PERANAN DAN KEBERHASILAN HISTEROSKOPI PADA WANITA INFERTIL
TESIS
OLEH : M. OKY PRABUDI
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK – RSUD. Dr. PIRNGADI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Infertilitas merupakan masalah global dalam sudut pandang dari kesehatan
reproduksi. Insiden infertilitas beragam dan terbagi menurut penyebab infertilitas itu
sendiri. Hampir 15 persen dari pasangan di seluruh dunia adalah merupakan pasangan
yang infertil.
Infertilitas adalah tidak terjadinya kehamilan setelah menikah 12 bulan atau lebih
sedangkan pasangan tersebut melakukan hubungan seksual secara teratur dan tanpa
menggunakan kontrasepsi.1,2
Bila infertilitas tanpa adanya kehamilan sebelumnya disebut infertilitas primer dan
bila infertilitas ini terjadi pada pasangan yang sebelumnya pernah hamil disebut
dengan infertilitas sekunder.1,2,3
World Health Organization (1984) menyatakan bahwa pasangan suami istri (Pasutri)
yang mengalami infertil lebih kurang 10-15% dari pasangan usia subur (PUS). Bila di
Indonesia saat ini terdapat 25 juta PUS, maka berarti terdapat 2.5-4 juta pasangan
Infertilitas tidak hanya merupakan kondisi fisik akan tetapi juga emosional dan
kondisi sosial dimana membawa perasaan yang intens dari frustrasi, marah,
kekesalan, depresi, dan lain sebagainya pada pada kedua pasangan.1,2
Infertilitas dapat disebabkan oleh pihak istri maupun suami atau dari keduanya.
Penyebab dari pihak istri 40% dan dari pihak suami 40-45%. Permasalahan dari pihak
istri adalah ovulasi (20-40%), endometriosis (10%), tuba (20-40%), defek fase luteal
(<8-10%), endometrium (10%), mioma uteri (5%), faktor psikis (8%), dan
faktor-faktor lain (15-25%). Sedangkan dari pihak suami penyebabnya sebagian besar
adalah ooligozoospermia. Kombinasi antara keduanya (15-20%).1,2
Pemeriksaan dan pengobatan masalah infertilitas merupakan hal yang sangat
kompleks. Dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai disiplin ilmu, dalam hal ini
selain ahli ginekologi dilibatkan pula ahli endokrinologi reproduksi, andrologi,
biologi, radiologi, psikologi, dan lain-lain. Oleh karena sifatnya yang multi kompleks
ini maka pada pelaksanaan pemeriksaan dan pengobatan infertilitas ini membutuhkan
tahapan waktu yang relatif lama dan bermacam cara pengobatan tergantung pada
penyebabnya.1,2,3
Di negara maju pemeriksaan laparoskopi dan histeroskopi merupakan bagian dari
pemeriksaan rutin pada kasus infertilitas pada wanita. Akan tetapi pada umumnya
pemeriksaan ini merupakan tahapan akhir pemeriksaan. Pada kasus infertilitas,
pemeriksaan histeroskopi diagnostik (HD) dimana bila ditemukan adanya kelainan
yang dapat menyebabkan infertilitas maka akan dapat langsung dilakukan tindakan
terapeutik (operatif).2,3
George A Viloz dan Basim2, dalam dekade terakhir ini teknik histeroskopi merupakan suatu kemajuan dalam bidang ginekologi, dimana sebagai seorang
ginekolog dapat melakukan diagnostik dan terapeutik secara bersamaan. Sebuah
penelitian prospektif menyimpulkan bahwa histeroskopi dan Histerosalfingografi
(HSG) secara statistik mempunyai hasil yang sama untuk mengevaluasi kavum uteri
pada wanita infertil.
Davis dkk3, dalam penelitiannya terhadap 28 wanita infertil dengan paling kurang mempunyai satu mioma uteri dengan diameter 4-13.3 cm (rata-rata 6 cm), dilakukan
miomektomi laparoskopi dan histeroskopi, ternyata mendapatkan keberhasilan hamil
pasca tindakan sebesar 64.3%. Empat pasien diantaranya mengalami abortus spontan
dan 14 pasien lagi dilahirkan hingga aterm. Enam pasien diantaranya dilahirkan
dengan persalinan pervaginam sedangkan 8 pasien lagi dilahirkan secara seksio
sesarea.
Histeroskopi yang diiringi dengan tindakan laparoskopi merupakan baku emas untuk
diagnostik dan penatalaksanaan septum pada uterus. Insiden septum pada uterus
bukan merupakan indikasi intervensi tindakan bedah dalam penatalaksanaan
elektro surgery (monopolar atau bipolar), atau dengan menggunakan laser, general
atau tanpa tindakan anestesi sama sekali.3
Adhesi intrauterin terjadi oleh karena trauma pada lapisan basalis endometrium yang
disebabkan oleh kuretase, endomiometritis, miomektomi multipel, ablasi
endometrium dan radiasi pelvik. Timbulnya adhesi dapat menyebabkan gangguan
berupa berkurangnya atau ketiadaan haid, infertil, gangguan kehamilan seperti
abortus berulang, plasenta akreta, dan IUGR. Adhesi intrauterin ini dapat dikoreksi
dengan menggunakan alat histeroskopi adhesiolisis. Alat histeroskopi adhesiolisis ini
menggunakan histeroskop berdiameter kecil. Prosedur dapat dilakukan dengan
menggunakan gunting, laser dan versapoint elektroda.5
Hiperplasia endometrium dapat diterapi dengan menggunakan teknik ablasi
endometrium. Teknik ini telah dikembangkan sejak tahun 1980-an yang juga dikenal
dengan teknik ablasi endometrium generasi pertama, kemudian dilanjutkan generasi
kedua yang dikembangkan pada 1990-an. Kelebihan teknik ini adalah visualisasi
langsung ke dalam rongga rahim dan tingkat keberhasilan teknik ini dilaporkan
sangat baik.6
Pemakaian alat histeroskopi di Medan masih jarang, hal ini kemungkinan disebabkan
besarnya biaya yang diperlukan untuk menyediakan alat ini. Fasilitas histeroskopi
dapat ditemukan di beberapa rumah sakit di Medan. Rumah Sakit Ibu dan Anak
histeroskopi tidak dilakukan oleh dokter umum atau residen melainkan dokter ahli
ginekologi yang telah mendapat sertifikasi pelatihan khusus tindakan histeroskopi.
B. PERMASALAHAN
1. Dewasa ini tingkat insidensi pasangan infertilitas meningkat, dimana setiap
pasangan keluarga baru secara normal pasti menginginkan keturunan.
2. Sering terjadi dalam penanganan infertilitas dimana secara klinis dan USG
terdapat kesan uterus dan kedua adneksa dalam batas normal, namun setelah
diberikan terapi belum juga mendapat hasil yang memuaskan. Lama kelamaan
pasangan tersebut timbul rasa bosan untuk berobat dan putus asa. Hal ini
dapat disebabkan karena kurang lengkapnya pemeriksaan dan pengobatannya.
C. KERANGKA PEMIKIRAN
Infertilitas karena faktor kelainan pada kavum uteri merupakan sebagian besar
dari penyebab infertilitas wanita dan kelainan ini sebagian besar dapat didiagnosis
dan ditangani dengan menggunakan histeroskopi operatif.
D. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui peranan histeroskopi pada wanita infertil.
2. Tujuan Khusus
pendekatan histeroskopi diagnostik maupun operatif.
b. Untuk mengetahui kelainan-kelainan yang didapat dengan histeroskopi
c. Untuk mengetahui hubungan kelainan yang didapati tersebut dengan
keberhasilan hamil
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Dapat mengetahui faktor penyebab infertilitas pada wanita dengan
menggunakan histeroskopi.
2. Dari hasil penelitian ini diharapkan bahwa penanganan histeroskopi dapat
memberikan peranan dalam menangani permasalahan infertilitas yang
ditandai dengan meningkatnya angka keberhasilan hamil setelah dilakukan
penanganan.
3. Dengan adanya peningkatan angka keberhasilan hamil pada penelitian ini
maka tindakan histeroskopi dapat dianjurkan sebagai salah satu cara
pemeriksaan dan penanganan pada penatalaksanaan kasus infertilitas pada
F. KERANGKA KONSEPSIONAL
Wanita Infertil
Sudah lama berobat Pada pemeriksaan
USG dan HSG dengan hasil kurang jelas
Pasien unexplained infertility
Dicurigai menderita adhesi intauterin, polip, septa serta kelainan lain secara klinis dan USG
Histeroskopi Diagnostik
Dijumpai Kelainan
Histeroskopi Operatif
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. INFERTILITAS 1. Definisi
Infertilitas adalah tidak terjadinya kehamilan setelah menikah 1 tahun atau lebih dengan catatan pasangan tersebut melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa
adanya pemakaian kontrasepsi.1
World Health Organization (WHO) memberi batasan 1,3:
a. Infertilitas primer adalah belum pernah hamil pada wanita yang telah berkeluarga
meskipun hubungan seksual dilakukan secara teratur tanpa perlindungan
kontrasepsi untuk selang waktu paling kurang 12 bulan.
b. Infertilitas sekunder adalah tidak terdapat kehamilan dalam waktu 1 tahun atau
lebih pada seorang wanita yang telah berkeluarga dengan hubungan seksual
secara teratur tanpa perlindungan kontrasepsi, tetapi sebelumnya pernah hamil.
2. Insiden
Insiden infertilitas berkisar antara 10 – 15% dari pasangan usia subur. Insidensi
infertilitas meningkat sejak 40 tahun terakhir ini. Sumapraja, dalam penelitiannya
mendapatkan insiden infertilitas sebesar 20% dari PUS, sedangkan Southan
3. Etiologi 1,6
Secara statistik penyebab pasangan infertil dari faktor suami 40-45% dan faktor istri 40%. Dari pihak istri penyebabnya adalah : Permasalahan dari pihak istri
adalah ovulasi (20-40%), endometriosis (10%), tuba (20-40%), defek fase luteal
(<8-10%), endometrium (10%), mioma uteri (5%), faktor psikis (8%), dan
faktor-faktor lain (15-25%). Sedangkan dari pihak suami penyebabnya sebagian besar
adalah ooligozoospermia. Kombinasi antara keduanya (15-20%).
Secara umum infertilitas dapat disebabkan oleh :
a. Gangguan pada hubungan seksual
b. Jumlah sperma dan transportasinya yang abnormal
c.Gangguan ovulasi dan hormonal termasuk pada tingkat reseptor hormon
reproduksi.
d. Kelainan pada tempat implantasi dan uterus.
e. Kelainan jalur transportasi/tuba fallopii.
f. Gangguan peritoneum.
g. Gangguan immunologik.
Unexplained Infertility dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk hamil
setelah 1 tahun tanpa ditemukannya suatu abnormalitas menggunakan prosedur
ditemukan pada pasangan ”unexplained infertility” dan kemungkinan mempunyai
korelasi terhadap infertilitas 14 : 1. faktor ovarium dan endokrin
2. faktor peritoneal
3. faktor tuba
4. faktor endometrium
5. faktor serviks
6. faktor imunitas
7. faktor suami
8. faktor embriologi
Infertilitas pada wanita dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
a. Nutrisi
Hipovitaminosis, defisiensi protein dan anemia.6
b. Endokrinologi
1. Hipofise
Ovulasi dan kehamilan tergantung pada produksi normal dari thyrotropin,
adrenokortikotropin dan gonadotropin (FSH, LH, LTH). Gangguan ovarium
sekunder terjadi bila fungsi hipofise menurun atau meningkat. Hipopituarisme
dapat menyebabkan kolaps pembuluh darah karena perdarahan atau nekrosis
kelenjar hipofise (sindroma Sheehan), granuloma, kista dan tumor serta anemia
2. Tiroid
Hipotiroidisme dapat menyebabkan anovulasi dan infertilitas. Pada
hipertiroidisme yang berat juga dapat menyebabkan infertilitas yang terjadi
amenorrhea.12
3. Adrenal
Hiperaktivitas kelenjar adrenokortikal (sindroma cushing) dapat menurunkan
terjadinya ovulasi. Kegagalan kelenjar adrenal (penyakit Addison)
menyebabkan atropi gonad.12
c. Infertilitas karena faktor serviks
Serviks berfungsi sebagai barier terhadap mikrobiologi infeksius dan merupakan
saluran sperma ke dalam uterus. Serviks akan memberi respon secara imunologis
bila bertemu dengan mikrobiologi infeksius namun tidak memberi respon secara
imunologik bila bertemu dengan antigen permukaan spermatozoa. Sekresi serviks
menyebabkan bagian proksimal vagina bersifat basa (pH = 8.5) dibandingkan
bagian distal (pH = 3 – 5).12,14
Kelainan serviks yang dapat menyebabkan infertilitas adalah 9:
1. Perkembangan serviks yang abnormal sehingga dapat mencegah migrasi sperma
atau tidak mampu mempertahan produk kehamilan .
2. Tumor serviks (polip, mioma) dapat menutupi saluran sperma atau
3. Servisitis yang menghasilkan asam atau sekresi purulen yang bersifat toksin
terhadap spermatozoa. Streptococcus, staphylococcus, gonococcus, tricomonas
dan infeksi campuran merupakan penyebab terbanyak.
d. Infertilitas karena faktor tuba 20
Tuba fallopii dapat tersumbat, berkelok-kelok atau mengalami perlengkatan.
Penyebab utama gangguan ini adalah karena adanya penyakit peradangan pelvik.
e. Infertilitas karena faktor uterus 12,14
Kelainan uterus yang menyebabkan infertilitas antara lain :
1. Septum uteri
Hal ini dapat menghambat maturasi normal embrio karena kapasitas uterus yang
kecil. Septum uteri menurut tingkatan berdasarkan ukuran septum dibagi menjadi 3
kelompok yakni :
- Stadium I : 0 – 1 cm
- Stadium II : 1 - 3 cm
- Stadium III : > 3 cm
2. Tumor uterus (polip dan mioma) menyebabkan perdarahan discharge, merubah
vaskularisasi dan mengurangi kapasitas uterus.
3. Kelainan endometrium, seperti adanya polip, endometritis, hiperplasia dan
Sindroma Asherman terjadi oleh karena dilakukannya dilatasi dan kuretase yang
merupakan blind procedure sehingga terjadi interuterine scar dan akhirnya
menjadi sinekhia intrauterin.
Bozdag dkk, mengatakan bahwa penyebab utama dari sindroma Asherman adalah dilakukannya dilatasi dan kuretase yang mana merupakan blind method, yang
secara respektif persentase insiden terjadinya sindroma Asherman akibat kuretase
adalah 14 % – 36%.35
American Fertility Society membagi sindroma Asherman menurut derajatnya
adhesinya dapat dibagi menjadi 3 bagian yakni24:
I. Mild : <1/3 bagian dari kavum uteri yang terlibat adhesi
II. Moderate : 1/3 - 2/3 bagian dari kavum uteri yang terlibat adhesi
III. Severe : > 2/3 bagian dari kavum uteri yang terlibat adhesi
f. Infertilitas karena gangguan faktor ovulasi 5,6 Gangguan ovulasi dapat berupa :
1. Anovulasi kronik
Disini walaupun produksi gonadotropin dan steroid normal, namun tetap terjadi
ovulasi. Gambaran klinisnya berupa oligomenorhea, kadar estrogen yang tinggi
pada epitel vagina dan mucus serviks dan terjadi perdarahan withdrawal setelah
2. Oligo ovulasi
Merupakan varian dari ovulasi kronik, secara klinik dan uji laboratorik sama,
namun fungsi fertilitas sebelumnya pernah normal. Bila ovulasi merupakan
satu-satunya penyebab infertilitas maka dalam tiga bulan akan terjadi
kehamilan setelah induksi ovulasi.
g. Gangguan fase luteal 5,6,9
Defek fase luteal diartikan sebagai keterlambatan dua hari atau lebih
perkembangan endometrium secara histologis dibandingkan dengan siklus
menstruasi, kemungkinan karena disebabkan oleh sekresi aksi progesteron yang
tidak adekuat. Meskipun defek fase luteal secara langsung sering disebabkan oleh
penurunan produksi hormon oleh korpus luteum, penyebab yang sering
mendasarinya bermacam-macam, antara lain :
1. Penurunan kadar FSH pada fase folikular
2. Pola abnormal sekresi LH
3. Penurunan kadar LH dan FSH saat ovulasi
h. Infertilitas karena endometriosis 5,6,12
Endometriosis dapat menyebabkan infertilitas karena perlengketan sehingga
menghambat motilitas tuba dan ovum pick up. Selain itu pada endometriosis yang
ringanpun dapat menyebabkan infertilitas melalui beberapa mekanisme, yaitu :
1. Produksi prostaglandin sehingga mempengaruhi motilitas tuba atau
folikulogenesis dan fungsi korpus luteum.
2. Melalui makrofag peritoneum, ditemukan peningkatan aktifitas makrofag
yang akan memfagosit sperma.
3. Dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan folikel, disfungsi ovulasi dan
kegagalan perkembangan embrio.
i. Infeksi 14
Terdapat dua mikroba patogen yang sangat potensial menyebabkan infeksi, yaitu
Chlamydia trachomatis dan mycoplasma species. Chlamydia merupakan
penyebab PID sekitar 20%, juga menyebabkan infeksi asimtomatik terhadap
organ genitalia wanita dan diyakini sebagai penyebab “silent tuba infection” yang
dapat menyebabkan kerusakan tuba. Mycoplasma hominis dan ureaplasma
ureatikum ditemukan lebih banyak pada mucus serviks dan semen pada pasangan
infertil. Penyebab lain yang sering juga menimbulkan infeksi adalah gonorrheae.
j. Faktor imunologi 12,14
Etilogi terjadinya antibodi antisperma belum diketahui secara jelas, kemungkinan
kemungkinan berhubungan dengan trauma atau kerusakan pada epitel vagina saat
berhubungan seks.
4. Penanganan Infertilitas Pada Wanita 1,9
Penanganan infertilitas diarahkan kepada penyebab infertilitas itu sendiri. Oleh
karena itu dibutuhkan kejelian dalam langkah-langkah pemeriksaan dalam
mencari penyebabnya.
Secara praktis pemeriksaan pada kasus infertilitas pada 3 tahapan.
a. Tahap Pertama (Fase I) 1,9,12
1. Pemeriksaan riwayat infertilitas (anamnesis).
Anamnesis masih merupakan cara terbaik untuk mencari penyebab
infertilitas pada wanita. Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan
infertilitas yang harus ditanyakan kepada pasien adalah mengenai usia
pasien, riwayat kehamilan sebelumnya, panjang siklus haid, riwayat
penyakit sebelumnya dan sekarang, riwayat operasi, frekuensi koitus dan
waktu koitus.
Perlu juga diketahui pola hidup dari pasien mengenai alkohol, merokok dan
2. Pemeriksaan fisik
Disini perlu diperiksakan indeks massa tubuh, pemeriksaan kelenjar tiroid,
hirsutisme, akne sebagai pertanda hiperandrogenisme. Adanya galaktorea
merupakan tanda dari hiperprolaktinemia. Disini juga dilakukan
pemeriksaan pelvik untuk mengetahui apakah ada kelainan di vagina,
serviks dan uterus.
3. Penilaian ovulasi
Cara sederhana untuk mengetahui ovulasi adalah dengan mengukur suhu
badan basal (SBB). SBB juga dapat digunakan untuk menentukan
kemungkinan hari ovulasi. Cara lain yang dapat digunakan untuk penilaian
ovulasi adalah dengan pemeriksaan USG transvaginal dan pemeriksaan
hormon progesteron darah. Pada pemeriksaan dengan USG transvaginal
dapat dilihat pertumbuhan folikel, bila diameternya mencapai 18-25 mm
berarti menunjukkan folikel yang matang dan akan terjadi ovulasi.
4. Uji pasca senggama (UPS)
Merupakan cara pemeriksaan yang sederhana tetapi dapat memberi
informasi tentang interaksi antara sperma dengan getah serviks. UPS
dilakukan 2 – 3 hari sebelum perkiraan ovulasi dimana “spin barkeit” dari
Pengambilan getah serviks dari kanalis endo-serviks dilakukan setelah
2 – 12 jam senggama. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop. UPS
dikatakan positif, bila ditemukan paling sedikit 5 sperma perlapangan
pandang besar (LPB). UPS dapat memberikan gambaran tentang kualitas
sperma, fungsi getah serviks dan keramahan getah serviks terhadap sperma.
b. Tahap Kedua (Fase II) 1,9,12
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan HSG untuk menilai patensi tuba. Uji
ini dilakukan pada paruh pertama siklus haid dimana sebelum tindakan
dilakukan pasien dianjurkan tidak senggama paling sedikit 2 hari
sebelumnya. HSG dilakukan oleh ahli radiologi dengan menyuntikkan
larutan radio-opaque melalui kanalis serviks ke uterus dan tuba fallopii.
c. Tahap Ketiga (Fase III) 1,12
Akhir-akhir ini laparoskopi dianggap cara terbaik untuk menilai fungsi tuba
fallopii. Kedua tuba dapat dilihat secara langsung dan potensinya dapat diuji
dengan menyuntikkan larutan metilen blue atau Indigokarmin dan dengan
melihat pelimpahannya ke dalam rongga peritoneum. Dengan laparoskopi
dapat sekaligus melihat kelainan yang kemungkinan terhadap di dalam
rongga peritoneal, seperti endometriosis, perlengketan pelviks dan patologi
ovarium.
B. HISTEROSKOPI PADA INFERTILITAS
1. Riwayat Endoskopi
Endoskopi adalah merupakan suatu instrumen untuk melihat rongga peritoneum,
struktur rongga pelvis dan juga dapat dipakai untuk tindakan operatif. Endoskopi
pertama dilakukan oleh Philip Bozzini pada tahun 1805 dengan menggunakan pipa
dan cahaya lilin, pada saat itu digunakan untuk memeriksa bagian dalam urethra.
Sejak saat itu insrumen laparoskopi dan histeroskopi dikembangkan.2,3,4
Evaluasi kavum uteri sangat diperlukan bila dijumpai perdarahan uterus yang
abnormal. Hal ini disebabkan perubahan endometrium yang siklik dan terjadi terus
menerus oleh pengaruh steroid. Struktur dan ketebalan dari endometrium juga
berpengaruh terhadap kondisi ini, kemungkinan hal inilah yang menyebabkan
perdarahan yang abnormal tersebut. Dapat juga kemungkinan proses malignansi pada
kavum uteri. Kelainan struktur ini dapat dideteksi dan diterapi dengan menggunakan
alat histeroskopi. 2,3,4
Histeroskopi merupakan prosedur diagnostik dan terapeutik dalam ginekologi klinis.
Kebanyakan praktisi di luar negeri menggunakan metode ini untuk mengevaluasi
uterus pada praktek sehari-hari. Kebutuhan untuk mengetahui normal atau
2. Histeroskopi
a. Indikasi dan kontra indikasi 2,3,7
Indikasi untuk histeroskopi adalah diagnostik dan terapeutik. Indikasi diagnostik
antara lain adalah evaluasi infertilitas, septum, polip endometrium, leiomyoma
uteri submukosa dan adhesi intrauterin. Indikasi terapeutik (operatif) adalah septum,
adhesi, polip endometrium , sterilisasi hiseroskopi dan anomali dari uteri lainnya.
Beberapa kontra indikasi absolut dalam histeroskopi tidak boleh dilakukan bila
kontra indikasi ini ditemukan. Terkadang praktisi harus memodifikasi dan pasien
diseleksi per individu. Kontra indikasi absolut antara lain penyakit radang panggul
karena dapat berpotensi menyebar infeksi, melalui aliran darah, atau limfatik
sistemik, atau tuba fallopii ke dalam intraperitoneal. Kontra indikasi lainnya adalah
profuse uterine bleeding dimana histeroskopi menjadi tidak efektif, hal ini
disebabkan akan mengganggu visualisasi pada saat melakukan histeroskopi.
Beberapa kontra indikasi lain adalah penyakit jantung, asidosis metabolik,
kehamilan, kanker serviks, servikal stenosis, dan operator yang tidak
berpengalaman.
b. Histeroskopi pada infertilitas 3
Pemakaian histeroskopi pada infertilitas dapat untuk tujuan diagnostik maupun
terapeutik. Patrick dkk mengatakan bahwa pemeriksaan histeroskopi sangat
membantu dalam diagnostik pada wanita-wanita infertil. Hanya pemeriksaan ini
hasil yang masih meragukan (samar), atau kehamilan belum terjadi setelah
pengobatan.
Rafael F. Valle 2 mengemukakan bahwa pemeriksaan histeroskopi dapat dilakukan setiap saat , bahkan pada praktek sehari-hari untuk pemeriksaan infertilitas. Hal ini
dikarenakan oleh karena banyak hal-hal yang sulit dideteksi oleh pemeriksaan
ginekologis rutin, dan dengan cara inilah dapat diperoleh informasi yang akurat dari
kavum uteri.
Pada umumnya indikasi diagnostik dan operatif histeroskopi pada infertilitas
adalah 2,3:
1) Mengevaluasi perdarahan uterus yang abnormal yang tidak terdeteksi
pada wanita pre/postmenopause.
2) Mendiagnosa dan memperbaiki adanya adhesi intrauterin.
3) Mendiagnosa dan menterapi secara operatif septa pada uterin.
4) Mendiagnosa dan secara transervikal mengangkat leiomyoma
submukosa atau polip.
5) Mengevaluasi pasien infertil dengan histerosalfingografi yang
abnormal.
6) Mencari lokasi IUD yang tertanam dan mengangkatnya, serta benda
asing lainnya.
7) Mengeksplorasi kanal endoservikal dan kavum uteri dalam kasus
8) Mengevaluasi abortus yang terjadi pada awal trimester kehamilan.
9) Ablasi endometrium.
10) Kanula tuba fallopii.
Gambar 1. A.Adhesi Intrauterin. B-D.Histeroskopi Operatif Pada Adhesi Intrauterin (sindroma Asherman)34
Gambar 3. Miomektomi Dengan Alat Histeroskopi35
Gambar 5. Histeroskopi Operatif Pada Polip Endometrium34
3. Alat-alat histeroskopi 2 a. Histeroskop / teleskop b. Resektoskop
c. Sumber cahaya
d. Peralatan vidio
e. Generator elektrosurgikal
f. Laser
g. Gunting
h. Alat biopsi
j. Insuflator
k. Meja ginekologik
Gambar 6. Alat Histeroskopi34
4. Langkah-langkah Histeroskopi 2
Hal-hal yang harus diperhatikan saat melakukan histeroskopi adalah sebagai berikut :
1. Waktu
2. Tempat
3. Peralatan yang memadai
4. Posisi pasien
5. Anestesi
6. Pengenalan instrument
7. Survei diagnostik
5. Teknik Tindakan Histeroskopi 2,8,12
Histeroskopi merupakan prosedur tindakan invasif. Sebagai kaidah umum (tergantung
pada indikasi dimana prosedur ini dilakukan) harus dilakukan uji coba non invasif
yang sederhana. Mengacu pada siklus menstruasi, prosedur pemeriksaan dilakukan
pada fase folikuler agar mendapat informasi yang baik. Histeroskopi diagnostik
dilakukan tergantung pada peralatan yang ada pada suatu klinik, apakah
menggunakan anestesi lokal, umum, ataupun tidak sama sekali. Prosedur histeroskopi
dilakukan dalam posisi litotomi dorsal. Semua perlengkapan diagnostik umum seperti
spekulum, swab holder, tenakulum, alat histeroskopi dan sarung pembungkusnya,
sistem iluminasi, media distensi, dan peralatan vidio harus telah dipersiapkan. Sebuah
perangkat dilator serviks harus pula dipersiapkan akan tetapi alat ini jarang diperlukan
pembungkusnya dan mengunci alat tersebut. Sistem distensi disambungkan pada
inflow stop cock dan media tersebut dialirkan melalui sarung histeroskopi untuk
mendemonstrasikan aliran media dan sistem pengiriman bekerja sebagaimana
mestinya. Akan tampak adanya gelembung udara bila tidak ada obstruksi dari gas
karbon dioksida yang dialirkan. Sebuah kabel halus terpasang pada teleskop dan
lampu dinyalakan. Teleskop diuji untuk mengetahui sistim lensa terletak dan bekerja
sebagaimana mestinya. Kamera vidio disambung pada lensa dan difokuskan pada
daerah yang berwarna putih sehingga kamera dapat mengenali area berwarna putih
tersebut. Kemudian diambil gambar pada area kelainan yang didapat. Setelah didapati
kelainan kemudian melakukan tindakan histeroskopi operatif pada kelainan tersebut.
6. Kelebihan 2,3
Kelebihan histeroskopi antara lain :
1. Sensitifitas histeroskopi lebih baik bila dibandingkan dengan dilatasi &
kuretase
2. Histeroskopi diagnostik lebih akurat daripada HSG
3. Membebaskan adhesi intrauterin
4. Waktu perawatan yang singkat
5. Hipertermia post operatif jarang terjadi.
6. Insidensi infeksi saluran kemih jarang terjadi
7. Komplikasi 2,3,4
Penggunaan alat histeroskopi merupakan prosedur yang relatif aman bila dilakukan
secara benar dan pada indikasi yang tepat juga operator yang cukup terlatih.
Sebagaimana histeroskopi yang merupakan teknik invasif didapati juga berbagai
komplikasi. Lindemann pada tahun 1986 menemukan insidensi komplikasi serius
yang menunjukkan angka 0.012%. Sebagai penambahan bahwa didapati beberapa
komplikasi minor, akan tetapi angka kematian tidak dijumpai.
Disini harus diingat bahwa operator yang terlibat merupakan histeroskopis yang
terlatih. Komplikasi histeroskopi antara lain 2,3: 1. Kegagalan dalam menyelesaikan prosedur
Kurang dari 2 % pasien mengalami kegagalan penyelesaian prosedur. Hal ini
gelembung atau darah atau mukus di dalam kavum uteri, dan yang paling sering
oleh karena kurang nyamannya pasien yang non anestetik, juga operator yang
kurang berpengalaman.
2. Media distensi
Karbon dioksida dapat menyebabkan nyeri pada bahu saat paska operatif.
Beberapa kasus penggunaan dekstran dengan berat molekul yang tinggi dapat
menyebabkan respiratory distress syndrome.
3. Prosedur
Trauma servikal, perforasi uterus dan munculnya penyakit radang panggul akut
dapat timbul oleh prosedur ini.
4. Anestesi
Idiosinkrasi atau reaksi alergi dapat timbul pada penggunaan anestesi lokal.
Komplikasi general anestesi biasanya jarang terjadi pada prosedur ini, bila
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini dirancang secara deskriptif retrospektif yaitu untuk menilai keberhasilan menjadi hamil pada wanita infertil setelah dilakukan histeroskopi
operatif.
B. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian ini dilakukan di RSIA Rosiva Medan dengan waktu penelitian dilakukan selama 2 tahun yang dimulai pada 1 Januari 2005 sampai dengan 31 Desember 2006,
kemudian luaran akan difollow up sampai April 2007.
C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh wanita yang menderita infertil yang mengikuti tindakan histeroskopi diagnostik dan operatif di RSIA Rosiva Medan sejak 1 Januari
2005 sampai dengan 31 Desember 2006.
2. Kriteria Penerimaan
a. Sudah lama berobat tetapi belum berhasil mendapat kehamilan.
b. Dicurigai menderita adhesi intrauterin, polip, septa serta kelainan lain yang
c. Pasien infetilitas pada pemeriksaan USG dan HSG memberikan hasil yang
kurang jelas.
d. Pasien “unexplained infertility”.
e. Usia < 40 tahun
f. Infertil > 1 tahun
g. Analisa sperma suami dalam batas normal
3. Kriteria Penolakan
a. Penderita penyakit jantung
b. Menderita penyakit radang panggul
c. Kanker serviks
d. Servikal stenosis
e. Hamil
f. Analisa sperma suami abnormal
g. Gagal tindakan histeroskopi
D. BATASAN OPERASIONAL
1. Histeroskopi diagnostik adalah merupakan suatu alat untuk mengetahui
kelainan pada organ reproduksi interna wanita.
2. Histeroskopi operatif adalah tindakan untuk memperbaiki kelainan-kelainan
yang dijumpai pada organ reproduksi interna wanita, yakni dengan melakukan
pembebasan adhesi intrauterin, pemisahan septum, miomektomi, ekstirpasi
3. Infertilitas primer adalah belum pernah hamil pada seorang wanita yang telah
berkeluarga meskipun hubungan seksual dilakukan secara teratur tanpa
perlindungan kontrasepsi untuk selang waktu paling kurang 12 bulan.
4. Infertilitas sekunder adalah tidak terdapat kehamilan dalam waktu 1 tahun atau
lebih pada seorang wanita yang telah berkeluarga dengan hubungan seksual
tanpa perlindungan kontrasepsi, tetapi sebelumnya pernah hamil.
5. Usia penderita adalah < 40 tahun dengan infertilitas, dan menginginkan
keturunan.
E. KASUS DAN CARA PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data dari catatan medik pasien infertil yang telah dilakukan histeroskopi operatif selama 2 tahun (1 Januari 2005 s/d 31
Desember 2006) dan luaran akan difollow up sampai April 2007 kemudian data yang
diperoleh disusun dan ditabulasi lalu disajikan dalam bentuk tabel sesuai dengan
tujuan penelitian ini dan diolah dengan program statistik komputer.
F. PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA STATISTIKA
Data dari hasil penelitian dicatat dalam formulir penelitian yang disimpan sebagai berkas data dalam komputer dan selanjutnya dianalisa dengan komputer menggunakan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data dari catatan medik pasien infertil yang
telah dilakukan histeroskopi operatif selama 2 tahun (1 Januari 2005 s/d 31 Desember
2006) dan luaran difollow up sampai April 2007. Dari penelitian diperoleh 64 pasien
sesuai dengan kriteria yang diinginkan dengan jumlah berhasil hamil setelah dilakukan
histeroskopi operatif berjumlah 23 (62.2%) pasien.
1. Umur
Tabel I. Sebaran umur pasien
UMUR (TAHUN) n %
20-24
25-29
30-34
35-39
5
20
23
16
7.8
31.3
35.9
25.0
Jumlah 64 100
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa umur terbanyak pasien adalah antara 30-34
tahun, berjumlah 23 (35.9%) pasien sedangkan yang paling sedikit adalah umur antara
20-24 tahun, berjumlah 5 (7.8%) pasien.
WHO (1984) menyatakan bahwa pasangan suami istri (Pasutri) yang mengalami infertil lebih kurang 10-15% dari pasangan usia subur (PUS). Bila di Indonesia saat ini terdapat
Dari data yang diambil dari Dinas Kesehatan Kotamadya Medan, PUS berjumlah
298.850 orang (April 2007). PUS disini didefinisikan istri dengan umur 15 sampai
dengan 49 tahun atau suami istri lebih dari 49 tahun dan istri masih menstruasi.
2. Paritas
Tabel II. Sebaran penderita menurut paritas
PARITAS n %
0
1
2
45
12
7
70.3
18.8
10.9
Jumlah 64 100
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa paritas 0 merupakan paritas terbanyak dari
penderita berjumlah 45(70.3%) pasien sedangkan yang paling sedikit adalah paritas 2,
berjumlah 7(10.9%) pasien.
Bansal K , mengatakan bahwa angka kejadian pasangan infertil di seluruh dunia adalah sebesar 15 %. Dimana sekitar 8-10% dari seluruh pasangan tersebut adalah infertilitas
primer.1
3. Lama Infertilitas dan Jenis Infertilitas
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebaran lamanya pasien mengalami infertilitas
beragam mulai dari 1 tahun sampai lebih 10 tahun. Lamanya infertilitas yang paling
banyak dijumpai pada kelompok 2 tahun berjumlah 13 (20.3%) pasien dengan infertilitas
primer dan 5(7.8%) yang mengalami infertiltas sekunder. Secara statistik tidak dijumpai
hubungan bermakna antara lamanya infertilitas dengan jenis infertilitas. Dalam penelitian
ini terlihat adanya bahwa lama infertilitas yang banyak dijumpai adalah antara 2 sampai
dengan 4 tahun.
Eskandari dan Cadieux mengatakan bahwa prevalensi infertilitas wanita adalah berkisar antara 7-28%. Hal ini sangat bergantung kepada usia dari pasien yang
4. Hubungan Riwayat Pengobatan dan Jenis Infertilitas
Tabel IV Hubungan riwayat pernah mendapat pengobatan infertilitas dan jenis infertilitas
JENIS INFERTILITAS
PRIMER SEKUNDER RIWAYAT
PENGOBATAN
n % n % p
Pernah
Tidak Pernah
36
8
56.3
12.5
20
-
31.3
- 0.041
Jumlah 44 68.8 20 31.3
Uji Chi Square
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar penderita pernah melakukan
pengobatan terhadap infertilitas yang dialaminya, ini dapat dilihat dari tingginya jumlah
infertilitas yang berobat, yaitu berjumlah 36(56.3%) pasien dengan infertilitas primer dan
20(31.3%) dengan infertiltas sekunder. Secara statistik, dijumpai hubungan bermakna
antara riwayat pengobatan dan jenis infertilitas dengan p < 0.05
Mahajan N, mengatakan bahwa sebanyak 15% hingga 20% pasangan infertil yang melakukan pengobatan infertil didapati secara pemeriksaan klinis dan ginekologis rutin
5. Jenis Tindakan
Tabel V. Jenis tindakan histeroskopi yang dilakukan
TINDAKAN n %
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tindakan pembebasan adhesi merupakan
tindakan yang paling banyak dilakukan untuk mengatasi infertilitas yaitu berjumlah
12(18.8%) pasien sedangkan yang paling sedikit dilakukan adalah kanulasi tuba,
berjumlah 2(3.1%) pasien dan sebanyak 27 (42.2%) pasien tidak dijumpai adanya
kelainan .
Taylor P.J, melakukan penelitian tentang jenis tindakan histroskopi yang dilakukan. Dimana adhesiolisis perhisteroskopi yang dilakukan pada wanita infertil adalah yang
paling sering dilakukan dan dijumpai sindroma Asherman. Persentase adhesiolisis
per-histeroskopi yang diikuti oleh keberhasilan kehamilan adalah sebanyak 60 % hingga
6. Rata-Rata Waktu Hingga Hamil
Tabel VI. Sebaran rata-rata waktu menjadi hamil setelah tindakan histeroskopi operatif
LAMA WAKTU (BULAN) n %
1-2
3-4
5-6
7-8
9-10
1
8
9
2
3
4.3
34.8
39.1
8.7
13.1
Jumlah 23 100
Dari tabel sebelumnya dapat diketahui bahwa kehamilan setelah histeroskopi operatif
terbanyak pada bulan 5-6, berjumlah 9(39.1%) pasien sedangkan yang paling sedikit pada
bulan 1-2, berjumlah 1(4.3%) pasien.
Grimbizis melaporkan bahwa keberhasilan kehamilan setelah dilakukan histeroskopi operatif adalah sebanyak 59.9%. Hal ini didasari oleh jenis infertilitas penderita, serta
7. Usia Pasien Yang Berhasil Hamil
Tabel VII. Sebaran usia pasien yang berhasil hamil setelah dilakukan histeroskopi
operatif
USIA (TAHUN) n %
< 35
> 35
22
1
95.7
4.3
Jumlah 23 100
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kehamilan terbanyak pada usia penderita <35
tahun, yaitu berjumlah 22(95.7%) pasien.
Bansal K, menyatakan bahwa pasien infertil dengan usia lebih dari 35 tahun yang diterapi secara agresif, bila dibandingkan dengan pasien yang lebih muda maka
keberhasilan kehamilan pada usia lebih dari 35 didapati lebih rendah. Persentase
keberhasilan kehamilan dengan usia >35 tahun adalah 8 % - 10 %.1
Nygren KG, mengatakan bahwa keberhasilan pengobatan infertilitas sangat bergantung kepada usia penderita, dimana usia kurang dari 35 tahun kemungkinan untuk terjadi
8. Jenis Infertilitas Yang Berhasil Hamil
Tabel VIII. Hubungan jenis infertiltas dengan angka kebehasilan hamil
BERHASIL HAMIL
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa angka keberhasilan hamil setelah dilakukan
histeroskopi operatif pada pasien infertilitas primer berjumlah 16(36.4%) pasien dari 44
pasien yang mengalami infertilitas primer sedangkan pada infertilitas sekunder berjumlah
7(35.0%) pasien dari 20 pasien. Dan tidak dijumpai hubungan bermakna antara jenis
infertilitas dengan angka keberhasilan hamil.
WHO, data yang diambil dari negara-negara berkembang dengan infertilitas primer dimana sebelum terapi jumlahnya sebesar 20%, namun setelah terapi keberhasilan
9. Stadium Septum Uteri Yang Berhasil Hamil
Tabel. IX. Sebaran keberhasilan hamil menurut stadium septum uteri
BERHASIL HAMIL
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa 2(100%) pasien dengan stadium I septum uteri
berhasil hamil setelah dilakukan histeroskopi operatif dan tidak dijumpai kehamilan pada
stadium II, dan III. Secara statistik tidak dijumpai hubungan bermakna antara stadium
septum uteri dengan keberhasilan hamil.
Buttram dan Gibbonsmelaporkan bahwa angka kehamilan tertinggi pada septum uteri yang telah dilakukan histeroskopi operatif adalah pada stadium I yakni 75%, dan pada
10. Hubungan Riwayat Tindakan Kuret Dengan Terjadinya Sindroma Asherman Tabel X. Sebaran riwayat jumlah tindakan kuret yang dilakukan dengan terjadinya sindroma Asherman
Derajat Sindroma Asherman Total
I II III
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa angka kejadian sindroma Asherman tidak
dijumpai pasa pasien yang tidak pernah dikuret dan meningkat pada pasien dengan
riwayat kuret. Jumlah tertinggi dijumpai pada riwayat 1 kali kuret, 5(100%) pasien
dengan sindroma Asherman derajat 1, diikuti masing-masing 2(33.3%) pada sindroma
Asherman derajat I, II, dan III dengan riwayat kuret 2 kali dan berjumlah 1(100%)
pasien pada sindroma Asherman derajat III dengan riwayat kuret >2 kali. Secara statistik
tidak dijumpai hubungan bermakna antara riwayat kuret dengan timbulnya sindroma
Asherman.
Bozdag dkk, mengatakan bahwa penyebab utama dari sindroma Asherman adalah melakukan dilatasi dan kuretase secara blind procedure, dimana secara respektif
11. Derajat Sindroma Asherman Yang Berhasil Hamil
Tabel XI. Sebaran derajat sindroma Asherman yang berhasil hamil BERHASIL HAMIL
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa 5(71.4%) pasien dari 7 pasien dengan sindroma
Asherman derajat I yang berhasil hamil setalah dilakukan histeroskopi operatif dan
1(50%) dari 2 pasien pada derajat II. Dan tidak dijumpai kehamilan pada sindroma
Asherman derajat III walaupun telah dilakukan histeroskopi operatif. Secara statistik
tidak dijumpai hubungan antara sindroma Asherman dengan keberhasilan hamil.
Walaupun demikian dengan data diatas merekomendasikan bahwa sindroma Asherman
dengan derajat III sulit untuk hamil.
Baggish SM dkk. melaporkan bahwa angka keberhasilan kehamilan sindroma Asherman setelah dilakukan histeroskopi operatif 35%-60%. Hal ini bergantung kepada derajat
sindroma Asherman yang diterapi menggunakan histeroskopi operatif. Semakin tinggi
12. Keberhasilan Kehamilan Menurut Ukuran Polip Endometrium Tabel XII. Sebaran keberhasilan hamil menurut ukuran polip endometrium
BERHASIL HAMIL
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa 1(100%) pasien dengan polip endometrum
< 1 cm yang berhasil hamil setelah dilakukan histeroskopi operatif sedangkan polip yang
berukuran >1 cm, pasien yang berhasil hamil berjumlah 4(50.0%) pasien dari 8 pasien.
Walaupun secara statistik tidak dijumpai hubungan bermakna antara keberhasilan hamil
dengan polip endometrium.
Perez-Medina, meneliti keberhasilan kehamilan pada wanita infertil dengan polip endometrium. Dimana sebanyak 28.2% terjadi kehamilan setelah diterapi dengan
histeroskopi operatif. 35
13. Keberhasilan Kehamilan Menurut Ukuran Mioma Submukosa
Tabel XIII. Sebaran keberhasilan hamil menurut ukuran mioma submukosa BERHASIL HAMIL
HAMIL TIDAK HAMIL TOTAL
MIOMA SUBMUKOSA
(CM) n % n % n % P
< 2
>2
3
4
75.0
66.7
1
2
25.0
33.3
4
6
100
100 0.778
Uji Chi Square
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa mioma submukosom yang telah dilakukan
histeroskopi operatif menunjukkan keberhasilan kehamilan, yaitu berjumlah 3(75.0%)
pasien dari 4 pasien dengan ukuran mioma submukosa < 2 cm, dan 4(66.7%) dari 6
pasien dengan mioma submukosa > 2 cm. Secara statistik, tidak dijumpai hubungan
bermakna antara ukuran mioma submukosa dengan berhasil hamil.
Fernandez et al. melakukan penelitian terhadap 200 wanita infertil dengan mioma submukosa, angka keberhasilan kehamilan terhadap pasien yang dilakukan histeroskopi
14. Keberhasilan Kehamilan Menurut Kelainan Yang Didapati dan Diterapi Dengan Histeroskopi
Tabel XIV. Sebaran Keberhasilan hamil menurut kelainan yang didapati dengan Histeroskopi
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa 23(62.2%) pasien dari 37 pasien yang berhasil
hamil setelah mendapat terapi histeroskopi dengan tingkat keberhasilan hamil yang
tinggi dijumpai pada mioma submukosa berjumlah 7(77.8%) pasien dari 9 pasien. Secara
statistik tidak dijumpai hubungan bermakna dalam penatalaksaan histeroskopi terhadap
kelainan yang didapat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Pada penelitian ini dijumpai 23(62.2%) pasien kasus infertilitas yang berhasil
hamil setelah dilakukan tindakan histeroskopi operatif dengan usia paling banyak
terjadi kehamilan <35 tahun berjumlah 22(95.7%) pasien.
2. Pada penelitian ini dijumpai bahwa faktor penyebab infertilitas yang terbanyak
adalah sindroma Asherman. Tindakan yang terbanyak dilakukan adalah
adhesiolisis, berjumlah 12(18.8%) pasien diikuti dengan ekstirpasi polip
10(15.6%) pasien dan miomektomi 9(14.1%) pasien.
3. Pada penelitian ini dilakukan histeroskopi diagnostik pada sebanyak 64 pasien
dengan 27(42.2%) dijumpai tanpa kelainan.
B. SARAN
1. Pemeriksaan klinis dan ginekologik pada pasien – pasien dengan masalah
infertilitas sebaiknya menggunakan alat histeroskopi sebagai tahapan akhir baik
dalam diagnostik maupun terapetik.
2. Penatalaksanaan histeroskopi dapat dilakukan pada kasus mioma submukosa, polip
KEPUSTAKAAN
1. Bansal K, Practical Approach to Infertility Management, Jaypee Brothers.
New Delhi, 2004; 1-37.
2. Speroff, Fritz A.M. Clinical Gynecology Endrocinology and Infertility. 7th Edition. Baltimore Maryland : Williams & Wilkins, 2005 : 1013-56.
3. Hansotia M, Desai S, Parihar M, Advance Infertility Management. Federation
of Obstetric & Gyneacological Societies of India. Jaypee Brothers. New Delhi,
2002 : 82-85.
4. Valle R. F,Sciara J.J, A Manual of Clinical Hysteroscopy, The Partenon
Publishing Group Inc. USA, 1998 ; 11-38.
5. Taylor P.J, Gordon A. G, Practical Hysteroscopy, Blackwell Scientific
Publications, London, 1993 ; 1-29.
6. Guedj H, Valle R.F, An Atlas of Hysteroscopy, The Encyclopedia of Visual
Medicine Series, The Partenon Publishing Group. USA, 1997 ; 11-14.
7. Baziad A. Endokrinologi Ginekologi, edisi kedua, Media Aesculapius, FK UI,
2003 ; 158-166.
8. Mencaglia L, Hamou J.E, Manual of Hysteroscopy . Diagnosis & Surgery.
Endo-press, Tuttlingen. Germany, 2002 : 4-22.
9. Adiyono W, Praptohardjo U, Moerjono S, Laparoskopi & Histeroskopi. Buku
Ajar Endoskopi. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang, 2005 :
231-234.
10.Coddington III C.C, Gynecologic Operative Endoscopy.W.B. Saunders
11.Tulandi T, Laparoscopic & Hysteroscopic Techniques for Gynecologists. 2nd Edition. W. B. Saunders. Canada, 1999 : 247-53.
12.Hadibroto B.R. Histeroskopi. Departemen Obstetri & Ginekologi FK-USU RS
HAM-RSPM. Medan, 2005 : 1-16.
13.Seifer B, Collins R.L, Office-Based Infertilty Practice. Springer. New York,
2002 : 116-125.
14.Gomel V, Jain N, State of the Art Atlas of Endoscopic Surgery in Infertility &
Gynecology. Jaypee Brothers. New Delhi, 2004 : 469-72.
15.Balen A.H, Jacobs H.S, Infertility in Practice. 2nd Edition. Churchill Livingstone. London, 2004 : 51-98.
16.Shelat N.R, Progress in Reproductive Endocrinology. Federation of Obstetric
& Gynaecological Societies of India. Jaypee Brothers. New Delhi, 2003 : 21-29.
17.DeCherney A, Nathan L, Current Obstetric & Gynecologic. Diagnosis &
Treatment. 9th Edition. McGraw-Hill. USA, 2003 : 979-90.
18.Hedon B, Bringer J, Mares P, Fertility & Sterility, The Partenon Publishing
Group. France, 1995 : 131-33.
19.Harrison R.F, Bonnar J, Thompson W, Advances in Fertility Control & the
Treatment of Sterility, MTP Press Limited. Dublin, 1984 : 11-21.
20.Shearman R.P, Clinical Reproductive Endocrinology, Churchil Livingstone,
Sydney, 1985 : 481-06.
22.Brill A.I, Contemporary Hysteroscopy, Educational Program, Participant’s
Guide. Chicago, 2000 : 1-26.
23.Vilos A.G,Abu-Rafea B, New Development in Ambulatory Hysteroscopic
Surgery, 2005. Available from : http://www.sciencedirect.com
24.Suton C, Hysteroscopic Surgery, 2005. Available from :
http://www.sciencedirect.com
25.Baxter N, Hudson H, Rogerson L, Hysteroscopic Sterilisation: a Study of
Women’s Attitudes to a Novel Procedure, 2005. Available from :
http://www.bjog.com
26.Jansen R. Overcoming Infertility, Scientific American Books, 2003. Available
from : http://www.jansen.com.au/glossary.asp?start=j&end=1
27.Allahbadia GN. Merchant R. Gynecological Endoscopy & Infertility. Jaypee
Brothers. New Delhi .2006: 353-59.
28.Marlow JL. Media and Delivery System. Obstet Gynecol North Am, 1995 Sep:
409-22.
29.March CM. Hysteroscopy. J Reprod Med 1992 Apr; 37 (4) : 293-311 ; discussion
311-2
30.Isaacson K. New Developments In Operative Hysteroscopy. Obstet Gynecol
Clin North Am 2000; 375-83.
31.Propst AM. Liberman RF. Harlow BL. Complication Of Hysteroscopic
Surgery. Obstet Gynecol 2000; 96(4): 517-20
32.Balmaceda JP. Ciuffardi I. Hysteroscopy and Assisted Reproductive
33.Petrozza JC. .Hysteroscopy. Department of Obstetrics and Gynecology. Harvard
Medical School. Massachusetts General Hospital. 2005: 20-25.
34.Sugimoto O. A Color Atlas Of Hysteroscopy. Springer-Verlag . Japan, 1999 :
7-21.
35. Bagish SM. Valle RF. Hysteroscopy. Visual Perspectives of Uterine Anatomy
,Physiology & Pathology 3rd Ed. Lippincott William & Wilkins, USA. 2007 : 385- 97.
36. Rowe J.P. Comhaire F.H. WHO Manual for The Standardize Investigation and
Diagnosis of The Inferile Couple. Cambridge University Press, USA 1993 : 40 –
67.
no Nama Umur Paritas Lama