TESIS
Oleh
KHENY EKA PUTRI 117032097/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TESIS
DiajukanSebagai Salah SatuSyarat
untukMemperolehGelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 IlmuKesehatanMasyarakat MinatStudiAdministrasidanKebijakanGiziMasyarakat
padaFakultasKesehatanMasyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
KHENY EKA PUTRI 11703209/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si Anggota : 1. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes
PARTISIPASI IBU DENGAN STATUS GIZI BALITA DI KECAMATAN BANDAR KABUPATEN BENER MERIAH
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2013
kader posyandu dan karakteristik ibu (umur, pendidikan dan pengetahuan) serta partisipasi ibu yang kurang.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kinerja kader posyandu dengan status gizi balita. Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai anak balita dengan umur 0-59 bulan sebanyak2023 orang yang berada pada Posyandu Purnama dan besar sampel sebesar 110 orang. Data kinerja kader dan karakteristik ibu serta partisipasi ibu diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, status gizi balita diukur secara antropometri, dianalisis dengan chi-square pada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah pada kategori gizi kurang sebesar 16,4%, terdapat hubungan kinerja kader posyandu, karakteristik ibu (pengetahuan ibu) dan partisipasi ibu dengan status gizi di Kecamatan Bandar Kabupaten BenerMeriah.
Disarankan kepada tenaga kesehatan diharapkan melaksanakan posyandu setiap bulannya dan memotivasi kader dalam meningkatkan kinerjanya di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah, kepada ibu sebaiknya meningkatkan partisipasinya dalam pelaksanaan posyandu yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak dan kepada ibu diharapkan lebih meingkatkan pengetahuan dan memperhatikan pemberian makan yang bergizi untuk meningkatkan status gizi balita.
performance and characteristics posyandu mother (age, education, and knowledge) as well as the mother’s participation is less.
The aim of the research was to analyze the correlation between posyandu cadres’ performance and nutrition status of children under five years old. The type of the research was an analytic survey with cross sectional design. The population was 2023 mothers who had 0-59 month-old children and visited Purnama Posyandu, and 110 of them were used as the samples.
The data of cadres’ performance and mothers’ participation and knowledge were gathered by conducting interviews, using questionnaires. The nutrition status of the children under five years old was measured by anthropometric scale and analyzed by chi square test at α = 5%.
The result of the research showed that the nutrition status of children under five years old at Bandar Subdistrict, Bener Meriah District, was in the category of lack of nutrition of 16.4%. The performance of posyandu cadres was in the best category of 58.2% and in the worst category of 41.8%. Mothers’ participation in visiting posyandu was in the average of good category of 70.9% and of bad category of 29.1%. Mothers’ knowledge in good category was 59.1% and in bad category was 40.9% at Bandar Subdistrict, Bener Meriah District. The performance of cadres and mothers’ participation and knowledge had significant correlation with the nutrition status of children under five years old at Bandar Subdistrict, Bener Meriah District.
It is recommended that the cadres should increase their performance at posyandu, mothers should increase their participation in visiting posyandu in order to monitor their children’s nutrition status and increase their knowledge about the importance of visiting posyandu in order to increase the nutrition status of children under five years old.
Rahmat Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan Kinerja Kader Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan
pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi
dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM, M. Sc.(CTM), Sp. A(K), Selaku Rektor
Universitas Sumatra Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan
pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan
waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan selesai.
5. Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes dan Ir. Etti Sudaryati, M.Kes , Ph.D sebagai
komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan
masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu
yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.
7. H. Binakir, S.K.M, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah.
8. Orang tuaku Khairul Rasyid dan ibunda Cutry Lara Suty (alm), mertuaku bapak
Brigjen. Soewoto Situmorang (alm), mama Suci Marlina dan adik- adikku
tercinta.
9. Teristimewa kepada Suamiku Insyaf Mahdi Utomo Situmorang dan buah hati
tercinta Muhammad Faqqy Mahdi Alrasyid yang penuh pengertian dan kesabaran,
dan senantiasa berdoa sehingga memotivasi penulis selama mengikuti pendidikan.
10.Rekan-rekan seperjuangan dan teman – teman seanggkatan Mahasiswa Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2011, yang telah membantu
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Juli 2013 Penulis
Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh. Anak Pertama dari 6
(enam) bersaudara, dari pasangan ayahanda Khairul Rasyid dan ibunda Cutry Lara
Suty (alm). Menikah pada tahun 2004, dengan Insyaf Mahdi Utomo Situmorang dan
dikaruniai 1 (satu) anak, yaitu Muhammad Faqqy Mahdi Alrasyid.
Pendidikan Sekolah Dasar dimulai tahun 1983-1989 di SD N 3 Redelong,
tahun 1989-1992 pendidikan SLTP N 1 Bandar, tahun 1993-1995 pendidikan SMA N
1 Bandar, tahun 1996-1999 pendidikan di AKPER PHI- Jakarta dan tahun 2002-2004
Pendidikan di Fakultas Ilmu Keperawatan pada Universitas Indonesia, pada tahun
2011 sampai sekarang pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat USU.
Sejak tahun 2006 sampai sekarang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah, sebagai Kasie SDM dan Pengembangan
ABSTRACT ... ii
2.1.5. Partisipasi Kader dalam Kegiatan Posyandu ... 21
2.1.6. Kinerja Kader Posyandu ... 23
2.5. Faktor yang Memengaruhi Status Gizi ... 37
3.4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 46
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ... 50
3.5.1. Variabel Penelitian ... 50
3.5.2. Definisi Operasional ... 50
3.6. Metode Pengukuran ... 51
3.7. Metode Analisis Data ... 52
3.7.1. Analisis Univariat ... 52
3.7.2. Analisis Bivariat ... 53
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 54
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 54
4.2. Karakteristik Balita ... 55
4.3. Kinerja Kader Posyandu ... 56
4.4. Karakteristik Ibu Balita ... 57
4.5. Partisipasi Ibu ... 58
4.6. Status Gizi Balita ... 58
4.7. Hubungan Kinerja Kader Posyandu dengan Status Gizi Balita .... 59
4.8. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Balita... 60
4.9. Hubungan Partisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita ... 63
BAB 5. PEMBAHASAN ... 64
5.1. Gambaran Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah ... 64
5.2. Hubungan Kinerja Kader Posyandu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah ... 66
5.3. Hubungan Paritisipasi Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah ... 69
5.4. Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah ... 70
5.5. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah ... 71
3.1. Pembagian Sampel pada Tiap Desa Berdasarkan Posyandu Purnama di Kecamatan Bandar Kabupaten Bandar Meriah ... 45
3.2. Hasil Uji Validitas Variabel Kinerja Kader, Partisipasi Ibu dan Pengetahuan ... 47
3.3. Hasil Uji Reliabilitas Variabel-Variabel Kinerja Kader, Partisipasi Ibu dan Pengetahuan ... 49
3.4. Variabel, Cara, Alat, Skala dan Hasil Ukur ... 52
4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah ... 55
4.2. Distribusi Balita Berdasarkan Umur dengan Status Gizi Balita (Indeks BB/U) di Kecamatan Bandar Kabupaten Benar Meriah ... 56
4.3. Distribusi Frekuensi Kinerja Kader dalam Pelaksanaan Posyandu di Kecamatan Bandar Kabupaten Benar Meriah ... 57
4.4. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Benar Meriah ... 57
4.5. Distribusi Frekuensi Partisipasi Ibu dalam Pelaksanaan Posyandu di Kecamatan Bandar Kabupaten Benar Meriah ... 58
4.6. Distribusi Frekuensi Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Benar Meriah ... 59
4.7. Hubungan Kinerja Kader Posyandu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Benar Meriah ... 59
4.8. Hubungan Umur Ibu dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Benar Meriah ... 60
2.1. Kerangka Teori Faktor Masalah Gizi Menurut UNICEF 1998... 40
1. Kuesioner Penelitian ... 85
2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 91
3. Hasil Uji Frekuensi ... 93
4. Master Data ... 97
5. Frequecies ... 103
6. Surat Izin Penelitian dari FKM USU ... 109
kader posyandu dan karakteristik ibu (umur, pendidikan dan pengetahuan) serta partisipasi ibu yang kurang.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kinerja kader posyandu dengan status gizi balita. Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan desain penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai anak balita dengan umur 0-59 bulan sebanyak2023 orang yang berada pada Posyandu Purnama dan besar sampel sebesar 110 orang. Data kinerja kader dan karakteristik ibu serta partisipasi ibu diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, status gizi balita diukur secara antropometri, dianalisis dengan chi-square pada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah pada kategori gizi kurang sebesar 16,4%, terdapat hubungan kinerja kader posyandu, karakteristik ibu (pengetahuan ibu) dan partisipasi ibu dengan status gizi di Kecamatan Bandar Kabupaten BenerMeriah.
Disarankan kepada tenaga kesehatan diharapkan melaksanakan posyandu setiap bulannya dan memotivasi kader dalam meningkatkan kinerjanya di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah, kepada ibu sebaiknya meningkatkan partisipasinya dalam pelaksanaan posyandu yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak dan kepada ibu diharapkan lebih meingkatkan pengetahuan dan memperhatikan pemberian makan yang bergizi untuk meningkatkan status gizi balita.
performance and characteristics posyandu mother (age, education, and knowledge) as well as the mother’s participation is less.
The aim of the research was to analyze the correlation between posyandu cadres’ performance and nutrition status of children under five years old. The type of the research was an analytic survey with cross sectional design. The population was 2023 mothers who had 0-59 month-old children and visited Purnama Posyandu, and 110 of them were used as the samples.
The data of cadres’ performance and mothers’ participation and knowledge were gathered by conducting interviews, using questionnaires. The nutrition status of the children under five years old was measured by anthropometric scale and analyzed by chi square test at α = 5%.
The result of the research showed that the nutrition status of children under five years old at Bandar Subdistrict, Bener Meriah District, was in the category of lack of nutrition of 16.4%. The performance of posyandu cadres was in the best category of 58.2% and in the worst category of 41.8%. Mothers’ participation in visiting posyandu was in the average of good category of 70.9% and of bad category of 29.1%. Mothers’ knowledge in good category was 59.1% and in bad category was 40.9% at Bandar Subdistrict, Bener Meriah District. The performance of cadres and mothers’ participation and knowledge had significant correlation with the nutrition status of children under five years old at Bandar Subdistrict, Bener Meriah District.
It is recommended that the cadres should increase their performance at posyandu, mothers should increase their participation in visiting posyandu in order to monitor their children’s nutrition status and increase their knowledge about the importance of visiting posyandu in order to increase the nutrition status of children under five years old.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2010) menunjukkan
bahwa status gizi balita Indonesia masih memprihatinkan dimana status gizi buruk
terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 prevalensi gizi buruk pada balita
sebesar 5,4%, ditemukan di 21 provinsi dan 216 Kabupaten/ Kota dan yang
mengalami status gizi kurang pada balita 13%. Pada tahun 2010 prevalensi gizi
kurang secara nasional mengalami peningkatan sebesar 17,9%, diantaranya gizi
buruk sebesar 4,9%. Provinsi Aceh urutan ke-10 yang mengalami gizi kurang
(16,6%) dan gizi buruk (7,1%).
Menurut Soekirman (2000) masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi
langsung oleh faktor konsumsi pangan yaitu konsumsi makanan yang tidak seimbang
dan penyakit infeksi yang dialami seseorang. Disamping itu secara tidak langsung
dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yaitu tidak cukup persediaan pangan, faktor
sosial-ekonomi yaitu daya beli kelurga yang kurang, budaya atau kebiasaan yang
salah dari masyarakat terhadap makanan dan pola asuh balita yang kurang memadai
dari orang tua.
Menurut Krisnatuti (2007) pada umumnya, balita yang tidak memperoleh
makanan bergizi dalam jumlah yang memadai sangat rentan terhadap penyakit
pemberian masukan gizi pada anaknya dengan memberikan makanan kepada balita
dengan memenuhi kebutuhan gizi maupun asupan makanan yang akan dibutuhkan
balita, selain itu kemiskinan merupakan masalah dalam penyediaan makanan yang
dibutuhkan karena dengan tingkat ekonomi yang kurang sangat memengaruhi daya
beli terhadap bahan pokok makanan.
Masalah kurang gizi pada balita bila tidak ditangani secara serius akan
mengalami masalah gizi buruk. Waktu balita masih kekurangan gizi, sebaiknya
segera diatasi dengan memberikan asupan gizi yang cukup. Tetapi kalau sudah gizi
buruk harus ditangani secara medis. Keterlibatan keluarga selama 24 jam
mendampingi balita yang menderita kekurangan gizi, perhatian cukup dan pola asuh
balita yang tepat (praktek pemberian makanan, praktek perawatan dasar anak, praktek
hygiene dan sanitasi) akan memberi pengaruh yang besar dalam memperbaiki status
gizinya, karena masa balita usia 1-5 tahun (balita) merupakan masa dimana
balita sangat membutuhkan makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup dan
memadai. Kekurangan gizi pada masa ini dapat menimbulkan gangguan tumbuh
kembang. Pada masa ini juga, balita masih benar-benar tergantung pada perawatan
dan pengasuhan oleh ibunya.
Kekurangan gizi pada anak dapat menimbulkan beberapa efek negatif seperti
lambatnya pertumbuhan badan, rawan terhadap penyakit, menurunnya tingkat
kecerdasan dan terganggunya mental anak. Kekurangan gizi yang serius dapat
anak dapat dinilai melalui pertambahan berat dan tinggi badan anak. Salah satu
contoh penilaian dapat dilihat melalui KMS (Kartu Menuju Sehat) yang
membandingkan berat badan dan tinggi badan terhadap umur (Sekartini, 2008).
Pencatatan KMS ini dilakukan pada saat kegiatan Posyandu setiap bulan.
Posyandu merupakan salah satu pelayanan kesehatan di desa yang
memudahkan masyarakat untuk mengetahui atau memeriksakan kesehatan terutama
ibu hamil dan anak balita. Keaktifan keluarga pada setiap kegiatan posyandu tentu
akan berpengaruh pada keadaan status gizi anak balitanya, karena salah satu tujuan
posyandu adalah memantau peningkatan status gizi masyarakat terutama anak balita
dan ibu hamil (Meilani, 2009). Posyandu menjadi pelayanan kesehatan penting untuk
bayi dan balita yang paling awal. Namun pada kenyataannya di posyandu warga
masyarakat sendiri banyak yang tidak memanfaatkan posyandu untuk memantau
tumbuh kembang anaknya dengan alasan sibuk kerja atau tidak sempat membawa
anak balitanya ke posyandu dan kurangnya pengetahuan tentang pentingnya
pemantauan tumbuh dan kembang pada anak balita (Yulifah & Johan, 2009).
Pos pelayanan terpadu ini merupakan wadah titik temu antara pelayanan
profesional dari petugas kesehatan dan peran serta masyarakat dalam menanggulangi
masalah kesehatan masyarakat, terutama dalam upaya penurunan angka kematian ibu
dan kematian bayi. Posyandu merupakan wadah untuk mendapatkan pelayanan dasar
terutama dalam bidang kesehatan dan keluarga berencana yang dikelola oleh
kesehatan dan KB, anggotanya berasal dari PKK, tokoh masyarakat dan pemuda.
Petugas posyandu merupakan perwujudan peran serta aktif masyarakat dalam
pelayanan terpadu, dengan adanya kader yang dipilih oleh masyarakat, kegiatan
diprioritaskan pada lima program dan mendapat bantuan dari petugas kesehatan
terutama pada kegiatan yang mereka tidak kompeten memberikannya (INN, 2010).
Dalam pelaksanaannya, pelayanan posyandu memiliki lima programprioritas
yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB),imunisasi, gizi dan
Penanggulangan diare (Ambarwati, 2009). Kegiatanposyandu penting untuk bayi dan
balita, karena tidak terbatas hanyapemberian imunisasi saja, tetapi juga memonitor
tumbuh kembang bayi dan balita melalui kegiatan penimbangan dan pemberian
makanan tambahan. Pencegahan dan penanganan gizi buruk juga dapat segera
ditangani sedini mungkin, karena pada dasaranya anak balita bergizi buruk tidak
semua lahirdalam keadaan berat badan tidak normal (Suhardjo, 2003).
Posyandu memberikan konstribusi yang besar terhadap keberhasilan
penurunan prevalensi masalah gizi kurang atau peningkatan status gizi masyarakat
(Khairunisa, 2011). Anak usia dibawah lima tahun (balita) merupakan golongan yang
rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi diantaranya masalah kurang energi
protein (KEP). Sehingga masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting
dan perlu perhatian yang serius. Status gizi balita merupakan salah satu indikator
Status gizi balita dapat diukur secara antropometri. Indeks antropometri yang
sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut
umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks BB/U
merupakan indikator yang paling umum digunakan karena mempunyai kelebihan
yaitu lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, baik untuk
mengatur status gizi akut dan kronik, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif
terhadap perubahan-perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan (over weight).
Pentingnya keberadaan Posyandu di tengah-tengah masyarakat yang
merupakan pusat kegiatan masyarakat dimana masyarakat sebagai pelaksana
sekaligus memperoleh pelayanan kesehatan serta keluarga berencana, selain itu
wahana ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk tukar menukar informasi,
pendapat dan pengalaman serta bermusyawarah untuk memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi baik masalah keluarga atau masalah masyarakat itu sendiri (Meilani,
2009).
Orang tua merupakan orang terbaik untuk memantau status gizi anaknya.
Mereka adalah orang yang paling mengetahui tentang anaknya. Ahli kesehatan
berperan sebagai orang tua dalam proses ini. Penting untuk memantau perkembangan
anak supaya segala masalah yang mungkin dapat ditentukan dan dirawat secepat
mungkin. Anak-anak tumbuh dan berkembang dengan cepat sekali, terutama pada
tahun-tahun pertama. Jika masalah tertentu tidak diketahui dan dirawat secara dini,
Tenaga utama pelaksana posyandu adalah kader posyandu, yang kualitasnya
dapat menentukan dalam usaha meningkatkan kualitas pelayanan yang dilaksanakan.
Kader posyandu memiliki peranan yang penting terhadap status gizi anak balita.
Tugas-tugas kader yang dapat membantu perbaikan gizi sehingga mempengaruhi
status gizi balita yaitu penimbangan balita, pencatatan dan interpretasi ke KMS,
penyuluhan gizi dan pemberian makanan tambahan (Depkes, 2006). Menurut Airin
(2010), bahwa pemantauan status gizi anak merupakan kegiatan utama posyandu dan
KMS anak balita merupakan salah satu alat yang dipakai untuk memantau status gizi
anak balita.
Berdasarkan hasil penelitian didapat pelaksanaan penyuluhan ada hubungan
yang nyata (p<0,05), dengan presentasi anak balita berstatus gizi baik. Nilai peubah
yang bertanda positif, berarti bahwa semakin baik pelaksanaan penyuluhan semakin
banyak anak dengan status gizi baik. (Kasmita dkk, 2000). Semakin tinggi
pengetahuan kader maka semakin baik pula tingkat keaktifan kinerja kader dalam
proses pelaksanaan kegiatan posyandu yang berdampak terhadap status gizi balita
(Vinella, 2011).
Kinerja kader dapat dilihat dari strata Posyandu yang telah dicapai, untuk
meningkatkan kinerja kader maka kemampuan kader harus terus dikembangkan yang
meliputi pengetahuan dan ketrampilan yang disesuaikan dengan tugas yang diemban,
dalam mengelola posyandu agar dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan
wilayah kerja puskesmas Cinere Depok menunjukkan bahwa pada umumnya kinerja
kader masih rendah (56,5%) dan faktor yang dominan berhubungan dengan kinerja
kader adalah pengetahuan kader.
Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2004). Menurut Sulistiyani dan Rosidah,
menyatakan kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan usaha dan
kesempatan yang didapat dinilai dari hasil kerjanya. Secara defenitif Bernandin dan
Russell dalam Sulistiyani mengemukakan kinerja adalah suatu hasil kerja yang ingin
dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas atau beban kepadanya didasarkan atas
kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Indikator kinerja merupakan metrik finansial ataupun non finansial yang
digunakan untuk membantu strategi yang dapat diukur untuk menilai suatu kegiatan
target dalam kurun waktu untuk mencapai tujuan (David, 2007). Lohman (2007).
mengatakan indikator kinerja merupakan suatu variabel yang digunakan untuk
mengekspresikan secara kuantitatif baik efektivitas dan efisiensi proses berpedoman
pada target-target dan tujuan organisasi. Jadi jelas bahwa ukuran indikator merupakan
kriteria yang digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian tujuan, sasaran dan
strategi.
Berdasarkan Profil Puskesmas Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah
terdapat 20 posyandu berada pada strata posyandu pratama (42,6%), 9 posyandu
Madya (19,1%) dan 18 posyandu purnama (38,3%). Hal ini menunjukkan bahwa
posyandu yang ada di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah masih lebih
banyak dengan posyandu tingkat pratama yaitu posyandu yang masih belum mantap,
kegiatannya belum bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas.
Kemudian disusul dengan posyandu pada tingkat madya yaitu sudah dapat
melaksanakan kegiatan lebih dari 8 kali pertahun, dengan rata rata jumlah kader tugas
5 orang atau lebih, akan tetapi cakupan program utamanya (KB, KIA, Gizi dan
Imunisasi) masih rendah yaitu kurang dari 50%, kemudian yang paling sedikit dengan
posyandu purnama yaitu posyandu yang frekuensinya lebih dari 8 kali pertahun,
rata-rata jumlah kader tugas 5 orang atau lebih dan cakupan 5 program utamanya ( KB,
KIA, Gizi dan Imunisasi ) lebih 50%, sudah ada program tambahan, bahkan mungkin
sudah ada dana sehat tetapi masih sederhana, namun belum ditemukan posyandu
mandiri yaitu posyandu yang sudah dapat melakukan kegiatan secara teratur, cakupan
5 program utama sudah bagus, ada program tambahan dan dana sehat telah
menjangkau lebih dari 50% KK.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja kader masih
rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa kader tidak hadir setiap bulannya, sebelum
pelaksanaan posyandu kader tidak menyiapkan peralatan posyandu sebelum hari
pelaksanaan buka posyandu, sehingga ibu yang mempunyai anak balita terlalu lama
balita, hanya mencatat dibuku register dan KMS. Kader tidak menjelaskan tentang
kenaikan atau keadaan BB dan TB anak kepada ibu, tidak melaporkan kepada
petugas kesehatan jika ada masalah dengan balita misalnya: BB anak yang tidak naik
atau turun (tidak membuat laporan tindak lanjut), kader tidak melakukan kunjungan
rumah meskipun balita tidak datang keposyandu. Masih banyak kader yang kurang
baik dalam melakukan tugas-tugasnya sebagai kader dan tidak mandiri dalam
melakukan posyandu. Sampai saat ini tugas-tugas kader posyandu belum
dilaksanakan dengan baik. Disadari atau tidak, peran aktif kader dalam kegiatan
posyandu sangat berpengaruh terhadap status gizi balita. Balita gizi kurang yang
ditemukan pada saat penimbangan dapat segera diantisipasi dengan memberikan
konseling kepada ibu balita dan memberikan makanan tambahan (PMT Pemulihan)
pada balita tersebut.
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti di Kecamatan
Bandar Kabupaten Bener Meriah dengan menggunakan data dari Dinas Kesehatan
diperoleh bahwa pada tahun 2009 persentase balita dengan gizi kurang sebanyak 5%,
pada tahun 2011 dilaporkan sebesar 4,3% balita dengan gizi kurang dan pada tahun
2012 dilaporkan sebesar 5,5% (Dinkes Bener Meriah, 2012). Dari data tersebut dapat
dilihat bahwa kejadian balita gizi kurang di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener
Meriah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini kemungkinan
dipengaruhi oleh kinerja kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Selain itu di wilayah Kecamatan Bandar, saat musin panen kopi, kader tidak
memberikan penyuluhan kepada ibu, mereka lebih memilih ke kebun untuk memetik
kopi sehingga ibu yang mempunyai anak balita tidak membawa anaknya datang
keposyandu. Kader juga tidak pernah memotivasi keluarga untuk memanfaatkan
pekarangan dan ikut kegiatan perbaikan gizi keluarga
Survei pendahuluan yang dilakukan di Posyandu Simpang Utama di
Kecamatan Bandar, gambaran kader yang ada di posyandu purnama adalah bahwa
kader posyandu kebanyakan berasal dari tokoh masyarakat setempat, kader datang
secara bergiliran saat posyandu, kader banyak mendapat pelatihan dan kader biasanya
berganti setelah perangkat desa berganti dan diangkat kader yang baru. Kinerja kader
yang ada disana bahwa kader melakukan pendaftaran sesuai dengan panduan,
penimbangan berat badan balita belum sesuai dengan pedoman yang ada, masih
terdapat penimbangan balita dengan memakai pampers, memakai baju yang tebal,
memakai sepatu, pengukuran tinggi badan masih salah seperti anak lagi menangis dan
berontak kader langsung mengukur tinggi badan dalam keadaan tubuh tidak lurus,
sehingga pengukuran tinggi badan tidak sesuai dengan standar dan hasil pengukuran
tidak akurat. Ternyata pengukuran tinggi badan ini baru dilakukan 2 bulan terakhir
ini. Kader yang hadir hanya satu orang, tidak melaporkan kepada bidan desa hasil
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang
“Hubungan Kinerja Kader Posyandu dan Karakteristik Serta Partisipasi Ibu Dengan
Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah Tahun 2013.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah apakah ada Hubungan Kinerja Kader Posyandu dan Karakteristik Serta Partisipasi Ibu
Dengan Status Gizi Balita di Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah Tahun
2013.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Kinerja Kader
Posyandu, Karakteristik dan Partisipasi Ibu Dengan Status Gizi Balita Di Kecamatan
Bandar Kabupaten Bener Meriah Tahun 2013.
1.4. Hipotesis
1. Ada hubungan antara kinerja kader posyandu dengan status gizi anak balita
2. Ada hubungan antara karakteristik ibu (umur, pendidikan dan pengetahuan)
dengan status gizi anak balita
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah khususnya Puskesmas Bandar di
Kecamatan Bandar sebagai informasi untuk meningkatkan status gizi balita guna
mewujudkan sumber daya manusia yang sehat.
2. Bagi kader posyandu di Kecamatan Bandar sebagai informasi untuk
meningkatkan status gizi balita dengan meningkatkan kinerjanya.
3. Bagi masyarakat khususnya ibu yang mempunyai balita suatu informasi mengenai
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Kader Posyandu 2.1.1. Kader Posyandu
Kader adalah seseorang yang karena kecakapannya atau kemampuannya,
diangkat dipilih atau ditunjuk untuk mengambil peran dalam kegiatan dan pembinaan
Posyandu, dan telah mendapat pelatihan tentang KB dan Kesehatan (Depkes RI,
1993). Sebagian besar kader kesehatan adalah wanita dan anggota PKK yang sudah
menikah dan berusia 20-40 tahun dengan pendidikan sekolah dasar (Depkes RI,
1995).
Syarat-syarat untuk memilih calon kader menurut Depkes RI, (1996) adalah;
dapat membaca dan menulis dengan bahasa Indonesia, secara fisik dapat
melaksanakan tugas-tugas sebagai kader, mempunyai penghasilan sendiri dan tinggal
tetap di desa yang bersangkutan, aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial maupun
pembangunan desanya, dikenal masyarakat dan dapat bekerjasama dengan
masyarakat calon kader lainnya dan berwibawa, sanggup membina paling sedikit 10
KK (Kepala Keluarga) untuk meningkatkan keadaan kesehatan lingkungan
diutamakan mempunyai keterampilan.
Menurut Bagus yang dikutip dari pendapat Zulkifli (2003) bahwa pendapat
lain mengenai persaratan bagi seorang kader antara lain; berasal dari masyarakat
yang lama, diterima oleh masyarakat setempat, dan masih cukup waktu bekerja untuk
masyarakat disamping mencari nafkah lain. Persyaratan-persyaratan yang diutamakan
oleh beberapa ahli di atas dapatlah disimpulkan bahwa kriteria pemilihan kader
kesehatan antara lain, sanggup bekerja secara sukarela, mendapat kepercayaan dari
masyarakat serta mempunyai krebilitas yang baik dimana perilakunya menjadi
panutan masyarakat, memiliki jiwa pengabdian yang tinggi, mempunyai penghasilan
tetap, pandai baca tulis, sanggup membina masayrakat sekitarnya. Kader kesehatan
mempunyai peran yang besar dalam upanya meningkatkan kemampuan masyarakat
menolong dirinya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Selain itu peran
kader ikut membina masyarakat dalam bidang kesehatan dengan melalui kegiatan
yang dilakukan baik di posyandu.
2.1.2. Tujuan Pembentukan Kader
Pada hakekatnya pelayanan kesehatan dipolakan mengikut sertakan
masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab. Keikutsertaan masyarakat dalam
meningkatkan efisiensi pelayanan adalah atas dasar terbatasnya daya dan dana
didalam operasional pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan demikian dilibat-
aktifkannya masyarakat akan memanfaatkan sumber daya yang ada dimasyarakat
seoptimal mungkin. Pola pikir yang semacam ini merupakan penjabaran dari karsa
pertama yang berbunyi meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong
Pembentukan kader merupakan salah satu metode pendekatan edukatif, untuk
mengaktifkan masyarakat dalam pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan.
Disamping itu pula diharapkan menjadi pelopor pembaharuan dalam pembangunan
bidang kesehatan. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat tersebut, maka
dilakukan latihan dalam upaya memberikan keterampilan dan pengetahuan tentang
pelayanankesehatan disesuaikan dengan tugas yang diembannya.Paramenggerakkan
masyarakat perlu di bentuk wakilnya dalam bidang kesehatan yang nantinya akan
membantu program pelayanan guna mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap
penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal (Haryuni, dkk,1997). Pola
pikir pembentukan kader kesehatan berdasarkan prinsip:
Pertama, dari segi pengorganisasian, bentuk pengorganisasian yang seperti itu
diaplikasikan dalam bentuk kegiatan keterpaduan KB kesehatan yang telah dikenal
dengan nama Posyandu. Adapun kegiatan berdasarkan kebutuhan masyarakat
setempat, dapat diterapkan pada masyarakat pedesaan dan perkotaan, pelayanan yang
murah dapat dijangkau oleh setiap penduduk.
Kedua, dari segi kemasyarakatan, perilaku kesehatan tidak terlepas daripada
kebudayaan masyarakat. Dalam upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat
ahli mengemukakan bahwa untuk menimbulkan partisipasi dan harus pula
diperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat. Sehingga untuk mengikutsertakan
masyarakat dalam upaya pembangunan khususnya dalam bidang kesehatan, tidak
tetapi lebih berhasil bila proses pendekatan dengan edukatif yaitu berusaha
menimbulkan kesadaran untuk dapat memecahkan permasalahan dengan
memperhitungkan sosial budaya setempat.
Dengan terbentuk kader kesehatan, pelayanan kesehatan yang selama ini
dikerjakan oleh petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat. Dengan
demikian masyarakat bukan hanya merupakan objek pembangunan, tetapi juga mitra
pembangunan itu sendiri. Selanjutnya dengan adanya kader maka pesan-pesan yang
diterima tidak akan terjadi penyimpangan. Sehinga pesan-pesan yang disampaikan
dapat diterima dengan sempurna berkat adanya kader, jelaslah bahwa pembentukan
kader adalah perwujudan pembangunan dalam bidang kesehatan (Depkes RI, 2000).
Menurut Santoso Karo-Karo (1979) bahwa, kader yang dinamis teryata
mampu melaksanakan beberapa hal yang sederhana, akan tetapi berguna bagi
masyarakat sekelompoknya meliputi: pengobatan/ringan sederhana, pemberian obat
cacing pengobatanterhadap diare dan pemberian larutan gula garam, obat-obatan
sederhan dan lain-lain, penimbangan dan penyuluhan gizi, pemberantasan penyakit
menular, pencarian kasus, pelaporan vaksinasi, pemberian distribusi obat/alat
kontrasepsi KB penyuluhan dalam upaya menanamkan NKKBS, peyediaan dan
distribusi obat/alat kontasepsi KB penyuluhan dalam upaya menamakan NKKBS.
penyuluhan kesehatan dan bimbingan upaya keberhasilan lingkungan, pembuatan
jamban keluarga da sarana air sederhana dan penyelenggaraan dana sehat dan pos
2.1.3. Tugas Kader Posyandu
Mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional
melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan untuk itu pula perlu adanya
pembatasan tugas yang diemban baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan.
Adapun yang menjadi tugas kader pada kegiatan Posyandu adalah; Pertama,
sebelum hari pelaksanaan Posyandu meliputi kegiatan pencatatan sasaran yaitu pada
bayi dan balita, ibu hamil, ibu menyusui dan PUS, pemberitahuan sasaran kegiatan
Posyandu pada ibu yang mempunyai bayi dan balita, ibu hamil, ibu menyusui dan
PUS.
Kedua, kegiatan pada hari Posyandu meliputi kegiatan pendaftaran pada
pengunjung, penimbangan terhadap bayi dan balita, pencatatan KMS bayi dan balita,
penyuluhan pada ibu yang mempunyai bayi dan balita, ibu hamil dan menyusui dan
PUS, pemberian alat kontrasepsi, pemberian vitamin. Ketiga, kegiatan sesudah hari
Posyandu meliputi kegiatan pencatatan dan pelaporan, mendatangi sasaran yang tidak
hadir, mendatangi sasaran yang mempunyai masalah untuk diberikan penyuluhan,
menentukan tidak lanjut kasus (rujukan) yang mempunyai masalah setelah diperiksa
dan tidak bisa ditangani oleh kader (Depkes,2001).
Tugas-tugas kader pada hari buka Posyandu disebut juga dengan tugas
pelayanan 5 langkah kegiatan meliputi : Kegiatan 1, tugas-tugas kader sebagai berikut
: mendaftar bayi / Balita, yaitu menuliskan nama bayi / Balita pada KMS dan secarik
ibu hamil pada Formulir atau Register Ibu Hamil. Kegiatan 2, tugas-tugas kader
sebagai berikut : menimbang bayi/balita dan mencatat hasil penimbangan pada
secarik kertas yang akan dipindahkan pada KMS. Kegiatan 3, tugas-tugas kader
sebagai berikut: mengisi KMS atau memindahkan catatan hasil penimbangan balita
dari secarik kertas kedalam KMS anak tersebut. Kegiatan 4, tugas-tugas kader
sebagai berikut : menjelaskan data KMS atau keadaan anak berdasarkan data
kenaikan berat badan yang digambarkan grafik KMS kepada ibu dari anak yang
bersangkutan, memberikan nasehat kepada setiap ibu dengan mengacu pada data
KMS anaknya atau dari hasil pengamatan mengenai masalah yang dialami sasaran
memberikan rujukan ke Puskesmas apabila diperlukan. Kegiatan 5, merupakan
kegiatan pelayanan sektor yang biasanya dilakukan oleh petugas kesehatan, PLKB,
dan lain-lain. Pelayanan yang diberikan antara lain : pelayanan Imunisasi, pelayanan
Keluarga Berencana (KB), pengobatan, pemberian tablet tambah darah (tablet besi),
vitamin A dan obat-obatan lainnya dan pemeriksaan kehamilan bagi Posyandu yang
memiliki sarana yang memadai dan lain-lain sektor yang terkait (Azwar, 2006).
Menurut Zulkifli (2003), bahwa tugas kegiatan kader akan ditentukan,
mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional melainkan
hanya membantu dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini perlu adanya pembatasan
2.1.4. Kegiatan Kader Posyandu
Kegiatan kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnya kader
bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan.
Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas yang diemban, baik menyangkut
jumlah maupun jenis pelayanan. Adapun kegiatan pokok yang perlu diketahui oleh
kader dan semua pihak dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan baik yang
menyangkut didalam maupun diluar Posyandu antara lain yaitu: Pertama, kegiatan
yang dapat dilakukan kader di Posyandu adalah; melaksanakan pendaftaran,
melaksanakan penimbangan bayi dan balita, melaksanakan pencatatan hasil
penimbangan, memberikan penyuluhan, memberi dan membantu pelayanan dan
merujuk. Kedua, kegiatan yang dapat dilakukan kader diluar Posyandu KB-kesehatan
adalah; bersifat yang menunjang pelayanan KB, KIA, Imunisasi, Gizi dan
penanggulangan diare. Ketiga, Mengajak ibu-ibu untuk datang para hari kegiatan
Posyandu. Keempat, Kegiatan yang menunjang upanya kesehatan lainnya yang sesuai
dengan permasalahan yang ada yaitu ; pemberantasan penyakit menular, penyehatan
rumah, pembersihan sarang nyamuk, pembuangan sampah, penyediaan sarana air
bersih, menyediakan sarana jamban keluarga, pembuatan sarana pembuangan air
limbah, pemberian pertolongan pertama pada penyakit dan P3K, dana sehat dan
kegiatan pengembangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan.
Selain itu peranan kader diluar posyandu KB-kesehatan; yaitu Pertama,
diri, membahas hasil survei, menentukan masalah dan kebutuhan kesehatan
masyarakat desa, menentukan kegiatan penanggulangan masalah kesehatan bersama
masyarakat, membahas pembagian tugas menurut jadwal kerja. Kedua, melakukan
komunikasi, informasi dan motivasi tatap muka (kunjungan), alat peraga dan
percontohan. Tiga, menggerakkan masyarakat dengan mendorong masyarakat untuk
gotong royong, memberikan informasi dan mengadakan kesepakatan kegiatan apa
yang akan dilaksanakan dan lain-lain. Keempat, memberikan pelayanan yaitu;
membagi obat, membantu mengumpulkan bahan pemeriksaan, mengawasi pendatang
didesanya dan melapor, memberikan pertolongan pemantauan penyakit, memberikan
pertolongan pada kecelakaan dan lainnya, melakukan pencatatan, yaitu; KB atau
jumlah PUS, jumlah peserta aktif dsb, KIA :jumlah ibu hamil, vitamin A yang
dibagikan, Imunisasi untuk mengetahui jumlah imunisasi TT bagi ibu hamil dan
jumlah bayi dan balita yang diimunisasikan, gizi: jumlah bayi yang ada, mempunyai
KMS, balita yang ditimbang dan yang naik timbangan, diare: jumlah oralit yang
dibagikan, penderita yang ditemukan dan upanya kesehatan lainnya.
Selain itu adanya keluarga binaan yang untuk masing-masing untuk berjumlah
10-20KK atau diserahkan dengan kader setempat hal ini dilakukan dengan
memberikan informasi tentang upanya kesehatan dilaksanakan, melakukan kunjungan
rumah kepada masyarakat terutama keluarga binaan, melakukan pertemuan
2.1.5. Partisipasi Kader dalam Kegiatan Posyandu
Menurut Terry (2006) bahwa partisipasi didasarkan atas prinsip psikologis
yang menyatakan bahwa orang lebih dimotivasi kearah tujuan-tujuan untuk
membantu dan menetapkannya serta adanya perhatian dalam pengambilan keputusan
dan pemecahan masalah. Selain itu menurut pendapat Winardi (2006) bahwa
partisipasi secara formal dapat didefenisikan sebagai turut sertanya seseorang baik
secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbagsih pada proses
pembuatan keputusan, terutama mengenai persoalan-persoalan dimana keterlibatan
pribadi orang yang bersangkutan terdapat dan yang bersangkutan melaksanakan
tanggung jawabnya untuk melakukan hal tersebut.
Menurut Depkes RI (2000) bahwa partisipasi kader adalah keikut sertaan
kader dalam suatu kegiatan kelompok, masyarakat atau Pemerintah. Peran kader
secara umum yaitu melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan bersama dalam
rangka meningkatkan kesehatan masyarakat sedangkan peran kader secara khusus
terdapat beberapa tahap yang meliputi: Pertama, tahap persiapan, yaitu memotivasi
masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dan bersama-sama masyarakat
merencanakan kegiatan pelayanan kesehatan ditingkat desa. Kedua, tahap
pelaksanaan, yaitu melaksanakan penyuluhan kesehatan secara terpadu, mengelola
kegiatan UKBM 3).Tahap pembinaan, yaitu menyelenggarakan pertemuan bulanan
dihadapi keluarga, melakukan kunjungan ke rumah pada keluarga binaannya,
membina kemampuan diri melalui pertukaran pengalaman antar kader.
Partisipasi kader didalam suatu kegiatan posyandu dapat dibagi dalam
beberapa tingkat yaitu; Pertama, adanya kesempatan untuk berperan serta kesediaan
berpartisipasi juga dipengaruhi oleh adanya kesempatan atau ajakan untuk
berpartisipasi dan kader melihat bahwa memang ada hal-hal yang berguna dalam
kegiatan itu. Kedua, memiliki keterampilan tertentu yang bisa disumbangkan, yaitu
kegiatan yang dilaksanakan membuktikan orang-orang dengan memiliki ketrampilan
tertentu untuk ikut berpartisipasi. Ketiga, rasa memiliki yaitu suatu kegiatan akan
tumbuh jika sejak awal kegiatan masyarakat sudah diikutsertakan. Jika rasa memiliki
bisa ditumbuhkan dengan baik, maka partisipasi kader dalam kegiatan di desa akan
dapat dilestarikan. Keempat, faktor tokoh masyarakat dalam kegiatan yang
diselenggarakan masyarakat melihat bahwa tokoh-tokoh masyarakat yang disegani
ikut serta maka mereka akan tertarik juga untuk berpartisipasi. Kelima, faktor
petugas, yaitu memiliki sikap yang baik seperti akrab dengan masyarakat,
menunjukkan perhatian pada kegiatan masyarakat dan mampu mendekati para tokoh
masyarakat untuk berpartisipasi.
Menurut Penelitian Septiani (2012), bahwa adanya partisipasi kader dalam
kegiatan posyandu disebabkan tingkat pengetahuan kader tentang posyandu. Dengan
adanya kader-kader yang mempunyai kemampuan memadai dan berpartisipasi aktif
dalam program posyandu sehingga mencapai efektivitas yang memuaskan.
Masyarakat cukup antusias dalam menyambut dan mengikuti berbagai kegiatan yang
dilakukan di Posyandu, seperti immunisasi, perbaikan gizi, penimbangan balita, dan
sebagainya. Kondisi yang telah dicapai tidak lepas dari kemampuan Kader Posyandu
dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
2.1.6. Kinerja Kader Posyandu
Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan tanggung jawabnya
masing-masing. Dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara legal tidak melanggar
hokum dan sesuai dengan moral maupun etika (Prawira, 1999). Dengan demikian
kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada
pihak-pihak tertntu untuk mengetahui sejauh mana tingkat pencapaian suatu instansi
dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi.
Menurut Timple (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang
terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang
dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, seperti ; kemampuan, ketrampilan, sikap,
perilaku, tanggung jawab. misalnya kinerja seseorang baik disebabkan karena
kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang
mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah
dan orang tersebut tidak berusaha untuk memperbaiki kemampuan. Faktor eksternal
lingkungan, seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau
pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Jadi kinerja yang optimal didorong
oleh kuatnya motivasi seseorang.
Menurut Salim (1989) faktor yang mempengaruhi penampilan kerja sumber
daya manusia yang salah satunya kualitas kekaryaan yang dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu faktor pribadi seperti kecerdasan, pengetahuan, keterampilan,
pengalaman, dan sikap kerja. Faktor lingkungan dalam organisasi yaitu situasi kerja,
kepemimpinan dan tehnologi serta faktor di luar lingkungan organisasi yaitu seperti
nilai sosial ekonomi, sosial budaya.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Notoatmodjo (1992) bahwa penampilan
kerja (performance) itu dipengaruhi oleh faktor fisik dan non fisik. dikemukannya
yaitu: “ACHIVE” , dengan pengertian : Ability (kemampuan, pembawa), Capacity
(kemampuan yang bisa dikembangkan), Help (dukungan/bantuan untuk mewujudkan
perfomance), Incentive (insentif material dan non material), Environment (lingkungan tempat kerja karyawan), Validity (pedoman/petunjuk dan uraian kerja), Evaluation
(adanya umpan balik hasil kerja).
Mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan kader dengan cara mengikuti
kursus, pelatihan dan refreezing secara berkala dari segi pengetahuan, teknis dari
beberapa sektor sesuai dengan bidangnya. Pengetahuan yang dimiliki oleh kader
untuk usaha melanjarkan proses pelayanan di posyandu. Proses kelancaran pelayanan
oleh fasilitas (mengirim kader ke pelatihan kesehatan, pemberian buku panduan,
mengikutkan kader dalam memberikan pelayanan mempengaruhi aktif/tidaknya
seorang kader posyandu. Penghargaan bagi kader dengan mengikutkan seminar dan
pelatihan serta pemberian modul-modul panduan kegiatan pelayanan kesehatan
dengan beberapa kegiatan tersebut diharapkan kader merasa mampu dalam
memberikan pelayanan dan aktif datang di setiap kegiatan posyandu (Koto dkk,
2007).
Penurunan kinerja kader disebabkan karena posyandu tidak memiliki sarana
dan prasarana yang lengkap, tidak semua kader mendapat kesempatan untuk
mengikuti pelatihan (Mastuti, 2003).Untuk itu diperlukan strategi yang berkaitan
dengan partisipasi kader antara lain; Pertama, strategi pemberian insentif akan cukup
termotivasikan oleh gaji atau upah yang memadai dan oleh rasa puas atas pekerjaan
yang dilakukan dengan baik, karena rata-rata pendapatan masyarakat sangat rendah
dan penting memberikan arti kehidupan baginya.
Perkembangan posyandu secara umum dibedakan 4 tingkat sebagai berikut: 1,
Posyandu pratama adalah posyandu yang belum mantap, yang ditandai oleh kegiatan
bulanan posyandu belum terlaksana secara rutin serta jumlah kader sangat terbatas
yakni kurang dari lima orang. Penyebab tidak terlaksananya kegiatan rutin bulanan
posyandu, disamping karena jumlah kader yang terbatas dapat pula karena belum
siapnya masyarakat. Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat
adalah posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari delapan kali per
tahun dengan rata-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, tetapi cakupan
kelima kegiatan utamanya masih rendah yaitu kurang dari 50%. Intervensi yang dapat
dilakukan untuk perbaikan peringkat adalah meningkatkan cakupan dengan
mengikutsertakan tokoh masyarakat sebagai motivator serta lebih menggiatkan kader
dalam mengelola kegiatan posyandu. 3, Posyandu purnama adalah posyandu yang
sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari delapan kali per tahun dengan rata-rata
jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan utamanya
lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan program tambahan, serta telah
memperoleh sumber pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat yang
pesertanya masih terbatas yakni kurang dari 50% KK di wilayah kerja Posyandu.
Intervensi yang dapat dilakukan untuk perbaikan peringkat antara lain : sosialisasi
program dana sehat dan pelatihan dana sehat. 4, Posyandu mandiri adalah posyandu
yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari delapan kali per tahun, dengan
rat-rata jumlah kader sebanyak lima orang atau lebih, cakupan kelima kegiatan
utamanya lebih dari 50%, mampu menyelenggarakan program tambahan, seperti
telah memperoleh sumber pembiayaan dari dana sehat yang dikelola oleh masyarakat
yang pesertanya lebih dari 50% KK yang bertempat tinggal di wilayah kerja
posyandu. Intervensi yang dilakukan bersifat pembinaan program dan nasehat
memperbanyak macam program tambahan sesuai dengan masalah dan kemampuan
masing-masing. (Kemenkes RI, 2011)
Selain ganjaran-ganjaran financial, perlu juga mencari bentuk penghargaan
lain atas usaha dan prestasi untuk memperkuat sikap-sikap dan perilaku yang
diberdayakan (Winardi, 2004). Kedua, sarana pendukung merupakan kunci
keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan, karena merupakan alat yang membuat
penting dalam melaksanakan pekerjaan sehingga dapat memudahkan untuk bekerja
dan pekerjaan lebih cepat serta meningkatkan efektifitas pekerjaan. Dengan
memenuhi segala hal yang mereka perlukan dan keadaaan lingkungan yang memadai
untuk menjamin keberhasilan dalam kegiatan (Dwiantara, 2005). Ketiga, pelatihan
untuk membentuk seseorang menjadi mandiri tersebut meliputi kemandirian berfikir,
bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Pelatihan dilakukan
berdasarkan kebutuhan yang akan dicapai berdasarkan identifikasi kebutuhan yang
sesungguhnya. Keempat, faktor budaya, sosial, ekonomi dan masalah-masalah praktis
mempengaruhi kualitas posyandu dan partisipasi masyarakat.
Para pimpinan masyarakat ini aktif pula dalam mengajak warga masyarakat
untuk mengelola kegiatan Posyandu. Apabila masyarakat melihat bahwa tokoh
mereka yang disegani ikut serta dalam kegiatan tersebut, maka masyarakat pun akan
tertarik untuk ikut serta.
Penelitian Subagyo (2010), bahwa kemampuan kader mempunyai pengaruh
semakin tinggi atau baiknya kemampuan kader maka efektivitas program posyandu
akan semakin tinggi. Secara teoritis hal ini sejalan dengan pendapat Swastho (1996)
bahwa mencapai hasil kerja yang memuaskan bergantung kepada kemampuan
kerjanya. Kinerja kader-kader posyandu tersebut mampu memotivasi dan mengajak
masyarakat, khususnya kaum ibu, untuk giat mengikuti program posyandu sehingga
program-program yang diselenggarakan di posyandu dapat terealisir dengan baik
sesuai dengan yang diharapkan bersama.
2.1.7. Penilaian Kinerja Kader Posyandu
Penilaian terhadap kinerja merupakan suatu evaluasi proses terhadap
penentuan dari berbagai nilai dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya (Winardi, 2004). Untuk kinerja kader posyandu, indikator penilaian
kinerja kader telah disusun berdasarkan telah kemandirian posyandu (TKP) dalam
buku Pedoman ARRIF dikatakan bahwa frekuensi penyelenggaran posyandu ada 12
kali setiap tahun dan sedikitnya dikatakan posyandu cukup baik bila frekuensi 8 kali
setiap tahun. Jika kurang dari angka tersebut dianggap posyandu tersebut masih
rawan. Demikian juga keberadaan kader di posyandu, bila kader kurang aktif
dinyatakan jika tidak hadir untuk bekerja di posyandu kurang dari 8 kali dalam satu
tahun.
Selain kehadiran kader penilaian kinerja kader juga dapat dilihat dari peran
dan fungsi kader posyandu yang dijabarkan dalam kegiatan pelaksanaan posyandu
melaksanakan penyuluhan kesehatan, melakukan penimbangan balita, merujuk bila
ada masalah kesehatan pada balita dan ibu hamil dan lain sebagainya.
Menurut penelitian Mukhadiono (2010), kinerja kader yang baik atau
kemampuan kader merupakan bagian dari determinan keberhasilan suatu program
pembangunan, khususnya pembangunan bidang kesehatan melalui program
posyandu. Selain itu, dibutuhkan pula partisipasi aktif masyarakat sehingga kegiatan
Posyandu dapat berjalan lancar dan mampu mencapai efektivitas yang tinggi.
2.2. Karakteristik Ibu 1. Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perilaku seseorang
termasuk dalam pelaksanaan posyandu. Ibu yang berumur tua mempunyai
peluang lebih besar untuk melaksanakan posyandu jika dibandingkan dengan
yang muda. Umur yang semakin meningkat lebih menjadi alasan utama
responden untuk ikut membawa anaknya untuk melaksanakan posyandu..
2. Pendidikan
Pendidikan memegang peranan penting menambah ilmu pengetahuan.
Pendidikan miliki peranan penting dalam menentukan kualitas manusia, dengan
pendidikan dianggap akan memperoleh pengetahuan, semakin tinggi pendidikan
maka hidup manusia semakin berkualitas. (Hurlock 1997). Pendidikan berarti
bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain
seseorang, maka makin mudah dalam memperoleh menerima informasi, sehingga
kemampuan ibu dalam berpikir lebih rasional. Ibu yang mempunyai pendidikan
tinggi akan lebih berpikir rasional tentang pelaksanaan posyandu.
3. Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (ovent behavior). Dari pengalaman dan
penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2003).
Kurangnya pengetahuan pada ibu sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan
posyandu. Beberapa temuan fakta memberikan implikasi program, yaitu
manakala pengetahuan dari ibu kurang maka pelaksanaan posyandu juga
menurun.
2.3. Partisipasi 2.3.1. Pengertian
Partisipasi adalah keterlibatan diri yang sifatnya lebih daripada keterlibatan
dalam pekerjaan atau tugas saja. Dengan keterlibatan diri, berarti keterlibatan pikiran
dan perasaan”.
Upaya peningkatan partisipasi ibu dalam membina pertumbuhan dan
perkembangan anak balita dilakukan antara lain melalui kegiatan posyandu. Di
samping itu, kegiatan posyandu terus ditingkatkan melalui kegiatan imunisasi
pentingnya imunisasi bagi anak balita dan pentingnya air susu ibu (ASI) bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak balita.
Upaya peningkatan peran serta ibu balita dalam masyarakat dilakukan
melalui berbagai aktivitas wanita untuk mendukung pembangunan di daerahnya.
Kegiatan tersebut dilaksanakan antara lain melalui wadah PKK, KB, dan
posyandu. Melalui gerakan PKK, wanita berperan aktif dalam membina
kesejahteraan keluarganya, sedangkan dalam kegiatan posyandu, wanita terlibat
secara aktif dalam pemberian pelayanan kesehatan, imunisasi, dan perbaikan gizi
keluarga. Di bidang keluarga berencana (KB), peran wanita adalah sebagai peserta
dan motivator KB.
2.3.2. Tingkat Partisipasi
Setiap pemimpin yang berusaha menerapkan peran serta atau partisipasi akan
mengalami, bahwa tentang kegiatan ini terdapat berbagai tingkatan, demikian pula
bahwa jenjangnya itu bisa bergerak dari nol sampai dengan yang tidak terbatas.
Dalam kaitan itu, maka partisipasi yang paling rendahlah yang tentunya paling mudah
dicapai.
Untuk menumbuhkan kegiatan partisipasi masyarakat diperlukan suatu
keterampilan dan pengetahuan agar dapat mencapai berbagai tingkatannya, dan untuk
Dengan memperhatikan perbedaan tingkatan yang ada, R.A.Santoso
Sastropoetro (1988) mengemukakan pada dasarnya ada tiga tingkatan partisipasi
masyarakat, yaitu:
1. Tingkat saling mengerti
Tujuannya adalah untuk membantu para anggota kelompok agar memahami
masing-masing fungsi dan sikap, sehingga dapat mengembangkan kerja sama
yang lebih baik. Dengan demikian secara pribadi mereka akan menjadi lebih
banyak terlibat, bersikap kreatif dan juga menjadi lebih bertanggung jawab.
2. Tingkat penasihatan/sugesti yang dibangun atas dasar saling mengerti
Para anggota kelompok pada hakikatnya sudah cenderung siap untuk
memberikan suatu usul/saran kalau telah memahami masalah dan ataupun situasi
yang dihadapkan kepada mereka. Dalam partisipasi bentuk penasihatan,
seseorang dapat membantu untuk mengambil keputusan dan memberikan
saran-saran yang bersifat kreatif, namun ia sendiri tidak dapat menentukan suatu
keputusan. Oleh karena demikian, si pemimpinlah yang menentukan para
pesertanya. Banyaklah keputusan teknis yang dilakukan sedemikian atas dasar
kompetensi teknik, dalam mana si pemimpin mengesahkan keputusan-keputusan
tersebut. Cara demikian nampak meningkatkan inisiatif, kreativitas, disiplin, dan
semangat, selain mengurangi sesuatu sifat yang ketat dan kaku maupun
3. Tingkat otoritas
Otoritas pada dasarnya memberikan kepada kelompok suatu wewenang untuk
memantapkan keputusannya. Kewenangan sedemikian dapat bersifat resmi kalau
kelompok hanya memberikan kepada pimpinan konsep keputusan yang
kemudian dapat diresmikan menjadi keputusan oleh si pemimpin.
2.4. Penilaian Status Gizi Balita
Status gizi diartikan suatu keadaan tubuh manusia akibat dari konsumsi suatu
makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang dibedakan antara
status gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih (Almatsier, 2002). Kehandalan
balita dari dimensi pertumbuhan dapat ditunjukkan diantaranya adalah status gizi dan
kesehatannya. Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan
yang dikonsumsi (Sunarti, 2004).
Status gizi yaitu keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok yang
ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang
diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri
(Himawan, 2006). Untuk mengetahui status gizi balita dapat dilakukan dengan
penilaian status gizi secara langsung dan penilaian tidak langsung. Penilaian status
gizi secara langsung adalah dengan pemeriksaan secara antropometri, biokimia, klinis
dan biofisik. Penilaian status gizi secara tidak langsung adalah dengan pemeriksaan
Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan,
berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh. Pengukuran antropometri
bertujuan mengetahui status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya,
misalnya berat badan dan tinggi badan menurut umur (BB dan TB/U) berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB), Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U), lingkar
lengan atas menurut tinggi badan (LLA/TB) (Sibagariang, 2010).
Dari beberapa cara pengukuran status gizi, pengukuran antropometri
merupakan cara yang paling sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan
yaitu alat mudah diperoleh, pengukuran mudah dilakukan, biaya murah, hasil
pengukuran mudah disimpulkan, dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan
dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu. Penilaian berdasarkan pengukuran indeks
massa tubuh (IMT) adalah untuk mengetahui status gizi orang dewasa berusia 18
tahun atau lebih yaitu dengan pengukuran berat dan tinggi badan (Arisman, 2007).
Penilaian status gizi menurut WHO (2005) adalah :
1. Antropometri
a. BB/U (Berat Badan menurut Umur)
Indeks antropometri dengan BB/U mempunyai kelebihan diantaranya lebih
mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur
status gizi akut atau kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif
terhadap perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan. Untuk
1. Gizi Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < +1
2. Gizi Kurang : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0
3. Gizi Sangat Kurang : jika nilai Z-Skor < -3,0
b. TB/U (Tinggi Badan menurut Umur)
Tinggi badan merupakan antropometri yang mengambarkan keadaan
pertumbuhan skletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TB/U diantaranya adalah baik
untuk menilai status gizi masa lampau, pengukur panjang badan dapat dibuat
sendiri, murah dan mudah dibawa. Untuk pengkategorian status gizi
berdasarkan TB/U dapat dilihat di bawah ini.
1. Tinggi : jika skor simpangan baku > 3,0 SD
2. Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z ≤ 3,0
3. Pendek : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0
4. Sangat pendek : jika nilai Z-Skor < -3,0 SD
c. BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan)
Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi
badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan dari indeks BB/TB adalah tidak
memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk,
normal dan kurus). Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BB/TB
Sangat Gemuk : jika skor simpangan baku > 3,0 SD
Gemuk : jika skor simpangan baku 2,0 < Z ≤ 3,0
Risiko Gemuk : jika skor simpangan baku 1,0 ≤ Z < 2,0
Normal : jika skor simpangan baku -2,0 ≤ Z < 1,0
Kurus : jika skor simpangan baku -3,0 ≤ Z < -2,0
Sangat Kurus : jika nilai Z-Skor < -3,0 SD
2. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang didasarkan atas perubahan yang terjadi
yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi dapat dilihat pada jaringan
epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral
atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid
(Depkes RI, 2005).
3. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji
secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
Jaringan tubuh yang digunakan anatara lain: darah, urin, tinja, dan juga beberapa
jaringan tubuh seperti hati dan otot. Digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi (Depkes RI,
4. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur
dari jaringan (Depkes RI, 2005).
Menurut Gibson (2005) bahwa penilaian status gizi dibagi atas lima metode,
dimulai dengan penilaian pola makan (dietary methods), pemeriksaan laboratorium
(laboratory methods), pemeriksaan antropometri (anthropometric methods),
pemeriksaan klinis (clinical methods) dan penilaian faktor-faktor ekologi (ecological
factors). Status gizi pada balita dan anak dapat diukur dengan menggunakan indeks antropometri. Antropometri adalah pengukuran dari dimensi fisik tubuh manusia.
Antropometri adalah teknik yang sangat berguna untuk mengestimasi komposisi
tubuh sehingga membutuhkan ketelitian dalam pengukuran serta keahlian dan
alat-alat yang sudah distandarisasi (Mitchell, 2003).
2.5. Faktor yang Memengaruhi Status Gizi
Pada saat ini masalah gizi utama di Indonesia masih adalah kurang Energi
Protein (KEP), Anemia Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dan
Kurang Vitamin A (KVA) dan juga Gizi Lebih. Analisis masalah gizi kurang yang
dilakukan oleh Atmarita dan Falah (2004) pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang
pada balita sebesar 37,5% menurun menjadi 27,5% pada tahun 2003, ini berarti
buruk sampai tahun 2003 yaitu 8,3%. Pada tahun 2005 ini dilaporkan terjadi
peningkatan kasus gizi buruk atau yang lebih dikenal dengan busung lapar.
Menurut Rimbawan dan Baliwati (2004), KEP terjadi akibat konsumsi pangan
yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta gangguan kesehatan. Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi antara lain makanan yang tidak
seimbang dan penyakit infeksi (Soekirman, 1999).
Penyebab masalah gizi kurang dapat dibagi dua bagian yaitu penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung adalah makanan yang
tidak seimbang dan penyakit infeksi, dan diantara keduanya saling berhubungan.
Pada balita yang konsumsi makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya
lemah. Pada keadaan tersebut mudah terserang penyakit infeksi yang dapat
mengurangi nafsu makan dan akhirnya dapat menderita kurang gizi (Azwar, 2004).
Sedangkan penyebab tidak langsung berupa ketersediaan makanan, pola asuh serta
sanitasi dan pelayanan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan.
Hasil penelitian Melisa Sevtiyana (2010), menunjukkan bahwa dari
faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita usia 1-5 tahun di Kelurahan Bina
Harapan Wilayah Cakupan UPT Puskesmas Arcamanik Bandung adalah
pengetahuan ibu, pola makan, pengasuhan, pemberian ASI eksklusif, dan lamanya
pemberian ASI, terdapat dua faktor yang mempengaruhi status gizi balita dengan p