• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Jenis Meloidogyne spp., Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Jenis Meloidogyne spp., Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI JENIS Meloidogyne spp.,

PENYEBAB PENYAKIT UMBI BERCABANG PADA

WORTEL, Daucus carota (L.) DI JAWA TENGAH

MUHAMAD TAHER

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

MUAHAMAD TAHER. Identifikasi Jenis Meloidogyne spp., Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah. Dibimbing oleh SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA.

Penyakit umbi bercabang merupakan permasalahan baru dalam budidaya tanaman wortel di Indonesia. Penyakit dapat menurunkan kuantitas dan kualitas umbi sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi petani. Kurniawan (2010) menemukan beberapa spesies nematoda puru akar/NPA, Meloidogyne spp. sebagai penyebab primer penyakit umbi bercabang wortel di wilayah Jawa Barat. Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan identifikasi jenis

Meloidogyne spp. pada wortel di wilayah Jawa Tengah. Penelitian dilakukan di 3

lokasi di wilayah Dataran Tinggi Dieng dengan ketinggian/elevasi yang berbeda, yaitu 1300-1500 m dpl (di atas permukaan laut), 1500-1700 m dpl, dan di atas 1700 m dpl. Lokasi pertama dan kedua terletak di Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, dan lokasi ketiga di Dusun Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian dilakukan dalam empat tahap: (1) survei dan pendataan, (2) identifikasi gejala penyakit umbi bercabang pada tanaman wortel, (3) identifikasi pola perineal/sidik pantat, dan (4) identifikasi biologi molekuler. Survei dan pendataan dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan lokasi pengambilan sampel wortel. Identifikasi gejala penyakit umbi bercabang pada tanaman wortel dilakukan untuk memperoleh informasi tentang tipe gejala yang ditimbulkan oleh serangan NPA pada tanaman wortel di lahan. Identifikasi pola perineal/sidik pantat dilakukan dengan menggunakan sampel sebanyak 150 nematoda betina yang berasal dari umbi wortel yang terinfeksi NPA di tiga lokasi pada ketinggian berbeda. Sampel tersebut diidentifikasi dengan menggunakan metode pembuatan sidik pantat yang dilakukan Eisenback et al. (1981) dan Shurtleff and Averre (2005), dan disesuaikan dengan buku kunci identifikasi A guide to the four most common species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key

(Eisenback 2001). Identifikasi biologi molekuler dilakukan dengan teknik PCR ITS r-DNA (Internal Transcribed Spacer ribosomal DNA), menggunakan 3 primer spesifik untuk spesies Meloidogyne incognita, Meloidogyne javanica, dan

Meloidogyne arenaria. Selain itu digunakan pula jenis primer multipleks untuk

mengidentifikasi spesies Meloidogyne hapla (Adam et al. 2007). Proses ekstraksi yang dilakukan, disesuaikan dengan metode ekstraksi yang digunakan oleh Zouhar et al. (2000). Hasil identifikasi pola perineal/sidik pantat yang dilakukan menunjukan adanya empat spesies NPA, yaitu M. incognita, M. javanica, M.

arenaria, dan M. hapla yang berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang di tiga

lokasi pengamatan. Hal ini diperkuat dengan adanya hasil identifikasi dengan teknik PCR ITS r-DNA nematoda yang menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan empat spesies NPA tersebut.

(3)

IDENTIFIKASI JENIS Meloidogyne spp.,

PENYEBAB PENYAKIT UMBI BERCABANG PADA

WORTEL, Daucus carota (L.) DI JAWA TENGAH

MUHAMAD TAHER

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul : Identifikasi Jenis Meloidogyne spp., Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah.

Nama Mahasiswa : Muhamad Taher

NRP : A34070008

Disetujui,

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Supramana, M.Si. NIP. 19620618 198911 1001

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. NIP. 19620607 198703 1003

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.

NIP. 19650621 198910 2001

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Oktober 1989 dari pasangan Bapak Muhammad Natsir Mansyur dan Ibu Siti Asmah sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Inpres Nae Kota Bima, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan studi di Sekolah Menengah Pertama 2 Kota Bima, Nusa Tenggara Barat hingga tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMA N 1 Kota Bima, NTB hingga lulus. Selama menempuh pendidikan tersebut, penulis aktif di berbagai kegiatan ekstrakulikuler OSIS dan Karya Tulis Ilmiah. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman.

(6)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Identifikasi Jenis Meloidogyne spp. Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel, Daucus carota (L.) di Jawa Tengah”

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Supramana, M.Si. dan Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan serta masukan dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran bagi perbaikan skripsi. Ucapan terima kasih pula kepada segenap rekan-rekan Laboratorium Nematologi dan Virologi Tumbuhan (Mba Tuti, Bu Tri, Sherli, Fitri, Santi, Pak Edi). Kepada teman-teman Komunitas Basil, Johan (terima kasih sudah menemani pengambilan sampel), Harwan, Eter, Basten, Alfian, Latip, Vero, Bowo, Dika, Radhy, dkk. Kepada Mia selaku rekan satu penelitian nematoda dan Pak Gatot Heru Bromo yang telah banyak membantu dalam proses identifikasi.

Tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada para petani Dusun Sirangkel, Kepala Dusun dan keluarga, petani Dusun Condong Campur, Pak Iksan dan Pak Sukur. Kepada bunda yang menjadi inspirasi untuk selalu melakukan hal-hal yang positif. kepada Pak Yayi, Pak Kikin, dan Pak Saodik yang selalu memberikan motivasi (terima kasih untuk diskusinya tentang PCR dan fotografi).

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, petani, dan institusi dalam bidang pertanian.

Bogor, 29 Februari 2012

(7)

DAFTAR ISI

Gejala pada Tanaman di Lahan ... 10

Gejala pada Perakaran ... 10

Identifikasi Spesies Meloidogyne Melalui Pola Perineal (Perineal Pattern) .... 15

Identifikasi Spesies Meloidogyne Secara Molekuler... 16

METODE PENELITIAN ... 18

Identifikasi Gejala Penyakit pada Tanaman Wortel ... 19

Identifikasi Spesies NPA Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat ... 20

Identifikasi Spesies NPA Secara Molekuler (PCR ITS r-DNA) ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Dusun Sirangkel ... 24

Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Desa Condong Campur ... 26

(8)

vii

Tipe Gejala pada Umbi Wortel ... 30

Bentuk Umbi ... 30

Tipe Puru ... 32

Spesies Meloidogyne Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat ... 33

Spesies Meloidogyne Berdasarkan Hasil PCR ITS r-DNA ... 35

Distribusi Spesies NPA Berdasarkan Ketinggian Tempat... 36

KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Primer yang digunakan untuk setiap jenis NPA……… 21 Tabel 2 Komposisi bahan PCR reagen……… 22 Tabel 3 Tipe gejala penyakit pada umbi wortel yang terinfeksi NPA pada 3

lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel

dan Dusun Condong Campur ……….………... 31 Tabel 4 Keberadaan tipe puru pada umbi pada 3 lokasi pengambilan sampel

berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong

Campur... 32 Tabel 5 Prevalensi distribusi NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda

ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur………… 37 Tabel 6 Keberadaan spesies NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda

ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Tanaman wortel………... 4 Gambar 2 Morfologi pola perineal Meloidogyne spp. ……… 6 Gambar 3 Siklus Hidup Meloidogyne spp. ………... 7 Gambar 4 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne incognita ………. 12 Gambar 5 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne javanica ……….. 13

Gambar 6 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne arenaria………... 14 Gambar 7 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne hapla …………... 14 Gambar 8 Prosedur pembuatan pola perineal NPA betina…………... 16 Gambar 9 Foto satelit wilayah pengambilan sampel di Dusun

Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo dan Dusun Condong Campur Kecamatan Pejawaran,

Kabupaten Banjarnegara………. 24

Gambar 10 Benih wortel yang ditanam petani di lahan penelitian Dusun Sirangkel, Desa Mlandi, Kecamatan Garung,

Kabupaten Wonosobo………. 25

Gambar 11 Titik pengambilan sampel: (a) titik 1 dan (b) titik 2 di lahan penelitian Dusun Sirangkel ………..

26

Gambar 12 Titik pengambilan sampel 3 di Dusun Condong Campur, Kecamatan Pejawaran Kabupaten Banjarnegara………… 27

Gambar 13 Ciri khas serangan NPA berupa gejala botak pada pertanaman di lokasi pengambilan sampel di Dusun

Sirangkel dan Dusun Condong Campur………. 29

Gambar` 14 Contoh Gejala pada umbi wortel yang ditemukan di

lokasi pengambilan sampel………. 30

Gambar 15 Tipe puru pada perakaran wortel………. 33

Gambar 16 Pola Sidik Pantat NPA………. 34

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wortel (Daucus carota (L.)) merupakan tanaman yang berasal dari wilayah beriklim sedang (subtropis) yakni berasal dari Asia Timur dan Asia Tengah (Rukmana, 1995). Menurut Tindall (1983), budidaya wortel sendiri dimulai dari daerah Eropa dan Mediterania, kemudian menyebar ke berbagai wilayah tropis lainnya di dunia hingga wilayah Asia Tenggara.

Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di Jawa Barat yaitu daerah Lembang dan Cipanas, kemudian semakin berkembang dan menyebar luas ke daerah-daerah sentra sayuran di Jawa dan luar Jawa. Berdasarkan hasil survei pertanian produksi tanaman sayuran di Indonesia (BPS 2010), luas areal panen wortel nasional mencapai 27.149 hektar yang tersebar di 22 propinsi yaitu; Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, dan Papua.

Wortel bermanfaat sebagai sumber vitamin A, antioksidan, dan bermanfaat pula mencerahkan dan memutihkan kulit. Disamping itu, potasium yang

dikandung oleh wortel dapat digunakan untuk membantu menetralkan racun (terutama logam berat yang ditimbulkan oleh polusi udara), serta dapat mengantisipasi pembentukan endapan dalam saluran kencing, paru-paru, jantung, dan hati (Honggodipuro 2008).

(12)

2

umbi bercabang disebabkan oleh fitoplasma, entomologis menduga penyakit

tersebut akibat dari gigitan serangga pada awal pertumbuhan, dan ahli tanah menduga karena kurangnya unsur hara tanah, manajemen pengairan yang kurang tepat, dan tanah yang terlalu keras dan berbatu (Nunez et al 2008).

Kurniawan (2010) melaporkan hasil surveilan dan identifikasi yang dilakukan di daerah Cipanas, Kabupaten Cianjur bahwa di daerah tersebut ditemukan adanya gejala dan infeksi nematoda pada wortel berupa malformasi bentuk pada umbi. Hasil penelitian yang dilakukan di College of Tropical

Agriculture and Human Resource University o Hawaii menjelaskan bahwa gejala

malformasi bentuk pada umbi dapat berupa umbi bercabang (forking) dan adanya puru (galling) (Tanaka et al. 1997). Selain itu terdapat pula bentuk umbi membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain and Baker 1980; Vrain 1982). Gejala malformasi bentuk umbi ditemukan mulai dari dataran medium hingga dataran tinggi. Gejala malformasi bentuk pada umbi sebelumnya telah dilaporkan pula oleh Hay (2005), bersumber dari hasil penelitian yang dilakukan di Tasmanian Institut of

Agricultural Research bahwa gejala yang terjadi pada umbi wortel tersebut

disebabkan oleh infeksi nematoda puru akar (NPA).

Penyakit umbi bercabang merupakan penyakit penting dalam budidaya tanaman wortel. Penyakit ini menjadi masalah nomor dua dalam budidaya wortel di Amerika Serikat dengan tingkat kehilangan hasil mencapai 50% (Ferris 2008; Sorensen and Long 2000). Meloidogyne incognita dilaporkan menjadi penyebab

kehilangan hasil pada tanaman wortel CV Gold Pac di Italia, M. incognita dan M.

javanica juga menyebabkan kerugian pada wortel CV Aline di Brazil (Luc et al.

2005). Data BPS produksi wortel di Indonesia sendiri pada tahun 2005-2006 mengalami penurunan sebesar 11,05% (dari 440.002 menjadi 391.370 ton/tahun) dan pada tahun 2005-2009 menjadi 19,78% (dari 440.002 menjadi 352.963 ton/tahun). Hasil survei yang dilakukan Kurniawan (2010) di daerah Cipanas, Kabupaten Cianjur, diketahui pula terjadi kehilangan hasil dengan kisaran 5 hingga 95% akibat gangguan penyakit ini.

(13)

fokus permasalahan menjadi semakin jelas bahwa penyebab penyakit pada wortel

yang menyebabkan terjadinya malformasi bentuk adalah NPA.

Penelitian penyakit umbi bercabang telah dilakukan oleh Kurniawan (2010) di daerah Jawa Barat dengan hasil yang membuktikan bahwa terdapat serangan NPA di lokasi penelitian. Penambahan lokasi surveilan dan identifikasi dilakukan kembali untuk melihat potensi penyebaran NPA sendiri di Indonesia. Salah satu daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Jawa Tengah. Survei dan identifikasi penyakit umbi bercabang yang disebabkan oleh NPA dilakukan untuk mengetahui beberapa jenis NPA yang terdapat di daerah tersebut.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis NPA (Meloidogyne

spp.) yang berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang pada wortel di daerah Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis

Meloidogyne spp. penyebab penyakit umbi bercabang pada tanaman wortel di

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Wortel

Tanaman Wortel dalam taksonomi tumbuhan termasuk ke dalam Kelas

Dicotyledonae (berkeping dua), Ordo Umbeliferae, Genus Daucus, dan Spesies

Daucus carota (L.) (Cahyono 2002 dalam Pohan 2008).

Susunan tubuh tanaman wortel terdiri atas daun dan tangkainya, batang,

dan akar. Secara keseluruhan wortel merupakan tanaman setahun yang tumbuh

tegak hingga 30-100 cm atau lebih. Wortel memiliki daun yang bersifat

majemuk menyirip ganda dua atau tiga dan anak-anak daun berbentuk lanset

(garis-garis). Setiap tanaman memiliki 5 sampai 7 tangkai daun yang berukuran

agak panjang. Tangkai daun kaku dan tebal dengan permukaan yang halus,

sedangkan helaian daun lemas dan tipis (Keliat 2008).

Tanaman ini memiliki batang pendek, akar tunggang yang bentuk dan fungsinya berubah menjadi umbi bulat dan memanjang, dan kulit umbi yang tipis. Umbi memiliki warna seperti kuning kemerahan, jingga, putih, ungu. Kulit luar umbi terlihat tipis, dan jika dimakan mentah terasa renyah dan agak manis. Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur, kaya bahan organik (humus), dan lahan tidak tergenang (pengairan yang baik) (Honggodipuro 2008).

Gambar 1 Tanaman Wortel: (a) Umbi wortel, (b) Bunga, (c) Bagian-bagian penampang wortel (Makmum 2007)

(15)

Tanaman wortel memiliki pola tumbuh yang bersifat biennial. Tanaman ini memiliki batang yang pendek dan berbentuk seperti piringan pada pertumbuhan awal dan akan memanjang pada pertumbuhan berikutnya. Tandan bunga merupakan karangan karangan bunga yang berbentuk payung. Bunga wortel bersifat hermaprodit dengan sistem penyerbukan melalui menyerbuk silang yang umumnya dibantu oleh serangga (Tindall 1983).

Bunga wortel berwarna putih dan terdiri atas masing-masing sepal dan petal yang berjumlah lima. Bakal buah berbulu, buah berbentuk bulat, panjang 3 sampai 4 mm dengan tepi berduri. Kedudukan daun berselang dengan tangkai daun, panjang dan membentuk pelepah pada pangkalnya (Tindall 1983).

Tanaman wortel membutuhkan lingkungan tumbuh yang suhu udaranya dingin dan lembab. Menurut Rukmana (1995), di Indonesia wortel umumnya ditanam di dataran tinggi pada ketinggian di atas 1000 m dpl, namun terdapat pula pada ketinggian 700 m dpl seperti di daerah Cipanas, Jawa Barat (Kurniawan 2010). Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah lempung berpasir yang dalam sedangkan tanah yang berat dapat menghambat pertumbuhan umbi wortel. Wortel memerlukan tanah dengan pH 6 sampai 6,5 dan suhu lingkungan 16 sampai 24 0C untuk dapat tumbuh dengan baik. Suhu tinggi mengakibatkan

terhambatnya perkecambahan, penurunan kandungan β-karoten, memucatnya warna umbi, dan berseratnya jaringan akar (Tindall 1983).

(16)

6

Meloidogyne spp.

Klasifikasi

Meloidogyne spp. termasuk dalam Ordo Tylenchida, Subordo Tylencina,

Famili Heteroderoidae, dan Genus Meloidogyne (Dropkin 1991). Nematoda ini memiliki sedikitnya 90 spesies (Karsen 2000), dan terdapat lima spsesies yang dipertimbangkan sebagai nematoda parasit penting pada tanaman secara global, diantaranya spesies M. incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M.

chitwood (Kurniawan 2010).

Morfologi

Nematoda memiliki ukuran tubuh yang kecil dan tidak dapat dilihat secara langsung dengan mata telanjang sehingga dibutuhkan bantuan mikroskop untuk melihat ciri morfologi yang dimilikinya. Spesies jantan dan betina memiliki bentuk tubuh yang berbeda satu sama lain. Nematoda jantan memiliki bentuk tubuh memanjang seperti cacing, sedangkan nematoda betina pada saat dewasa memiliki bentuk tubuh seperti buah pear atau sferoid (Agrios 2005).

Nematoda jantan dewasa memiliki ukuran panjang tubuh antara 887 hingga 1268 µ m. Bentuk kepala tidak berlekuk dan memiliki stilet yang lebih panjang dibandingkan dengan betinanya yakni 16 sampai 19 µ m. bergerak lambat di dalam tanah dengan ekor pendek dan membulat pada bagian posterior terpilin (Eisenback 2003).

(17)

Betina dewasa memiliki ukuran panjang 430-740 µ m. Stilet untuk

menembus perakaran mempunyai panjang 11,5-14,5 µm. Nematoda betina memiliki stilet lemah melengkung ke arah dorsal dengan knob dan pangkal knob

yang tampak jelas. Terdapat pola jelas pada striae yang berada di sekitar vulva dan anus yang disebut dengan pola perineal (perinneal pattern) (Gambar 2). Morfologi umum dari pola perineal jenis Meloidogyne spp. dibagi menjadi dua, yaitu bagian dorsal dan ventral. Bagian dorsal terdiri dari lengkungan striae

dorsal, punctuations (tonjolan berduri), phasmid, ujung ekor, dan garis lateral, sedangkan bagian ventral terdiri dari striae ventral, vulva, dan anus. Setiap spesies

Meloidogyne memiliki beberapa variasi pola perineal yang menjadi ciri khusus

untuk dapat diidentifikasi.

Biologi

Nematoda puru akar bersifat obligat tersebar luas di daerah iklim tropik maupun iklim sedang. Perkembangbiakan tanpa individu jantan dalam reproduksi terjadi pada banyak jenis, namun pada jenis yang lain reproduksi seksual masih terjadi dalam perkembangbiakannya. Telur-telur yang dihasilkan nematoda betina dewasa diletakan berkelompok pada massa gelatinus yang bertujuan untuk melindungi telur dari kekeringan dan jasad renik (Dropkin 1991).

(18)

8

Massa telur yang baru terbentuk biasanya tidak berwarna dan berubah

menjadi coklat setelah tua. Nematoda betina dapat menghasilkan telur hingga 500 butir telur dalam satu massa gelatinus (paket telur). Embrio nematoda berkembang menjadi juvenil 1 (J1) yang mengalami pergantian kulit pertama di dalam telur. Telur menetas dan J1 mengalami perubahan menjadi juvenil 2 (J2) yang muncul pada suhu dan kelembaban yang sesuai dan bergerak aktif di dalam tanah menuju akar yang sedang tumbuh. Juvenil 2 masuk ke dalam akar dan merusak sel-sel akar dengan stiletnya. Selanjutnya, di dalam akar J2 bergerak di antara sel-sel sampai tiba di tempat dekat silinder pusat atau berada di daerah pertumbuhan akar samping. Juvenil 2 akan hidup menetap pada sel-sel tersebut, mengalami pertumbuhan dan pergantian kulit hingga menjadi juvenil 3 (J3) dan juvenil 4 (J4) yang selanjutnya menjadi nematoda jantan atau betina dewasa (Dropkin 1991).

Nematoda jantan dewasa berbentuk memanjang seperti cacing dan hidup di dalam tanah atau pada jaringan akar, sedangkan nematoda betina yang berbentuk seperti buah pear akan tetap tertambat dan tinggal pada daerah makanannya atau sel awal di dalam stele dengan bagian posterior tubuhnya berada pada permukaan tanah. Selama hidupnya, nematoda betina akan terus-menerus menghasilkan telur hingga mencapai 1000 butir telur. Keberadaan nematoda akan merangsang sel-sel untuk membelah, sehingga terbentuk puru pada akar tanaman (Luc et al. 1995). Proses pembentukan puru ditandai dengan adanya lima sampai tujuh sel di sekeliling nematoda yang menjadi sel raksasa (giant cell) (Agrios 2005).

Mekanisme Infeksi NPA

(19)

dan sinsitium sebagai sumber nutrisinya (Vrain 1999; Williamson & Richard

1996).

NPA mengeluarkan enzim yang dapat menguraikan dinding sel tumbuhan terutama terdiri dari protein, polisakarida seperti pektin selulase dan hemiselulase serta patin sukrosa dan glikosid menjadi bahan-bahan lain. Meloidogyne spp. mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa dan enzim endopektin metal transeliminase yang dapat menguraikan pektin. Terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel ini menyebabkan dinding sel akan rusak dan terbentuk luka. Selanjutnya nematoda ini bergerak di antara sel-sel atau menembus sel-sel menuju jaringan sel yang terdapat cukup cairan makanan. Betina NPA yang bersifat endoparasit sedentari hidup dan berkembang biak di dalam jaringan sel, mengeluarkan enzim proteolitik dengan melepaskan asam indol asetat (IAA) yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga membantu terbentuknya puru (Lamberti and Taylor 1979).

Akar tanaman yang terinfeksi NPA dapat mengakibatkan timbulnya puru bulat atau memanjang dengan ukuran yang bervariasi. Apabila tanaman terinfeksi berat oleh NPA, sistem akar yang normal berkurang sampai pada batas jumlah akar yang berpuru berat dan menyebabkan sistem pengangkutan mengalami gangguan secara total. Sistem akar mengalami disfungsi dalam menyerap dan menyalurkan air maupun unsur hara. Tanaman mudah layu, khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil (Luc et al. 1995). Akar yang terinfeksi oleh Meloidogyne spp. Mengalami gangguan diferensiasi xilem dan

floem. Sel-sel periskel mengganti beberapa pembuluh kayu dan tapis didalam puru akar yang menyebabkan fungsi akar menjadi berkurang. Akar yang terinfeksi mengalami pertumbuhan baru dan pengangkutan air dan nutrisi dari akar ke bagian permukaan atas tanaman makin berkurang (Dropkin 1991).

Gejala Penyakit

(20)

10

serta perakaran yang memiliki banyak bintil atau puru akar (Endah & Novizan

2002).

Tanaman wortel merupakan salah satu inang bagi nematoda Meloidogyne

spp. (Agrios 2005). Infeksi NPA pada tanaman wortel dapat dideteksi dari gejala yang timbul pada tajuk dan perakaran. Lahan yang terinfeksi nematoda dapat terlihat pula dari kondisi tanaman di lahan, ditandai dengan adanya pertumbuhan dan tinggi tanaman yang tidak merata pada pertanaman atau disebut juga dengan gejala botak pada pertanaman.

Gejala pada Tanaman di Lahan

Gejala awal pada tanaman yang terinfeksi umumnya terlihat pada tajuk, ditandai dengan menguningnya daun di sekitar tajuk, layu, dan tanaman menjadi kerdil. Pertumbuhan tanaman menjadi tidak maksimal akibat adanya gangguan saluran pengangkut air dan nutrisi (xilem dan floem) (Agrios 2005). Individu tanaman yang terinfeksi tidak dapat tumbuh secara optimal sehingga terlihat berbeda dengan tanaman sehat.

Menurut Kurniawan (2010), infeksi ringan nematoda di lahan pertanaman wortel berawal dari infeksi spasial pada pertanaman. Hal ini memungkinkan masih terdapatnya individu tanaman yang bebas NPA pada infeksi awal di lahan. Tanaman yang terinfeksi dan tidak terinfeksi terlihat berbeda pertumbuhannya sehingga tinggi tanaman menjadi tidak merata. Gejala ini merupakan gejala khas dari infeksi nematoda di lahan atau disebut juga dengan gejala botak pada

pertanaman. Gejala botak pada pertanaman disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan tanaman, dan infeksi dengan intensitas infeksi yang tinggi dapat menyebabkan benih tanaman mati muda.

Gejala pada Perakaran

(21)

dengan infeksi NPA. Tanaman yang terinfeksi berat oleh NPA dapat

menyebabkan sistem perakaran mengalami disfungsi secara total (adanya pengurangan jumlah akar). Pembentukan akar baru hampir tidak terjadi dan fungsi perakaran terhambat dalam menyerap dan menyalurkan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman (Davis 1981). Akar yang terinfeksi biasanya pendek dan mempunyai sedikit akar lateral dan rambut-rambut akar (Agrios 2005).

NPA juga menginfeksi umbi sehingga umbi mengalami malformasi, bentuk umbi menjadi bulat pendek, bercabang, dan berpuru (Nunez et al. 2008). Bentuk lain dari malformasi umbi yang terinfeksi NPA juga terlihat seperti umbi bercabang (forking) (Tanaka et al. 1997), membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain and Baker 1980; Vrain 1982).

Tanaman wortel yang terinfeksi NPA menyebabkan menjadi lebih rentan terhadap infeksi cendawan (Fusarium, Pythium, Rhizoctonia, dan Sclerotium

rolfsii), bakteri (Pseudomonas/Ralstonia solanacearum), dan virus (Tobacco

mosaic virus). Sifat interaksi dengan patogen lain adalah sinergistik, artinya

keparahan penyakit akan meningkat dengan adanya infeksi ganda. Pada infeksi yang parah, maka stele yang keras merupakan satu-satunya sisa sistem perakaran yang masih utuh (Luc et al. 2005). NPA dapat meningkatkan infeksi oleh cendawan patogen karena kandungan eksudat puru akar diubah dan jumlahnya meningkat, sehingga cendawan pada stadium istirahat yang terjangkau oleh akar menjadi aktif (Agrios 2005).

Spesies Meloidogyne

Meloidogyne spp. merupakan jenis nematoda yang tersebar hampir di

(22)

12

Meloidogyne incognita

Spesies M. incognita merupakan nematoda parasit tanaman yang penting di seluruh daerah tropika. Beberapa tanaman inang spesies ini adalah kapas, kentang, tebu, wortel, tomat, tanaman hias, dan lain-lain (Thomas et al. 2004).

Suhu optimum yang dibutuhkan oleh M. incognita untuk melakukan reproduksi berkisar antara 18-30 0C, dapat mengalami peningkatan populasi hingga 47% pada suhu optimum pertumbuhannya yakni antara 15-25 0C (Eisenback 2003).

Spesies M. incognita memiliki ciri khas berupa lengkung striae bagian dorsal yang berbentuk persegi (sudut ± 900), dan lengkung striea dengan pola garis yang bergelombang (Gambar 4). Hal inilah yang menjadi karakter khusus untuk mengenali M. incognita dalam kegiatan identifikasi pola perineal (Eisenback et al. 1981).

Siklus hidup dari nematoda ini sekitar 30 sampai 60 hari tergantung dari

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hidup nematoda seperti suhu optimum, ketersediaan inang, dan lingkungan yang sesuai untuk melakukan reproduksi.

(23)

Meloidogyne javanica

Nematoda M. javanica termasuk spesies yang tersebar hampir di seluruh dunia, khususnya di daerah tropika sampai ketinggian 3000 m dpl (Semangun 2006). Tanaman inang dari M. javanica antara lain tomat, kentang, wortel, tanaman hias, tembakau, sayuran, dan buah-buahan (Semangun 2006).

Suhu optimum yang dibutuhkan oleh spesies ini memiliki perbedaan pada setiap setiap stadium daur hidupnya (Southey 1978), namun suhu optimum yang diperlukan untuk berkembang dengan baik berkisar antara 25-30 0C. Munculnya populasi M. javanica terbesar terjadi pada pH antara 6,4 sampai 7 dan akan terhambat pada pH di bawah 5,2 (Southey 1978).

Proses identifikasi pola perineal pada spesies ini dilakukan dengan cara

melihat ciri khas berupa garis lateral yang memisahkan striae bagian dorsal dan ventral (Gambar 5) (Eisenback 2003). Diantara dua garis lateral tersebut terdapat daerah kosong dan tidak ada striae dorsal dan ventral yang saling berikatan.

Meloidogyne arenaria

M. arenaria merupakan spesies yang dapat menyebar bukan hanya di

daerah tropik, namun juga terdapat di daerah subtropik (Luc et al. 1995). Karakteristik morfologi dari spesies ini berupa pola perineal yang sangat variabel, ditandai dengan lengkungan tepi yang rendah dan bulat dengan striae yang halus hingga bergelombang (Eisenback dan Triantaphyllou 1991). Pola perineal dari

(24)

14

spesies ini merupakan variasi dari spesies M. hapla dan M. incognita. Bagian

striae bercabang pada garis lateralnya dan merupakan pola yang dimiliki oleh

sebagian besar spesies ini (Gambar 6). Nematoda jantan memiliki bentuk kepala dan stilet yang pendek dan agak bulat (Eisenback et al. 1981).

Meloidogyne hapla

Spesies ini terdapat di daerah beriklim sedang dan kadang-kadang terdapat di dataran tinggi tropik (Luc et al. 1995). M. hapla akan memiliki populasi dan tingkat infeksi yang rendah apabila temperatur dari wilayah tersebut tidak sesuai dengan suhu optimum yang dibutuhkannya. Beberapa tanaman yang memiliki tingkat infeksi M. hapla yang rendah antara lain semangka, kapas, dan jagung.

Gambar 6 Ciri khusus pola perineal Meloidogyne arenaria (Sumber: Eisenback 2003)

(25)

Gambar 7 memperlihatkan jenis M. hapla yang memiliki ciri khas pola

perineal berupa tonjolan-tonjolan seperti duri pada zona ujung ekor (Eisenback et al. 1981). Tonjolan-tonjolan seperti duri membentuk lingkaran atau elips pada ujung ekor. Karakter ini tidak dimiliki oleh spesies Meloidogyne lainnya sehingga menjadi karakter khas M. hapla.

Bentuk gejala yang disebabkan oleh infeksi nematoda ini berbeda denga gejala infeksi spesies lainnya, yakni berupa puru kecil, bentuk seperti bola, dan terbentuk akar rambut (hairy roots) yang berasal dari jaringan puru (Luc et al.

1995).

Identifikasi Spesies Meloidogyne Melalui Pola Perineal (Perineal Pattern)

Identifikasi pola perineal (perineal pattern) atau pola sidik pantat merupakan salah satu teknik identifikasi nematoda yang diperkenalkan oleh Eisenback et al. (1981). Identifikasi pola perineal atau sidik pantat dilakukan untuk mengatahui spesies NPA berdasarkan ciri morfologi pada nematoda betina. Teknik ini menggunakan individu nematoda betina dewasa sebagai sampel identifikasi. Masing-masing nematoda betina diidentifikasi melalui pola perineal dan dilihat karakter khas yang dimilikinya.

Prosedur identifikasi pola perineal yang dilakukan dimulai dari mendeteksi keberadaan nematoda (terutama telur) pada puru akar, proses pembuatan preparat sidik pantat, pengamatan preparat di bawah mikroskop, dan identifikasi. Proses pembuatan preparat dilakukan sesuai dengan acuan kegiatan identifikasi pola

perineal yang telah dilakukan Eisenback et al. (1981) dan Shurtleff and Averre (2005), kemudian disesuaikan dengan buku kunci identifikasi A guide to the four most common species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a

pictorial key (Eisenback 2001)

(26)

16

Pembuatan preparat pola perineal nematoda betina mengacu pada proses pembuatan preparat Eisenback et al. (1981), seperti yang terlihat pada Gambar 8. Umbi yang diduga terinfeksi nematoda dijadikan sebagai sampel bedah. Kemudian dari sampel umbi yang bergejala dilakukan pembedahan untuk mengambil individu nematoda betina dewasa. Individu nematoda betina dewasa inilah yang dijadikan sebagai bahan identifikasi spesies NPA dengan cara mengamati bagian perinealnya. Bagian perineal (preparat sidik pantat) diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x dan hasilnya disesuikan dengan kunci identifikasi.

Identifikasi Spesies Meloidogyne Secara Molekuler

Identifikasi nematoda dengan pendekatan biologi molekuler berbasis DNA merupakan langkah identifikasi yang lebih maju dan memiliki tingkat kecepatan, akurasi, dan sensitifitas yang terpercaya. Teknik PCR-RFLP (Restiction Fragment

Length Polymorphism) diketahui telah berhasil digunakan untuk melakukan

identifikasi spesies NPA (Power 1993; Zijlstra 1995; Orui 1998). Terdapat pula teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD-PCR) yang ternyata diketahui lebih sederhana dan lebih cepat dalam pelaksanaannya. Cenis (1993) mengadopsi RAPD-PCR untuk mengidentifikasi 4 spesies NPA, tetapi tidak diuji coba untuk juvenil II NPA kecuali M. javanica. Teknik lainnya adalah PCR ITS r-DNA (Internal Transcribed Spacer Ribosomal DNA) berdasarkan sistem kerja

(27)

pemisahan spesies Meloidogyne dengan amplifikasi gen DNA ribosoma.

Amplifikasi bagian tertentu dari genom nematoda merupakan langkah yang efektif untuk melihat karakterisasi dan identifikasi nematoda (Powers dan Harris 1993). Bagian genom yang paling informatif adalah bagian ribosomal DNA repeat unit (r-DNA), yang mengandung Internal Transcribed Spacers 1 (ITS1) dan ITS2.

Prosedur yang dilakukan pada teknik PCR untuk identifikasi nematoda dimulai dengan proses ekstraksi DNA NPA yang dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain (1) metode minipreparation yang dilakukan oleh Cenis (1993) untuk mengekstraksi jumlah DNA yang cukup banyak dari nematoda betina dewasa; (2) Metode buffer lisis; (3) Metode air steril yang menggunakan air steril untuk mengekstraksi DNA nematoda.

Menurut Muladno (2010), proses amplifikasi DNA nematoda terjadi melalui tahap awal yakni tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada suhu 94

0

C sampai dengan 96 0C, molekul DNA mengalami denaturasi sehingga strukturnya berubah dari untai ganda menjadi untai tunggal.

Tahap kedua, pada suhu 50 0C sampai dengan 60 0C terjadi proses penempelan atau annealing. Primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi komplemennya. Hal yang sama juga terjadi pada primer reverse yang menempel pada untai tunggal lainnya.

Proses berikutnya, setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim polymerase mulai mensintesis molekul DNA baru yang

(28)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Kegiatan identifikasi penyebab penyakit umbi bercabang pada wortel

dilakukan di Laboratorium Nematologi dan Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel wortel yang terserang penyakit umbi bercabang dilakukan di daerah Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, dan Dusun Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Penelitian dilakukan sejak bulan April 2011 hingga Oktober 2011.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam empat tahap kegiatan: (1) survei dan pendataan, (2) identifikasi gejala penyakit pada tanaman wortel, (3) identifikasi sidik pantat, dan (4) identifikasi biologi molekuler.

Survei dan Pendataan

Survei

Survei dilakukan secara acak di beberapa kebun wortel milik petani di daerah Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, dan Dusun

Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Lokasi pengambilan sampel pertama (lokasi 1) bertempat di Dusun Sirangkel dengan ketinggian lokasi 1300-1500 m dpl. Titik pengambilan sampel kedua dilakukan pula di Dusun Sirangkel dengan ketinggian yang berbeda dari lokasi pertama

yakni 1500-1700 m dpl. Lokasi pengambilan sampel ketiga bertempat di Dusun Condong Campur dengan ketinggian > 1700 m dpl.

(29)

bergejala diusahakan dalam keadaan lembab dan disimpan dalam kantung plastik

secara terpisah. Bagian atas tumbuhan biasanya lebih cepat membusuk sehingga harus ditempatkan di dalam kantung khusus bila ingin disimpan dalam beberapa hari (Trigiano et al. 2004).

Pendataan

Pendataan dilakukan untuk mendapatkan informasi awal mengenai lokasi kebun, ketinggian tempat, luas kebun, varietas wortel yang ditanam, produksi per hektar, jumlah dan tipe puru, keberadaan wortel bercabang, adanya hairy root,

teknik olah tanah, kedalaman olah tanah, jenis tanah, intensitas dan asal irigasi, serta penggunaan pupuk dan nematisida. Hasil pendataan dimaksudkan untuk dapat memberikan informasi tambahan tentang kondisi wilayah serta keberadaaan gejala penyakit di lahan pengamatan.

Identifikasi

Identifikasi Gejala Penyakit pada Tanaman Wortel

Wortel yang terinfeksi oleh nematoda umumnya memiliki gejala yang terlihat pada tajuk, ditandai dengan menguningnya daun di sekitar tajuk, layu, dan tanaman menjadi kerdil. Pertumbuhan tanaman menjadi tidak maksimal akibat adanya gangguan saluran pengangkut nutrisi (xilem dan floem) (Agrios 2005). Individu tanaman yang terinfeksi tidak dapat tumbuh secara optimal sehingga

terlihat berbeda dengan tanaman yang tidak terinfeksi. Selain itu, tanaman bergejala akan memperlihatkan keadaan umbi yang mengalami malformasi.

(30)

20

Identifikasi Spesies NPA Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat

Identifikasi dilakukan melalui sidik pantat nematoda betina. Akar-akar terinfeksi NPA dicuci untuk menghilangkan partikel tanah yang menempel. Nematoda betina yang membengkak pada jaringan puru akar dicungkil hati-hati. Bagian anterior dipotong dengan pisau khusus kemudian bagian posterior ditekan agar kandungan di dalamnya keluar. Potongan dipindahkan ke dalam laktofenol dingin (0.03% cotton blue) dan dibiarkan sedikitnya 24 jam. Bagian posterior disayat dan jaringan di dalam dibuang secara hati-hati. Sidik pantat kemudian dipindahkan ke gelas objek lain dengan ditetesi setetes laktofenol (0.01% cotton blue). Gelas penutup direkat dengan kutek kuku kemudian diamati lebih lanjut di bawah mikoskop cahaya dengan perbesaran 400x (Eisenback et al. 1981; Shurtleff

and Averre 2005). Sampel betina yang diamati secara keseluruhan berjumlah 150 ekor

Identifikasi Spesies NPA Secara Molekuler (PCR ITS r-DNA)

Identifikasi biologi molekuler dilakukan dengan menggunakan teknik PCR ITS r-DNA. Secara sistematis proses dimulai dari ekstraksi DNA nematoda langsung dari akar yang berpuru. Sebanyak 0,5 g puru akar ditambahkan dengan nitrogen cair, digerus dengan mortar dan pestle. Kemudian ditambahkan buffer ekstrak (50 mM Tris-HCl pH 8.0, 0.7 NaCl, 10 mM EDTA, 1 % CTAB) hingga menjadi homogen dengan pistil. Hasil gerusan dimasukan ke dalam tabung mikro 2 ml, kemudian diinkubasi dalam penangas air (water bath) pada suhu 60 oC

selama 2 jam (setiap 10 menit tabung mikro dibolak-balik untuk membantu proses lisis). Tabung mikro dari penangas selanjutnya didinginkan sekitar 3-5 menit pada suhu ruang. Proses selanjutnya adalah penambahan chloroform dengan perbandingan 1:1, dicampurkan hingga homogen dengan cara divorteks selama 3 menit. Suspensi yang terbentuk disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 12.000 rpm. Supernatan hasil sentrifugasi, diambil secara hati-hati sebanyak 500 µ l dan dipindahkan ke dalam tabung mikro yang baru.

Sodium asetat (CH3COONa 3M; pH 5,2) ditambahkan ke dalam

(31)

homogen. Selanjutnya, tabung diinkubasi pada suhu -20 oC selama 1 malam

(overnight). Suspensi kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama

10 menit. Cairan dalam tabung dibuang dan pelet (endapan DNA) yang terbentuk dicuci dengan alkohol 70% sebanyak 200 ml, kemudian dilanjutkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Cairan alkohol yang digunakan untuk mencuci pelet dibuang dan endapan DNA dikeringkan. Buffer TE ditambahkan pada tabung mikro sebanyak 30-100 µl sesuai dengan ketebalan endapan DNA.

Amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR dengan primer spesifik untuk

M. javanica, M arenaria, M. incognita, dan multipleks primer untuk M. chitwood,

M. hapla, M. falax. Primer didesain dari bagian mitokondria untuk mengkode

sitokrom oksidase unit II dan 16S rRNA (Tabel 1).

Tabel 1 Primer yang digunakan untuk setiap jenis NPA

(32)

22

PCR reagen yang digunakan terdiri dari ddH2O, Taq buffer 10x Mg2+,

sukrosa, dNTP, primer F (forward), primer R (reverse), dan Taq DNA

polymerase. Komposisi bahan yang digunakan dibuat untuk 18 kali reaksi dengan

komposisi sesuai keterangan pada Tabel 2 berikut. digunakan. Barulah proses amplifikasi DNA nematoda dilakukan melalui lima tahap, yakni denaturasi, annealing, extension/elongation, final elongation, dan

final hold. Proses denaturasi extension/elongation, final elongation, dan final hold

untuk setiap DNA spesies Meloidogyne umumnya memerlukan suhu dan waktu yang sama, hanya proses annealing saja yang berbeda untuk setiap DNA spesies yang diuji. Proses annealing untuk setiap DNA spesies nematoda diprogram secara terpisah, tergantung primer yang digunakan. Proses anneling spesies M.

incognita membutuhkan suhu antara 57-59 oC selama 45 detik, M. javanica

membutuhkan suhu antara 55-58 oC selama 45 detik, M. arenaria membutuhkan suhu 56 oC selama 45 detik, dan M. hapla membutuhkan suhu 58 oC selama 45

C selama 5 menit untuk proses final hold. Siklus PCR cycle dilakukan sebanyak 45 kali.

(33)

berukuran ± 1000 bp, M. javanica memiliki ukuran ± 720 bp, M. arenaria

memilki ukuran ± 420 bp, dan M. hapla memiliki ukuran ± 440 bp.

DNA nematoda hasil amplifikasi dianalisis untuk melihat visualisasi DNA melalui elektroforesis menggunakan gel agarose 1% dalam 40 ml buffer TBE (sebanyak 0,403 g) dengan komposisi bahan Tris-HCl 1 M pH 8 sebanyak 5 ml, EDTA 0,25 M sebanyak 2,5 ml, NaCl 2,5 M sebanyak 2,5 ml, SDS 10% sebanyak 1,25 ml, dan air 13,75 ml. Setelah agarose dipanaskan selama 2 menit

dan agarose dingin, bahan tersebut ditambahkan dengan ethidium bromide

sebanyak 0,5 µ l untuk setiap 10 ml bahan. Kemudian sebanyak 40 ml agarose

dingin dituangkan ke dalam wadah cetakan. Pengukuran DNA menggunakan penanda 1 Kb ladder. Sampel disiapkan dengan mencampurkan 7 µ l sediaan DNA yang masing-masing sampel diisikan dalam sumuran gel dengan mikro pipet. Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 100 V DC selama 20 menit. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan transiluminator UV dan direkam dengan kamera.

Selain ekstraksi menggunakan puru, digunakan pula ekstraksi nematoda betina Meloidogyne spp.. Sebanyak 20 ekor nematoda betina dimasukan ke tabung mikro 2 ml. Kemudian ditambahkan buffer ekstrak (200 mM Tris HCl: pH 8,5, 250 mM Na Cl, 25 mM EDTA: pH 8,0, dan 0,5% SDS) sebanyak 150 µ l ke dalam tabung. Selanjutnya nematoda dalam tabung digerus sampai halus dengan menggunakan cornical grinder steril. Larutan sodium asetat (CH3COONa 3 M: pH 5,2) sebanyak 0,5 volume ditambahkan ke dalam tabung dan disimpan dalam

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Dusun Sirangkel

Dusun Sirangkel merupakan salah satu dusun yang terdapat di Desa Mlandi sedangkan Desa Mlandi sendiri adalah bagian dari 15 Desa yang terdapat di Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo (Gambar 9a). Potensi pertanian Kecamatan Garung meliputi lahan pertanian seluas 5.122,03 ha dengan 5,74% merupakan tanah sawah dan 94% adalah tanah kering. Tanaman yang umum ditanam di daerah ini meliputi tanaman serealia, tanaman palawija, tanaman hortikultura, tanaman biofarmaka, tanaman perkebunan, dan tanaman kehutanan (BPP Marsudi 2011).

Gambar 9 Foto satelit wilayah pengambilan sampel berada pada satu garis Dataran Tinggi Dieng: (a) Dusun Sirangkel, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, (b) Dusun Condong Campur Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara.

(35)

Kecamatan Garung berada pada ketinggian 800 hingga 1500 m dpl. Dusun

Sirangkel sendiri merupakan Dusun yang terletak pada ketinggian tertinggi di kecamatan tersebut. Dusun ini berada pada ketinggian antara 1300 hingga 1500 m dpl dan masih menjadi bagian dari jalur Pegunungan Dieng. Tanaman yang banyak ditanam di daerah ini antara lain kentang, wortel, bawang daun, kubis, wasabi, dan sawi.

Dusun Sirangkel Desa Mlandi, terletak di wilayah pegunungan dengan tanah berjenis andosol hasil letusan gunung berapi (tanah vulkanik). Jenis tanah ini termasuk tanah yang subur sehingga banyak jenis tanaman hortikultura yang dapat ditanam di wilayah ini. Tanah di daerah ini memiliki warna tanah coklat tua dan hitam dengan pH tanah antara 6,5-7,0. Tanah berasal dari abu vulkanik dengan kondisi drainase pada tingkat sedang-tinggi. Rata-rata curah hujan/tahun adalah 307,4 mm, rata-rata hari hujan/tahun 215 hari, dan rata-rata bulan basah/tahun adalah 12 bulan (BPP Marsudi 2011).

Tanaman wortel merupakan komoditas yang memiliki potensi yang cukup besar di daerah ini selain kentang dengan luas panen 200 ha dan produktivitas aktual sebesar 13,18 kw/ha. Tanaman wortel sudah lama ditanam dan menjadi komoditas penting bagi Dusun Sirangkel. Penerapan teknologi anjuran sendiri oleh petani dalam penggunaan benih, pengolahan tanah, penggunaan pupuk, pengendalian OPT, pengaturan irigasi, dan penanganan hasil panen rata-rata mencapai persentasi hingga 70% (BPP Marsudi 2011).

(36)

26

Pada lahan pengambilan sampel, titik pengambilan sampel 1 berada pada ketinggian 1300-1500 m dpl. Pada titik ini lahan digunakan untuk penanaman wortel secara terus-menerus. Varietas yang digunakan diyakini oleh petani sebagai varietas Indofood, merupakan jenis wortel new kuroda yang dikeluarkan oleh PT Takii Indonesia (Gambar 10). Suhu pada siang hari di lokasi ini adalah 17-23 0C, dan pada malam hari berkisar antara 13-17 0C dengan luas lahan pengamatan ± 2000 m2.

Titik pengambilan sampel 2 berada pada ketinggian 1500-1700 m dpl. Pada titik ini lahan digunakan untuk penanaman wortel dan bergilir dengan penanaman bawang daun dan kentang namun kadangkala dilakukan tumpang sari antara wortel dengan bawang daun. Varietas yang digunakan sama dengan lokasi 1 yakni varietas Indofood (jenis new kuroda). Suhu pada siang hari berkisar antara 16-22 0C dan pada malam hari antara 12-16 0C dengan luas lahan pengamatan ±

Kondisi Geografis Lokasi Pengambilan Sampel Desa Condong Campur

Secara geografis, Dusun Condong Campur merupakan bagian dari Desa Condong Campur, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Gambar 9b). Desa ini terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian < 1700 m dpl. Luas keseluruhan wilayah desa adalah 350,035 Ha dan terbagi menjadi 3 Gambar 11 Titik pengambilan sampel: (a) titik 1 dan (b) titik 2 di lahan

penelitian Dusun Sirangkel

(37)

dusun, yaitu Dusun Condong Campur, Dusun Kandangan, dan Dusun Serang

(Yunian et al. 2011).

Dalam hal demografi, jumlah penduduk Desa Condong Campur akhir tahun 2010 adalah 2844 jiwa, dengan jumlah penduduk perempuan sebesar 1390 jiwa dan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1454 jiwa. Mata pencaharian rata-rata penduduk adalah petani dan jenis tanaman yang banyak ditanam adalah kentang, wortel, kubis, dan cabai (Yunian et al. 2011).

Desa Condong Campur terletak di wilayah pegunungan dengan tanah berjenis andosol hasil letusan gunung berapi (tanah vulkanik).. Desa Condong Campur juga terletak di dataran tinggi (< 1700 m dpl) sehingga suhunya relatif rendah dan kelembaban udara yang juga rendah. Dengan keadaan demikian, maka terdapat beberapa jenis tanaman yang dapat tumbuh subur di wilayah ini antara lain kentang, kubis, dan wortel dalam sektor pertanian dan kambing dalam sektor peternakan.

Dusun Condong Campur menjadi titik pengambilan sampel 3 dengan kondisi titik pengambilan sampel berada pada ketinggian ± 1700 m dpl. Pada titik ini lahan digunakan untuk penanaman wortel berlanjut. Varietas yang digunakan diyakini oleh petani sebagai jenis wotel new kuroda (sama seperti benih pada lokasi 1), selain itu juga ditanam varietas lokal.

(38)

28

Dari hasil surveilan diketahui bahwa varietas lokal bebas dari serangan NPA. Hal ini dibuktikan dari hasil panen yang dilakukan, tidak ditemukan gejala NPA pada umbi wortel. Dugaan awal terhadap varietas lokal yang lebih tahan terhadap infeksi nematoda dikarenakan tekstur umbinya yang lebih keras dibandingan varietas Indofood.

Penanaman wortel sebenarnya sudah mulai ditanam sejak 6 tahun yang lalu namun mulai intensif ditanam sejak tahun 2010. Lahan tanaman wortel sendiri tidak terlalu luas karena penanaman masih didominasi oleh komoditas kentang sebagai komoditi unggulan daerah ini. Luas lahan yang dijadikan titik pengambilan sampel seluas ± 3000 m2. Suhu di lokasi ini pada siang hari berkisar antara 15-19 0C dan pada malam hari 10-15 0C.

Gejala pada Tanaman di Lahan

Gejala yang ditemukan pada pertanaman wortel di lokasi pengambilan sampel memiliki kesamaan dengan gejala yang ditemukan oleh Kurniawan (2010) di daerah Jawa Barat, yakni terdapat tanaman dengan gejala kerdil dan ketika dicabut umbi wortel bercabang dengan jumlah puru yang cukup banyak. Tanaman bergejala terkonsentrasi pada titik-titik tertentu dan tidak dijumpai pada titik lainnya. Pada lahan dengan tingkat infeksi masih rendah pola penyebaran penyakit terjadi pada beberapa titik dan mengelompok pada guludan tertentu. Pola sebaran inilah yang dikenal sebagai pola penyebaran spasial (Barker and Campbell. 1981).

(39)

Gejala ini terlihat pada ketiga lokasi pengambilan sampel mulai dari lokasi

dengan ketinggian 1300 m dpl hingga ketinggian 1700 m dpl. Pada dasarnya penyebaran NPA juga dipengaruhi oleh jenis tanah di daerah Dataran Tinggi Dieng (jenis tanah andosol). Jenis tanah andosol terbentuk dari bahan induk abu volkan, merupakan tanah yang relatif muda dibandingkan latosol, yang sifat- sifatnya sangat ditentukan oleh mineral liat yang dikandungnya yaitu alofan yang bersifat amorf. Tanah ini mempunyai horizon A1 tebal bewarna hitam yang kaya bahan organik, tetapi tidak mempunyai horizon A2, dengan horizon B berwarna kuning pucat, coklat kekuningan atau coklat keabu- abuan volkan terlapuk sampai ke horizon C (Rayes 2007).

Jenis tanah andosol memilki kejenuhan basa yang relatif rendah tetapi mempunyai Al dapat ditukar relatif tinggi. Terbawa oleh sifat mineral liat dominan yang dimilikinya maka andosol mempunyai sifat tiksotrofik, mempunyai kemampuan mengikat air besar, porositas tinggi, bobot isi rendah, gembur, tidak plastis dan tidak lengket serta kemampuan fiksasi fosfat yang tinggi (Rayes 2007). Tanah jenis ini umumnya subur dan bertekstur gembur hingga seperti lempung, bahkan di beberapa tempat bertekstur debu dan agak berpasir. Hal tersebut membuat tanah menjadi sangat ringan diolah dan pori-pori tanahnya memudahkan sirkulasi udara masuk ke dalam tanah (Hanafiah 2005). Selain itu tanah jenis ini dapat membantu pergerakan nematoda di lahan terutama Juvenil II Gambar 13 Ciri khas serangan NPA berupa gejala botak pada pertanaman di

(40)

30

NPA. Juvenil II dapat bergerak secara vertikal dan horizontal sejauh 75 cm dalam

waktu 9 hari pada lahan yang tanahnya berpasir. Pada lahan dengan tanah mengandung lempung lebih dari 30%, pergerakan NPA umumnya sangat lambat bahkan terhenti (Kurniawan 2010).

Tipe Gejala pada Umbi Wortel

Bentuk Umbi

Wortel yang terinfeksi oleh nematoda mengalami malformasi bentuk umbi. Menurut Kurniawan (2010) terdapat empat bentuk malformasi umbi wortel yang terinfeksi NPA, yakni umbi bercabang, umbi pendek membulat, umbi pecah, dan umbi berambut (hairiness).

Umbi bercabang ditandai dengan bentuk umbi abnormal disertai adanya satu percabangan atau lebih (Gambar 14a). Umbi wortel yang berukuran besar biasanya memiliki percabangan berukuran lebih kecil, pendek, dan banyak. Umbi yang berukuran kecil dan pendek, percabangan biasanya tidak lebih dari dua dan berukuran simetris. Umbi yang berukuran besar terkadang memiliki percabangan dua atau tiga ukuran yang sama.

Umbi pecah (Gambar 14b) ditandai dengan umbi yang mengalami keadaan pecah seperti terbelah setengah bagian hingga terlihat bagian stelenya. Pada bagian permukaan biasanya terdapat kumpulan rambut akar yang berpuru bulat Gambar 14 Contoh Gejala pada umbi wortel yang ditemukan di lokasi

pengambilan sampel, (a) Umbi bercabang, (b) umbi pecah, (c) umbi pendek membulat, (d) umbi berambut

(41)

kecil. Pecahan diduga terjadi karena adanya permukaan umbi yang mengalami

nekrosis akibat infeksi awal nematoda sehingga permukaan kulit umbi tidak bisa tumbuh mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan umbi wortel secara keseluruhan. Hal ini diperkuat dari bagian umbi yang pecah dikelilingi oleh puru yang seperti kudis.

Umbi pendek membulat (Gambar 14c) mengalami pertumbuhan abnormal dengan bentuk umbi yang nyaris bulat atau pendek dengan panjang sekitar 2-5 cm. bagian umbi yang membulat ada kalanya dipenuhi oleh rambut akar yang banyak (hairiness) dengan puru yang bulat kecil disepanjang rambut akar.

Umbi berambut (hairy root) memiliki jumlah rambut berpuru banyak dan biasanya terdapat pada umbi wortel, baik yang berukuran normal maupun yang berukuran kecil (Gambar 14d). Hairy root sering kali muncul pada dua pertiga bagian atas umbi dengan jumlah yang cukup banyak (hairiness) dan juga pada bagian ujung umbi yang bentuknya membulat. Pada sepanjang hairy root terdapat puru yang banyak dengan bentuk bulat kecil dan berwarna putih krem.

Berdasarkan hasil pengambilan sampel umbi wortel pada ketinggian 1300-1700 m dpl, ditemukan keempat tipe umbi tersebut. Umbi bercabang banyak ditemukan di lokasi pertama, sedangkan umbi pendek membulat terdapat banyak di lokasi ketiga.umbi berambut dan umbi pecah ditemukan pula, namun tidak begitu banyak seperti umbi bercabang dan umbi pendek membulat.

(42)

32 dijumpai pada akar yang umbinya tidak normal atau mengalami malformasi (Kurniawan 2010).

Tabel 4 Keberadaan tipe puru pada umbi pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur.

Tipe Puru Ketinggian (m dpl)

Puru bulat pada hairy root (Gambar 15a) dideskripsikan dengan adanya puru di sepanjang rambut yang tumbuh di permukaan umbi wortel. Rambut terlihat jarang hingga cukup banyak sehingga terlihat jelas berbeda dengan umbi wortel normal. Umbi normal hanya terdapat sedikit rambut tanpa puru pada bagian rambut. Puru yang terdapat pada tipe ini berbentuk bulat kecil sempurna denga warna putih krem.

Puru bulat berukuran besar (+ 0.5 cm) banyak terdapat pada umbi wortel yang membulat dan pada percabangan umbi dan akar lateral. Puru berukuran lebih besar (lebih dari 0.5 cm), berwarna sama dengan warna umbi wortel, umumnya permukaannya licin dan tidak ada pertumbuhan akar rambut dari puru tersebut (Gambar 15b).

(43)

jumlah puru yang banyak dan kemudian saling bergabung membentuk puru yang

lebih besar dan memanjang (Gambar 15c).

Puru seperti kudis ditandai dengan bagian akar yang terlihat seperti kudis, seperti pada bagian akar lateral yang membentuk bulatan mirip kudis (Gambar 15d). Berbeda dengan puru seperti kudis, puru yang berbentuk akar gada menyerupai akar gada yang biasanya terdapat pada famili kubis-kubisan. Bentuknya yang nyaris sempurna akan menyebabkan kesulitan membedakan dengan gejala kubis jika tidak melihat bagian tajuknya (Gambar 15e).

Spesies Meloidogyne Berdasarkan Morfologi Sidik Pantat

Pola sidik pantat merupakan salah satu teknik identifikasi nematoda yang diperkenalkan oleh Eisenback et al. (1981). Puru pada akar yang mengandung NPA betina dewasa dipilih dan direndam dalam air pada cawan selama ± 48 jam hingga puru menjadi lunak dan mudah dibedah. Nematoda betina yang diperoleh

Gambar 15 Tipe puru pada perakaran wortel (a) puru bulat pada hairy root,

(b) puru bulat berukuran besar (+0.5 cm), (c) puru memanjang, (d) puru seperti kudis, (e) puru seperti akar gada.

a b

(44)

34

dipotong, dan diambil bagian sidik pantatnya. Sampel yang diamati berjumlah

150 ekor betina yang dibagi menjadi 50 ekor dari masing-masing lokasi.

Hasil indentifikasi pola sidik pantat nematoda betina dewasa menunjukan adanya 4 spesies NPA di semua lokasi pengambilan sampel. Keempat spesies tersebut adalah M. incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla. Masing-masing spesies dapat dikenali berdasarkan ciri khas dari pola sidik pantat yang dimilikinya.

M. incognita memiliki ciri khas lengkung dorsal yang tinggi dan

menyempit, sedangkan pada bagian paling luarnya sedikit melebar dan agak mendatar, tidak memiliki garis lateral dan bagian stria terlihat jelas. Gambar 16e memperlihatkan ciri khas tersebut dan sesuai dengan pictorial key pada gambar 8a.

M. javanica dicirikan oleh dua garis lateral yang sangat jelas. Pada

Gambar 16f terlihat jelas garis lateral yang menandakan ciri khas dari M. javanica

dan sesuai dengan pictorial key padagambar 16b. M. arenaria memiliki lengkung dorsal rendah dan ramping di sekitar garis lateral. Bagian lengkung stria bercabang di dekat garis lateral dengan bagian stria atas lebih mendatar. Gambar Gambar 16 Pola Sidik Pantat NPA (a) M. incognita, (b) M. javanica, (c) M.

arenaria, (d) M. hapla (a-d : Pictorial key), (e) M. incognita, (f) M.

javanica, (g) M. arenaria, (h) M. hapla (e-h)hasil pola sidik pantat).

a b c d

(45)

± 420 bp

± 440 bp ± 720 bp

± 1000 bp

16g memperlihatkan bagian percabangan di dekat garis lateral. Percabangan inilah

yang memudahkan identifikasi terhadap M. arenaria.

M. hapla (gambar 16h) dicirikan oleh lengkung dorsal yang rendah dengan

bagian ujung sering membentuk sayap ke bagian lateral baik pada satu ujung atau kedua ujungnya. Pada bagian atas anus terdapat duri-duri yang menonjol tepat pada ujung ekornya (Eisenback et al. 1981; Ferris 2008).

Spesies Meloidogyne Berdasarkan Hasil PCR ITS r-DNA

Hasil elektroforesis yang divisualisasikan melalui transiluminator UV menunjukan keberadaan empat spesies NPA yaitu M. incognita, M. javanica, M.

arenaria, dan M. hapla. Hal ini memperkuat hasil identifikasi pola sidik pantat

yang dilakukan sebelumnya. Pengujian dengan pendekatan biologi molekuler diyakini lebih cepat dan lebih akurat dibandingkan dengan identifikasi karakter morfologi dan pola sidik pantat (Esbendshade and Tirantaphyllou 1990).

M J1 J2 J3

A1 A2 A3

I1 I2 I3 H1 H2 H3

Gambar 17 Hasil Amplifikasi DNA Spesies NPA Jawa Tengah (marker 1 Kb

ladder). M: Marker, (a) J1-J3: M. javanica lokasi 1-3, I1-I3: M.

incognita lokasi 1-3, (b) H1-H3: M. hapla lokasi 1-3, (c) A1-A3:

M. arenaria lokasi 1-3, K-: kontrol negatif

M

M

K-

a b

(46)

36

Gambar 17 menunjukan hasil positif terhadap keberadaan NPA di

masing-masing lokasi yang memiliki ketinggian berbeda. Pada gambar terlihat pita dari tiap spesies yang berbeda ketebalannya, hal ini menunjukan kadar DNA hasil ekstraksi yang berbeda. Pita dari masing-masing spesies dilihat kembali kesesuaiannya dengan ukuran fragmen DNA untuk setiap primer yang digunakan yaitu, M. incognita dengan ukuran fragmen DNA ± 1000 bp, M. javanica

berukuran ± 720 bp, M. arenaria berukuran ± 420 bp, dan M. hapla dengan ukuran ± 440 bp. Jenis M. falax (± 670 bp) dan M. chitwood bernilai negatif (tidak teridentifikasi) setelah diuji secara molekuler yang ditandai dengan tidak munculnya pita kedua spesies ini pada hasil elektroforesis.

Spesies M. hapla dideteksi dengan teknik PCR multipleks yang merupakan langkah tunggal dengan menggunakan tiga primer sekaligus untuk mendeteksi spesies campuran. Primer ini dapat pula mendeteksi keberadaan M.

chitwood dan M. fallax. Primer JMV1 dan JMV2 untuk mendeteksi spesies M.

chitwood dan M. fallax, sedangkan primer JMV1 dan JMV-hapla untuk

mendeteksi spesies M. hapla. Penggunaan primer multipleks dapat memberikan keuntungan yakni hanya melakukan sekali reaksi tanpa membutuhkan beberapa kali PCR reagen sehingga dapat menghemat biaya bahan dan waktu yang digunakan.

Distribusi Spesies NPA Berdasarkan Ketinggian Tempat

Hasil identifikasi pola sidik pantat nematoda betina dewasa menunjukan

bahwa pada ketinggian 1300-1500 m dpl terdapat empat spesies NPA yang teridentifikasi, yakni M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla.

Nematoda yang teridentifikasi pada lokasi kedua dengan ketinggian 1500-1700 m dpl juga sejumlah empat spesies yang sama pada lokasi pertama. Hasil pada lokasi ketiga pun tidak jauh berbeda, pada ketinggian >1700 m dpl diperoleh empat spesies yang sama seperti di lokasi pertama.

(47)

Tabel 5 Prevalensi distribusi NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur.

Spesies

*jumlah sampel sebanyak 50 ekor betina dewasa setiap ketinggian

Dari setiap lokasi yang berbeda ketinggian, diperoleh keempat spesies nematoda yakni M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla. Jenis M.

incognita memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga jenis

lainnya. Pada ketinggian 1300-1500 m dpl M. incognita memiliki persentase sebesar 50% pada ketinggian 1300-1500 m dpl, 50% pada ketinggian 1500-1700 m dpl, dan 58% pada ketinggian >1700 m dpl.

Spesies M. javanica memiliki persentase 26% pada lokasi pertama, 14% pada lokasi kedua, dan 6% pada lokasi ketiga. Jenis M. arenaria memiliki persentase sebesar 18% pada lokasi pertama, 34% di lokasi kedua, dan 32% di lokasi ketiga, sedangkan M. hapla memiliki persentase yang paling kecil yakni 6% di lokasi pertama, 2% di lokasi kedua, dan 4% di lokasi ketiga.

Menurut Ferris (2008), suhu optimum untuk pertumbuhan M. incognita

dan M. arenaria adalah 15-25 0C sedangkan untuk M. javanica adalah 20-30 0C.

hal inilah yang menjelaskan akan besarnya jumlah ketiga spesies ini di lokasi. Kesesuaian suhu optimum yang dibutuhkan untuk tumbuh sesuai dengan suhu lokasi pengambilan sampel. Suhu di lokasi pertama pada siang hari berkisar antara 17-23 0C dan pada malam hari berkisar 13-17 0C. Suhu siang hari di lokasi kedua berkisar antara 16-22 0C dan pada malam hari berkisar antara 12-16 0C. Lokasi

ketiga dengan ketinggian tertinggi dari lokasi pertama dan kedua memiliki kisaran suhu 15-19 0C pada siang hari dan 10-15 0C pada malam hari.

M. hapla secara ekologis hanya dapat hidup dan berkembang biak pada

(48)

38

keberadaannya terbatas pada suhu rata-rata kurang dari 27 0C selama musim panas

(Taylor et al. 1982). Hasil identifikasi menunjukan keberadaan M. hapla dengan jumlah yang kecil. Spesies ini merupakan patogen yang masuk dalam daftar karantina yang digolongkan sebagai Organisme Pengganggu Tanaman (OPTK) kelas A2. Jenis ini sudah ada di Indonesia namun masih sangat terbatas jumlah dan penyebarannya.

Spesies M. javanica masih ditemukan di semua ketinggian. Hal ini menjadi menarik mengingat jenis ini memerlukan suhu untuk hidup dan menginfeksi inang pada kisaran 20-30 0C (Ferris 2008), sedangkan suhu di lokasi lebih rendah. Tingkat adapatasi lingkungan yang tinggi adalah hal yang menyebabkan spesies NPA dapat bertahan hidup dan berkembang di lokasi peneltian.

Hasil uji biologi molekuler memperkuat adanya temuan keempat spesies NPA dari hasil identifikasi pola sidik pantat. Semua lokasi yang teridentifikasi keberadaan keempat NPA ini diuji kembali dengan teknik PCR dan mengahasilkan informasi akan keberadaan keempat spesies NPA (Tabel 6).

Tabel 6 Keberadaan spesies NPA pada 3 lokasi pengambilan sampel berbeda ketinggian di Dusun Sirangkel dan Dusun Condong Campur berdasarkan hasil uji biologi molekuler (PCR ITS-rDNA)

Spesies NPA* Ketinggian (m dpl)

1300-1500 1500-1700 > 1700

M. incognita + + +

M. javanica + + +

M. arenaria + + +

M. hapla + + +

Keterangan * = sudah dibuktikan dengan uji biologi molekuler

+ = positif terdeteksi :

(49)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Terdapat empat spesies yang teridentifikasi positif berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang pada wortel di Jawa Tengah yakni M. incognita, M.

javanica, M. arenaria, dan M. hapla. Distribusi keempat spesies tersebut tersebar

di berbagai ketinggian lokasi, mulai dari ketinggian 1300-1500 m dpl, 1500-1700 m dpl, dan >1700 m dpl. Jenis M. incognita memiliki prevalensi jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga jenis NPA lainnya, yakni pada ketinggian 1300-1500 m dpl M. incognita memiliki persentase sebesar 50%, ketinggian 1500-1700 m dpl sebesar 50%, dan ketinggian >1700 m dpl sebesar 58%.

Saran

Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut seperti uji Postulat Koch dengan spesies tunggal untuk mengetahui peran dari tiap spesies dalam menimbulkan gejala dan spesies yang paling dominan dalam menyebabkan terjadinya penyakit umbi bercabang di Indonesia. Selain itu, untuk mengatahui kekerabatan dari spesies NPA yang berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang sehingga dapat

Gambar

Gambar 1 Tanaman Wortel: (a) Umbi wortel, (b) Bunga, (c) Bagian-bagian
Gambar 2  Morfologi pola perineal Meloidogyne spp.  (Sumber: Eisenback 2003)
Gambar 3  Siklus Hidup Meloidogyne spp. (Sumber: Eisenback 2003)
Gambar 4 Ciri khusus pola perineal  Meloidogyne incognita (Sumber:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bakteri Citrobacter yang diisolasi dari umbi wortel ( D. carota L.) varietas lokal di Bali memiliki ciri makroskopis diantaranya koloni bulat dengan warna putih

Deteksi dan Identifikasi Nematoda Parasit pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) Asal Dataran Tinggi Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh SUPRAMANA dan GEDE

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi dan Identifikasi Spesies Nematoda Puru Akar Meloidogyne Penyebab Umbi Berbintil pada Kentang adalah benar karya saya

tanaman sakit dan tanah dari pertanaman wortel di empat sentra produksi sayuran di Pulau Jawa, yaitu (1) Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa Barat, (2) dataran tinggi Dieng, Jawa

Identifikasi Spesies Nematoda Puru Akar Penyebab Umbi Bercabang Pada Wortel (Daucus Carota L.) Di Wilayah Kabupaten Semarang Dan Magelang, Jawa Tengah.. Institut Pertanian

tanaman sakit dan tanah dari pertanaman wortel di empat sentra produksi sayuran di Pulau Jawa, yaitu (1) Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa Barat, (2) dataran tinggi Dieng, Jawa

Gejala umbi berambut (hairy root) berupa rambut akar yang muncul dari setiap bagian permukaan umbi, biasanya pada dua pertiga bagian atas umbi (gambar 8d). Rambut akar dapat