• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelembagaan dan Arahan Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Ngawi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelembagaan dan Arahan Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Ngawi"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN

DAN ARAHAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN

DI KABUPATEN NGAWI

SALIS ZAINUN ULYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini yang berjudul Analisis Kelembagaan dan Arahan Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Ngawi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

SALIS ZAINUN ULYA. Analisis Kelembagaan dan Arahan Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Ngawi. Dibimbing oleh SETIA HADI dan OMO RUSDIANA.

Pengelolaan sumberdaya hutan harus berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan kelestarian sumberdaya hutan itu sendiri. Seiring dengan era otonomi daerah, sesuai penerapan Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor: 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi berinisiatif melibatkan diri dalam usaha-usaha pengelolaan hutan. Di lain pihak, Perum Perhutani (Perhutani) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelolaa hutan Jawa mempunyai paradigma baru yaitu dengan memberikan ruang yang lebih kepada masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan untuk terlibat lebih aktif dalam posisi yang sejajar sebagai mitra. Oleh karena itu, jiwa pengelolaan hutan oleh Perhutani harus selaras dengan jiwa otonomi daerah, yaitu transparansi dan berorientasi pada kehutanan sosial yang mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuwono (2008) menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Ngawi belum banyak merubah kondisi kemiskinan masyarakat desa-desa sekitar hutan, padahal banyak desa di sekitar kawasan hutan yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Dari luas wilayah administrasi Kabupaten Ngawi 129.598,89 hektar, seluas 45.428,6 hektar (35%) merupakan kawasan hutan Negara yang tersebar di tiga wilayah pengelolaan Perhutani, yaitu Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ngawi seluas 34.921,3 hektar, KPH Saradan seluas 5.198,9 bektar, dan KPH Lawu Ds seluas 5.308,4 hektar.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Ngawi yang mempunyai luas hutan sebesar 35% dari luas administratif kabupaten. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan kondisi kesejahtahteraan masyarakat sekitar hutan, 2) menganalisis keberlanjutan kelembagaan pembangunan kehutanan di Kabupaten Ngawi, 3) merumuskan arahan pengembangan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi. Kondisi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dilihat dengan pendekatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kelembagaan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi dianalisis dengan menggunakan analisis kelembagaan dan kerangka kerja pengembangan (Institutional Analysis and Development Framework) yang dikembangkan oleh Ostrom. Sedangkan arahan pengembangan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi dilakukan dengan teknis analisis A’WOT, yaitu teknik analisis yang menggabungkan teknik Analythical Hierarchy Process (AHP) dengan SWOT.

(6)

operasional lapangan. Sedangkan arahan untuk pengembangan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi adalah dengan menggabungkan faktor kekuatan dan faktor peluang terkait potensi-potensi yang dimiliki.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1) kondisi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan di lokasi penelitian termasuk kategori menengah atas, 2) terdapat potensi ketidakberlanjutan atas kelembagaan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi, 3) strategi utama arahan pengembangan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi adalah dengan menggabungkan faktor kekuatan dan faktor peluang.

Kata kunci: arahan pengembangan, keberlanajutan, kelembagaan, kelestarian, kesejahteraan

(7)

SUMMARY

Salis Zainun Ulya. Institutional Analysis and Development Direction of Forest Management in Ngawi. Supervised by SETIA HADI and OMO RUSDIANA.

Management of forest resources should be oriented towards improving the prosperity of forest communities and the sustainability of the forest resource itself. Along with the era of regional autonomy, appropriate application of Law No. 32 of 2004 on Regional Government and Law No. 33 of 2004 on Fiscal Balance between the Central Government and Local Government, Local Government Ngawi initiative to involve themselves in management efforts forest. On the other hand, Perum Perhutani (Perhutani) as State Owned Enterprises (SOEs) which has a Java forest management new paradigm is to give more space to the community, especially forest communities to engage more actively in a parallel position as a partner. Therefore, the soul Perhutani forest management must be in harmony with the spirit of regional autonomy, transparency and social forestry oriented to accommodate the aspirations of local communities.

Research conducted by Yuwono (2008) showed that forest management in Ngawi not much to change the conditions of poor people around the forest villages, while many villages in the surrounding forest areas depend on forests. From the administrative area of 129.598,89 hectares Ngawi, covering 45.428,6 ha (35%) is a state forest area spread over three areas of forestry management, the Forest Management Unit (FMU) Ngawi area of 34.921,3 hectares, FMU Saradan covering an area of 5.198,9 bektar, and FMU Lawu Ds. area of 5.308,4 hectares.

The study was conducted in Ngawi which has forest area of 35% of the administrative area of the district. The purpose of this study was: 1) to describe the condition kesejahtahteraan forest communities, 2) analyze the sustainable of institutional development of the forestry sector in Ngawi, 3) formulate direction on the development of forest management Ngawi. Conditions welfare of forest communities seen to approach the Human Development Index (HDI). Forest management institutions in Ngawi analyzed using institutional analysis and development framework (Institutional Analysis and Development Framework) developed by Ostrom. While the direction of the development of forest management in Ngawi A'WOT done with technical analysis, which is a technique that combines engineering analysis Analythical Hierarchy Process (AHP) and SWOT.

(8)

management in Ngawi is to combine the power factor and factors related to the potential opportunities possessed.

Conclusions of this study are: 1) the condition of the welfare of forest communities in the study sites include the upper middle category, 2) there is a potential discontinuation of the institutional of forest management in Ngawi, 3) the main direction of the development strategy of forest management in Ngawi is to combine factors strength and opportunity factors.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

ANALISIS KELEMBAGAAN

DAN ARAHAN PENGEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN

DI KABUPATEN NGAWI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

SALIS ZAINUN ULYA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(12)
(13)

Judul Tesis : Analisis Kelembagaan dan Arahan Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Ngawi

Nama : Salis Zainun Ulya

NIM : A156110141

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. Ketua

Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah Analisis Kelembagaan dan Arahan Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Ngawi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.Sc. selaku pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Santun RP. Sitorus atas semua masukan dan saran demi perbaikan tulisan ini.

Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih kepada Kementerian Kehutanan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis sehingga bisa melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, istri, anak-anak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya serta kawan-kawan semua di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah berbagi cerita, pengalaman dan dorongan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian studi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(15)

DAFTAR ISI

2.1.3 Pembangunan Kehutanan Subsistem dari Pembangunan Wilayah ... 7

2.2 Pengelolaan Hutan Lestari ... 7

2.3 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 9

2.4 Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Manusia (IMP) ... 9

2.4.1 Indikator ... 10

3.7.4 AHP (Analytical Hierarchy Process) ... 18

3.7.5 Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal ... 20

(16)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Kesejahteraan Masyarakat Desa Hutan di Kab. Ngawi ... 31

5.1.1 Potret Sektor Kehutanan di Kabupaten Ngawi ... 31

5.1.2 Sebaran dan Potensi Desa Hutan di Kabupaten Ngawi ... 34

5.2 Jumlah KK Masing-Masing Sampel Desa yang Digunakan ... 35

5.3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Pada Sampel Desa Hutan ... 37

5.4 Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Ngawi ... 39

5.4.1 Identifikasi Faktor Eksogen ... 39

5.4.1.1 Kondisi Biofisik ... 39

5.4.1.2 Atribut Komunitas... 40

5.4.1.3 Aturan Main ... 40

5.4.2 Identifikasi Arena Aksi... 44

5.4.2.1 Arena Aksi ... 44

5.4.2.2 Aktor yang Terlibat ... 45

5.4.2.3 Situasi Aksi ... 46

5.5 Arahan Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kab. Ngawi ... 50

6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... 57

6.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(17)

DAFTAR TABEL

1 Jenis, Sumber, Teknik dan Analisis Data 16

2 Skala pengisian Matriks Perbandingan Berpasangan 19

3 Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) 21

4 Eksternal Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) 22

5 Matriks Analisis SWOT 23

6 Penggunaan tanah di Kabupaten Ngawi 26

7 Luas dan Struktur Tanah di Kabupaten Ngawi 29

8 Penduduk Akhir Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin 30

9 Kondisi Struktur Kelas Hutan KPH Ngawi Jangka RPKH Tahun 1979-1988 sampai Jangka RPKH Tahun 2004-2008 33

10 Jumlah Desa Hutan di Kabupaten Ngawi 36

11 Jumlah Penduduk, KK, dan KK Petani ada 9 Desa awal kegiatan PHBM 37

12 Jumlah Sampel KK Pada Masing-Masing Desa Lokasi Penelitian 38

13 Perkembangan Besaran IPM Kab. Ngawi Tahun 1999-2008 38

14 Indikator IPM di Lokasi Penelitian 38

15 Gambaran Kondisi Sarana Pendidikan dan Kesehatan di Lokasi Penelitian 39

16 Peraturan Terkait Program Pengelolaan Hutan Berbasis masyarakat 42

17 Hasil Pengolahan data untuk matriks IFAS 54

18 Hasil Pengolahan data untuk matriks EFAS 55

19 Matriks Hasil Analisis SWOT 57

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 12

2 Peta Administrasi Kab.Ngawi 13

3 Analisis Kelembagaan dan Kerangka Pembangunan 17

4 Model Matriks space 22

5 Peta Sebaran Kecamatan di Kab. Ngawi 26

6 Peta Penggunaan Lahan di Kab. Ngawi 27

7 Peta Kawasan Hutan Produksi di Kab. Ngawi 28

8 Peta Kawasan Hutan Lindung di Kab. Ngawi 28

9 Grafik kondisi struktur kelas Hutan KPH Ngawi jangka RPKH 1979-1988 sampai dengan jangka RPKH 2004-2008 34

10 Bencana Banjir di Kab. Ngawi Desember 2007 35

11 Potret Rumah Masyarakat Sekitar Hutan 35

12 Hasil Perhitungan A’WOT Faktor Internal dan Eksternal 52

13 Matriks Space Hasil Analisis IFAS dan EFAS 56

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

(19)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pendekatan strategi pembangunan yang dilakukan lebih menekankan kepada aspek pertumbuhan ekonomi dan cenderung mengabaikan aspek pemerataan pembangunan (termasuk hasil-hasilnya). Dengan pendekatan tersebut, keberpihakan Negara kepada pemilik modal bisa dikatakan mendapat perhatian lebih dibandingkan dengan pengembangan ekonomi kerakyatan. Kondisi ini juga terjadi dalam pengelolaan hutan di Jawa oleh Negara melalui BUMN Perum Perhutani (Perhutani). Di dalam pengelolaan hutan, Perhutani lebih menekankan pada pendekatan yang bersifat instruktif dan pengamanan polisional dibandingkan pola-pola pengelolaan hutan yang bersifat kolaboratif sehingga berimbas juga pada penanganan masalah sosial ekonomi masyarakat.

Kondisi ini mengakibatan hubungan antara Perhutani dengan masyarakat desa hutan pada posisi yag saling berhadapan. Melalui pendekatan represif polisional yang didukung aparat keamanan Negara, Perhutani melakukan kegiatan pengamanan hutan dan masyarakat sekitar hutan seringkali diposisikan sebagai pihak yang layak dicurigai dibandingkan sebagai mitra kerja dalam pengelolaan hutan. Dari tahun ke tahun potensi konflik tersebut semakin meruncing dan mencapai puncaknya pada saat tumbangnya rezim Orde Baru dengan hilangnya legitimasi hukum di Indoesia pada periode 1998-2000. Dalam kondisi ketidakpastian tersebut, terjadilah penjarahan hutan secara besar-besaran di hampir seluruh wilayah hutan di Jawa.

Sebagai gambaran, Yuwono (2008) menyebutkan di Kabupaten Ngawi pada periode 1979-1988 luas hutan produktif masih di atas 30.000 ha, sedangkan perhitungan pada periode 2004-2008 luas hutan produktif turun menjadi 22.312 ha. Selanjutnya luas tanah kosong pada periode l979 - l988 luas kelas hutan tanah kosong 1.314 ha, sedangkan pada perhitungan periode 2004-2008 melonjak menjadi 17.650 ha. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan produktivitas hutan di Kabupaten Ngawi yang besar.

Pasca kerusakan hutan tanaman jati di Jawa karena penjarahan hutan tahun 1998-2000 dan seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah, paradigma pengelolaan hutan tanaman di Jawa mengalami pergeseran. Cara pandang pengelolaan hutan tanaman di Jawa yang selama ini dikuasai Negara melalui Perhutani berubah dengan penerapan sistem Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat atau lebih dikenal dengan sebutan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sistem ini lahir pada tahun 2001 yaitu dengan terbitnya SK No. 136/Kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Tujuan utama digulirkanya PHBM adalah agar hutan kembali aman dan lestari, dan di sisi lain hutan juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya yang bertempat tinggal di sekitar hutan (terwujudnya kelestarian ekologi dan ekonomi).

(20)

usaha-usaha pengelolaan hutan. Di lain pihak, sebagai konsekuensi dari paradigma baru Perhutani harus memberikan ruang yang lebih kepada masyarakat, khususnya masyarakat desa hutan untuk terlibat aktif dalam posisi yang sejajar sebagai mitra. Oleh karena itu, jiwa pengelolaan hutan oleh Perhutani harus selaras dengan jiwa otonomi daerah, yaitu transparansi dan berorientasi pada kehutanan sosial yang mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal. Dengan kata lain, diperlukan perubahan konsep sosial dan politik untuk memahami tuntutan perubahan cara pandang pengelolaan sektor kehutanan menuju kepada proses-proses dan hasil yang lebih baik (Rosyadi dan Birner, 2003, hal. 224-225).

Penelitian yang dilakukan oleh Yuwono (2008) menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan hutan di Kabupaten Ngawi belum banyak merubah kondisi kemiskinan masyarakat desa-desa sekitar hutan, padahal banyak desa di sekitar kawasan hutan yang menggantungkan hidupnya dari hutan. Dari luas wilayah administrasi Kabupaten Ngawi 129.598,89 ha, seluas 45.428,6 ha (35%) merupakan kawasan hutan Negara yang tersebar di tiga wilayah pengelolaan Perhutani, yaitu Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ngawi seluas 34.921,3 ha, KPH Saradan seluas 5.198,9 bektar, dan KPH Lawu Ds seluas 5.308,4 ha.

Yuwono (2008) menyebutkan bahwa berdasarkan hasil overlay antara peta kawasan hutan Negara dengan peta admintratif pemerintahan, dari total 217 desa di wilayah Kabupaten Ngawi terdapat 95 desa hutan. Pengertian desa hutan adalah desa-desa yang di dalam wilayah administratifnya memiliki wilayah pangkuan (wengkon) kawasan hutan.

Sebagai bentuk respon atas perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan dan tuntutan otonomi daerah, Perhutani melalui Surat Keputusan Direktur Utama Perum Perhutani nomor: 17Kpts/Dir/2009 tanggal 9 Januari 2009 merumuskan Visi dan Misi Perhutani yang baru, yakni :

Visi : Menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Misi : 1. Mengelola sumberdaya hutan dengan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan agroforestri serta potensi usaha berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan institusi secara berkelanjutan.

2. Membangun dan mengembangkan institusi, organisasi serta sumberdaya manusia institusi yang modem,. dan handal serta memberdayakan masyarakat desa hutan inelalui pengembangan lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa hutan atau koperasi petani hutan.

3. Mendukung dan turut berperan serta dalam pengembangan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara aktif dalam penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional dan internasional.

(21)

1.2Perumusan Masalah

Di samping permasalahan yang terkait langsung dengan kualitas tegakan hutan, permasalahan lain yang berhubungan dengan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi terkait isu pengembangan wilayah adalah kurangnya akses masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan Negara secara legal. Sebelum PHBM digulirkan di Kabupaten Ngawi, hutan Negara masih dikelola oleh Perhutani secara mutlak dimana pemerintah daerah dan masyarakat tidak memiliki akses untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Sumberdaya hutan masih menjadi wilayah yang tertutup bagi masyarakat desa hutan untuk ikut andil dan berkontribusi dalam rangka meningkatkan taraf hidup mereka. Hutan dengan aparat yang menjaganya dan masyarakat desa hutan menjadi dua entitas yang saling berhadapan dan berlawanan. Otonomi dan desentralisasi sektor kehutanan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Seiring dengan perubahan zaman dan paradigma pengelolaan kehutanan, sektor kehutanan saat ini harus dipandang sebagai bagian dari pembangunan wilayah yang mempunyai tujuan untuk ikut meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat, mulai dari kecukupan kebutuhan dasar, ikut mengentaskan kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan keamanan pangan, sekaligus meningkatkan produktifitas dan kelestarian hasil hutan, serta perlindungan lingkungan (Simon, 2006). Tuntutan ini sebenamya seiring dengan tujuan pembangunan dunia yang disepakati oleh pemerintah Indonesia dalam 8 tujuan Milenium Development Goals (MDGs), yang mencakup antara lain kemiskinan, pendidikan, layanan kesehatan, lingkungan, dan sebagainya (Stalker, 2008). Salah satu dari target yang ingin dicapai adalah menurunkan angka kemiskinan dan rawan pangan yang akut sampai 7,5% pada tahun 2015, tetapi juga mampu mempertahankan atau meningkatkan tutupan hutan lebih dari yang saat ini ada yaitu sekitar 40% (Stalker, 2008).

Pengelolaan hutan lestari diharapkan mampu menjawab permasalahan sosial, ekologi, dan ekonomi yang menjadi bagian dari pennasalahan MDGs dan pembangunan berkelanjutan. Peranan hutan dalam mendukung perekonomian terutama dalam menghasilkan produk kayu maupun non kayu telah banyak dirumuskan dan mudah dilakukan karena mempunyai ukuran yang relatif jelas dan disepakati. Namun demikian, peran pengelolaan hutan lestari dari aspek sosial terutama dalam mencapai kesejahteraan masyarakat masih sulit dilakukan karena belum ada ukuran yang bisa disepakati bersama, baik dari kalangan sektor kehutanan maupun sektor lainnya. Oleh karena itu, gambaran lingkungan sosial kehutanan pada suatu wilayah hutan yang dianggap telah sejahtera masih belum jelas apakah ada kaitannya dengan dampak pengelolaan hutan di wilayah tersebut ataukah tidak. Permasalahan ini memerlukan kajian lebih lanjut sehingga kontribusi sektor kehutanan terhadap kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan indikator yang saat ini mudah dan disepakati bersama, sehingga intervensi kebijakan kehutanan di masa datang dapat lebih terarah dan sistematis dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

(22)

tahun. Pada tahun 2010, Indonesia mempunyai angka IPM sebesar 0,60 sehingga menempati urutan ke 108 dari 169 negara di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Vietnam dan Filipina (UNDP, 2010). IPM mengukur kesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah dari tiga indeks komposit, yaitu kesehatan, pendidikan, dan pendapatan atau daya beli masyarakat. Pada tingkat provinsi dan kabupaten, BPS juga menerbitkan IPM yang sering dijadikan patokan untuk pemetaan kualitas kesejahteraan wilayah tersebut. Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi IPM suatu wilayah kabupaten dan provinsi di Indonesia sudah banyak dilakukan terutama terkait dengan variabel pendapatan, program pendidikan dan kesehatan, tetapi yang mengaitkan dengan peran sektoral dalam pembangunan ekonomi masih sedikit.

Sebagai bagian dari pembangunan wilayah, sektor kehutanan seharusnya dapat dievaluasi apakah telah ikut memberikan dampak terhadap IPM pada suatu wilayah atau tidak. Sayangnya, hubungan antara pengelolaan hutan dan kontribusinya terhadap IPM suatu wilayah masih belum banyak dikaji, sehingga belum diperoleh gambaran bagaimana pengaruh program pembangunan kehutanan terhadap indikator kesejahteraan yang diukur dengan pendapatan masyarakat, kesehatan, dan pendidikan sebagai satu kesatuan ukuran yang disepakati menggambarkan kualitas pembangunan manusia.

Di Kabupaten Ngawi, pada tahun 2003, telah disusun Master Plan Kehutanan Kabupaten Ngawi yang berisi butir-butir rumusan tujuan pembangunan kehutanan di Kabupaten Ngawi, yaitu antara lain : Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pemanfaatan fungsi ekonomi dan fungsi sumberdaya alam hutan, baik hutan Negara maupun hutan rakyat dan Menunjang pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian berkaitan dengan pelaksanaan agenda pengelolaan hutan lestari di Kabupaten Ngawi, yaitu:

1. Bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, yang kehidupannya berdampingan langsung dengan sumberdaya hutan?

2. Bagaimana kelembagaan pembangunan hutan di Kabupaten Ngawi? 3. Bagaimana arah pengembangan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan kondisi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan di Kabupaten Ngawi.

2. Menganalisis keberlanjutan kelembagaan pembangunan kehutanan di Kabupaten Ngawi.

(23)

1.4 Manfaat Penelitian

(24)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah dapat diartikan sebagai suatu bentuk intervensi positif yang mendukung pembangunan di suatu wilayah (Rustiadi et al., 20ll). Lebih lanjut, hal tersebut mengindikasikan diperlukannya strategi-strategi yang efektif untuk percepatan pembangunan dalam makna yang lebih humanis, yaitu memanusiakan manusia. Di samping strategi-strategi untuk wilayah yang tengah berkembang, strategi pengembangan wilayah-wilayah baik di Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa menjadi sangat penting. Kebijakan pembangunan selalu dihadapkan pada pilihan pendekatan pembangunan yang terbaik. Secara teoritis strategi pengembangan wilayah baru dapat digolongkan dalam dua kategori strategi, yaitu demand side strategy dan supply side strategy.

2.1.1 Demand Side Strategy

Demand side strategy adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduk atau masyarakat.

Di dalam pendekatan demand side strategy, tujuan pengembangan wilayah dilakukan dengan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di suatu wilayah. Peningkatan taraf hidup penduduk diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan jasa- jasa yang akan lebih mendorong pekembangan wilayah tersebut. Contoh dari demand side strategy adalah program transmigrasi yang secara teori peningkatan taraf bidup masyarakat transmigran melalui beberapa tahap dari tahap sub-subsisten, subsisten, marketable surplus, industri pertanian, industri non pertanian, industri perdesaan (Rustiadi et al., 2011).

Konsekuensi dari pendekatan strategi demand side adalah membutuhkan waktu yang lama karena berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi strukur kelembagaan, dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusi perombakan cara berpikir. Sedangkan keunggulan dari strategi ini umumnya berjalan stabil dan tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di luar wilayah. Stabilitas ini berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap.

2.1.2. Supply Side Strategy

(25)

Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk ekspor yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan lokal. Selanjutnya ini akan menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut. Contoh dari strategi ini adalah strategi pengembangan eksploitasi sumberdaya alam melalui penambangan, pembalakan, kegiatan teknis kehutanan dan lain-lain.

Keunggulan dari strategi ini adalah prosesnya cepat sehingga efek yang ditimbulkan cepat terlihat. Beberapa permasalahan yang sering muncul dari digunakanya strategi ini adalah : pertama, timbulnya enclave karena keterbatasan kapasitas (pengetahuan, keahlian, dan kompetensi) penduduk lokal sehingga seringkali hanya masyarakat tertentu dengan jumlah yang terbatas atau pendatang dari luar kawasan saja yang menikmatinya. Kedua, sangat peka terhadap perubahan-perubahan ekonomi di luar wilayah (faktor eksternal). 2.1.3 Pembangunan Kehutanan Subsistem dari Pembangunan Wilayah

Pembangunan kehutanan merupakan bagian dari pembangunan nasional dan merupakan subsistem dari pembangunan wilayah dengan tujuan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat desa hutan (Sutopo, 2005). Oleh karena itu pembangunan kehutanan harus menempatkan masyarakat sebagai subjek sekaligus objek dalam pembangunan kehutanan karena baik pemerintah maupun rakyat mempunyai persamaan hak dan kewajiban dalam memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pada hakekatnya, pembangunan harus mencenninkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebuthan dsar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual (Rustiadi et al.,2011). Tujuan dari pengembangan wilayah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang melalui proses: (1) Peningkatan laju pertumbuhan wilayah, (2) Pemerataan pembangunan dan meminimalisir kesenjangan wilayah, golongan masyarakat dan sektor pembangunan, (3) Pengembangan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan (Sutopo, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, pembangunan sektor kehutanan dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan berbasis sumberdaya hutan dalam kesatuan ruang tertentu dengan keterlibatan pihak-pihak yang saling berinteraksi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat desa hutan di masa sekarang dan masa yang akan datang.

2.2 Pengelolaan Hutan Lestari

(26)

mencakup aspek teknis dan bisnis, sedangkan tujuan dari pengelolaan hutan masih belum nampak.

Dalam perkembangannya, pengelolaan hutan dibedakan menjadi strategi kehutanan konvensional dan kehutanan sosial (Simon, 2010). Strategi kehutanan kovensional terdiri dari penambangan kayu yang sudah bergantung pada kondisi hutan alam dan sudah banyak ditinggalkan dan beralih menuju pengelolaan hutan tanaman. Pengelolaan hutan tanaman mensyaratkan azas kelestarian hasil hutan (Sustained yield principle), yaitu terpenuhinya batas kawasan yang jelas dan diakui semua pihak, pemanenan yang tidak overcutting dan keberhasilan sistem silvikultur dalam permudaan hutan kembali. Dalam pengelolaan hutan tanaman terdapat lima macam kegiatan, yaitu: pembangunan atau penanaman hutan (forest establishment), pemeliharaan dan peningkatan kualitas tanaman (forest culture), pemanenan (forest harvesting), pengolahan hasil hutan (processing) dan pemasaran hasil hutan (marketing) (Simon, 2010). Strategi kehutanan sosial mempunyai pendekatan pengelolaan dari aspek sumber daya hutan dan ekosistem sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan sistem pembangunan wilayah (Simon, 2010).

Dewasa ini perubahan nilai sosial ekonomi, sikap masyarakat dan proses kebijakan kehutanan intemasional telah mempengaruhi tujuan, pendekatan dan pengambilan keputusan tentang bagaimana mengelola sumber daya hutan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management) yang dimensinya lebih luas dari aspek teknis dan bisnis (Cubbage et al., 2006; Wang dan Wilson., 2007). Namun demikian, pengelolaan hutan lestari telah disepakati mencakup dimensi pengelolaan hutan yang dapat diterima secara sosial ramah lingkungan, dan efisien secara ekonomi. Dalam konteks ini, pengelolaan hutan harus mampu memadukan antara kesehatan ekosistem hutan dengan kehidupan masyarakat, dan perubahan dari berorientasi kayu menuju spektrum hutan yang lebih luas yang mampu menghasilkan non kayu dan jasa lingkungan (Wang dan Wilson, 2007). Pendapat ini sangat penting dalam mendasari perubahan cara pandang konvensional bahwa hutan sebagai sistem yang terpisah menjadi bagian dari sub-sistem yang lebih luas.

(27)

melaksanakan lima kegiatan teknis kehutanan seperti dalam strategi pengelolaan hutan tanaman.

2.3 Kelembagaan Pengelolaan Sumber daya Hutan

Ostrom (2005) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang harus atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang akan diterima seseorang sebagai hasil dari tindakan yang dilakukannya.

Dalam konteks kelembagaan, yang dimaksudkan di sini adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi politik maupun sosial.

2.4 Pembangunan Manusia dan lndeks Pembangunan Manusia (IPM)

Menurut UNDP (2010), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia. Definisi ini mempunyai makna yang lebih luas dari hanya pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan ekonomi berupa-barang dan jasa dari suatu faktor-faktor produksi atau yang biasa digunakan dengan indikator produk domestik bruto (PDRB). Konsep pembangunan manusia yang diprakarsai oleh UNDP sejak tahun 1990 mengembangkan suatu indikator yang dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan representative yang dinamak:an Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).

Ada dua pengertian tentang IPM. Pertama, IPM merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan aspek-aspek yang relevan dengan pelaksanaan otonomi dan pembangunan daerah sebagai indeks komposit yang secara generik terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: (1) kawasan pemerintah; (2) perkembangan wilayah, dan (3) kebudayaan masyarakat. Kedua, IPM adalah suatu alat yang dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan yang menggunakan paradigma Human Centered Development (Kintamani, 2008, hal 424).

IPM menyediakan suatu ukuran komposit dari tiga dimensi pembangunan manusia, yaitu (UNDP, 2010):

1. Usia hidup yang panjang dan sehat (living a long and healthy life), yang diukur dengan angka harapan hidup (AHH).

(28)

mendekati 0 semakin rendah tingkat kualitas penduduknya. Terdapat tiga kategori nilai IPM. yaitu:

a. Pembangunan manusia rendah, nilai IPM <0,499 (<49,9%)

b. Pembangunan manusia sedang, nilai IPM 0,500-0,799 (50,00% -79,9%) c. Pembangunan manusia tinggi, nilai IPM > 0,800 (>80,00%)

Sutopo (2005) menyebutkan bahwa di Kabupaten Ngawi, pelaksaaan kegiatan PHBM pada tahun 2003 berpengaruh 'sedang' terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat desa hutan. Hal tersebut ditunjukkan dengan menghitung IPM sampel desa hutan sebelum dilaksanakan PHBM (tahun 2000) dan sesudah PHBM dilak:sanakan (tahun 2003). Karena pada tahun 2003 merupakan awal digulirkannya program PHBM di Kabupaten Ngawi, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat desa hutan terkini.

2.4.1 lndikator

Indikator adalah ukuran kuantitatif atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan (Kintamani, 2008, hal 424). Indikator merupakan suatu konsep sekaligus ukuran. Sebagai suatu konsep, indikator merupakan suatu besaran kuantitatif mengenai suatu konsep tertentu yang dapat digunakan untuk mengukur proses dan hasil atau dampak dari suatu instrumen kebijakan di bidang tertentu. Sebagai ukuran kuantitatif, indikator merupak:an besaran dari suatu konsep atau gejala tertentu sebagai hasil pengolahan dari dua satuan data atau lebih dalam. waktu yang bersamaan. Secara sederhana, indikator didefinisikan sebagai perbandingan antara dua atau lebih variabel sehingga dapat diinterpretasikan (Kintamani, 2008, hal. 425).

2.4.2 lndikator IPM

Secara sederhana IPM adalah alat untuk mengukur pencapaian rata-rata sebuah Negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu: (1) hidup yang sehat dan panjang usia yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran, (2) pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobot dua pertiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas atau yang disebut dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) (bobot satu pertiga), dan (3) standar kehidupan yang layak: diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dalam keseimbangan kekuatan beli dalam US dolar (Kintamani, 2008, hal. 425-426).

(29)

3 METODE PENELITIAN

3.1Kerangka Pemikiran

Penelitian ini ditarbelakangi oleh suatu kondisi saling ketergantungan antara hutan dengan masyarakat sekitar. Di satu pihak, kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang rendah dengan penguasaan aset sumberdaya alam yang lemah, sedangkan di sisi yang lain berhadapan dengan sumberdaya alam berupa hutan dengan berbagai kondisi yang dikuasai oleh Perhutani. Pada situasi ini, kedua belah pihak berada pada posisi yang berhadap-hadapan dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, sehingga masyarakat desa hutan kurang merasa ikut memiliki arti keberadaan hutan secara bertanggung jawab. Padahal, jika terjadi bencana, masyarakat desa hutan yang pertama kali merasakan dampaknya karena berdampingan langsung dengan hutan.

Untuk menjembatani situasi tersebut, Perhutani dalam hal ini KPH Ngawi, KPH Saradan dan KPH Lawu Ds pada tahun 2000 melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi menerapkan program PHBM yang bertujuan pokok menjaga kelestarian kawasan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan, yang merupakan bagian dari pola pengembangan wilayah.

Untuk pencapaian tujuan penelitian ini, dilakukan dengan beberapa analisis sebagai kerangka pemikiran (Gambar 1), yaitu :

1. Menganalisis secara deskripitif (analisis deskriptif) atas kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang ditunjukkan dari hasil perhitungan IPM masyarakat sekitar hutan.

2. Menganalisis kebijakan pembangunan sektor kehutanan di Kabupaten Ngawi (aspek kelembagaan) dengan mengacu pada konsep Institutional Analysis and Development Framework (Ostrom, 2005).

(30)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Ngawi (Gambar 2) dengan ruang lingkup pada desa-desa hutan. Kegiatan persiapan, penelitian lapang, analisis data, serta penyusunan tesis dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai dengan Mei 2014 berlokasi di Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur.

KONDISI MASYARAKAT DESA HUTAN

- Kesejahteraan rendah - Fenomena rich forest poor

(31)

Gambar 2 Peta Administrasi Kabupaten Ngawi 3.3Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang akan digunakan dituangkan dalam Tabel l, dan alat yang akan digunakan untuk mengolah data adalah : Microsoft Excel, Statistica 7, SPSS 16.

3.4Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara secara mendalam dengan narasumber yang berkompeten dan terkait dengan topik penelitian, dan dengan pengambilan data melalui kuesioner kepada responden. Responden yang dipilih untuk analisis A'WOT terdiri dari unsur-unsur Pemda, DPRD, BUMN, akademisi, swasta dan tokoh masyarakat dengan prinsip bahwa responden yang dipilih mempunyai pemahaman yang baik tentang perkembangan pembangunan di Kabupaten Ngawi. Jumlah responden ditetapkan 10 orang, yaitu: 3 orang unsur Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi (Wakil bupati, Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan,), 1 orang unsur DPRD, 2 orang unsur BUMN, 1 orang unsur akademisi, 1 orang unsur swasta dan 2 orang unsur tokoh masyarakat.

Pengambilan data primer dijelaskan sebagai berikut :

1. Wawancara.Teknik ini dilakukan untuk mengetahui persepsi responden terhadap pelaksanaan program yang diteliti.

(32)

fenomena karakteristik objek penelitian dan memperdalam fakta yang mungkin belum tergali atau terdata.

3. Kusioner. Teknik pengumpulan data dimana para responden diberikan seperangkat daftar pertanyaan untuk dijawab. Dalam daftar pertanyaan tersebut responden diminta untuk memilih salah satu dari alternatif jawaban yang telah tersedia bila pertanyaannya tertutup dan memuat alternatif jawaban sendiri bila pertanyaan terbuka. Penyebaran kuesioner didasarkan jumlah sampel yang telah dipilih.

Data sekunder meliputi data kondisi kawasan hutan, data sosial dan ekonomi yang diperoleh dari Perhutani, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Ngawi, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), survei literatur, hasil-hasil penelitian sebelumnya yang terkait, dan produk lain dari institusi berwenang yang terkait topik penelitian. Secara garis besar, data sekunder diperoleh dengan teknik pendokumentasian, yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengutip kembali data-data yang diperlukan. Dokumentasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data-data deskriptif objek penelitian.

3.5Metode Pengolahan Data

Untuk mengolah data yang telah diperoleh, digunakan teknik pengolahan sebagai berikut :

1. Data yang tersaji dalam bentuk angka dan terukur (data kuantitatit) diolah melalui :

- Perhitungan matematika sederhana yaitu mengolah data dengan berbagai perhitungan statistik sederhana, seperti: penjumlahan, pengurangan, prosentase, pembagian

- Perhitungan matematika tertentu, yaitu mengolah data dengan menggunakan perhitungan statistik: yang telah ditentukan rumus dan kebutuhan datanya oleh para pakar, misalnya menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

- Perhitungan matematika lainnya yang diperlukan, terutama kuantifikasi terhadap data kualitatif agar dapat diolah secara numerik, dengan membuat skala, skoring dan pembobotan tertentu sesuai kebutuhan, misalnya pada tahap analisis dengan teknik SWOT dan AHP

2. Data-data kualitatif (non numerik) diolah melalui :

- Metode deskriptif: yaitu memberi gambaran penjelasan serta pengertian tentang keadaan atau berbagai fenomena yang ada di wilayah penelitian dengan sejelas mungkin.

- Metode asumtif, yaitu analisis dengan menggunakan asumsi-asumsi tertentu yang dibuat dengan berdasarkan pada kondisi tertentu dan diperkirakan kondisi tersebut terjadi dalam kurun waktu yang cukup dapat mewakili objek penelitian.

(33)

3.6Teknik Sampling

3.6.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat desa hutan yang memiliki kegiatan di hutan Negara dan hutan rakyat (hutan milik).

3.6.2 Jumlah Sampel

Karena keterbatasan waktu dan biaya, pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan :

a. Menentukan lokasi desa penelitian yang dilakukan secara sampling daerah (cluster sampling). Teknik ini digunakan untuk menentukan sampel bila objek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas (Sugiono, 2012). Desa objek penelitian diambil sebanyak 3 desa, berdasakan kriteria :

- Mewakili masing-masing KPH (terdapat 3 KPH) - Termasuk desa awal pelaku pelaksana program PHBM - Mempunyai wengkon yang masih dikelola

- Keberadaan dan berfungsinya peran Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)

- Mempunyai kegiatan kelola di hutan rakyat (hutan milik).

b. Menentukan jumlah Kepala Keluarga (KK) rumah tangga yang akan dijadikan sebagai sasaran penelitian dari desa-desa yang mewakili. Untuk menentukan besarnya ukuran sampel digunakan rumus kekeliruan untuk pendekatan proporsi populasi dengan asumsi populasi besar, yaitu :

dimana;

n = ukuran populasi

p = perbandingan antara subjek yang menjadi objek dengan seluruh subjek J = derajat kekeliruan terhadap rata-rata hitung yang dapat divariansi (5%) Z = derajat konfisidensi terpilih=distribusi t (1,96)

3.6.3 Teknik sampling yang digunakan

Teknik sampling yang digunakan adalah Sampling Purposive, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012). Sebagaimana telah disebutkan di atas, KK merupakan unit sampel dalam penelitian ini karena KK dianggap sebagai pihak yang paling mengetahui tentang informasi yang akan digali.

Untuk menentukan jumlah sampel pada masing-masing desa ditetapkan berdasarkan metode proporsional, dengan rumus :

dimana;

(34)

3.7. Teknik Analisis Data

Jenis, sumber, teknik analisis data, dan hasil yang diharapkan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis, Sumber, Teknik, dan Analisis Data No. Tujuan Jenis Data Sumber

(35)

3.7.2 Analisis Kelembagaan

Analisis kelembagaan pengelolaan hutan dan pengaruhnya terhadap kelestarian hutan dan tingkat kesejahteraan masyarakat dilakukan berdasarkan kajian kandungan dan isi hasil pengolahan data responden, data-data yang teridentifikasi dari lapang, dokumen tertulis lainnya yang berkaitan, yang hasilnya disajikan secara deskriptif didukung dengan tabulasi dan grafis (Ostrom, 2005). Analisis kelembagaan dan kerangka pembangunan yang dilakukan mengacu pada Institutional Analysis and Development Framework (Ostrom, 2005) yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Partisipasi sukarela, khususnya dari petani, dapat terwujud karena adanya pemahaman umum bahwa hubungan kelembagaan adalah sesuai dan memberikan hasil memadai bagi para pelakunya (Ostrom, 2005). Artinya kemitraan harus menjamin bahwa petani diuntungkan dan tidak ada pihak yang dirugikan sehingga kemitraan (kerjasama) layak untuk dilakukan secara berkelanjutan.

Kriteria yang digunakan adalah kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Keberlanjutan kelembagaan dievaluasi berdasarkan manfaat yang diterima para pelaku (Ostrom, 2005) dan akan terwujud jika mampu memberikan masukan yang positif bagi pelakunya. Selanjutnya pelaku bersedia berkontribusi kembali dengan sebagian manfaat yang diterimanya untuk membangun dan mengelola sumberdaya hutan secara berkelanjutan.

Gambar 3. Analisis Kelembagaan dan Kerangka Pembangunan

Kondisi biofisik berisi tentang kondisi atau keadaan dari objek yang menjadi sasaran penelitian dalam hal ini kondisi fisik sumberdaya hutan yang diperoleh datanya dari studi literatur dan pengamatan langsung di lapangan. Atribut komunitas adalah elemen-elemen yang berinteraksi langsung dan berada di sekitar wilayah biofisik seperti desa, petani hutan, kelompok tani hutan dan lain sebagainya.Aturan main merupakan peraturan perundangan yang diberlakukan baik pada tingkat pusat maupun daerah.

Arena aksi dan pelaku merupakan wilayah yang menggambarkan siapa berperan apa. Di sini akan ditunjukkan kewenangan yang dimiliki oleh masing- masing stakeholder, bagaimana dan seberapa jauh dia berperan.

(36)

sebagainya, sehingga menuju pada situasi yang menunjukkan bagaimana tingkat keberlanjutan kelembagaan tersebut.

3.7.3 Analisis A'WOT

Arahan pengembangan pembangunan sektor kehutanan dilakukan melalui pendekatan analisis A'WOT yang merupakan kombinasi dari metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) yang lazim digunakan dalam menyusun strategi kebijakan. AHP berfungsi untuk memberikan bobot atau skor terhadap komponen-komponen SWOT. Metode A'WOT yang diterapkan dalam penelitian ini untuk menentukan pembobotan dalam analisis SWOT. Tujuannya adalah untuk mengurangi subjektifitas penilaian terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, baik menyangkut kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman.

Pelaksanaan analisis A'WOT diawali dengan pengumpulan data kuesioner melalui survei atau wawancara (kuesioner pendahuluan). Kemudian data yang diperoleh terkait kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dikerucutkan dan dijadikan bahan untuk mendapatkan bobot dan rating msaing-masing faktor SWOT, dimana bobot didapat dari AHP. Selanjutnya dilakukan analisis faktor strategi internal (Internal Factor Analysis Strategy, IFAS) dan analisis faktor strategi eksternal (External Factor Analysis Strategy, EFAS), analisis Mariks Space dan tahap pengambilan keputusan dengan SWOT.

Metode analisis A'WOT telah diterapkan dalam beberapa penelitian. Leskinen et al. (2006) menerapkan metode A'WOT untuk menganalisis perencanaan strategi dari balai penelitian hutan di Finlandia dalam rangka mengantisipasi perubahan lingkungan di seluruh hutan dan organisasi itu sendiri. Osuna dan Aranda (2007) melakukan kombinasi AHP dan SWOT untuk evaluasi akhir dari strategi dalam rencana pengembangan sebuah institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan.

Metode A'WOT yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan AHP untuk melakukan pembobotan dalam analisis SWOT. Tujuannya adalah untuk mengurangi subyektifitas penilaian terhadap faktor-faktor internal dan eksternal baik menyangkut kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SW0T) dalam pengambilan suatu keputusan strategi. Pelaksanaan analisis A'WOT melalui beberapa tahapan analisis, diawali dengan pengumpulan data dan melalui survei dan wawancara (kuesioner pertama). Data yang didapat dikerucutkan dari semua jawaban responden, baik data internal (kekuatan dan kelemahan) maupun data eksternal (peluang dan ancaman). Data internal dan eksternal yang diperoleh, dijadikan bahan untuk kuesioner kedua, yaitu untuk mendapatkan bobot dan rating masing-masing skor SWOT, dimana bobot didapat dari AHP.

3.7.4 AHP (Analytical Hierarchy Process)

(37)

multi kriteria. Secara umum, dengan menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, transparan dan partisipatif. AHP berguna untuk pengambilan keputusan dalam menentukan prioritas dari beberapa faktor atau alternatif yang ada dan akan diterapkan. Analisis menggunakan AHP dilakukan melalui beberapa proses yaitu:

1. Identifikasi sistem: proses untuk menemukan pokok permasalahan yang akan diselesaikan, menentukan tujuan yang ingin dicapai, kriteria-kriteria yang akan digunakan untuk menentukan pilihan alternatif-alternatif yang akan dipilih.

2. Penyusunan hierarki dengan melakukan abstraksi antara komponen dan dampak-dampaknya pada sistem. Bentuk abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, tersusun dari puncak atau sasaran utama turun ke sub- sub tujuan, kemudian turun ke pelaku (aktor) yang memberi dorongan, turun ke tujuan-tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan, strategi-strategi dan akhirnya memberikan hasil dari strategi tersebut. Penyusunan atas struktur keputusan dilakukan untuk menggambarkan elemen sistem atas alternatif keputusan yang teridentifikasi.

3. Penyusunan matriks pendapat individu untuk setiap kriteria dan alternatif dilakukan melalui perbandingan berpasangan, yaitu perbandingan setiap elemen sistem dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hierarki secara berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kuantitatif. Skala penilaian digunakan untuk menguantifikasikan pendapat kualitatif tersebut sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Pada penelitian ini akan dipergunakan skala 1 sampai 7 seperti terlihat pada Tabel 2. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Skala pengisian matriks perbandingan berpasangan tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Skala Pengisian Matriks Perbandingan Berpasangan

Skala Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen sama kuat pada sifatnya 3 Elemen yang satu lebih penting

dibandingkan elemen lainnya

Pertimbangan lebih menyokong satu elemen atas elemen lainnya

5 Elemen yang satu sangat penting dibandingkan elemen lainnya satu memiliki tingkat penegasan tertinggi

2,4,6 Nilai-nilai diantara 2 pertimbangan

Kompromi diperlukan diantara 2 pertimbangan

Kebalik an

Jika elemen i mendapat nilai 7 dibandingkan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai 1/7 bila dibandingkan dengan elemen i

(38)

4. Nilai-nilai perbandingan yang telah dilakukan harus diperoleh tingkat konsistensinya, misalnya bila dalam melakukan perbandingan, hasil yang didapat A>B dan B>C, maka secara logis seharusnya A>C. Untuk menghitung tingkat konsistensi ini menggunakan rumus Consistency Ratio. 5. Penyusunan matriks gabungan, pengolahan vertikal dan menentukan vektor

prioritas sistem. Setelah Consistency Ratio memenuhi, dilakukan penyusunan matriks gabungan responden. Selanjutnya dilakukan pengolahan vertikal dan menentukan vektor prioritas sistem.

3.7.5 Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal

Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman untuk penyusunan arah pengembangan sektor kehutanan Kabupaten Ngawi. Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

1. Analisis Faktor Strategi Internal

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor kekuatan dan kelemahan untuk penyusunan arah pengembangan sektor kehutanan Kabupaten Ngawi. Bagian analisis ini adalah membuat matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) yang ditunjukkan pada Tabel 3. Adapun langkah- langkah pembuatannya sebagai berikut :

a. Menyusun sebanyak 5 sampai dengan 10 faktor-faktor kekuatan dan kelemahan pada kolom 1 yang menentukan arahan pengembangan wilayah sektor kehutanan di Kabupaten Ngawi (pada penelitian ini ditentukan 5 faktor).

b. Memasukkan bobot masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan pada kolom 2 hasil dari gabungan semua responden setelah dikalikan setengah, sehingga nilai total bobot sama dengan satu.

c. Pada kolom 3 dimasukkan rating (pengaruh) masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan dengan memberi skala dari 4 (sangat kuat) sampai dengan 1 (sangat lemah). Nilai rating ini merupakan hasil pembulatan dari nilai rata-rata dari semua responden.

d. Kolom 4 diisi hasil kali bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3. Hasilnya berupa skor yang nilainya bervariasi dari 4 sampai dengan 1.

(39)

Tabel 3. lnternal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS)

No Faktor kekuatan Bobot Rating Skor

1. Hutan adalah bagian dari ekosistem wilayah

2. Pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih terbuka untuk masyarakat

3. Persepsi positif masyarakat terhadap gerakan penghijauan atau penanaman pohon di lahan milik, pekarangan, atau tegalan 4. Sumberdaya hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat

sekitarnya

5. Sumberdaya hutan mampu menyerap tenaga kerja

Jumlah 1,00

No Faktor kelemahan Bobot Rating Skor 1. Pencurian kayu

2. Luas tanah kosong yang belum dikelola

3. Peran aparatur Negara pengelola hutan dengan rakyat yang belum sejajar (masyarakat belum sepenuhnya dianggap sebagai mitra kerja)

4. Sinergitas pengelolaan hutan Negara dengan hutan rakyat yang masih rendah

5. Kondisi masyarakat desa hutan yang masih miskin

Jumlah 1,00

Sumber : Diadaptasi dari Rangkuti (2009) 2. Analisis Faktor Strategi Eksternal

Analisis Faktor Strategi Eksternal dilakukan untuk mengetahui faktor- faktor peluang dan ancaman untuk penyusunan arah pengembangan sektor kehutanan di Kabupaten Ngawi. Bagian analisis ini adalah membuat matriks External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) yang ditunjukkan pada Tabel 4. Adapun langkah-langkah pembuatannya sebagai berikut:

a. Menyusun faktor-faktor peluang dan ancaman pada kolom 1 untuk penyusunan arah pengembangan sektor kehutanan di Kabupaten Ngawi (pada penelitian ini ditentukan 5 faktor).

b. Memasukkan bobot masing-masing faktor peluang dan ancaman pada kolom 2 hasil dari AHP gabungan semua responden setelah dikalikan setengah, sehingga nilai total bobot sama dengan satu.

c. Pada kolom 3 dimasukkan rating (pengaruh) masing-masing faktor peluang dan ancaman dengan memberi skala dari 4 (sangat kuat) sampai dengan 1 (sangat lemah). Nilai rating ini merupakan hasil pembulatan dari nilai rata-rata dari semua responden.

d. Kolom 4 diisi hasil perkalian bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3. Hasilnya berupa skor yang nilainya bervariasi dari 1 sampai dengan 4. e. Jumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh nilai total skor faktor

(40)

Tabel 4. External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS)

No Faktor peluang Bobot Rating Skor

1. Program pemgelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) 2. Hak kerjasama masyarakat desa hutan mengelola hutan Negara 3. Program rehabilitasi lahan-lahan kritis dan kering dari pemerintah

pusat

4. Kesepahaman berbagai pihak untuk menjaga kelestarian hutan 5. Membangun hubungan positif antara masyarakat desa hutan dengan

aparatur pengelola hutan

Jumlah 1,00

No Faktor ancaman Bobot Rating Skor

1. Kepemilikan tanah yang rendah oleh masyarakat desa hutan 2. Kemiskinan

3. Tingkat pendidikan masyarakat desa hutan yang rendah 4. Egoisme sektoral pengelolaan hutan Negara dan hutan rakyat 5. Kebutuhan kayu baik pertukangan maupun kayu bakar yang tinggi

Jumlah 1,00

Sumber: Diadaptasi dari Rangkuti (2009) 3.7.6 Analisis Matriks Space

Analisis matriks space digunakan untuk mempertajam arah pengelolaan dan pengembangan sektor kehutanan di Kabupaten Ngawi, yaitu dengan mengetahui perpaduan faktor internal dan eksternal pada kuadran dari matriks space yang dibuat. Marimin (2008) menyebutkan bahwa dalam membuat suatu keputusan untuk memilih alternatif strategi sebaiknya dilakukan setelah institusi mengetahui terlebih dahulu di kuadran mana posisi institusi tersebut berada pada matriks space. Dengan mengetahui posisi institusi, maka strategi yang akan diambil akan lebih tepat dan sesuai dengan kondisi internal dan eksternal institusi saat ini. Posisi institusi dapat dikelompokkan dalam 4 Kuadran yaitu Kuadran I, II, III dan IV seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Kuadran I, strategi yang tepat adalah strategi agresif, Kuadran ll strategi diversifikasi, Kuadran II strategi turn around dan Kuadran IV menggunakan strategi defensif.

Peluang

Kuadran III Kuadran I

Kelemahan Kekuatan

Kuadran IV Kuadran II

' Ancaman

(41)

Kuadran I menandakan posisi sangat menguntungkan dimana institusi memiliki kekuatan dan peluang sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan menerapkan strategi pertumbuhan yang agresif.

Kuadran II, menunjukkan institusi menghadapi berbagai ancaman, namun masih mempunyai kekuatan sehingga strategi yang diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan menerapkan strategi diversifikasi.

Kuadran III, pada kuadran ini institusi mempunyai peluang yang sangat besar namun di sisi lain memililki kelemahan internal. Menghadapi situasi ini, institusi yang bersangkutan harus berusaha meminimalkan masalah-masalah internal untuk merebut peluang pasar.

Kuadran IV, menunjukkan institusi berada pada posisi yang tidak menguntungkan karena disamping menghadapi ancaman juga menghadapi kelemahan internal.

3.7.7 Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi institusi. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan institusi. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis institusi (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini (Rangkuti, 2009).

(42)

Analisis ini menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif dari suatu strategi, yaitu :

a. Strategi SO, strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang sebesar-besamya.

b. Strategi ST, strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul.

c. Strategi WO, strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.

(43)

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN NGAWI

4.1 Kondisi Fisik Wilayah

Beberapa gambaran umum dari kondisi fisik Kabupaten Ngawi yang merupakan wilayah studi adalah kondisi geografis, kondisi topografi, hidrologis dan iklim.

4.1.1 Kondisi Geografis

Kabupaten Ngawi merupakan salah satu kabupaten yang secara geografis berada di Propinsi Jawa Timur bagian barat, merupakan daerah penghubung dengan Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jakarta yang mempunyai aksesibilitas transportasi cukup ramai.

Luas wilayah Kabupaten Ngawi adalah 1.295,9851 km2 atau 129.598,51 ha yang secara administratif pemerintahan terbagi dalam 19 kecamatan, 4 kelurahan, dan 213 desa. Kesembilan belas kecamatan tersebut adalah:

1. Kecamatan Sine 11. Kecamatan Padas 2. Kecamatan Ngrambe 12. Kecamatan Kasreman 3. Kecamatan Jogorogo 13. Kecamatan Ngawi 4. Kecamatan Kendal 14. Kecamatan Paron 5. Kecamatan Geneng 15. Kecamatan Pitu

6. Kecamatan Gerih 16. Kecamatan Kedunggalar 7. Kecamatan Kwadungan 17. Kecamatan Widodaren 8. Kecamatan Pangkur 18. Kecamatan Mantingan 9. Kecamatan Karangjati 19. Kecamatan Karanganyar 10. Kecamatan Bringin

(44)

Gambar 5 Peta Sebaran Kecamatan di Kabupaten Ngawi

Kabupaten Ngawi secara astronomis terletak pada posisi 7021' - 7031' Lintang Selatan dan 111007' - 111040' Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Kabupaten Blora, Kabupaten Grobogan (Propinsi Jawa Tengah) dan Kabupaten Bojonegoro (Propinsi Jawa Timur)

- Sebelah Barat : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen (Propinsi Jawa Tengah)

- Sebelah Selatan : Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun (Propinsi Jawa Timur)

- Sebelah Timur : Kabupaten Madiun (Propinsi Jawa Timur)

Penggunaan tanah di Kabupaten Ngawi disajikan pada Tabel 6 dan secara garis besar tutupan lahannya sebagaimana Gambar 6.

Tabel 6. Penggunaan Tanah di Kabupaten Ngawi

No Penggunaan Luas (ha) Persentase (%)

1. Lahan persawahan 57.911,19 44.69

2. Lahan perkebunan 1.551,04 1.20

3. Lahan tegalan 8.165,81 6.30

4. Lahan perkarangan 13.486,55 10.41

5. Lahan hutan Negara 45.428,60 35.05

6. Waduk, bendungan dan lain-lain 3.054,81 2.36

Jumlah 129.595,00 100.00

(45)

Berdasarkan potensi sumberdaya hutannya, dari luas wilayah administrasi Kabupaten Ngawi 129.598,89 ha, seluas 45.428,60 ha (35%) merupakan kawasan hutan negara yang tersebar di tiga wilayah pengelolaan Perhutani, yaitu Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ngawi seluas 34.921,30 ha, KPH Saradan seluas 5.198,90 ha, dan KPH Lawu Ds seluas 5.308,40 ha, yang berstatus Kawasan Hutan Produksi (Gambar 7) dan Kawasan Hutan Lindung (Gambar 8).

(46)

Gambar 7. Peta Kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Ngawi

(47)

4.1.2 Kondisi Topografi

Kondisi topografi wilayah cukup bervariasi yaitu datar, bergelombang, berbukit dan pegunungan tinggi dengan ketinggian 40 - 3.031 meter dari atas permukaan laut. Adapun mengenai persebarannya, kondisi topografinya adalah:  Bagian Tengah adalah daerah dataran yang merupakan lahan pertanian subur  Bagian Selatan merupakan daerah perbukitan dan pegunungan yang membujur dari Timur ke Barat, meliputi wilayah Kecamatan Kendal, Kecamatan Jogorogo, Kecamatan Ngrambe dan Kecamatan Sine yang berada di lereng Gunung Lawu.

 Bagian Utara, membujur dari Timur ke Barat merupakan deretan pegunungan Kendeng yang kurang subur terdiri dari batuan kapur yang dipertegas dengan Bengawan Solo sebagai pembatasnya.

Struktur tanah di wilayah Kabupaten Ngawi bervariasi dan tersebar di beberapa bagian wilayah, didominasi oleh struktur Grumusol dan Mediteran, sedangkan luas dan struktur tanah di Kabupaten Ngawi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas dan Struktur Tanah di Kabupaten Ngawi

No Penggunaan Luas (ha) Persentase (%)

1. Aluvial 12.025 9,28

2. Grumusol 55.749 43,02

3. Mediteran 25.612 19,76

4. Mediteran dan Regosol 1.950 1,50

5. Mediteran dan Grumusol 2.940 2,27

6. Mediteran dan Litosol 21.487 16,58

7. Latosol dan Litosol 810 0,63

8. Andosol dan Litosol 3.025 2,33

9. Litosol 6.000 4,63

Jumlah 129.598 100,00

Sumber: BPS Kabupaten Ngawi (2013)

Tanah Grumusol terdapat di dataran rendah sebelah Selatan Bengawan Solo dan sebelah Timur - Barat Sungai Madiun. Tanah Mediteran, Litosol dan Andosol di kawasan kaki Gunung Kendeng dan tanah Litosol di sepanjang perbukitan pegunungan Kendeng serta tanah Aluvial di sepanjang tepi Sungai Madiun dan Bengawan Solo.

4.1.3. Kondisi Hidrologis

Kawasan Kabupaten Ngawi termasuk dalarn derah aliran sungai (DAS) Solo dan Madiun yang bertemu di Kota Ngawi, dimana di dalarnnya terdapat sistem sungai yaitu: Sungai Banger, Sawur, Sidolaju, Alas Tuwo, Batu Bunder, Kenteng, Klampok dan Ketonggo. Berdasarkan DAS Solo, secara garis besar wilayah Kabupaten Ngawi terbagi menjadi (kecamatan) wilayah Utara dan Selatan, yaitu:

(48)

 Selatan Bengawan Solo : Sine, Ngrambe, Jogorogo, Kendal, Gerih, Geneng, Kwadungan, Pangkur, Padas, Karangjati, Bringin,

Wilayah Selatan sebagian besar lahannya mendapatkan pengairan dari Sungai Bengawan Solo sehingga berpotensi sebagai sumber penghasil bahan pangan. Sedangkan wilayah Utara sebagian besar lahannya merupakan lahan tadah hujan, tanahnya berkapur dan lahan tegalan sehingga sangat sesuai untuk pemanfaatan dan pengembangan tanaman keras (didominasi hutan jati, baik pada hutan Negara maupun hutan rakyat). Oleh karena itu, di daerah Utara sektor pertanian didukung dengan adanya tiga waduk yaitu Waduk Pondok, Sangiran dan Kedung Bendo.

4.1.4. Klimatologi

Keadaan iklim di Kabupaten Ngawi adalah tropis dan bertemperatur sedang. Ditinjau dari keadaan curah hujannya, Kabupaten Ngawi termasuk daerah beriklim kering dengan curah hujan rata-rata di bawah 3.000 mm/tahun yaitu kurang lebih 1.600 mm/tahun dan mempunyai rata-rata hari hujan sebanyak 159 hari/tahun.

Curah hujan yang rendah menjadikan Kabupaten Ngawi sering mengalami kesulitan pengairan terutama pada lahan sawah saat musim kemarau tiba, sehingga petani harus menggunakan mesin diesel untuk mengambil air bawah tanah.

4.2. Kondisi Demografi

Penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan memegang peranan penting dalam pembangunan yaitu sebagai subjek sekaligus sebagai objek pembangunan. Jumlah penduduk Kabupaten Ngawi sampai dengan akhir tahun 2011 sebanyak 911.911 jiwa, terdiri dari 448.424 penduduk laki-laki dan 463.487 penduduk perempuan dengan sex ratio sebesar 96 yang berarti bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 96 penduduk laki-laki (Tabel 8). Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar adalah Paron yaitu sebanyak 88.510 jiwa, sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kasreman yaitu 24.545 jiwa.

Tabel 8 Penduduk Akhir Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio jenis

(49)

Tabel 8 (Lanjutan)

No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio jenis kelamin

11. Padas 17.152 17.308 34.460 99,10

12. Kasreman 12.228 12.257 24.545 100,25

13. Ngawi 42.030 42.550 84.580 98,78

14. Paron 43.626 44.884 88.510 97,20

15. Kedunggalar 36.731 37.070 73.801 99,09

16. Pitu 14.082 14.215 28.297 99,06

17. Widodaren 34.860 36.648 71.508 95,12

18. Mantingan 19.877 22.042 41.919 95,18

19. Karanganyar 15.945 15.857 31.802 100,55

Jumlah 448.424 463.487 911.911 96,75

Tahun 2010 439.536 455.139 894.675 96,57

Tahun 2009 438.223 453.828 829.051 96,99

Tahun 2008 437.808 451.416 889.224 96,99

Tahun 2007 431.354 450.867 882.221 95,67

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2 Peta Administrasi Kabupaten Ngawi
Gambar 3. Analisis Kelembagaan dan Kerangka Pembangunan
Tabel 2. Skala Pengisian Matriks Perbandingan Berpasangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Antok Dwi Pramono. Pengelolaan Pembelajaran Fisika Menggunakan Metode Eksperimen Di MAN Paron Kabupaten Ngawi. Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui nilai-nilai kearifan lokal Qanun Mukim Lutueng dalam sistem pengelolaan hutan (2) mengetahui potensi pengembangan hutan desa di

Pemerintah kabupaten Ngawi juga telah mengubah paradigma bahwa pemanfaatan hasil hutan tidak selamanya didekati dengan orientasi peningkatan PAD, melainkan

Dengan demikian berarti tingkat efektifitas Pengelolaan Keuangan Kabupaten Ngawi adalah sudah efektif, hal ini ditunjukkan dari hasil perhitungan yang menunjukkan angka lebih

Hasil dari peta potensi lahan sawah padi di Kabupaten Ngawi diperoleh dari analisis pengolahan data hasil lapangan. Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan

Lembaga pemerintah yang memiliki perhatian pada pengembangan hutan rakyat pola agroforestri adalah Dinas Kehutanan (provinsi maupun kabupaten). Kelembagaan pemasaran

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelayakan Usaha dan Kontribusi Pengelolaan Hutan Rakyat Koperasi Hutan Jaya Lestari, Kabupaten

Hutan Adat Imbo Putui memiliki organisasi kelembagaan, Organisasi kelembagaan dipimpin oleh pemimpin suku, hak pengelola hutan adat diajukan oleh satu atau beberapa lembaga desa