• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP"

Copied!
394
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

PADA KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

TESIS

Oleh

RISE KARMILIA

077005090/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

PADA KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RISE KARMILIA 077005090/HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PADA KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP

Nama Mahasiswa : Rise Karmilia

NomorPokok : 077005090

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS) Ketua

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum) (Syafruddin S Hasibuan,SH. MH)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH) (Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal 18 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Syafruddin S Hasibuan, SH, MH

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Banyak hal dalam kehidupan kita dipengaruhi oleh korporasi, apabila pengaruhnya positif tentu tidak perlu dirisaukan, akan tetapi justru banyak pengaruh tersebut yang merugikan individu dan masyarakat secara luas. KUHP sebagai dasar hukum dalam peraturan pidana hanya menyebutkan bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh perorangan (naturlijke person) bukan korporasi. Hal tersebut menimbulkan tumbuhnya berbagai perundang-undangan di luar ketentuan KUHP yang mengakui kedudukan korporasi sebagai subjek hukum sehingga faktanya sekarang pengaturan tentang berbagai masalah dalam masyarakat dominan diatur di luar KUHP. Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum menjadikan korporasi dapat bertindak seperti manusia, yang menarik jika korporasi dianggap bertindak seperti manusia adalah perihal menentukan pertanggungjawaban pidana pada korporasi tersebut.

Penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi pada ketentuan di luar KUHP ini merupakan penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sumber data penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik kepustakaan (library research). Penelitian yuridis normatif tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana dan bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi pada ketentuan pidana di luar KUHP serta untuk mengetahui bagaimana kebijakan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi pada korporasi dengan bentuk badan hukum dan non badan hukum dapat meliputi: Pengurus korporasi yang berbuat maka pengurus yang bertanggungjawab, korporasi sebagai pembuat maka pengurus yang bertanggungjawab dan korporasi sebagai pembuat maka pengurus dan korporasi yang bertanggungjawab. Tidak semua undang-undang telah mengatur mengenai prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi, dari 136 peraturan perundang-undangan yang diteliti hanya 73 undang-undang yang memuat aturan mengenai prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi karena itulah badan legislatif saat ini sedang melaksanakan pembaharuan hukum pidana dalam rangka menyempurnakan produk legislatif, termasuk perihal penetapan korporasi sebagai subjek tindak pidana serta pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi dalam suatu rancangan KUHP.

(6)

ABSTRACT

Our live is largely effected by corporation, if it comes with positive effect there will be not up set about, but in reality it comes with adverserely effect on individuals and community. The criminal law textbook as foundation incriminal law just states that the criminal matter iscommitted by individual (naturlijke person) rather than by corporation. It has resulted in several statutes out side of the criminal law textbook recognizing about the regulation about a variety of problem is dominantly determined out side if the criminal law tectbook the acceptance of corporation as law subject has made the corporation to act as human being. Interserting, if corporation is considered to be a human being, it means there will be determination of criminal responsibility on the corporation itself.

The research of corporation of corporation criminal responsibility in some requirement out side of this criminal law textbook is a qualitative juridical andnormative research. The normative and juridical method of research is a making reference on law norms found in the statutes. The source of data in this research included primary material of law, secondary material of law and tertiary material of law. The collection of data is accomplished by library research. The normative juridical research is conducted to know how is the principle of corporation criminal responsibility in criminal law and how is the regulation of corporation criminal responsibility out side of criminal law textbook, and also to know the policy of regulating the corporation criminal responsibility in improvement of the criminal law.

Based on the result of research, it could be concluded that principle of corporation criminal responsibility in corporation or in non-corporation include: the manager of corporation in volved will assume the responsibility, the corporation as perpetrator that manager will assume the responsibility and the corporation as perpetrator that managers and corporation as perpetrator that managers and corporation will assume the responsibility. Not all laws regulated the principle of corporation criminal responnsiblity, of 136 statutes observed, the only 73 laws determined the regulation aboutprinsiple of corporation criminal responsibility, for the reason the legistative recenty is attempting the improvement of criminal law to create product of legislative,including the stipulating of corporation as subject of criminal matter and also the regulation of principle of corporation criminal responsibility in a draft to criminal law textbook.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesisi ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Ilmu Hukum pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PADA KETENTUAN PIDANA DI LUAR KUHP”.

Dalam penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik dari para pengajar/dosen dan terutama dari para pembimbing. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Spa (K) dan Direktur sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,M.Sc, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat menjadi mahasiswi pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Bismar Nasution, SH, MH sebagai ketua program studi Ilmu Hukum yang

telah memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.

(8)

serta terimakasih atas dorongan dan bekal ilmu yang telah diberikan selama proses perkuliahan dan dalam penyelesaian penulisan ini.

4. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, sebagai pembimbing kedua. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih atas kesabaran dan kebijaksanaan beliau sehingga penulis selalu mendapat motifasi dan solusi dalam menyelesaikan penulisan ini. Perpustakaan pribadi beliau juga telah memudahkan penulis dalam penulisan ini.

5. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH sebagai pembimbing ketiga. Secara khusus penulis juga mengucapkan terimakasih atas perhatian yang telah diberikan, mendorong dan membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.

6. Orang tua, Ayahanda H. Nasrun Zakaria dan Ibunda Hj. Salmi, Adinda Rimelda Aquinas dan Adinda Rantung Salinas, yang telah memberikan dorongan dan dukungan serta doanya yang tiada hentinya hingga saat sekarang ini, penulis yakin karena doa merekalah penulis bisa menyelesaikan perkuliahan di Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Juni 2009

(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rise Karmilia

Tempat/ Tgl Lahir : Pasir Pengaraian/ 4 Juni 1985 Jenis kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Jamin Ginting Gg. Kamboja No. 50 Padang Bulan Medan

PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Negeri 002 Pasir Pengaraian Riau dari Tahun 1992 sampai Tahun 1997 2. SLTP Negeri 1 Pasir Pengaraian dari Tahun 1997 sampai Tahun 2000 3. SMU Negeri 1 Pasir Pengaraian dari Tahun 2001 sampai Tahun 2003

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….. i

ABSTRACT………... ii

KATA PENGANTAR………... iii

RIWAYAT HIDUP……….... vi

DAFTAR ISI……….. vii

DAFTAR TABEL………. x

BAB I: PENDAHULUAN………1

A. Latar Belakang………...1

B. Permasalahan………...6

C. Tujuan Penelitian……….6

D. Manfaat Penelitian………...6

E. Keaslian Penelitian………...7

F. Kerangka Teori dan konsepsi...8

G. Metode Penelitian...21

BAB II: PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA A. Konsep Korporasi Dalam Hukum Pidana...25

1. Pengertian Korporasi Dan Pengurus Korporasi ……….….25

2. Bentuk-Bentuk Korporasi ………..………...31

3. Kejahatan Korporasi………...……..……...35

B. Prinsip Pertanggungjawaban Korparasi Dalam Hukum Pidana…………43

1. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...43

(11)

b.Korporasi sebagai pembuat dan

pengurus yang bertanggungjawab...46

c.Korporasi sebagai pembuat Pengurus dan korporasi yang bertanggungjawab……….49

2. Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a.Strict liability...56

b.Vicarious liability...58

c.Doktrin of delegation...61

d.Doktrin of identification...62

e.Doktrin of aggregation...64

f.The corporate culture model...65

g.Reactive corporate fault...66

BAB III: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN...68

A. Penetapan Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia...68

B. Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia……….71

C. Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP...93

BAB IV: KEBIJAKAN PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA A. Arti dan Ruang Lingkup Pembaharuan Hukum Pidana...327

B. Kebijakan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana...332

(12)

A. Kesimpulan………...361

B. Saran………...372

(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Syarat-syarat pemidanaan... 19

2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana

Di Luar KUHP... 98

3. KUHP sebagai acuan atas undang-undang yang tidak memuat

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak hal dalam kehidupan kita dipengaruhi oleh korporasi, apabila pengaruhnya positif tentu tidak perlu dirisaukan, akan tetapi justru banyak dari pengaruh tersebut yang merugikan individu dan masyarakat secara luas. Timbulnya kejahatan korporasi disadari oleh dunia Internasional, hal ini ditandai dengan adanya kongres PBB ke V tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggaran Hukum (the Prevention of Crime and Treatment of Offender) pada tahun 1975 dan dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, yang menunjukkan terdapat kejahatan-kejahatan bentuk baru dilakukan oleh korporasi.1

Korporasi tersebut bukanlah barang baru melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradapan dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan beserta kompleksitasnya. Disisi lain ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya, sehingga banyak bermunculan tindakan-tindakan ilegal namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime.

2

1

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), hal. 37. 2

(15)

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi karena adanya kerugian (harm) yang mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana menerapkan pertanggungjawaban pada tindak pidana korporasi atau corporate liability, mengingat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia pada Pasal 59 yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person).3

KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana.

4

Asas ini sebetulnya berlaku pada abad yang lalu diseluruh negara Eropa kontingental. Hal ini sejalan dengan pendapat hukum pidana individualistik dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu, kemudian juga dari aliran positif dalam hukum pidana. Pada memori penjelasan KUHP yang diberlakukan pada tanggal 1 September 1886 disebutkan bahwa suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan (naturlijke person). Pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum tidak berlaku pada bidang hukum

pidana.5

Seiring dengan perkembangan zaman akhirnya korporasi diterima sebagai subjek tindak pidana hal ini diawali dengan adanya Undang-Undang No. 7 Drt. 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, pada Pasal 15 yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Setelah itu diikuti

3

Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, (Disampaikan dalam Ceramah di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan, 2006), hal. 2. 4

Rusman, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Perikanan,

5

(16)

dengan berbagai undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga faktanya sekarang pengaturan tentang berbagai masalah dalam masyarakat dominan diatur di luar KUHP.

Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum menjadikan korporasi dapat bertindak seperti manusia, keberadaan dan ihwal korporasi seperti hak, kewajiban, tindakan hingga tanggungjawabnya ditentukan oleh undang-undang. Selain itu dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum membawa dampak yang positif dalam aktivitas bisnis karena dapat menguasai kumpulan modal dari banyak orang di atas suatu jangka waktu yang tidak dipengaruhi oleh kematian atau penarikan diri dari individu-individu, akan tetapi di sisi lain juga menimbulkan perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).

(17)

pertanggungjawaban pidana korporasi sulit untuk diaplikasikan sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.6

Menghindari berbagai penafsiran tersebut, sudah seharusnyalah undang-undang yang memuat tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dirumuskan secara spesifik. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memenuhi rumusan kebijakan legislasi menyangkut sistem pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana.7

Kebijakan legislasi yang berlaku pada saat ini khususnya yang memuat tentang pertanggungjawaban korporasi meliputi, perumusan perbuatan yang dilarang (dalam hal apa dan bagaimana suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan korporasi) dan penentuan kesalahan pelaku masih kurang jelas, begitu juga dalam menentukan siapa-siapa yang dapat melakukan tindak pidana tersebut. Penentuan kesalahan korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana juga sangat sulit, karena kesalahan yang dilimpahkan kepada korporasi bukanlah korporasi secara pribadi, sebab pada hakikatnya yang melakukan tindak pidana adalah orang (pengurus korporasi). Begitu juga masalah sanksi pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dangan pertanggung jawaban korporasi, belum tertata secara jelas mana yang pidana pokok, pidana tambahan serta tindakan. Meskipun hal

6

Yoserwan, Hukum Ekonomi Indonesia dalam Era Reformasi dan Globalisasi, (Padang: Andalas University Perss, 2006), hal. 239. Ia menambahakan bahwa diperlukan landasan yuridis yang kokoh sebagai pijakan bagi penegak hukum untuk merobah paradigma lama yang melekat. 7

(18)

tersebut telah ada tetapi apa dasarnya menetapkan suatu sanksi sebagai pidana pokok atau pidana tambahan, undang-undang tidak menjelaskan.8

Akibat dari ketidak jelasan tersebut akan terjadi keragu-raguan pada majelis hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana, sehingga kecil kemungkinan terealisasinya kepastian hukum dan peraturan hukum yang ideal.

9

Selain itu berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya oleh aparatur penegak hukum dalam penanganan masalah kejahatan korporasi masih beranjak dari paradigma lama yakni melihat konsep kejahatan secara konvensional, berakibat penanganannya juga tidak berbeda dengan penanganan kejahatan konvensional lainnya.10

Permasalahan tersebut akan semakin berpengaruh dalam aspek hukum kehidupan masyarakat karena pada semua tingkat di dalam korporasi terdapat pelembagaan mengenai ketidak bertanggungjawaban dengan membiarkan korporasi menjalankan fungsinya, namun dibalik itu seolah-olah membiarkan individu-individu dalam korporasi tertutup oleh tirai yang seakan-akan bertindak sesuai dengan moral. Begitu juga pejabat-pejabat yang lebih tinggi dapat membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban dengan memberikan alasan bahwa tindakan–tindakan ilegal dalam mencapai tujuan-tujuan korporasi yang begitu luas berlangsung tanpa sepengatahuan mereka. Begitu pula dengan pendelegasian tanggungjawab dan

8

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Indonesia

9

Lihat Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Kompas, 2007), hal. 82. Ia mengatakan bawha lemabaga legislatif sebagi puncak kekuasaan, mengalokasikan kekuasaan, status, kepemilikan dan lain-lain, yang dilakukan melalui pembuatan peraturan-peraturan, selanjutnya pengadilan diberi monopoli kekuasaan untuk mengkonkritkan peraturan abstrak tersebut terhadap anggota masyarakat. Maka legislatif dalam merumuskan peraturan perundang-undangan harus memenuhi 3 (tiga) macam syarat , yakni:

1. Peraturan hukum itu memberikan kepastian hukum (law certainty); 2. Peraturan hukum itu memberi keadilan (justice)

(19)

perintah yang tidak tertulis menjaga mereka yang di puncak struktur korporasi jauh dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh keputusan-keputusan dan perintah mereka, seperti halnya para pimpinan kejahatan terorganisir, kekayaan tetap tidak tersentuh hukum.11

1. Bagaimanakah konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana?

Dilatarbelakangi oleh begitu kompleksnya persoalan pertanggungjawaban pidana korporsi pada tindak pidana di luar KUHP tersebut maka sudah sepatutnyalah masalah penting ini diangkat sebagai suatu karya ilmiah.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut:

2. Bagaimanakah pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana di luar KUHP?

3. Bagaimanakah kebijakan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana?

C. Tujuan Penelitian:

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

11

(20)

1. Mengetahui rumusan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana.

2. Mengetahui pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana di luar KUHP.

3. Mengetahui kebijakan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya:

1. Secara teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis terhadap penanganan pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana di luar KUHP.

2. Secara praktis:

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Aparat penegak hukum agar dapat mengetahui bagaimana pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana diluar KUHP tersebut sehingga memudahkan dalam penangangan tindak pidana korporasi.

(21)

sehingga penegakan hukum yang menyangkut tindak pidana korporasi dapat dilakukan dengan baik.

c. Bagi akademisi sebagai langkah awal dalam pengembangan dan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui inventarisasi perundang-undangan khususnya dalam hal mengetahui prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul ”Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Di Luar KUHP” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, akan tetapi isu hukum yang berkaitan dengan korporasi telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni:

1. Mahmud Mulyadi, tesis pada tahun 2001 dengan judul proses pembuktian dan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup (studi kasus pencemaran sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang).

2. Edy Yunara, tesis pada tahun 2004 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana korupsi.

3. Zairida, tesis pada tahun 2005 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup (studi kasus PT. Cisadane Sawit Raya Rantau Prapat)

(22)

merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta elektronik. Mangacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka teori

Kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, artinya kejahatan pada masyarakat agraris berbeda dengan kejahatan pada masyarakat industri, demikian juga dengan pelaku kejahatan, semula yang dipandang sebagai pelaku dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana hanyalah orang (natural person), akan tetapi dalam perkembanganya korporasi (juridical person) juga dipandang mampu melakukan kejahatan maka selanjutnya dapat juga dipidana.

Awalnya orang tidak menerima pertanggungjawaban korporasi dalam kasus pidana. Hal ini dikarenakan korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan, kemudian pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi, namun karena adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum, maka timbul pemikiran untuk mempertanggungjawabakan korporasi dalam kasus pidana.12

(23)

Teori organ merupakan salah satu teori yang menerima korporasi sebagai subjek hukum. Teori ini dipelepori oleh Otto von Gierke yang menyatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelamaan yang benar hidup dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ dari badan tersebut, misalnya anggota-anggota atau pengurus yang mengucapkan kehendak dengan perantaraan mulut atau dengan perantaran tangan (jika ditulis di atas kertas), maka apa yang mereka putuskan adalah kehendak dari badan hukum. Badan hukum bukanlah suatu yang abstrak tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Berfungsinya badan hukum dipersamakan dengan fungsinya manusia, jadi badan hukum tidak berbeda dengan manusia, karena itu dapat disimpulkan bahwa badan hukum sebagai wujud kesatuan. Tidak bertindak sendiri melainkan melalui organnya, tidak sebagai wakil, tetapi bertindak sendiri dengan organnya.13

Mardjono Reksodiputro mengemukakan ada dua teori yang dapat digunakan sebagai konstruksi yuridis pada perbuatan pidana yang secara khusus dilakukan oleh korporasi, yakni teori pelaku fungsional dan teori identifikasi. Teori pelaku fungsional mengatakan bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi pembuat (korporasi)

13

(24)

tidak perlu melakukan perbuatan itu secara fisik, tetapi bisa saja perbuatan itu dilakukan oleh pegawainya, asal saja perbuatan itu masih dalam ruang lingkup fungsi-fungsi dan kewenangan korporasi.14

Konstruksi yuridis perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi selanjutnya dapat ditempuh dengan teori identifikasi. Teori ini menyatakan bahwa korporasi dapat melakukan perbuatan pidana secara langsung melalui orang-orang yang berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri. Perbuatan yang dilakukan oleh anggota tertentu di dalam korporasi (selama perbuatan itu berkaitan dengan korporasi) maka dianggap sebagai perbuatan dari korporasi itu sendiri, maka jika anggota itu melakukan perbuatan pidana, sesungguhnya perbuatan pidana itu merupakan perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi, sehingga korporasi dapat juga diminta pertanggungjawaban atas perbuatan pidana yang dilakukan. Syaratnya orang itu melakukan perbuatan dalam ruang lingkup jabatannya. Jika orang itu melakukan perbuatan pidana dalam kapasitasnya sebagai pribadi, dengan sendirinya perbuatan itu bukan perbuatan korporasi.

Akan tetapi karena korporasi tidak bisa melakukan perbuatan itu sendiri, maka perbuatan itu dialihkan kepada pegawai korporasi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tegas tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, jika pegawai tersebut melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum, sesungguhnya perbuatan itu adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.

15

14

Mardjono Reksidiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1994), hal. 107-108. 15

(25)

Mengacu pada teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa korporasi juga bisa melakukan perbutan pidana dan dapat dimintanya pertanggungjawaban pidana, dengan melihat apakah perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau anggota dari korporasi masih dalam kewenangan korporasi atau semata-mata dilakukan atas kehendak pribadi, jika perbuatan pidana merupakan perbuatan yang sesungguhnya masih dalam ruang lingkup dan kewenangan dari korporasi maka perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan korporasi sehingga ia bisa dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh anggota pegawai atau pengurus korporasi.

Berkenaan dengan perbuatan pidana, Moeljatno sebagai salah seorang penganut ajaran dualistis mendefenisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana dijatuhkan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.16

Asas dari aliran dualistis ini adalah tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Peran unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana terlihat

dengan adanya asas mens rea yakni subjektif guilt yang melekat pada si pembuat, subjektif guilt ini merupakan kesengajaan atau kealpaan yang melekat pada si Moeljatno memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana sehingga disebut dengan ajaran dualistis.

16

(26)

pembuat.17

Dianutnya aliran dualistis dalam hukum pidana memudahkan dalam melakukan sistematisasi unsur-unsur yang termasuk dalam unsur perbuatan dan unsur-unsur yang termasuk dalam unsur kesalahan. Sehingga hal ini mempunyai pengaruh dalam memutuskan suatu perkara pidana.

Kesalahan dalam arti luas dapat dipersamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, didalamnya terkandung makna dapat dicelanya pembuat atas perbuatannya. RUU KUHP Tahun 2006 pada Pasal 36 telah merumuskan mengenai pertanggungjawaban pidana yakni diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

18

No.

Guna memahami komponen tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang

Kemampuan bertanggungjawab 2. Sifat melawan hukum Kesengajaan atau kealpaan 3. Tidak ada alasan pembenar Tidak ada alasan pemaaf

Sumber: Setiyono, Kejahatan Korporasi.(Malang: Bayumedia, 2003) Hal. 103.

17Tindakan Pidana (strafbaar feit) dan Pertanggungjawaban Pidana.

Januari 2009. Sudarto, menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Intinya meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-udang dan tidak dibenarkan namun harus dilengkapi dengan unsur kesalahan untuk penjatuhan pidana Sudarto, Hukum Pidana I. (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal. 85. Lihat juga Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 75. Ia mengatakan bahwa dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan itu ada kesalahan atau tidak, apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, maka ia tentu tidak dipidana. Lihat juga Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I. (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal 225. Menurut pengertian positif, perbuatan pidana adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian/ tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan itulah yang disebut uraian delik.18

(27)

Dikatakan bersalah melakukan tindak pidana berarti ia dapat dicela atas perbuatannya.19 Moeljatno menyatakan kesalahan dalam arti luas meliputi:20

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat (korporasi) argumennya adalah keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu kemampuan bertanggungjawab orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.21

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), hal ini disebut dengan bentuk-bentuk kesalahan, yang terdiri dari:22

a. Kesengajaan

Defenisi sengaja berdasarkan MvT adalah merupakan kehendak yang disadari, ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Kata opzettelijk (dengan sengaja) yang tersebar di dalam beberapa pasal KUHP adalah sama dengan willens en wetens, yaitu menghendaki dan mengetahui.23

19

Dwidja Priyatno, Op-cit, hal, 61.

20Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 130. Kesalaan dalam arti luas sama

dengan kesalahan dalam arti normatif yakni dalam menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya (kesalahan dalam arti sempit), namun harus ada penilaian unsur normatif yakni kesalahan dalam arti luas.

21

Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum PidanaIndonesia, 22 (Malang: Bayu Media, 2003), hal. 106.

Andi Hamzah, Op-cit, hal. 103. l

23

Zainal Abidin Farid, Op-cit, hal. 273. Bandingkan dengan Martiman Prodjohamidjodjo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesi, (Jakarta: Paradnya Paramita, 1996), hal. 45. Menyatakan bahwa rumusan kesengajaan merupakan melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk bertindak atau berbuat, dengan kata lain kesengajaan ditujukan terhadap perbuatan. .

(28)

diperintahkan oleh Undang-Undang. Bisanya dalam hukum pidana dengan sengaja” beserta berbagai variasinya dibedakan sebagai berikut:24

b. Kealpaan

1). Kesengajaan sebagai maksud (dolus directus atau opzet als oogmerk). Kesengajaan sebagai maksud adalah suatu perbuatan, merupakan tidak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan

2). Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn). Kesengajaan dengan sadar kepastian adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, menyadari apabila perbuatan tersebut dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran pasti terjadi.

3). Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaar delijk opzet). Kesengajaan dengan sadar kemungkinan adalah kesengajaan

melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana.

MvT memberikan defenisi tentang kealpaan yakni terletak antara sengaja dan kebetulan, sehingga kealpaan lebih ringan jika dibandingkan dengan sengaja. Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis kealpaan yakni :

1). Tidak berhati-hati

2). Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.

24

(29)

Menentukan masalah kesengajaan dan atau kelapaan pada korporasi dapat dijelaskan bahwa kesengajaan itu terdapat dalam politik perusahaan atau berada dalam keadaan nyata dari suatu perusahaan tertentu. Misalnya dalam perseorangan tertutup dengan pimpinan kembar yang dilakukan untuk melakukan kekacauan.25 Yang dapat dilakukan dalam masalah tersebut adalah melihat apakah kesengajaan para pengurus dalam bertindak pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan atau berada dalam kegiatan yang nyata dari suatu perusahaan. Hal tersebut dapat dideteksi melalui suasana kejiwaan yang berlaku pada korporasi. Jadi konstruksi pertanggungjawaban kesengajaan dari perorangan yang bertindak atas nama korporasi bisa menimbulkan kesengajaan korporasi tersebut.26

3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Secara sederhana yang dimaksud dengan alasan pemaaf adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini jika seorang pelaku perbuatan pidana akan dipertanggungjawabkan atas perbuatannya tersebut dengan dijatuhi sanksi pidana tertentu, salah satu syaratnya adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal

25

Muladai Dan Dwidja Priyatna, Pertanggungjawaban Korprasi dalam Hukum Pidana. (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, hal. 1991), hal. 102. 26

(30)

atau alasan-alsan yang menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Hal-hal yang secara normatif merupakan alasan pemaaf adalah sebagai berikut:27

a. Pasal 48 mengenai kondisi pelaku over Macht yaitu karena suatu keadaan terpaksa ia harus melakukan perbuatan pidana tertentu disebabkan memang tidak ada pilihan lain. Daya paksa dapat dibedakan dalam 2 hal yakni:28

1). Paksaan absolut, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal ini kekuasaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan.

2). Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang yang di dalam paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan mengadakan perlawanan.

b. Jika pelaku berada dalam kondisi Noodweer, yaitu karena ada ancaman atau ancaman serangan yang sedemikian rupa telah mengarah pada dirinya/ orang lain sehingga ia benar-benar terpaksa harus melakukan perbuatan pidana tertentu dalam rangka membela diri/ orang lain tersebut (Pasal 49 ayat 1 KUHP).

c. Pasal 49 ayat (2) yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri dari syarat:

1). Melampaui batas pembelaan yang diperlukan.

2). Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat.

27

Sudarto, Op-cit, hal. 139. Ia mengatakan bahwa Alasan pemaaf yakni menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakan perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Shingga alasan pemaaf ini dapat dikatakan sebagai alasan untuk penghapusan kesalahan. 28

(31)

3). Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan, maka harus ada hubungan kausal antara keduanya.

d. Jika pelaku dalam kondisi sedang menjalankan tugas atau ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP).

e. Pasal 51 ayat (1) jika pelaku dalam kondisi sedang menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat/ penguasa yang berwenang.

f. Pasal 51 ayat (2) yakni dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1). Jika ia mengira dengan iktikad baik bahwa perintah itu sah.

2). Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.

Sehubungan dengan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, khususnya pada alasan pemaaf sebagai mana yang disebutkan diatas maka alasan-alasan pemaaf seperti daya paksa (overmacht) tidak bisa berpedoman pada alasan pemaaf pada natuurlijk persoon yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, akan tetapi harus dicari sesuai dengan sifat kemandirian korporasi yang bersangkutan. Selanjutnya alasan pemaaf berupa ketidak mampuan bertanggungjawab yang diatur dalam Pasal 44 KUHP dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 2 KUHP tidak bisa diambil alih menjadi alasan pemaaf korporasi, karena kedua jenis alasan pemaaf ini mensyaratkan keadaan jiwa tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia. 29

29

(32)

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, peran konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan penelitian serta antara abstraksi dan relita,30

a. Pertanggungjawaban pidana korporasi.

sehingga landasan konsepsional akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan ini. Kosep lazim disebut dengan operasioanal, pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian penafsiran mendua dari satu istilah yang dipakai, selain itu juga digunakan dalam memberikan arah pada proses penelitian. Kosepsi pada penelitian ini mempunyai beberapa variabel yakni:

Dalam hukum pidana dikenal 3 bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi yakni:31

b. Korporasi: Hukum pidana Indonesia memberikan pengertian korporasi dalam arti yang luas yakni dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan 1). Pengurus sebagai pembuat maka pengurus yang bertanggungjawab;

2). Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;

3). Korporasi sebagai pembuat pengurus dan korporasi yang bertanggungjawab.

30

Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survei (Jakarta:LP3ES, 1989), hal. 34. Lihat juga Burhan Ashofa, OP-Cit, hal. 19. Ia menyatakan bahwa konsep juga merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisai dari sejumlah kareakteristik kejadian, keaadaan, kelomopok atau individu tertentu. Bandungkan denga M. Soly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: CV. Mandarmaju, 1994), hal. 80, ia menyatakan Kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi atau dorongan konseptuialisasi dari bacaan dan tinjauan pusataka.

31

(33)

sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga Firma, CV, dan Persekutuan atau maatschap.32

c. Tindak pidana di luar KUHP, merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi sebagai subjek hukum dalam perundang-undangan dari Tahun 1956 s/d Tahun 2008.

G. Metode Penelitian

Rangkaian kegiatan penelitian dilakukan mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilaksakan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut:

1. Tipe penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif33

32

Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, hal. 45.

33Joni Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Bayumedia, 2005), hal. 282. Menyatakan bahwa

penelitian hukum normatif tidak hanya merupakan penelitian terhadap teks hukum semata, tetapi melibatkan kemampuan analisis ilmiah terhadap badan hukum dengan dukungan pemahaman terhadap teori hukum namun pada derajat tertentu juga memerlukan refleksi kefilsafatan yang diperoleh melalui filsafat hukum atau dengan kata lain merupakan penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norama-norama. Lihat juga Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1996), hal. 14 yang menyatakan bahwa bentuk penelitian normatif ini dapat berupa :

dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana di luar KUHP, jadi tema sentral dalam penelitian ini adalah perundang-undangan di luar KUHP yang memuat tentang

1. Inventarisasi hukum positif; 2. Penemuan asas hukum; 3. Penemuan hukum inconcreto; 4. Perbandingan hukum;

Lihat juga Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), hal. 43 yang membagi penelitian hukum doctrinal/ yuridis normatif sebagai berikut :

1. Penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif.

2. Penelitian yang berupa usaha penemuan asas-asas dan dasar-dasar falsafah (dogma atau doctrinal) hukum positif.

(34)

korporasi sejak tahun 1956 hingga tahun 2008. Penelitian yuridis normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal.34

2. Sumber data

Hal 1 (pertama) yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah menginventarisasi hukum positif di luar KUHP yang berhubungan dengan korporasi, selanjutnya akan dilakukan pendekatan kebijakan untuk melihat konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di luar KUHP dan konsep kedepan dalam wadah pembaharuan hukum pidana, dengan demikian akan dapat dilihat asas-asas hukum yang timbul dalam tindak pidana korporasi.

Sumber data penelitian yang digunakan merupakan data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki.35

b. Bahan Hukum Sekunder

Seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korporasi yang diatur di luar KUHP dan penjelasannya, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan peraturan perundang-undangan lainnya.

34

Bismar Nasution, Metode Penelitian Normatif dan Perbandingan Hukum.Makalah Disampaikan Dalam Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan hukum Pada Makalah Akreditasi. (Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 18 Februari 2003), hal. 1. Mengutip istilah Ronald Dworkin, penelitian yuridis normatif juga disebut dengan penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (lawas written in the book), maupun yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial prcess35 ).

(35)

Bahan hukum sekunder merupakan publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, seperti: buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum , yurisprudensi, artikel, majalah dan jurnal ilmiah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, serta bahan hukum primer, sekunder dan tersier di luar hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. Situs web juga menjadi bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.36

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik kepustakaan (libraray research), dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik tesis ini, seperti: undang-undang, RUU KUHP, buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel dan bahan penunjang lainnya.

4. Analisis data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulakan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar.37

36

Jhonny Ibrahim, Ibid, hal. 340.

37

(36)

manganalisis dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

5. Sistematika penulisan

Sistematika dalam penulisan penelitian ini merupakan uraian logis sistematis yang terdiri dari susunan bab dan sub-bab untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan, sehingga sistematika penulisan penelitian ini dibagi dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhnya kedalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut :

Bab I merupakan bab tentang pendahuluan yang menguraikan tentang hal-hal bersifat umum, meliputi: Latar belakang penelitian; Perumusan masalah; Tujuan dan manfaat penelitian; Keaslian penelitian; Kerangka teori yang terdiri dari konsep pertanggungjawaban pidana, dijabarkan dalam bentuk unsur-unsur kesalahan, kemampuan bertanggungjawab, alasan pemaaf dan alasan pembenar; Bab I ini kemudian ditutup dengan rumusan metode penelitian.

Bab II Menjelaskan tentang konsep/ ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana yang terdiri dari pengertian korporasi, bentuk-bentuk kejahatan korporasi, bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana dan teori pertanggungjawaban pidana korporasi.

(37)

tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana, selanjutnya akan dibahas konsep pertanggungjawaban pidana korporsi yang dimuat dalam undang-undang tersebut.

Bab IV menguraikan kebijakan pengaturan tindak pidana korporasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana. Bab IV tersebut meliputi pengaturan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi kedepan dan konsep efektifitas jenis sanksi pidana bagi korporasi.

(38)

BAB II

KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM

HUKUM PIDANA

A. Konsep Korporasi dalam Hukum Pidana

1. Pengertian Korporasi dan Pengurus Korporasi

a. Pengertian korporasi

Korporasi secara etimologis berasal dari kata corporatio, yang berarti memberikan badan atau membadankan, dengan demikian badan yang dijadikan orang. Badan diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam,38 maka pada dasarnya korporasi merupakan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Subekti dan Tjitrosudibio menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum.39

Gunawan Widjaja menambahkan bahwa korporasi merupakan suatu badan hukum mandiri yang diakui oleh negara, mempunyai personalia tersendiri terlepas dari pemegang sahamnya. Korporasi dicirikan pada sifat tanggungjawab yang

38

Soetan Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita. (Jakarta: PT. Pembangunan, 1955), hal. 83.

39

(39)

terbatas dari para pemegang sahamnya, saham-saham yang diterbitkan mudah sekali diperjual-belikan/ diperdagangkan dan keberadaannya diakui secara terus menerus.40

Selain itu Satjipto Raharjo menyatakan bahwa korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari ”corpus”, yaitu struktur fisik dan kedalamnya hukum memasukkan unsur ”animus” yang menjadikan badan itu memiliki kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.

41

Pengertian korporasi jika dilihat dari bentuk hukumnya maka dapat dibagi dalam arti sempit dan dalam arti yang luas.42

Hukum pidana Indonesia memberikan pengertian korporasi dalam arti yang luas yakni dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja Pengertian korporasi dalam arti yang sempit adalah badan hukum, dan merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata, artinya hukum perdatalah yang mengakui eksistensi korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum, demikian juga dengan matinya korporasi, suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui oleh hukum.

40

Gunawan Widjaja, Resiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT.(Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal. 5. lihat juga Chaidir Ali, Badan Hukum. (Bandung: Alumni, 1991), hal. 202. Menyatakan bahwa hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang merupakan pembawaan hak, dan karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggunggugatkan. Namun demikian badan hukum (korporasi) bertindak harus dengan perantaraan orang biasa. Akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggunggugatan korporasi. Lihat juga pernyataan Ali Moenaf, Dewan Komisaris Perananya sebagai Organ Perseroan. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), hal. 9. Mengemukakan korporasi adalah badan usaha yang keberadaannya dan status hukumnya disamakan dengan manusia (orang), tanpa melihat bentuk organisasinya. 41

Satjipto Raharjo (1986). Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, hal. 110.

42Sutan Remi, Op-cit, hal. 43-45. Undang-undang yang memberikan defenisi luas pada korporasi contohnya Pasal 1

(40)

badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut huku m pidana, tetapi juga Firma, CV (commanditaire vennootschap) dan Persekutuan atau maatschap yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan merupakan badan hukum, demikian juga dengan sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan yang melakukan perbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut, juga termasuk kedalam apa yang disebut dengan korporasi.43

Apabila defenisi korporasi dalam peraturan perundang-undangan dirumuskan secara luas artinya mencakup badan hukum maupun bukan badan hukum (hal ini dianut oleh perundang-undangan khusus di luar KUHP), maka konsekuensi yang timbul dari formulasi ini, secara teoritis korporasi dapat melakukan tindak pidana yang secara khusus diatur dalam perundang-undangan tersebut. Sebaliknya apabila korporasi dirumuskan terbatas sebagai badan hukum saja, maka tindak pidana yang dapat dilakukan korporasi dibatasi.44

b. Pengertian Pengurus Korporasi

Korporasi yang dianut dalam hukum pidana adalah berupa korporasi berbentuk badan hukum dan non badan hukum. Korporasi berbadan hukum terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), yayasan, koperasi dan perusahaan negara atau BUMN (BUMN terdiri dari Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum)) dan

43

Sutan Remi, Op-cit,hal. 45.

44

(41)

Perusahaan Perseroan (Persero) yang dikatan sebagai pengurus pada badan hukum tersebut yakni:

1. Perseroan Terbatas (PT): Direksi adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketetentuan anggaran dasar.45

2. Yayasan: Pengurus pada yayasan adalah organ yang melaksanakan kepengurusan yayasan. Susunan pengurus sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris dan seorang bendahara. Ketua yayasan biasanya adalah orang yang memprakarsai berdirinya suatu yayasan. Pengurus yayasan bertanggungjawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik didalam maupun di luar pengadilan.

Jumlah anggota direksi perseroan terbuka paling sedikit terdiridari terdiri dari 2(dua) orang atau lebih. Pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.

46

3. Koperasi: Pengurus pada koperasi dipilih dari dan oleh anggota dalam suatu rapat anggota, sedangkan bagi korporasi yang beranggotakan badan-badan hukum korporasi maka pengurusnya dipilih dari anggota korporasi. Pengurus koperasi mempunyai tugas dan kewajiban untuk memimpin koperasi dan mewakili koperasi di luar dan di muka pengadilan sesuai dengan keputusan-keputuasan rapat anggota. Selain itu pengurus juga mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi.

45

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 98.

46

(42)

4. Perusahaan negara (BUMN) terdiri dari:47

a. Perjan: Pengurus pada Perjan tidak dipimpin oleh direksi tetapi dipimpin oleh seorang kepala (yang merupakan bawahan suatu bagian dari Departemen/ Direktorat jendral/ Direktorat/ Pemerintah daerah).

b. Perum: Kepengurusan Perum yaitu kegitan pengelolan Perum dalam upaya mencapai tujuan perusahaan sebagai badan usaha juga mewakili Perum baik di dalam atau di luar pengadilan dilakukan oleh direksi dengan jumlah paling banyak 5 orang dan salah-satunya diangkat sebagai direktur utama.

c. Persero: Direksi adalah sebagai organ Persero yang bertugas melaksanakan pengurusan Persero untuk kepentingan dan tujuan persero serta mewakili persero baik di dalam maupun di luar pengadilan. Jumlah anggota direksi Persero disesuaikan dengan kebutuhan dan salah seorang anggota direksi diangkat sebagai direktur utama.

Korporasi berbentuk bukan badan hukum terdiri dari persekutuan, Firma dan CV yakni:

1. Persekutuan (maatschap) sering dikatakan sebagai bentuk permitraan dasar (basic partnership), bentuk usaha yang biasanya dipergunakan dalam profesi misalnya

oleh arsitek, dokter, konsultan dll. Para mitra maatschap biasanya dengan perjanjian khusus menunjuk salah-seorang diantara mereka atau orang ketiga sebagai pengurus maatschap. Pasal 1637 KUHPerdata menetapkan bahwa pengurus yang ditunjuk tersebut berhak melakukan suatu tindakan kepengurusan yang ia anggap perlu walaupun tidak disetujui oleh beberapa atau semua mitra asalkan dengan itikad baik, jadi, pengurus dapat bertindak atas nama mitra dan

47

(43)

mengikat para mitra terhadap pihak ketiga dan pihak ketiga terhadap para mitra selama masa penunjukannya. Para mitra tentunya masih bebas untuk menggeser atau mengganti pengurus tersebut. Apabila selagi pengurus yang ditunjuk ada, maka mitra yang bukan pengurus tidak mempunyai kewenangan untuk bertindak atas nama mitra dan tidak bisa mengikat para mitra lainnya terhadap pihak ketiga. Apabila tidak ada peraturan khusus mengenai kepengurusan yang telah disetujui maka Pasal 1639 KUHPerdata menetapkan bahwa setiap mitra dianggap secara timbal balik telah memberi kuasa supaya yang satu melakukan kepengurusan terhadap yang lain, bertindak atas nama maatschap dan atas nama mereka, jadi berkenaan dengan tanggungjawab interen antara mitra kecuali telah dibatas secara tegas dengan perjanjian permitraan setiap mitra berhak bertindak atas nama permitraan dan mengikat para mitra terhadap pihak ketiga dan pihak ketiga terhadap para mitra, tetapi dengan syarat dari Pasal 1639 KUHperdata yang menetapkan untuk setiap mitra hak khusus untuk menyatakan keberatan terhadap tindakan dari mitra lain sebelum tindakan yang dimaksud dilaksanakan, dalam hal keberatan tepat pada waktunya mitra yang berkeberatan akan dibebaskan dari tanggungjawab untuk tindakan-tindakan tersebut.48

2. Firma: Pengurusan Firma dilakukan oleh sekutu aktif (aktive partner). Sekutu pada Firma merupakan persekutuan (partner) yang mendirikan Firma atas nama bersama dan bertanggungjawab secara tanggung menaggung.

(44)

3. CV: Pengurus atau pemimpin pada CV adalah anggota yang selalu aktif atau sekutu aktif. Artinya sekutu komplementer bertugas untuk mengurus CV, berhubungan hukum dengan pihak ke 3 (Pasal 19 ayat 3 KUHD) dan bertanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan. Sekutu pasif (mitra diam) jika memberikan penampilan kepengurusan/ manajerial seperti dengan menunjukkan tindakan-tindakan dari manajemen (Pasal 20 KUHD) atau bila namanya diselipkan di dalam nama perseroan, bila dia sebelumnya bukan mitra aktif (Pasal 20 dan 30 KUHD).50

2. Bentuk-Bentuk Korporasi

Korporasi merupakan suatu organisasi atau perkumpulan untuk bisnis-bisnis yang besar berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. Konsep badan hukum merupakan suatu konsep yang muncul dalam bidang hukum perdata, sebagai kebutuhan untuk menjalankan usaha. I.G. Rai Widjaya menyatakan bahwa badan hukum adalah suatu badan yang ada karena hukum dan memang diperlukan keberadaannya sehingga disebut legal entity. Oleh karena itu maka disebut ”artificial person” atau manusia buatan.51

kerugian bagi pihak ketiga pendirian tanpa akte notarispun telah dianggap berdiri. Kemudian akte pendirian itu harus didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan melalui Berita Negara. Apabila pembuatan akta, pendaftaran dan pengumuman selesai dilakukan Firma tersebut telah berdiri dan untuk menjalankan operasi bisnis masih perlu melengkapi izin dan persyaratan lainya seperti SIUP, SII, SITU dan AMDAL.

50

I.G Rai Widjaya, hal. 54. CV merupakan pengengembagan dari bentuk Firma. Di dalam CV masih terdapat cirri Firma yakni adanya sekutu pengurus (sekutu komplementer atau sekutu aktif) sedangkan unsur tambahan pada CV yang berbeda pada Firma adalah adanya sekutu diam (sekutu komanditer atau sekutu pasif). CV secara khusus diatur pada Pasal 19-21 KUHD. Tanggungjawab di dalam CV ada dua bentuk dimana sekutu aktif bertanggungjawab tidak hanya terbatas pada kekayaan CV tetapi juga pada kekayaan pribadi (kalau diperlukan), disini persis sama dengan sekutu pada Firma. Lain halnya dengan sekutu pasif yang hanya bertanggungjawab pada modal yang dimasukkan saja dan tidak boleh campur tangan dalam tugas sekutu komplementer. Pendirin CV tidak perlu dengan formalitas maka dapat dilakukan dengan lisandan tulisan. Jika dilakukan dengan tulisan maka dapat dilakukan dengan akta autentik dengan akta dibawah tangan, tidak ada keharusan dari pendiri CV untuk melakukan pendaftaran dan juga tidak ada keharusan untuk diumumkan dalam lembaran Negara sehingga CV tidak dapat dikategorikan sebagai badan hukum 51

Ibid, hal. 127. Ia juga mengatakan bahwa di samping manusia (natuurllijk person atau natural person) ada manusia lain yang disebut recht person yang merupakan orang tiruan atau orang yang diciptakan oleh hukum.

(45)

Setiyono menyatakan bahwa badan hukum adalah suatu ciptaan hukum yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Diciptakannya pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan namun badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu, dan harta ini harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun didalamnya. Kerugian yang timbul hanya dapat dipertanggungjawabkan semata-mata dengan harta kekayaan yang ada dalam badan yang bersangkutan.52Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah:53

1. Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan dari badan hukum tersebut;

2. Memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut.

3. Memiliki tujuan tertentu;

4. Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-kewajibannya tetap meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.

52

Setiyono, Op-cit, hal. 3.

53

(46)

Setiyono mengutip dari Chidir Ali menyatakan bahwa badan hukum di Indonesia dapat digolongkan berdasarkan macam-macamnya, jenis dan sifatnya. Secara sistematik aneka badan hukum itu dapat dijelaskan sebagai berikut:54

1. Pembagian badan hukum berdasarkan macam-macamnya:

a. Badan hukum orisinil yaitu negara, contohnya negara Republik Indonesia. b. Badan hukum yang tidak orisinil yaitu badan hukum yang berwujud

perkumpulan berdasarkan ketentuan pasal 1653 KUHPerdata. Menurut pasal tersebut ada empat jenis badan hukum, yakni sebagai berikut:

1). Badan hukum yang diadakan (didirikan) oleh kekuasaan umum, misalnya propinsi, bank-bank yang didirikan oleh negara.

2). Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum, misalnya perseroan. 3). Badan hukum yang diperbolehkan karena diizinkan.

4). Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud atau tujuan tertentu. 2. Pembagian badan hukum menurut jenis-jenisnya:

a. Badan hukum publik meliputi:

1). Badan hukum yang mempunyai teritorial, pada umumnya badan hukum ini harus memperhatikan atau menyelenggarakan kepentingan mereka yang tinggal di daerah atau wilayahnya, misalnya negara.

2). Badan hukum yang tidak mempunyai teritorial, adalah badan hukum yang dibentuk oleh yang berwajib hanya untuk tujuan tertentu saja, contohnya Bank Indonesia, Perum dan Perjan.

54

(47)

b. Badan hukum privat. Badan hukum privat dikenal juga dengan badan hukum keperdataan, hal yang penting dalam badan hukum keperdataan ialah bahwa badan-badan hukum terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang secara perorangan. Di samping itu badan hukum publik juga dapat mendirikan suatu badan hukum privat (keperdataan). Misalnya negara Republik Indonesia mendirikan Yayasan dan PT negara. Ada beberapa macam badan hukum privat, antara lain: Perkumpulan, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan.

Badan usaha bukan badan hukum dalam pendiriannya tidak memerlukan adanya pengesahan akta pendirian dari pemerintah, artinya pendiriannya bisa dilakukan secara tertulis atau secara lisan, baik dengan akta otentik maupun dibawah tangan.55 Badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dapat dikategorikan sebagai berikut:56

1. Perusahaan perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan, misalnya perusahaan industri, perusahaan dagang dan perusahaan jasa.

2. Perusahaan persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini dapat berbentuk Firma dan persekutuan komanditer (CV).

55

Ibid, hal. 53.

56

(48)

Dwidja Priyatno menyatakan jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:57

1. Korporasi publik adalah korporasi yang didirikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memenuhi tugas-tugas administrasi dibidang urusan publik. Contohnya: Di Indonesia seperti pemerintah kabupaten atau kota.

2. Korporasi privat adalah sebuah korporasi yang didirikan untuk kepentingan privat/ pribadi, yang dapat bergerak di bidang keuangan, industri dan perdagangan, sahamnya dapat dijual kepada masyarakat, maka istilah penyebutannya ditambah dengan istilah ”publik” contoh PT. Garuda, Tbk (terbuka), yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah go public atau sahamnya telah dijual kepada masyarakat melalui bursa saham.

3. Korporasi publik quasi, lebih dikenal dengan korporasi yang melayani kepentingan umum (public Quasi). Seperti PT. Kereta Api Indonesia, Pertamina, Perusahaan Listrik Negara.

3. Kejahatan Korporasi

Kejahatan korporasi menurut Muladi sering dikatakan sebagai salah satu bentuk white collar crime (kejahatan kerah putih).58

57

Dwidja Priyatno, Op-cit, hal, 14.

58

Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan yang Dilakukan Oleh Korporasi, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi. (Semarang: Universitas Hukum Diponegoro, 23-24 November 1989) dalam Setiyono, Op-cit, hal. 20.

White collar crime menurut

(49)

(kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaanya).59

Kejahatan korporasi pada umumnya dilakukan oleh orang-orang dengan status sosial tinggi dengan memanfaatkan kesempatan dan jabatan tertentu yang dimilikinya, dengan kadar keahlian tinggi di bidang bisnis untuk mendapatkan keuntungan di bidang ekonomi.60 Kejahatan korporasi harus dibedakan dari kejahatan ekonomi pada umunya, karena kejahatan korproasi hanya dilakukan dalam konteks bisnis besar dan oleh orang-orang dengan status sosial tinggi, bukan dilakukan oleh kelompok bisnis kecil, sehingga unsur-unsur kejahatan korporasi dapat dirumuskan sebagai berikut:61

1. Kejahatan;

2. Dilakukan oleh orang yang terpadang dan terhormat; 3. Status sosial tinggi;

4. Dilakukan dalam hubungan pekerjaannya; 5. Melanggar kepercayaan publik.

Hatrik Hamzah menyatakan ruang lingkup kejahatan meliputi:62

1. Crimes for corporation, adalah pelanggaran hukum dilakukan oleh korporasi

dalam usaha mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh profit;

59 Setiyono, Op-cit, hal. 36. 60

Mahrus Ali, Op-cit, hal. 18.

61

Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Korporasi , Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi (FH UNDIP 23-24 November 1989), hal. 3. dalam Mahrus Ali, Op-cit,hal. 20.62

Hatrik Hamzah, Op-cit, hal. 41. Lihat juga Bobby Manalu, Meminta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai

Pelaku Delik Korupsi,

(50)

2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan;

3. Crimes againts corporations, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini yang menjadi korban adalah korporasi.

Didasarkan pada pembedaan tersebut, maka yang merupakan kejahatan korporasi adalah crimes for corporation dan criminal corporation. Berkaitan dengan hal ini Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa kejahatan korporasi sebagai bagian dari white collar crime, namun perlu dibedakan antara corporate crime yang dilakukan oleh small business dan big business, karena:63

1. Kejahatan korporasi tidak dapat dikaitkan dengan small businees offenses, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau usaha dagang yang lingkup kegiatannya sekala kecil;

2. Konsepsi kejahatan korporasi hanya ditujukan kepada kejahatan yang dilakukan oleh bisnis besar;

3. Kejahatan korporasi sebagai bagian white collar crime, harus dibedakan antara ordinary crimes committed by upper class people dan small business offenses.

Salah satu hal yang membedakan antara kejahatan korporasi (white collar

crime) dengan kejahatan konvensional/ tradisional, terletak pada karakteristik yang

melekat pada korporasi itu sendiri, antara lain:64

63

Ibid, hal. 43.

64

Gambar

Tabel 1: Syarat-syarat pemidanaan
Tabel 2:Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana di Luar KUHP
Table 3: KUHP sebagai acuan atas undang-undang yang tidak memuat prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi

Referensi

Dokumen terkait

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas profesional guru sains adalah: studi lanjut; in-service training; memberdayakan musyawarah guru mata pelajaran

Aspek penciptaan menjadi sangat penting dalam industri kreatif, untuk itu ada beberapa model dalam pengembangannya, pertama, menekankan pada revitalisasi tradisi

digunakan tetapi kondisinya kotor dan tidak terawat, sehingga pengunjung merasa tidak nyaman (Wawancara 18 Januari 2017). Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat

Hal ini dipengaruhi adanya biaya tataniaga atau biaya pengolahan yang cukup besar yang dilakukan oleh pengumpul rotan sebelum menjual rotan tersebut yang meliputi

Dalam Masyarakat Hindu di Bali, telah lama menjaga keharmonisan hubungan antara manusia baik Tumpek Bubuh / Tumpek wariga di dalam hari besar ini terdapat suatu

bagi anggota Polri tersebut ditegaskan dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 yang substansinya, penyidikan terhadap anggota Polri yang melakukan

Dalam buku Our Common Future (buku yang pertama kali memunculkan konsep pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development), telah diingatkan tentang masalah perkotaan