• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hukum Bank Sebagai Pemegang Jaminan Kebendaan Pada Perjanjian Kredit Dalam Keadaan Debitur Pailit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kedudukan Hukum Bank Sebagai Pemegang Jaminan Kebendaan Pada Perjanjian Kredit Dalam Keadaan Debitur Pailit"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN HUKUM BANK SEBAGAI PEMEGANG

JAMINAN KEBENDAAN PADA PERJANJIAN KREDIT

DALAM KEADAAN DEBITUR PAILIT

TESIS

Oleh

INGGRID KUSUMA DEWI

057011036/MKn

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEDUDUKAN HUKUM BANK SEBAGAI PEMEGANG

JAMINAN KEBENDAAN PADA PERJANJIAN KREDIT

DALAM KEADAAN DEBITUR PAILIT

TESIS

Diajukan Untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

INGGRID KUSUMA DEWI

057011036/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : KEDUDUKAN HUKUM BANK SEBAGAI PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN PADA PERJANJIAN KREDIT DALAM KEADAAN DEBITUR PAILIT

Nama Mahasiswa : Inggrid Kusuma Dewi Nomor Pokok : 057011036

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) Ketua

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS) Anggota

(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn) Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 31 Agustus 2007

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

(5)

ABSTRAK

Penelitian ini menelaah kedudukan hukum pemegang jaminan kebendaan dalam kepailitan sehubungan dengan adanya penangguhan pelaksanaan hak eksekusi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dalam rangka memahami kedudukan pemegang jaminan kebendaan dalam kepailitan dalam mempertahankan haknya terhadap adanya penangguhan eksekusi objek jaminan.

Pemberian kredit oleh kreditur merupakan suatu kebiasaan dalam praktek bisnis di masyarakat dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari praktik bisnis dewasa ini.

Keberadaan jaminan kredit merupakan upaya guna memperkecil risiko, dimana jaminan adalah sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu kepastian hukum akan pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur. Pemberian jaminan kebendaan selalu menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang (si pemberi jaminan) dan menyediakannya guna pemenuhan kewajiban si debitur.

Adanya jaminan kebendaan yang menentukan dengan jelas benda tertentu yang diikat untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari kreditur lainnya dengan cara mengeksekusi benda jaminan tersebut melalui pelelangan atau penjualan umum.

Adapun lembaga jaminan tersebut meliputi hipotik dan gadai yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta hak tanggungan dan jaminan fidusia yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan Perundang-Undang dan bersifat deskriptif analisis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Kepailitan di satu sisi mengakui hak sparatis dari pemegang jaminan kebendaan, tetapi di sisi lain mengurangi pelaksanaan hak dari kreditur separatis tersebut dengan adanya penangguhan eksekusi jaminan (stay). Dalam keadaan dimana kewenangan untuk menjual objek jaminan berada pada kurator, maka pemegang jaminan kebendaan tidak lagi berkedudukan sebagai kreditur kongkuren, yang tersisa hanya hak preferen. Hasil penjualan objek jaminan baik yang dilakukan oleh kreditur pemegang jaminan maupun kurator, jika terdapat kelebihan, maka dimasukkan kedalam harta pailit. Dan apabila tidak mencukupi jumlah hutang termasuk bunga, maka sisanya berlaku sebagai kreditur kongkuren. Penjualan benda jaminan yang dilakukan sendiri oleh kreditur pemegang jaminan tersebut tidak dibebani dengan biaya beban pailit. Hal ini berbeda dengan penjualan objek jaminan yang dilakukan oleh kurator. Yang dibebani dengan biaya pailit. Sehubungan dengan kreditur bank dalam penyelesaikan kredit macet, tindakan untuk menempuh upaya kepailitan haruslah tidak terlepas dengan terlebih dahulu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh sebagai konsekuensi ditempuhnya upaya kepailitan.

(6)

ABSTRACT

This research is a study on law position for the collateral holder in brankruptcy related to the postponement of execution right implementation as mentioned in Act No. 37 of 2004 concerning to brankruptcy in order to understand the position of collateral holder in bankruptcy to maintain the rights on the postponement of collateral object execution.

The loan supplied by creditor is a normal condition in business implementation in society and as an integrated part from the business activities in present time.

Collateral for loan is an effort to minimize the risk, in which the collateral is a protection for the creditor safety, is the law certainity for the payment of debtor’s debt or implementation of a presentation of debtor. A collateral is an issolation of a part of property of anyone (the giver of collateral) and used to pay the liabilites of debtor.

The availability of collateral determine the goods that bind to get the preceded payment from another creditor by execution of the collateral through auction or public offering.

The quarantee agency consist of hypotec and auction as mentioned in Civil Code and the quarantee right and fiducial collateral mentioned in the Civil Code.

Research method applied in this study is a normative juridical study by using Act approach method and descriptive analysis.

The results of research indicates that the Brankruptcy Act recognize a seperation of the collateral holder, but in another hand decrease the implementation of the rights of seperation creditor by the postponement of collateral execution (Stay). In a condition where the authority to sell a collateral object in hand of currator, the holder of collateral did not has position as congruent creditor and the remain is preference right. The results of collateral object selling either by creditor as collateral holder or currator, if there is excess, is put into bankruptcy property. If the amount is not sufficient to pay the principal and interesdt, its remains is a congruent creditor. The selling of collateral by creditor as collateral holder did not charged by the bankruptcy fee. This is different with the collateral object sold by currator with the bankruptcy fee. in a bank creditor in the settlement of the bad debt, an action to apply the bankruptcy is an integral part of the consideration of profit and losses as consequences of the brankruptcy process.

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, dengan mengkaruniakan kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul : ”KEDUDUKAN HUKUM BANK SEBAGAI PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN PADA PERJANJIAN KREDIT

DALAM KEADAAN DEBITUR PAILIT”.

Tesis ini diajukan dalam guna memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian tesis ini penulis telah banyak memperoleh dorongan, pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih diucapkan khusus kepada komisi pembimbing yang terhormat, Ibu T. Keizerina Devi Azwar, SH,CN, MHum, Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, dan Ibu Chairani Bustami, SH., SpN, MKn atas kesediannya memberikan bimbingan dan petunjuk serta saran untuk kesempurnaan tulisan ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada : 1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. M. Yamin, SH., MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan dan Ibu Dr. Sunarmi, SH., M.Hum yang telah memberikan masukan demi memperkaya penulisan ini.

(8)

4. Kepada para staf Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan yang telah membantu dalam mengurus administrasi selama masa perkuliahan.

5. Kepada teman-teman seperjuangan, Syafridawaty Tarigan, Yunita Hasibuan, Dewi Inalya, Wendy Soebandono, Syahrizal, Husnul Rozannah Lubis, Eni Gusetiawati, Afriyani Nur Afni, M.Ridho, dan teman-teman seperjuangan lainnya yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan persahabatannya.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Dr.Triono Eddy, SH, MHum dan Ibunda Fathila, SH, MKn yang selalu mendoakan dengan tulus dan penuh kasih sayang memberikan dorongan dan semangat kepada penulis. Demikian juga kepada adinda tersanyang Citra Wulandari dan Tri Ayu Arimbi yang selalu memberikan dorongan dan semangat bagi penulis.

Penulis mengharapkan semoga dapat diperoleh mamfaat yang baik dari karya tulis ini, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi masyarakat luas umumnya. Akhirya hanya kepada Allah Swt penulis berserah diri dan mohon ampun.

Medan, 14 Agustus 2007 Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

N a m a : Inggrid Kusuma Dewi Tempat / Tgl. Lahir : Medan / 20 September 1982

Status : Belum Menikah

Alamat : Komplek Pondok Surya Blok IV No. 119 Medan

II. Orang Tua

Nama Ayah : Dr.Triono Eddy, SH, MHum Nama Ibu : Fathila, SH, MKn

III. Pendidikan

1. SD. Ikal Medan : Tamat Tahun 1994

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Landasan Konsepsi ... 38

G. Metode Penelitian ... 39

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 39

2. Objek Penelitian ... 41

3. Alat Pengumpulan Data ... 41

4. Metode Pengumpulan Data ... 41

(11)

BAB II BANK SEBAGAI KREDITUR DALAM PROSES

PELUNASAN HUTANG OLEH DEBITUR ... 44

A. Pemberian Kredit Sebagai Salah Satu Bentuk Usaha Perbankan ... 44

B. Tanggung Jawab Debitur Dalam Upaya Pelunasan Hutang ... 50

C. Upaya Bank Sebagai Kreditur Pemegang Jaminan Kebendaan Dalam Upaya Pelunasan Hutang Oleh Debitur... 56

BAB III KEDUDUKAN BANK SEBAGAI PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN TERHADAP ADANYA PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK JAMINAN ... 66

A. Eksekusi Objek Jaminan Oleh Kreditur Separatis ... 76

B. Eksekusi Objek Jaminan Oleh Kurator ... 79

BAB IV KEDUDUKAN BANK SEBAGAI PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN TERHADAP ADANYA PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK JAMINAN DALAM KEPAILITAN... 84

A. Penangguhan Eksekusi Jaminan ... 86

B. Kedudukan Kreditur Separatis dalam Kepailitan ... 91

C. Kewenangan Kreditur Separatis Dan Kurator Dalam Mengeksekusi Jaminan Hutang ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran ... 103

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional meletakkan dasar-dasar bagi perjuangan pembangunan bangsa dalam mewujudkan masyarakat untuk meningkatkan ekonomi dan setiap bidang pada umumnya. Pola dasar pembangunan nasional yang menggariskan apa tujuan pembangunan, merupakan landasan hukum bagi terselenggaranya kegiatan pembangunan itu sendiri.

Pembangunan yang sedang dilaksanakan memerlukan peraturan-peraturan hukum yang dapat menunjang serta memberikan arah kepada pembangunan, dimana sejalan dengan bertambahnya kebutuhan-kebutuhan serta perkembangan masyarakat Indonesia yang bergerak ke arah era perdagangan bebas menuntut usaha pembangunan di bidang hukum.

Hal ini menunjukkan bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan (agent of change) atau sarana pembangunan diperlukan peranannya dalam pembangunan nasional, sebagaimana menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa: “Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan adalah hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum yang berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan”. 1

(13)

Pembaharuan hukum dalam rangka pembangunan hukum khususnya di bidang hukum jaminan sangat penting bagi perkembangan di bidang ekonomi, dimana hukum jaminan merupakan sarana hukum yang dibutuhkan untuk mengembangkan perekonomian dan pembangunan terutama dalam kaitannya dengan pemberian kredit yang memerlukan lembaga jaminan untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Suatu hal yang sangat mendasar dalam pelaksanaan pembangunan adalah tersedianya permodalan. Permodalan tidaklah didapatkan begitu saja tetapi dibutuhkan sarana-sarana lain termasuk halnya meletakkan keberadaan lembaga jaminan yang dibutuhkan masyarakat pemodal itu sendiri.

Perkembangan industri dan perdagangan dewasa ini juga berakibat secara langsung terhadap perkembangan lembaga jaminan itu sendiri, yang salah satu perkembangan tersebut adalah jaminan hutang baik itu jaminan perseorangan maupun jaminan kebendaan. Keberadaan jaminan hutang sangat potensial perkembangannya selain memiliki dasar hukum yang kuat maka keberadaan jaminan juga sangat berpotensial dalam hal dikabulkannya permohonan kredit atau tidak.

(14)

Meningkatnya pembangunan di segala bidang tentunya tidak terlepas dari peran Bank sebagai agen pembangunan (agent of development),2 yaitu sebagai lembaga yang bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perbankan No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan).

Manusia adalah homo economicus dan setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia yang beraneka ragam sesuai dengan harkatnya selalu meningkat, sedangkan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya itu terbatas. Hal ini menyebabkan manusia memerlukan bantuan untuk memenuhi hasrat dan cita-citanya. Dalam hal ia berusaha, maka untuk meningkatkan usahanya atau untuk meningkatkan daya guna sesuatu barang ia memerlukan bantuan dalam bentuk permodalan. Bantuan dari Bank dalam bentuk tambahan modal inilah yang sering disebut dengan “kredit”3

Dengan demikian kredit itu dapat pula berarti bahwa pihak kesatu memberikan prestasi baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak lain, sedangkan kontraprestasinya akan diterima kemudian (dalam jangka waktu tertentu).4

2

Budi Untung, Kredit PerBankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta, 2000, hal. 14.

3

Thomas Suyatno, et .al.Dasar-dasar Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal. 12-13.

4

(15)

Kredit merupakan tulang punggung bagi pembangunan di bidang ekonomi.5 Ini berarti perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi dan lain sebagainya. Perkreditan juga memberikan perlindungan kepada golongan ekonomi lemah dalam pengembangan usahanya.6 Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi masyarakat bisnis. Bagi kaum pengusaha, mengambil kredit sudah merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bisnis.7

Untuk melepaskan dunia bisnis tanpa pinjaman kredit Bank sangatlah sulit. Namun bagi perbankan setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung risiko. Oleh karena itu perlu unsur pengamanan dalam pengembaliannya. Unsur pengamanan (safety) adalah salah satu prinsip dasar dalam peminjaman kredit selain unsur keserasiannya (suitability) dan keuntungan (profitability).8 Bentuk pengamanan kredit dalam praktik perbankan dilakukan dalam pengikatan jaminan.

Secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan yang paling disukai oleh Bank adalah jaminan kebendaan.

5 Tan Kamello, Hukum Jamnan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Di Didambakan, Alumni, 2006, hal 1 sebagaimana dikutip dari Ali Said, Pada Pidato Pengarahan Menteri Kehakiman RI, dalam Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perkreditan , Jakarta, BPHN, 1985.

6 Tan Kamello, Ibid, sebagaimana dikutip dari Sumardi Mertokusumo, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Golongan Ekonomi Lemah, Kertas Kerja Dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perkreditan, Jakarta, BPHN Departemen Kehakiman, 1995, hal 97

(16)

Agunan adalah sebagai salah satu unsur jaminan dalam pemberian kredit, maka jika telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan.

Berdasarkan pada Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan tersebut secara teoretis Bank dimungkinkan untuk memberikan kredit tanpa jaminan karena jaminan (collateral) tidak merupakan syarat mutlak. Jaminan (collateral) hanya merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi di samping syarat lainnya. Apabila unsur-unsur lain telah dapat menyakinkan pihak Bank atas kemampuan debitur, maka jaminan cukup hanya berupa jaminan pokok saja dan Bank tidak wajib meminta jaminan tambahan.

Keberadaan jaminan kredit merupakan upaya guna memperkecil risiko, dimana jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu kepastian hukum akan pelunasan hutang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.9

Pemberian jaminan kebendaan selalu menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, (si pemberi jaminan) dan menyediakannya guna pemenuhan

9

(17)

kewajiban (pembayaran hutang) seorang debitur, sedangkan jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara si pemberi piutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang (debitur).10

Hal yang membedakan diantara keduanya dimana jaminan kebendaan merupakan jaminan yang obyeknya terdiri dari benda yang mengandung asas-asas sebagai berikut: 11

1. Memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditur pemegang hak jaminan terhadap para kreditur lainnya.

2. Bersifat asesor terhadap perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan tersebut. 3. Memberikan hak separatis bagi kreditur pemegang hak jaminan. Artinya benda

yang dibebani dengan hak jaminan bukan merupakan harta pailit dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan.

4. Merupakan hak kebendaan. Artinya hak jaminan akan selalu melekat di atas benda tersebut (droit de suite) kepada siapapun juga benda beralih kepemilikannya.

5. Kreditur pemegang hak jaminan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan eksekusi atas hak jaminannya.

6. Berlaku bagi pihak ketiga, dimana berlaku pula asas publisitas. Artinya, hak jaminan tersebut harus didaftarkan.

Adanya jaminan kebendaan yang menentukan dengan jelas benda tertentu yang diikat dalam perjanjian jaminan memberikan kepada kreditur suatu hak terhadap benda yang diikat untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari kreditur lainnya dengan cara mengeksekusi benda jaminan tersebut, apabila debitur tidak mampu lagi membayar hutangnya.

10 R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia (Termasuk Hak Tanggungan), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 15

11

(18)

Kreditur pemegang jaminan kebendaan tersebut mempunyai kedudukan yang kuat karena dapat melakukan eksekusi dengan menjual benda yang dijaminkan tersebut malalui pelelangan atau penjualan umum.

Adapun lembaga jaminan kebendaan tersebut, meliputi hipotik dan gadai yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum perdata serta hak tanggungan dan jaminan fidusia yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Adanya lembaga jaminan hak tanggungan dan fidusia diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya Bank selaku kreditur pemegang jaminan kebendaan, terutama yang berkaitan dengan masalah pengembalian kredit.

Pada dasarnya dalam dunia perbankan, Bank sebagai kreditur mengandalkan 2 (dua) sumber pelunasan bagi kredit yang diberikan kepada debitur, yaitu: 12

1. Pelunasan dari pendapatan (revenue) yang diperoleh oleh debitur dari hasil usahanya yang disebut first way out.

2. Pelunasan dari harta kekayaan debitur dan jaminan-jaminan yang diberikan oleh debitur atau para penjaminnya, yang disebut second way out.

Salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap kreditur yang tidak terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan terhadap seorang debitur dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam peraturan kepailitan S. 1095 No. 217 jo S. 1906 No. 348 sebagaimana telah diubah dengan

12

(19)

Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang no. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat Undang-Undang Kepailitan).

Sehubungan dengan perbankan, dalam hal seorang debitur berada dalam keadaan tidak membayar hutang-hutangnya terhadap kredit yang diberikan oleh Bank selaku kreditur, maka kreditur dalam hal ini tidak dapat lagi mengharapkan first way out sebagai sumber pelunasan kredit. Sehingga, apabila debitur dalam keadaan pailit maka Undang-Undang Kepailitan diharapkan dapat memberikan jaminan dan keamanan bagi para kreditur dari second way out atas harta kekayaan debitur yang merupakan obyek jaminan dengan cara mengeksekusi harta kekayaan debitur sebagai sumber pelunasan kredit.

Berkenaan dengan tujuan kepailitan sebagai salah satu sarana penyelesaian hutang piutang, maka perlu dikaji pengaturan dalam Undang-Undang Kepailitan mengenai kedudukan pemegang jaminan kebendaan. Hal ini tidak terlepas dari pentingnya memberikan perlindungan hukum bagi kreditur pemegang jaminan kebendaan dalam pemenuhan piutangnya sehubungan dengan kredit yang diberikan.

Menurut Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan, menyebutkan bahwa “Setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas benda lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”.

(20)

kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan”.

Ini berarti, terhadap benda yang sedang dijaminkan berlaku keadaan yang disebut standstiil atau automatic stay,13 yaitu keadaan status quo bagi debitur dan para kreditur terhadap harta kekayaan (asset) debitur maupun terhadap utang debitur.

Kemudian Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang kepailitan menentukan bahwa: ”Selama jangka waktu penangguhan, kurator dapat menggunakan atau menjual harta pailit yang berada dalam pengawasan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur, sepanjang untuk itu telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur atau pihak ketiga…”

Penjelasan Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan menyebutkan: “Harta pailit yang dapat digunakan untuk dijual oleh kurator terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau barang bergerak (current asset), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaan”. Sedangkan yang dimaksud dengan ”perlindungan yang wajar” adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk yang bersangkutan untuk melindungi kepentingan kreditur atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan. Dengan pengalihan harta yang bersangkutan dimaksud, antara lain berupa :

1. Ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit 2. Hasil penjualan bersih

3. Hak kebendaan pengganti

13

(21)

4. Imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (hutang yang dijamin) lainnya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan mengakibatkan hak separatis yang dimiliki oleh kreditur pemegang jaminan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini akan menimbulkan berbagai permasalahan bagi kreditur pemegang hak jaminan.

Bertolak dari masalah-masalah tersebut di atas, judul tesis yang akan diteliti adalah: “KEDUDUKAN HUKUM BANK SEBAGAI PEMEGANG JAMINAN KEBENDAAN PADA PERJANJIAN KREDIT DALAM KEADAAN DEBITUR

PAILIT”.

B. Perumusan Masalah

Mengingat pentingnya masalah kedudukan hukum Bank sebagai kreditur pemegang hak jaminan kebendaan dalam perjanjian kredit, baik ditinjau dari hukum jaminan dan hukum kepailitan sebagai upaya untuk pengembalian kredit/pelunasan hutang, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah upaya Bank sebagai kreditur dalam usaha pelunasan hutang debitur pailit?

(22)

3. Bagaimanakah kedudukan hak kreditur pemegang jaminan kebendaan dalam kepailitan terhadap adanya penangguhan eksekusi obyek jaminan (stay)?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah:

1. Mempelajari dan memahami bagaimana usaha Bank sebagai kreditur dalam usaha pelunasan hutang debitur pailit.

2. Mempelajari dan memahami kedudukan Bank sebagai pemegang jaminan kebendaan apabila obyek jaminan yang dieksekusi tersebut ternyata tidak memenuhi seluruh piutangnya.

3. Mempelajari dan memahami kedudukan hak kreditur pemegang jaminan kebendaan terhadap adanya penangguhan eksekusi obyek jaminan (stay).

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai hukum jaminan pada umumnya dan hukum kepailitan, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan Bank sebagai pemegang jaminan kebendaan pada perjanjian kredit dalam lembaga jaminan dan apabila debitur dalam keadaan pailit.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

(23)

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan memberikan pemahaman yang lebih baik dalam rangka pengembangan lebih lanjut dalam hukum jaminan dan kepailitan khususnya mengenai kedudukan hukum Bank sebagai pemegang jaminan kebendaan bagi pihak-pihak yang terkait, seperti:

a. Kreditur pemegang jaminan kebendaan yang hendak menggunakan lembaga kepailitan dalam penyelesaian utang piutang.

b. Pihak Kreditur Bank sebagai pemegang jaminan kebendaan yang hendak menggunakan lembaga kepailitan dalam menyelesaikan kredit macet.

E. Keaslian Penelitian

Pengajuan judul yang disebutkan diatas telah melalui tahap penelusuran pada data pustaka di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan perolehan informasi bahwa belum adanya pengangkatan judul yang diajukan oleh peneliti yaitu tentang Kedudukan Hukum Bank Sebagai Pemegang Jaminan Kebendaan.

Namun sudah ada mahasiswi yang menulis tentang eksekusi barang objek jaminan oleh Bank, yaitu pada tahun 2004, nama Ermiausa Tarigan, SH, Program Studi Magister Kenotariatan, dengan judul : “ Eksekusi Barang Jaminan Oleh Bank Dalam Penyelesaian Kredit Macet (Studi Kasus Kota Medan).”

(24)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14 Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas kepada ilmu hukum yang artinya memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum yang ditentukan dalam yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah hukum jaminan, sistim hukum benda dan perjanjian kredit Bank.15

Suatu sistim adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, diatas mana dibangun tertib hukum.16 Berdasarkan teori sistim ini, dapat dirumuskan bahwa sistim hukum jaminan kebendaan adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak diatas mana tertib hukum jaminan kebendaan itu dibangun. Jadi dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum jaminan kebendaan merupakan suatu sistim hukum. 17

Mengenai jaminan terdapat 2 (dua) teori, yakni title theory (teori pemilikan) dan lien theory (teori jaminan).18 Teori yang dipakai pada penulisan ini adalah lien theory (teori hukum jaminan) yang menyebutkan bahwa dengan adanya suatu

14 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal 35

15 Tan Kamello, Op Cit, hal 18, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto, Teori Hukum Murni Tentang Hukum, Alumni, Bandung, 1985, hal 96

16 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistim Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hal 15

(25)

perjanjian jaminan, hanya menimbulkan suatu hak jaminan dan tidak terjadi suatu pengalihan hak milik dari pihak debitur kepada pihak kreditur.

Jadi apabila debitur pemberi jaminan kebendaan mengalami kepailitan, menurut teori hukum jaminan tersebut, benda jaminan berada diluar boedel kepailtan.

Lembaga Perbankan merupakan lembaga yang bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemeratan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perbankan bahwa: ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan memberikan pengertian Bank sebagai berikut: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

(26)

Muhammad Djumhana menyebutkan fungsi Bank sebagai berikut:19

1. Pedagang dana (money leader), yaitu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien.

2. Lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang.

Berdasar pada Undang-Undang Perbankan, Bank dikenal dalam 2 (dua) jenis, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang masing-masing mempunyai kegiatan usaha yang ditentukan dalam Undang-Undang tersebut.

Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perbankan.

Bank Perkreditan rakyat adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, sebagaimana disebutkan dalam dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perbankan.

Munir Fuady mengatakan, pada prinsipnya kegiatan usaha Bank (baik Bank umum maupun Bank perkreditan rakyat) sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Perbankan terdiri dari 3 (tiga) golongan, yaitu:20

19Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 86.

(27)

1. Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat. 2. Kegiatan penarikan dari kepada masyarakat.

3. Kegiatan pemberian jasa tertentu yang dapat menghasilkan fee based income. Berdasarkan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh suatu Bank, maka Bank umum mempunyai fungsi sebagai berikut:21

1. Mengumpulkan dana yang sementara menganggur untuk dipinjamkan pada pihak lain, atau membeli surat-surat berharga (financial investment).

2. Mempermudah didalam lalu lintas pembayaran hutang.

3. Menjamin keamanan uang masyarakat yang sementara tidak dipergunakan, misalnya menghindari risiko hilang dan lain-lain.

4. Menciptakan kredit (created money deposit), yaitu dengan cara menciptakan

demand deposit (deposit yang dapat diuangkan) sewaktu-waktu dari kelebihan cadangannya (excess reserves).

Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti percaya, atau

credo atau creditium yang berarti ”saya percaya”.22

Kredit mempunyai banyak arti, dimana dalam dunia bisnis pada umumnya kata ”kredit” diartikan sebagai: ”Kesanggupan akan pinjaman uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak”.23

(28)

Kredit yang diberikan oleh suatu Bank tidak semata-mata untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk bunga yang diterima, tetapi Bank sebagai agent of development bertujuan untuk turut berperan dalam pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi dalam rangka membangun ekonomi kerakyatan yang berdasar pada demokrasi ekonomi yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) amandeman UUD 1945, berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Lembaga perbankan ikut berperan dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Perjanjian kredit antara Bank dengan nasabah debitur merupakan perjanjian pokok, dan sebagaimana perjanjian pada umumnya harus memenuhi syarat-syarat umum yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu.

(29)

Untuk menjamin pengembalian kredit yang diberikan, diadakan perjanjian jaminan. Perjanjian pemberian jaminan merupakan perjanjian bersifat asesor, dimana adanya jaminan ini merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, dalam hal ini perjanjian kredit.

Retnowulan Sutantio memberikan pengertian jaminan kredit sebagai berikut: “Jaminan kredit adalah suatu jaminan baik berupa benda atau orang yang diberikan oleh debitur kepada kreditur, yang diperlukan untuk memperlancar pemberian kredit dan ditujukan untuk menjamin agar kreditur tidak dirugikan, apabila debitur ingkar janji atau tidak mampu mengembalikan pinjamannya tepat pada waktunya”.25

Retnowulan Sutantio lebih lanjut mengatakan bahwa: “Fungsi pemberian jaminan adalah memberikan hak dan kekuasaan kepada Bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil lelang benda yang dijaminkan, apabila debitur tidak membayar kembali hutangnya tepat pada waktu yang telahditentukan dalam perjanjian”.26

Jaminan sebagai sarana perlindungan bagi kreditur, pada dasarnya undang-undang dalam hal ini KUHPerdata telah memberikan jaminan secara umum bagi kreditur. Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa: “Segala kebendaan siberhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

Hukum telah menentukan bahwa kreditur yang telah memberikan pinjaman atau kredit kepada debitur, demi hukum segala harta benda dari debitur kecuali harta

25

Retnowulan Sutantio, Beberapa Masalah Yang Berhubungan dengan Jaminan Kredit, Varia Peradilan, Tahun II No 19, April 1987, hlm. 185.

26

(30)

benda yang telah dibebani dengan suatu hak jaminan, menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur tersebut, tanpa terlebih dahulu melakukan perjanjian jaminan.

Pasal 1132 KUHPerdata lebih lanjut berbunyi sebagai berikut:

”Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,

kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Atas dasar Pasal 1132 KUHPerdata tersebut, mengisyaratkan bahwa setiap kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur lainnya.

Dengan adanya kalimat dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang berbunyi : ”kecuali apabila diantara Kreditur itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan daripada Kreditur lainnya, maka terdapat kreditur-kreditur tertentu yang oleh Undang-Undang diberikan kedudukan hukum lebih tinggi daripada kreditur lainnya. Dalam hukum, Kreditur-kreditur tertentu yang didahulukan daripada kreditur-kreditur lainnya disebut Kreditur Preferen atau secured creditors, sedangkan kreditur-kreditur lainnya itu disebut kreditur konkuren atau unsecured creditors.27 Terhadap kreditur konkuren ini tidak ada yang lebih didahulukan dalam pemenuhan piutangnya, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Hak untuk didahulukan diantara para kreditur tersebut terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1133 KUHPerdata.

(31)

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia, maka kreditur yang memiliki piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dan Hak Fidusia memiliki pula hak untuk didahulukan dalam pemenuhan piutangnya dengan mengeksekusi obyek jaminan. Hak Gadai, Hak Fidusia, Hak Hipotik dan Hak Tanggungan yang timbul dari adanya perjanjian yang khusus diadakan oleh kreditur dengan debitur. Terbentuknya lembaga jaminan hak tanggungan dan hak fidusia diharapkan akan lebih memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan, khususnya Bank selaku kreditur pemegang hak jaminan, terutama yang berkaitan dengan masalah pengembalian kredit apabila debitur dalam keadaan pailit.

Sehubungan dengan jaminan kebendaan R Subekti mengemukakan bahwa: “Pemberian jaminan kebendaan selalu berupaya menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan, dan menyediakannya guna pemenuhan kewajiban (pembayaran hutang) seorang debitur”.28

Jaminan dalam suatu pemberian kredit ditujukan untuk kepentingan kreditur untuk menjamin pelunasan hutang debitur, dalam rangka memperkecil risiko kerugian yang mungkin timbul apabila debitur wanprestasi.

(32)

Dengan kata lain, arti dan fungsi lembaga jaminan menurut Retnowulan Sutantio adalah sebagai berikut :

1. Membantu perolehan kredit oleh pihak yang membutuhkan

2. Memberikan kepastian kepada kreditur bahwa kredit yang diberikan benar-benar terjamin pengembaliannya.

3. Memberi kepastian kepada kreditur bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dijual apabila perlu dilelang untuk melunasi hutang debitur.

Sehubungan dengan salah satu fungsi jaminan untuk membantu dan mengamankan kredit, maka R. Subekti mengemukakan kriteria suatu jaminan yang baik (ideal) sebagai berikut :29

1. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya.

2. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya.

3. Yang menberikan kepastian kepada sipemberi kredit, dalam arti bahwa jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya.

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa asas-asas hukum jaminan bersumber dari Pancasila sebagai landasan idil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas operasional (teknis). Asas-asas tersebut mempunyai tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak.30

29 R. Subekti, Op Cit, hal 19

(33)

Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman dalam Workshop Hukum Jaminan tahun 1993 di Medan, mengemukakan sejumlah asas-asas hukum jaminan yang objek bendanya sebagai berikut :31

1. Asas hak kebendaan (real right), sifat hak kebendaan adalah absolut artinya hak, artinya hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Pemegang hak kebendaan berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya. Sifat lain dari hak kebendaan adalah droit de suite, artinya hak kebendaan mengikuti bendanya didalam tangan siapapun ia berada. Didalam asas ini terkandung asas hak yang tua didahulukan dari hak yang muda (droit de preference). Jika beberapa kebendaan diletakkan diatas suatu benda, berarti kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya. Selain itu sifat kebendaan adalah memberikan wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan, dijaminkan dan disewakan. 2. Asas asesor artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri

(zelfstandigrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung (accessorium) kepada perjanjian pokok.

3. Hak yang didahulukan, artinya hak jaminan merupakan hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain.

4. Objeknya adalah benda tidak bergerak, terdaftar atau tidak terdaftar.

5. Asas asesi yaitu perlekatan antara benda yang ada diatas tanah dengan tapak tanahnya. 6. Asas pemisahan horizontal yaitu dapat dipisahkan benda yang ada diatas tanah

dengan tanah yang merupakan tapaknya.

7. Asas terbuka yaitu adanya publikasi sebagai pengumuman agar masyarakat mengetahui adanya beban yang diletakkan diatas suatu benda.

8. Asas spesifikasi/pertelaan dari benda jaminan. 9. Asas mudah dieksekusi.

Pada prinsipnya, sistim hukum jaminan terdiri dari jaminan kebendaan (zakelijkezekerheids) dan jaminan perorangan (persoonlijkezekerheids). Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat yang melekat serta mengikuti benda-benda yang bersangkutan.32

31 Tan Kamello, Hukum Bisnis Masalah Hukum Perbankan, Perkreditan dan Jaminan, Kumpulan Kertas Kerja Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH (seri 1), Medan Fakultas hukum USU, 1998, hal 82-84

(34)

Terhadap kredit yang diberikan, pada dasarnya terdapat beberapa unsur kredit, yaitu :33

1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikan pemberi kredit baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang. 2. Waktu, yaitu suatu masa yang akan memisahkan antara pemberian prestasi dan

kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.

3. Degree of risk, yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima dikemudian hari.

4. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa.

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan, dalam perbankan pada umunya dibuat secara tertulis dalam bentuk perjanjian baku (standard contract).

Hubungan antara Bank dengan nasabah debitur dalam perjanjian kredit tidak hanya sekedar hubungan kepercayaan (fiduciary relation), hubungan kerahasiaan (confidental relation), dan hubungan kehati-hatian (prudental relation). 34

Pasal 29 ayat (2) menyebutkan bahwa: ”Bank wajib memelihara tingkat kesehatan Bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian”. Kemudian dalam penjelasan Undang-Undang Perbankan disebutkan bahwa: ”... dalam rangka penyempurnaan tata Perbankan di Indonesia ditempuh langkah-langkah antara lain: peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan Bank”. Lebih lanjut dalam penjelasan Undang-Undang Perbankan tahun 1998 disebutkan bahwa ”prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh ... ”

33 Thomas Suyatno, (et al), Dasar-Dasar Perkreditan, Op Cit, hal 14

(35)

Ketentuan ketentuan tersebut diatas menunjukkan bahwa Undang-Undang Perbankan mewajibkan Bank untuk melakukan usahanya sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini berkaitan dengan adanya kewajiban Bank untuk tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada Bank.

Sehubungan dengan pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank, maka Bank dalam pelaksanaannya harus mempunyai keyakinan akan kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk membayar kembali kredit yang diberikan sesuai yang diperjanjikan.

Prinsip kehati-hatian ini oleh berbagai pihak telah banyak dikemukakan, sebagai upaya untuk merumuskan peryaratan atau asas-asas yang sehat dalam suatu pemberian kredit. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberian kredit adalah prinsip 5C yang meliputi :35

1. Character (Watak/kepribadian)

Character atau watak dari calon peminjam merupakan salah satu pertimbangan yang terpenting dalam pemberian kredit yaitu sifat-sifat calon debitur baik perusahaan maupun perorangan yang tercermin dalam kemauan (willingness) dimana Bank harus yakin bahwa calon peminjam termasuk orang yang bertingkah laku baik, dalam arti selalu memegang teguh janjinya, selalu berusaha dan bersedia melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

(36)

2. Capacity (Kemampuan)

Yaitu kemampuan mengkombinasikan faktor-faktor sumber daya, memproduksi barang/jasa yang dibutuhkan masyarakat dan menghasilkan pendapatan dalam cakupan kemampuan calon debitur untuk mengkalkulasi/menghitung penghasilan sebagai gambaran kemampuan debitur untuk melunasi kredit. Faktor kemampuan ini sangat penting artinya mengingat bahwa kemampuan inilah yang menentukan besar kecilnya pendapatan atau penghasilan suatu perusahaan dimasa yang akan datang.

3. Capital (Modal)

Yaitu Analisa modal untuk dapat menggambarkan struktur capital. Dengan demikian Bank dapat melihat besar kecil rasa tanggung jawab calon debitur. Modal terdiri dari modal saham, pinjaman Bank dan pihak ketiga lainnya. Hal ini dapat dilihat dari neraca dan bukti-bukti akuntansi lainnya. Asas Capital atau modal ini menyangkut beberapa banyak dan bagaimana struktur modal yang telah dimiliki oleh calon peminjam.

4. Condition of Economy (kondisi perekonomian)

(37)

pada saat tersebut yang berpengaruh dan berkaitan langsung dengan usaha calon debitur dan prospeknya dimasa mendatang.

5. Collateral (jaminan atau agunan)

Yaitu analisa terhadap jaminan kredit untuk meyakinkan Bank atas kesanggupan debitur dalam melunasi kreditnya. Jaminan dapat berupa jaminan pokok dan jaminan yang dibiayai dengan kredit dan jaminan tambahan yang merupakan jaminan selain jaminan pokok. Agunan merupakan hal yang sangat penting dalam setiap pemberian kredit. Karena itu, bahkan Undang-undang mensyaratkan bahwa agunan itu mesti ada dalam setiap pemberian kredit..

Terhadap pemegang jaminan kebendaan mempunyai kedudukan sebagai berikut: 36

1. Kreditur Preferen, yaitu kreditur yang mempunyai hak terhadap benda yang diikat yang merupakan obyek jaminan untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu daripada kreditur lainnya.

2. Kreditur Separatis, yaitu kreditur yang mempunyai hak sangat istimewa yang mempunyai hak jaminan atas kebendaan, dimana dapat melaksanakan hak-haknya atas benda yang dijadikan obyek jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Artinya kreditur ini dapat mengeksekusi di luar kepailitan.

36

(38)

Sehubungan dengan eksekusi, Djuhaendah Hasan memberikan pegertian eksekusi benda obyek jaminan sebagai berikut :

Eksekusi benda obyek jaminan adalah pelaksanaan hak kreditur pemegang hak jaminan terhadap obyek jaminan apabila terjadi perbuatan ingkar janji oleh debitur dengan cara penjualan benda obyek jaminan untuk melunasi piutangnya. Hak untuk melaksanakan pemenuhan hak kreditur ini dilakukan dengan cara menjual benda obyek jaminan, dan hasilnya digunakan sebagai pelunasan piutangkreditur”.37

Penjualan dari obyek jaminan sebagai pemenuhan hak dari kreditur tersebut, dapat dilakukan melalui penjualan di muka umum karena adanya janji lebih dahulu (parate eksekusi) terhadap benda-benda tertentu yang sebagai jaminan, melalui penjualan setelah adanya penyitaan/ beslag terhadap benda-benda tersebut atau karena adanya kepailitan. Penyitaan yang dilakukan hanya meliputi beberapa benda tertentu dari debitur (tergugat) yang dilakukan oleh seorang kreditur tertentu. Hal ini berlainan dengan kepailitan, dimana meliputi selutruh harta kekayaan dan dilakukan untuk kepentingan semua kreditur.

Pada asasnya setiap kreditur yang tidak terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga terhadap seorang debitur dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Undang-Undang Kepailitan

Undang-Undang Kepailitan sebagai salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang piutang bertujuan untuk menyelesaikan utang-utang debitur dengan jalan mempergunakan seluruh harta debitur untuk membayar seluruh utang-utangnya secara adil, merata dan berimbang.

37

(39)

Kepailitan menurut Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang diartikan sebagai berikut: ”Sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas”.

Kepailitan oleh Retnowulan Sutantio diartikan sebagai berikut:

Suatu eksekusi yang ditetapkan dengan keputusan hakim uang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.38

Menurut Kartono, Kepailitan diartikan sebagai berikut: ”Suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan semua kreditur-krediturnya bersama-sama, yang pada waktu sidebitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditur dimiliki pada saat itu”.39

E. Suherman Menyebutkan bahwa: ”Pada hakekatnya kepailitan adalah suatu sita umum yang bersifat conservatoir dan pihak yang dinyatakan pailit hilang penguasaannya atas harta bendanya”.40

Lebih lanjut Sudargo gautama mengatakan bahwa: ”Kepailitan pada intinya sebenarnya berarti suatu sitaan secara menyeluruh atas segala harta benda daripada sipailit”.41

(40)

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut terlihat bahwa kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas semua harta benda dari si pailit untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Kedudukan kreditur adalah sama terhadap harta debitur pailit (paritas kreditorium). Dengan demikian berlakulah Pasal 1131 KUH Perdata atas seluruh harta debitur pailit yang berlaku umum bagi semua kreditur kongkuren.

Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses kepailitan terdiri: 1. Pihak Pemohon Kepailitan

Pihak pemohon kepailitan adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit ke pengadilan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Kepailitan, yaitu debitur sendiri, seorang kreditur atau lebih, kejaksaan untuk kepentingan umum, Bank Indonesia untuk debitur yang merupakan Bank, Badan Pengawas Pasar Modal untuk debitur yang merupakan bursa efek. Berkaitan dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit tersebut, Pasal 5 Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek.

2. Pihak Debitur Pailit

(41)

Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang Kepailitan hanya memungkinkan seorang debitur dapat dinyatakan pailit apabila debitur tersebut mempunyai paling sedikit 2 (dua) kreditur dan terdapat salah satu utang debitur telah jatuh tempo. Ketentuan tersebut tidak memungkinkan bagi kreditur untuk menempuh sarana hukum melalui tembaga kepailitan apabita kreditur yang bersangkutan hanya merupakan satu-satunya kreditur dan debitur yang bersangkutan.

3. Hakim Niaga

Suatu perkara kepailitan diperiksa dan diputus o!eh hakim majelis. Hakim pengadilan niaga tersebut dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti dan juru sita.

4. Hakim Pengawas

Hakim Pengawas bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Sehubungan dengan tugas tersebut, pengadilan sebelum memutuskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit, wajib terlebih dahulu mendengar nasehat dari hakim komisaris.

5. Kurator

(42)

Kurator diangkat oleh pengadilan bersamaan dengan putusan permohonan pernyataan pailit, yang dalam melaksanakan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit tersebut diawasi oleh seorang hakim pengawas yang ditunjuk dan hakim pengadilan. Kurator yang diangkat oleh pengadilan tersebut harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan baik dengan debitur maupun dengan pihak kreditur.

Apabila debitur atau kreditur yang memohonkan pernyataan pailit itu tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka Balal Harta Peninggalan bertindak selaku kurator. Selain Balai Harta Peninggalan sebagai kurator, terdapat kemungkinan bagi pihak lain untuk turut menjadi kurator bagi harta pailit dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Perorangan atau persekutuan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan membereskan harta pailit.

b. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman 6. Panitia Kreditur

(43)

kreditur tetap dan panitia kreditur tetap yang dibentuk oleh hakim pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur sementara

Kepailitan mengakibatkan penyitaan umum terhadap semua harta debitur pailit. Pengurusan dan penguasaan terhadap harta debitur tersebut berada ditangan kurator. Kepailitan terdiri dari 2 (dua) fase atau periode, yaitu :

1. Fase Penitipan atau Sekestrasi (Conservatoir )

Dalam fase pertama ini dapat terjadi kemungkinan bahwa debitur telah kehilangan haknya untuk melakukan pengurusan dan penguasaan terhadap harta debitur. Namun dalam fase ini masih memungkinkan terjadi perdamaian (accord) yang diikuti pengesahan (homologasi).

Apabila suatu putusan pailit telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka tahap selanjutnya terjadi pencocokan hutang dan tahap dimana dimungkinkan debitur untuk manawarkan perdamaian kepada kreditur.

(44)

Sehubungan dengan perdamaian, pada prinsipnya Undang-Undang Kepailitan mengenal 2 (dua) macam perdamaian, yaitu perdamaian yang ditawarkan setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga dan perdamaian yang ditawarkan debitur dalam rangka PKPU sebelum debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.

Pasal 144 Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua krediturnya secara bersama-sama. Rencana perdamaian tersebut harus diajukan oleh debitur dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) hari sebelum diadakan rapat pencocokan hutang, demikian Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan.

Khususnya yang menyangkut kreditur separatis, apabila haknya dibantah, maka tidak dapat mengeluarkan suara dalam rapat berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila telah melepaskan haknya untuk didahulukan tersebut. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 149 Undang-Undang Kepailitan yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

(1) Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan kreditur yang diistimewakan , termasuk kreditur yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah , tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakan pemungutan suara tentang perdamaian tersebut.

(45)

Apabila suatu perdamaian dalam kepailitan telah diterima dan disetujui oleh kreditur dalam rapat kreditur menurut prosedur yang berlaku, maka perdamaian tersebut memerlukan pengesahan oleh pengadilan niaga (ratifikasi) dalam suatu sidang yang disebut homologasi, yang dapat berupa mengesahkan atau menolak pengesahan perdamaian menurut alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 159 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan.

2. Fase Insolvensi atau Fase Eksekutor

Kepailitan tidak selalu beralih ke fase kedua. Kemungkinan kepailitan sudah berakhir pada fase pertama yaitu pada fase sekestrasi yaitu antara lain apabila :42

a. Upaya hukum berupa kasasi atau peninjauan kembali berhasil dikabulkan. b. Perdamaian disetujui atau diterima dan dihomologasi (disahkan)

c. Kepailitan dicabut dengan putusan pengadilan, karena harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan sebagaimana diatur dalam pasal 18 Undang-Undang Kepailitan.

Sebaliknya kepailitan beralih dari fase`pertama ke fase kedua apabila antara lain karena :43

a. Perdamaian tidak diajukan

b. Perdamaian diajukan, tetapi tidak disetujui atau tidak diterima oleh kreditur-kreditur yang mempunyai hak suara.

c. Perdamaian diajukan, disetujui atau diterima para kreditur yang mempunyai hak suara, tetapi tidak disahkan atau tidak dihomologasi oleh hakim

d. Upaya hukum tidak dikabulkan, perdamaian tidak diajukan

e. Upaya hukun tidak dikabulkan, perdamaian diterima tetapi tidak mendapat pengesahan oleh hakim.

42 H.Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal 187

(46)

Dengan keadaan seperti disebutkan diatas, kepailitan sampai dengan fase insolvensi berarti harus dilakukan pemberesan terhadap harta pailit.

Insolvensi adalah suatu keadaan dimana debitur berhenti membayar hutang-hutang kreditur .44 Menurut Munir Fuady insolvensi berarti:45

1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis.

2. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan assetnya dalam waktu tertentu.

Insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar seluruh hutang, terjadi demi hukum dalam rapat verifikasi (pencocokan hutang) tidak ditawarkan perdamaian (accoord), atau bila perdamaian yang ditawarkan tidak ditolak atau pengesahan perdamaian tersebut dengan pasti telah ditolak, demikian menurut Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan. Setelah insolvensi dan tidak dilakukan pengurusan harta debitur, maka dalam rangka pemberesan, dilakukan penjualan aset-aset debitur oleh kurator sesuai prosedur yang berlaku sesuai dengan kebiasaan, kepatutan serta sesuai syarat-syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepailitan dan Undang-undang lainnya

44 Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hal 51

(47)

Beberapa ketentuan berkaitan dengan pemberesan harta pailit tersebut adalah sebagai berikut :46

(1) Kemungkinan dalam fase insolvensi diusulkan supaya perusahaan debitur pailit dilanjutkan. Hal ini terjadi apabila dalam rapat pencocokan hutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima dan kurator atau kreditur megusulkan hal tersebut. Apabila hal demikian diusulkan maka kreditur, panitia kreditur (jika ada) dan kurator harus memberikan pendapatnya.

(2) Usulan untuk melanjutkan perusahaan debitur pailit wajib diterima apabila disetujui oleh kreditur yang mewakili lebih dari ½ (setengah) dari semua piutang yang diakui. Hasil pemungutan suara rapat harus dibuatkan berita acara secara lengkap dan harus disimpan di Kepaniteraan Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah rapat berakhir.

(3) Setelah berlangsungnya upaya melanjutkan perusahaan debitur pailit, terdapat kemungkinan kelanjutan perusahaan tersebut dihentikan atas permintaan kurator dan kreditur. Sebelum hakim pengawas memerintahkan penghentian melanjutkan perusahaan debitur, maka harus didengar pendapat kurator, apabila yang bersangkutan tidak memberikan pendapat, maka hakim pengawas dapat mendengar pendapat kreditur dan debitur pailit.

(4) Kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua boedel pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur, apabila :

1) Usul untuk megurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

2) Pengurusan tarhadap perusahaan debitur dihentikan

(5) Setelah boedel pailit berada dalam keadaan insolvensi, hakim pengawas dapat mengadakan suatu rapat kreditur dengan menentukan hari, tanggal, waktu dan tempat yang pasti. Rapat dimaksud bertujuan untuk membicarakan mengenai tata cara pembagian dan pemberesan boedel pailit.

Menurut ketentuan Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Kepailitan, yang dapat dinyatakan pailit ialah debitur yang mempunyai 2 (dua) kreditur atau lebih dan terdapat minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.Adanya keadaan dimana debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga membawa akibat pada debitur dan boedel pailit, meliputi semua harta benda yang ada pada debitur pailit pada waktu dijatuhkan putusan serta

(48)

terhadap barang-barang yang diperoleh selama kepailitan, sesuai dalam Pasal 10 Undang-Undang Kepailitan.

Retnowulan Sutantio berpendapat bahwa masalah-masalah kepailitan berdasarkan hukum kepailitan yang berlaku haruslah memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam KUHPerdata, karena KUHPerdata masih mendasari hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia.47 Hal yang sama pula dikemukakan oleh Sutan Remi Sjahdeini bahwa kiranya hukum kepailitan mengandung asas-asas yang terdapat di dalam hukum perjanjian, hukum dagang dan hukum acara perdata, karena suatu hukum kepailitan mengandung kombinasi dari dua aspek hukum yaitu aspek hukum perdata dan aspek hukum publik.48

Sutan Remy Syahdeini lebih lanjut menyebutkan asas-asas hukum perjanjian dalam kepailitan debitur antara lain:49

1. Asas kepercayaan, yaitu asas yang menyatakan kreditur memberikan kepercayaan kepada debitur bahwa nasabah debitur memiliki kemampuan dan kemauan baik untuk melunasi kembali utang pada waktunya dikemudian hari sesuai yang diperjanjikan.

2. Asas pelunasan kembali, yaitu asas yang menetukan bahwa setiap utang yang diterima oleh debitur dari krediturnya harus dilunasi kembali sesuai dengan isi perjanjian.

3. Asas jaminan, yaitu asas yang menetukan bahwa harta kekayaan debitur baik yang telah ada maupun yang baru ada dikemudian hari menjadi jaminan utangnya. Asas jaminan ini sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

4. Asas hak untuk didahulukan, yaitu asas yang menentukan bahwa hak istimewa dan pemegang hak jaminan untuk didahulukan dalam pelunasan piutang kreditur, hak jaminan adalah hak yang dimiliki oleh pemegang jaminan berupa gadai,

47

Retnowulan Sutantio, Lembaga Jaminan Kredit dan Pelaksanaannya Secara Paksa, Jurnal Hukum Bisnis, hlm. 57.

48

Sutan Remy Syahdeini, Asas-asas Hukum Perjanjian Bagi Kepailitan Debitur, Diktat Hukum

Kepailitan, 2002, hlm.24.

(49)

hipotik, fidusia dan hak tanggungan sebagai kreditur preferen dan kreditur separatis.

5. Asas eksekusi, yaitu asas yang menetukan bahwa apabila debitur wanprestasi dan tidak dapat diperoleh sumber bagi pelunasan utangnya maka harta kekayaan debitur yang merupakan jaminan bagi utang-utangnya harus dieksekusi, yaitu dijual dengan terlebih dahulu menyatakan debitur pailit.

6. Asas itikad baik, yaitu asas yang menetukan bahwa perjanjian antara debitur dan kreditur, baik pada waktu pembuatannya maupun pelaksanaannya dilakukan dengan itikad baik oleh semua pihak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

7. Asas pacta sun servanda, yaitu asas yang menetukan bahwa perjanjian yang dibuat diantara para pihak mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Tidak berjalannya hak separatis dalam kepailitan sebagaimana mestinya memerlukan suatu pengkajian, terutama sebagai upaya melindungi kepentingan kreditur pemegang hak jaminan dalam pemenuhan piutangnya.

2. Landasan Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dengan observasi. Dalam rangka penelitian ini perlu dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut:

Jaminan adalah suatu tanggungan yang dibebani oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.

(50)

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang diperjanjikan secara khusus mengenai benda tertentu antara debitur dengan kreditur yang bersifat mutlak atas bendanya dan mempunyai cirri-ciri kebendaan.

Kreditur preferen adalah kreditur pemegang jaminan kebendaan yang memiliki hak secara didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengalami pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan.

Kreditur separatis adalah kreditur yang dapat melakukan eksekusi terhadap objek jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara nasabah debitur pemberi hak jaminan kebendaan dengan kreditur penerima jaminan kebendaan yang terjadi dilingkungan perbankan.

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Dan Sifat Penelitian

Penelitian adalah pencarian sesuatu (inquiry) secara sistimatis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.50 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

(51)

didasarkan pada metode sistimatika dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya.51

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif52, yakni dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum khususnya kaidah-kaidah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan yang ada dari peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan terutama yang berkaitan dengan lembaga jaminan kebendaan dan perkembangan lembaga kepailitan di Indonesia.

Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), guna memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problem hukum yang dihadapi. Disamping itu juga menunjukkan bahwa hasil penelitian hukum normatif yang menjawab permasalahan hukum secara kongkret dan faktual.53

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, untuk memperoleh gambaran umum yang menyeluruh dan sistimatis serta menguraikan keadaan atau fakta yang ada, yakni tentang kedudukan hukum pemegang jaminan kebendaan pada perjanjian kredit dalam keadaan debitur pailit. Kemudian gambaran umum tersebut dianalisis dengan bertitik tolak dari perundang-undangan dan pendapat para ahli yang bertujuan mancari dan mendapatkan jawaban dan identifikasi masalah yang akan dibahas lebih lanjut.

51 Soejono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, cetakan 3, UI Press, Jakarta, hal 43

(52)

2. Objek Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Balai Harta Peninggalan Medan, dengan pertimbangan dan alasan bahwa kantor BHP Medan merupakan suatu instansi pemerintah yang berwenang sebagai kurator dalam hal pengurusan harta debitur yang pailit.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Studi Dokumen yang merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum dengan menggunakan data sekunder dan pedoman wawancara yang bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan untuk lebih menjelaskan hal-hal yang ingin dicari dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan di Balai Harta Peninggalan Medan dengan Bapak Amri Marjunin, Ketua Balai Harta Peninggalan Medan dan Ibu Teti Winarti, Anggota Teknis Hukum Balai Harta Peninggalan Medan.

4. Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari :: Penelitian kepustakaan baik melalui perundang-undangan, literatur ilmiah atau yang sesuai dan berkaitan dengan obyek dan permasalahan yang akan diteliti dan yang diperoleh langsung dari sumber data sekunder, yaitu :

(53)

1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Fidusia, Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Perbankan.

2. Bahan hukum sekunder, berupa tulisan para ahli dibidang hukum dalam bentuk karya ilmiah, buku teks, hasil penelitian, jurnal, majalah dan artikel-artikel. 3. Bahan hukum tersier, antara lain berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang

bahan hukum primer dan sekunder seperti putusan badan peradilan, kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia ekonomi pembangunan.

Sedangkan sumber data primer diperoleh dari informasi yang diperoleh dari hasil wawancara.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Setelah pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni dengan mengadakan pengamatan terhadap data maupun informasi yang diperoleh.54

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis filologi dari kajian ini yang kedua yaitu berupa suntingan teks Syi’ir Qiyamah dan teks Daqa’iqul Akhbar (bab 28).. Suntingan teks Syi’ir Qiyamah

Kenetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROTE NDAO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS- DINAS DAERAH....

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan umpan dan pelarut (f/s), jenis antisolvent dan jenis pelarut terhadap ekstraksi likopen

Alasan penulis memilih film animasi (kartun) sebagai objek penelitian ini karena penulis tertarik untuk mengetahui jenis dan fungsi kesopanan apa saja yang terdapat dan

Dari penjelasan yang telah di uraikan di atas penulis dapat menggunakan metode K-Means Clustering untuk pengelompokan jenis komentar berdasarkan jumlah kalimat

Berdasarkan beberapa masalah diatas, Tim DMD membuat sebuah Web Builder yang dikemas dalam plugin WordPress yang bertujuan untuk menekan biaya pembuatan Landing Page

b) Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleksi bulu mata sampai pernapasan kembali teratur pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan