. Pada tahap awal, pemerintah berperan untuk meningkatkan sumberdaya manusia dan subsidi, dan

(20)

Teknologi jagung hibrida ini, dirasakan tepat sebagai upaya memacu tingkat pendapatan petani di lahan kering yang berfluktuasi produktivitasnya. Sebagai suatu inovasi, petani diharapkan dapat mengetahui, menerima dan mengadopsi inovasi tersebut. Menurut Mardikanto (2009) adopsi dapat diartikan sebagai proses

perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.

Pengembangan teknologi jagung hibrida di lahan kering ternyata belum dapat

diterima petani secara baik dan benar. Berbagai pembinaan maupun pendampingan bagi petani telah dilakukan oleh pemerintah melalui dinas atau instansi terkait serta telah menjadi agenda kegiatan setiap tahun. Fenomena ini terlihat jelas di tingkat petani Kabupaten Timor Tengah Utara sebagai target wilayah dalam pengembangan jagung hibrida sejauh ini tahapan inovasi teknologi jagung hibrida belum berjalan

secara baik dan benar bahkan petani masih mempertahankan pola usahatani jagung hibrida sesuai kebiasaan (tradisional). Inovasi teknologi jagung hibrida yang telah diperkenalkan kepada petani yang tinggal di lahan kering antara lain: penentuan pilihan komoditi varietas unggul adaptif, pengolahan lahan, cara penanaman,

pemupukan, penyiangan, pengairan, pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, penanganan panen dan pascapanen secara tepat.

Mencermati fakta dari petani lahan kering di Kabupaten Timor Tengah Utara khususnya Kecamatan Insana Barat sebagai sasaran program dalam mengembangkan usahatani jagung hibrida pertama sejak tahun 2007, timbul pertanyaan mengapa

petani cenderung mempertahankan macam pola teknologi usahatani jagung hibrida sesuai kebiasaan tersebut? Seperti apakah peran faktor internal dan eksternal? Seperti apa tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering?

Rogers (2003) mengatakan bahwa memperkirakan sejauh mana suatu teknologi dapat dipahami oleh penggunanya, perlu memperhatikan karakteristik teknologi

(21)

umumnya karena berhasil tidaknya penerapan teknologi dimaksud merupakan tanggung jawab semua pihak dan yang terpenting adalah petani sebagai pengelola yang memiliki pengalaman berusaha, kemampuan berusaha dan keterampilan manajerial perlu diketahui sehingga dapat ditingkatkan menjadi lebih optimal dan

mandiri serta mempunyai kemampuan untuk menghadapi perubahan lingkungannya.

Masalah Penelitian

Di Kabupaten Timor Tengah Utara petani telah berusahatani jagung di lahan kering secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pola usaha yang

dikembangkan masih berlangsung sesuai yang diketahuinya. Leewiss (2009) mengatakan bahwa suatu inovasi teknologi memiliki dimensi teknis dan sosial, untuk memberikan kontribusi terhadap inovasi tersebut perlu bekerja dalam kedua dimensi tersebut dengan menciptakan jaringan pendukung dan menegosiasikan pembenahan baru.

Program pengembangan teknologi jagung hibrida pada tahun 2007 merupakan salah satu usaha pemerintah pusat dan dengan slogan “NTT Jagungnisasi” oleh pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur semakin memperkuat konsistensi pemerintah lewat dinas pertanian dan perkebunan dalam rangka meningkatkan

pendapatan, produktivitas usaha dan selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Tiga tahun terakhir, pengembangan usahatani jagung hibrida dapat berjalan. Perkembangan kinerja petani usahatani jagung hibrida seperti terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan peserta sasaran program jagung hibrida pertama, luas tanam, luas panen, produktivitas, dan produksi, tahun 2007 hingga 2009 di Kabupaten Timor Tengah Utara

Uraian Tahun

2007 2008 2009 Jumlah Petani (orang) 596 430 904

Luas tanam (ha) 339 277 526

(22)

Tabel 1 menunjukkan bahwa seiring dengan gencarnya pelaksanaan program pengembangan teknologi jagung hibrida, trend jumlah petani, luas panen, produktivitas dan produksi jagung hibrida perkembangannya fluktuatif yang sangat berhubungan dengan kinerja petani. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kehadiran

program teknologi jagung hibrida tidak diikuti dengan adopsi inovasi teknologi jagung hibrida secara baik dan benar.

Secara ideal, adanya teknologi jagung hibrida pada wilayah tersebut seharusnya dapat ditingkatkan. Di mana, dukungan atau pemanfaatan penerapan teknologi jagung

hibrida ini membutuhkan kesadaran dan kemauan petani yang terus-menerus dalam berbagai kegiatan yang diadakan, karena pada dasarnya petanilah yang melaksanakan kegiatan-kegiatan yang ada dalam teknologi tersebut. Petani yang masih bercocok tanam secara tradisional, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, ditambah iklim yang tidak menentu menyebabkan masyarakat petani belum siap

menghadapi perubahan yang terjadi dan cenderung menerima keadaan.

Kondisi ini mengakibatkan tatanan kehidupan bagi masyarakat dan petani khususnya belum berkembang dengan baik dan belum sejalan dengan perkembangan modernisasi dan perubahan lingkungan di sekitarnya. Hal ini diduga adanya peran

secara bersama-sama dari faktor internal dan eksternal dan perlu diketahui secara jelas dalam penerapan teknologi jagung hibrida di lahan kering.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini diarahkan untuk mengkaji tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering Kabupaten Timor Tengah Utara. Secara spesifik penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab beberapa

pertanyaan penelitian berikut ini:

(1) Faktor internal dan eksternal apa sajakah yang berhubungan dengan tingkat

adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering Kabupaten Timor Tengah Utara?

(2) Sejauh mana tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering

Kabupaten Timor Tengah Utara?

(3) Sejauh mana tingkat kinerja petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering

(23)

(4) Sejauh mana hubungan faktor internal dan eksternal dengan tingkat adopsi petani

pada teknologi jagung hibrida di lahan kering Kabupaten Timor Tengah Utara? (5) Sejauh mana hubungan tingkat adopsi pada teknologi jagung hibrida dengan

kinerja petani di lahan kering Kabupaten Timor Tengah Utara?

Tujuan Penelitian

Keberhasilan program pengembangan teknologi jagung hibrida menjadi karya petani sebagai subyek pembangunan. Petani menjadi fokus perhatian dalam mempersiapkannya menjadi mandiri dan mampu menentukan nasibnya sendiri.

Berbagai program pengembangan petani telah dilakukan, namun petani masih mempertahankan pola usahatani yang diketahui. Oleh karena itu, secara umum penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering.

Secara khusus tujuan penelitian adalah:

(1) Mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang berhubungan dengan tingkat

adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering Kabupaten Timor Tengah Utara.

(2) Menganalisis tingkat adopsi petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering

Kabupaten Timor Tengah Utara.

(3) Menganalisis tingkat kinerja petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering

Kabupaten Timor Tengah Utara.

(4) Menganalisis hubungan faktor internal dan eksternal dengan tingkat adopsi

petani pada teknologi jagung hibrida di lahan kering Kabupaten Timor Tengah

Utara.

(5) Menganalisis hubungan tingkat adopsi pada teknologi jagung hibrida dengan

kinerja petani di lahan kering Kabupaten Timor Tengah Utara.

Kegunaan Penelitian

(24)

ditentukan oleh adanya penyebarluasan teknologi dan pengadopsian inovasi teknologi. Penelitian tentang “Tingkat Adopsi Teknologi Jagung Hibrida oleh Petani di Lahan Kering Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur” diharapkan berguna bagi semua pihak terkait, yakni di antaranya:

(1) Sebagai bahan informasi dan penyadaran bagi petani lahan kering tentang

perlunya teknologi baru sebagai pemecahan masalah pengembangan tanaman jagung hibrida di lahan kering Kabupaten Timor Tengah Utara.

(2) Sebagai sumbangan ide bagi pihak terkait (pemerintah) dalam merumuskan

kebijakan pembangunan pertanian lahan kering, khususnya dalam usaha meningkatkan strategi adopsi petani dalam mewujudkan kinerja pengembangan teknologi jagung hibrida di Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur agar kualitas dan produktivitas dapat ditingkatkan.

(3) Secara akademis diharapkan akan memberikan perluasan wawasan bagi

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Inovasi dan Adopsi

Inovasi adalah suatu gagasan, metode atau obyek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir (van den Ban & Hawkins, 2005). Inovasi didefinisikan sebagai suatu gagasan, praktek atau obyek yang dianggap baru oleh seseorang atau oleh satuan adopsi lain. Kriteria baru merupakan kriteria utama suatu inovasi. Kaitannya dengan teknologi, selama

teknologi itu masih “baru” dalam pandangan pengguna, maka teknologi dalam hal ini dapat dianggap sebagai suatu inovasi (Sugarda et al., 2001).

Menurut Hubeis (2007) inovasi sebagai gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Kebaharuan gagasan, tindakan atau barang tergantung

dari sudut pandang individu. Suatu inovasi dapat juga membawa gagasan lama, namun dalam penerapan sebenarnya masih baru karena sebelumnya belum pernah dicoba. Lionberger (1968) mengatakan bahwa inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat

mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat/pada lokalitas.

Kesesuaian inovasi dengan tata nilai maupun pengalaman yang ada dapat terjadi sejauh mana suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. Suatu inovasi akan cepat diterima oleh petani karena unsur-unsur dari karakteristik inovasi cenderung bersifat positif,

sebaliknya jika unsur-unsur karakteristik inovasi bersifat kontradiktif, maka akan menyulitkan petani dalam mengadopsinya. Sehubungan dengan itu, inovasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah teknologi jagung hibrida yang dirasakan sebagai suatu nilai yang baru dan positif menurut petani lahan kering.

Adopsi sebagai proses mental dalam mengambil keputusan untuk menerima

(26)

maupun tidak langsung oleh orang lain sebagai cerminan dari adanya perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilannya.

Adopsi sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap suatu inovasi sejak mengenal, menaruh minat, menilai sampai menerapkan. Menurut

van den Ban & Hawkins (2005) adopsi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasinya dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metode maupun peralatan dan teknologi yang

dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya.

Rogers (2003) dan Mardikanto (2009) menyatakan bahwa proses adopsi melalui tahapan-tahapan yakni :

a. Awareness atau kesadaran yaitu sasaran mulai sadar tentang adanya inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.

b. Interest tumbuhnya minat.

c. Evaluation atau penilaian terhadap baik/buruk atau manfaat inovasi yang telah diketahui informasinya secara lebih lengkap.

d. Trial atau mencoba dalam skala kecil untuk lebih meyakinkan penilaiannya. e. Adoption atau menerima/menerapkan dengan penuh keyakinan berdasarkan

penilaian dan uji coba yang telah dilakukan dan diamatinya sendiri.

Kecepatan adopsi adalah tingkat kecepatan penerimaan inovasi oleh anggota sistem sosial. Kecepatan ini biasanya diukur dengan jumlah penerima yang mengadopsi suatu ide baru dalam suatu periode waktu tertentu. Hal-hal yang dapat

menjadi peubah penjelas kecepatan adopsi adalah (1) tipe keputusan inovasi, (2) sifat saluran komunikasi yang dipergunakan untuk menyebarkan inovasi dalam proses keputusan, (3) ciri-ciri sistem sosial, (4) gencarnya agen pembaharu dalam mempromosikan inovasi (Hubeis, 2007).

Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini

(27)

Dalam penyuluhan pertanian, banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja tetapi membutuhkan tahapan tertentu agar dapat menerapkannya. Adopsi adalah suatu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang dan dapat dilihat bahwa orang tersebut dapat menerima atau menolak suatu teknologi atau inovasi yang

diprogramkan dan sangat berhubungan dengan ada tidaknya perubahan perilaku yang dimiliki oleh petani tersebut.

Penerapan Teknologi Jagung Hibrida

Menurut SK Mentan No. 439/KPTS/OT.210/6/1989 tentang Tata Hubungan

Fungsi Penelitian dan Penyuluhan Pertanian Bab I, Pasal I, Butir d disebutkan bahwa teknologi pertanian adalah piranti teknis di bidang pertanian yang dikembangkan dari ilmu pengetahuan untuk mempermudah, mempercepat, meningkatkan, mengarahkan, membina dan membimbing usahatani dengan sasaran yang hendak dicapai (Abbas dalam Malta, 2008). Definisi teknologi menurut Sugarda et al. (2001) bahwa teknologi diartikan sebagai sebuah rancangan tindakan instrumental (sebagai penolong) untuk mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab-akibat yang terdapat dalam upaya meraih hasil yang diinginkan. Perrow dalam Lumintang (2003) adalah tindakan yang dilakukan oleh orang terhadap suatu obyek dengan atau tanpa

bantuan perkakas atau mekanis untuk mengadakan perubahan tertentu dalam obyek itu.

Nurak dan Utami (2006), secara umum menyatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan dalam budidaya jagung di lahan kering adalah: (1) pengolahan lahan, (2) penanaman (3) pemeliharaan tanaman, (4) metode

panen dan perlakuan pascapanen, (5) pembinaan dan pendampingan secara kontinu. Kompetensi petani dalam mengelola usahatani jagung di lahan kering adalah terletak pada kemampuan petani dalam budidaya dan pemasaran.

Warisno (1999) mengemukakan bahwa hal yang menentukan keberhasilan petani dalam usahatani tanaman jagung adalah jika memperhatikan pemeliharaan

(28)

Petani dalam berusahatani jagung di lahan kering sangat tergantung pada pengolahan lahan, pemeliharaan yang maksimal dan pengendalian hama penyakit. Selain pemeliharaan, petani juga harus melakukan pemupukan dengan dosis dan pada waktu yang tepat (Deptan, 2008).

Menurut Mosher (1987), petani memegang dua peranan sebagai jurutani dan sekaligus sebagai manajer. Sebagai pengelola (manajer), petani dituntut untuk merencanakan tentang varietas yang ditanam, sarana produksi yang digunakan dan penggunaan kredit produksi. Selain itu menurut Mosher, petani harus lebih banyak

mengembangkan kecakapan dalam pemasaran (marketing). Lebih lanjut menyebutkan bahwa sangat penting petani mengembangkan kemampuan sebagai manajer, sehingga dapat mengambil manfaat dari setiap kesempatan baik yang terbuka baginya, berusaha membuat usahataninya seproduktif mungkin dengan mendapat keuntungan yang terus bertambah.

Wirawan dan Wahab (2000) mengatakan bahwa tanaman jagung merupakan tanaman pangan kedua setelah padi yang pada umumnya ditanam pada awal musim kemarau atau musim tanam kedua atau ketiga. Jagung merupakan prioritas untuk tanaman palawija. Secara nasional, jagung juga merupakan target swasembada

pangan karena merupakan bahan utama bagi industri pakan ternak. Sampai saat ini masih dijumpai beberapa permasalahan yang dihadapi petani jagung dalam memenuhi target produksi nasional, yaitu antara lain:

1. Penggunaan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi, baik yang bersari bebas

maupun hibrida masih terbatas.

2. Di beberapa daerah khususnya pada lahan kering petani masih banyak yang

menggunakan jarak tanam yang tidak teratur.

3. Pemupukan pada umumnya belum didasarkan atas ketersediaan unsur hara dalam

tanah dan kebutuhan tanaman. Umumnya petani memupuk dengan dosis yang beragam sesuai dengan kemampuan keuangannya masing-masing dan tidak

diimbangi dengan pemupukan P dan K.

(29)

setempat atau spesifik lokasi, (2) teknologi untuk perbaikan dan peningkatan efisiensi budidaya. Secara umum pengembangan program jagung hibrida akan memberikan hasil yang cukup tinggi secara ekonomi apabila dapat menerapkan paket teknologi berikut :

1. Varietas unggul

Beberapa varietas unggul jagung hibrida dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan. Benih yang akan digunakan sebaiknya bermutu tinggi, baik mutu genetik, fisik maupun fisiologisnya. Berasal dari varietas unggul

(daya tumbuh besar, tidak tercampur benih/varietas lain, tidak mengandung kotoran, tidak tercemar hama dan penyakit). Benih yang demikian dapat diperoleh bila menggunakan benih bersertifikat. Pada umumnya benih yang dibutuhkan sangat bergantung pada kesehatan benih, kemurnian benih dan daya tumbuh benih. Penggunaan benih jagung hibrida biasanya akan menghasilkan produksi yang

lebih tinggi. Adapun jagung hibrida mempunyai beberapa kelemahan dibandingkan varietas bersari bebas yaitu harga benihnya yang lebih mahal dan hanya dapat digunakan maksimal dua kali turunan dan tersedia dalam jumlah terbatas

2. Pengolahan tanah

a. Persiapan

Dilakukan dengan cara membalik tanah dan memecah bongkah tanah agar diperoleh tanah yang gembur untuk memperbaiki aerasi. Tanah yang akan ditanami (calon tempat barisan tanaman) dicangkul sedalam 15-20 cm,

kemudian diratakan. Tanah yang keras memerlukan pengolahan yang lebih banyak. Pertama-tama tanah dicangkul/dibajak lalu dihaluskan dan diratakan.

b. Pembukaan lahan

Pengolahan lahan diawali dengan membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman sebelumnya. Bila perlu sisa tanaman yang cukup banyak dibakar, abunya

(30)

c. Pembentukan bedengan

Setelah tanah diolah, setiap tiga meter dibuat saluran drainase sepanjang barisan tanaman. Lebar saluran 25-30 cm dengan kedalaman 20 cm. Saluran ini dibuat terutama pada tanah yang drainasenya jelek.

d. Pengapuran

Di daerah dengan pH kurang dari lima, tanah harus dikapur. Jumlah kapur yang diberikan berkisar antara 1-3 ton yang diberikan tiap 2-3 tahun. Pemberian dilakukan dengan cara menyebar kapur secara merata atau pada barisan

tanaman, sekitar satu bulan sebelum tanam. Dapat pula digunakan dosis 300 kg/ha per musim tanam dengan cara disebar pada barisan tanaman.

Pada tanah berat dengan struktur mantap pengolahan tanah dilakukan dua kali, sedang untuk tanah ringan (porous) seperti tanah Alfisol, Regosol, Etisol, dan Oxixol, dapat dilakukan pengolahan tanah minimum, yaitu pengolahan tanah

sepanjang baris tanaman atau tanpa pengolahan tanah dan hanya dilakukan pendaringan (pengguludan) pada saat tanaman berumur sekitar 25 hari.

3. Cara Tanam

Cara tanam diusahakan dengan jarak yang teratur, baik dengan ditugal maupun

mengikuti alur bajak. Populasi tanaman optimal berkisar antara 62.500 – 100.000 tanaman/ha, dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm dua tanaman /lubang atau 75 cm x 20 cm satu tanaman/lubang. Varietas lokal pada musim penghujan jarak tanam 75 cm x 30 cm dua tanaman/lubang. Jagung hibrida dalam jarak tanam 80 cm x 40 cm, satu tanaman/lubang dapat memberikan pertumbuhan dan hasil produksi yang

lebih baik. Penanaman dapat juga dilakukan dengan sistem dua baris (double row), yaitu jarak tanam (100 cm x 40 cm) x 20 cm dengan satu tanaman/lubang.

4. Pemupukan

Cara pemupukan ditugal ± 7 cm di sekitar tanaman atau goretan (parit) yang dibuat di samping tanaman sepanjang barisan, setelah pupuk diberikan kemudian

(31)

diberikan pada umur tanaman sepuluh hari. Dosis pupuk disesuaikan dengan brosur acuan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk jagung yang dikeluarkan oleh dinas tanaman pangan setempat.

5. Penyiangan

Penyiangan dilakukan dua kali, penyiangan pertama pada umur 10-15 hari dan penyiangan kedua pada umur 25-28 hari bersamaan dengan dilakukannya pembumbunan dan pemupukan kedua. Pada daerah yang sulit tenaga kerja, gulma dapat dikendalikan dengan penyemprotan herbisida pra tumbuh seperti: Goal,

Saturn-D, Gramaxone, Command, dan Ronstar dengan dosis sesuai anjuran. 6. Pengairan

Pengairan dalam budidaya jagung hibrida di lahan kering setelah benih ditanam, dilakukan penyiraman secukupnya, kecuali bila tanah telah lembab. Pengairan berikutnya diberikan secukupnya dengan tujuan menjaga agar tanaman tidak layu.

Namun menjelang tanaman berbunga, air yang diperlukan lebih besar sehingga perlu dialirkan air pada parit-parit di antara bumbunan tanaman jagung. Pengairan untuk tanaman jagung pada musim kemarau bersumber dari air tanah yang dipompa maupun air permukaan dari jaringan irigasi. Distribusi air lebih efektif ke

tanaman, petani umumnya membuat saluran air di antara barisan tanaman dengan menggunakan cangkul.

7. Pengendalian hama dan penyakit

Dilakukan dengan menerapkan kaidah pengendalian hama terpadu (PHT) yang komponennya terdiri dari penanaman varietas tahan pengelolaan kultur teknis

yang tepat dan penggunaan pestisida. Pengendalian lalat bibit : dengan karbofuran (Furadan, Dharmafur, Regent). Karbofuran diberikan 4-5 butir bersamaan tanam ditempatkan dalam lubang tanaman. Pengendalian penggerek pucuk dengan Karbofuran ditempatkan pada titik tumbuh. Pengendalian penyakit Bulai dengan menggunakan varietas tahan dan perlakuan benih lima gram Ridomil setiap satu

(32)

8. Panen

Panen dilakukan setelah biji pada tongkol masak yang ditandai dengan terbentuknya lapisan hitam pada lembaga dan tongkol telah menguning. Hasil panen jagung tidak semua berupa jagung tua/matang fisiologis, tergantung dari

tujuan panen. Seperti pada tanaman padi, tingkat kemasakan buah jagung juga dapat dibedakan dalam empat tingkat: masak susu, masak lunak, masak tua dan masak kering/masak mati. Ciri-ciri jagung yang siap dipanen adalah umur panen adalah 86-96 hari setelah tanam jagung siap dipanen dengan tongkol atau kelobot

mulai mengering yang ditandai dengan adanya lapisan hitam pada biji bagian lembaga, biji kering, keras dan mengkilat, apabila ditekan tidak membekas. Cara panen jagung yang matang fisiologis adalah dengan cara memutar tongkol berikut kelobotnya, atau dapat dilakukan dengan mematahkan tangkai buah jagung. Pada lahan yang luas dan rata sangat cocok bila menggunakan alat mesin pemetikan. 9. Pascapanen

Setelah jagung dipetik biasanya dilakukan proses lanjutan yang merupakan serangkaian pekerjaan yang berkaitan dan akhirnya produk siap disimpan atau dipasarkan.

a. Pengupasan

Jagung dikupas pada saat masih menempel pada batang atau setelah pemetikan selesai. Pengupasan ini dilakukan untuk menjaga agar kadar air di dalam tongkol dapat diturunkan dan kelembaban di sekitar biji tidak menimbulkan kerusakan biji atau mengakibatkan tumbuhnya cendawan. Pengupasan dapat

memudahkan atau memperingan pengangkutan selama proses pengeringan. Untuk jagung masak mati sebagai bahan makanan, begitu selesai dipanen, kelobot segera dikupas.

b. Pengeringan

Pengeringan jagung dapat dilakukan secara alami atau buatan. Secara

(33)

cara diikat dan digantung. Secara buatan dapat dilakukan dengan mesin pengering untuk menghemat tenaga manusia, terutama pada musim hujan. Terdapat berbagai cara pengeringan buatan, tetapi prinsipnya sama yaitu untuk mengurangi kadar air di dalam biji dengan panas pengeringan sekitar 38-43

derajat celsius, sehingga kadar air turun menjadi 12-13 persen. Mesin pengering dapat digunakan setiap saat dan dapat dilakukan pengaturan suhu sesuai dengan kadar air biji jagung yang diinginkan.

c. Pemipilan

Setelah dijemur sampai kering jagung dipipil. Pemipilan dapat menggunakan tangan atau alat pemipil jagung bila jumlah produksi cukup besar. Pada dasarnya “memipil” jagung hampir sama dengan proses perontokkan gabah, yaitu memisahkan biji-biji dari tempat pelekatan. Jagung melekat pada tongkolnya, maka antara biji dan tongkol perlu dipisahkan.

d. Penyortiran dan penggolongan

Setelah jagung terlepas dari tongkol, biji-biji jagung harus dipisahkan dari kotoran atau apa saja yang tidak dikehendaki, sehingga tidak menurunkan kualitas jagung. Perlu dipisahkan dan dibuang antara lain sisa-sisa tongkol, biji

kecil, biji pecah, biji hampa, kotoran selama petik ataupun pada waktu pengumpilan. Tindakan ini sangat bermanfaat untuk menghindari atau menekan serangan jamur dan hama selama dalam penyimpanan. Di samping itu juga dapat memperbaiki peredaran udara. Pemisahan biji yang akan digunakan sebagai benih terutama untuk penanaman biasanya membutuhkan keseragaman

bentuk dan ukuran butirnya. Pemisahan ini sangat penting untuk menambah efisiensi penanaman. Ada berbagai cara membersihkan atau memisahkan jagung dari campuran kotoran. Pemisahan dengan cara ditampi juga akan mendapatkan hasil yang baik.

Dengan demikian, teknologi jagung hibrida yang perlu diperhatikan dalam

(34)

dan pembumbunan, pengairan, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pascapanen.

Rujukan Penelitian Sebelumnya

Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan adopsi inovasi, Indraningsih (2010) membuktikan bahwa tingkat adopsi inovasi usahatani terpadu lahan kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: (1) Faktor petani yaitu mobilitas, tingkat pendidikan, luas lahan dan sikap terhadap

perubahan;

(2) Perilaku komunikasi petani yaitu kerjasama, tingkat kekosmopolitan dan

keterdedahan terhadap media.

(3) Dukungan iklim usaha yaitu ketersediaan saprodi, ketersediaan fasilitas keuangan dan ketersediaan sarana pemasaran serta dukungan kebijakan pemerintah.

Petani jagung di lahan kering membutuhkan dukungan dalam peningkatan kapasitasnya guna meningkatkan produksi sehingga dapat mengembangkan usahanya khususnya bidang pertanian. Menurut Malta (2008) dalam penelitiannya tentang kompetensi petani jagung dalam berusahatani di lahan gambut Kabupaten Pontianak

Provinsi Kalimantan Barat dikatakan bahwa ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani di antaranya pendidikan formal, interaksi dengan penyuluh, sarana produksi, keterlibatan dalam kelompoktani, umur dan pengalaman.

Memberikan kesempatan kepada petani untuk melakukan

pertimbangan-pertimbangan dalam mengintroduksi suatu paket teknologi patut diperhitungkan. Menurut Kartono (2009) faktor yang mempunyai hubungan cukup signifikan terhadap persepsi petani tentang inovasi PTT di Kabupaten Serang Provinsi Banten adalah tingkat kekosmopolitan petani, pendapatan petani, iklim usaha yang mendukung usahatani petani serta kegiatan penyuluhan.

(35)

bahwa petani di lahan marjinal dihadapkan pada kondisi lingkungan fisik yang semakin memburuk. Kelembagaan sosial pun mulai melemah perannya dalam pengembangan kapasitas petani mengelola usahatani di lahan marjinal. Petani harus lebih banyak mengakses informasi, inovasi, dan teknologi pertanian. Peluang tersebut

lebih banyak dinikmati oleh petani luas. Petani di Kalimantan Barat dihadapkan pada hasil panen produk lahan gambut yang belum sepenuhnya terserap pasar dan keterbatasan peluang kerja. Kondisi sosial budaya, kompetensi penyuluh, kebijakan pemerintah, program penyuluhan, dan aktivitas usaha petani menentukan perilaku

petani dalam mengelola lahannya. Produktivitas pengelolaan lahan marjinal terkontribusi nyata kepada kesejahteraan petani.

Tingkat adopsi petani sangat berhubungan dengan faktor penentu keberhasilan yakni faktor internal dan eksternal yang ada dan diketahui serta dimiliki petani. faktor internal meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pengalaman usaha

jagung hibrida, luas lahan garapan, jumlah anggota keluarga, akses informasi petani, dan keaktivannya dalam kelompok tani. Faktor eksternal yang dimaksud adalah ketersediaan sarana dan prasarana, akses terhadap modal keuangan, intensitas penyuluhan, akses terhadap pasar dan sifat inovasi.

Faktor Internal Tingkat Adopsi Petani pada Teknologi Jagung Hibrida

Faktor internal merupakan komponen-komponen tertentu yang melekat dalam diri setiap orang dan sangat memegang nilai kepercayaan tersendiri dalam mengadopsi teknologi jagung hibrida. Lionberger (1968) mengatakan faktor-faktor

internal yang mempengaruhi cepat lambatnya adopsi adalah usia, tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, partisipasi dalam kelompok, aktivitas mencari informasi, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, sifat fatalisme dan dogmatisme (sistem kepercayaan yang

tertutup).

(36)

luas usahatani, status pemilikan tanah, prestise masyarakat, sumber informasi yang digunakan dan jenis inovasi.

Hubungan faktor internal terhadap perubahan perilaku, menunjukkan bahwa mutlak dipertimbangkan dalam program-program penyuluhan. Faktor internal yang

merupakan ciri pribadi yang melekat pada diri seseorang, baik yang muncul dari kawasan kepribadiannya maupun yang dimiliki karena status dan peranannya, akan memunculkan kekuatan atau dorongan untuk bertindak terutama yang menguntungkan dirinya. Dalam penelitian ini faktor internal yaitu segala sesuatu

yang melekat pada diri seseorang yang sifatnya khas untuk setiap orang. Faktor internal mempengaruhi seseorang dalam memberikan respons terhadap stimuli yang diterimanya, dan akan mengubah perilakunya dapat diuraikan sebagai berikut:

Umur

Umur mempengaruhi kemampuan fisik dan cara berpikir serta dapat

menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaan perilakunya berdasarkan usia yang dimiliki. Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha agar lebih cepat melakukan adopsi inovasi, walaupun sebenarnya mereka

masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut. Soekartawi (2005) mengatakan bahwa petani yang lebih tua tampaknya kurang termotivasi menerima hal-hal baru daripada mereka yang relatif umur muda. Petani yang berumur lebih mudah biasanya lebih bersemangat dibandingkan dengan petani yang lebih tua. Semakin tua (di atas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan

cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah diterapkan oleh warga masyarakat setempat (Mardikanto, 2009).

Menurut Padmowihardjo (1994), bahwa umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang disebabkan oleh umur itu adalah faktor psikologis. Semakin tinggi umur semakin menurun kerja otot, sehingga terkait dengan fungsi

(37)

Umur merupakan aspek yang berhubungan terhadap kemampuan fisik, psikologis dan biologis seseorang serta berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam belajar, baik dalam mengaktualisasikan hasil belajar dalam pengalaman hidup maupun hakekat serta jenis dari struktur sikap pemprosesan informasi yang

dipunyainya. Umur adalah jumlah tahun hidup petani, artinya semakin tua umur petani semakin rendah tingkat adopsinya.

Pendidikan

Salah satu faktor yang dapat merubah pola pikir dan daya nalar petani adalah

pendidikan. Semakin tinggi pendidikan akan semakin rasional pola pikir dan semakin berkembang daya nalarnya.

Pada umumnya seseorang yang berpikiran lebih baik dan berpengetahuan teknis yang banyak akan lebih mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik. Pendidikan formal diperoleh dari sekolah atau perguruan tinggi dan pendidikan

nonformal diperoleh melalui penyuluhan pembangunan atau pendidikan luar sekolah dan bentuk-bentuk interaksi terprogram lainnya dalam proses belajar sosial untuk mewujudkan kualitas kehidupan. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan dalam keluarga atau hasil interaksi dengan lingkungan (Sumardjo, 2008).

Pendidikan baik formal maupun nonformal adalah sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Pada umumnya petani yang berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik. Mosher (1987) mengemukakan bahwa dalam memajukan usahatani yang dilaksanakan, petani membutuhkan

kemampuan berpikir dan pengetahuan mereka untuk mengelola usahataninya.

Hamundu (1997) mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan petani akan semakin mudah menerima dan bekerja dengan konsep yang abstrak. Kecerdasan tersebut dapat diperoleh dari pendidikan formal dan nonformal yang mereka tempuh, dan dengan semakin meningkatnya pengetahuan menjadikan suatu dasar bagi

(38)

Pendidikan terutama pendidikan nonformal misalnya kursus kelompoktani, penyuluhan, demplot, studi banding dan pertemuan lapangan akan membuka cakrawala petani, menambah keterampilan dan pengalaman petani dalam mengelolah usahataninya. Hal ini sangat diperlukan, mengingat sebagian besar petani

berpendidikan formal rendah (Suratiyah, 2006).

Dengan demikian pendidikan merupakan proses yang dijalani seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang kemudian menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan formal dilihat dari jumlah tahun pendidikan formal yang

ditempuh petani dan pendidikan nonformal dilihat dari jumlah setiap kali mengikuti kursus, pelatihan serta kemanfaatannya terhadap berusahatani jagung hibrida.

Pengalaman usahatani jagung hibrida

Pengalaman berusahatani berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam menghadapi pemilihan inovasi teknologi. Pengalaman seseorang saling terkait dalam

pengambilan keputusan. Semakin lama pengalaman seseorang berusahatani, maka akan semakin mudah dalam memahami suatu inovasi teknologi dan cenderung akan lebih mudah menerapkannya (Rogers, 2003).

Padmowihardjo (1994) mengatakan bahwa pengalaman adalah suatu

kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan sebagai hasil belajar selama hidupnya. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajarinya dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan akan berdampak pada hal yang positif bagi perilaku yang sama yang akan diterapkan pada situasi

berikutnya.

Makin lama atau tidaknya seseorang dalam menggeluti usaha akan mempengaruhi tingkat adopsinya terhadap suatu teknologi. Petani yang sudah lama menggeluti usahatani jagung hibrida akan memiliki sejumlah pengalaman dan informasi yang menjadi dasar pembentukkan pandangan individu untuk memberikan

(39)

jagung hibrida dan pengalaman kualitatif yaitu proses belajar yang dialami selama berusaha dapat mempengaruhi tindakan petani. Pengalaman merupakan lamanya waktu dalam tahun yang telah dicurahkan oleh petani dalam usahatani jagung hibrida di lahan kering.

Jumlah anggota keluarga

Batoa (2007) mengatakan bahwa tanggungan keluarga adalah orang yang tinggal dalam satu keluarga dan secara langsung menjadi beban kepala keluarga ataupun yang berada di luar rumah namun kehidupannya masih merupakan beban

atau tanggungan kepala keluarga. Gohong (1993) menyatakan bahwa ukuran keluarga akan memberikan motivasi bagi rumah tangga yang bersangkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya. Banyaknya tanggungan keluarga akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan keluarga tetapi merupakan ketersediaan tenaga kerja. Tanggungan keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang

memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya.

Ketersediaan tenaga kerja keluarga baik jumlah maupun kualitasnya akan berhubungan dengan tingkat adopsi petani dalam teknologi jagung hibrida, karena

usahatani jagung hibrida memerlukan tenaga kerja untuk melakukan kegiatan paket teknologinya. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang yang ada dalam keluarga petani dan menjadi tanggungannya dan membantunya dalam berusahatani jagung hibrida.

Luas lahan garapan

Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada hubungannya dengan penggunaan lahan. Hernanto (1996) mengatakan bahwa luas lahan usahatani dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni lahan yang sempit dengan luas lahan kurang dari setengah hektar, lahan yang sedang dengan luas lahan antara setengah hektar

(40)

memiliki sifat dan kegemaran untuk mencoba teknologi baru dan akan selalu berusaha sendiri mencari informasi yang diperlukan.

Upaya pembangunan pertanian akan sulit dilakukan apabila pemilikan lahan lebih banyak secara kotak-kotak dengan luas penguasaan lahan yang sempit, karena

petani cenderung bertindak sendiri-sendiri dan motivasi untuk bekerja sama dan menantang resiko menjadi kurang (Daniel, 2004).

Petani yang memiliki luas lahan yang sempit menjadi kendala dalam mengadopsi suatu teknologi baru secara kontinu serta sangat berhubungan dengan

tingkat intensivikasi, produktivitas dan besarnya pengadopsian teknologi tersebut. Akses terhadap informasi

Pengertian informasi dalam proses belajar adalah fase penerimaan materi dari seorang guru kepada peserta didik (Syah, 2003). Selanjutnya Slamet dalam Wijayanti (2003) mengatakan bahwa dengan mendapat informasi-informasi yang relevan

dengan usahataninya, para petani akan meningkat kemampuan dan kemungkinannya akan membuat keputusan-keputusan yang lebih baik dan menguntungkan bagi dirinya sendiri dan tidak tergantung pada keputusan orang atau pihak lain.

Petani yang lebih maju dan berorientasi pada pasar akan selalu berusaha dapat

bertani dengan lebih baik dan selalu mengikuti perkembangan kebutuhan pasar. Berusahatani yang baik akan selalu memerlukan adanya informasi baru tentang segala hal yang berkaitan dengan usahataninya (Wijayanti, 2003).

Akses terhadap informasi merupakan suatu upaya yang timbul dari diri petani dalam mencari dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan jenis usahatani

jagung hibrida yang kemudian dapat mengambil keputusan-keputusannya. Keaktivan dalam kelompoktani

Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.

(41)

yang sama, (d) adanya saling percaya mempercayai antara sesama anggota. Melalui pendekatan kelompok akan terjalin kerjasama antara individu anggota kelompok dalam proses belajar, proses berproduksi, pengolahan hasil dan pemasaran hasil untuk peningkatan pendapatan dan kehidupan yang layak (Mardikanto, 2009).

Slamet (2003) mengemukakan bahwa pendekatan kelompok disarankan bukan hanya pendekatan ini lebih efisien, tetapi karena pendekatan ini menghasilkan interaksi antar petani dalam kelompok yang merupakan forum komunikasi yang demokratis. Forum ini juga sebagai forum belajar sekaligus forum pengambilan

keputusan untuk memperbaiki nasib mereka sendiri. Melalui forum seperti ini, pemberdayaan ditumbuhkan yang akan berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian rakyat petani.

Kelompoktani menjadi sebagai wahana belajar-mengajar, merupakan wahana bagi setiap anggota untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan

keterampilan dalam berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (Sugarda et al., 2001).

Keaktivan petani dalam kelompok akan berhubungan dengan tingkat adopsinya pada teknologi jagung hibrida. Semakin sering proses interaksi terjadi di antara

sesama anggota maka proses pertukaran pengetahuan akan berkembang dalam pengelolaan peningkatkan adopsi teknologi jagung hibrida dimaksud.

Faktor Eksternal Tingkat Adopsi Petani pada Teknologi Jagung Hibrida

Faktor eksternal yang ada dalam mayarakat dan petani khususnya sangat

berhubungan dengan cepat lambatnya adopsi. Faktor dari lingkungan yaitu ketersediaan sarana dan prasaran, akses terhadap modal keuangan, intensitas penyuluhan, akses terhadap pasar dan sifat inovasi, turut memberikan sumbangan keuntungan kepada petani dan pada akhirnya akan berhubungan dengan penilaian

untung-ruginya pengembangan teknologi jagung hibrida tersebut. Ketersediaan sarana dan prasarana

(42)

sangat menunjang keberhasilan berusahatani sehingga menimbulkan persepsi positif dan mendorong motivasi petani dalam menerapkan suatu teknologi baru (Rukka, 2003).

Mosher (1987) menyebutkan sarana dan prasarana produksi sebagai salah satu

syarat mutlak dan faktor pelancar dalam pembangunan pertanian. Sarana dan prasarana produksi adalah sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam proses usahatani untuk mencapai hasil yang lebih baik dan terdiri atas lahan, bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja (Daniel, 2004).

Ketersediaan sarana dan prasarana akan berhubungan dalam pengelolaan usahatani jagung hibrida. Sarana dan prasarana yang dapat dijangkau tanpa mengeluarkan biaya yang berarti, harga terjangkau, mutu yang baik dan tersedia selalu sangat mempengaruhi perilaku petani lahan kering dalam menerapkan ide-ide baru yang berhubungan dengan kegiatan usaha jagung hibridanya. Ketersediaan

sarana dan prasarana adalah bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan dalam proses produksi untuk mencapai target yang telah ditentukan. Sarana dan prasarana dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih, pupuk, obat-obatan dan kelengkapan penyediaannya serta kemudahan transportasi

dan kelengkapan lainnya untuk kegiatan berusaha jagung hibrida. Akses terhadap modal keuangan

Tersedianya kredit (modal) bagi petani yang membutuhkannya akan merupakan kekuatan (baru) yang sangat menentukan kecepatan dan keberhasilan suatu penyuluhan (Mardikanto, 2009).

Modal merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan usahatani jagung hibrida. Tanpa adanya modal, petani akan sulit mengembangkan usahatani yang dilakukannya. Hernanto (1996) mengatakan bahwa modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang-barang baru yakni produksi pertanian. Berdasarkan

(43)

menggunakan tetapi modal yang berasal dari kredit yang milik orang lain tentunya ada persyaratan. Persyaratan dapat diartikan pembebanan yang menyangkut waktu pengambilan maupun jumlah serta angsurannya. Modal yang berasal dari warisan, tergantung dari pemberi. Sumber modal dari luar usahatani jagung hibrida dimaksud

bila petani memiliki usaha dari luar usahatani jagung hibrida yang cukup besar. Modal dari kontrak sewa diatur menurut jangka waktu tertentu sampai peminjam dapat mengembalikan.

Modal keuangan dibutuhkan untuk pengadaan benih dan upah tenaga kerja,

keberadaan modal sangat menentukan tingkat atau macam teknologi yang diterapkan dan dapat memberikan akibat yang positif atau negatif terutama pada usahatani dengan penguasaan lahan sempit. Akibat negatifnya antara lain kegagalan usaha atau kerugian sedangkan positifnya dapat memperoleh hasil yang lebih tinggi dan keuntungan yang banyak (Daniel, 2004).

Akses terhadap modal keuangan merupakan kemampuan petani dalam upaya mengembangkan teknologi jagung hibrida karena berhubungan pada produktivitas hasil usaha secara optimal. Akses terhadap modal keuangan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adanya kemudahan mengakses sumber modal/kredit yang

mendukung kegiatan produksi, besar-kecilnya modal yang dimiliki petani akan mempengaruhi produktivitas pengembangan usaha jagung hibrida di lahan kering. Intensitas penyuluhan

Menurut Asngari (2001), tujuan penyuluhan terbagi menjadi dua, yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah merubah

perilaku sumberdaya manusia kelayan yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap mentalnya. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah meningkatkan pendapatan sumberdaya manusia kelayan pengelola usahanya dengan pendapatan yang meningkat sumberdaya manusia kelayan dapat hidup lebih baik pula dan lebih sejahtera.

(44)

pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar (van den Ban & Hawkins, 2005).

Menurut Kartasapoetra (1994), bahwa tugas ideal seorang penyuluh adalah menyebarkan informasi yang bermanfaat, mengajarkan pengetahuan, keterampilan

dan kecakapan sesuai bidang penyuluhannya, memberikan rekomendasi yang menguntungkan guna perbaikan kehidupan sasaran penyuluhan, membantu mengikhtiarkan sarana produksi, fasilitas kerja serta bahan informasi pertanian yang diperlukan oleh petani, dan mengembangkan swakarya dan swasembada para petani

sehingga taraf kehidupannya lebih meningkat.

Intensitas penyuluhan merupakan kehadiran penyuluh dan responden dalam membicarakan teknologi jagung hibrida di lahan kering. Semakin banyaknya kehadiran petani dan penyuluh membicarakan dan mempraktekkan usahatani jagung hibrida, akan membuka wawasan dan cara berpikir petani sehingga terbuka dalam

mengadopsi teknologi jagung hibrida. Akses terhadap pasar

Mosher (1987) menempatkan pemasaran hasil sebagai syarat mutlak dalam pembangunan pertanian. Adanya pasar dan harga yang cukup tinggi maka seluruh

biaya yang dikeluarkan petani sewaktu berusahatani akan terbayar kembali, dengan demikian petani mempunyai semangat untuk meningkatkan volume usahataninya karena ketersediaan pasar yang terjangkau.

Proses perubahan dapat dirangsang oleh prospek ketersediaan pembeli, baik dalam bentuk lembaga atau perorangan meliputi pembelian produk, kemampuan

memberi informasi tentang prospek pemasaran produk yang mencakup jenis komoditi, jumlah produk, persyaratan mutu serta waktu tersedianya produk yang akan diminta oleh konsumen (Mardikanto, 2009).

Ketersediaan pasar adalah adanya pembeli yang dapat membeli dan menampung hasil yang diproduksi oleh petani dari jagung hibrida. Diduga, ketersedian pasar akan

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan antar peubah
Tabel 2 Nama kelurahan/desa, luas panen, populasi dalam teknologi jagung hibrida dan  jumlah sampel di  Kabupaten Timor Tengah Utara
Tabel 3  Peubah, indikator dan kategori pengukuran faktor internal petani
Tabel 4  Peubah, indikator dan kategori pengukuran faktor eksternal petani
+7

Referensi

Dokumen terkait