• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Higiene Perorangan Siswa Dengan Infeksi Kecacingan Anak SD Negeri Di Kecamatan Sibolga Kota Kota Sibolga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Higiene Perorangan Siswa Dengan Infeksi Kecacingan Anak SD Negeri Di Kecamatan Sibolga Kota Kota Sibolga"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN SISWA DENGAN

INFEKSI KECACINGAN ANAK SD NEGERI DI

KECAMATAN SIBOLGA KOTA

KOTA SIBOLGA

TESIS

Oleh

RAHMAD RIZKI ZUKHRIADI DLY

057023014/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERNYATAAN

HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN SISWA

DENGAN INFEKSI KECACINGAN ANAK SD

NEGERI DI KECAMATAN SIBOLGA KOTA

KOTA SIBOLGA

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2008

(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN HIGIENE PERORANGAN SISWA DENGAN INFEKSI KECACINGAN ANAK SD NEGERI DI KECAMATAN SIBOLGA KOTA KOTA SIBOLGA

Nama Mahasiswa : Rahmad Rizki Zukhriadi Dly

Nomor Induk Mahasiswa : 0 5 7 0 2 3 0 1 4

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui

Komisi Pembimbing :

(Prof.dr. Guslihan Dasatjipta,Sp. A (K)) (dr. Ria Masniari Lubis, Msi)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)

(4)

Telah Diuji

Pada tanggal : 13 Agustus 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.dr. Guslihan Dasatjipta,Sp. A (K)

Anggota : dr. Ria Masniari Lubis, MSi

Ir. Indra Chahaya S, Msi

(5)

ABSTRAK

Infeksi kecacingan adalah penyakit yang berbasis lingkungan, salah satunya adalah penyakit cacingan usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut Soil

Transmitted Helminths. Penyakit kecacingan pada anak dapat menurunkan status gizi,

sehingga anak rentan terhadap infeksi yang lain. Bila berlangsung lama keadaan ini akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. Hasil pemeriksaan kecacingan pada siswa Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Sibolga Kota yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2007) menunjukkan angka 43,33% positif infeksi kecacingan

Penelitian ini dilakukan di tiga SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga dengan tujuan untuk mengetahui angka infeksi kecacingan pada anak SD di Kecamatan Sibolga Kota dan mengetahui hubungan higiene perorangan siswa yaitu kebiasaan cuci tangan, kebiasaan kontak dengan tanah, penggunaan alas kaki, makanan jajanan dan kebersihan kuku dengan infeksi kecacingan. Jenis penelitian adalah analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional. Jumlah populasi sebanyak 188 orang dengan jumlah sampel sebanyak 120 orang. Pengambilan sampel dengan teknik simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dan observasi. Metode analisa data adalah Chi

Square test.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa angka infeksi kecacingan di SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota adalah 55,8% (95% c.i 46,9% – 64,7%). Angka infeksi masing-masing jenis cacing adalah infeksi cacing gelang 54,2% dan infeksi cacing cambuk 22,5 % sedangkan infeksi cacing tambang 0%. Hasil uji Chi square ada hubungan yang bermakna antara variabel kebiasaan cuci tangan sebelum makan, setelah buang air besar, setelah bermain tanah, kontak dengan tanah, makanan jajanan dan kebersihan kuku dengan infeksi kecacingan (p < 0,05), tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alas kaki dengan infeksi kecacingan.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Sibolga dan Puskesmas Sambas melakukan pembinaan kepada semua SD serta melakukan kegiatan promosi kesehatan untuk meningkatkan higiene perorangan siswa dan sanitasi lingkungan sekolah dan untuk pihak sekolah disarankan menegakkan disiplin pada siswa seperti pemeriksaan kebersihan kuku secara berkala.

(6)

ABSTRACT

Helminthic infections is an environmental-based disease and one type of its is the intestinal helminthic infections which transmitted through soil, that it is frequently called Soil Transmitted Helminths. Developing in children, this disease can decrease the nutrient status there fore they become more susceptible to the other kinds of infections. If it is occurs for a long time, it will disturb the children’s growth and development process. The result of examination done by North Sumatera Provinsial Health Office in 2007 shows that 43.33% of the Primary Schools students in the Sibolga Kota sub-district were positively developing the Soil Transmitted Helminthic. The purpose of this analytical study with cross sectional design conducted in three State Primary Schools located in Sibolga Kota sub-district, Sibolga, is to find out the rate of helminthic infections in the primary school students in Sibolga Kota sub-district, and to examine the relationship between the student’s individual hygiene such as habit of washing hands, habit of making contact with soil, habit of using footwear, eating snacks and cleaning finger nails and helminthic infections. The population of this study is 188 primary school students and 120 of them were selected to be the samples for this study through simple random sampling technique. The data were collected through questionnaire-based interviews and field observation. The data obtained were analyzed by of Chi-square test.

The result of study shows that the rate of helminthic infections in the primary school students in Sibolga Kota sub-district is 55.8% (95% c.i 46.9% – 64.7%). The infection rate of each worm type is roundworm 54.2%, tapeworm 22.5% and hookworm 0%. The result of Chi-square test shows that there is a significant relationship between the habit of washing hands before meals, after defecating, after playing with soil, making contact with soil, eating snack, cleaning finger nails and helminthic infections (p < 0.05), but there is no significant relationship between wearing footwear and helminthes infection.

Sibolga Distric Health Office and Sambas Primary Health Center are suggested to develop all of the Primary Schools and to implement health promotion activities to improve the student’s personal hygiene and the sanitation of school environment and the Heads of Primary Schools are suggested to maintain the school dicipline by doing a periodically check the cleaning of student’s finger nails.

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmad dan Hidayahnya serta Karunianya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Sebagai manusia yang tak pernah luput dari kesalahan, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, karena kemampuan dan pengalaman penulis masih jauh dari sempurna.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang saya hormati :

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Ibu

Prof.Dr.Ir. T.Chairun Nisa B., MSc atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS dan ibu Dr.Dra. Ida Yustina, MSi sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU Medan.

Bapak Prof.dr. Guslihan Dasatjipta,Sp. A (K), sebagai Ketua Komisi Pembimbing dalam penulisan tesis ini, dan Ibu dr. Ria Masniari Lubis, Msi ssebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan sejak dari persiapan peenelitian sampai selesainya tesis ini.

Ibu Ir. Indra Chahaya S.,Msi, Bapak dr. Wirsal Hasan, MPH dan Ibu Ir.Evi

Naria, Msi selaku Komisi Pembanding (Penguji), yang telah memberikan banyak

(8)

Para dosen pengajar di lingkungan Sekolah Pascasarjana USU, khususnya pada Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.

Bapak Dr. R. H. Sianturi selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Sibolga penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga, karena selama kepemimpinannya penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan sebanyak tiga kali, mulai dari akademi hingga pascasarjana.

Bapak Drs. Gazali Sianturi selaku Kepala Kantor Kesbang Dan Linmas Kota Sibolga yang telah memberikan izin bagi peneliti melakukan penelitian di wilayah Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga.

Ibu dr. Ratnawati Saing selaku Kepala Puskesmas Sambas Kecamatan Sibolga Kota, Kota Sibolga yang telah memberikan banyak dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini.

Kakanda Herawani Pasaribu, selaku petugas UKS Puskesmas Sambas, kakanda M Br. Sihombing, selaku petugas Laboratorium dan adinda Ferdinan

Gultom,SKM yang telah memberikan bantuan yang tak terhingga bagi penulis dalam

melaksanakan penelitian.

(9)

Alfian Helmi, Linda K. Bangun,SKM, Syafrizal,SKM, Jalaluddin,SKM serta teman seperjuangan Richad Pangaribuan,Ssi, Apt.

Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga berperan dalam proses penyelesaian tesis ini.

Melalui kesempatan ini, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga dan hormat ananda kepada Ayahanda H. Abd. Aziz

Daulay (Alm), dan khususnya wanita berhati baja Ibunda Hj. Dumasari W.

Nasution yang telah bersusah payah membimbing, mendidik dan membesarkan

penulis sejak kecil walaupun tanpa ayah disampingnya, serta Bapak dan Ibu mertua, Abang-abang serta kakak-kakak yang senantiasa memberikan dukungan doa dan perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Teristimewa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada

Ade Henny R,SKM istri yang senantiasa memberikan motivasi, dukungan waktu dan

tenaga serta doa dan ananda tercinta Claudya Rizki Audina Daulay, harapan papa tesis ini menjadi pendorong bagi ananda untuk menjadi anak yang lebih baik, lebih bijak dan lebih sukses di masa depan.

Medan,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Rahmad Rizki Zukhriadi Dly lahir di Padangsidimpuan 4 Agustus 1969 dari pasangan Papa tercinta (Alm) H. Abd. Aziz Daulay dan Ibunda tercinta Hj. Dumasari W. Nasution, anak ketujuh dari tujuh bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Padangsidimpuan lulus pada tahun 1981, melanjutkan ke SMP N. 2 Padangsidimpuan dan lulus pada tahun 1984, Masuk SMA Negeri 3 Padangsidimpuan lulus pada tahun 1987, kemudian mengikuti pendidikan pada SPPH Depkes RI Medan di Kabanjahe lulus pada tahun 1988, pada tahun 1994 tugas belajar pada PAM-SKL Kabanjahe dan selesai pada tahun 1996, kemudian mengikuti tugas belajar pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Unuversitas Sumatera Utara tahun 2001 dan selesai pada tahun 2003. Pengalaman bekerja penulis dimulai dari pengagkatan jadi CPNS pada tanggal 01 Nopember 1989 ditempatkan pada Dinas Kesehatan Kotamadya Sibolga. Tugas belajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi mulai tahun 2005 sampai sekarang.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK ...

ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ... RIWAYAT HIDUP ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I. PENDAHULUAN ………... 1.1. Latar Belakang ………... 1.2. Permasalahan ... 1.3. Tujuan Penelitian ………... 1.4. Hipotesis ………... 1.5. Manfaat Penelitian ………...

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1. Infeksi Cacing yang ditularkan melalui Tanah

(Soil-Transmitted Helminths) ………

2.1.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ………

2.1.1.1. Siklus Hidup ………...

2.1.1.2. Gejala Klinis ………...

2.1.1.3. Diagnosa ………...

2.1.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)………... 2.1.2.1. Siklus Hidup ……….

2.1.2.2. Gejala Klinis ……….

2.1.2.3. Diagnosa ………...

2.1.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale

dan Necator Americanus) ………

2.1.3.1. Siklus Hidup ……….

i ii iii vi vii xi xv xvi 1 1 5 5 6 6 7 7 7 7 9 10 10 10 11 11 11 11 2.1.3.2. Gejala Klinis ………...

2.1.3.3. Diagnosa ………...

2.2. Dampak Infeksi Kecacingan Pada Anak ………... 2.3. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia ……….... 2.4. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan ... 2.5. Faktor-faktor Lingkungan yang berhubungan Dengan

Infeksi Kecacingan ... 2.6. Hygiene Perorangan (Kebersihan diri) ... 2.7. Perilaku ...

(12)

2.8. Sanitasi Lingkungan ... 2.9. Landasan Teori ... 2.10. Kerangka Konsep ... BAB III. METODE PENELITIAN ... 3.1. Jenis Penelitian ... 3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 3.3. Populasi dan Sampel ...

3.3.1. Populasi ... 3.3.2. Sampel ...

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 3.5.1. Variabel ... 3.5.2. Definisi Operasional ... 3.6. Metode Pengukuran ...

3.6.1. Pengukuran Variabel Independen ... 3.6.2. Pengukuran Variebel Dependen ... 3.7. Metode Analisis Data ... BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...

21 22 25 26 26 26 26 26 27 29 30 30 30 31 31 32 32 33 33 4.1.1. Kondisi Geografi ...

4.1.2. Demografi ... 4.1.2.1. Jumlah Penduduk ... 4.1.2.2. Sarana Kesehatan ... 4.1.2.3. Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan ... 4.2. Analisis Univariat ...

4.2.1. Karakteristik Siswa ... ... 4.2.1.1. Umur Siswa ... 4.2.1.2. Jenis Kelamin Siswa ... 4.2.2. Kebiasaan Cuci Tangan ... 4.2.3. Kebiasaan Kontak Dengan Tanah ... 4.2.4. Penggunaan Alas Kaki ... 4.2.5. Makanan Jajanan ... 4.2.6. Kebersihan Kuku ... 4.2.7. Sanitasi Lingkungan Sekolah ... 4.2.8. Infeksi Kecacingan ... 4.2.9. Infeksi Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing ... 4.2.10. Infeksi Kecacingan Berdasarkan Asal Sekolah ... 4.3. Analisis Bivariat ... 4.3.1. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum

Makan Dengan Infeksi Kecacingan ...

(13)

4.3.2. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan Dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris

lumbricoides)...

4.3.3. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan Dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris

trichiura) ...

4.3.4. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Buang Air Besar Dengan Infeksi Kecacingan ...

41

42 43 4.3.5. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Setelah

Buang Air Besar Dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 4.3.6. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Buang Air Besar Dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ... 4.3.7. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Bermain Tanah Dengan Infeksi Kecacingan ... 4.3.8. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Setelah

Bermain Tanah Dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 4.3.9. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Bermain Tanah Dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ... 4.3.10. Analisis Hubungan Kontak Dengan Tanah Dengan Infeksi Kecacingan ... 4.3.11. Analisis Hubungan Kontak Dengan Tanah Dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 4.3.12. Analisis Hubungan Kontak Dengan Tanah Dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ... 4.3.13. Analisis Hubungan Penggunaan Alas Kaki Dengan Infeksi Kecacingan ... 4.3.14. Analisis Hubungan Penggunaan Alas Kaki Dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 4.3.15. Analisis Hubungan Penggunaan Alas Kaki Dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ... 4.3.16. Analisis Hubungan Makanan Jajanan Dengan Infeksi Kecacingan ... 4.3.17. Analisis Hubungan Makanan Jajanan Dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 4.3.18. Analisis Hubungan Makanan Jajanan Dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ...

(14)

4.3.19. Analisis Hubungan Kebersihan Kuku Dengan Infeksi Kecacingan ... 4.3.20. Analisis Hubungan Kebersihan Kuku Dengan

Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 4.3.21. Analisis Hubungan Kebersihan Kuku Dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ... BAB V. PEMBAHASAN ...………... 5.1. Infeksi Kecacingan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota …..………..……… 5.2. Higiene Perorangan Siswa ... 5.2.1. Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Dengan Infeksi Kecacingan ... 5.2.2. Hubungan Kebiasaan Kontak Dengan Tanah Dengan Infeksi Kecacingan ... 5.2.3. Hubungan Penggunaan Alas Kaki Dengan Infeksi Kecacingan ... 5.2.4. Hubungan Makanan Jajanan Dengan Infeksi Kecacingan ... 5.2.5. Hubungan Kebersihan Kuku Dengan Infeksi Kecacingan ... 5.2.6. Sanitasi Lingkungan Sekolah ... 5.3. Keterbatasan Penelitian ... BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...

6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ...

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Jumlah sampel pada setiap sekolah Berdasarkan Proporsi ... Hasil Analisa Validitas dan Reabilitas Instrumen Penelitian ... Pengukuran Variabel Independen ... Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2007... Distribusi Sarana Kesehatan di Kecamatan Sibolga Kota

Tahun 2007 ... Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Sambas Kecamatan Sibolga Kota tahun 2007 ... Distribusi Umur dengan Infeksi Kecacingan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008 ... Distribusi Jenis Kelamin dengan Infeksi Kecacingan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008 ... Distribusi Kebiasaan Cuci Tangan Siswa SD Negeri di

Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008 ... Distribusi Kebiasaan Kontak Dengan Tanah Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008 ... Distribusi Penggunaan Alas Kaki Siswa SD Negeri di

Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008 ... Distribusi Makanan Jajanan Siswa SD Negeri di

Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008 ... Distribusi Kebersihan Kuku Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008 ... Distribusi Infeksi Kecacingan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008 ...

(16)

15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

(17)

25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.

Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Bermain Tanah Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Kontak Dengan Tanah Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi

Kecacingan Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Kontak Dengan Tanah Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Kontak Dengan Tanah Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Penggunaan Alas Kaki Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Kecacingan Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Penggunaan Alas Kaki Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Penggunaan Alas Kaki Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Makanan Jajanan Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Iinfeksi Kecacingan Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Makanan Jajanan Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Cacing Gelang

(Ascaris lumbricoides) Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Makanan Jajanan Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Cacing Cambuk

(Trichuris trichiura) Tahun 2008 ...

(18)

35.

36.

37.

Hasil Uji Chi-square antara Kebersihan Kuku Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Kecacingan Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Kebersihan Kuku Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Cacing Gelang

(Ascaris lumbricoides) Tahun 2008 ... Hasil Uji Chi-square antara Kebersihan Kuku Siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota dengan Infeksi Cacing Cambuk

(Trichuris trichiura) Tahun 2008 ...

53

54

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. 2. 3.

Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ...

Siklus Hidup Trichuris trichiura ... Siklus hidup Hookworm Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus ...

8 10

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. 2.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12.

Kuesioner Penelitian ...

Hasil Pemeriksaan Feses Anak SD Negeri Kecamatan

Sibolga Kota ... Surat Permohonan Melaksanakan Penelitian ... Rekomendasi Izin Penelitian di Kecamatan Sibolga Kota ... Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... Hasil Perhitungan 95% c.i. ………... Output Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen Penelitian ... Output Hasil Uji Chi Square Test ……… Gambar Pemeriksaan Feses pada Laboratorium Puskesmas Sambas ... Gambar Sanitasi Lingkungan Sekolah SDN 081125 ... Gambar Sanitasi Lingkungan Sekolah SDN 081125 ...

Gambar Sanitasi Lingkungan Sekolah SDN 081125 ...

71

76 81 82 83 84 85 91

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia beserta perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Jika ditinjau lebih jauh mengenai Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997, maka manusia dengan lingkungan sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Keadaan sanitasi lingkungan yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri, didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di Indonesia (Zit, 2000).

Salah satu penyakit cacingan adalah penyakit cacingan usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut Soil Transmitted Helminths yang sering dijumpai pada anak usia Sekolah Dasar di mana pada usia ini anak masih sering kontak dengan tanah. Ada 3 jenis cacing yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris

lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

dan cacing cambuk (Trichuris trichiura), (Depkes RI, 2004)

(22)

83,0 %, Prevalensi tertinggi di propinsi Nusa Tenggara Barat diikuti Propinsi Sumatera Barat dan yang terendah di Propinsi Jawa Timur. Hasil survey prevalensi kecacingan tahun 2003 dengan sasaran dan lokasi yang sama pada tahun 2002 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Prevalensi kecacingan keseluruhan 33,1 %, cacing gelang 22, 26 %, cacing cambuk 20,30 % dan cacing tambang 0,75 % (Ditjend PPM-PL, 2004).

Hasil survey prevalensi kecacingan pada 10 propinsi tahun 2004, menunjukkan Propinsi Sumatera Utara berada pada urutan ke 3 (60,4 %) dalam hal penyakit kecacingan, urutan 1 dan 2 adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat (83,6 %) dan Propinsi Sumatera Barat (82,3 %). Sedangkan untuk angka Nasional adalah 30, 35 % dengan rincian prevalensi cacing gelang 17,75 %, prevalensi cacing cambuk 17,74). dan cacing tambang 6,46 % (Ditjend PPM-PL, 2004).

Hasil survey kecacingan pada anak Sekolah Dasar dari beberapa kabupaten di Sumatera Utara tahun 2005 didapatkan persentase kecacingan tertinggi di Kabupaten Tapanuli Tengah (66,67 %), Tapanuli Selatan (55 %), Nias (52,17 %), Labuhan Batu (45,59 %), Asahan (45,58 %), Tapanuli Utara (45,33 %) dan Padang Sidimpuan (34,23 %) (Dinkes Prop. SU, 2005).

(23)

antara kecacingan dengan malnutrisi, tingkat kesegaran jasmani, prestasi belajar, tingkat absentisme dan kemampuan fungsi kognitifnya (Nokes dan Bundi,1994). Gangguan kognitif secara langsung maupun tidak langsung menunjukkan bahwa mutu sumber daya manusia di Indonesia 65 % terganggu (Onggowaluyo & Ismid, 1998). Dapat dikatakan bahwa penyakit kecacingan walaupun tidak berakibat fatal akan tetapi menggerogoti kesehatan masyarakat terutama anak sekolah yang merupakan sumber daya manusia di kemudian hari.

Anak Usia Sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa yang akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik maupun intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa peneliti ternyata menunjukkan bahwa usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).

(24)

Kota Sibolga terletak pada pantai barat Sumatera dengan luas wilayah 10,77 km² yang terdiri dari daratan 889,16 Ha dan kepulauan 187,84 Ha. Wilayah administrasi Kota Sibolga terdiri dari 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Sibolga Utara, Kecamatan Sibolga Kota, Kecamatan Sibolga Sambas dan Kecamatan Sibolga Selatan, serta terdiri dari 17 Kelurahan (BPS Kota Sibolga, 2006)

Program pemeriksaan dan pemberantasan kecacingan Sekolah Dasar oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara untuk Kota Sibolga baru pertama kali dilakukan pada tahun 2007 adalah Kecamatan Sibolga Kota, sedangkan untuk 3 kecamatan lainnya belum pernah dilakukan. Dari 150 orang anak Sekolah Dasar yang diperiksa, ditemukan sebanyak 65 orang yang menderita penyakit kecacingan atau sebesar 43,33 % dengan rincian prevalensi cacing gelang 28,66 % (43 orang), prevalensi cacing cambuk 24,66 % (37 orang) dan cacing tambang 9,33 % (14 orang). Jika dibandingkan dengan angka Nasional infeksi kecacingan yaitu dibawah 10 % (Depkes, 2001), angka ini masih sangat tinggi, ini menunjukkan bahwa penyakit infeksi kecacingan masih sangat tinggi di Kota Sibolga.

(25)

dan 1748 diantaranya terdaftar di 15 Sekolah Dasar Negeri dan Swasta di Kecamatan Sibolga Kota (BPS Kota Sibolga, 2006). Dari 15 Sekolah Dasar atau yang sederajat , 8 diantaranya adalah Sekolah Dasar Negeri dan telah memiliki Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), tetapi baru 5 sekolah yang UKS nya sudah berjalan dengan baik dan 3 sekolah lagi UKS nya belum berjalan dengan baik karena sekolah tersebut belum memberikan kerjasama yang baik dengan petugas UKS Puskesmas Sambas (Puskesmas Sambas, 2007)

Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin menganalisa hubungan higiene perorangan siswa yaitu kebiasaan cuci tangan, kebiasaan kontak dengan tanah, penggunaan alas kaki, makanan jajanan, kebersihan kuku dengan infeksi kecacingan anak SD Negeri yang UKS nya belum berjalan dengan baik.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah tingginya angka prevalensi kecacingan anak SD dan belum diketahui hubungannya dengan higiene perorangan siswa di Kecamatan Sibolga Kota.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui angka kejadian infeksi kecacingan pada anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota.

(26)

kebersihan kuku dengan kejadian infeksi kecacingan pada anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota.

1.4. Hipotesis

1. Ada hubungan kebiasaan cuci tangan dengan infeksi kecacingan pada anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota.

2. Ada hubungan kebiasaan kontak dengan tanah dengan infeksi kecacingan pada anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota.

3. Ada hubungan penggunaan alas kaki dengan infeksi kecacingan pada anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota.

4. Ada hubungan makanan jajanan dengan infeksi kecacingan pada anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota.

5. Ada hubungan kebersihan kuku dengan infeksi kecacingan pada anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Sibolga dan Puskesmas Sambas khususnya pengelola program Usaha Kesehatan Sekolah dalam program pemberantasan kecacingan pada anak SD.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Cacing yang Ditularkan melalui tanah (Soil-Transmitted Helminths)

2.1.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

2.1.1.1. Siklus Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai cacing menjadi dewasa (Depkes RI, 2004).

(28)

Gambar 2.1. Siklus hidup Ascaris lumbricoides Keterangan :

1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus. Seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240,000 per hari, yang akan keluar bersama feses. 2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective setelah 18

hari sampai beberapa minggu di tanah,

3. Tergantung pada kondisi lingkungan ( kondisi optimum: lembab, hangat, tempat teduh).

4. Telur infective tertelan,

(29)

6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14 hari), menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya tertelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai dari tertelan telur infektif sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun di dalam tubuh (Albert, 2006).

2.1.1.2. Gejala Klinis

Infeksi biasa yang mengandung 10-20 ekor cacing sering berlalu tanpa diketahui penderita dan baru ditemukan pada pemeriksaan tinja rutin atau bila cacing dewasa keluar sendiri bersama tinja (Brown, 1983).

Menurut Brown (1983) Ascaris lumbricoides menimbulkan gejala penyakit yang disebabkan oleh :

a. Larva : menimbulkan kerusakan kecil pada paru-paru dan menyebabkan “loeffer

syndome” dengan gejala demam, batuk, infiltrasi paru-paru, oedema, asthma,

leucocytosis, eosinofilia.

(30)

2.1.1.3. Diagnosa

Diagnosa dapat ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada pemeriksaan feses secara langsung. Selain itu, diagnosa dapat juga dilakukan bila cacing dewasa keluar melalui mulut, hidung maupun anus (Jawetz et al, 1996).

2.1.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

2.1.2.1. Siklus hidup

Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah langsung, tidak diperlukan hospes perantara. Bila telur yang telah berisi embrio tertelan manusia, larva yang menjadi aktif akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa dan menetap. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus besar hospes (Brown, 1983).

[image:30.612.115.526.441.678.2]

Siklus hidup cacing Trichuris trichiura digambarkan sebagai berikut (Albert, 2006):

(31)

2.1.2.2. Gejala Klinis

Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual dan berat badan turun (Brown, 1983).

2.1.2.3. Diagnosa

Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada feses penderita.

2.1.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

2.1.3.1. Siklus Hidup

Hospes parasit ini adalah manusia, cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetasmenjadi larva

rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang

dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari

larynk, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa.

Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Gandahusada, 2004). Gambaran umum siklus hidup cacing Ancylostoma

(32)

Gambar 2.3. Siklus hidup Hookworm Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus

Keterangan :

(33)

2.1.3.2. Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh cacing tambang disebabkan oleh adanya larva dan cacing dewasa (Gandahusada, 2004).

a. Larva filariform : Stadium larva bisa menembus kulit maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch, perubahan pada paru-paru biasanya ringan.

b. Stadium dewasa, tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta gizi penderita. Sifat cacing dewasa yang menghisap darah, berpindah-pindah dan luka bekas isapannya terus mengeluarkan darah karena cacing ini mengeluarkan sejenis antikoagulan pada mukosa usus tempat mulutnya melekat sehingga dapat menimbulkan anemia.

2.1.3.3. Diagnosa

Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk memastikan untuk dapat membedakan dengan anemi karena defisiensi makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Diagnosa terakhir ditegakkan dengan menemukan telur cacing pada feses penderita. Secara praktis telur cacing Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator americanus. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan tekhnik pembiakan larva (Brown, 1983).

2.2. Dampak infeksi kecacingan pada anak

(34)

americanus) mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura

menimbulkan morbiditas yang tinggi Soedarto, 1991).

Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A (Hidayat, 2002).

Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml/hari/cacing (Gandahusada, 2004).

Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat (Gandahusada, 2004).

2.3. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia

Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur

(35)

yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan (Mahfuddin et al, 1994).

Penelitian yang dilakukan oleh Agustina dkk (2000) mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah dan kuku yang tercemar telur A.lumbricoides dan kejadian askariasis pada anak balita di Kecamatan Paseh Jawa Barat.

Selain melalui tangan, transmisi telur cacing ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut (Helmy et al, 2000).

Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi (Brown, 1979).

2.4. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan

(36)

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasdi lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit kecacingan adalah sebagai berikut (Nadesul, 1997).

1. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku jemari yang kotor.

2. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.

3. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol. 4. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.

5. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan buang kotoran di jamban.

6. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban

7. Biasakan tidak jajan panganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan. 8. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit cacingan, periksakan diri ke

puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan. 9. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas

10. Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik.

(37)

12. Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki.

13. Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap penyakit kecacingan

14. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang mengalir. Penanggulangan infeksi cacing usus tidak mudah karena keterkaitan dengan masalah lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan terpadu yang mencakup pengobatan massal, penyuluhan kesehatan, peningkatan status gizi, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta partisipasi masyarakat (Hadidjaja, 1994).

2.5. Faktor-faktor Lingkungan yang Berhubungan Dengan Infeksi Kecacingan

2.5.1. Iklim/Suhu

Telur N.americanus yang sering ditemukan didaerah tropis, akan berkembang dengan baik pada tanah yang berhumus dan menetas menjadi larva infektecius pada suhu 25-30°C dalam waktu satu minggu (Pawlowski et.al, 1991).

2.5.2. Tanah

(38)

bawah permukaan dan terlindung oleh lapisan tanah dari pengaruh sinar matahari dan kekeringan (Brown, 1979).

2.5.3. Sinar Matahari

Telur cacing dapat tumbuh optimal pada tempat teduh dan terlindung dari sinar matahari (Brown, 1979).

2.5.4. Angin

Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan telur dan larva cacing, disamping itu juga dapat membantu menyebarkan telur cacing bersama debu (Brown, 1979).

2.6. Higiene Perorangan (Kebersihan diri)

Kebersihan diri atau higiene perorangan yang buruk merupakan cerminan dari

kondisi lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat. Penduduk miskin dengan kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih besar untuk terinfeksi oleh semua jenis cacing (Brown, 1983).

Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Azwar, 1989).

(39)

a. Memelihara kebersihan b. Makanan yang sehat c. Cara hidup yang teratur

d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani e. Menghindari terjadinya penyakit

f. Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah

g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat h. Pemeriksaan kesehatan

Menurut Azwar (1993) pada prakteknya upaya higiene antara lain meminum air yang sudah direbus sampai mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok atau penjepit dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang.

(40)

2.7. Perilaku

Pada dasarnya bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja, sedangkan perilaku manusia adalah hasil pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang berwujud dalam bentuk pengetahuan , sikap dan tindakan. Dapat juga diartikan sebagai suatu kegiatan yang dapat diamati secara langsung maupun dengan menggunakan alat (Sarwono, 2004)

Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia itu sendiri. Perilaku merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan lain-lain. Gejala-gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, fasilitas dan faktor sosial budaya yang ada di lingkungannya (Notoatmojdo, 2003).

Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada umumnya terjadi di dekat rumah (Bakta, 1995).

(41)

2.8. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi atau kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di dalamnya.

Menurut Riyadi (1984) sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip usaha untuk meniadakan atau setidak-tidaknya menguasai faktor-faktor lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit, melalui kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk mengendalikan:

a. Sanitasi air b. Sanitasi makanan

c. Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah d. Sanitasi udara

e. Vektor dan binatang pengerat, dan f. Hygiene perumahan dan halaman

(42)

2.9. Landasan teori

Kejadian kecacingan pada anak usia Sekolah Dasar selain disebabkan oleh perilaku si anak itu sendiri, juga bisa disebabkan oleh perilaku orangtuanya yang tidak sehat serta kondisi lingkungan yang tidak sehat. Dengan demikian kejadian kecacingan pada anak di duga berkaitan pula dengan pendidikan dan pengetahuan orangtuanya, terutama pendidikan dan pengetahuan ibu dan lingkungan.

Proses terjadinya penyakit menurut John Gordon atau lebih dikenal dengan Model Gordon menggambarkan terjadinya penyakit sebagai adanya sebatang pengungkit, yang mempunyai titik tumpu ditengah-tengahnya. Pada kedua ujung batang tadi terdapat pemberat, yakni A (Agent), H (Host), dan tumpuannya adalah L (Lingkungan). A,H dan L dianggap sebagai tiga elemen utama yang berperan dalam interaksi ini, sehingga terjadi keadaan sehat ataupun sakit (Soemirat,2005).

A = Agent/penyebab penyakit

H = Host/pejamu/populasi beresiko tinggi L = Lingkungan

Seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

H A

L

(43)

Gambar diatas menunjukkan bahwa apabila pengungkit tadi berada dalam keseimbangan, maka dikatakan bahwa masyarakat berada dalam keadaan sehat. Apabila interaksi ketiga unsur tadi menghasilkan keadaan tidak seimbang, maka didapat keadaan yang tidak sehat atau keadaan sakit. Dengan demikian didapat empat kemungkinan terjadinya penyakit seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

L

A

H H

A L

Keadaan ke-1 Keadaan ke-2

[image:43.612.115.516.254.553.2]

Keadaan ke-3 Keadaan ke-4 Gambar 2.5. Empat Kemungkinan Keadaan Sakit

Keadaan ke-1 : Pada kasus ini dikatakan bahwa A memberatkan keseimbangan sehingga batang pengungkit miring kearah A. Dalam kasus ini pemberatan A terhadap keseimbangan diartikan sebagai Agent penyebab mendapat kemudahan menimbulkan penyakit pada Host.

L

H L

H

(44)

Keadaan ke-2 : Kasus ini terjadi apabila H atau pejamu memberatkan keseimbangan, sehingga batang pengungkit miring kearah H. Keadaan seperti ini dimungkinkan apabila H menjadi lebih peka terhadap suatu penyakit.

Keadaan ke-3 : Dalam hal ini bahwa penyebab ketidak seimbangan disebabkan oleh bergesernya titik tumpu. Hal ini menggambarkan terjadinya pergeseran kualitas lingkungan sedemikian rupa sehingga A memberatkan keseimbangan. Kasus seperti ini berarti bahwa pergeseran kualitas lingkungan memudahkan A memasuki tubuh H dan menimbulkan penyakit.

Keadaan ke-4 : Sama dengan keadaan ke-3 yaitu ketidak seimbangan terjadi karena pergeseran kualitras lingkungan, hanya sekarang mengakibatkan H memberatkan keseimbangan atau H menjadi sangat peka terhadap A.

(45)

Infeksi kecacingan pada anak SD sering terjadi karena perilaku sehari-hari yang kurang sehat. Perilaku bermain, tidak memakai alas kaki, menggunakan tangan ketika bermain dan tidak mencuci tangan setelah bermain, tidak mencuci tangan waktu akan makan dan setelah buang air besar dan perilaku buang air besar sembarang tempat adalah contoh perilaku yang kurang sehat.

Dari seluruh variabel-variabel yang berpengaruh tersebut diatas, penulis

membatasi hanya variabel-variabel yang dianggap berpotensial sebagai faktor terjadinya kecacingan.

Adapun variabel-variabel yang menjadi indikator terjadinya infeksi kecacingan adalah seperti pada kerangka konsep berikut ini :

2.10. Kerangka Konsep

Variabel Independen

Variabel Dependen Higiene Perorangan : - Kebiasaan cuci tangan

- Kebiasaan kontak dengan tanah

- Penggunaan alas kaki - Makanan Jajanan - Kebersihan kuku

Infeksi Kecacingan pada anak Sekolah Dasar

Sanitasi Lingkungan Sekolah

- Jamban

- Sarana Air Bersih - Pekarangan

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan rancangan

cross secsional yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan pada suatu

saat tertentu terhadap objek yang berubah, berkembang atau tumbuh menurut waktu (Budiarto, 2003).

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di SDN. 084084, SDN 081225 dan SDN 084085

di Kecamatan Sibolga Kota dengan alasan :

a. Sekolah Dasar Negeri tersebut merupakan Sekolah binaan Puskesmas Sambas. b. Sekolah Dasar Negeri tersebut sudah memiliki Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)

dan petugas UKS Puskesmas telah melalukan pembinaan tetapi Sekolah tersebut belum memberikan kerjasama yang baik sehingga kegiatan UKS tidak terlaksana dengan baik.

c. Dari Survey awal ditemukan sebanyak 25-35 % siswa memiliki Higiene Perorangan yang buruk seperti kuku kotor.

Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 16 sampai dengan 30 Mei 2008.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

(47)

a. Siswa kelas VI oleh karena diperkirakan sedang mengikuti Ujian Akhir Nasional pada waktu penelitian.

b. Siswa kelas I, II dan III oleh karena masih sulit untuk berkomunikasi.

Berdasarkan kriteria eksklusi diatas maka sampel akan ditarik hanya dari siswa kelas IV dan V yang jumlahnya 188 orang.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian diambil dengan menggunakan rumus Lemeshow, et.al (1997) sebagai berikut :

(

)

(

)

{

}

(

)

2

0 2 1 0 0 2 /

1 1 1

P P P P Z P P Z n a a a − − + − = −α −β Keterangan:

= Kekuatan uji yang diinginkan adalah sebesar 90%, maka = 0,1 = Tingkat kepercayaan yang diinginkan adalah 95% atau = 0,05

P0 = Proporsi infeksi kecacingan anak SD yang ada di Sibolga yang diperoleh

dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara sebesar 43%

Pa = Proporsi infeksi kecacingan anak SD yang diharapkan di Sibolga yaitu 28%

n = Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian Perhitungannya adalah sebagai berikut:

(

)

(

)

{

}

(

)

2

0 2 1 0 0 2 /

1 1 1

P P P P Z P P Z n a a a − − + − = −α −β

(

)

(

)

{

}

(

)

2
(48)

{

}

( )

2

2 15 , 0 45 , 0 . 282 , 1 49 , 0 . 96 , 1 + = n

{

}

02 , 0 58 , 0 96 ,

0 + 2

= n 02 , 0 37 , 2 = n 5 , 118 = n

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas diperoleh jumlah

[image:48.612.187.378.112.277.2]

sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu 118,5 dibulatkan menjadi 120 sampel. Untuk menentukan jumlah sampel dari masing-masing sekolah, digunakan cara proportional sample (Arikunto, 2002). Sedangkan untuk menentukan siswa yang akan dijadikan sample digunakan teknik simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak (Notoatmodjo, 2005).

Tabel 1. Jumlah Sampel Pada Setiap Sekolah Berdasarkan Proporsi No. Sekolah Jumlah Siswa (%) Jumlah Sampel

1. SDN. 084084 39 20,7 25

2. SDN 081225 64 34,1 41

3. SDN 084085 85 45,2 54

Jumlah 188 100,0 120

(49)

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat diperoleh dari data Primer dan Sekunder. a. Data Primer yang meliputi :

Higiene perorangan siswa (kebiasaan cuci tangan, kebiasaan kontak dengan tanah, penggunaan alas kaki, makanan jajanan, kebersihan kuku) yang didapatkan melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner dengan siswa Sekolah dasar dan observasi untuk memperoleh sanitasi lingkungan sekolah, makanan jajanan, kebersihan kuku serta pemeriksaan feses secara laboratorium. Dalam melakukan kunjungan ke sekolah peneliti dibantu oleh 1 orang petugas UKS dan 3 orang tenaga yang membantu wawancara dan observasi. Pemeriksaan feses dilakukan di Laboratorium Puskesmas Sambas oleh tenaga analis.

b. Data Sekunder yang meliputi :

Data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota Sibolga dan Puskesmas Sambas yang berhubungan dengan penelitian.

(50)
[image:50.612.116.528.140.342.2]

Tabel 2. Hasil Analisa Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Nilai r Nilai Alpha

No. Instrumen

min max min max total r tabel

=5%

df=N-2 1. Kebiasaan Cuci

Tangan

0,537 0,857 0,832 0,885 0,881 2. Kebiasaan Kontak

Dengan Tanah

0,503 0,594 0,545 0,660 0,714 3. Penggunaan Alas

Kaki

0,506 0,787 0,455 0,803 0,767 4. Kebersihan Kuku 0,483 0,724 0,753 0,831 0,826 5. Makanan Jajanan 0,522 0,825 0,739 0,868 0,845 6. Sanitasi Lingkungan

Sekolah

0,452 0,767 0,915 0,926 0,924

0,444

Nilai r dan nilai Alpha hasil uji validitas dan reliabilitas. Pengolahan data uji coba kuesioner tersebut menghasilkan nilai r hasil dan nilai Alpha lebih besar dari nilai r tabel. Berdasarkan tabel r dengan taraf signifikan 5% dengan menggunakan rumus df = N-2, maka nilai r tabel adalah 0,444. Hal ini bermakna bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam instrumen penelitian valid dan reliabel.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

3.5.1. Variabel

Variabel independen dalam penelitian ini adalah kebiasaan cuci tangan, kebiasaan kontak dengan tanah, penggunaan alas kaki, makanan jajanan, kebersihan kuku, dan Variabel dependen adalah infeksi Kecacingan.

3.5.2. Definisi Operasional

(51)

bermain tanah, yang akan dilihat apakah anak mencuci tangan atau tidak dan apakah anak yang mencuci tangan memakai sabun atau tidak.

b. Kebiasaan kontak dengan tanah adalah apakah siswa sering atau jarang bermain-main di tanah dan memegang tanah.

c. Penggunaan alas kaki adalah apakah siswa sering atau jarang menggunakan alas kaki pada saat keluar dari rumah terutama berjalan di tanah.

d. Makanan jajanan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh siswa untuk memilih makanan jajanan yang bersih dan tertutup.

e. Kebersihan kuku adalah kebiasaan yang dilakukan oleh siswa untuk memelihara kebersihan dan memotong kuku.

f. Infeksi kecacingan adalah ditemukannya satu atau lebih telur cacing usus pada siswa sekolah dasar melalui pemeriksaan feses dengan menggunakan metode Kato Kaltz.

3.6. Metode Pengukuran

3.6.1. Pengukuran Variabel Independen

(52)
[image:52.612.119.529.140.345.2]

Tabel 3. Pengukuran Variabel Independen No Nama

Variabel

Alat ukur Hasil Ukur Skala

1. Kebiasaan cuci tangan Kuesioner Tidak Cuci tangan

Cuci tangan dengan air

Cuci tangan pakai air dan sabun

Ordinal

2. Kebiasaan kontak

dengan tanah

Kuesioner Jarang (2 - 3)

Sering (0 – 1)

Ordinal

3. Penggunaan alas kaki Kuesioner Sering (2 - 3)

Jarang (0 – 1)

Ordinal

4. Makanan jajanan Kuesioner Baik (3 – 4)

Tidak Baik (0 – 2)

Ordinal

5. Kebersihan kuku Kuesioner Baik (3 - 5)

Tidak Baik (0 – 2)

Ordinal Ordinal

3.6.2. Pengukuran Variabel Dependen

Veriabel dependen adalah Infeksi kecacingan dengan indikator dijumpainya salah satu atau lebih jenis telur cacing dalam pemeriksaan feses secara laboratorium.

3.7. Metode Analisa Data

Data yeng telah diperoleh dianalisis melalui proses tahapan pengolahan data yang mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan uji chi-square/chi-kuadrat, metode ini digunakan untuk mengetahui hubungan semua variabel

independent (variabel bebas) terhadap variabel dependent (variabel terikat) yang

dapat dilakukan sekaligus. Menggunakan derajat kemaknaan dengan alpha = 0,05 (derajat kepercayaan 95%). Bila nilai p<0,05 maka hasil statistik dikatakan bermakna/ berhubungan. Untuk data yang tidak dapat dilakukan uji maka data akan digabung menjadi satu agar uji chi-square dapat digunakan.

(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Kondisi Geografi

Kecamatan Sibolga Kota berada di Wilayah Pemerintah Kota Sibolga, Propinsi Sumatera Utara. Luas Wilayah Kecamatan Sibolga Kota 2,31 Km², dengan ketinggian 1-50 m dari permukaan laut. Terdiri dari dataran tinggi dan daratan rendah (BPS Kota Sibolga, 2007). Adapun Batas-batas Wilayah Kecamatan Sibolga Kota adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sibolga Utara. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sibolga Sambas. c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sibolga Sambas d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sibolga Utara.

Secara Administrasi Wilayah Kecamatan Sibolga Kota terdiri dari 4 Kelurahan yaitu :

1. Kelurahan Kota Baringin 2. Kelurahan Pancuran Gerobak 3. Kelurahan Pasar Baru

(54)

4.1.2. Demografi

[image:54.612.112.528.208.344.2]

4.1.2.1. Jumlah Penduduk

Tabel 4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin Di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2007

Jenis Kelamin No. Golongan Umur

(Tahun) Laki-laki Perempuan

Jumlah % 1. 2. 3. 4. 5. 6. 0-4 5-14 15-29 30-49 50-74 > 74 1.242 2.491 1.557 1.786 759 24 1.312 2.442 1.607 1.697 884 82 2.554 4.933 3.164 3.483 1.643 106 16,09 31,06 19,92 21,92 10,35 0,66

Jumlah 7.859 8.024 15.883 100,0

Sumber : BPS Kota Sibolga, 2007

Jumlah penduduk di Kecamatan Sibolga Kota pada tahun 2007 adalah 15.883 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 7.859 jiwa dan perempuan 8.024 jiwa, dan paling banyak adalah golongan umur 5-14 tahun.

[image:54.612.112.530.489.675.2]

4.1.2.2. Sarana Kesehatan

Tabel 5. Distribusi Sarana Kesehatan Di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2007

No. Sarana Kesehatan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Rumah Sakit Umum Puskesmas

Puskesmas Pembantu Posyandu

Balai Pengobatan

Praktek Dokter Spesialis Praktek Dokter Umum Praktek Dokter Gigi Bidan Praktek Apotik Toko Obat 1 1 3 28 3 4 6 2 9 6 6

Jumlah 69

(55)

Sarana pelayanan kesehatan yang paling banyak di Kecamatan Sibolga Kota adalah Posyandu, dan yang paling sedikit adalah Rumah Sakit Umum

[image:55.612.114.528.234.441.2]

4.1.2.3. Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan

Tabel 6. Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Sambas Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2007

No. Jenis Tenaga Kesehatan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Dokter Umum Dokter Gigi Akademi Bidan Akademi Perawat Akademi Analis

Akademi Penilik Kesehatan Bidan Perawat Perawat Gigi Asisten Apoteker Gizi Pekarya Kesehatan 3 1 2 5 2 1 5 11 1 2 1 1

Jumlah 35

Sumber : Puskesmas Sambas Kecamatan Sibolga Kota, 2007

(56)

4.2. Analisis Univariat

4.2.1. Karakteristik Siswa

4.2.1.1. Umur Siswa

Tabel 7. Distribusi Umur dengan Infeksi Kecacingan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

Infeksi Kecacingan Umur

(Tahun) Positif % Negatif %

Jumlah

9-11 38 56,7 29 43,3 67

12-14 29 54,7 24 45,3 53

Jumlah 67 55,8 53 44,2 120

Positif infeksi kecacingan lebih banyak pada siswa umur 9-11 tahun dibandingkan dengan siswa umur 12-14 tahun.

4.2.1.2. Jenis Kelamin Siswa

Tabel 8. Distribusi Jenis Kelamin dengan Infeksi Kecacingan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

Infeksi Kecacingan Jenis

Kelamin Positif % Negatif %

Jumlah

Laki-laki 41 66,1 21 33,9 62

Perempuan 26 44,8 32 55,2 58

Jumlah 67 55,8 53 44,2 120

(57)

4.2.2. Kebiasaan Cuci Tangan

Tabel 9. Distribusi Kebiasaan Cuci Tangan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

Kebiasaan Cuci Tangan

Sebelum Makan Setelah Buang Air Besar

Setelah Bermain Tanah

Tidak cuci tangan 4 (3,3%) - 20 (16,7%)

Cuci tangan dengan air

74 (61,7%) 63 (52,5%) 61 (50,8%) Cuci tangan pakai

air dan sabun

42 (35,0%) 57 (47,5%) 39 (32,5%) Jumlah 120 (100,0%) 120 (100,0%) 120 (100,0%)

Semua siswa mencuci tangan setelah buang air besar, tetapi yang mencuci tangan pakai air dan sabun hanya 47,5%. Persentase cuci tangan pakai air dan sabun lebih tinggi pada setelah buang air besar dibandingkan sebelum makan dan setelah bermain tanah.

[image:57.612.114.528.182.305.2]

4.2.3. Kebiasaan Kontak Dengan Tanah

Tabel 10. Distribusi Kebiasaan Kontak Dengan Tanah Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

Kebiasaan Kontak Dengan Tanah Jumlah Persentase (%)

Jarang 38 31,7

Sering 82 68,3

Jumlah 120 100,0

Siswa SD Negeri yang mempunyai kebiasaan sering kontak dengan tanah lebih banyak dibandingkan siswa yang mempunyai kebiasaan jarang kontak dengan tanah

(58)

4.2.4. Penggunaan Alas kaki

Tabel 11. Distribusi Penggunaan Alas Kaki Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

Penggunaan Alas Kaki Jumlah Persentase (%)

Sering 104 86,7

Jarang 16 13,3

Jumlah 120 100,0

Siswa SD negeri yang sering menggunakan alas kaki lebih banyak dibandingkan siswa yang jarang menggunakan alas kaki.

[image:58.612.112.532.324.434.2]

4.2.5. Makanan Jajanan

Tabel 12. Distribusi Makanan Jajanan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

Makanan Jajanan Jumlah Persentase (%)

Baik 98 81,7

Tidak Baik 22 18,3

Jumlah 120 100,0

Siswa yang mempunyai makanan jajanan yang baik lebih banyak dibandingkan siswa yang mempunyai makanan jajanan yang tidak baik.

[image:58.612.114.527.573.631.2]

4.2.6. Kebersihan Kuku

Tabel 13. Distribusi Kebersihan Kuku Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

Kebersihan Kuku Jumlah Persentase (%)

Baik 48 40,0

Tidak Baik 72 60,0

Jumlah 120 100,0

(59)

4.2.7. Sanitasi Lingkungan Sekolah

Ke tiga sekolah yang menjadi lokasi penelitian mempunyai sanitasi kesehatan lingkungan yang baik, yaitu ketersediaan jamban yang berfungsi dengan baik, ada sumber air bersih dari PAM, pekarangan sekolah yang bersih, ada tempat pembuangan sampah, air minum di kantin sekolah sudah dimasak, ada lokasi tertentu untuk jajan siswa, makanan dan minuman di kantin tertutup dan tidak banyak lalat pada makanan dan minuman di kantin sekolah

[image:59.612.114.528.285.449.2]

4.2.8. Infeksi Kecacingan

Tabel 14. Distribusi Infeksi Kecacingan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

Jumlah

No. Infeksi Kecacingan N %

95% C.i

1. Positif 67 55,8 46,9%-64,7%

2. Negatif 53 44,2

Jumlah 120 100,0

Hasil pemeriksaan Laboratorium mengenai infeksi kecacingan siswa SDN di Kecamatan Sibolga Kota menunjukkan siswa yang positif menderita infeksi kecacingan sebanyak 55,8%.

4.2.9. Infeksi Kecacingan berdasarkan Jenis Cacing

Tabel 15. Distribusi Infeksi Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

No. Jenis Infeksi Positif

1. Cacing Gelang 40

2. Cacing Cambuk 2

3. Cacing Gelang + Cacing Cambuk 25

[image:59.612.113.529.612.687.2]
(60)

Dari 67 siswa yang positif infeksi kecacingan, ada yang hanya terinfeksi cacing gelang, ada yang cacing cambuk dan ada yang terinfeksi keduanya, berarti siswa yang terinfeksi cacing gelang 65 orang (40+25) dan yang terinfeksi cacing cambuk 27 orang (2+25).

[image:60.612.113.528.293.381.2]

4.2.10. Infeksi Kecacingan berdasarkan Asal Sekolah

Tabel 16. Distribusi Infeksi Kecacingan Berdasarkan Asal Sekolah Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Tahun 2008

Positif Negatif No. Asal Sekolah

N % N % Jumlah

1. SDN 084084 11 44,0 14 56,0 25

2. SDN 081225 25 61,0 16 39,0 41

3. SDN 084085 31 57,4 23 42,6 54

Jumlah 67 55,8 53 44,2 120

Positif infeksi kecacingan lebih tinggi pada siswa SDN 081225 dibandingkan dengan siswa SDN 084084 dan SDN 084085.

4.3. Analisis Bivariat

4.3.1. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan dengan

Infeksi Kecacingan

(61)
[image:61.612.115.528.167.271.2]

Tabel 17 Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Dengan Infeksi Kecacingan Tahun 2008

Infeksi Kecacingan

Positif Negatif p

No. Kebiasaan Cuci Tangan

N % N %

1. Tidak cuci tangan dan cuci tangan dengan air

58 86,6 20 37,7 2. Cuci tangan pakai air dan sabun 9 21,4 33 78,6

0,000

Jumlah 67 55,8 53 44,2

Positif infeksi kecacingan lebih tinggi pada siswa yang tidak cuci tangan dan cuci tangan dengan air sebelum makan yaitu 86,6 % dibandingkan dengan siswa yang cuci tangan pakai air dan sabun 21,4%. Hasil Uji Chi-square diperoleh p = 0,000, berarti dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan cuci tangan sebelum makan dengan infeksi kecacingan.

4.3.2. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan dengan

Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

(62)
[image:62.612.114.528.169.271.2]

Tabel 18. Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) Tahun 2008

Infeksi Cacing Gelang

Positif Negatif p No. Kebiasaan Cuci Tangan

N % N % 1. Tidak cuci tangan dan cuci

tangan dengan air

57 87,7 21 38,2 2. Cuci tangan pakai air dan sabun 8 19,0 34 81,0

0,000

Jumlah 65 54,2 55 45,8

Positif infeksi cacing gelang lebih tinggi pada siswa yang tidak cuci tangan dan cuci tangan dengan air sebelum makan yaitu 87,7% dibandingkan dengan siswa yang cuci tangan pakai air dan sabun 19,0%. Hasil Uji Chi-square diperoleh p = 0,000, berarti dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan cuci tangan sebelum makan dengan infeksi cacing gelang (Ascaris

lumbricoides).

4.3.3. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan sebelum makan dengan

Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

(63)

Tabel 19. Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Dengan Infeksi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) Tahun 2008

Infeksi Cacing Cambuk

Positif Negatif p

No. Kebiasaan Cuci Tangan

N % N % 1. Tidak cuci tangan dan cuci

tangan dengan air

23 29,5 55 70,5 2. Cuci tangan pakai air dan sabun 4 9,5 38 90,5

0,023

Jumlah 27 22,5 93 77,5

Positif infeksi cacing cambuk lebih tinggi pada siswa yang tidak cuci tangan dan cuci tangan dengan air sebelum makan yaitu 29,9% dibandingkan dengan siswa yang cuci tangan pakai air dan sabun 9,5%. Hasil Uji Chi-square diperoleh p = 0,023, berarti dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan cuci tangan sebelum makan dengan infeksi cacing cambuk (Trichuris

trichiura).

4.3.4. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Buang Air Besar

[image:63.612.118.527.168.271.2]

dengan Infeksi Kecacingan

Tabel 20. Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Buang Air Besar Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Dengan Infeksi Kecacingan Tahun 2008

Infeksi Kecacingan

Positif Negatif p No. Kebiasaan Cuci Tangan

N % N % 1. Cuci tangan dengan air 49 77,8 14 22,2 2. Cuci tangan pakai air dan sabun 18 31,6 39 68,4

0,000

Jumlah 67 55,8 53 44,2

(64)

31,6%. Hasil Uji Chi-square diperoleh p = 0,000, berarti dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan cuci tangan setelah buang air besar dengan infeksi kecacingan.

4.3.5. Analisis Hubungan Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Buang Air Besar

[image:64.612.111.528.308.393.2]

dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Tabel 21. Hasil Uji Chi-square antara Kebiasaan Cuci Tangan Setelah Buang Air Besar Siswa SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Dengan Infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) Tahun 2008

Infeksi Cacing Gelang

Positif Negatif p

No. Kebiasaan Cuci Tangan

N % N % 1. Cuci tangan dengan air 48 76,2 15 23,8

2. C

Gambar

Gambar 2.2. Siklus hidup Trichuris trichiura
Gambar 2.5. Empat Kemungkinan Keadaan Sakit
Tabel 1. Jumlah Sampel Pada Setiap Sekolah Berdasarkan Proporsi
Tabel 2. Hasil Analisa Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Ada hubungan antara kebiasaan memakai alas kaki dengan kejadian infeksi kecacingan pada pemulung sampah usia anak sekolah dasar di tempat pembuangan akhir Antang, kota

ini dengan Judul “Hubungan Personal Hygiene dan Tingkat Kecukupan Makanan terhadap Infeksi Kecacingan pada Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan asupan zat besi (Fe) dan infeksi kecacingan dengan kejadian anemia pada anak jalanan di

Namun walaupun dari hasil uji chi-square menunjukan ada hubungan bermakna antara higiene sanitasi dengan infeksi kecacingan tetapi pada data kuisioner menunjukan bahwa yang higiene

Kejadian Kecacingan di SD Negeri 101200 Desa Perkebunan Hapesong dan SD Negeri 101300 Desa Napa Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2015 ” guna memenuhi

Simpulan: Infeksi kecacingan STH tidak memiliki hubungan yang signifikan dalam meningkatkan prevalensi anemia pada anak-anak di SDN Barengan, Kecamatan Teras, Kabupaten

Namun walaupun dari hasil uji chi-square menunjukan ada hubungan bermakna antara higiene sanitasi dengan infeksi kecacingan tetapi pada data kuisioner menunjukan bahwa yang higiene

Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene Dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe [homepage on the