• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Sel Darah Putih Pada Domba Lokal Yang Diimplantasi Material Tulang Hidroksiapatit-Trikalsium Fosfat (Ha-Tkf) Dan Hidroksiapatit-Kitosan (HA-KITOSAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Sel Darah Putih Pada Domba Lokal Yang Diimplantasi Material Tulang Hidroksiapatit-Trikalsium Fosfat (Ha-Tkf) Dan Hidroksiapatit-Kitosan (HA-KITOSAN)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

i

DINAMIKA SEL DARAH PUTIH PADA DOMBA LOKAL

YANG DIIMPLANTASI MATERIAL TULANG

HIDROKSIAPATIT-TRIKALSIUM FOSFAT (HA-TKF) DAN

HIDROKSIAPATIT-KITOSAN (HA-KITOSAN)

DWI KOLINA PRATIWI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Dinamika Sel Darah Putih pada Domba Lokal yang Diimplantasi Material Tulang Hidroksiapatit-Trikalsium Fosfat TKF) dan Hidroksiapatit-Kitosan (HA-Kitosan) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Dwi Kolina Pratiwi

(3)

iii

DWI KOLINA PRATIWI. B04061971. Dynamics of White Blood Cells on Local Sheep which Implanted Bone Graft Hydroxyapatite-Tricalcium Phosphate (HA-TCP) and Hydroxyapatite-Chitosan (HA-Chitosan). Under directed: GUNANTI and ANITA ESFANDIARI.

The study was conducted to evaluate the blood dynamics of sheep that includes total number of white blood cells and diferential of white blood cells (lymphocytes, monocytes, neutrophils, eosinophils and basophils) in sheep implanted with the HA-TCP and HA-Chitosan in the tibia bones. Six local sheeps were used in this experiment. Six local sheeps divided into two group. Group I implanted with the HA-TCP and groups II implanted with HA-Chitosan. Blood sample were collected from jugular veins and were observed presurgery (H0) and 3, 7, 14, 21, 30, 60 and 90 days postsurgery. The results showed that the dynamics of white blood cell in both treatment groups in the normal range. White blood cell profile was showed the implant was not rejected by the body and did not cause any excessive inflammatory reaction.

(4)

iv

DWI KOLINA PRATIWI. B04061971. Dinamika Sel Darah Putih pada Domba Lokal yang Diimplantasi Material Tulang Hidroksiapatit-Trikalsium Fosfat (HA-TKF) dan Hidroksiapatit-Kitosan (HA-Kitosan). Di bawah bimbingan: GUNANTI dan ANITA ESFANDIARI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dinamika sel darah putih yang meliputi jumlah total sel darah putih dan diferensial sel darah putih (jumlah limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil) pada domba yang diimplantasi dengan material tulang HA-TKF dan HA-Kitosan pada tulang tibia. Domba yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak enam ekor, yang dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama diimplantasi dengan material tulang HA-TKF dan kelompok kedua diimplantasi dengan material tulang HA-Kitosan. Sampel darah diambil melalui vena jugularis, sebelum operasi (H0) dan pada hari ke-3, 7, 14, 21, 30, 60, dan 90 setelah operasi. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dinamika sel darah putih pada kedua kelompok perlakuan masih berada dalam kondisi normal. Gambaran sel darah putih menunjukkan bahwa kedua material implan dapat diterima oleh tubuh dan tidak menyebabkan reaksi peradangan yang berlebihan.

(5)

v

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu maslah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

vi

HIDROKSIAPATIT-TRIKALSIUM FOSFAT (HA-TKF) DAN

HIDROKSIAPATIT-KITOSAN (HA-KITOSAN)

DWI KOLINA PRATIWI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

vii

Judul Tugas Akhir : Dinamika Sel Darah Putih pada Domba Lokal yang Diimplantasi Material Tulang Hidroksiapatit-Trikalsium Fosfat TKF) dan Hidroksiapatit-Kitosan (HA-Kitosan)

Nama : Dwi Kolina Pratiwi NIM : B04061971

Disetujui

Dr. drh. Hj. Gunanti, MS Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi Ketua Anggota

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)

viii

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Berkat ridho Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Dinamika Sel Darah Putih pada Domba Lokal yang Diimplantasi Material Tulang Hidroksiapatit-Trikalsium Fosfat (HA-TKF) dan Hidroksiapatit-Kitosan (HA-Kitosan).

Skripsi ini adalah salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan penulis di Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penulis sangat menyadari bahwa penulisan ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Keluarga tercinta: Ayah (Suharyono) dan Ibunda (Mardiyah Nurjanah) yang senantiasa mencurahkan segala kasih sayang dan cintanya kepada penulis dengan selalu mendoakan, mendukung, mendidik dan menasehati penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di FKH IPB, serta tak lupa kepada kakak tercinta Aditya Priyambodo.

2. Dr. drh. Gunanti, MS. dan Dr. drh. Anita Esfandiari M.Si, sebagai dosen pembimbing yang telah sabar dalam memberikan bimbingan, evaluasi, arahan dan nasehat kepada penulis selama melakukan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini.

3. drh. Dudung Abdullah sebagai dosen penilai, Prof. Dr. drh. M. Agatha Winny Sanjaya, MS. dan drh. Mokh. Fahrudin, Ph.D sebagai dosen penguji atas segala masukan yang diberikan.

4. Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si, selaku pembimbing akademik yang telah menjadi orang tua selama penulis menimba ilmu di FKH-IPB.

(9)

ix

penelitian ini.

7. Seluruh staf Bagian Bedah dan Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi FKH IPB: Pak Katim, Pak Engkos yang telah membantu penulis selama penelitian.

8. Teman-teman seperjuangan dalam penelitian (Asmawati, Ayu Berlianty, Gendis Aurum, Rachmat Ayu, Raditya Pradana dan Santi Purwanti) atas kebersamaan, bantuan dan kerjasamanya.

9. Keluarga Besar Aesculapius 43 atas kebersamaannya selama ini.

10. Keluarga Besar UKM Uni Konservasi Fauna IPB dan Keluarga Kecil Divisi Konservasi Herbivora UKF atas pengalaman dan pelajaran dalam kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini.

11. Kak Jojo, Maika, Mba Uut, Teh Lina dan Mba Mute atas dukungan, doa, bantuan, kekeluargaan dan kenangan yang tidak terlupakan.

12. Unita Pratiwi, Ni Made Ferawati, Tika Lina, Mike, Putri, Fitri, Hernawati, Arum, Ria, Septiani, Septi, Devita, Gita, Anggun, Apri, Nanda, Ikrar, Rahma, Ipin dan Binol atas persahabatan dan kebersamaannya.

13. Vicky Anggriawan (Alm.) atas ketulusan persahabatan dan segala kenangan yang tidak akan terlupakan.

14. Ahmad Syifa Sidik atas kebersamaan, doa, dukungan dan semangat yang diberikan.

15. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran untuk melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis, pembaca dan semua pihak yang terkait.

Bogor, Januari 2011

(10)

x

Penulis dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat pada tanggal 9 Juni 1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Suharyono dan Mardiyah Nurjanah.

Penulis mulai menempuh pendidikan formal di Sekolah Dasar Bekasi Timur III (kini menjadi Bekasi Jaya X) dari tahun 1994 dan lulus pada tahun 2000. Penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bekasi pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Bekasi dan lulus pada tahun 2006. Penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 dan setahun kemudian penulis diterima di Mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di UKM Uni Konservasi Fauna (UKF) pada tahun 2006 sampai sekarang dan pernah menjabat sebagai Sekertaris I pada tahun 2007 dan Sekertaris Umum pada tahun 2008. Setelah menjadi mahasiswa FKH, penulis menjadi anggota Himpro Satwaliar sejak tahun 2007. Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan acara yang diselenggarakan baik di tingkat nasional maupun internasional.

(11)

xi

Peradangan dan Persembuhan Luka ... 12

Tulang ... 15

Persembuhan dan Perbaikan Fraktur Tulang ... 16

Material Implan Tulang ... 18

Operasi Penanaman Material Implan Tulang ... 26

(12)
(13)

xiii

Halaman

(14)

xiv

Halaman

1 Domba lokal (Ovis aries) ... 4

2 Lokasi pembentukan darah (sumsum tulang panjang) dan komponen sel darah putih ... 6

3 Sel limfosit dalam preparat ulas darah ... 7

4 Sel monosit dalam preparat ulas darah ... 9

5 Sel neutrofil dalam preparat ulas darah... 10

6 Sel eosinofil dalam preparat ulas darah ... 11

7 Sel basofil dalam preparat ulas darah ... 12

8 Proses perbaikan kerusakan jaringan ... 15

9 Diagram skematik pembentukan kalus dan perbaikan fraktur ... 17

10 Alat dan bahan dalam operasi ortopedik ... 24

11 Hewan coba dalam kandang individu ... 25

12 Pembuatan lubang pada os.tibia domba dengan bor tulang. ... 27

13 Pengambilan darah domba melalui vena jugularis ... 28

14 Kamar hitung Neubauer ... 29

15 Rataan jumlah total leukosit domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang ... 31

16 Rataan jumlah neutrofil domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang ... 33

17 Rataan jumlah limfosit domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang ... 36

18 Rataan jumlah monosit domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang ... 37

19 Rataan jumlah eosinofil domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang ... 39

(15)

xv

Halaman

1 Rataan dan standar deviasi jumlah total sel darah putih yang diimplantasi HA-TKF dan HA-Kitosan ... 49 2 Rataan dan standar deviasi jumlah neutrofil pada domba yang

diimplantasi HA-TKF dan HA-Kitosan ... 49 3 Rataan dan standar deviasi jumlah limfosit pada domba yang

diimplantasi HA-TKF dan HA-Kitosan ... 49 4 Rataan dan standar deviasi jumlah monosit pada domba yang

diimplantasi HA-TKF dan HA-Kitosan ... 50 5 Rataan dan standar deviasi jumlah eosinofil pada domba yang

diimplantasi HA-TKF dan HA-Kitosan ... 50 6 Rataan dan standar deviasi jumlah basofil pada domba yang diimplantasi

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kasus kerusakan tulang akibat trauma yang menyebabkan fraktur atau fisura banyak diderita oleh jutaan orang setiap tahunnya. Begitu pula dengan kasus kelainan tulang akibat tumor. Berbagai kasus tersebut dapat menyebabkan kehilangan struktur tulang, sehingga diperlukan alternatif biomaterial yang dapat menggantikan bagian tulang yang rusak atau hilang (Ratajska et al. 2008).

Biomaterial adalah suatu material, baik alami maupun buatan manusia (sintetis) yang digunakan sebagai suatu sistem atau bagian dari sistem pada jaringan, organ atau fungsi tubuh (Darwis 2008, Dorland 2002). Penggunaan biomaterial ini bertujuan untuk memperbaiki (repair), memulihkan (restore) atau mengganti (replace) jaringan yang rusak atau sakit. Autograft dan allograft

merupakan biomaterial alamiah sedangkan biomaterial sintetik atau sering disebut

biomedical material adalah keramik sebagai bone graft (Darwis 2008).Kesulitan dan keterbatasan dalam mendapatkan allograft dan autograft yang cocok menjadikan bone graft sintetis sebagai alternatif pilihan yang tepat.

Biomaterial yang biasa digunakan dalam menunjang proses persembuhan tulang adalah keramik seperti hidroksiapatit (HA) dan trikalsium fosfat (TKF) serta bahan polimer seperti kitosan (Ratajska et al. 2008). Sifat yang dimiliki oleh setiap biomaterial memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga penggabungan dan variasi antara hidroksiapatit dengan trikalsium fosfat dan hidroksiapatit dengan kitosan diharapkan dapat menjadi material implan tulang yang potensial sebagai alternatif dalam membantu memperbaiki kerusakan atau kehilangan tulang pada manusia.

(17)

yang menjadikan penggunaan hewan model sangat penting dalam pengujian material implan sebelum digunakan pada manusia (Pearce et al. 2007).

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih hewan model diantaranya adalah bentuk tulang dari spesies hewan coba, yang meliputi makrostruktur tulang, mikrostruktur tulang, komposisi tulang dan proses persembuhannya. Pemilihan ini menekankan pada kemiripan hewan model dengan kondisi klinis manusia (Pearce et al. 2007).

Spesies yang cocok dalam pengujian material implantasi tulang diantaranya adalah anjing, domba, kambing, babi atau kelinci. Anjing dan domba/kambing lebih cocok dijadikan sebagai hewan model untuk manusia dalam menguji material implan tulang, karena hewan tersebut memiliki dimensi tulang panjang yang mirip dengan tulang manusia. Alasan lain pemilihan ini adalah dengan mempertimbangkan kemudahan dalam perawatan, pemeliharaan dan penanganan, ketahanan hewan terhadap infeksi penyakit, keseragaman antar hewan dan karakteristik biologi yang menyerupai manusia. Selain itu jangka hidup spesies yang dipilih harus sesuai dengan lamanya waktu penelitian (Pearce

et al. 2007).

(18)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati dinamika sel darah putih domba yang meliputi jumlah total sel darah putih dan diferensial sel darah putih (jumlah limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil) pada domba yang diimplantasi dengan material implan tulang HA-TKF dan HA-Kitosan pada tulang tibia domba.

Manfaat Penelitian

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Domba

Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang telah dijinakkan sejak ribuan tahun yang lalu sebagai hewan gembala dataran rendah. Hal ini didasarkan pada penemuan tulang-belulang hewan domba di sekitar pemukiman manusia pada zaman dahulu menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988). Klasifikasi domba dalam Herren (2000) adalah sebagai berikut (Gambar 1):

kingdom : Animalia filum : Chordata kelas : Mamalia ordo : Artiodactyla famili : Bovidae genus : Ovis

spesies : aries

Domba merupakan hewan gembala dataran rendah, sehingga memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok besar. Domba juga memiliki perilaku yang cenderung mengabaikan atau menjauhi manusia. Tingkah laku ini penting untuk diketahui dalam pemeliharaan domba di laboratorium, karena domba akan mengalami stres jika dipelihara terpisah dari domba lain (Smith & Mangkoewidjojo 1988).

Domba dipelihara untuk dimanfaatkan wol dan dagingnya (Hafes 2000). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), domba juga dapat dimanfaatkan sebagai hewan percobaan di laboratorium. Hal ini karena pemeliharaan domba tidak terlalu mahal, persyaratan kandang sederhana dan persyaratan pakan tidak sulit.

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), dalam aplikasi penelitian, domba biasanya digunakan sebagai sumber sel darah merah untuk memproduksi antibodi dan dapat diperoleh serum dalam jumlah yang besar. Domba dapat pula

(20)

digunakan dalam percobaan dasar seperti percobaan fisiologi, farmakologi, endokrinologi, biokimia, percobaan bedah eksperimental dan penelitian anestesi.

Ukuran tubuh domba yang besar dan memiliki bobot tubuh yang menyerupai manusia, sangat cocok dan sesuai bila digunakan dalam aplikasi penelitian sebagai hewan model untuk manusia (Wolfensohn & Lloyd 2000). Menurut Pearce et al. (2007), domba memiliki kelebihan dibandingkan dengan anjing. Secara makrostruktur tulang, domba dewasa memiliki dimensi tulang panjang yang serupa dengan manusia bila dibandingkan dengan anjing. Oleh karena itu domba sangat cocok dan sesuai bila digunakan sebagai hewan model dalam percobaan implantasi material tulang untuk tujuan aplikasi pada manusia.

Darah

Darah diklasifikasikan sebagai jaringan konektif. Jaringan ini berupa cairan yang mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh pada sistem kardiovaskular (Colville & Bassert 2008).

Total volume darah pada ruminansia berkisar antara 6 - 7% dari bobot badan. Total volume darah pada hewan muda yang sedang tumbuh dapat melebihi 10% dari total bobot badan (Meyer & Harvey 2004).

Darah dibagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan (sel). Bagian cairan disebut plasma yang sebagian besar terdiri atas 91-94% air. Bagian padatan mengandung sekitar 30-45% dari total kandungan (Lawhead & Baker 2005), yang terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan platelet (trombosit) (Gambar 2).

Menurut Colville dan Bassert (2008), darah memiliki tiga fungsi utama dalam tubuh, diantaranya adalah sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan tubuh. Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam membawa oksigen, karbondioksida, zat nutrisi, hasil sisa metabolisme dan hormon. Peranannya sebagai sistem regulasi adalah menjaga homeostasis dan suhu tubuh, sedangkan dalam pertahanan tubuh berperan dalam melawan benda asing.

(21)

kematian, sehingga harus digantikan dan diproduksi secara teratur. Oleh karena itu hematopoiesis merupakan suatu proses yang berkelanjutan (Colville & Bassert 2008).

Colville dan Bassert (2008) mengatakan bahwa hematopoiesis pada fetus terjadi di hati dan limpa, dan secara bertahap akan diproduksi di dalam sumsum tulang. Sel darah diproduksi secara aktif di dalam sumsum tulang pada hewan yang baru lahir. Sumsum tulang merah pada hewan dewasa ditemukan di tulang panjang (tulang panggul, sternum dan iga) (Gambar 2).

Gambar 2 Lokasi pembentukan darah (sumsum tulang panjang) dan komponen sel darah putih (Colville & Bassert 2008).

Sel Darah Putih (Leukosit)

Sel darah putih disebut juga leukosit. Sel ini dikategorikan sebagai granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranulosit (limfosit dan monosit). Sel granulosit dikarakteristikkan dengan segmentasi atau lobulasi, memiliki nukleus dan bergranul. Sedangkan agranulosit berupa sel mononuklear dan tidak bergranul (McCurnin & Bassert 2006).

Pembentukan sel darah putih disebut leukopoiesis. Proses pembentukan ini terjadi di sumsum tulang (Meyer & Harvey 2004) dan di jaringan limfe. Sel granulosit dan monosit dibentuk di sumsum tulang, sedangkan sel limfosit sebagian dibentuk di jaringan limfe (Guyton & Hall 2006). Saat awal proses leukopoiesis, seluruh sel darah putih yang belum matang terlihat serupa, namun

(22)

saat perkembangannya memperlihatkan karakter yang unik (Colville & Bassert 2008). Setelah selesai dibentuk, sel-sel ini akan diangkut dalam darah menuju ke berbagai bagian tubuh yang membutuhkan (Guyton & Hall 2006).

Fungsi utama sel darah putih adalah mempertahankan tubuh dari benda asing. Setiap tipe sel darah putih memiliki peran unik dalam sistem pertahanan tersebut. Saat terjadi serangan benda asing, sel darah putih akan menuju jaringan. Sel ini memanfaatkan darah perifer untuk mengantarkannya dari sumsum tulang menuju ke lokasi (jaringan yang membutuhkan). Aliran sel darah putih secara tetap berasal dari sumsum tulang dan masuk menuju jaringan sebagai usaha untuk mengontrol serangan benda asing dalam tubuh setiap saat (Colville & Bassert 2008).

Menurut Lawhead dan Baker (2005), jumlah total dan tipe sel darah putih dalam pemeriksaan hematologi dapat digunakan untuk membantu mendiagnosa keadaan atau status infeksi pada hewan. Jumlah total sel darah putih lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah sel darah merah dan jumlah platelet. Jumlah total sel darah putih berkisar antara (5 – 20) x 103 /µ L pada mamalia (Meyer & Harvey 2004).

Limfosit

Limfosit biasanya berukuran kecil sampai sedang, merupakan sel mononuklear dengan lingkaran tipis terang sampai gelap (McCurnin & Bassert 2006), sitoplasma berwarna jernih dan tidak bergranul (Gambar 3).

Gambar 3 Sel limfosit dalam preparat ulas darah. (sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)

(23)

Limfosit diproduksi di berbagai jaringan limfoid, khususnya di kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil dan sebagian sumsum tulang (Guyton & Hall 2006). Limfosit memiliki nukleus tunggal yang penting dalam fungsi kekebalan. Limfosit memproduksi antibodi untuk membantu dalam melawan penyakit. Limfosit dapat ditemukan di semua jaringan dan organ dalam melawan infeksi (Lawhead & Baker 2005).

Limfosit memiliki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran limfe dari limfonodus dan jaringan limfoid lain. Setelah beberapa jam limfosit keluar dari aliran darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis. Selanjutnya memasuki pembuluh limfe dan kembali ke dalam sirkulasi darah, demikian seterusnya, sehingga terjadi sirkulasi limfosit yang terus-menerus di seluruh tubuh. Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Masa hidup ini bergantung pada kebutuhan tubuh terhadap sel-sel tersebut (Guyton & Hall 2006).

Limfosit bersirkulasi secara berulang dari darah menuju jaringan, limfe dan kembali ke dalam sirkulasi darah. Populasi limfosit terdiri atas sel T dan sel B. Masa hidup sel bervariasi, tergantung pada klasifikasinya. Sel T secara umum memiliki masa hidup yang panjang (100-200 hari), sedangkan sel B memiliki masa hidup yang pendek (2-4 hari). Menurut Reece (2006), sel T dan sel B memori memiliki masa hidup yang sangat panjang (dalam hitungan tahun).

Monosit

Monosit memiliki warna biru abu-abu, bersitoplasma dan bentuk nukleus bervariasi. Nukleus dapat bergerombol, berbentuk oval, amuboid, atau lobulasi (Gambar 4). Ukuran monosit biasanya lebih besar dibandingkan dengan limfosit dan neutrofil, yaitu 14–20 µm (Brown 1980). Sitoplasma monosit biasanya lebih gelap dibandingkan dengan neutrofil band (McCurnin & Bassert 2006).

(24)

untuk beberapa bulan (Reece 2006) atau bahkan bertahun-tahun sampai sel ini terpanggil untuk melakukan fungsi pertahanan lokal spesifik (Guyton & Hall 2006).

Gambar 4 Sel monosit dalam preparat ulas darah. (Anonima Agustus 2010)

Monosit memiliki aktivitas dalam fagositosis mikroba, yaitu dengan menghilangkan mikroorganisme, mematikan sel atau partikel asing (Lawhead & Baker 2005). Makrofag memfagosit (memakan) partikel besar dan sel debris sisa hasil aktivitas neutrofil (McCurnin & Bassert 2006).

Monosit dapat menghancurkan bakteri, virus, partikel asing dan sel debris yang menyerbu masuk ke dalam tubuh. Monosit mempunyai kemampuan hebat untuk memberantas agen-agen penyakit di dalam jaringan. Sel ini mampu memfagosit bakteri sampai 100 bakteri dan mempunyai kemampuan untuk menelan partikel yang ukurannya jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya (Guyton & Hall 2006).

Neutrofil

Neutrofil memiliki nukleus (inti sel) yang terlihat segmentasi atau terbagi (Lawhead & Baker 2005) dan warna kromatin yang padat (Underwood 1992) (Gambar 5A). Tipe ini merupakan neutrofil yang telah matang. Neutrofil yang belum matang biasa disebut neutrofil band. Sel ini memiliki nukleus yang berbentuk seperti huruf U (Lawhead & Baker 2005) (Gambar 5B). Sitoplasma berwarna pink dan mengandung granul (Underwood 1992). Tingginya persentase

(25)

sel band dalam darah menggambarkan aktivitas sel dalam melawan agen infeksi (Lawhead & Baker 2005).

Gambar 5 Sel neutrofil dalam preparat ulas darah. A) sel neutrofil segmen; B) sel neutrofil band. (sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)

Neutrofil memiliki kemampuan fagositik dan bakterisidal yang sangat berperan dalam kondisi inflamasi (McCurnin & Bassert 2006). Peran neutrofil yaitu dengan fagositosis (memakan dalam bentuk endositosis) dan menghancurkan mikroorganisme. Jika tubuh mengalami infeksi, neutrofil akan berpindah menuju jaringan yang terinfeksi. Sumsum tulang akan melepaskan neutrofil band dalam jumlah besar sebagai cadangan dalam waktu beberapa jam. Sumsum tulang akan mulai meningkatkan produksi neutrofil. Produksi neutrofil yang tinggi memerlukan waktu tiga sampai empat hari sebelum ditransfer menuju pembuluh darah. Sumsum tulang akan melepaskan sedikit neutrofil dewasa kedalam darah (Lawhead & Baker 2005). Neutrofil berada di dalam darah sekitar 10 jam dan jumlah neutrofil bergantung pada banyaknya stimulus yang terjadi (McCurnin & Bassert 2006).

Eosinofil

Eosinofil dikarakteristikkan oleh nukleus segmentasi atau lobulasi, tidak berwarna, dengan sitoplasma biru pucat (McCurnin & Bassert 2006). Eosinofil memiliki granul besar dan berwarna merah, inti sel berlobus, biasanya terdapat

2-A B

(26)

3 lobus (Underwood 1992) (Gambar 6). Eosinofil terlihat serupa dengan neutrofil yang juga memiliki nukleus segmented. Eosinofil juga memiliki ukuran yang besar dan granul-granul pada sitoplasmanya. Eosinofil berperan dalam melawan parasit dan juga reaksi alergi. Granul-granul yang terdapat dalam eosinofil membantu mengontrol peradangan/inflamasi (Lawhead & Baker 2005). McCurnin & Bassert (2006) memaparkan bahwa eosinofil membantu dalam mengontrol alergi atau reaksi hipersensitivitas anafilaksis. Eosinofil menuju lokasi reaksi akibat pelepasan suatu substansi dari sensitisasi sel mast.

Gambar 6 Sel eosinofil dalam preparat ulas darah. (sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)

Eosinofil berperan dalam merespon adanya reaksi alergi dan pertahanan terhadap infeksi agen parasit (Underwood 1992) dan mengurangi inflamasi (Bush 1991). Eosinofil diproduksi dalam jumlah besar saat terjadi infeksi parasit. Eosinofil bekerja dengan melekatkan diri pada parasit melalui permukaan molekul dan melepaskan zat-zat yang dapat membunuh parasit. Eosinofil akan bermigrasi ke daerah jaringan alergik yang meradang akibat pelepasan faktor kemotaktik yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang berperan dalam reaksi alergi. Eosinofil diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat pencetus peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil, memfagositosis dan menghancurkan kompleks alergen antibodi, sehingga mencegah penyebaran proses peradangan setempat (Guyton & Hall 2006).

Basofil

(27)

Basofil berwarna gelap dengan granul dan nukleus yang segmented

(lobulasi) (Lawhead & Baker 2005). Basofil memiliki granul basofilik gelap (biru), tetapi juga sangat bervariasi pada tiap spesies (McCurnin & Bassert 2006) (Gambar 7). Basofil serupa dengan eosinofil, keduanya termasuk sel yang merespon terhadap reaksi alergi. Beberapa granul dalam basofil mengandung histamin. Histamin menyebabkan peradangan pada lapisan saluran hidung dan sistem pernafasan. Peradangan akan menimbulkan gejala bersin, hidung berair, bahkan dapat menyebabkan demam (Lawhead & Baker 2005). Basofil relatif jarang ditemukan dalam preparat ulas darah (McCurnin & Bassert 2006).

Gambar 7 Sel basofil dalam preparat ulas darah. (Anonimb Agustus 2010).

Peradangan dan Persembuhan Luka

Cedera yang dialami oleh suatu jaringan dapat menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel akan melepaskan mediator yang menghasilkan akumulasi sel polimorfik (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan makrofag, serta faktor humoral seperti antibodi menuju lokasi kerusakan. Proses ini disebut inflamasi yang merupakan proses dalam persembuhan (Wolfensohn & Lloyd 2000).

Inflamasi merupakan respon pertahanan setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau menahan agen pencedera maupun jaringan yang cedera (Dorland 2002). Wolfensohn dan Lloyd (2000) mengatakan bahwa proses inflamasi dapat menunjukkan berbagai gambaran klinis sebagai tanda utama inflamasi, yang meliputi:

1. Panas (kalor), lokasi tersebut akan panas saat disentuh,

(28)

2. Kemerahan (rubor), kemerahan terjadi akibat dilatasi pembuluh darah,

3. Pembengkakan (tumor), infiltrasi sel dan cairan menyebabkan area tersebut membengkak,

4. Sakit (dolor), stimuli mediator inflamasi pada syaraf menyebabkan sakit. Beberapa analgesik bekerja dengan memblok pelepasan mediator inflamasi, 5. Functio laesa (kehilangan fungsi).

Setelah kerusakan sel, terjadi perubahan pada jaringan yang merupakan hasil dari inflamasi dan persembuhan. Rangkaian kejadian tersebut terdiri atas beberapa fase, diantaranya yaitu:

Fase Inflamasi

1) Hemoragi, perdarahan terjadi akibat kerusakan pembuluh darah dan kemudian ditahan oleh platelet dan fibrin sehingga membentuk keropeng (Wolfensohn & Lloyd 2000). McGavin dan Zachary (2007) memaparkan bahwa hemostasis terjadi dengan segera setelah terjadi perlukaan (Gambar 8) kecuali terdapat kelainan pada proses pembekuan darah. Hemostasis dikontrol melalui vasoplasma, yang merupakan proses pengkerutan pembuluh darah dalam merespon perlukaan. Selama awal periode vasokonstriksi, platelet berkumpul dan melekat pada kolagen, terutama kolagen yang terdapat di dasar membran sel epitel yang cedera. Sewaktu melekat, platelet mensekresikan bahan vasokonstriktif untuk: 1) mempertahankan konstriksi pembuluh darah, 2) menginisiasi proses trombogenesis untuk menyumbat kebocoran, dan 3) menginisiasi perbaikan pembuluh darah (angiogenesis).

Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya akumulasi darah yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler yang disertai kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstitial, dan migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan (Gambar 8A), sehingga terjadi pembengkakan sel jaringan (Guyton & Hall 2006).

(29)

beberapa gangguan lainnya. Pada fase ini terlihat gejala inflamasi yang meliputi kemerahan, kebengkakan, sakit dan kehilangan fungsi (functio laesa). Sejumlah mediator dari sel yang rusak menyebabkan datangnya sel polimorfik dan faktor humoral (Wolfensohn & Lloyd 2000). Menurut McGavin dan Zachary (2007), neutrofil dan makrofag memfagosit dan mendegradasi enzim, mengurangi dan membersihkan sel debris hasil jaringan yang rusak. Makrofag mensekresikan berbagai faktor kemotaktik dan growth factor yang mendukung fase proliferasi (granulasi) (Gambar 8B).

3) Pengerutan luka pertama, sel fibroblas setempat mengkerut untuk mengurangi area luka.

Fase Proliferasi (Granulasi Jaringan)

1) Proliferasi Epitel

Fase ini terjadi selama 12-24 jam. Sel membelah dan bermigrasi menuju permukaan luka.

2) Granulasi

Fibroblas dan kapiler di bawah epitel memulai proliferasi kurang lebih selama 36 jam (Wolfensohn & Lloyd 2000), dan dapat terjadi kurang lebih 4 hari setelah perlukaan dan berlanjut hingga 3-4 minggu atau lebih bergantung besarnya luka. Fase ini dikarakteristikkan dengan pembentukan endotelium baru (angiogenesis), epitelium (epitelisasi) dan stroma jaringan konektif untuk memulihkan struktur dan fungsi normal jaringan tersebut (McGavin & Zachary 2007). Granulasi jaringan terbentuk sewaktu inflamasi berkurang dan area tersebut akan dibersihkan dari sel nekrotik debris oleh makrofag (Wolfensohn & Lloyd 2000).

Fase Maturasi (Remodelling)

(30)

Remodelling akan berakhir dalam waktu 2 tahun atau lebih (McGavin & Zachary 2007).

Gambar 8 Proses perbaikan kerusakan jaringan (McGavin & Zachary 2007).

Tulang

Tulang terdiri atas bahan organik dan anorganik. Kurang lebih 20% tulang terdiri atas air dan sisanya terdiri atas bahan anorganik berupa kalsium fosfat (65-70%), matriks protein dan kolagen (30-35%). Bahan anorganik mengandung komponen utama yaitu kalsium fosfat dan kalsium karbonat, dengan sedikit magnesium, fluoride dan sodium (Kalfas 2001), fosfor, mangan, timah dan tembaga (McGavin & Zachary 2007).

Sel tulang meliputi struktur yang menopang keutuhan tulang yang terdiri atas osteoblas, osteosit dan osteoklas (McGavin & Zachary 2007). Osteoblas merupakan sel yang berasal dari fibroblas (Dorland 2002). Sel ini banyak terdapat di permukaan tulang (periosteal, endosteal, trabekular, intracortical) yang memproduksi matriks tulang (osteoid), menginisiasi mineralisasi matriks (deposisi hidroksiapatit). Osteosit merupakan sel yang terletak di dalam matriks tulang. Sel ini mendeteksi adanya perubahan saat terjadi tekanan pada tulang dan perubahan

24 hours 3-7 days

Weeks

Fibrous union Scab

Neutrophils Clot

B A

C

Fibroblast Mitoses Granulation tissue Macrophage

(31)

bentuk struktur tulang. Sel osteosit menempati ruang yang kecil pada tulang yang disebut lakuna yang memiliki hubungan dengan osteoblas dan osteosit lainnya yang dihubungkan dengan kanalikuli. Osteoklas merupakan sel yang berasal dari hematopoietik stem sel tipe granulosit monosit. Sel ini berupa sel multinuklear yang berespon terhadap resorpsi tulang (McGavin & Zachary 2007). Osteoklas menjadi sangat aktif dengan adanya hormon paratiroid yang menyebabkan terjadi peningkatan resorpsi tulang dan pelepasan garam-garam tulang (fosfor dan khususnya kalsium) ke dalam cairan ekstraseluler (Dorland 2002).

Mineral kristal dari hidroksiapatit merupakan hasil pengendapan di sekitar serabut kolagen yaitu osteoid (Kalfas 2001). Osteoid menyerupai tulang, merupakan matriks tulang atau tulang muda yang belum mengalami kalsifikasi (Dorland 2002).

Persembuhan dan Perbaikan Fraktur Tulang

Persembuhan fraktur diawali dengan memperbaiki jaringan yang dipengaruhi berbagai faktor lokal dan sistemik. Persembuhan terjadi pada tiga tahap atau lebih, diantaranya adalah: 1) tahap inflamasi awal; 2) tahap perbaikan; dan 3) tahap remodelling.

Saat berada dalam tahap inflamasi, terjadi hematoma di daerah sekitar fraktur pada beberapa jam pertama hingga beberapa hari (Gambar 9). Sel inflamatori (makrofag, monosit, limfosit dan sel polimorfonuklear) dan fibroblas menginfiltrasi tulang dengan mediasi prostaglandin (Kalfas 2001). Saat terjadi hematoma, faktor pertumbuhan melepaskan makrofag dan platelet dalam pembekuan darah dan ploriferasi jaringan osteogenik. Faktor pertumbuhan (protein tulang, Transforming growth factor-β/TGF-β dan platelet) merupakan komponen penting dalam menstimulasi terjadinya proliferasi sel mesenkim dalam perbaikan jaringan. Sel mesenkim yang memiliki kemampuan osteogenik, secara aktif berproliferasi sehingga memulai terjadinya penetrasi hematoma dari perifer dalam waktu 24-48 jam. Proliferasi sel mesenkim yang terjadi saat hematoma, membuat jaringan kolagen merenggang atau terlepas. Proliferasi ini membentuk

kolagen dan vaskularisasi baru yang disebut ―granulasi jaringan‖ (McGavin &

(32)

McGavin dan Zachary (2007) mengatakan bahwa kalus terbentuk pada 4-6 minggu setelah fraktur terjadi. Kalus merupakan gumpalan jalinan tulang tak terorganisasi yang berkembang mengikuti pola bekuan fibrin yang terbentuk sebelumnya dan akan digantikan oleh tulang dewasa yang keras (Dorland 2002). Gambar 9 menunjukkan pembentukan kalus yang terjadi pada bagian eksternal (dibentuk oleh periosteum) atau bagian dalam (dibentuk antara ujung fragmen dan endosteum atau medullary cavity). Kalus pertama ini menghubungkan antar celah dan mengelilingi daerah di sekitar fraktur. Pada suatu saat, jalinan antara fraktur tersebut akan digantikan oleh tulang dewasa menjadi lebih kuat, yaitu dengan terbentuknya lamella dewasa (sebagai kalus kedua). Bergantung pada kekuatan mekanis, kalus pada akhirnya akan dikurangi (diresorpsi) oleh osteoklas sampai terbentuk tulang normal. Kalus tersebut mengandung kartilago hialin. Jumlah kartilago yang ada menggambarkan kecukupannya dalam suplai darah (McGavin & Zachary 2007).

Gambar 9 Diagram skematik pembentukan kalus dan perbaikan fraktur. (McGavin & Zachary 2007)

(33)

Perbaikan fraktur bergantung oleh sejumlah faktor, seperti umur hewan, banyaknya suplai darah menuju tulang, keberadaan agen infeksi dan adanya kerusakan di sekitar jaringan. Persembuhan paling baik terjadi pada hewan muda dan dengan suplai darah yang cukup (Frandson 1992).

Implantasi material (logam, plastik dan semen tulang) sering dipisahkan dengan daerah di sekitar tulang oleh selaput tipis pada jaringan fibrous, kadang-kadang dengan kartilago metaplastik yang merupakan bentuk dari respon trauma operasi, pergerakan implan, atau korosi dari material implan. Permukaan material implan dapat memicu pertumbuhan bakteri, dan campuran bakteri dengan cairan akan membentuk sesuatu yang tahan terhadap antibiotika dan sel inflamatori. Partikel mikroskopis debris dari fiksasi material implan akan mendatangkan respon makrofag atau giant cell multinuclear. Sel inflamatori akan melepaskan sitokin dan growth factor yang menghasilkan resorpsi tulang dan merusak permukaan implan tulang, menyebabkan pelepasan dan kerusakan implan (McGavin & Zachary 2007).

Material Implan Tulang

Biomaterial menurut Darwis (2008) adalah suatu material, baik alami maupun buatan manusia (sintetis) yang digunakan untuk berkontak dengan sistem biologi. Penggunaan biomaterial ini bertujuan untuk memperbaiki (repair), memulihkan (restore) atau mengganti (replace) jaringan yang rusak atau sakit.

Beberapa contoh biomaterial alamiah yaitu autograft, allograft, kolagen dan serat protein, sedangkan biomaterial sintetik atau sering disebut biomedical material adalah keramik (Darwis 2008). Autograft menurut Kalfas (2001) merupakan jenis graft yang ditransplantasikan dari bagian lain tubuh resipien (individu itu sendiri). Dorland (2002) menyatakan bahwa autograft atau

autologous merupakan pencangkokan jaringan yang berasal dari tempat lain di dalam atau pada bagian organisme itu sendiri. Menurut Kalfas (2008), allograft

(34)

Penggunaan material alamiah terkadang memiliki keterbatasan, antara lain membutuhkan sayatan tambahan, dapat menyebarkan penyakit menular (Kalfas 2001), dan kemungkinan terdapatnya perbedaan karakter mineral pada tulang (Stavropoulos 2008).

Biomaterial yang digunakan sebagai material implan tulang harus memiliki struktur dan sifat yang mirip dengan tulang, sehingga dapat membantu mempercepat proses persembuhan tulang (Guyton & Hall 2006). Idealnya bone graft harus memiliki kemampuan: 1) osteoinduktif dan osteokonduktif; 2) stabilitas biomekanik; 3) bebas penyakit; 4) memiliki faktor antigen minimal (Kalfas 2001), 5) bioaktif, biodegradable, bioresorbable dan biocompatible

dengan tubuh (Lane et al. 1999), dan tidak bersifat toksik (Laurenchin & Yusuf 2009). Material tersebut biasanya berupa bahan keramik seperti hidroksiapatit (HA) dan trikalsium fosfat (TKF) serta bahan polimer seperti kitosan.

Hidroksiapatit (HA)

Hidroksiapatit (HA) merupakan mineral alami dari senyawa apatit kalsium fosfat yang berupa garam kristal dengan rumus Ca10(PO4)6(OH)2. HA

merupakan senyawa kalsium apatit yang paling stabil dibandingkan dengan kalsium fosfat lainnya , yaitu oktakalsium fosfat (OKF), dikalsium fosfat dihidrat (DKFD), dan trikalsium fosfat (TKF) (Saraswathy et al. 2001).

Biomaterial HA pada dasarnya digunakan sebagai bahan pengganti tulang atau untuk melapisi implan prostetik yang akan ditumbuhkan ke dalam tulang, untuk gigi, ortopedik dan praktik medis lainnya (Aoki 1991). Laporan lain mengatakan bahwa HA banyak digunakan sebagai bahan pengganti dalam cangkok tulang (Fujishiro et al. 2005).

HA memiliki sifat biocompatible, osteoconduction dan osteoinduction

(35)

2001) sehingga mempercepat proses regenerasi tulang (Fujishiro et al. 2005).

Osteoconductive dapat ditemukan pada autograft dan allograft, demineralisasi matriks tulang, hidroksiapatit, kolagen, dan kalsium fosfat. Osteoinduction berarti kemampuan material graft untuk menginduksi stem sel menjadi sel tulang dewasa. Proses ini berhubungan dengan kehadiran faktor pertumbuhan tulang dengan material graft atau suplemen bone graft. Protein morfogenik tulang dan demineralisasi matriks tulang merupakan prinsip osteoconductive material (Kalfas 2001).

Sifat lain yang dimiliki HA yaitu biodegradable dan incorporation (Sunil et al. 2008). Biodegradable berarti material tersebut mudah mengalami dekomposisi melalui proses biologi normal (Dorland 2002). Hal ini berarti bahwa material HA dapat terdegradasi dengan sendirinya.

Guyton dan Hall (2006) menjelaskan HA dan fosfat merupakan garam kristal yang terdapat pada struktur matriks organik tulang dan gigi, sehingga penggabungan antara HA dengan fosfat dapat memberikan persembuhan tulang dengan baik karena HA memiliki sifat fisis, kimia, mekanis dan biologis yang mirip dengan struktur tulang. Struktur HA relatif stabil, memiliki sifat biokompatibilitas yang baik sehingga cepat bergabung dengan jaringan tulang (Ratajska et al. 2008). Struktur HA adalah berpori, terserap ulang (resorpsi), tidak korosi, inert, tahan aus dan bioaktif (Putri 2008). Bioaktif berarti mampu berkontak dengan sistem jaringan dan mampu bereaksi dengan jaringan (Purnama 2006). Akan tetapi kelemahan sifat-sifat pada HA adalah getas dan mudah patah (Putri 2008).

(36)

Nurlaela (2009) melaporkan bahwa senyawa kalsium fosfat HA dapat dibuat dengan melakukan presipitasi larutan pada suhu 37ºC dengan menggunakan prekursor CaO untuk kalsium dan prekursor KH2PO4 untuk fosfat.

CaO sendiri dihasilkan melalui kalsinasi dari cangkang telur ayam maupun bebek pada suhu 1000 ºC selama 5 jam (untuk cangkang telur ayam) dan 900 ºC selama 3-5 jam (untuk cangkang telur bebek). Kedua prekursor ini, yaitu CaO dan KH2PO4 akan bereaksi membentuk HA dengan persamaan reaksi:

10CaO + 6KH2PO4+ 2KOH → Ca10(PO4)6(OH)2 + 8KOH + 2H2O.

Tri Kalsium Fosfat (TKF)

Trikalsium fosfat (TKF) adalah senyawa dengan rumus Ca3(PO4)2.

Senyawa ini dikenal sebagai tribasic calsium phosphate atau "abu tulang". TKF dapat berbentuk kristal alfa dan beta. Kristal alfa biasanya dibentuk dengan temperatur tinggi. Kristal β-TKF dalam bentuk granul halus dapat diserap sempurna, sedangkan dalam bentuk blok hanya diserap sebagian (Schwartz et al. 2004).

Senyawa ini banyak ditemukan pada kerangka tulang maupun gigi hewan vertebrata. Senyawa ini di alam tidak sepenuhnya murni. Sebagian besar mengandung kadar fosfat 30% - 40%. Kandungan senyawa ini sering digunakan sebagai pengganti untuk memperbaiki kerusakan jaringan tulang (Anonim1 2009). Menurut Aoki (1991), TKF sejenis dengan kalsium fosfat dengan rasio Ca/P 1.50. TKF memiliki sifat biodegradable, terutama β-TKF (Cai et al. 2009), memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi (Viswanath et al. 2008) dan cepat diserap (Bohner 2000). Sifat ini menunjukkan bahwa material tersebut mampu didegradasi oleh tubuh. TKF bersifat osteoconductive (Laurenchin & Yusuf 2009). Kemampuan ini memungkinkan terjadinya vaskularisasi baru dan infiltrasi sel-sel prekursor osteogenik ke dalam celah atau pori-pori bone graft (Kalfas 2001).

(37)

jaringan tulang yang baru (Zerwek et al. 1992). Trikalsium fosfat memiliki kemampuan biodegradation dan incorporation yang lebih baik ketika digabungkan dengan HA (Sunil et al. 2008).

TKF dapat digunakan sebagai senyawa tunggal ataupun dikombinasikan dengan senyawa lain yang biodegradable, polimer resorbable seperti asam

polyglycolic. TKF dapat juga digabungkan dengan bahan autologus untuk kepentingan cangkok tulang (Anonim1 2009).

Penggabungan antara HA dan TKF dalam pembuatan biomaterial untuk aplikasi biomedis sangat menguntungkan karena dapat meningkatkan kekuatan mekaniknya (Viswanath et al. 2008). HA-TKF yang merupakan senyawa apatit alami dalam tulang (Saraswaty et al. 2009) memungkinkan bahan tersebut dapat diterima oleh tubuh. Senyawa ini tidak menimbulkan inflamasi, respon imunologi dan respon iritasi terhadap jaringan (Murugan & Ramakrishna 2004)

Kitosan

Kitosan adalah polisakarida linear yang terdiri dari β-(1-4)-D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin (asetat). Kitosan diproduksi dari deasetilasi kitin yang merupakan struktur elemen dalam eksoskeleton krustasea (kepiting, udang) (Anonim2). Kitosan banyak dijumpai di alam dan memiliki kemampuan

osteoconduction serta biocompatibility yang baik dalam jaringan (Hua et al. 2005).

Keutamaan kitosan adalah bersifat biodegradable dan biocompatible

(Maachou et al. 2008). Saraswaty et al. (2001) menambahkan bahwa kitosan juga memiliki biodegradabilitas, fleksibilitas dan ketahanan terhadap panas yang tinggi karena ikatan intramolekul hidrogen yang terbentuk antara gugus hidroksil dan amino.

(38)

Kombinasi HA-Kitosan baik untuk memproduksi scaffold (perancah, tempat bertaut/bergantungan) (Ratajaska et al. 2008). Idealnya campuran tersebut harus memiliki porositas tinggi, ruang yang besar (berpori), untuk memberi ruang yang cukup bagi perkembangan jaringan dan vaskularisasi baru. Penggabungan ini berbentuk pelet berpori sehingga menyediakan jejaring untuk migrasi sel yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan jaringan (Feng Zhao et al. 2002).

Kitosan dapat meningkatkan rasio persembuhan luka, mendukung pertumbuhan sel dan memberikan hasil yang baik dalam aplikasi pada bidang rekayasa jaringan. Kitosan juga menunjukkan sifat bakteriostatik dan fungistatik yang mencegah infeksi (Aprilia 2008).

(39)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2009. Penelitian dilakukan di Bagian Bedah dan Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan di Kandang Ruminansia Kecil, Kandang Fasilitas Hewan Coba FKH IPB.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah disposable syringe 10 ml, thermos es/cold box, mikroskop, hemositometer Neubauer, kaca preparat/

object glass dan alat penghitung. Peralatan lain yang digunakan meliputi perlengkapan operasi bedah minor, perlengkapan operasi ortopedik (bor tulang) serta perlengkapan anestesi (Gambar 10A).

Bahan yang digunakan untuk melakukan pengambilan dan pemeriksaan darah antara lain kapas, antikolagulan Potasium Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (K3-EDTA) ukuran 5 ml, aquadestilata, Giemsa 10%, alkohol 70%, metanol,

minyak emersi, dan larutan Turk.

Bahan implan yang digunakan berupa pelet silinder yang terbuat dari komposit HA-TKF (putih) dan HA-Kitosan (putih kekuningan) dengan diameter 4 mm dan tinggi 7 mm (Gambar 10B). Material implan tulang TKF dan HA-Kitosan tersebut diperoleh dari Departemen Fisika FMIPA IPB.

Gambar 10 Alat dan bahan dalam operasi ortopedik. A) bor tulang, alat operasi minor dan sediaan anestesi; B) material implan HA-Kitosan dan HA-TKF.

A B

HA-Kitosan

(40)

Bahan lain yang digunakan yaitu sejumlah bahan dalam operasi ortopedik, sediaan anestesi yang meliputi atropin sulfas 0,25 mg/ml (premedikasi), xylazine

2% (anestesi per-injeksi), isofluran 1,5-3% dan oksigen 25 ml/kg BB (anestesi per-inhalasi). Bahan lain yang diperlukan dalam perawatan hewan setelah operasi, seperti Cefotaxime sodium 250 mg (antibiotik), Toradol® (analgesik), iodine tincture 3% (desinfektan), rivanol, Gusanex® (anti serangga), levertran, perubalsam, perban, plester dan kapas.

Metode Penelitian

Persiapan Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan adalah enam ekor domba lokal (Ovis aries) yang terdiri dari tiga ekor domba jantan dan tiga ekor betina. Keenam ekor domba tersebut berumur lebih dari satu tahun (1 – 2 tahun) dengan bobot badan berkisar antara 17,2 – 20,2 kg. Domba dikelompokkan ke dalam dua kelompok yang dipilih secara acak dan tanpa membedakan jenis kelamin, sehingga didapatkan kelompok implan tulang HA-TKF (1 ekor jantan dan 2 ekor betina) dan kelompok implan tulang HA-Kitosan (2 ekor jantan dan 1 ekor betina).

Pemeliharaan dan perawatan domba dilakukan di kandang individu yang terlindungi dari panas dan dingin serta beralaskan kayu (Gambar 11). Pakan domba berupa hijauan dan konsentrat serta air minum yang diberikan secara ad libitum menggunakan wadah plastik. Pakan tersebut diberikan setiap hari pada pagi dan sore hari.

(41)

Domba diadaptasi kurang lebih selama satu minggu sebelum diberikan perlakuan (operasi penanaman material implan). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), waktu tersebut merupakan waktu adaptasi atau karantina normal, karena hewan harus diberikan waktu untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru sebelum digunakan sebagai hewan percobaan.

Operasi Penanaman Material Implan Tulang

Penanaman material implan tulang dilakukan melalui operasi ortopedik yang dilaksanakan oleh dokter ahli. Operasi dilakukan secara aseptis di dalam ruangan steril dengan peralatan dan perlengkapan yang telah disterilisasi. Domba tersebut berada dalam keadaan teranestesi dengan menggunakan atropin sulfas

0,25 mg/ml sebagai premedikasi dengan dosis 0,2 mg/kg bobot badan (BB) melalui aplikasi subcutan (SC). Xylazine 2% 20 mg/ml digunakan sebagai agen anestesi rute per-injeksi dengan dosis 0,2–0,3 mg/kg BB melalui aplikasi

intramuscular (IM) dan 0,1–0,2 ml/kg BB melalui aplikasi intravena (IV) (Pugh 2002). Anestesi dengan rute per-inhalasi dapat dilakukan menggunakan xylazine

2% 20 mg/ml untuk induksi melalui aplikasi IM. Setelah domba tersedasi kemudian diberikan isofluran 1,5–3% dan oksigen dengan dosis 25 ml/kg BB.

(42)

jaringan subkutan dan terakhir bagian kulit dengan metode penjahitan sederhana, kemudian luka diperban untuk mencegah adanya infeksi sekunder.

Gambar 12 Pembuatan lubang pada os.tibia domba dengan bor tulang.

Perawatan Hewan Coba

Perawatan hewan coba dilakukan dengan pemberian antibiotik profilaksis secara intramuskular (IM) yaitu Cefotaxime sodium 250 mg/hari (Nandi et al. 2008) serta pemberian analgesik secara peroral yaitu Toradol®/tablet sebanyak dua kali sehari selama 5 hari pasca operasi. Setiap hari luka operasi dibersihkan dengan iodine tincture 3% sebagai desinfektan, dilakukan penggantian perban, disemprot dengan obat anti serangga (Gusanex®), dan diolesi dengan campuran salep levertran dan perubalsam hingga luka kembali normal. Pemberian salep tersebut bertujuan untuk mempercepat persembuhan jaringan. Kandang hewan dibersihkan dari kotoran hewan dan sisa-sisa pakan untuk mencegah terjadinya infeksi.

Pengambilan Darah

Enam ekor domba lokal (Ovis aries) yang akan diimplantasi dengan material implan HA-TKF dan HA-Kitosan, diambil sampel darahnya pada saat sebelum operasi implantasi dilakukan, yaitu hari ke-0, serta beberapa hari setelah operasi, yaitu pada hari ke-3, 7, 14, 21, 30, 60 dan 90 (Tabel 1).

(43)

antikoagulan Potasium K3-EDTA. Setelah itu dihomogenkan untuk mencegah

terjadinya pembekuan darah (Brown 1980). Darah yang berada dalam tabung K3

-EDTA selanjutnya digunakan untuk berbagai keperluan dalam pemeriksaan.

Tabel 1 Waktu Pengambilan dan Pemeriksaan Darah

Kelompok Perlakuan

Domba ke-

Waktu Pemeriksaan

H0 H+3 H+7 H+14 H+21 H+30 H+60 H+90

HA-TKF 1

2 eutanasia

3 eutanasia

HA-K 4

5 eutanasia

6 eutanasia

Keterangan: H0 = hari operasi (data diambil sebelum operasi), H+ = hari ke- setelah operasi,

Data pada H+60=2 ekor domba dan H+90=1 ekor domba.

Gambar 13 Pengambilan darah pada domba melalui vena jugularis.

Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah dilakukan pada saat sebelum operasi (hari ke-0) dan beberapa hari setelah operasi, yaitu pada hari ke-3, 7, 14, 21, 30, 60 dan 90 setelah operasi (Tabel 1). Parameter yang diamati meliputi penghitungan jumlah total sel darah putih dan diferensial sel darah putih (meliputi jumlah limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil).

(44)

pengencer (Turk) hingga mencapai batas tera 11. Campuran tersebut dihomogenkan dengan membentuk angka delapan, kemudian dibuang sedikit (1-3 tetes). Hal ini dilakukan dengan tujuan membuang bagian yang tidak tercampur. Selanjutnya campuran tersebut diteteskan sebanyak 1-2 tetes di atas tepi kamar hitung. Penghitungan dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 40 (400x), pada daerah ruang hitung untuk sel darah putih, yaitu empat kotak besar yang ada di setiap sudut yang ditandai dengan huruf W (Gambar 14) (Jain 1986). Jumlah sel darah putih yang didapat dari keempat kotak kamar hitung, selanjutnya dikalikan dengan volume ruangan kamar hitung dan faktor koreksi pengenceran. Penghitungan jumlah total sel darah putih dilakukan sebagai berikut:

Volume ruangan kamar hitung yang digunakan:

total volume = 4 x 1 mm2 x 1/10 mm = 4/10 mm3

keterangan:

4 = jumlah ruang hitung (kotak besar yang ditandai huruf W) 1 mm2 = luas tiap ruang hitung

1/10 mm = tinggi/kedalaman ruang hitung

bila jumlah total sel darah putih di dalam ruangan tersebut = a butir, maka 1 mm3→ 10/4 x a

faktor koreksi pengenceran = 20x

jadi, jumlah total sel darah putih per mm3 atau (µl) darah = 20 x 10/4 x a butir = a x 50 butir

(45)

Pembuatan preparat ulas darah untuk diferensial sel darah putih dilakukan dengan meneteskan darah pada gelas obyek dan mengulasnya dengan gelas obyek lain, kemudian dikeringkan di udara. Preparat yang sudah kering difiksasi dengan metanol dan dikeringkan di udara. Selanjutnya preparat diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit. Preparat dibersihkan dengan air mengalir. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop pada pembesaran lensa obyektif 100x (menggunakan minyak emersi) dengan metode zigzag (Jain 1986). Diferensiasi sel darah putih dilakukan dengan menghitung setiap jenis sel darah putih hingga mencapai jumlah 100 dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali untuk tiap-tiap preparat ulas darah. Hasil penghitungan tersebut (dalam persen) kemudian dikalikan dengan jumlah total sel darah putih sehingga didapatkan nilai absolut untuk masing-masing jenis sel darah putih per µl darah (McCurnin & Bassert 2006).

Analisis Data

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan darah dilakukan sesaat sebelum operasi penanaman material implan (H0), dan beberapa hari setelah operasi penanaman, yaitu hari ke-3, 7, 14, 21, 30 , 60 dan 90. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan berdasarkan waktu proses persembuhan tulang dan kerusakan jaringan (Cheville 2006). Pemeriksaan darah yang dilakukan adalah jumlah total sel darah putih dan diferensial sel darah putih yang meliputi jumlah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil.

Jumlah Total Sel Darah Putih (Leukosit)

Gambar 15 Rataan jumlah total sel darah putih domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang.

Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor.

(47)

banyak ke dalam sirkulasi (Bush 1991). Peningkatan jumlah total sel darah putih yang melebihi batas kisaran normal terjadi pada hari ke-90. Hal ini diduga karena material implan HA-Kitosan lebih sulit terdegradasi dibandingkan HA-TKF, sehingga keberadaannya yang tidak terserap sempurna pada akhir pemeriksaan, direspon oleh tubuh sebagai benda asing. Hasil penelitian Nurlaela (2009) menunjukkan bahwa morfologi komposit HA-Kitosan terlihat lebih rapat dibandingkan dengan HA-TKF yang lebih rapuh, sehingga HA-Kitosan lebih sulit terdegradasi dibandingkan HA-TKF.

Kelompok HA-TKF memiliki jumlah total sel darah putih yang masih berada dalam kisaran normal. Kelompok ini memperlihatkan pola yang menyerupai kurva terbalik, terjadi peningkatan hingga mencapai puncak kurva pada hari ke-14 dan kemudian mengalami penurunan hingga hari terakhir pengamatan (hari ke-90) menuju nilai awal sebelum diberi perlakuan (hari ke-0). Namun demikian, nilai tersebut masih berada dalam kisaran normal. Peningkatan jumlah total sel darah putih terjadi hingga hari ke-14 merupakan respon tubuh akibat kerusakan jaringan. Menurut Underwood (1992), apabila terjadi kerusakan jaringan, tubuh akan merespon dengan cara sumsum tulang melepaskan cadangan sel darah putih ke dalam sirkulasi darah, sehingga jumlah total sel darah putih dalam darah akan meningkat.

Jumlah total sel darah putih yang menurun hingga hari ke-90 merupakan indikasi bahwa HA-TKF memberikan persembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok HA-Kitosan. Hal ini dikarenakan sifat senyawa HA-TKF yang

(48)

Kelompok HA-Kitosan secara umum memiliki jumlah total sel darah putih yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok HA-TKF. HA merupakan garam kristal yang terdapat pada matriks organik tulang (Guyton & Hall 2006) dan TKF merupakan mineral kalsium yang terdapat dalam tubuh dalam jumlah rendah (Samuelson 2007), sehingga komposisi HA dan TKF dapat diterima oleh tubuh. Sunil et al. (2008) mengatakan bahwa TKF memiliki kemampuan

biodegradation dan incorporation yang lebih baik ketika digabungkan dengan HA. Dalam penelitian ini tujuan penggunaan kitosan adalah sebagai perekat dalam penggunaannya dengan HA (Ratajaska et al. 2008), dan secara morfologi HA-Kitosan memiliki struktur yang lebih rapat (Nurlaela 2009), sehingga kitosan dimungkinkan lebih sulit terdegradasi.

Jumlah Neutrofil

Gambar 16 Rataan jumlah neutrofil domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang.

Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor.

Gambar 16 menunjukkan bahwa jumlah neutrofil pada kelompok HA-Kitosan secara umum masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 700–6.000 µl (Jain 1993). Kelompok HA-Kitosan mengalami peningkatan jumlah neutrofil pada hari ke-3, ke-30 dan pada hari terakhir pemeriksaan.

(49)

Peningkatan jumlah neutrofil kelompok HA-Kitosan yang terjadi pada hari ke-3 merupakan respon alami tubuh dalam mengatasi kerusakan jaringan. Peningkatan jumlah neutrofil terjadi akibat meningkatnya kebutuhan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan. Kerusakan sel akan melepaskan mediator yang menghasilkan akumulasi sel polimorfik (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan makrofag, serta faktor humoral seperti antibodi menuju lokasi kerusakan (Wolfensohn dan Lloyd 2000). Jika kebutuhan tidak mencukupi, maka di dalam sumsum tulang akan terjadi peningkatan produksi dan pelepasan neutrofil dalam jumlah yang lebih banyak ke dalam sirkulasi. Produksi sel neutrofil yang terjadi di sumsum tulang distimuli dalam 1-2 hari dan setelah itu neutrofil dilepaskan, sehingga neutrofil akan terlihat di dalam sirkulasi (Bush 1991).

Penurunan jumlah neutrofil kelompok HA-Kitosan terjadi pada hari ke-7 dan mendekati nilai pada awal pemeriksaan. Hal ini merupakan sistem pengaturan tubuh setelah sumsum tulang memproduksi sel neutrofil yang berlebihan untuk mengatasi kerusakan jaringan yang terjadi (Jain 1993), sehingga jumlah neutrofil yang ditemukan dalam sirkulasi darah pada hari ke-7 menurun mendekati nilai pada awal pemeriksaan.

Peningkatan jumlah neutrofil kelompok HA-Kitosan yang terjadi pada hari ke-30 diduga disebabkan akumulasi stres. Stres dapat meningkatkan jumlah neutrofil dalam darah (Kelly 1984). Stres ini dimungkinkan terjadi akibat

handling yang dilakukan setiap hari. Menurut Kelly (1984), stres akibat rasa sakit, takut ataupun exercise yang berlebihan juga dapat meningkatkan frekuensi nafas dan denyut jantung. Hal ini didukung oleh pemeriksaan klinis setelah operasi yang dilakukan Paradisa (2010) yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan frekuensi nafas dan denyut jantung melebihi kisaran normal pada domba tersebut.

(50)

memiliki porositas tinggi, ruang yang besar (berpori), untuk memberi ruang yang cukup bagi perkembangan jaringan dan vaskularisasi baru (Feng Zhao et al. 2002).

Peningkatan jumlah neutrofil pada kelompok HA-Kitosan merupakan respon normal setelah operasi dalam proses persembuhan, bukan disebabkan adanya infeksi bakteri, karena berdasarkan hasil penelitian tentang pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh Paradisa (2010) tidak memperlihatkan terjadinya demam yang merupakan salah satu indikasi adanya infeksi. Hal ini ditunjukkan dengan temperatur tubuh domba yang masih berada dalam kisaran normal.

Kelompok HA-TKF memperlihatkan jumlah neutrofil yang masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 700–6.000 µl (Jain 1993). Kelompok ini memiliki jumlah neutrofil yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok HA-Kitosan. Kelompok ini mengalami peningkatan jumlah neutrofil pada hari ke-3 dan hari ke-14 setelah operasi dan secara perlahan mengalami penurunan hingga mencapai nilai seperti pada titik awal pemeriksaan. Underwood (1992) melaporkan bahwa peningkatan jumlah neutrofil merupakan respon alami tubuh yang terjadi akibat trauma operasi. Penurunan yang terjadi pada akhir pengamatan merupakan proses pemulihan (persembuhan), dengan ditandai jumlah neutrofil yang sebelumnya tinggi akan menurun menjadi normal (Bush 1991). Menurut Brown et al. (2002), HA-TKF merupakan bahan sintetik dengan reaksi inflamasi minimal.

(51)

Jumlah Limfosit

Gambar 17 Rataan jumlah limfosit domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang.

Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor

Gambar 15 memperlihatkan bahwa kelompok HA-Kitosan masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 2.000–9.000 µl (Jain 1993). Kelompok Kitosan memiliki jumlah limfosit yang mendekati kelompok HA-TKF. Kelompok HA-Kitosan memiliki jumlah limfosit yang lebih tinggi dibandingkan kelompok HA-TKF sejak awal hingga hari ke-3 pemeriksaan, namun mengalami penurunan hingga jumlahnya berada dibawah kelompok HA-TKF. Selanjutnya kelompok ini mengalami peningkatan hingga akhir pemeriksaan. Peningkatan jumlah limfosit terjadi pada hari ke-3, 60 dan 90, namun demikian peningkatan yang terjadi masih berada dalam kisaran normal. Menurut Jain (1993), peningkatan jumlah limfosit distimuli oleh paparan antigen akibat adanya infeksi bakteri, virus dan agen parasit.

Kelompok HA-TKF memiliki jumlah limfosit yang masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 2.000–9.000 µl (Jain 1993). Pada hari terakhir pengamatan, kelompok HA-TKF mengalami penurunan jumlah limfosit hingga mencapai batas bawah nilai awal pengamatan, namun demikian nilainya masih berada dalam kisaran normal. Hal ini menunjukkan bahwa material implan HA-TKF dapat memberikan persembuhan tulang yang baik karena senyawa ini

(52)

memiliki sifat fisis, kimia, mekanis, dan biologis yang mirip dengan struktur tulang (Guyton & Hall 2006), sehingga keberadaannya dapat diterima dengan baik di dalam tubuh.

Jumlah limfosit domba pada kedua kelompok perlakuan masih berada dalam kisaran jumlah limfosit domba normal. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam material implan HA-TKF dan HA-Kitosan masih dapat diterima oleh tubuh dan tidak mempengaruhi dinamika limfosit domba. HA tidak menimbulkan respon tubuh terhadap material asing (Aprilia 2008), sehingga tidak menimbulkan respon imun berupa respon penolakan terhadap implan.

Jumlah Monosit

Gambar 18 Rataan jumlah monosit domba sebelum dan setelah operasi penanaman material implan tulang.

Keterangan: Data pada H60=2 ekor , H90=1 ekor

(53)

debris yang tidak dapat ditangani oleh sel neutrofil (McCurnin & Bassert 2006). Penurunan jumlah monosit terjadi pada hari ke-7. Jain (1993) melaporkan jumlah monosit dalam darah juga dipengaruhi oleh konsentrasi kortikosteroid. Steroid menginduksi penurunan jumlah monosit yang akan menghambat pelepasan monosit dari sumsum tulang atau terjadi penurunan jumlah produksi.

Kelompok HA-TKF mulai awal hingga akhir pengamatan menunjukkan pola yang relatif stabil dan memiliki jumlah monosit yang cenderung rendah dibandingkan dengan HA-Kitosan. Namun demikian, jumlah monosit kelompok ini masih berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antara 0-750 µl (Jain 1993). Peningkatan dan penurunan yang ditunjukkan pada Gambar 18 memperlihatkan jumlah monosit kedua kelompok masih dalam kisaran normal. Bush (1991) mengatakan bahwa monosit dalam darah normal jumlahnya sangat sedikit. Hal serupa dipaparkan oleh Reece (2006) bahwa monosit bersirkulasi di dalam darah kurang dari 24 jam, sehingga jumlahnya dalam darah normal sangat sedikit. Monosit berada di sirkulasi darah dalam waktu yang pendek, kemudian masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi makrofag akibat adanya respon untuk melakukan fagositosit benda asing seperti bakteri (Frandson 1992) dan jaringan yang mati (sel debris) (Underwood 1992), sel rusak atau sel yang tidak berfungsi (Bush 1991).

Kemampuan biocompatible yang dimiliki HA-TKF (Shi 2004, Fujishiro et al. 2005) dan HA-Kitosan (Maachou et al. 2008) menunjukkan bahwa pada material tersebut terjadi harmonisasi dengan sistem tubuh, tidak mempunyai efek toksik atau mengganggu fungsi biologis (Dorland 2002). HA-TKF memiliki reaksi inflamasi yang minimal (Brown et al. 2002) dan HA-Kitosan memiliki kemampuan bakteriostatik dan fungistatik yang mencegah infeksi (Aprilia 2008), sehingga tubuh tidak merespon kedua material implan sebagai benda asing dan dapat diterima oleh tubuh.

Jumlah Eosinofil

Gambar

Gambar 8  Proses perbaikan kerusakan jaringan (McGavin & Zachary 2007).
Gambar  9  Diagram skematik pembentukan kalus dan perbaikan fraktur. (McGavin & Zachary 2007)
Gambar 10 Alat dan bahan dalam operasi ortopedik. A) bor tulang, alat operasi minor dan sediaan anestesi; B) material implan HA-Kitosan dan HA-TKF
Gambar 11  Hewan coba dalam kandang individu.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengolahan yang masih sederhana dan minimnya informasi mengenai pemanfaatan biji beton oleh masyarakat umum, mendorong kami untuk membuat kue dari bahan dasar tepung beton1.

Normal Parameters a,b Mean

Lebih lanjut, Kitab Ihya’ Ulumuddin disusun ketika umat Islam teledor terhadap ilmu-ilmu Islam, yaitu setelah al-Ghazali kembali dari rasa keragu- raguan dengan tujuan utama

spesies Hoya yang diamati memiliki epidermis bertipe satu lapis sel (uniseriat) seperti yang umumnya ditemukan pada tumbuhan dengan tipe.. daun non sukulen (Fahn,

Menyimak 2 imak 2 ilust ilustrasi #enyebab kecelaka rasi #enyebab kecelakaan di an di atas sebenar atas sebenarnya $al nya $al terse tersebut da#at kita but da#at

Pembentukan karakter ini dapat dilakukan dengan menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan anak melalui dua cara seperti yang akan dikemukakan berikut ini (dimulai

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya motivasi belajar siswa saat pembelajaran akidah akhlak. Hal tersebut dapat dilihat dari gelaja: ada sebagian siswa ketika

Secara singkat dapat dikatakan bahwa efisiensi yang dimaksud adalah upaya penghematan segala hal di dalam pelaksanaan kerja. Semua pegawai yang ada di dalam kantor harus