• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI PETANI RAKYAT

(Studi Kasus : Kabupaten Labuhan Batu)

SKRIPSI

Oleh :

Wilson P.A. Pasaribu 050304049

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ANALISA HARGA PEMBELIAN TBS KELAPA SAWIT

PRODUKSI PETANI RAKYAT

(Studi Kasus : Kabupaten Labuhan Batu)

SKRIPSI

Oleh :

Wilson P.A. Pasaribu 050304049 SEP / AGRIBISNIS

Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melakukan

Penelitian di Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Diketahui oleh, Komisi Pembimbing

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc) (Ir. Diana Chalil, MSi, PhD)

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

ABSTRAK

WILSON PASARIBU : Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu, dibimbing oleh Bapak

Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc dan Ibu Ir. Diana Chalil, MSi. PhD.

Luas perkebunan rakyat di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut menunjukkan betapa berpengaruhnya keberadaan Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. Demikian halnya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, secara fisik terkesan menunjukkan adanya kemajuan yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan produksi kelapa sawit yang meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Namun demikian, luas areal dan produksi yang meningkat belum diikuti oleh kekuatan posisi petani perkebunan rakyat dalam mempengaruhi harga Tandan Buah Segar (TBS). Salah satu masalah yang belum dapat diatasi secara tuntas adalah penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah berdasarkan Rumus Harga Pembelian, serta untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya. Metode Penentuan Sampel yang digunakan adalah metode penelusuran (Accedental), yaitu metode yang pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel. Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif dan analisa uji-t populasi berpasangan pada tingkat petani.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : Ada beda antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, serta Ada beda antara indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan Sibolga pada tanggal 20 desember 1986 dari Bapak B.

Pasaribu, SH dan Ibu S. br. Guru Singa. Penulis merupakan anak kedua dari 3

bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMA RK Budi Mulia Pematangsiantar, dan

pada tahun yang sama masuk ke Fakulta Pertanian USU melalui jalur Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Agribisnis,

Departemen Agribisnis.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Mangan

Molih, Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi dari tanggal 15 Juni sampai 16

Juli 2009. Pada bulan Juli 2009 sampai Agustus 2009 melaksanakan penelitian

skripsi di Kabupaten Labuhan Batu.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat-Nya yang memberikan kesempatan dan kekuatan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Adapun judul penelitian ini adalah Analisa

Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat di Kabupaten Labuhan Batu,

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc selaku komisi

pembimbing ketua dan Ibu Ir. Diana Chalil, Msi, PhD selaku komisi pembimbing

anggota yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini dan

seluruh Staff Pengajar dan Pegawai Tata Usaha di Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara, Medan yang turut berperan dalam studi penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda tercinta B.

Pasaribu, SH dan Ibunda tercinta S. br. Guru Singa, serta kakak Elisa Pasaribu

dan Theresia Pasaribu, untuk dukungan semangat, materi dan doa yang diberi

pada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua sahabat penulis

yang tidak dapat disebutkan satu persatu disini, yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata Penulis berharap skripsi ini dapat

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Identifikasi Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Masalah ... 6

Landasan Teori ... 11

Kerangka Pemikiran ... 13

Hipotesis Penelitian ... 16

METODE PENELITIAN Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 17

Metode Penentuan Sampel ... 17

Metode Pengumpulan Data ... 18

Metode Analisis Data ... 19

Definisi dan Batasan Operasional ... 21

Definisi ... 21

Batasan Operasional... 22

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL Deskripsi Daerah Penelitian ... 23

Letak dan Keadaan Geografis ... 23

Keadaan Penduduk ... 23

(7)

Karakteristik Sampel Penelitian ... 28

Petani Sampel Menurut Penggunaan Jenis Bibit ... 28

Petani Sampel Menurut Pinjaman Modal (Kredit) ... 28

Petani Sampel Menurut Mekanisme Penjualan TBS ... 29

Petani Sampel Menurut Lama Bertani, Usia Tanaman, Luas Lahan, dan Jumlah Produksi ... 30

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakteristik Usaha Kelapa Sawit Rakyat ... 31

Kesesuaian antara Harga TBS yang Ditetapkan Pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Harga TBS yang Diterima Oleh Petani Rakyat ... 33

Perbedaan Indeks Proporsi “K” yang Ditetapkan Pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Indeks Proporsi “K” yang Diterima Oleh Petani Rakyat ... 36

Penyebab Harga TBS Produksi Petani Rendah Berdasarkan Rumus Harga Pembelian ... 39

Permasalahan yang Dihadapi Petani Rakyat dan Solusinya dalam Kaitannya dengan Rendahnya Harga TBS yang Diterimanya ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 50

Saran... 51

(8)

DAFTAR GAMBAR

(9)

DAFTAR TABEL

1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit ... 17

2. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin ... 24

3. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja dan Lapangan Pekerjaan Utama ... 25

4. Penduduk Menurut Jenjang Tingkat Pendidikan ... 26

5. Prasarana Jalan ... 27

6. Petani Sampel menurut Penggunaan Jenis Bibit ... 28

7. Petani Sampel menurut Pinjaman Modal (Kredit) ... 29

8. Petani Sampel menurut Mekanisme Penjualan TBS ... 29

9. Petani Sampel menurut Lama Bertani, Usia Tanaman, Luas Lahan, dan Jumlah Produksi ... 30

10. Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat ... 34

11. Hasil Uji Coba Rata-rata Harga Pembelian TBS yang Diterima Oleh Petani Seta Kesesuaiannya dengan Harga Pembelian TBS Berdasarkan Kebijakan ... 35

12. Metode Nilai Indeks Proporsi “K” Petani Periode Juli 2009 ... 37

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Persentase Luas Tanaman Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Status

Pengusahaan 2001-2006... 55

2. Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat 2003-2006... 56

3. Karakteristik Petani Kelapa Sawit Rakyat ... 57

4. Deskripsi Usaha Tani Rakyat ... 58

5. Petani Responden dan Jenis Bibit ... 59

6. Petani Responden dan Kredit ... 60

7. Pembentukan Harga TBS di Tingkat Petani ... 61

8. Daftar Harga TBS Tahun 2009 ... 63

9. Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat di Kab. Labuhan Batu ... 65

10. Nilai Indeks Proporsi “K” Petani Periode Juli 2009 ... 66

11. Harga TBS Kelapa Sawit Produksi Petani ... 67

12. Hasil Uji Coba Rata-rata Harga Pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS dengan Harga TBS yang Diterima Oleh Petani ... 70

(11)

ABSTRAK

WILSON PASARIBU : Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu, dibimbing oleh Bapak

Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc dan Ibu Ir. Diana Chalil, MSi. PhD.

Luas perkebunan rakyat di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut menunjukkan betapa berpengaruhnya keberadaan Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. Demikian halnya dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia, khususnya Sumatera Utara, secara fisik terkesan menunjukkan adanya kemajuan yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan produksi kelapa sawit yang meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Namun demikian, luas areal dan produksi yang meningkat belum diikuti oleh kekuatan posisi petani perkebunan rakyat dalam mempengaruhi harga Tandan Buah Segar (TBS). Salah satu masalah yang belum dapat diatasi secara tuntas adalah penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat, untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah berdasarkan Rumus Harga Pembelian, serta untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya. Metode Penentuan Sampel yang digunakan adalah metode penelusuran (Accedental), yaitu metode yang pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel. Metode analisa yang digunakan adalah analisa deskriptif dan analisa uji-t populasi berpasangan pada tingkat petani.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan : Ada beda antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat, serta Ada beda antara indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima oleh petani rakyat.

(12)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dari berbagai potensi sektor pertanian yang dimiliki Indonesia, khususnya

Sumatera Utara, sub sektor perkebunan merupakan salah satu potensi yang cukup

besar yang dimiliki daerah ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya perkebunan

yang lokasinya berada di dareah ini baik yang dimiliki oleh rakyat, Negara

(BUMN), dan swasta asing maupun nasional (PMA maupun PMDA). Dari

berbagai jenis perkebunan yang dikelola oleh rakyat di Sumatera Utara, komoditi

kelapa sawit adalah yang paling dominan.

Khusus untuk perkebunan rakyat, tujuan utama pengembangannya adalah

untuk mengangkat harkat hidup petani dan keluarganya dengan cara

meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani melalui pengembangan kebun..

Tujuan lainnya yang lebih luas lagi yaitu pembangunan masyarakat pekebun

yang berwiraswasta, sejahtera dan selaras dengan lingkungannya, dan

mewujudkan perpaduan usaha yang didukung oleh suatu sistem usaha dengan

memadukan berbagai kegiatan produksi pengolahan dan pemasaran hasil dengan

menggunakan perkebunan besar sebagai inti dalam suatu kerjasama yang saling

menguntungkan (Anonymous, dalam Mulyana, 2008).

Luas perkebunan rakyat di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan dari

tahun ke tahun. Peningkatan luasnya melebihi luas dari pengusahaan Perkebunan

Besar Negara maupun luas dari pengusahaan Perkebunan Besar Swasta.

Persentasenya yang mencapai hampir 35 % (Lampiran 1) menunjukkan betapa

berpengaruhnya keberadaan Perkebunan Rakyat di Sumatera Utara. Demikian

(13)

khususnya Sumatera Utara, secara fisik terkesan menunjukkan adanya kemajuan

yang menggembirakan. Hal ini ditandai dengan produksi kelapa sawit yang

meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun (Lampiran 2).

Namun demikian, luas areal dan produksi yang meningkat belum diikuti

oleh kekuatan posisi petani perkebunan rakyat dalam mempengaruhi harga

Tandan Buah Segar (TBS). Seperti dikemukakan Drajat (2009), salah satu

masalah yang belum dapat diatasi secara tuntas adalah penetapan harga Tandan

Buah Segar (TBS) karena persoalannya yang kompleks dan melibatkan banyak

pihak, belum lagi produksi pertanian yang bersifat musiman.

Untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga yang wajar dari

Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit produksi petani serta menghindari

adanya persaingan tidak sehat diantara Pabrik Kelapa Sawit (PKS), departemen

teknis terkait dan pemerintah di beberapa daerah secara langsung telah melakukan

intervensi. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah diantaranya adalah

Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005 tentang Pedoman Penetapan Harga

TBS Kelapa Sawit Produksi. Ruang lingkup peraturan ini meliputi penetapan

harga pembelian TBS, pembinaan dan sanksi. Peraturan ini dimaksudkan sebagai

dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembelian Tandan Buah

Segar (TBS) kelapa sawit produksi petani (Anonymous, dalam Departemen

Pertanian, 2007).

Salah satu permasalahannya adalah penentuan nilai K (proporsi yang

diterima petani) oleh pemerintah yang menunjukkan kecenderungan bahwa harga

TBS yang berlaku masih lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima petani.

Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa telah terjadi hal-hal yang tidak sesuai

(14)

hubungan antara petani dan perusahaan inti (PKS/agen pembeli). Masalah ini

diduga masih menempatkan posisi petani lebih lemah dan sangat dipengaruhi

oleh perilaku perusahaan, meskipun telah merujuk pada Rumus Harga Pembelian

(Didu, 2000).

Permasalahan ini tentunya bermuara pada rendahnya harga TBS yang

diterima petani. Hal ini dapat disebabkan karena nilai rendemen TBS hasil

produksi petani yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan. Oleh karena itu,

penetapan ulang nilai rendemen TBS produksi petani yang tercantum dalam

Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005 perlu dilakukan secara transparan

dengan melibatkan petani di dalamnya (Drajat, 2004).

Untuk mengetahui penyebab terjadinya permasalahan-permasalahan di

atas, penulis merasa perlu diadakan penelitian. Oleh sebab itu, penelitian ini akan

mencoba untuk menganalisis harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa

sawit produksi petani rakyat.

1.2 Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang

perlu diteliti, antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimana kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah

berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima

oleh petani rakyat?

2. Bagaimana perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah

berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang

(15)

3. Berdasarkan Rumus Harga Pembelian, apa penyebab harga TBS yang

diterima oleh petani rakyat rendah?

4. Apa saja permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam

kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan, adalah :

1. Untuk mengidentifikasi kesesuaian antara harga TBS yang ditetapkan

pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang

diterima oleh petani rakyat

2. Untuk mengidentifikasi perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan

pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi

(K) yang diterima oleh petani rakyat

3. Untuk mengidentifikasi penyebab harga TBS produksi petani rendah

berdasarkan Rumus Harga Pembelian.

4. Untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan

solusinya dalam kaitannya dengan rendahnya harga TBS yang

(16)

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk data penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara, Medan.

2. Sebagai bahan informasi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian ini.

3. Sebagai bahan referensi dan studi untuk pengembangan ilmu bagi

(17)

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,

KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka Penetapan Harga TBS

Produk minyak sawit yang merupakan salah satu andalan ekspor

Indonesia mengalami peningkatan harga yang signifikan. Harga minyak sawit

secara historis terus meningkat. Peningkatan harga minyak sawit (CPO, crude

palm oil) ini juga mendongkrak harga buah sawit (TBS, tandan buah segar). Para

petani kelapa sawit memperoleh manfaat dari hasil menjual buah sawit kepada

pabrik-pabrik pengolah buah sawit menjadi CPO. Oleh karenanya, harga TBS

merupakan salah satu indikator penting yang dapat mempengaruhi penawaran

petani kelapa sawit (Arianto, 2008).

Berbagai faktor berpengaruh dalam pembentukan harga TBS, yaitu harga

CPO dan inti. Selain harga patokan CPO dan inti yang ditentukan pemerintah,

masih ada nilai rendemen CPO dan inti yang turut menentukan harga TBS. Mutu

dan rendemennya ditentukan oleh jenis bibit, umur tanaman dan mutu panen

(PERHEPI, dalam Bangun, 1989).

Kebijakan mengenai harga, misalnya mengenai harga TBS, merupakan

wewenang pemerintah yang diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan

pejabat berwenang, seperti surat keputusan menteri (PERMENTAN) atau pejabat

(SK) yang diberi wewenang untuk itu. Kebijaksanaan diambil dengan tujuan

untuk melindungi petani dan menstabilkan perekonomian (Daniel, 2002).

Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun

ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No 395/Kpts /OT.140/11/2005

(18)

pengembangan pola perusahaan inti rakyat (PIR) atau yang melakukan kemitraan

usaha dengan perusahaan mitra.

Tujuan dari pengaturan harga TBS melalui Permentan 395 tersebut adalah

untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar dari TBS kelapa

sawit produksi petani dan menghindari persaingan tidak sehat diantara pabrik

kelapa sawit. Pasal 4 Permentan Nomor 395 mengatur bahwa Pekebun menjual

seluruh tandan buah segarnya kepada perusahaan dan perusahaan membeli

seluruh tandan buah segar untuk diolah dan dipasarkan sesuai dengan perjanjian

kerjasama.

Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa harga pembelian tandan buah segar oleh

perusahaan di dasarkan pada rumus harga pembelian tandan buah segar, yang

mengandung variable indeks proporsi (dalam %) yang menunjukkan bagian yang

diterima oleh pekebun (dinyatakan dalam notasi K), harga rata-rata minyak sawit

kasar (CPO) tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal

masing-masing perusahaan pada periode sebelumnya (dinyatakan dengan notasi Hms),

rendemen CPO (dinyatakan dengan notasi Rms) dan rendemen inti sawit/PKO

(dinyatakan dengan notasi Ris) dan harga rata-rata inti sawit tertimbang realisasi

penjualan ekspor (FOB) dan local masing-masing perusahaan pada periode

sebelumnya (dinyatakan dengan notasi His).

Rumus harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:

HTBS = K (HCPO x RCPO + HIS xRIS)

(19)

HTBS : Harga TBS acuan yang diterima oleh Petani di tingkat pabrik, dinyatakan

dalam Rp/kg dan merupakan harga franco pabrik pengolahan;

K : Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh petani,

dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan setiap bulan oleh Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I berdasarkan Tim Penetapan Harga Pembelian TBS;

HCPO : Harga rata-rata minyak sawit kasar (CPO) tertimbang realisasi penjualan

ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya,

dinyatakan dalam Rp/kg dan ditetapkan setiap bulan;

RCPO : Rendemen minyak sawit kasar, dinyatakan dalam persentase dan

ditetapkan sebagai Lampiran SK Menbutbun;

HIS : Harga rata-rata tertimbang minyak inti sawit realisasi penjualan ekspor

(FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada bulan sebelumnya, dinyatakan

dalam Rp/kg dan ditetapkan setiap bulan ;

RIS : Rendemen minyak inti sawit, dinyatakan dalam persentase dan ditetapkan

sebagai Lampiran SK Menbutbun (PERMENTAN, 2005).

Harga pembelian TBS sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Tim

Penetapan Harga TBS yang dibentuk oleh Gubernur, minimal 1 (satu) kali setiap

bulan yang merupakan harga franco pabrik pengolahan kelapa sawit.

Keanggotaan Tim Penetapan Harga TBS terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi

dan Kabupaten/Kota; Dinas yang menangani Perkebunan Propinsi,

Kabupaten/Kota; Perusahaan Inti; Wakil Pekebun PIR Kelapa Sawit

(kelembagaan Pekebun); dan instansi terkait.

Dan pengembangannya hingga pada saat ini, penetapan harga pembelian

(20)

Permentan Nomor 395. Khusus untuk daerah Propinsi Sumatera Utara, harga

pembelian TBS ditetapkan 1 (satu) kali setiap minggu. Penetapan harga TBS di

Sumatera Utara dilakukan oleh sebuah Tim Penetapan Harga Pembelian TBS

Kelapa Sawit Produksi Petani Propinsi Sumatera Utara. Tim tersebut terdiri dari

unsur Pemerintah Daerah, Lembaga Penelitian, Perusahaan Kelapa Sawit, dan

Petani.

Terkait mengenai sanksi apabila tidak memenuhi ketentuan ketetapan

harga TBS yang ditetapkan, Pasal 11 Permentan 395 dimaksud,

menginformasikan bahwa Pekebun/kelembagaan pekebun dan Perusahaan apabila

tidak memenuhi ketentuan yang telah disepakati dikenakan sanksi sesuai dalam

perjanjian kerjasama (yang dibuat diantara kedua belah pihak).

Harga TBS yang diterima petani dihitung berdasarkan Indeks Proporsi K.

Untuk komponen K yang biasa disebut dengan indeks proporsi K yang merujuk

pada pada keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan maupun Peraturan

Menteri Pertanian tersebut pada dasarnya merupakan persentase besarnya hak

petani tersebut di atas terhadap harga TBS. Angka ini biasanya berada pada

tingkat di bawah 100 persen karena sebagai faktor pembilang untuk menentukan

K lebih kecil dari angka pada faktor penyebut (Anonymous, dalam

(21)

Faktor – faktor yang mempengaruhi nilai rendemen

Jenis bibit sangat mempengaruhi rendemen dari TBS. Bibit yang baik

akan menghasilkan TBS yang bermutu tinggi, dan demikian juga sebaliknya.

Dalam pemilihan jenis bibit, perlu diperhatikan beberapa kriteria tertentu agar

buah yang dihasilkan baik mutunya sehingga minyak yang dihasilkan bermutu

baik dan memiliki posisi harga yang baik pula. Selektif dalam memilih bibit

tanaman menjadi dasar penentuan nilai komersial perkebunan dan menentukan

tingkat produktifitas tanaman (Pardamean, 2008)..

Peningkatan kualitas rendemen TBS lebih banyak dipengaruhi oleh umur

tanaman. Tindakan agronomis sangat menentukan umur komersial tanaman

kelapa sawit. Umur ekonomis kelapa sawit yang dibudidayakan umumnya 25

tahun. Pada umur lebih dari 25 tahun, tanaman sudah tinggi sehingga sangat sulit

dipanen, tandan pun jarang sehingga diperhitungkan tidak ekonomis lagi. Pada 3

tahun pertama, tanaman belum menghasilkan (TBM). Sesudahnya, lebih dari 3

tahun, disebut tanaman menghasilkan (TM), dengan pengklasifikasian umur 3-8

tahun tanaman mulai berproduksi, umur 9-20 tahun tanaman mencapai produksi

optimal, dan umur lebih 25 tahun tanaman mulai mencapai akhir umur

ekonomisnya (Pardamean, 2008).

Drajat (2004) dalam penelitiannya mengatakan bahwa umur tanaman

mempengaruhi kualitas rendemen TBS, yang pada akhirnya sangat berpengaruh

terhadap harga TBS. Kualitas rendemen TBS dikatakan tinggi ketika tanaman

berumur pada selang waktu 7 hingga 22 tahun, sehingga perkiraan harga TBS

lebih tinggi. Tetapi kualitas rendemen TBS masih rendah pada selang umur

tanaman 3 sampai 6 tahun dan 23 sampai 25 tahun, sehingga perkiraan harga TBS

(22)

Mutu panen juga dapat mempengaruhi kualitas rendemen TBS. Rendemen

TBS dapat menurun karena panen yang kurang efektif, yang antara lain

disebabkan oleh :

• Brondolan mentah sudah dipanen sebelum waktunya

• Buah matang tidak sempurna

• Brondolan tidak bersih dikutip

• Syarat-syarat dan peraturan panen lainnya tidak dipenuhi (Lampiran 3)

(Risza, 1994)

2.2 Landasan Teori

Struktur pasar pada saluran pemasaran TBS dapat dipengaruhi oleh

demand (permintaan), dan supply (penawaran), dan juga jumlah pembeli dan

penjual, hal ini dapat juga mempengaruhi harga di pasaran. Dengan adanya

jumlah pembeli yang banyak maka pembeli tidak akan bisa mempengaruhi harga,

tetapi sebaliknya jika jumlah pembeli sedikit maka harga akan dapat ditentukan

oleh pembeli. Harga merupakan salah satu variabel yang merupakan cerminan

dari interaksi penawaran dan permintaan yang bersumber dari sektor rumah

tangga maupun industri.

Hukum permintaan menyatakan bahwa makin rendah harga suatu barang

maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin

tinggi harga suatu barang maka makin sedikit permintaan terhadap barang

tersebut. Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa makin tinggi

harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh

para penjual. Sebaliknya makin rendah harga suatu barang, semakin sedikit

(23)

Oleh karena jumlah pembeli yang sedikit di dalam pasar, maka penentuan

harga dapat dikuasainya. Oleh sebab itu, jumlah pembeli yany sedikit dipandang

sebagai penentu harga atau price setter. Dengan mengadakan pengendalian ke

atas jumlah barang yang ditawarkan, pembeli dapat menentukan harga pada

tingkat yang dikehendakinya (Sukirno, 2002).

Interaksi antara pembeli dan penjual di pasar akan menentukan tingkat

harga barang yang wujud di pasar dan jumlah barang yang akan diperjualbelikan

di pasar. Teori permintaan menerangkan tentang sifat permintaan para pembeli

terhadap suatu barang. Sedangkan teori penawaran menerangkan sifat para

penjual dalam menerangkan suatu barang yang akan dijualnya. Dengan

menggabungkan permintaan oleh pembeli dan penawaran oleh penjual maka

dapat ditunjukkan bagaimana harga keseimbangan atau harga pasar dan jumlah

barang yang akan diperjualbelikan (Samuelson, 1986).

Di dalam teori ekonomi mikro disebut bahwa peran pemerintah adalah

sebagai stabilitator harga di dalam suatu ekonomi. Apabila terjadi kelebihan

permintaan di pasar sehingga harag dari barang bersangkutan meningkat, maka

pemerintah melakukan intervensi dengan cara menambah supply di pasar

tersebut; sebaliknya, jika terjadi kelebihan stok sehingga harganya jatuh,

pemerintah ikut bermain di pasar sebagai pembeli (Tambunan, 2003).

Kebijaksanaan mengenai harga merupakan wewenang pemerintah yang

diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan pejabat berwenang, seperti

surat keputusan menteri atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu.

Kebijaksanaan diambil dengan tujuan untuk melindungi petani dan menstabilkan

(24)

Campur tangan pemerintah dalam rantai tata niaga dilakukan karena

adanya ketidaksempurnaan pasar yang merugikan produsen atau konsumen.

Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, campur tangan pemerintah

masih dilakukan terhadap komoditi yang dianggap strategis. Campur tangan

pemerintah harus dilakukan secara hati-hati agar tidak sampai berakibat

ketidakstabilan atau kerugian bagi para pelaku pasar. Campur tangan pemerintah

tersebut diwujudkan dalam bentuk kebijakan (Amang dan Chrisman, 1995).

2.3 Kerangka Pemikiran

Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, pengetahuan tentang

kelembagaan Permentan tentang ketentuan penetapan harga pembelian TBS

kelapa sawit produksi petani merupakan suatu hal yang penting. Rumus harga

pembelian TBS kelapa sawit produksi petani diberlakukan terakhir kalinya

melalui penetapan Permentan No. 395/Kpts/OT.140/11/2005. Peraturan ini

dimaksudkan sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan

pembelian Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit produksi petani. Tujuan

peraturan ini untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar dari

TBS kelapa sawit produksi petani.

Kebijakan pemerintah dalam menentukan harga TBS akan mempengaruhi

kemampuan petani kelapa sawit untuk berproduksi. Namun demikian, sebagian

petani merasakan tingkat harga tersebut bermasalah dan belum sesuai dengan

yang diinginkan.

Untuk mengetahui masalah harga TBS produksi petani, maka perlu diteliti

faktor-faktor yang mempengaruhinya berdasarkan Kebijakan Harga Pembelian

TBS (antara lain faktor K, harga CPO dan Inti, rendemen CPO dan Inti) serta

(25)

agen pengumpul / PKS (antara lain diperkirakan dari penggunaan kredit, jenis

bibit, umur tanaman, mutu panen). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi

pembentukan harga TBS.

Nilai harga TBS terbentuk berdasarkan perhitungan di lapangan dan

berdasarkan kebijakan rumus harga pembelian TBS. Apabila nilai harga TBS

berdasarkan perhitungan di lapangan sesuai dengan nilai harga TBS berdasarkan

kebijakan rumus harga pembelian TBS, maka tingkat harga tidak memiliki

perbedaan (sudah relatif tinggi). Dan apabila nilai harga TBS berdasarkan

perhitungan di lapangan tidak sesuai dengan nilai harga TBS berdasarkan

kebijakan rumus harga pembelian TBS, maka perlu diketahui penyebab

permasalahannya.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka disusunlah suatu skema kerangka

(26)

Adanya pengaruh

Tingkat kesesuain

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Petani Kelapa

Sawit Rakyat

Harga TBS berdasarkan yang diterima

oleh petani rakyat Harga TBS

berdasarkan Kebijakan Rumus Harga Pembelian TBS Faktor-faktor yang

mempengaruhi :

• Indeks proporsi K

• Harga CPO

• Rendemen CPO

• Harga IS

• Rendemen IS

Faktor-faktor yang mempengaruhi

Sesuai (Tidak ada perbedaan) Tidak sesuai

(Ada perbedaan)

Penyebab perbedaan

(27)

2.4 Hipotesis Penelitian

1. Ada beda antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan

Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani

rakyat.

2. Ada beda antara indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah

berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang

(28)

METODE PENELITIAN

Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu di Kabupaten

Labuhan Batu. Adapun dasar pertimbangan penetapan Kabupaten ini sebagai

kabupaten penelitian karena kabupaten tersebut merupakan sentra perkebunan

kelapa sawit di Provinsi Sumatera Utara (Tabel 1).

Tabel 1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit

Kabupaten Luas Lahan (ha)

1. Asahan 38,746

2. Deli Serdang 9,629

3. Labuhan Batu 85,527

4. Langkat 24,438

5. Mandailing Natal 10,400

6. Pakpak Barat 1,260

7. Serdang Bedagai 50,057

8. Simalungun 24,902

9. Tapanuli Selatan 57,744

10. Toba Samosir 1,279

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal 2007

Metode Penentuan Sampel

Sampel diambil dengan metode penelusuran (Accedental), yaitu metode

yang pengambilan sampelnya tidak ditetapkan terlebih dahulu, dimana peneliti

langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel.

(29)

sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 30 sampel petani kelapa sawit,

karena bagaimanapun bentuk populasinya teori penarikan sampel menjamin akan

diperolehnya hasil yang memuaskan. Untuk penelitian yang menggunakan

analisis statistik, ukuran sampel paling minimum 30. Selain itu, merode ini

digunakan karena keterbatasan waktu dan biaya dalam penelitian

(Walpole, 1992).

Metode Pengumpulan Data a. Data Primer

Data petani kelapa sawit akan diperoleh melalui wawancara (interview)

dengan berpedoman pada kuisioner yang terstruktur, yang mana sampel atau

responden memberikan jawaban berdasarkan pilihan yang tersedia dalam

kuisioner. Selain itu, peneliti juga melakukan pengamatan langsung terhadap

objek studi. Data-data primer yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :

• Karakteristik petani kelapa sawit, yang mencakup umur dan tingkat

pendidikan petani.

• Deskripsi usaha tani, yang mencakup lama bertani, luas lahan, rentang

umur tanaman, dan persentase tanaman menghasilkan petani.

• Petani responden dan jenis bibit

• Petani responden dan kredit

• Data pembentukan harga TBS ditingkat petani

b. Data Sekunder

(30)

tingkat propinsi maupun daerah sel, serta bahan-bahan yang telah diterbitkan

berupa hasil penelitian terdahulu.

Data-data skunder yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :

• Data harga TBS Sumatera Utara

• Data rendemen TBS/CPO Sumatera Utara

• Data Indeks Proporsi (K) Sumatera Utara

• Data yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di

pasar TBS.

Metode Analisis Data

Untuk menguji hipotesis (1) dan (2), digunakan analisa deskriptif dan analisa

uji-t populasi berpasangan pada tingkat petani untuk mengetahui kesesuaian

antara harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga

Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat (hipotesis 1) serta

perbedaan indeks proporsi (K) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus

Harga Pembelian dengan indeks proporsi (K) yang diterima petani (hipotesis 2)

Rumus harga pembelian yang digunakan adalah sebagai berikut:

Htbs

K = x 100% (Hms X Rms) + (His X Ris)

dimana :

Htbs = nilai TBS di pabrik.

Hcpo = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal minyak

(31)

Hi = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal inti sawit.

Rcpo = rendemen minyak sawit kasar.

Ris = rendemen inti sawit.

Tertimbang maksudnya disini adalah jumlah atau total yang diperoleh

berdasarkan kenyataan yang sebenarnya (PERMENTAN, 2005).

Uji-t berpasangan (paired t-test) adalah salah satu metode pengujian

hipotesis dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang

paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek

penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda (Walpole, 2002).

Rumus uji beda rata-rata (t-hitung) :

(

)

(

)





 +





+

+

=

2 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1

1

1

2

1

1

n

n

n

n

s

n

s

n

x

x

th

HO = µ1 = µ2

H1 = µ1 ≠ µ2

Untuk Hipotesis (1), dimana :

x1 = rata-rata harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian

x2 = rata-rata harga TBS yang diterima oleh petani

n1 = jumlah sampel variabel 1

n2 = jumlah sampel variabel 2

Kriteria uji :

t-hitung ≤ t-table ... HO diterima (H1 ditolak)

(32)

Keterangan :

HO = tidak ada perbedaan rata-rata harga TBS berdasarkan yang diterima

petani dengan harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian

H1 = ada perbedaan rata-rata harga TBS berdasarkan yang diterima petani

dengan harga TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian

Untuk identifikasi masalah (3) dan (4) dianalisis secara deskriptif berdasarkan

data sekunder dan fakta-fakta yang terjadi. Penelitian deskriptif terbatas pada

usaha mengungkapkan masalah, keadaan, atau peristiwa sebagaimana adanya

(Wirartha, 2006).

Untuk masalah (3) digunakan analisa deskriptif untuk mengidentifikasi

penyebab harga TBS produksi petani rendah.

Untuk masalah (4) digunakan analisa deskriptif untuk mengidentifikasi

permasalahan yang dihadapi petani rakyat dan solusinya dalam kaitannya

dengan rendahnya harga TBS yang diterimanya.

Definisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka dibuat

definisi dan batasan operasional sebagai berikut :

a. Definisi

1. Petani adalah perkebunan rakyat yang mengusahakan kelapa sawit yang

sudah berproduksi.

2. Harga TBS dilapangan adalah harga di tingkat petani.

3. Harga pembelian TBS adalah harga TBS berdasarkan kebijakan

(33)

4. Rendemen TBS adalah rendemen TBS produksi petani rakyat.

5. Jenis bibit adalah bibit kelapa sawit yang berkualitas maupun yang tidak

berkualitas.

6. Umur tanaman adalah umur kelapa sawit produksi petani rakyat.

7. Periode produktif adalah periode umur tanaman kelapa sawit yang telah

dapat menghasilkan.

8. Tanaman menghasilkan adalah tanaman kelapa sawit yang telah

menghasilkan / memproduksi TBS.

b. Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah Kabupaten Labuhan Batu.

2. Sampel dalam penelitian ini adalah petani kelapa sawit yang ada di

Kabupaten Labuhan Batu.

(34)

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

DAN KARAKTERISTIK SAMPEL

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian 4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis

Penelitian di lakukan di Kabupaten Labuhan Batu yang terdiri dari 9

Kecamatan dan 98 Desa/Kelurahan Definitif dan merupakan bagian dari Propinsi

Sumatera Utara. Kabupaten Labuhan Batu terletak antara 1°41’ - 2°44’ LU dan

99°33’ - 100°22’ BT, serta berada pada ketinggian 0 – 2.151 meter di atas

permukaan laut, dan menempati area seluas 256.138 Ha yang Adapun batas

administratif Kabupaten Labuhan Batu adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten Labuhan

Batu Utara.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan

Kabupaten Padang Lawas Utara.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Utara.

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau.

Selama tahun 2008, rata-rata hari hujan di Kabupaten Labuhan Batu

sebanyak 12,75 hari per bulan dengan rata-rata curah hujan 329 mm.

4.1.2 Keadaan Penduduk.

a. Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Labuhan Batu (Sesudah Pemekaran)

Untuk tahun 2008 berdasarkan hasil proyeksi Sensus Penduduk 2000,

penduduk Kabupaten Labuhan Batu (setelah pemekaran) sebanyak 409.097jiwa

(35)

golongan umur dan jenis kelamin penduduk di Kabupaten Labuhan Batu dapat

[image:35.595.127.553.155.319.2]

dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Kelompok Umur

(tahun)

Penduduk (jiwa)

Persentase Laki-laki Perempuan Jumlah

0 – 14 86.452 85.301 171.753 41,98

15 – 54 108.594 108.328 216.922 53,02

≥ 55 11.137 9.285 20.422 5

Jumlah 206.183 202.914 409.097 100

Sumber : BPS, Labuhan Batu Dalam Angka 2009 (Sesudah Pemekaran)

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Labuhan Batu

pada tahun 2008 sebesar 409.097 orang. Data tabel di atas juga menunjukkan

jumlah usia non produktif bayi, balita, anak-anak, dan remaja (0 – 14 tahun)

sebesar 171.753 jiwa (41,98 %). Adapun jumlah usia manula (>55 tahun) adalah

sebesar 20.422 jiwa (5 %). Sedangkan jumlah usia produktif (15 – 54 tahun)

adalah sebesar 216. 922 jiwa (53, 02 %). Usia produktif adalah usia dimana orang

memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga dapat menghasilkan barang dan jasa

dengan efektif. Dari data tersebut juga menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga

(36)

b. Penduduk menurut Lapangan Pekerjaan (Sebelum Pemekaran)

Lapangan pekerjaan di Kabupaten Labuhan Batu dibedakan atas 9 sektor

[image:36.595.134.567.186.434.2]

sebagai berikut :

Tabel 3. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja dan Lapangan Pekerjaan Utama

Lapangan Pekerjaan Jumlah

Penduduk (jiwa) Persentase

1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan

239.428 60,32

2. Pertambangan dan Penggalian 251 0,06

3. Industri Pengolahan 22.213 5,59

4. Listrik, Gas, dan Air Minum 207 0,05

5. Konstuksi 9.219 2,32

6. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel

60.745 15,3

7.

Transportasi, Pergudangan, &

Komunikasi 27.064 6,81

8. Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Tanah, dan Jasa Perusahaan

3.615 0,91

9. Jasa Kemasyarakatan 34.177 8,61

Jumlah 396.919* 100

Sumber : BPS, Labuhan Batu Dalam Angka 2009 (keadaan sebelum pemekaran) Ket. * : Jumlah penduduk sebelum pemekaran Kabupaten Labuhan Batu

Tabel 3 menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan Kabupaten Labuhan

Batu (sebelum pemekaran) yang paling banyak jumlah penduduknya adalah

lapangan pekerjaan di sektor Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan

sebesar 239.428 jiwa (60,32 %), sedangkan yang paling sedikit adalah di sektor

Listrik, Gas, dan Air Minum sebesar 207 jiwa (0,05 %). Data tersebut juga

menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk Kabupaten Labuhan Batu yang

(37)

c. Penduduk menurut Jenjang Tingkat Pendidikan

Penduduk Kabupaten Labuhan Batu menurut tingkat pendidikan terdiri

dari jumlah murid SD, SLTP, dan SLTA. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai

tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Labuhan Batu dapat dilihat pada Tabel 4

[image:37.595.128.550.242.347.2]

berikut.

Tabel 4. Penduduk menurut Jenjang Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Murid (jiwa)

Persentase thd Jumlah (%)

1. SD 146.643 73,9

2. SLTP 34.138 17,2

3. SLTA 17.658 8,9

Jumlah 198.439 100

Sumber : BPS, Labuhan Batu Dalam Angka 2009

Tabel 4 menunjukkan bahwa jenjang pendidikan penduduk Kabupaten

Labuhan Batu paling besar berada pada tingkat SD sebesar 146.643 jiwa (73,9

%). Pada tingkat SLTP adalah sebesar 34.643 jiwa (17,2 %). Sedangkan pada

tingkat SLTA merupakan yang terendah, yaitu sebesar 17.658 jiwa (8,9 %).

d. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan

masyarakat. Semakin baik sarana dan prasarana akan mempercepat laju

pembangunan. Sarana dan prasarana di Kabupaten Labuhan Batu sekarang ini

termasuk baik. Hal ini dapat dilihat dari jenis-jenis sarana dan prasarana yang

tersedia, baik dari sarana pendidikan, sarana kesehatan, fasilitas peribadatan, dan

fasilitas angkutan yang sudah cukup memadai jumlahnya (Lampiran xx). Namun

(38)

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai sarana dan prasarana di Kabupaten

Labuhan Batu dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Jalan merupakan sarana yang sangat penting untuk memperlancar

kegiatan perekonomian. Sarana jalan yang baik dapat meningkatkan mobilitas

penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu tempat ke tempat lain.

Dari Tabel 5, kondisi jalan di Kabupaten Labuhan Batu perlu mendapat perhatian

yang serius, karena 45,94 persen jalan kabupaten ada dalam keadaan rusak dan

rusak berat (1.005.890 km). Sedangkan jalan dalam kondisi baik 48,55 persen

[image:38.595.129.532.142.242.2]

(1.063.100 km) dan sisanya 5,51 persen lagi dalam keadaan sedang (120.660 km). Tabel 5. Prasarana Jalan

Prasarana Jalan Jumlah (Km)

Jalan

a. Jalan baik 1.063.100

b. Jalan sedang 120.660

c, Jalan rusak dan rusak berat 1.005.890

(39)

4.2 Karakteristik Sampel Penelitian

Karakteristik petani kelapa sawit responden yang akan dibahas adalah

meliputi : penggunaan jenis bibit, penggunaan pinjaman modal (kredit),

mekanisme penjualan TBS, serta lama bertani, usia tanaman, luas lahan, dan

jumlah produksi yang dimiliki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut.

4.2.1 Petani Sampel menurut Penggunaan Jenis Bibit

Karakterisitik petani sampel menurut penggunaan jenis bibit di Kabupaten

[image:39.595.125.531.341.426.2]

Labuhan Batu dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 6. Petani Kelapa Sawit Rakyat menurut Penggunaan Jenis Bibit

Penggunaan Jenis Bibit

Jumlah (Jiwa)

Persentase thd Jumlah (%)

1. Marihat 28 93,33

2. Lainnya 2 6,67

Jumlah 30 100

Sumber : Data diolah dari Lampiran 5

Dari Tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa penggunaan jenis bibit petani

sampel di Kabupaten Labuhan Batu pada umumnya di dominasi oleh jenis bibit

Marihat yakni sebanyak 28 jiwa atau 93,33 % dari total petani sampel. Sedangkan

penggunaan jenis bibit lainnya yakni sebanyak 2 jiwa atau 6,67 % dari total

petani sampel.

4.2.2 Petani Sampel menurut Pinjaman Modal (kredit)

Karakterisitik petani sampel menurut pinjaman modal (kredit) di Kabupaten

(40)
[image:40.595.127.569.115.196.2]

Tabel 7. Petani Kelapa Sawit Rakyat menurut Pinjaman Modal (kredit)

Pinjaman Modal (kredit)

Jumlah (Jiwa)

Persentase thd Jumlah (%)

1. Ada 18 60

2. Tidak ada 12 40

Jumlah 30 100

Sumber : Data diolah dari Lampiran 6

Dari Tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa pinjaman modal (kredit) petani

sampel di Kabupaten Labuhan Batu pada umumnya dimanfaatkan oleh petani

yakni sebanyak 18 jiwa atau 60 % dari total petani sampel. Sedangkan yang tidak

menggunakan pinjaman modal (kredit) yakni sebanyak 12 jiwa atau 40 % dari

total petani sampel.

4.2.3 Petani Sampel menurut Mekanisme Penjualan TBS

Karakterisitik petani sampel menurut mekanisme penjualan TBS di Kabupaten

Labuhan Batu dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 8. Petani Kelapa Sawit Rakyat menurut Mekanisme Penjualan TBS

Mekanisme Penjualan TBS

Jumlah (Jiwa)

Persentase thd Jumlah (%)

1. Agen 10 33,33

2. Lainnya 20 66,67

Jumlah 30 100

Sumber : Data diolah dari Lampiran 7

Dari Tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa mekanisme penjualan TBS di

Kabupaten Labuhan Batu pada umumnya di dominasi oleh penjualan ke agen

yakni sebanyak 10 jiwa atau 33,33 % dari total petani sampel. Sedangkan

mekanisme penjualan TBS lainnya yakni sebanyak 20 jiwa atau 66,67 % dari

[image:40.595.126.572.502.586.2]
(41)

4.2.4 Petani Sampel menurut Lama Bertani, Usia Tanaman, Luas Lahan, dan Jumlah Produksi

Karakterisitik petani sampel menurut lama bertani, usia tanaman, luas lahan, dan

[image:41.595.128.517.198.286.2]

jumlah produksi yang dimiliki, dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 9. Karakteristik sampel

Jenis Satuan Range Rataan

1 Lama bertani Tahun 4 − 30 12,51

2 Usia Tanaman Tahun 0 − 25 12,5

3 Luas lahan Ha 0,4 − 80 5,78

4 Produksi Ton 0,25 − 100 6,61

Sumber : Data diolah dari Lampiran 4 & 7

Dari Tabel 9 terlihat bahwa rentang lama bertani dari setiap petani adalah

4 – 30 tahun, dengan rataan sebesar 12,51 tahun, menunjukkan pengalaman yang

dimiliki oleh petani sudah cukup banyak dan layak untuk dimintai keterangan.

Sementara usia tanaman petani responden yang paling rendah adalah 0 tahun dan

paling tinggi adalah 25, dimana usia tanaman rata-rata adalah 12,50 tahun. Dan

untuk luas lahan memiliki rentang antara 0,4 – 80 Ha dengan rataan sebesar

5,78 Ha. Mengenai produksi kelapa sawit petani sampel cukup bervariasi antara

(42)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Usahatani Kelapa Sawit Rakyat

Di daerah penelitian Kabupaten Labuhan Batu, tidak satupun dari

30 petani sampel yang tercatat sebagai peserta PIR. Namun demikian, tidak

berarti bahwa petani tidak lagi membutuhkan pinjaman modal dari pihak lain.

Jika dulu sebagai peserta PIR petani mendapatkan pinjaman modal untuk

pembelian input, maka sekarang sebagai alternatif petani mendapatkannya dari

para agen. Tercatat 18 petani (sekitar 60 %) masih membutuhkan pinjaman dalam

menjalankan usahanya dan 10 diantaranya (sekitar 56 % dari total petani yang

memanfaatkan kredit) mendapatkannya dari agen tempat mereka menjual hasil

panennya. Yang lainnya mendapatkan kredit dari bank atau koperasi

(Lampiran 6).

Hubungan pinjam meminjam dengan agen tersebut mempengaruhi

keputusan petani dalam menjual hasil panennya. Hampir 34 % dari total

responden (10 dari 30 responden) menjual hasil panennya ke agen. Walaupun

masih terjadi tawar menawar harga, tetapi biasanya penetapan harga cenderung

dimonopoli oleh agen. Keterbatasan finansial petani pekebun sawit ini juga

terlihat dari luas lahan mereka yang relatif kecil untuk ukuran kebun sawit

berskala ekonomis. Rata-rata luas lahan petani responden lebih kurang 5,78 ha,

dengan skala terkecil tidak sampai 0,5 ha dan yang terluas mencapai 80 ha.

Banyak dari usahatani tersebut semula merupakan usahatani sawah. Alasan

mereka beralih ke kelapa sawit bervariasi, mulai dari penghasilan usahatani padi

sawah yang dianggap sangat rendah, tanaman sawah lebih rentan terhadap

(43)

tabungan masa tua, atau pendapatan dari kelapa sawit dianggap lebih tinggi

dibandingkan dengan pendapatan dari usahatani padi sawah

(Lampiran 7).

Usia tanaman sawit di perkebunan rakyat tersebut bervariasi. Ada petani

yang baru mulai terjun dalam usaha tani ini, yang dapat dilihat dari lamanya

berusahatani selama 4 tahun. Namun demikian ada juga yang sudah menekuninya

lebih dari 1 siklus tanaman kelapa sawit (>20-25 tahun), bahkan ada yang telah

mencapai 30 tahun. Secara rata-rata, pada saat wawancara dilakukan, umumnya

petani telah berusaha hampir selama 12,5 tahun. Walaupun banyak juga petani

yang telah meremajakan tanamannya, tetapi umumnya komposisi tanaman yang

mereka miliki lebih banyak didominasi oleh tanaman dalam periode produktif,

dengan rata-rata 90,73 % dari total luas areal mereka merupakan tanaman

menghasilkan (Lampiran 4).

Di daerah penelitian, umumnya petani menggunakan bibit yang

dikeluarkan oleh Marihat (93 %), tetapi ada juga yang menggunakan varietas

Socfindo, Dura, dan Tenera (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5).

Namun demikian, perlu dicatat bahwa banyak bibit Marihat yang digunakan

petani bukanlah merupakan bibit yang telah disertifikasi oleh Marihat.

Kebanyakan hanya mengambil bijinya dari perkebunan negara dan

membibitkannya sendiri. Dengan demikian, kualitas bibit tersebut tidak dapat

dikatakan sama dengan kualitas yang dikeluarkan oleh pembibitan marihat. Di

samping varietas bibit, kegiatan melangsir buah juga dapat menentukan pada

kualitas minyak yang akan diperoleh. Untuk petani responden, alat yang sering

(44)

Namun demikian, hingga pada saat penelitian dilakukan, PKS masih

menerima TBS dari petani karena pada umumnya PKS tidak dapat memenuhi

kapasitas produksinya dari kebun sendiri, terutama pada saat panen sedikit (track)

atau saat kebun millik sendiri sedang dalam proses replanting. Berbeda dengan

agen, PKS hanya menerima TBS yang memenuhi kriteria terutama dari tingkat

kematangannya.

Periode track dan kualitas TBS tersebut pada akhirnya menentukan tinggi

rendahnya harga beli yang ditawarkan PKS. Hasil observasi menunjukkan bahwa

terjadi fluktuasi harga yang cukup signifikan. Harga terendah dapat mencapai

Rp 300,-/kg, sedangkan harga tertinggi sebesar Rp 1.600,-/kg. Banyak faktor

yang mempengaruhi fluktuasi harga tersebut (Lampiran 7).

5.2 Kesesuaian antara Harga TBS yang Ditetapkan Pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan Harga TBS yang Diterima oleh Petani Rakyat

Penetapan harga TBS kelapa sawit produksi petani dan faktor “K”

dilakukan secara periodik seminggu sekali, yang didasarkan pada harga yang

diperoleh dari Pusat Pemasaran Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara,

GAPKI, dan harga pasar. Dikarenakan penelitian ini dilakukan pada bulan Juli

2009, maka tingkat harga hanya berdasarkan harga rata-rata petani pada bulan

tersebut.

Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa tingkat harga yang

diterima masing-masing petani berbeda-beda. Dan dari 30 sampel petani, tidak

ada satupun petani yang menerima harga TBS sesuai dengan harga pembelian

(45)

Untuk mengetahui harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta

kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan PERMENTAN, dapat

[image:45.595.131.532.167.286.2]

dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Harga Pembelian TBS Produksi Petani Rakyat

Keterangan Satuan Range Rataan

1 Harga pembelian TBS berdasarkan

Rumus Harga Pembelian* Rp. 1.132,25 - 1,239,12 1.173,23 2 Harga pembelian TBS yang

diterima oleh petani Rp. 820 - 1.150 955,33

Selisih harga Rp. 217,90

Persentase perubahan % 18,56

Ket. * : Harga rata-rata pada periode Juli 2009 Sumber : Data di olah dari Lampiran 9

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa selisih yang cukup signifikan terjadi

pada harga pembelian TBS yang benar-benar diterima petani dibandingkan harga

pembelian TBS berdasarkan Kebijakan. Rata-rata persentase perubahan sebesar

18,56 % dengan kisaran selisih harga terendah pada 1,98 % dan tertinggi pada

30,10 %. HargaTBS petani tertinggi yang mendekati harga pembelian TBS

pemerintah adalah Rp 1.150,00/kg, sedangkan yang terendah adalah

Rp 820,00/kg, dengan selisih sebesar Rp. 217,90/kg. Dan untuk harga rata-rata

dari 30 petani sampel, hanya mencapai Rp 955,33/kg dengan persentase

perubahan sebesar 18,56 %.

Untuk mengetahui perbedaan harga pembelian TBS yang diterima oleh

petani serta kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan

(46)

Tabel 11. Hasil Uji Beda Rata-rata harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta kesesuaiannya dengan harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan

No Uraian N

Rata-rata Indeks Proporsi "K"

t-hit df Tingkat Signifikansi

1 Harga pembelian TBS berdasarkan Rumus Harga Pembelian

30 1.173,23

12.698 29 .000

2 Harga pembelian TBS yang diterima oleh petani

30 955,33

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 12a, 12b, 12c)

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa terjadi perbedaan Rata-rata harga

pembelian TBS yang diterima oleh petani serta kesesuaiannya dengan harga

pembelian TBS berdasarkan kebijakan yaitu sebesar 18,56 %. Dan untuk

mengetahui apakah harga pembelian TBS yang diterima oleh petani serta harga

pembelian TBS berdasarkan kebijakan tersebut berbeda nyata atau tidak, maka

dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan, dan didapat hasilnya

seperti pada Tabel 11.

Dari Tabel 11. terlihat bahwa nilai tingkat signifikansi harga pembelian

TBS yang diterima oleh petani dan harga pembelian TBS berdasarkan kebijakan

adalah sebesar 0,000. Karena tingkat signifikansinya 0,000 < 0,005, ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara harga

pembelian TBS yang diterima oleh petani dengan harga pembelian TBS

berdasarkan kebijakan.

Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-hitung. Dari Tabel 11.

diperoleh nilai t-hitung sebesar 12,698, dan dari tabel distribusi t didapati t-tabel

sebesar = 2,045. Maka terdapat perbedaan antara harga pembelian TBS yang

[image:46.595.129.533.125.276.2]
(47)

t-hitung > t-tabel (12.698 > 2,045). Dengan demikian hipotesis awal (H0) ditolak,

dan hipotesis alternatif (H1) diterima.

Dengan melihat perbandingan harga TBS yang ditetapkan pemerintah

berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan harga TBS yang diterima oleh

petani rakyat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat kesesuaian

harga TBS yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian

dengan harga TBS yang diterima oleh petani rakyat. Hal ini disebabkan oleh

faktor perbedaan indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh

setiap petani kelapa sawit dibandingkan dengan indeks proporsi “K” berdasarkan

Rumus Harga Pembelian TBS

5.3 Perbedaan Indeks Proporsi (K) yang Ditetapkan Pemerintah Berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan Indeks Proporsi (K) Hasil Perhitungan di Lapangan

Indeks proporsi “K” menunjukan bagian yang diterima oleh pekebun,

dinyatakan dalam persentase (%). Penetapan indeks “K” dilakukan berdasarkan

harga penjualan, biaya pengolahan dan pemasaran minyak sawit kasar dan inti,

serta biaya penyusutan.

Untuk menghitung besarnya besarnya indeks K digunakan rumus sebagai berikut:

Htbs

K = x 100% (Hms X Rms) + (His X Ris)

dengan pengertian:

Htbs = nilai TBS di pabrik.

Hcpo = nilai realisasi rata-rata tertimbang penjualan ekspor dan lokal minyak

sawit kasar (harga FOB bersih).

(48)

Rcpo = rendemen minyak sawit kasar.

Ris = rendemen inti sawit.

Dengan menggunakan rumus itu maka diperoleh indeks proporsi “K”

[image:48.595.133.522.195.317.2]

untuk masing-masing petani kelapa sawit seperti dalam Tabel 12. berikut :

Tabel 12. Nilai Indeks Proporsi "K" Petani Periode Juli 2009

Keterangan Rentang Rataan

1 Indeks Proporsi "K" Berdasarkan

Rumus Harga Pembelian* 84,00 - 84,50 84,11 2 Indeks Proporsi "K" Berdasarkan

Harga TBS yg Diterima petani 58,77 - 82,42 68,47

Selisih 15,64

Persentase perubahan 18,58

Ket. * : Indeks rata-rata pada periode Juli 2009

Sumber : Data diolah dari Lampiran 10

Dari Tabel 12. dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang cukup

signifikan pada indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh

setiap petani kelapa sawit dibandingkan dengan indeks proporsi “K” berdasarkan

Rumus Harga Pembelian TBS, dengan rata-rata perbedaannya adalah sebesar

18,58 %. Rata-rata indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima

oleh setiap petani kelapa sawit adalah sebesar 68,47 %, sehingga terjadi

perbedaan sebesar 15,64 (18,58 %) yang merupakan jumlah yang cukup besar.

Kisaran selisih terkecil sebesar 2,00 % pada petani kelapa sawit ke-22 yaitu

sebesar 82,42, dan kisaran selisih terbesar sebesar 30,12 % pada petani kelapa

sawit ke-19, 23, dan 30, yaitu sebesar 58,77.

Untuk mengetahui perbedaan indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS

yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K”

(49)
[image:49.595.125.534.142.292.2]

Tabel 13. Hasil Uji Beda Rata-rata indeks proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS

No Uraian N

Rata-rata Indeks Proporsi "K"

t-hit df Tingkat Signifikansi

1 Indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS harga TBS

30 84,11

12.717 29 .000 2

Indeks proporsi “K” yang diterima oleh setiap petani

30 68,47

Sumber : Analisis Data Primer (Lampiran 13a, 13b, 13c)

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa terjadi perbedaan rata-rata indeks

proporsi “K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa

sawit dan indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS yaitu

sebesar 18,58 %. Dan untuk mengetahui apakah indeks proporsi “K” berdasarkan

harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K”

berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS tersebut berbeda nyata atau tidak,

maka dilakukan pengujian dengan uji beda rata-rata berpasangan, dan didapat

hasilnya seperti pada Tabel 13.

Dari Tabel 13. terlihat bahwa nilai tingkat signifikansi indeks proporsi

“K” berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan

indeks proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS adalah sebesar

0,000. Karena tingkat signifikansinya 0,000 < 0,005, ini menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara indeks proporsi “K” berdasarkan

harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks proporsi “K”

(50)

Hal ini dapat juga dibuktikan dengan pengujian t-hitung. Dari Tabel 12.

diperoleh nilai t-hitung sebesar 12,717, dan dari tabel distribusi t didapati t-tabel

sebesar = 2,045. Maka terdapat perbedaan antara indeks proporsi “K”

berdasarkan harga TBS yang diterima oleh setiap petani kelapa sawit dan indeks

proporsi “K” berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS, karena t-hitung >

t-tabel (12.717 > 2,045). Dengan demikian hipotesis awal (H0) ditolak, dan

hipotesis alternatif (H1) diterima.

Dengan melihat perbandingan indeks proporsi “K” yang ditetapkan

pemerintah berdasarkan Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi “K”

yang diterima oleh petani rakyat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak

terdapat kesesuaian indeks proporsi “K” yang ditetapkan pemerintah berdasarkan

Rumus Harga Pembelian dengan indeks proporsi “K” yang diterima oleh petani

rakyat. Hal ini disebabkan oleh faktor perbedaan harga TBS berdasarkan yang

diterima oleh setiap petani kelapa sawit dibandingkan dengan harga TBS

berdasarkan Rumus Harga Pembelian TBS

5.4 Penyebab Harga TBS Produksi Petani Rendah Berdasarkan Rumus Harga Pembelian

Dengan kelembagaan PERMENTAN yang jelas, sangat penting untuk

memperkirakan beberapa penyebab terjadinya harga TBS rendah. Beberapa

penyebab dimaksud terjadi karena adanya masalah yang melibatkan salah satu

atau berbagai pihak yang berkepentingan terhadap harga TBS. Mekanisme yang

terjadi di lapangan juga menunjukkan kenyataan berkurangnya rasa memiliki

(51)

Beberapa penyebab dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:

i. Harga TBS yang wajar bagi petani telah distorsi oleh berbagai kepentingan,

seperti kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidup petani, termasuk

didalamnya untuk memperoleh surplus berlebih, kepentingan perusahaan

maupun agen pengumpul untuk memperoleh keuntungan berlebih,

kepentingan perusahaan untuk mengatasi tekanan biaya, dan lain-lain.

ii. Penurunan harga CPO ataupun harga Kernel (inti sawit)

Sementara perusahaan inti ingin mendapatkan keuntungan. Jika hal di atas

terjadi , perusahaan inti tidak akan mau mengurangi keuntungannya.

Selanjutnya hal yang terjadi di lapangan adalah penurunan harga TBS yang

akan diterima petani sehingga biaya pengolahan yang dikeluarkan

perusahaan dapat dikatakan tidak mengalami banyak perubahan.

iii. Terdapat masalah dalam penentuan indeks “K”. Penetapan indeks K

dilakukan berdasarkan harga penjualan tertimbang minggu sebelumnya,

biaya pengolahan dan pemasaran minyak sawit kasar (CPO) dan inti sawit

(IS) serta biaya penyusutan perusahaan inti yang hanya diketahui oleh

perusahaan inti. Komponen biaya tersebut tidak dapat dikontrol oleh petani,

sementara biaya tersebut harus ditanggung oleh petani. Dengan kata lain,

bahwa pembebanan biaya tersebut yang besar akan memperkecil indeks K.

Indeks K yang kecil berarti harga TBS menjadi rendah, yang pada gilirannya

akan mempengaruhi keuntungan yang akan diterima petani. Perbuatan

manipulatif dari Perusahaan dan/atau Petani akan berdampak pada harga

TBS produksi petani. Keadaan tersebut tentunya menjadi permasalahan bagi

(52)

iv. Terdapat permasalahan dalam penentuan nilai rendemen. Penentuan

rendemen pabrik dalam penentuan nilai K sulit diketahui petani. Rendemen

yang rendah akan ditanggung oleh petani, padahal kemungkinan besar adalah

kesalahan pabrik. Penetapan rendemen dilakukan secara periodik setiap

harinya oleh perusahaan dengan pengambil sampel secar acak dari TBS yang

masuk. Adapun penetapan nilai rendemen berdasarkan hasil laboratorium

perusahaan inti. Hal inilah yang menyebabkan penentuan rendemen sulit

diketahui petani. Selain itu, rasa memiliki dari pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap kelembagaan penetapan harga TBS semakin

berkurang dan keadaan tersebut dimanfaatkan oleh salah satu pihak yang rasa

memilikinya dominan untuk menguasai dan menentukan aturan main.

Misalnya, perusahaan inti yang cenderung menetapkan nilai rendemen tanpa

diketahui pasti oleh petani kebenarannya, maupun produksi TBS petani yang

tidak sesuai dengan kualitas panen.

v. Tidak adanya perbedaan antar rendemen dengan umur tanaman. Harga TBS

yang ditetapkan berlaku umum berdasarkan umur tanaman. Tetapi kenyataan

di lapangan menunjukkan tidak adanya perbedaan antar rendemen dengan

umur tanaman. Rendemen yang ditetapkan perusahaan dilakukan secara acak

sehingga petani tidak mengetahuinya.

Sistem penetapan harga ini menghasilkan perbedaan harga antara harga yang

ditetapkan untuk semua umur tanaman dan perkiraan harga yang dapat terjadi

menurut umur tanaman (Lampiran 11.).

Secara umum dari Lampiran 11. dapat dilihat bahwa pada selang umur

tanaman 3 sampai 6 tahun dan 23 sampai 25 tahun perkiraan harga TBS lebih

(53)

umur tanaman 7 hingga 22 tahun, perkiraan harga TBS lebih tinggi

dibandingkan harga rata-rata yang berlaku. Hal ini berarti terdapat insentif

harga bagi petani yang tanaman kelapa sawitnya berumur 3 sampai dengan 6

tahun dan umur 23 hingga 25 tahun. Namun tidak terdapat insentif harga bagi

petani dengan komposisi umur tanamannya antara 7 hingga 22 tahun.

Permasalahan harga ini berkembang di lapangan karena pada kenyataannya

komposisi umur tanaman kelapa sawit petani umumnya berada pada selang

umur 7 hingga 22 tahun, dan dominan pada umur 10 hingga belasan tahun.

vi. Kenaikan harga input produksi. Jika resiko itu terjadi, maka perusahaan inti

bersikap bahwa persoalan tersebut harus ditanggung oleh petani sendiri.

Dengan demikian, keuntungan perusahaan inti akan selalu tetap tetapi

keuntungan petani tidak sesuai dengan kondisi yang diinginkan petani itu

sendiri.

Apabila berbagai penyebab di atas mengarah pada posisi

petani/Kelembagaan Petani lebih lemah dibandingkan posisi Perusahaan, maka

akan mengarah pada rendahnya harga TBS produksi petani. Keadaan ini akan

lebih mungkin terjadi manakala pihak Pemerintah yang tergabung dalam Tim

Penetapan Harga tidak menunjukkan pembelaan dan perlindungan terhadap

(54)

5.5 Permasalahan yang Dihadapi Petani Rakyat dan Solusinya dalam Kaitannya dengan Rendahnya Harga TBS yang Diterimanya.

Adapun kendala-kendala yang dihadapi petani beserta solusinya antara lain :

1. Masalah Harga

Harga yang ditetapkan pemerintah berdasarkan Rumus Harga

Pembelian tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebagian petani merasakan

tingkat harga yang diterimanya belum memuaskan, karena mereka merasa

harga yang ditetapkan belum dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Solusi : Skenario reformasi harga pembelian TBS

Dalam uraian berikut diasumsikan bahwa hubungan kemitraan antara

petani dan perusahaan perkebunan dipercaya memberikan keuntungan

kepada petani maupun perusahaan perkebunan sebagai pihak-pihak yang

bermitra. Asumsi ini mengandung implikasi bahwa kelembagaan yang

terdapat dalam PERMENTAN dapat menjadi pegangan masing-masing pihak

yang bermitra.

Agar kelembagaan PERMENTAN dapat dipertahanka

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Tabel 1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit
Tabel 2. Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Penduduk (jiwa)
Tabel 3. Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja dan Lapangan   Pekerjaan Utama
+7

Referensi

Dokumen terkait

Se- cara rinci manfaat buku teks pelajaran berbasis TIK (buku digital) dapat di- analisis sebagai berikut: (a) Materi pela- jaran dapat disajikan lebih menarik dan mudah

Populasi kasus yaitu semua bayi lahir hidup yang mengalami kematian pada saat 0-28 hari setelah kelahiran atau masa neonatal pada tahun 2013 di wilayah kerja Puskesmas

Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa arahan kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Kota Padang yaitu mengembangkan sarana dan prasarana perikanan yang

Dengan bekal keterampilan yang dimiliki sekarang iniSanggar Seni Seulaweuet selalu siap bekerja sama dengan berbagai organisasi dalam berbagai program kesenian, baik dalam even

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa variabel iklan tidak berpengaruh terhadap keputusan pembelian sabun mandi Lux cair di Gelalel Mall Ciputra Semarang

Daun pare merupakan tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat dan belum dimanfaatkan secara baik, daun pare memiliki banyak manfaat salah satunya dapat

1) Adanya perbedaan individual dalam belajar. Ciri utama pembelajaran berbasis komputer model tutorial adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara individual yaitu

Dalam rangka meningkatkan produktivitas padi dan menunjang program P2BN di Jawa Barat, dilakukan pendampingan SL- PTT Padi sawah di Desa Mekar Pananjung, Desa Kertajaya,