• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tipe dan Manajemen Perkandangan dengan Infeksi Kecacingan pada Orangutan (Pongo sp.) di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tipe dan Manajemen Perkandangan dengan Infeksi Kecacingan pada Orangutan (Pongo sp.) di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN TIPE DAN MANAJEMEN PERKANDANGAN DENGAN

INFEKSI KECACINGAN PADA ORANGUTAN (Pongo sp.)

DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA

CYNTIA MAGDALENA SIHOMBING

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Tipe dan

Manajemen Perkandangan dengan Infeksi Kecacingan pada Orangutan (

Pongo sp.

) di

Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Cyntia Magdalena Sihombing

(4)

ABSTRAK

CYNTIA MAGDALENA SIHOMBING. Hubungan Tipe dan Manajemen Perkandangan dengan Infeksi Kecacingan pada Orangutan (Pongo sp.) di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Dibimbing oleh RISA TIURIA dan HAERUL AZHAR.

Orangutan (Pongo sp.) merupakan primata asli Indonesia dengan status terancam punah. Upaya konservasi melalui kebun binatang diharapkan memiliki manajemen pemeliharaan yang baik. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan tipe dan manajemen perkandangan terhadap infeksi kecacingan orangutan. Total sampel tinja terkoleksi adalah 78 dari 17 orangutan di 7 lokasi kandang. Metode pemeriksaan adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Prevalensi infeksi Ascarid 100%, Strongyloides 88.2%, Strongyloid 76.47% dan Trichurid 5.88%. Hasil pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif tertinggi adalah Strongyloides 46.15% dengan rata-rata 1320 telur/gram tinja. Dominasi infeksi Strongyloides ditemukan pada orangutan Pongo pygmaeus betina dewasa (15-35 tahun) di lokasi A, B, dan G yang memiliki tingkat peragaan orangutan tidak rutin. Parameter luas jelajah di peragaan yang kecil (0-100 m2), kandang yang terang dan tipe alas kandang terpisah juga memiliki korelasi yang signifikan (p<0.05) terhadap infeksi kecacingan.

Kata kunci : orangutan, tipe kandang, infeksi cacing, Ragunan Jakarta

ABSTRACT

CYNTIA MAGDALENA SIHOMBING. The Correlation between Type and Cages Management to Helminths Infection of Orangutan (Pongo sp.) at Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Supervised by RISA TIURIA and HAERUL AZHAR.

Orangutan (Pongo sp.) is well known as native nonhuman primate from Indonesia, which has endangered status. Conservation effort through zoo was expected has a good maintenance management. The aim of this study was to analyze the correlation between type and cages management to helminths infection of orangutan at Ragunan Zoo, Jakarta. Total count faeces sample collected were 78 from 17 orangutans at 7 cage locations. Faeces collection were examined using qualitative and quantitative method. Prevalention of helminths infection were Ascarid 100%, Strongyloides 88.2%, Strongyloid 76.47% and Trichurid 5.88%. The result from method used were found that the highest infection Strongyloides 46.15% with average number 1320 epg. Dominance of Strongyloides infection was found on Pongo pygmaeus adult females (15-35 y.o) in location of A, B, and G which has the level of show orangutans no routine. Parameters such as exhibition cage with range small area (0-100 m2), cage with bright lighting and separate base cage design also has significant correlation (p<0.05) with helminths infection.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

HUBUNGAN TIPE DAN MANAJEMEN PERKANDANGAN DENGAN

INFESTASI KECACINGAN PADA ORANGUTAN (Pongo sp.)

DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA

CYNTIA MAGDALENA SIHOMBING

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Hubungan Tipe dan Manajemen Perkandangan dengan Infeksi Kecacingan pada Orangutan (Pongo sp.) di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta

Nama : Cyntia Magdalena Sihombing NIM : B04090029

Disetujui oleh

Drh Risa Tiuria, MS, Ph.D Pembimbing I

Haerul Azhar Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah orangutan (Pongo sp.), dengan judul Hubungan Tipe dan Manajemen Perkandangan dengan Infeksi Kecacingan pada Orangutan (Pongo sp.) di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. RP Agus Lelana Sp.Mp, MS selaku pembimbing akademik, Ibu drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D dan Bapak Haerul Azhar selaku pembimbing skripsi, serta Bapak drh. R. Taufiq Purna Nugraha M.Si, Ph.D selaku penyelenggara penelitian yang telah banyak memberi bimbingan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada DIPA BIOTROP 2013 atas bantuan dana penelitian, kepada Pimpinan Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta beserta seluruh staf pegawai dan para perawat orangutan yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua serta seluruh keluarga dan teman-teman IPB khususnya Geochelone 46 atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Cacing Parasitik pada Orangutan 3

Hubungan Sistem Perkandangan dengan Kesehatan Orangutan di Kebun

Binatang 3

METODE 5

Waktu dan Tempat 5

Alat dan Bahan 5

Metode Penelitian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 18

(10)

DAFTAR TABEL

1 Data orangutan dan jumlah sampel tinja terkoleksi 4

2 Perbedaan tipe kandang pada tiap lokasi 5

3 Perbedaan parameter manajemen perkandangan di tiap lokasi 5 4 Prevalensi infeksi nematoda pada orangutan di TMR, Jakarta selama

bulan Desember-Maret 2013 8

5 Hasil pemeriksaan kualitatif dalam nilai presentasi (%) 8 6 Rata-rata TTGT nematoda berdasarkan perbedaan parameter

manajemen perkandangan di tiap lokasi 10

7 Korelasi parameter perkandangan dengan infeksi kecacingan orangutan

di TMR 11

8 Rata-rata TTGT nematoda berdasarkan faktor pengaruh infeksi

kecacingan orangutan di TMR 12

DAFTAR GAMBAR

1 Hasil pemeriksaan kuantitatif dalam rata-rata TTGT (telur/gram tinja)

di tiap lokasi kandang 8

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan analisis korelasi Spearman 17

2 Peta lokasi kandang berdasarkan infeksi cacing 18

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Orangutan merupakan salah satu primata paling terkenal di Indonesia. Spesies ini pertama kali dijelaskan pada awal abad ke-17 oleh dua doktor Belanda, Jacob de Bondt dan Nicholaas Tulp (Mackinnon 1992). Orangutan merupakan primata yang cerdas, kuat, berukuran besar, dan hidup semisoliter di pepohonan. Orangutan dapat bertahan hidup di hutan hujan tropis Kalimantan dan Sumatera Utara serta sangat tergantung pada hutan sebagai sumber makanan dan tempat tinggal. Secara ekologi, orangutan berperan dalam penyebaran dan penyerbukan biji di hutan tropis serta kelangsungan hidup ekosistem di dalamnya (Cowlishaw dan Dunbar 2000).

Orangutan diklasifikasikan menjadi orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan orangutan Sumatera (Pongo abelii). Populasi orangutan liar kini hanya ditemukan di pulau Sumatera dengan status sangat terancam punah (criticaly endangered) dan di pulau Kalimantan dengan status terancam punah (endangered). Estimasi terbaru menyebutkan bahwa terdapat 45.000-69.000 orangutan Kalimantan dan hanya 7.300 orangutan Sumatera yang tersisa di alam liar (IUCN 2013).

Kebun binatang sebagai salah satu usaha konservasi yang dilakukan pemerintah tidak luput dari masalah. Salah satu permasalahan yang dialami adalah penyakit saluran pencernaan (enteritis) akibat infeksi cacing parasitik yang menyerang orangutan. Banyak spesies cacing parasitik berbahaya menimbulkan dampak langsung terhadap perubahan patologis hingga kematian pada orangutan (Chapman et al. 2006; Hilser et al. 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi cacing parasitik pada orangutan adalah perubahan iklim, curah hujan, kepadatan inang, imunitas dan tingkat kontak inang dengan patogen, lingkungan (tanah dan kandang) serta manusia (Altizer et al. 2006; Wich et al. 2009).

Selain itu, orangutan berkerabat dekat dengan manusia secara genetik, sehingga orangutan dan manusia memiliki resiko zoonozis yang akan sangat merugikan keduanya (Dellatore 2007; Rianawati dan Prastowo 2003). Beberapa jenis cacing parasitik orangutan yang juga dapat menginfeksi manusia adalah Strongyloides sp., Ascaris sp. dan Ancylostoma sp. (Noprianto 2004; Wich et al. 2009). Apabila tidak segera ditangani akan berdampak cukup serius karena banyaknya pengunjung yang berwisata ke kebun binatang.

Hal tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan upaya pencegahan, pengobatan maupun pengendalian terhadap faktor-faktor penyebabnya karena orangutan merupakan satwa langka yang perlu dilindungi kelestariannya dan meminimalkan terjadinya penyakit atau kematian. Data mengenai infeksi kecacingan dalam kurun waktu tertentu disertai dengan pengamatan parameter lingkungan sekitarnya akan sangat membantu dalam pengambilan solusi yang tepat dalam penanggulangan infeksi kecacingan tersebut.

(12)

2

Hasil penelitian diharapkan dapat dipertimbangkan untuk mendukung tata pengelolaan dan pemeliharaan orangutan di TMR menjadi lebih baik.

Rumusan Masalah

Upaya kebun binatang yang berfokus pada kesehatan orangutan seharusnya tidak hanya mempertimbangkan prevalensi infeksi cacing parasitik, tetapi juga mengidentifikasi parameter yang dapat meningkatkan resiko tersebut (Labes et al. 2010). Salah satu paramater yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah tipe dan manajemen perkandangan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tipe dan manajemen perkandangan orangutan di Taman Margasatwa Ragunan (TMR), Jakarta terhadap tingkat infeksi cacing parasitik.

Manfaat Penelitian

(13)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Parasitik pada Orangutan

Cacing yang termasuk dalam kelas nematoda adalah salah satu jenis parasit yang sering menyerang orangutan. Beberapa studi penelitian menemukan bahwa jenis nematoda yang menginfeksi orangutan yang berlokasi di kebun binatang antara lain Strongyloides, Ancylostoma, Oesophagostomum, Trichostrongylus, Oxyuridae, Enterobius, Pithecostrongylus, Pongobius, Mammomonogamus, Matastrongyles dan Spirurida (Wich et al. 2009).

Gejala klinis yang ditimbulkan sebagai akibat infeksi cacing dapat berupa kehilangan bobot badan, tidak nafsu makan, menurunnya daya penyerapan makanan di usus, pneumonia dan pucat (anemia) karena kehilangan darah. Selain itu, akibat infeksi tersebut daya tahan satwa terhadap penyakit lain menjadi menurun sehingga produktivitas satwa terganggu (Taylor et al. 2007; Chapman et al. 2006). Namun, cukup sering juga ditemukan pada hewan yang terinfeksi berat tidak menunjukkan gejala klinis terjadinya malnutrisi karena adanya pemberian antihelmintik dan pemenuhan makanan bergizi yang cukup (Chapman et al. 2006).

Hubungan Sistem Perkandangan dengan Kesehatan Orangutan di Kebun Binatang

Sesuai dengan fungsi taman satwa atau kebun binatang yaitu berperan sebagai lembaga konservasi eksitu dan merupakan benteng terakhir penyelamatan satwa terancam punah akibat kerusakan habitatnya (PKBSI 2012). Sistem perkandangan satwa primata dibagi kedalam 2 bagian; sistem perkandangan tertutup (indoor enclousure) yaitu satwa ditempatkan dalam kandang tertutup dan sistem perkandangan terbuka (outdoor enclosure) yaitu satwa ditempatkan dalam suatu areal kandang di udara terbuka (Bismark 1984; Sajuthi 1984).

Desain kandang harus dapat memberikan kenyamanan fisik bagi hewan yang tinggal di dalamnya. Kandang yang digunakan harus disesuaikan dengan spesies satwa, pertumbuhan dan perkembangan satwa serta dapat mencegah penularan penyakit (Bennett et al. 1995). Kandang yang baik terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak berkarat, tahan korosi dan mudah dibersihkan seperti stainless steel. Kebersihan, sanitasi, dan pengendalian hama penting dalam perawatan kandang. Kandang yang bersih dapat memberikan kenyamanan bagi orangutan. Menurut Beriajaya dan Suhardono (1998) penanggulangan nematoda pada ruminansia salah satunya adalah pembersihan kandang yang harus dilakukan paling sedikit 1 kali sehari. Kandang yang kotor dan lembab diketahui menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penyakit parasit pada orangutan (Noprianto 2004; Wells et al. 1994).

(14)

4

untuk melakukan perlakuan kepada satwa di dalamnya (Bennett et al. 1995; Iskandar 2002; Noprianto 2004).

Kebun Binatang Ragunan (KBR), sebagai salah satu lembaga konservasi yang menangkar orangutan. Kebun Binatang Ragunan dibuka secara resmi pada tanggal 22 Juni 1966 oleh Gubernur DKI Jakarta, Mayjen Ali Sadikin dengan nama Taman Margasatwa Ragunan (TMR). Taman Margasatwa yang terletak di Ragunan Pasar Minggu Jakarta, berdasarkan Perda No.13 tahun 1998 memiliki tugas pokok untuk melakukan konservasi, pendidikan dan penelitian, promosi, rekreasi, serta mempertahankan daerah resapan air, paru-paru kota dan ruang terbuka hijau.

(15)

5

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012 hingga Agustus 2013 di TMR Jakarta. Pengambilan sampel dilakukan dari bulan Desember hingga awal bulan Maret 2013 atau pada musim hujan. Pemeriksaan sampel dilaksanakan di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB).

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain sendok kayu, sarung tangan, kantung plastik, tabung koleksi, parafilm, gelas plastik, sendok plastik, saringan teh (750-900x600-675µm), gelas ukur, kamar hitung Mac Master, thasbeeh counter, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas obyek, gelas penutup, mikroskop cahaya, timbangan digital, alat sentrifugasi, mikrometer, pipet plastik, lembar pencatatan dan kamera digital. Bahan yang digunakan antara lain tinja orangutan, buffer tinja/orangutan . Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data orangutan dan jumlah sampel tinja terkoleksi

(16)

6

Keterangan : Jk : jenis kelamin, j: jantan, b: betina

Pengamatan Tipe dan Manajemen Perkandangan

Kondisi perkandangan tiap orangutan di TMR diamati secara langsung dan dicatat sebagai parameter yang diduga memiliki pengaruh terhadap infeksi kecacingan. Pengamatan tipe dan manajemen perkandangan disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2 Perbedaan tipe kandang pada tiap lokasi

Lokasi

Tipe kandang

Jumlah orangutan

Terbuka Tertutup

Peragaan Istirahat Latihan

A - karantina - 2

Tabel 3 Perbedaan parameter manajemen perkandangan di tiap lokasi

Parameter Lokasi Keterangan

Alas kandang istirahat

semen A, B, C,G -

keramik D,E,G -

terpisah F memiliki penampungan tinja

Luas kandang istirahat (±m2)

(17)

7

Pengambilan sampel tinja dilakukan pada pagi hari (07.00-09.00) sebelum pembersihan kandang dan diawali dengan pemeriksaan secara makroskopik dan pencatatan kondisi dari tinja. Sebanyak 5 gram tinja diambil dengan menggunakan sendok kayu. Sampel dimasukkan ke dalam tabung koleksi yang berisi 10 ml buffer formalin 10%. Tabung koleksi diberikan label identifikasi hewan dan direkatkan dengan parafilm, kemudian dikocok untuk memaksimalkan kontak antara sampel dengan larutan pengawet (Gillespie 2006).

Pemeriksaan Sampel

1. Metode Kualitatif

Metode kualitatif yang digunakan adalah metode pengapungan yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan telur cacing dalam tinja. Sebelumnya dilakukan pemisahan antara tinja dan formalin dari tabung koleksi dengan sentrifugasi. Setelah terpisah supernatan dibuang dan sebanyak 2 gram tinja diambil. Dua gram tinja ditambahkan 58 ml larutan pengapung di dalam wadah diaduk hingga homogen kemudian disaring melalui saringan teh. Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang ditempatkan pada rak tabung reaksi. Filtrat akan meninggalkan meniskus cembung dibagian atas tabung, gelas penutup ditempatkan pada bagian atas tabung reaksi dan dibiarkan selama 20 menit. Setelah itu, gelas penutup diangkat dari tabung dan ditempatkan pada gelas obyek untuk diperiksa dibawah mikroskop (Hansen dan Perry 1994; Melrose et al. 2012).

.

2. Metode Kuantitatif

(18)

8

Jumlah telur per gram tinja dapat diperoleh dengan rumus :

Keterangan :

n : jumlah telur cacing dalam kamar hitung Vk : volume kamar hitung (0,3 µm)

Vt : volume sampel total (60 ml) Bf : berat tinja (2 gram)

Analisis Data

(19)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil gambaran infeksi kecacingan orangutan di TMR ditemukan tipe telur Ascarid, Strongyloides, Strongyloid dan Trichurid. Tipe telur cacing tersebut termasuk dalam kelas nematoda dan paling sering dilaporkan menginfeksi orangutan hingga menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Hasil tersebut juga ditemukan di beberapa wilayah konservasi lainnya di Indonesia. Namun, tipe Strongyloides diketahui menjadi masalah parasitisme yang utama bagi orangutan (Hilser et al. 2011; Wich et al. 2009). Prevalensi infeksi cacing kelas nematoda tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Prevalensi infeksi nematoda pada orangutan di TMR, Jakarta selama bulan Desember-Maret 2013

Infeksi nematoda n=jumlah orangutan n=positif Prevalensi (%)

Ascarid 17 17 100

Strongyloides 17 15 88.24

Strongyloid 17 13 76.47

Trichurid 17 1 5.88

Walupun secara prevalensi infeksi Ascarid tertinggi yaitu 100% namun hasil pemeriksaan kualitatif menunjukkan bahwa jumlah sampel tinja positif dengan nilai tertinggi adalah tipe Strongyloides 46.15%. Perbedaan kedua hasil tersebut adalah infeksi Ascarid menginfeksi seluruh orangutan tetapi jumlah sampel tinja yang ditemukan 19/78 positif terinfeksi. Sedangkan, infeksi Strongyloides hanya menginfeksi 15 orangutan dari 17 orangutan yang diperiksa tetapi jumlah sampel tinja yang ditemukan 36/78 positif terinfeksi.

Hal ini kemungkinan terjadi karena pengulangan pengambilan sampel yang tidak merata pada setiap orangutan. Selain itu, secara umum cacing parasitik memiliki siklus hidup yang dimulai dari telur, larva, cacing muda, cacing dewasa yang kemudian bertelur dan bersiklus kembali (Taylor et al. 2007). Pengambilan sampel pada saat siklus cacing sedang tidak dalam masa telur akan menyebabkan sulitnya identifikasi pada saat pemeriksaan sampel. Namun, orangutan dengan hasil pemeriksaan sampel tinja yang negatif juga diduga memang tidak terinfeksi cacing parasitik. Hasil pemeriksaan kualitatif dalam nilai presentasi (%) disajikan pada Tabel 5 sedangkan hasil pemeriksaan kuantitatif dalam nilai rata-rata TTGT (telur/gram tinja) berdasarkan lokasi kandang dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 5 Hasil pemeriksaan kualitatif dalam nilai presentasi (%)

Tipe telur n=jumlah sampel tinja n=positif Presentasi (%)

Ascarid 78 19 24.36

Strongyloides 78 36 46.15

Strongyloid 78 12 15.38

(20)

10

Gambar 1 Hasil pemeriksaan kuantitatif dalam rata-rata TTGT (telur/gram tinja) di tiap lokasi kandang (Lampiran 1). Garis vertikal di atas tiap balok data menunjukkan standar error

Lokasi A merupakan kandang karantina dan satu-satunya tipe kandang tertutup di TMR karena ditujukan bagi orangutan yang baru datang (hasil sitaan atau pindahan) dan orangutan yang menderita penyakit menular. Rata-rata luas kandang istirahat pada lokasi ini adalah 42 m2 dengan kondisi pencahayaan yang terang karena bangunan kandang yang menghadap sinar matahari langsung. Alas kandang istirahat terbuat dari semen.

Lokasi B terdiri atas tipe kandang istirahat, kandang latihan dan kandang peragaan. Luas kandang peragaan sekitar 300 m2 berbentuk pulau yang dikelilingi sungai buatan. Sebanyak 3 orangutan yang digunakan sebagai sampel tidak diperagakan. Rata-rata luas kandang istirahat 42 m2 dengan kondisi pencahayaan yang gelap. Kandang istirahat terhalangi bangunan kandang latihan yang terletak didepannya sehingga, kandang istirahat tidak mendapatkan sinar matahari langsung. Alas kandang istirahat terbuat dari semen.

Lokasi C terdiri atas tipe kandang istirahat dan kandang peragaan. Luas kandang peragaan C sekitar 200 m2 berbentuk pulau yang dikelilingi sungai buatan.Sebanyak 3 orangutan yang digunakan sebagai sampel jarang (tidak setiap hari) diperagakan. Rata-rata luas kandang istirahat 32 m2 dengan kondisi pencahayaan sedang karena letak bangunan kandang yang menurun kebawah dan tidak sejajar dengan kandang peragaan sehingga, kurang mendapatkan sinar matahari langsung. Alas kandang terbuat dari semen. Rata-rata tingkat TTGT Strongyloides (82 telur/gram tinja) dan Strongyloid (100 telur/gram tinja) terendah ditemukan di lokasi kandang ini.

Lokasi D terdiri atas tipe kandang istirahat dan kandang peragaan. Luas kandang peragaan sekitar 100 m2 berbentuk pulau yang dikelilingi sungai buatan.

(21)

11 Satu orangutan yang digunakan sebagai sampel rutin (setiap hari) diperagakan. Rata-rata luas kandang istirahat 42 m2 dengan kondisi pencahayaan terang. Alas kandang istirahat terbuat dari keramik. Rata-rata tingkat TTGT Strongyloid tertinggi (340 telur/gram tinja) ditemukan di lokasi kandang ini. Namun, rata-rata tingkat TTGT Ascarid (160 telur/gram tinja) adalah yang terendah jika dibandingkan lokasi kandang lainnya.

Lokasi E merupakan kandang orangutan yang pertama kali dibangun di TMR. Lokasi E terdiri dari tipe kandang istirahat dan kandang peragaan. Luas kandang peragaan sekitar 250 m2 berbentuk pulau yang dikelilingi sungai buatan. Sebanyak 2 orangutan yang digunakan sebagai sampel rutin diperagakan. Rata-rata luas kandang istirahat 52 m2 dengan kondisi pencahayaan sedang seperti lokasi C. Alas kandang terbuat dari keramik.

Lokasi F merupakan lokasi kandang yang dibangun dengan desain yang berbeda. Lokasi F terdiri atas tipe kandang istirahat, kandang latihan dan kandang peragaan. Luas kandang peragaan sekitar 150 m2 dan terdapat lebih dari satu kandang peragaan. Sebanyak 3 orangutan yang digunakan sebagai sampel rutin diperagakan. Rata-rata luas kandang istirahat 32 m2 dengan kondisi pencahayaan sedang karena ventilasi atau jendela kandang yang tidak terlalu besar dan sumber cahaya juga berasal dari lampu ruangan. Tipe alas kandang pada lokasi ini berbeda dengan lokasi lainnya karena dibangun terpisah dengan jarak tertentu untuk memudahkan pembersihan tinja. Infeksi Trichurid hanya ditemukan pada lokasi kandang ini dengan rata-rata tingkat TTGT 25 telur/gram tinja.

Lokasi G terdiri atas tipe kandang istirahat, kandang latihan dan kandang peragaan. Luas kandang peragaan sekitar 100 m2 berbentuk pulau yang dikelilingi sungai buatan. Sebanyak 3 orangutan yang digunakan sebagai sampel tidak diperagakan. Rata-rata luas kandang istirahat 32 m2 dengan kondisi pencahayaan terang. Alas kandang terbuat dari semen dan keramik. Rata-rata tingkat TTGT Ascarid (513 telur/gr tinja) dan Strongyloides (1.320 telur/gram tinja) tertinggi ditemukan di lokasi ini.

Hasil pengamatan beberapa parameter manajemen perkandangan dikelompokan dalam 5 parameter menurut infeksi cacing yang ditemukan. Rata-rata TTGT menurut perbedaan parameter manajemen perkandangan di tiap lokasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Rata-rata TTGT nematoda berdasarkan perbedaan parameter manajemen perkandangan di tiap lokasi

Parameter Lokasi Rata-rata TTGT

asc str stl trc Alas kandang istirahat

semen A, B, C,G 303 607 160 0

keramik D,E,G 347 622 215 0

penampungan F 333 150 142 25

Luas kandang istirahat (±m2)

32 C,F,G 361 517 123 8

42 A,B,D 208 468 251 0

(22)

12

Keterangan : asc: Ascarid; str: Strongyloides; stl: Strongyloid; trc: Trichurid

Infeksi Strongyloides tertinggi dalam nilai rata-rata TTGT yaitu 782 telur/gram tinja ditemukan pada orangutan di lokasi A, B, G yang memiliki tingkat peragaan yang tidak rutin. Hal ini berarti bahwa orangutan yang tidak pernah diperagakan atau berada dalam kandang istirahat terus-menerus cenderung memiliki tingkat infeksi kcacingan yang lebih tinggi. Hasil pengamatan parameter perkandangan juga di analisis secara statistik (Lampiran 2) untuk melihat nilai korelasi parameter tersebut terhadap infeksi kecacingan orangutan. Hasil korelasi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Korelasi parameter perkandangan dengan infeksi kecacingan orangutan di TMR

Parameter Ascarid Strongyloides Strongyloid Trichurid

r p r p r p r p nyata di taraf nyata 5% (p<0.05) uji korelasi Spearman

(23)

13 akan semakin kecil (Lampiran 3). Hal ini terlihat dari temuan infeksi Strongyloides dan Strongyloid pada lokasi F yang memiliki nilai rata-rata TTGT lebih rendah dibandingkan lokasi kandang dengan alas keramik dan semen. Kemungkinan infeksi Trichurid bukan berasal dari alas kandang tersebut.

Parameter luas kandang istirahat tidak memiliki korelasi yang signifikan (p>0.05) terhadap infeksi kecacingan. Namun, nilai korelasinya (r) yang bernilai negatif menunjukkan kecenderungan bahwa semakin kecil ukuran kandang istirahat maka infeksi kecacingan akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan pada kandang yang sempit tingkat kontak orangutan dengan tinja akan semakin tinggi sehingga dapat menimbulkan infeksi yang berulang (reinfeksi). Hasil pengamatan menunjukkan infeksi Strongyloides cukup tinggi pada kandang yang berukuran paling kecil (±32 m2). Menurut Bennett et al. (1995) dan Iskandar (2002) ukuran kandang yang baik bagi orangutan harus disesuaikan dengan ukuran tubuhnya disertai dengan kebersihan yang rutin sehingga orangutan terhindar dari tekanan stres dan penyakit.

Parameter luas jelajah di peragaan (Lampiran 3) memiliki korelasi yang signifikan terhadap infeksi Strongyloides (p=0.018). Hubungan korelasi tersebut berbanding terbalik (r=-268) yang berarti semakin sempit wilayah jelajah orangutan di peragaan maka akan semakin tinggi infeksi Strongyloides. Hampir sama halnya dengan korelasi parameter luas kandang istirahat (memiliki nilai ‘r’ negatif) bahwa tingkat kontak dengan tinja yang tinggi kemungkinan terjadi jika orangutan berada pada satu wilayah yang sama terus menerus. Infeksi Strongyloides tertinggi ditemukan pada lokasi dengan luas peragaan terkecil yaitu 0-100 m2. Selain itu, Strongyloides berkembang sangat baik diluar tubuh inang dan menginfeksi dengan larva infektif melalui permukaan kulit atau tidak sengaja termakan (Subronto 2007; Wich et al. 2009).

Parameter tingkat peragaan tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan infeksi kecacingan (p>0.05). Namun, nilai korelasi yang negatif pada infeksi Ascarid dan Strongyloides menunjukkan kecenderungan bahwa orangutan yang tidak diperagakan atau semakin jarang diperagakan maka kemungkinan infeksi kecacingan akan semakin tinggi. Hal ini mendukung hasil korelasi parameter luas kandang istirahat dan luas jelajah di peragaan bahwa keadaan lingkungan yang mendukung orangutan kontak dengan tanah atau tinja terkontaminasi secara terus-menerus akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi kecacingan. Infeksi Strongyloides tertinggi ditemukan pada orangutan sampel yang tidak rutin diperagakan. Menurut IUCN (2013) orangutan memiliki kebiasaan dan kemampuan berjelajah hingga 3.000 ha. Namun, di kebun binatang perilaku alami tersebut dibatasi oleh lingkungan yang terbatas. Penelitian Labes et al. (2010) juga menyatakan bahwa tingkat peragaan orangutan yang terbatas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap resiko infeksi parasit.

(24)

14

Hasil pengamatan parameter perkandangan tersebut merupakan faktor luar (lingkungan) yang dapat mempengaruhi infeksi kecacingan pada orangutan. Namun hasil tersebut juga sangat berkaitan dengan faktor dalam (inang) yang juga dapat mempengaruhi tingkat infeksi kecacingan pada orangutan. Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah spesies, jenis kelamin dan umur yang diklasifikasikan sesuai dengan tingkat TTGT cacing yang menginfeksi. Hasil tersebut disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Rata-rata TTGT nematoda berdasarkan faktor pengaruh infeksi kecacingan orangutan di TMR

Keterangan : asc: Ascarid; str: Strongyloides; stl: Strongyloid; trc: Trichurid

Infeksi kecacingan didominasi oleh infeksi Strongyloides pada spesies Pongo pygmaeus berjenis kelamin betina dalam rentang umur dewasa (16-35 tahun). Belum ditemukan penelitian yang menyebutkan bahwa spesies Pongo pygmaeus lebih rentan terhadap infeksi kecacingan, kemungkinan hal tersebut disebabkan perbandingan jumlah spesies yang tidak berimbang. Infeksi Strongyloides juga banyak menyerang orangutan betina dewasa karena selama penelitian di TMR terdapat beberapa orangutan yang sedang mengalami kebuntingan dan dalam masa menyusui anak.

(25)
(26)

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Infeksi kecacingan kelas nematoda ditemukan pada orangutan di TMR, Jakarta. Prevalensi infeksi Ascarid 100%, Strongyloides 88.2%, Strongyloid 76.47% dan Trichurid 5.88%. Hasil pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif tertinggi adalah Strongyloides 46.15% dengan rata-rata TTGT 1320 telur/gram tinja. Dominasi infeksi Strongyloides ditemukan pada orangutan spesies Pongo pygmaeus berjenis kelamin betina dewasa (15-35 tahun) di lokasi A, B, dan G yang memiliki tingkat peragaan orangutan tidak rutin. Parameter luas jelajah di peragaan yang kecil (0-100 m2), kondisi kandang yang terang dan desain alas kandang terpisah juga memiliki korelasi yang signifikan (p<0.05) terhadap infeksi kecacingan.

Saran

(27)

17

DAFTAR PUSTAKA

Altizer S, Dobson A, Hosseini P, Hudson P, Pascual M, Rohani P. 2006. Seasonality and the dynamics of infectious diseases. Georgia (US): Ecology Letters. 9, 467-484.

Bennett BT, Abee CR, Hendrickson R. 1995. Nonhuman Primates in Biomedical Research: Biology and Management. New York (US): Academic Pr.

Bismark M. 1984. Beberapa Aspek Biologi dan Konservasi Primata di Suaka Margasatwa Pleihari Martapura, Kalimantan Selatan. Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.

Chapman CA, Wasserman MD, Gillespie TR, Speirs ML, Lawes MJ, Saj TL, Ziegler TE. 2006. Do food availability, parasitism, and stress have synergistic effects on red colobus populations living in forest fragments?. Canada (UK): AmericanJ of Physic Anthropolo. 131, 525-534.

Cowlishaw G dan Dunbar R. 2000. Primate Conservation Biology. America (US): University of Chicago Pr.

Dellatore DF. 2007. Behavioural health of reintroduced orangutans (Pongo abelii) in Bukit Lawang, Sumatra Indonesia. [Disertasi]. England (UK): Primate Conservation Oxford Brookes Univ.

Gillespie TR. 2006. Noninvasive assessment of gastrointestinal parasite infections in free-ranging primates. J of Primatol. 27:1129-1143.

Hansen J, Perry B. 1994. The Epidemology, Diagnosis, and Control of Helminth Parasites of Ruminants. Nairobi (KE): Lab forRes on Animal Dis.

Hilser HB, Cheyne SM, Ehlers-Smith DA. 2011. Socioecology and gastro-intestinal parasites of sympatric primate species inhabiting the Sabangau Peat-Swamp Forest, Central Kalimantan. Oxford (UK): Americ J of Primatolo. 74, 31-49

Iskandar D. 2002. Penangkaran owa jawa (Hylobates moloch) di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2013. Pongo Pygmaeus Pongo Abelii. [Internet]. [diunduh 2013 Agu 24].

Mackinnon K. 1992. Nature’s Treasurehouse The Wildlife of Indonesia. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

Melrose W, Menziez H, Boer M, Joseph H, Reeve D, Speare R. 2012. Short communication: a simple method for performing worm-egg counts on sodium acetate formaldehyde-preserved samples. Townsville (AU): J of Parasitol Res. Vol. 2012, No 617028.

Noprianto A. 2004. Kajian pengelolaan orangutan (Pongo pygmeus pygmeus, L) di Kebun Binatang Ragunan Jakarta. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.

(28)

18

Rianawati dan Prastowo J. 2003. Infeksi nematoda gastrointestinal pada orangutan (Pongo pygmaeus) di Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta. Yogyakarta (ID): UGM. J Sain Vet. Vol. XXI, No 1.

Sajuthi, D. 1984. Satwa Primata Sebagai Hewan Laboratorium. Bogor (ID): IPB Smith JB dan Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): UI Pr. Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (Mammalia). Yogyakarta (ID): UGM Pr. Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitologi Third Edition.

Oxford (UK): Blackwell Pub.

Wells SK, Sargent, Andrew ME, Anderson DE. 1994. Medical Management of The Orangutan. New Orleans (US): The Audubon Inst.

(29)

19 Lampiran 1 Perhitungan analisis korelasi Spearman

Correlations

(30)

20

Lampiran 2 Peta lokasi kandang berdasarkan infeksi cacing

(31)

21 Lampiran 3 Foto beberapa parameter perkandangan

1. Alas Kandang

tipe terpisah

tipe keramik

(32)

22

2. Luas Jelajah di Kandang Peragaan

kandang peragaan yang kecil (±100m2)

(33)

23 3. Kondisi Cahaya di Kandang Istirahat

kondisi kandang terang (menghadap cahaya matahari langsung)

(34)

24

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Jayapura, Papua pada tanggal 22 April 1991 dari Bapak Tigor P. Sihombing dan Ibu Nursia Jojor D. Hutagalung. Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara.

Gambar

Tabel 1 Data orangutan dan jumlah sampel tinja terkoleksi
Tabel 2 Perbedaan tipe kandang pada tiap lokasi
Gambar 1 Hasil pemeriksaan kuantitatif dalam rata-rata TTGT (telur/gram tinja)
Tabel 7  Korelasi parameter perkandangan dengan infeksi kecacingan orangutan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang terjadi diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “Analisis Pengaruh Kualitas Produk, Harga, Lokasi, dan

Atmosphere rumah makan, kualitas pelayanan, kualitas makanan dan harga terbukti memiliki pengaruh terhadap kepuasan pelanggan Waroeng Spesial Sambal Pati.. Kata

Sejalan dengan hal tersebut, uji-t menunjukkan hasil uji beda sebesar 14,20 lebih besar dari ttabel 2,092, sehingga dapat disimpulkan penerapan media video berpengaruh

[r]

Tempat/Tanggal Lahir : Makassar, 21 Desember 1968 Alamat Tempat Tinggal : Kota Kembang Depok Raya sektor. Anggrek -3 Blok F1/14, Depok, Jabar Jenis Kelamin

Televisi juga merupakan aspek penting bagi proses identifikasi nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat (khususnya umat Islam) yang terus berubah. Syekh Ali

Dan saya berkata: Kalau &#34;naga-naga&#34;-nya begini Saudara-saudara &#34;naga-naga&#34;-nya begini, pihak Belanda mengulur-ulur waktu, pihak Belanda tidak lekas-lekas memberi

- Dititrasi dengan HCL sampai warna kuning berubah menjadi warna pink (Perubahan warna tidak terlalu kentara dan oleh karena itu harap hati-hati dalam menentukan titik akhir