PRODUKSI PETANI RAKYAT
(Studi Kasus : Kabupaten Labuhan Batu)SKRIPSI
Oleh :
Wilson P.A. Pasaribu 050304049
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
ANALISA HARGA PEMBELIAN TBS KELAPA SAWIT
PRODUKSI PETANI RAKYAT
(Studi Kasus : Kabupaten Labuhan Batu)
SKRIPSI
Oleh :
Wilson P.A. Pasaribu 050304049 SEP / AGRIBISNIS
Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melakukan
Penelitian di Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Diketahui oleh, Komisi Pembimbing
Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc) (Ir. Diana Chalil, MSi, PhD)
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
ABSTRAK
WILSON PASARIBU : Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu, dibimbing oleh Bapak
Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc dan Ibu Ir. Diana Chalil, MSi. PhD.
Luas perkebunan rakyat di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut menunjukkan betapa berpengaruhnya keberadaan Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. Demikian halnya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, secara fisik terkesan menunjukkan adanya kemajuan yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan produksi kelapa sawit yang meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Namun demikian, luas areal dan produksi yang meningkat belum diikuti oleh kekuatan posisi petani perkebunan rakyat dalam mempengaruhi harga Tandan Buah Segar (TBS). Salah satu masalah yang belum dapat diatasi secara tuntas adalah penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah berdasarkan Rumus Harga Pembelian, serta untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya. Metode Penentuan Sampel yang digunakan adalah metode penelusuran (Accedental), yaitu metode yang pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel. Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif dan analisa uji-t populasi berpasangan pada tingkat petani.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : Ada beda antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, serta Ada beda antara indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan Sibolga pada tanggal 20 desember 1986 dari Bapak B.
Pasaribu, SH dan Ibu S. br. Guru Singa. Penulis merupakan anak kedua dari 3
bersaudara.
Tahun 2005 penulis lulus dari SMA RK Budi Mulia Pematangsiantar, dan
pada tahun yang sama masuk ke Fakulta Pertanian USU melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Agribisnis,
Departemen Agribisnis.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Mangan
Molih, Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi dari tanggal 15 Juni sampai 16
Juli 2009. Pada bulan Juli 2009 sampai Agustus 2009 melaksanakan penelitian
skripsi di Kabupaten Labuhan Batu.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya yang memberikan kesempatan dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul penelitian ini adalah Analisa
Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat di Kabupaten Labuhan Batu,
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc selaku komisi
pembimbing ketua dan Ibu Ir. Diana Chalil, Msi, PhD selaku komisi pembimbing
anggota yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini dan
seluruh Staff Pengajar dan Pegawai Tata Usaha di Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara, Medan yang turut berperan dalam studi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda tercinta B.
Pasaribu, SH dan Ibunda tercinta S. br. Guru Singa, serta kakak Elisa Pasaribu
dan Theresia Pasaribu, untuk dukungan semangat, materi dan doa yang diberi
pada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua sahabat penulis
yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini, yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata Penulis berharap skripsi ini dapat
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
RIWAYAT HIDUP ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Identifikasi Masalah ... 3
Tujuan Penelitian ... 4
Kegunaan Penelitian ... 5
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Masalah ... 6
Landasan Teori ... 11
Kerangka Pemikiran ... 13
Hipotesis Penelitian ... 16
METODE PENELITIAN Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 17
Metode Penentuan Sampel ... 17
Metode Pengumpulan Data ... 18
Metode Analisis Data ... 19
Definisi dan Batasan Operasional ... 21
Definisi ... 21
Batasan Operasional... 22
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL Deskripsi Daerah Penelitian ... 23
Letak dan Keadaan Geografis ... 23
Keadaan Penduduk ... 23
Karakteristik Sampel Penelitian ... 28
Petani Sampel Menurut Penggunaan Jenis Bibit ... 28
Petani Sampel Menurut Pinjaman Modal (Kredit) ... 28
Petani Sampel Menurut Mekanisme Penjualan TBS ... 29
Petani Sampel Menurut Lama Bertani, Usia Tanaman, Luas Lahan, dan Jumlah Produksi ... 30
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Usaha Kelapa Sawit Rakyat ... 31
Kesesuaian antara Harga TBS yang Ditetapkan Pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Harga TBS yang Diterima Oleh Petani Rakyat ... 33
Perbedaan Indeks Proporsi “K” yang Ditetapkan Pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Indeks Proporsi “K” yang Diterima Oleh Petani Rakyat ... 36
Penyebab Harga TBS Produksi Petani Rendah Berdasarkan Rumus Harga Pembelian ... 39
Permasalahan yang Dihadapi Petani Rakyat dan Solusinya dalam Kaitannya dengan Rendahnya Harga TBS yang Diterimanya ... 43
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50
Saran... 51
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit ... 17
2. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin ... 24
3. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja dan Lapangan Pekerjaan Utama ... 25
4. Penduduk Menurut Jenjang Tingkat Pendidikan ... 26
5. Prasarana Jalan ... 27
6. Petani Sampel menurut Penggunaan Jenis Bibit ... 28
7. Petani Sampel menurut Pinjaman Modal (Kredit) ... 29
8. Petani Sampel menurut Mekanisme Penjualan TBS ... 29
9. Petani Sampel menurut Lama Bertani, Usia Tanaman, Luas Lahan, dan Jumlah Produksi ... 30
10. Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat ... 34
11. Hasil Uji Coba Rata-rata Harga Pembelian TBS yang Diterima Oleh Petani Seta Kesesuaiannya dengan Harga Pembelian TBS Berdasarkan Kebijakan ... 35
12. Metode Nilai Indeks Proporsi “K” Petani Periode Juli 2009 ... 37
DAFTAR LAMPIRAN
1. Persentase Luas Tanaman Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Status
Pengusahaan 2001-2006... 55
2. Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat 2003-2006... 56
3. Karakteristik Petani Kelapa Sawit Rakyat ... 57
4. Deskripsi Usaha Tani Rakyat ... 58
5. Petani Responden dan Jenis Bibit ... 59
6. Petani Responden dan Kredit ... 60
7. Pembentukan Harga TBS di Tingkat Petani ... 61
8. Daftar Harga TBS Tahun 2009 ... 63
9. Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat di Kab. Labuhan Batu ... 65
10. Nilai Indeks Proporsi “K” Petani Periode Juli 2009 ... 66
11. Harga TBS Kelapa Sawit Produksi Petani ... 67
12. Hasil Uji Coba Rata-rata Harga Pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Harga TBS yang Diterima Oleh Petani ... 70
ABSTRAK
WILSON PASARIBU : Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu, dibimbing oleh Bapak
Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc dan Ibu Ir. Diana Chalil, MSi. PhD.
Luas perkebunan rakyat di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut menunjukkan betapa berpengaruhnya keberadaan Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. Demikian halnya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, secara fisik terkesan menunjukkan adanya kemajuan yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan produksi kelapa sawit yang meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Namun demikian, luas areal dan produksi yang meningkat belum diikuti oleh kekuatan posisi petani perkebunan rakyat dalam mempengaruhi harga Tandan Buah Segar (TBS). Salah satu masalah yang belum dapat diatasi secara tuntas adalah penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah berdasarkan Rumus Harga Pembelian, serta untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya. Metode Penentuan Sampel yang digunakan adalah metode penelusuran (Accedental), yaitu metode yang pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel. Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif dan analisa uji-t populasi berpasangan pada tingkat petani.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : Ada beda antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, serta Ada beda antara indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dari berbagai potensi sektor pertanian yang dimiliki Indonesia, khususnya
Sumatera Utara, sub sektor perkebunan merupakan salah satu potensi yang cukup
besar yang dimiliki daerah ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya perkebunan
yang lokasinya berada di dareah ini baik yang dimiliki oleh rakyat, Negara
(BUMN), dan swasta asing maupun nasional (PMA maupun PMDA). Dari
berbagai jenis perkebunan yang dikelola oleh rakyat di Sumatera Utara, komoditi
kelapa sawit adalah yang paling dominan.
Khusus untuk perkebunan rakyat, tujuan utama pengembangannya adalah
untuk mengangkat harkat hidup petani dan keluarganya dengan cara
meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani melalui pengembangan kebun..
Tujuan lainnya yang lebih luas lagi yaitu pembangunan masyarakat pekebun
yang berwiraswasta, sejahtera dan selaras dengan lingkungannya, dan
mewujudkan perpaduan usaha yang didukung oleh suatu sistem usaha dengan
memadukan berbagai kegiatan produksi pengolahan dan pemasaran hasil dengan
menggunakan perkebunan besar sebagai inti dalam suatu kerjasama yang saling
menguntungkan (Anonymous, dalam Mulyana, 2008).
Luas perkebunan rakyat di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari
tahun ke tahun. Peningkatan luasnya melebihi luas dari pengusahaan Perkebunan
Besar Negara maupun luas dari pengusahaan Perkebunan Besar Swasta.
Persentasenya yang mencapai hampir 35 % (Lampiran 1) menunjukkan betapa
berpengaruhnya keberadaan Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. Demikian
khususnya Sumatera Utara, secara fisik terkesan menunjukkan adanya kemajuan
yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan produksi kelapa sawit yang
meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun (Lampiran 2).
Namun demikian, luas areal dan produksi yang meningkat belum diikuti
oleh kekuatan posisi petani perkebunan rakyat dalam mempengaruhi harga
Tandan Buah Segar (TBS). Seperti dikemukakan Drajat (2009), salah satu
masalah yang belum dapat diatasi secara tuntas adalah penetapan harga Tandan
Buah Segar (TBS) karena persoalannya yang kompleks dan melibatkan banyak
pihak, belum lagi produksi pertanian yang bersifat musiman.
Untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga yang wajar dari
Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit produksi petani serta menghindari
adanya persaingan tidak sehat diantara Pabrik Kelapa Sawit (PKS), departemen
teknis terkait dan pemerintah di beberapa daerah secara langsung telah melakukan
intervensi. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah diantaranya adalah
Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005 tentang Pedoman Penetapan Harga
TBS Kelapa Sawit Produksi. Ruang lingkup peraturan ini meliputi penetapan
harga pembelian TBS, pembinaan dan sanksi. Peraturan ini dimaksudkan sebagai
dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembelian Tandan Buah
Segar (TBS) kelapa sawit produksi petani (Anonymous, dalam Departemen
Pertanian, 2007).
Salah satu permasalahannya adalah penentuan nilai K (proporsi yang
diterima petani) oleh pemerintah yang menunjukkan kecenderungan bahwa harga
TBS yang berlaku masih lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima petani.
Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa telah terjadi hal-hal yang tidak sesuai
hubungan antara petani dan perusahaan inti (PKS/agen pembeli). Masalah ini
diduga masih menempatkan posisi petani lebih lemah dan sangat dipengaruhi
oleh perilaku perusahaan, meskipun telah merujuk pada Rumus Harga Pembelian
(Didu, 2000).
Permasalahan ini tentunya bermuara pada rendahnya harga TBS yang
diterima petani. Hal ini dapat disebabkan karena nilai rendemen TBS hasil
produksi petani yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Oleh karena itu,
penetapan ulang nilai rendemen TBS produksi petani yang tercantum dalam
Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005 perlu dilakukan secara transparan
dengan melibatkan petani di dalamnya (Drajat, 2004).
Untuk mengetahui penyebab terjadinya permasalahan-permasalahan di
atas, penulis merasa perlu diadakan penelitian. Oleh sebab itu, penelitian ini akan
mencoba untuk menganalisis harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa
sawit produksi petani rakyat.
1.2 Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang
perlu diteliti, antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah
berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima
oleh petani rakyat?
2. Bagaimana perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah
berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang
3. Berdasarkan Rumus Harga Pembelian, apa penyebab harga TBS yang
diterima oleh petani rakyat rendah?
4. Apa saja permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam
kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan, adalah :
1. Untuk mengidentifikasi kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan
pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang
diterima oleh petani rakyat
2. Untuk mengidentifikasi perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan
pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi
(K) yang diterima oleh petani rakyat
3. Untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah
berdasarkan Rumus Harga Pembelian.
4. Untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan
solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk data penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara, Medan.
2. Sebagai bahan informasi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian ini.
3. Sebagai bahan referensi dan studi untuk pengembangan ilmu bagi
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,
KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka • Penetapan Harga TBS
Produk minyak sawit yang merupakan salah satu andalan ekspor
Indonesia mengalami peningkatan harga yang signifikan. Harga minyak sawit
secara historis terus meningkat. Peningkatan harga minyak sawit (CPO, crude
palm oil) ini juga mendongkrak harga buah sawit (TBS, tandan buah segar). Para
petani kelapa sawit memperoleh manfaat dari hasil menjual buah sawit kepada
pabrik-pabrik pengolah buah sawit menjadi CPO. Oleh karenanya, harga TBS
merupakan salah satu indikator penting yang dapat mempengaruhi penawaran
petani kelapa sawit (Arianto, 2008).
Berbagai faktor berpengaruh dalam pembentukan harga TBS, yaitu harga
CPO dan inti. Selain harga patokan CPO dan inti yang ditentukan pemerintah,
masih ada nilai rendemen CPO dan inti yang turut menentukan harga TBS. Mutu
dan rendemennya ditentukan oleh jenis bibit, umur tanaman dan mutu panen
(PERHEPI, dalam Bangun, 1989).
Kebijakan mengenai harga, misalnya mengenai harga TBS, merupakan
wewenang pemerintah yang diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan
pejabat berwenang, seperti surat keputusan menteri (PERMENTAN) atau pejabat
(SK) yang diberi wewenang untuk itu. Kebijaksanaan diambil dengan tujuan
untuk melindungi petani dan menstabilkan perekonomian (Daniel, 2002).
Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun
ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No 395/Kpts /OT.140/11/2005
pengembangan pola perusahaan inti rakyat (PIR) atau yang melakukan kemitraan
usaha dengan perusahaan mitra.
Tujuan dari pengaturan harga TBS melalui Permentan 395 tersebut adalah
untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar dari TBS kelapa
sawit produksi petani dan menghindari persaingan tidak sehat diantara pabrik
kelapa sawit. Pasal 4 Permentan Nomor 395 mengatur bahwa Pekebun menjual
seluruh tandan buah segarnya kepada perusahaan dan perusahaan membeli
seluruh tandan buah segar untuk diolah dan dipasarkan sesuai dengan perjanjian
kerjasama.
Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa harga pembelian tandan buah segar oleh
perusahaan di dasarkan pada rumus harga pembelian tandan buah segar, yang
mengandung variable indeks proporsi (dalam %) yang menunjukkan bagian yang
diterima oleh pekebun (dinyatakan dalam notasi K), harga rata-rata minyak sawit
kasar (CPO) tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal
masing-masing perusahaan pada periode sebelumnya (dinyatakan dengan notasi Hms),
rendemen CPO (dinyatakan dengan notasi Rms) dan rendemen inti sawit/PKO
(dinyatakan dengan notasi Ris) dan harga rata-rata inti sawit tertimbang realisasi
penjualan ekspor (FOB) dan local masing-masing perusahaan pada periode
sebelumnya (dinyatakan dengan notasi His).
Rumus harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:
HTBS = K (HCPO x RCPO + HIS xRIS)
HTBS : Harga TBS acuan yang diterima oleh Petani di tingkat pabrik, dinyatakan
dalam Rp/kg dan merupakan harga franco pabrik pengolahan;
K : Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh petani,
dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan setiap bulan oleh Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I berdasarkan Tim Penetapan Harga Pembelian TBS;
HCPO : Harga rata-rata minyak sawit kasar (CPO) tertimbang realisasi penjualan
ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya,
dinyatakan dalam Rp/kg dan ditetapkan setiap bulan;
RCPO : Rendemen minyak sawit kasar, dinyatakan dalam persentase dan
ditetapkan sebagai Lampiran SK Menbutbun;
HIS : Harga rata-rata tertimbang minyak inti sawit realisasi penjualan ekspor
(FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan
dalam Rp/kg dan ditetapkan setiap bulan ;
RIS : Rendemen minyak inti sawit, dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan
sebagai Lampiran SK Menbutbun (PERMENTAN, 2005).
Harga pembelian TBS sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Tim
Penetapan Harga TBS yang dibentuk oleh Gubernur, minimal 1 (satu) kali setiap
bulan yang merupakan harga franco pabrik pengolahan kelapa sawit.
Keanggotaan Tim Penetapan Harga TBS terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi
dan Kabupaten/Kota; Dinas yang menangani Perkebunan Propinsi,
Kabupaten/Kota; Perusahaan Inti; Wakil Pekebun PIR Kelapa Sawit
(kelembagaan Pekebun); dan instansi terkait.
Dan pengembangannya hingga pada saat ini, penetapan harga pembelian
Permentan Nomor 395. Khusus untuk daerah Propinsi Sumatera Utara, harga
pembelian TBS ditetapkan 1 (satu) kali setiap minggu. Penetapan harga TBS di
Sumatera Utara dilakukan oleh sebuah Tim Penetapan Harga Pembelian TBS
Kelapa Sawit Produksi Petani Propinsi Sumatera Utara. Tim tersebut terdiri dari
unsur Pemerintah Daerah, Lembaga Penelitian, Perusahaan Kelapa Sawit, dan
Petani.
Terkait mengenai sanksi apabila tidak memenuhi ketentuan ketetapan
harga TBS yang ditetapkan, Pasal 11 Permentan 395 dimaksud,
menginformasikan bahwa Pekebun/kelembagaan pekebun dan Perusahaan apabila
tidak memenuhi ketentuan yang telah disepakati dikenakan sanksi sesuai dalam
perjanjian kerjasama (yang dibuat diantara kedua belah pihak).
Harga TBS yang diterima petani dihitung berdasarkan Indeks Proporsi K.
Untuk komponen K yang biasa disebut dengan indeks proporsi K yang merujuk
pada pada keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan maupun Peraturan
Menteri Pertanian tersebut pada dasarnya merupakan persentase besarnya hak
petani tersebut di atas terhadap harga TBS. Angka ini biasanya berada pada
tingkat di bawah 100 persen karena sebagai faktor pembilang untuk menentukan
K lebih kecil dari angka pada faktor penyebut (Anonymous, dalam
• Faktor – faktor yang mempengaruhi nilai rendemen
Jenis bibit sangat mempengaruhi rendemen dari TBS. Bibit yang baik
akan menghasilkan TBS yang bermutu tinggi, dan demikian juga sebaliknya.
Dalam pemilihan jenis bibit, perlu diperhatikan beberapa kriteria tertentu agar
buah yang dihasilkan baik mutunya sehingga minyak yang dihasilkan bermutu
baik dan memiliki posisi harga yang baik pula. Selektif dalam memilih bibit
tanaman menjadi dasar penentuan nilai komersial perkebunan dan menentukan
tingkat produktifitas tanaman (Pardamean, 2008)..
Peningkatan kualitas rendemen TBS lebih banyak dipengaruhi oleh umur
tanaman. Tindakan agronomis sangat menentukan umur komersial tanaman
kelapa sawit. Umur ekonomis kelapa sawit yang dibudidayakan umumnya 25
tahun. Pada umur lebih dari 25 tahun, tanaman sudah tinggi sehingga sangat sulit
dipanen, tandan pun jarang sehingga diperhitungkan tidak ekonomis lagi. Pada 3
tahun pertama, tanaman belum menghasilkan (TBM). Sesudahnya, lebih dari 3
tahun, disebut tanaman menghasilkan (TM), dengan pengklasifikasian umur 3-8
tahun tanaman mulai berproduksi, umur 9-20 tahun tanaman mencapai produksi
optimal, dan umur lebih 25 tahun tanaman mulai mencapai akhir umur
ekonomisnya (Pardamean, 2008).
Drajat (2004) dalam penelitiannya mengatakan bahwa umur tanaman
mempengaruhi kualitas rendemen TBS, yang pada akhirnya sangat berpengaruh
terhadap harga TBS. Kualitas rendemen TBS dikatakan tinggi ketika tanaman
berumur pada selang waktu 7 hingga 22 tahun, sehingga perkiraan harga TBS
lebih tinggi. Tetapi kualitas rendemen TBS masih rendah pada selang umur
tanaman 3 sampai 6 tahun dan 23 sampai 25 tahun, sehingga perkiraan harga TBS
Mutu panen juga dapat mempengaruhi kualitas rendemen TBS. Rendemen
TBS dapat menurun karena panen yang kurang efektif, yang antara lain
disebabkan oleh :
• Brondolan mentah sudah dipanen sebelum waktunya
• Buah matang tidak sempurna
• Brondolan tidak bersih dikutip
• Syarat-syarat dan peraturan panen lainnya tidak dipenuhi (Lampiran 3)
(Risza, 1994)
2.2 Landasan Teori
Struktur pasar pada saluran pemasaran TBS dapat dipengaruhi oleh
demand (permintaan), dan supply (penawaran), dan juga jumlah pembeli dan
penjual, hal ini dapat juga mempengaruhi harga di pasaran. Dengan adanya
jumlah pembeli yang banyak maka pembeli tidak akan bisa mempengaruhi harga,
tetapi sebaliknya jika jumlah pembeli sedikit maka harga akan dapat ditentukan
oleh pembeli. Harga merupakan salah satu variabel yang merupakan cerminan
dari interaksi penawaran dan permintaan yang bersumber dari sektor rumah
tangga maupun industri.
Hukum permintaan menyatakan bahwa makin rendah harga suatu barang
maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin
tinggi harga suatu barang maka makin sedikit permintaan terhadap barang
tersebut. Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa makin tinggi
harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh
para penjual. Sebaliknya makin rendah harga suatu barang, semakin sedikit
Oleh karena jumlah pembeli yang sedikit di dalam pasar, maka penentuan
harga dapat dikuasainya. Oleh sebab itu, jumlah pembeli yany sedikit dipandang
sebagai penentu harga atau price setter. Dengan mengadakan pengendalian ke
atas jumlah barang yang ditawarkan, pembeli dapat menentukan harga pada
tingkat yang dikehendakinya (Sukirno, 2002).
Interaksi antara pembeli dan penjual di pasar akan menentukan tingkat
harga barang yang wujud di pasar dan jumlah barang yang akan diperjualbelikan
di pasar. Teori permintaan menerangkan tentang sifat permintaan para pembeli
terhadap suatu barang. Sedangkan teori penawaran menerangkan sifat para
penjual dalam menerangkan suatu barang yang akan dijualnya. Dengan
menggabungkan permintaan oleh pembeli dan penawaran oleh penjual maka
dapat ditunjukkan bagaimana harga keseimbangan atau harga pasar dan jumlah
barang yang akan diperjualbelikan (Samuelson, 1986).
Di dalam teori ekonomi mikro disebut bahwa peran pemerintah adalah
sebagai stabilitator harga di dalam suatu ekonomi. Apabila terjadi kelebihan
permintaan di pasar sehingga harag dari barang bersangkutan meningkat, maka
pemerintah melakukan intervensi dengan cara menambah supply di pasar
tersebut; sebaliknya, jika terjadi kelebihan stok sehingga harganya jatuh,
pemerintah ikut bermain di pasar sebagai pembeli (Tambunan, 2003).
Kebijaksanaan mengenai harga merupakan wewenang pemerintah yang
diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan pejabat berwenang, seperti
surat keputusan menteri atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu.
Kebijaksanaan diambil dengan tujuan untuk melindungi petani dan menstabilkan
Campur tangan pemerintah dalam rantai tata niaga dilakukan karena
adanya ketidaksempurnaan pasar yang merugikan produsen atau konsumen.
Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, campur tangan pemerintah
masih dilakukan terhadap komoditi yang dianggap strategis. Campur tangan
pemerintah harus dilakukan secara hati-hati agar tidak sampai berakibat
ketidakstabilan atau kerugian bagi para pelaku pasar. Campur tangan pemerintah
tersebut diwujudkan dalam bentuk kebijakan (Amang dan Chrisman, 1995).
2.3 Kerangka Pemikiran
Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, pengetahuan tentang
kelembagaan Permentan tentang ketentuan penetapan harga pembelian TBS
kelapa sawit produksi petani merupakan suatu hal yang penting. Rumus harga
pembelian TBS kelapa sawit produksi petani diberlakukan terakhir kalinya
melalui penetapan Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005. Peraturan ini
dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan
pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit produksi petani. Tujuan
peraturan ini untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar dari
TBS kelapa sawit produksi petani.
Kebijakan pemerintah dalam menentukan harga TBS akan mempengaruhi
kemampuan petani kelapa sawit untuk berproduksi. Namun demikian, sebagian
petani merasakan tingkat harga tersebut bermasalah dan belum sesuai dengan
yang diinginkan.
Untuk mengetahui masalah harga TBS produksi petani, maka perlu diteliti
faktor-faktor yang mempengaruhinya berdasarkan Kebijakan Harga Pembelian
TBS (antara lain faktor K, harga CPO dan Inti, rendemen CPO dan Inti) serta
agen pengumpul / PKS (antara lain diperkirakan dari penggunaan kredit, jenis
bibit, umur tanaman, mutu panen). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi
pembentukan harga TBS.
Nilai harga TBS terbentuk berdasarkan perhitungan di lapangan dan
berdasarkan kebijakan rumus harga pembelian TBS. Apabila nilai harga TBS
berdasarkan perhitungan di lapangan sesuai dengan nilai harga TBS berdasarkan
kebijakan rumus harga pembelian TBS, maka tingkat harga tidak memiliki
perbedaan (sudah relatif tinggi). Dan apabila nilai harga TBS berdasarkan
perhitungan di lapangan tidak sesuai dengan nilai harga TBS berdasarkan
kebijakan rumus harga pembelian TBS, maka perlu diketahui penyebab
permasalahannya.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka disusunlah suatu skema kerangka
Adanya pengaruh
Tingkat kesesuain
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Petani Kelapa
Sawit Rakyat
Harga TBS berdasarkan yang diterima
oleh petani rakyat Harga TBS
berdasarkan Kebijakan Rumus Harga Pembelian TBS Faktor-faktor yang
mempengaruhi :
• Indeks proporsi K
• Harga CPO
• Rendemen CPO
• Harga IS
• Rendemen IS
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Sesuai (Tidak ada perbedaan) Tidak sesuai
(Ada perbedaan)
Penyebab perbedaan
2.4 Hipotesis Penelitian
1. Ada beda antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan
Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani
rakyat.
2. Ada beda antara indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah
berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang
METODE PENELITIAN
Metode Penentuan Daerah Penelitian
Daerah penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu di Kabupaten
Labuhan Batu. Adapun dasar pertimbangan penetapan Kabupaten ini sebagai
kabupaten penelitian karena kabupaten tersebut merupakan sentra perkebunan
kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara (Tabel 1).
Tabel 1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit
Kabupaten Luas Lahan (ha)
1. Asahan 38,746
2. Deli Serdang 9,629
3. Labuhan Batu 85,527
4. Langkat 24,438
5. Mandailing Natal 10,400
6. Pakpak Barat 1,260
7. Serdang Bedagai 50,057
8. Simalungun 24,902
9. Tapanuli Selatan 57,744
10. Toba Samosir 1,279
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2007
Metode Penentuan Sampel
Sampel diambil dengan metode penelusuran (Accedental), yaitu metode
yang pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti
langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel.
sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 30 sampel petani kelapa sawit,
karena bagaimanapun bentuk populasinya teori penarikan sampel menjamin akan
diperolehnya hasil yang memuaskan. Untuk penelitian yang menggunakan
analisis statistik, ukuran sampel paling minimum 30. Selain itu, merode ini
digunakan karena keterbatasan waktu dan biaya dalam penelitian
(Walpole, 1992).
Metode Pengumpulan Data a. Data Primer
Data petani kelapa sawit akan diperoleh melalui wawancara (interview)
dengan berpedoman pada kuisioner yang terstruktur, yang mana sampel atau
responden memberikan jawaban berdasarkan pilihan yang tersedia dalam
kuisioner. Selain itu, peneliti juga melakukan pengamatan langsung terhadap
objek studi. Data-data primer yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :
• Karakteristik petani kelapa sawit, yang mencakup umur dan tingkat
pendidikan petani.
• Deskripsi usaha tani, yang mencakup lama bertani, luas lahan, rentang
umur tanaman, dan persentase tanaman menghasilkan petani.
• Petani responden dan jenis bibit
• Petani responden dan kredit
• Data pembentukan harga TBS ditingkat petani
b. Data Sekunder
tingkat propinsi maupun daerah sel, serta bahan-bahan yang telah diterbitkan
berupa hasil penelitian terdahulu.
Data-data skunder yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :
• Data harga TBS Sumatera Utara
• Data rendemen TBS/CPO Sumatera Utara
• Data Indeks Proporsi (K) Sumatera Utara
• Data yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di
pasar TBS.
Metode Analisis Data
Untuk menguji hipotesis (1) dan (2), digunakan analisa deskriptif dan analisa
uji-t populasi berpasangan pada tingkat petani untuk mengetahui kesesuaian
antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga
Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat (hipotesis 1) serta
perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus
Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima petani (hipotesis 2)
Rumus harga pembelian yang digunakan adalah sebagai berikut:
Htbs
K = x 100% (Hms X Rms) + (His X Ris)
dimana :
Htbs = nilai TBS di pabrik.
Hcpo = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal minyak
Hi = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal inti sawit.
Rcpo = rendemen minyak sawit kasar.
Ris = rendemen inti sawit.
Tertimbang maksudnya disini adalah jumlah atau total yang diperoleh
berdasarkan kenyataan yang sebenarnya (PERMENTAN, 2005).
Uji-t berpasangan (paired t-test) adalah salah satu metode pengujian
hipotesis dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang
paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek
penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda (Walpole, 2002).
Rumus uji beda rata-rata (t-hitung) :
(
)
(
)
+
−
+
+
−
−
−
=
2 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 11
1
2
1
1
n
n
n
n
s
n
s
n
x
x
th
HO = µ1 = µ2
H1 = µ1 ≠ µ2
Untuk Hipotesis (1), dimana :
x1 = rata-rata harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian
x2 = rata-rata harga TBS yang diterima oleh petani
n1 = jumlah sampel variabel 1
n2 = jumlah sampel variabel 2
Kriteria uji :
t-hitung ≤ t-table ... HO diterima (H1 ditolak)
Keterangan :
HO = tidak ada perbedaan rata-rata harga TBS berdasarkan yang diterima
petani dengan harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian
H1 = ada perbedaan rata-rata harga TBS berdasarkan yang diterima petani
dengan harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian
Untuk identifikasi masalah (3) dan (4) dianalisis secara deskriptif berdasarkan
data sekunder dan fakta-fakta yang terjadi. Penelitian deskriptif terbatas pada
usaha mengungkapkan masalah, keadaan, atau peristiwa sebagaimana adanya
(Wirartha, 2006).
• Untuk masalah (3) digunakan analisa deskriptif untuk mengidentifikasi
penyebab harga TBS produksi petani rendah.
• Untuk masalah (4) digunakan analisa deskriptif untuk mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya
dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya.
Definisi dan Batasan Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka dibuat
definisi dan batasan operasional sebagai berikut :
a. Definisi
1. Petani adalah perkebunan rakyat yang mengusahakan kelapa sawit yang
sudah berproduksi.
2. Harga TBS dilapangan adalah harga di tingkat petani.
3. Harga pembelian TBS adalah harga TBS berdasarkan kebijakan
4. Rendemen TBS adalah rendemen TBS produksi petani rakyat.
5. Jenis bibit adalah bibit kelapa sawit yang berkualitas maupun yang tidak
berkualitas.
6. Umur tanaman adalah umur kelapa sawit produksi petani rakyat.
7. Periode produktif adalah periode umur tanaman kelapa sawit yang telah
dapat menghasilkan.
8. Tanaman menghasilkan adalah tanaman kelapa sawit yang telah
menghasilkan / memproduksi TBS.
b. Batasan Operasional
1. Daerah penelitian adalah Kabupaten Labuhan Batu.
2. Sampel dalam penelitian ini adalah petani kelapa sawit yang ada di
Kabupaten Labuhan Batu.
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
DAN KARAKTERISTIK SAMPEL
4.1 Deskripsi Daerah Penelitian 4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis
Penelitian di lakukan di Kabupaten Labuhan Batu yang terdiri dari 9
Kecamatan dan 98 Desa/Kelurahan Definitif dan merupakan bagian dari Propinsi
Sumatera Utara. Kabupaten Labuhan Batu terletak antara 1°41’ - 2°44’ LU dan
99°33’ - 100°22’ BT, serta berada pada ketinggian 0 – 2.151 meter di atas
permukaan laut, dan menempati area seluas 256.138 Ha yang Adapun batas
administratif Kabupaten Labuhan Batu adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten Labuhan
Batu Utara.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan
Kabupaten Padang Lawas Utara.
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Utara.
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau.
Selama tahun 2008, rata-rata hari hujan di Kabupaten Labuhan Batu
sebanyak 12,75 hari per bulan dengan rata-rata curah hujan 329 mm.
4.1.2 Keadaan Penduduk.
a. Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Labuhan Batu (Sesudah Pemekaran)
Untuk tahun 2008 berdasarkan hasil proyeksi Sensus Penduduk 2000,
penduduk Kabupaten Labuhan Batu (setelah pemekaran) sebanyak 409.097jiwa
golongan umur dan jenis kelamin penduduk di Kabupaten Labuhan Batu dapat
[image:35.595.127.553.155.319.2]dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kelompok Umur
(tahun)
Penduduk (jiwa)
Persentase Laki-laki Perempuan Jumlah
0 – 14 86.452 85.301 171.753 41,98
15 – 54 108.594 108.328 216.922 53,02
≥ 55 11.137 9.285 20.422 5
Jumlah 206.183 202.914 409.097 100
Sumber : BPS, Labuhan Batu Dalam Angka 2009 (Sesudah Pemekaran)
Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Labuhan Batu
pada tahun 2008 sebesar 409.097 orang. Data tabel di atas juga menunjukkan
jumlah usia non produktif bayi, balita, anak-anak, dan remaja (0 – 14 tahun)
sebesar 171.753 jiwa (41,98 %). Adapun jumlah usia manula (>55 tahun) adalah
sebesar 20.422 jiwa (5 %). Sedangkan jumlah usia produktif (15 – 54 tahun)
adalah sebesar 216. 922 jiwa (53, 02 %). Usia produktif adalah usia dimana orang
memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga dapat menghasilkan barang dan jasa
dengan efektif. Dari data tersebut juga menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga
b. Penduduk menurut Lapangan Pekerjaan (Sebelum Pemekaran)
Lapangan pekerjaan di Kabupaten Labuhan Batu dibedakan atas 9 sektor
[image:36.595.134.567.186.434.2]sebagai berikut :
Tabel 3. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja dan Lapangan Pekerjaan Utama
Lapangan Pekerjaan Jumlah
Penduduk (jiwa) Persentase
1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan
239.428 60,32
2. Pertambangan dan Penggalian 251 0,06
3. Industri Pengolahan 22.213 5,59
4. Listrik, Gas, dan Air Minum 207 0,05
5. Konstuksi 9.219 2,32
6. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel
60.745 15,3
7.
Transportasi, Pergudangan, &
Komunikasi 27.064 6,81
8. Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Tanah, dan Jasa Perusahaan
3.615 0,91
9. Jasa Kemasyarakatan 34.177 8,61
Jumlah 396.919* 100
Sumber : BPS, Labuhan Batu Dalam Angka 2009 (keadaan sebelum pemekaran) Ket. * : Jumlah penduduk sebelum pemekaran Kabupaten Labuhan Batu
Tabel 3 menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan Kabupaten Labuhan
Batu (sebelum pemekaran) yang paling banyak jumlah penduduknya adalah
lapangan pekerjaan di sektor Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan
sebesar 239.428 jiwa (60,32 %), sedangkan yang paling sedikit adalah di sektor
Listrik, Gas, dan Air Minum sebesar 207 jiwa (0,05 %). Data tersebut juga
menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk Kabupaten Labuhan Batu yang
c. Penduduk menurut Jenjang Tingkat Pendidikan
Penduduk Kabupaten Labuhan Batu menurut tingkat pendidikan terdiri
dari jumlah murid SD, SLTP, dan SLTA. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai
tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Labuhan Batu dapat dilihat pada Tabel 4
[image:37.595.128.550.242.347.2]berikut.
Tabel 4. Penduduk menurut Jenjang Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah Murid (jiwa)
Persentase thd Jumlah (%)
1. SD 146.643 73,9
2. SLTP 34.138 17,2
3. SLTA 17.658 8,9
Jumlah 198.439 100
Sumber : BPS, Labuhan Batu Dalam Angka 2009
Tabel 4 menunjukkan bahwa jenjang pendidikan penduduk Kabupaten
Labuhan Batu paling besar berada pada tingkat SD sebesar 146.643 jiwa (73,9
%). Pada tingkat SLTP adalah sebesar 34.643 jiwa (17,2 %). Sedangkan pada
tingkat SLTA merupakan yang terendah, yaitu sebesar 17.658 jiwa (8,9 %).
d. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan
masyarakat. Semakin baik sarana dan prasarana akan mempercepat laju
pembangunan. Sarana dan prasarana di Kabupaten Labuhan Batu sekarang ini
termasuk baik. Hal ini dapat dilihat dari jenis-jenis sarana dan prasarana yang
tersedia, baik dari sarana pendidikan, sarana kesehatan, fasilitas peribadatan, dan
fasilitas angkutan yang sudah cukup memadai jumlahnya (Lampiran xx). Namun
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai sarana dan prasarana di Kabupaten
Labuhan Batu dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Jalan merupakan sarana yang sangat penting untuk memperlancar
kegiatan perekonomian. Sarana jalan yang baik dapat meningkatkan mobilitas
penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu tempat ke tempat lain.
Dari Tabel 5, kondisi jalan di Kabupaten Labuhan Batu perlu mendapat perhatian
yang serius, karena 45,94 persen jalan kabupaten ada dalam keadaan rusak dan
rusak berat (1.005.890 km). Sedangkan jalan dalam kondisi baik 48,55 persen
[image:38.595.129.532.142.242.2](1.063.100 km) dan sisanya 5,51 persen lagi dalam keadaan sedang (120.660 km). Tabel 5. Prasarana Jalan
Prasarana Jalan Jumlah (Km)
Jalan
a. Jalan baik 1.063.100
b. Jalan sedang 120.660
c, Jalan rusak dan rusak berat 1.005.890
4.2 Karakteristik Sampel Penelitian
Karakteristik petani kelapa sawit responden yang akan dibahas adalah
meliputi : penggunaan jenis bibit, penggunaan pinjaman modal (kredit),
mekanisme penjualan TBS, serta lama bertani, usia tanaman, luas lahan, dan
jumlah produksi yang dimiliki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut.
4.2.1 Petani Sampel menurut Penggunaan Jenis Bibit
Karakterisitik petani sampel menurut penggunaan jenis bibit di Kabupaten
[image:39.595.125.531.341.426.2]Labuhan Batu dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 6. Petani Kelapa Sawit Rakyat menurut Penggunaan Jenis Bibit
Penggunaan Jenis Bibit
Jumlah (Jiwa)
Persentase thd Jumlah (%)
1. Marihat 28 93,33
2. Lainnya 2 6,67
Jumlah 30 100
Sumber : Data diolah dari Lampiran 5
Dari Tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa penggunaan jenis bibit petani
sampel di Kabupaten Labuhan Batu pada umumnya di dominasi oleh jenis bibit
Marihat yakni sebanyak 28 jiwa atau 93,33 % dari total petani sampel. Sedangkan
penggunaan jenis bibit lainnya yakni sebanyak 2 jiwa atau 6,67 % dari total
petani sampel.
4.2.2 Petani Sampel menurut Pinjaman Modal (kredit)
Karakterisitik petani sampel menurut pinjaman modal (kredit) di Kabupaten
Tabel 7. Petani Kelapa Sawit Rakyat menurut Pinjaman Modal (kredit)
Pinjaman Modal (kredit)
Jumlah (Jiwa)
Persentase thd Jumlah (%)
1. Ada 18 60
2. Tidak ada 12 40
Jumlah 30 100
Sumber : Data diolah dari Lampiran 6
Dari Tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa pinjaman modal (kredit) petani
sampel di Kabupaten Labuhan Batu pada umumnya dimanfaatkan oleh petani
yakni sebanyak 18 jiwa atau 60 % dari total petani sampel. Sedangkan yang tidak
menggunakan pinjaman modal (kredit) yakni sebanyak 12 jiwa atau 40 % dari
total petani sampel.
4.2.3 Petani Sampel menurut Mekanisme Penjualan TBS
Karakterisitik petani sampel menurut mekanisme penjualan TBS di Kabupaten
Labuhan Batu dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 8. Petani Kelapa Sawit Rakyat menurut Mekanisme Penjualan TBS
Mekanisme Penjualan TBS
Jumlah (Jiwa)
Persentase thd Jumlah (%)
1. Agen 10 33,33
2. Lainnya 20 66,67
Jumlah 30 100
Sumber : Data diolah dari Lampiran 7
Dari Tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa mekanisme penjualan TBS di
Kabupaten Labuhan Batu pada umumnya di dominasi oleh penjualan ke agen
yakni sebanyak 10 jiwa atau 33,33 % dari total petani sampel. Sedangkan
mekanisme penjualan TBS lainnya yakni sebanyak 20 jiwa atau 66,67 % dari
[image:40.595.126.572.502.586.2]4.2.4 Petani Sampel menurut Lama Bertani, Usia Tanaman, Luas Lahan, dan Jumlah Produksi
Karakterisitik petani sampel menurut lama bertani, usia tanaman, luas lahan, dan
[image:41.595.128.517.198.286.2]jumlah produksi yang dimiliki, dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 9. Karakteristik sampel
Jenis Satuan Range Rataan
1 Lama bertani Tahun 4 − 30 12,51
2 Usia Tanaman Tahun 0 − 25 12,5
3 Luas lahan Ha 0,4 − 80 5,78
4 Produksi Ton 0,25 − 100 6,61
Sumber : Data diolah dari Lampiran 4 & 7
Dari Tabel 9 terlihat bahwa rentang lama bertani dari setiap petani adalah
4 – 30 tahun, dengan rataan sebesar 12,51 tahun, menunjukkan pengalaman yang
dimiliki oleh petani sudah cukup banyak dan layak untuk dimintai keterangan.
Sementara usia tanaman petani responden yang paling rendah adalah 0 tahun dan
paling tinggi adalah 25, dimana usia tanaman rata-rata adalah 12,50 tahun. Dan
untuk luas lahan memiliki rentang antara 0,4 – 80 Ha dengan rataan sebesar
5,78 Ha. Mengenai produksi kelapa sawit petani sampel cukup bervariasi antara
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Usahatani Kelapa Sawit Rakyat
Di daerah penelitian Kabupaten Labuhan Batu, tidak satupun dari
30 petani sampel yang tercatat sebagai peserta PIR. Namun demikian, tidak
berarti bahwa petani tidak lagi membutuhkan pinjaman modal dari pihak lain.
Jika dulu sebagai peserta PIR petani mendapatkan pinjaman modal untuk
pembelian input, maka sekarang sebagai alternatif petani mendapatkannya dari
para agen. Tercatat 18 petani (sekitar 60 %) masih membutuhkan pinjaman dalam
menjalankan usahanya dan 10 diantaranya (sekitar 56 % dari total petani yang
memanfaatkan kredit) mendapatkannya dari agen tempat mereka menjual hasil
panennya. Yang lainnya mendapatkan kredit dari bank atau koperasi
(Lampiran 6).
Hubungan pinjam meminjam dengan agen tersebut mempengaruhi
keputusan petani dalam menjual hasil panennya. Hampir 34 % dari total
responden (10 dari 30 responden) menjual hasil panennya ke agen. Walaupun
masih terjadi tawar menawar harga, tetapi biasanya penetapan harga cenderung
dimonopoli oleh agen. Keterbatasan finansial petani pekebun sawit ini juga
terlihat dari luas lahan mereka yang relatif kecil untuk ukuran kebun sawit
berskala ekonomis. Rata-rata luas lahan petani responden lebih kurang 5,78 ha,
dengan skala terkecil tidak sampai 0,5 ha dan yang terluas mencapai 80 ha.
Banyak dari usahatani tersebut semula merupakan usahatani sawah. Alasan
mereka beralih ke kelapa sawit bervariasi, mulai dari penghasilan usahatani padi
sawah yang dianggap sangat rendah, tanaman sawah lebih rentan terhadap
tabungan masa tua, atau pendapatan dari kelapa sawit dianggap lebih tinggi
dibandingkan dengan pendapatan dari usahatani padi sawah
(Lampiran 7).
Usia tanaman sawit di perkebunan rakyat tersebut bervariasi. Ada petani
yang baru mulai terjun dalam usaha tani ini, yang dapat dilihat dari lamanya
berusahatani selama 4 tahun. Namun demikian ada juga yang sudah menekuninya
lebih dari 1 siklus tanaman kelapa sawit (>20-25 tahun), bahkan ada yang telah
mencapai 30 tahun. Secara rata-rata, pada saat wawancara dilakukan, umumnya
petani telah berusaha hampir selama 12,5 tahun. Walaupun banyak juga petani
yang telah meremajakan tanamannya, tetapi umumnya komposisi tanaman yang
mereka miliki lebih banyak didominasi oleh tanaman dalam periode produktif,
dengan rata-rata 90,73 % dari total luas areal mereka merupakan tanaman
menghasilkan (Lampiran 4).
Di daerah penelitian, umumnya petani menggunakan bibit yang
dikeluarkan oleh Marihat (93 %), tetapi ada juga yang menggunakan varietas
Socfindo, Dura, dan Tenera (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5).
Namun demikian, perlu dicatat bahwa banyak bibit Marihat yang digunakan
petani bukanlah merupakan bibit yang telah disertifikasi oleh Marihat.
Kebanyakan hanya mengambil bijinya dari perkebunan negara dan
membibitkannya sendiri. Dengan demikian, kualitas bibit tersebut tidak dapat
dikatakan sama dengan kualitas yang dikeluarkan oleh pembibitan marihat. Di
samping varietas bibit, kegiatan melangsir buah juga dapat menentukan pada
kualitas minyak yang akan diperoleh. Untuk petani responden, alat yang sering
Namun demikian, hingga pada saat penelitian dilakukan, PKS masih
menerima TBS dari petani karena pada umumnya PKS tidak dapat memenuhi
kapasitas produksinya dari kebun sendiri, terutama pada saat panen sedikit (track)
atau saat kebun millik sendiri sedang dalam proses replanting. Berbeda dengan
agen, PKS hanya menerima TBS yang memenuhi kriteria terutama dari tingkat
kematangannya.
Periode track dan kualitas TBS tersebut pada akhirnya menentukan tinggi
rendahnya harga beli yang ditawarkan PKS. Hasil observasi menunjukkan bahwa
terjadi fluktuasi harga yang cukup signifikan. Harga terendah dapat mencapai
Rp 300,-/kg, sedangkan harga tertinggi sebesar Rp 1.600,-/kg. Banyak faktor
yang mempengaruhi fluktuasi harga tersebut (Lampiran 7).
5.2 Kesesuaian antara Harga TBS yang Ditetapkan Pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan Harga TBS yang Diterima oleh Petani Rakyat
Penetapan harga TBS kelapa sawit produksi petani dan faktor “K”
dilakukan secara periodik seminggu sekali, yang didasarkan pada harga yang
diperoleh dari Pusat Pemasaran Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara,
GAPKI, dan harga pasar. Dikarenakan penelitian ini dilakukan pada bulan Juli
2009, maka tingkat harga hanya berdasarkan harga rata-rata petani pada bulan
tersebut.
Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa tingkat harga yang
diterima masing-masing petani berbeda-beda. Dan dari 30 sampel petani, tidak
ada satupun petani yang menerima harga TBS sesuai dengan harga pembelian
Untuk mengetahui harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta
kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan PERMENTAN, dapat
[image:45.595.131.532.167.286.2]dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat
Keterangan Satuan Range Rataan
1 Harga pembelian TBS berdasarkan
Rumus Harga Pembelian* Rp. 1.132,25 - 1,239,12 1.173,23 2 Harga pembelian TBS yang
diterima oleh petani Rp. 820 - 1.150 955,33
Selisih harga Rp. 217,90
Persentase perubahan % 18,56
Ket. * : Harga rata-rata pada periode Juli 2009 Sumber : Data di olah dari Lampiran 9
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa selisih yang cukup signifikan terjadi
pada harga pembelian TBS yang benar-benar diterima petani dibandingkan harga
pembelian TBS berdasarkan Kebijakan. Rata-rata persentase perubahan sebesar
18,56 % dengan kisaran selisih harga terendah pada 1,98 % dan tertinggi pada
30,10 %. HargaTBS petani tertinggi yang mendekati harga pembelian TBS
pemerintah adalah Rp 1.150,00/kg, sedangkan yang terendah adalah
Rp 820,00/kg, dengan selisih sebesar Rp. 217,90/kg. Dan untuk harga rata-rata
dari 30 petani sampel, hanya mencapai Rp 955,33/kg dengan persentase
perubahan sebesar 18,56 %.
Untuk mengetahui perbedaan harga pembelian TBS yang diterima oleh
petani serta kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan
Tabel 11. Hasil Uji Beda Rata-rata harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan
No Uraian N
Rata-rata Indeks Proporsi "K"
t-hit df Tingkat Signifikansi
1 Harga pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian
30 1.173,23
12.698 29 .000
2 Harga pembelian TBS yang diterima oleh petani
30 955,33
Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 12a, 12b, 12c)
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa terjadi perbedaan Rata-rata harga
pembelian TBS yang diterima oleh petani serta kesesuaiannya dengan harga
pembelian TBS berdasarkan kebijakan yaitu sebesar 18,56 %. Dan untuk
mengetahui apakah harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta harga
pembelian TBS berdasarkan kebijakan tersebut berbeda nyata atau tidak, maka
dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan, dan didapat hasilnya
seperti pada Tabel 11.
Dari Tabel 11. terlihat bahwa nilai tingkat signifikansi harga pembelian
TBS yang diterima oleh petani dan harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan
adalah sebesar 0,000. Karena tingkat signifikansinya 0,000 < 0,005, ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara harga
pembelian TBS yang diterima oleh petani dengan harga pembelian TBS
berdasarkan kebijakan.
Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-hitung. Dari Tabel 11.
diperoleh nilai t-hitung sebesar 12,698, dan dari tabel distribusi t didapati t-tabel
sebesar = 2,045. Maka terdapat perbedaan antara harga pembelian TBS yang
[image:46.595.129.533.125.276.2]t-hitung > t-tabel (12.698 > 2,045). Dengan demikian hipotesis awal (H0) ditolak,
dan hipotesis alternatif (H1) diterima.
Dengan melihat perbandingan harga TBS yang ditetapkan pemerintah
berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh
petani rakyat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat kesesuaian
harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian
dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat. Hal ini disebabkan oleh
faktor perbedaan indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh
setiap petani kelapa sawit dibandingkan dengan indeks proporsi “K” berdasarkan
Rumus Harga Pembelian TBS
5.3 Perbedaan Indeks Proporsi (K) yang Ditetapkan Pemerintah Berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan Indeks Proporsi (K) Hasil Perhitungan di Lapangan
Indeks proporsi “K” menunjukan bagian yang diterima oleh pekebun,
dinyatakan dalam persentase (%). Penetapan indeks “K” dilakukan berdasarkan
harga penjualan, biaya pengolahan dan pemasaran minyak sawit kasar dan inti,
serta biaya penyusutan.
Untuk menghitung besarnya besarnya indeks K digunakan rumus sebagai berikut:
Htbs
K = x 100% (Hms X Rms) + (His X Ris)
dengan pengertian:
Htbs = nilai TBS di pabrik.
Hcpo = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal minyak
sawit kasar (harga FOB bersih).
Rcpo = rendemen minyak sawit kasar.
Ris = rendemen inti sawit.
Dengan menggunakan rumus itu maka diperoleh indeks proporsi “K”
[image:48.595.133.522.195.317.2]untuk masing-masing petani kelapa sawit seperti dalam Tabel 12. berikut :
Tabel 12. Nilai Indeks Proporsi "K" Petani Periode Juli 2009
Keterangan Rentang Rataan
1 Indeks Proporsi "K" Berdasarkan
Rumus Harga Pembelian* 84,00 - 84,50 84,11 2 Indeks Proporsi "K" Berdasarkan
Harga TBS yg Diterima petani 58,77 - 82,42 68,47
Selisih 15,64
Persentase perubahan 18,58
Ket. * : Indeks rata-rata pada periode Juli 2009
Sumber : Data diolah dari Lampiran 10
Dari Tabel 12. dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang cukup
signifikan pada indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh
setiap petani kelapa sawit dibandingkan dengan indeks proporsi “K” berdasarkan
Rumus Harga Pembelian TBS, dengan rata-rata perbedaannya adalah sebesar
18,58 %. Rata-rata indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima
oleh setiap petani kelapa sawit adalah sebesar 68,47 %, sehingga terjadi
perbedaan sebesar 15,64 (18,58 %) yang merupakan jumlah yang cukup besar.
Kisaran selisih terkecil sebesar 2,00 % pada petani kelapa sawit ke-22 yaitu
sebesar 82,42, dan kisaran selisih terbesar sebesar 30,12 % pada petani kelapa
sawit ke-19, 23, dan 30, yaitu sebesar 58,77.
Untuk mengetahui perbedaan indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS
yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K”
Tabel 13. Hasil Uji Beda Rata-rata indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS
No Uraian N
Rata-rata Indeks Proporsi "K"
t-hit df Tingkat Signifikansi
1 Indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS harga TBS
30 84,11
12.717 29 .000 2
Indeks proporsi “K” yang diterima oleh setiap petani
30 68,47
Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 13a, 13b, 13c)
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa terjadi perbedaan rata-rata indeks
proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa
sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS yaitu
sebesar 18,58 %. Dan untuk mengetahui apakah indeks proporsi “K” berdasarkan
harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K”
berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS tersebut berbeda nyata atau tidak,
maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan, dan didapat
hasilnya seperti pada Tabel 13.
Dari Tabel 13. terlihat bahwa nilai tingkat signifikansi indeks proporsi
“K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan
indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS adalah sebesar
0,000. Karena tingkat signifikansinya 0,000 < 0,005, ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara indeks proporsi “K” berdasarkan
harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K”
Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-hitung. Dari Tabel 12.
diperoleh nilai t-hitung sebesar 12,717, dan dari tabel distribusi t didapati t-tabel
sebesar = 2,045. Maka terdapat perbedaan antara indeks proporsi “K”
berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks
proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS, karena t-hitung >
t-tabel (12.717 > 2,045). Dengan demikian hipotesis awal (H0) ditolak, dan
hipotesis alternatif (H1) diterima.
Dengan melihat perbandingan indeks proporsi “K” yang ditetapkan
pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi “K”
yang diterima oleh petani rakyat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat kesesuaian indeks proporsi “K” yang ditetapkan pemerintah berdasarkan
Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi “K” yang diterima oleh petani
rakyat. Hal ini disebabkan oleh faktor perbedaan harga TBS berdasarkan yang
diterima oleh setiap petani kelapa sawit dibandingkan dengan harga TBS
berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS
5.4 Penyebab Harga TBS Produksi Petani Rendah Berdasarkan Rumus Harga Pembelian
Dengan kelembagaan PERMENTAN yang jelas, sangat penting untuk
memperkirakan beberapa penyebab terjadinya harga TBS rendah. Beberapa
penyebab dimaksud terjadi karena adanya masalah yang melibatkan salah satu
atau berbagai pihak yang berkepentingan terhadap harga TBS. Mekanisme yang
terjadi di lapangan juga menunjukkan kenyataan berkurangnya rasa memiliki
Beberapa penyebab dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:
i. Harga TBS yang wajar bagi petani telah distorsi oleh berbagai kepentingan,
seperti kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup petani, termasuk
didalamnya untuk memperoleh surplus berlebih, kepentingan perusahaan
maupun agen pengumpul untuk memperoleh keuntungan berlebih,
kepentingan perusahaan untuk mengatasi tekanan biaya, dan lain-lain.
ii. Penurunan harga CPO ataupun harga Kernel (inti sawit)
Sementara perusahaan inti ingin mendapatkan keuntungan. Jika hal di atas
terjadi , perusahaan inti tidak akan mau mengurangi keuntungannya.
Selanjutnya hal yang terjadi di lapangan adalah penurunan harga TBS yang
akan diterima petani sehingga biaya pengolahan yang dikeluarkan
perusahaan dapat dikatakan tidak mengalami banyak perubahan.
iii. Terdapat masalah dalam penentuan indeks “K”. Penetapan indeks K
dilakukan berdasarkan harga penjualan tertimbang minggu sebelumnya,
biaya pengolahan dan pemasaran minyak sawit kasar (CPO) dan inti sawit
(IS) serta biaya penyusutan perusahaan inti yang hanya diketahui oleh
perusahaan inti. Komponen biaya tersebut tidak dapat dikontrol oleh petani,
sementara biaya tersebut harus ditanggung oleh petani. Dengan kata lain,
bahwa pembebanan biaya tersebut yang besar akan memperkecil indeks K.
Indeks K yang kecil berarti harga TBS menjadi rendah, yang pada gilirannya
akan mempengaruhi keuntungan yang akan diterima petani. Perbuatan
manipulatif dari Perusahaan dan/atau Petani akan berdampak pada harga
TBS produksi petani. Keadaan tersebut tentunya menjadi permasalahan bagi
iv. Terdapat permasalahan dalam penentuan nilai rendemen. Penentuan
rendemen pabrik dalam penentuan nilai K sulit diketahui petani. Rendemen
yang rendah akan ditanggung oleh petani, padahal kemungkinan besar adalah
kesalahan pabrik. Penetapan rendemen dilakukan secara periodik setiap
harinya oleh perusahaan dengan pengambil sampel secar acak dari TBS yang
masuk. Adapun penetapan nilai rendemen berdasarkan hasil laboratorium
perusahaan inti. Hal inilah yang menyebabkan penentuan rendemen sulit
diketahui petani. Selain itu, rasa memiliki dari pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap kelembagaan penetapan harga TBS semakin
berkurang dan keadaan tersebut dimanfaatkan oleh salah satu pihak yang rasa
memilikinya dominan untuk menguasai dan menentukan aturan main.
Misalnya, perusahaan inti yang cenderung menetapkan nilai rendemen tanpa
diketahui pasti oleh petani kebenarannya, maupun produksi TBS petani yang
tidak sesuai dengan kualitas panen.
v. Tidak adanya perbedaan antar rendemen dengan umur tanaman. Harga TBS
yang ditetapkan berlaku umum berdasarkan umur tanaman. Tetapi kenyataan
di lapangan menunjukkan tidak adanya perbedaan antar rendemen dengan
umur tanaman. Rendemen yang ditetapkan perusahaan dilakukan secara acak
sehingga petani tidak mengetahuinya.
Sistem penetapan harga ini menghasilkan perbedaan harga antara harga yang
ditetapkan untuk semua umur tanaman dan perkiraan harga yang dapat terjadi
menurut umur tanaman (Lampiran 11.).
Secara umum dari Lampiran 11. dapat dilihat bahwa pada selang umur
tanaman 3 sampai 6 tahun dan 23 sampai 25 tahun perkiraan harga TBS lebih
umur tanaman 7 hingga 22 tahun, perkiraan harga TBS lebih tinggi
dibandingkan harga rata-rata yang berlaku. Hal ini berarti terdapat insentif
harga bagi petani yang tanaman kelapa sawitnya berumur 3 sampai dengan 6
tahun dan umur 23 hingga 25 tahun. Namun tidak terdapat insentif harga bagi
petani dengan komposisi umur tanamannya antara 7 hingga 22 tahun.
Permasalahan harga ini berkembang di lapangan karena pada kenyataannya
komposisi umur tanaman kelapa sawit petani umumnya berada pada selang
umur 7 hingga 22 tahun, dan dominan pada umur 10 hingga belasan tahun.
vi. Kenaikan harga input produksi. Jika resiko itu terjadi, maka perusahaan inti
bersikap bahwa persoalan tersebut harus ditanggung oleh petani sendiri.
Dengan demikian, keuntungan perusahaan inti akan selalu tetap tetapi
keuntungan petani tidak sesuai dengan kondisi yang diinginkan petani itu
sendiri.
Apabila berbagai penyebab di atas mengarah pada posisi
petani/Kelembagaan Petani lebih lemah dibandingkan posisi Perusahaan, maka
akan mengarah pada rendahnya harga TBS produksi petani. Keadaan ini akan
lebih mungkin terjadi manakala pihak Pemerintah yang tergabung dalam Tim
Penetapan Harga tidak menunjukkan pembelaan dan perlindungan terhadap
5.5 Permasalahan yang Dihadapi Petani Rakyat dan Solusinya dalam Kaitannya dengan Rendahnya Harga TBS yang Diterimanya.
Adapun kendala-kendala yang dihadapi petani beserta solusinya antara lain :
1. Masalah Harga
Harga yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga
Pembelian tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebagian petani merasakan
tingkat harga yang diterimanya belum memuaskan, karena mereka merasa
harga yang ditetapkan belum dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Solusi : Skenario reformasi harga pembelian TBS
Dalam uraian berikut diasumsikan bahwa hubungan kemitraan antara
petani dan perusahaan perkebunan dipercaya memberikan keuntungan
kepada petani maupun perusahaan perkebunan sebagai pihak-pihak yang
bermitra. Asumsi ini mengandung implikasi bahwa kelembagaan yang
terdapat dalam PERMENTAN dapat menjadi pegangan masing-masing pihak
yang bermitra.
Agar kelembagaan PERMENTAN dapat dipertahanka