PERKEMBANGAN PESANTREN DARUL ARAFAH DI DESA LAU BEKERI 1985-1990
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN
O L E H
NAMA : NURBAITY LUBIS NIM : 020706016
Pembimbing, Drs. Saifuddin M, S. U
NIP.131284310
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, atas segala limpahan nikmat dan karuniaNya hingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Ada pun judul dari skripsi ini adalah: PESANTREN DARUL ARAFAH
TAHUN 1985-1990. Penulis menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi syarat dalam
menyelesaikan studi dalam Departemen Ilmu Sejarah. Dalam menyelesaikan skripsi ini
penulis telah berupaya semaksimal mungkin dengan kemampuan penulis yang sangat
terbatas. Karena itu penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi nantinya. Besar harapan penulis kiranya
tulisan yang sangat sederhana ini dapat menjadi salah satu kontribusi bagi almamater
Departemen Ilmu Sejarah Universitas Sumatera Utara.
Medan, Agustus 2008
UNGKAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini bukanlah semata-mata hasil jerih payah dari penulis sendiri, tetapi juga sangat
banyak kontribusi pemikiran dari para pembimbing dan staf pengajar Departemen Ilmu
Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini tidak akan dapat selesai
tanpa dukungan dan motifasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan tulus dan
dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga kepada :
1. Kedua orangtua saya, Ayahanda Amir Hamzah dan Ibunda Juliana, yang tak
henti-hentinya memberikan doanya demi keberhasilan anak-anaknya. Suami saya
Sardi Efendi, yang telah memberikan kritik, masukan, bantuan moril maupun
materiil serta ketabahannya menghadapi segala prilaku saya. “I hope you’re
always be mine forever and ever”. Amin. Terima kasih kepada kakak saya Icik
Mariana, yang juga telah memberikan bantuan materiilnya, kakak saya Siti
Habsah, adik-adik saya Mhd. Fauzi, Mhd. Al Imran dan adikku Mhd. Ramadhan
beserta keponakan-keponakan dan anak angkatku tersayang Mawar Ananda
Efendi, yang telah memberi semangat dan menjadikan hari-hari ini lebih
bermakna.
2. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, M.A. Ph. DTH & H, SPA (k) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak DR. Wan Syaifuddin, M.A. Ph. D. selaku Dekan Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U, selaku Ketua Jurusan Departemen Ilmu Sejarah,
5. Bapak Drs. Indera Afkhar, M. Hum, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Sejarah,
Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Drs. Saifuddin Mahyuddin, selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan masukan, saran, dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi ini
7. Kepada seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Sejarah. Fakultas Sastra.
Universitas Sumatera Utara, terutama kepada Bapak Suprayetno, Bapak Edi
Sumarno, Bapak Wara Sinuhaji dan Ibu Fatimah. Terima kasih atas segala
ilmunya, berkat bantuan dari Bapak dan Ibu saya bisa memahami bagaimana
mestinya memandang sejarah.
8. Kepada informan saya terutama pihak pesantren Darul Arafah, Bapak Amrullah
beserta istri, Ustad Alisahbana, Ustad Harun, Ustad Ikrom,Ustad Indera, Bapak
Hasan dan warga desa Lau Bekeri yang bersedia saya wawancarai.
9. Kawan-kawan di Departemen Ilmu Sejarah stambuk 2002 terutama Aisyiyah,
Fanny, Iing, Bambang (kapan menyusul?), Magdalena, Tiomsi dan lain-lain yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
10. Kepada bang Ampera, terima kasih atas segala informasi dan bantuannya selama
ini.
11. Juga kepada seluruh orang-orang yang telah memberikan kontribusinya selama
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ……… i
UNGKAPAN TERIMA KASIH ………... ii
DAFTAR ISI ……….. v
DAFTAR TABEL ……….. vii
ABSTRAK ……….. viii
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ……… 1...
1.2 Rumusan Masalah ……….. 3...
1.3 Tujuan dan Manfaat ……….55………
1.4 Tinjauan Pustaka ……… 4...
1.5 Metode Penelitian ……….. 6
1.6 Jadwal Penelitian ……….. 8... BAB II Gambaran Umum Pesantren...
2.1 Sejarah berdirinya pesantren...
2.2 Unsur- unsur pesantren...
2.2.1 Kyai
2.2.2 Santri
2.2.3 Materi pelajaran dan metode pengajaran...
2.2.4 Sekilas tentang Kitab Kuning...
2.2.5 Sistem pendidikan pesantren...
2.2.6 Fungsi pesantren...
2.2.7 Tantangan pesantren masa depan...
2.3.1 Sejarah madrasah ...
2.3.2 Tingkatan dalam madrasah... BAB III Berdirinya Pesantren Darul Arafah di Desa Lau Bekeri...
3.1 Sejarah berdirinya pesantren Darul Arafah...
3.2 Lokasi pendirian pesantren Darul Arafah...
3.3 Proses pembangunan pesantren Darul Arafah...
3.4 Dampak Bagi Masyarakat Desa Lau Bekeri Terhadap
Pendirian Pesantren Darularafah Pada Awal Pendirian Dan Sesudah
Berdiri
3.5 Penerimaan santri dari tahun ke tahun...
3.6 Jumlah santri dari tahun ke tahun...
3.7 Kehidupan para santri...
3.8 Format pendidikan
3.9 Struktur organisasi
3.10 Jumlah guru yang mengajar di pesantren Darul Arafah setelah tahun 1986
3.11 Kepemimpinan di pesantren Darul Arafah ...
3.12 Pertambahan sarana dan prasarana dari tahun ke tahun... BAB IV Kiprah Pesantren Darularafah Sebagai Lembaga Pendidikan...
4.1 Usaha-usaha yang dilakukan untuk pengembangan pesantren
Darul Arafah...
4.2 Kurikullum pesantren Darul Arafah ...
4.3 Jumlah guru setelah tahun 1989...
pondok pesantren Gontor
4.5 Kegiatan Formal dan Informal
4.6 Keberhasilan dan Kelemahan manajemen
pesantren Darul Arafah...
\BAB V Kesimpulan dan Saran...
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
ABSTRAK
Pesantren Darul Arafah merupakan amal usaha milik swasta yang dikelola oleh
keluarga Bapak Amrullah Naga Lubis. Pesantren ini terletak di Desa Lau Bekeri,
Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Biaya pembangunan
gedung sekolah, gaji guru serta biaya operasional lainnya ditanggung oleh keluarga
Bapak Amrullah Naga Lubis. Bantuan ala kadarnya diterima Pesantren Darul Arafah
hanya dari umat Islam maupun dari warga sekitar yang bersimpati terhadap pesantren
Darul Arafah.
Dengan segala kemandirian pesantren Darul Arafah, alhamdulillah pesantern ini
dapat terus eksis dari sejak awal berdiri yaitu dari tahun 1985 sampai sekarang.
Kehadiran pesantren ini telah memberikan angin segar bagi santri-santri yang ingin
melanjutkan di dunia pesantren, dimana pada awalnya orangtua harus mengirim
anak-anak mereka ke Gontor namun sejak berdirinya pesantren Darul Arafah mereka tidak
perlu lagi mengirim anak-anak mereka kesana karena sistem pendidikan di pesantren
Darul Arafah hampir sama dengan pesantren Gontor.
Penelitian ini dilakukan di Desa Lau Bekeri, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam penelitian ini penulis mengunakan metode
penelitian sejarah yang diawali dengan pengumpulan data-data historis yang berkenaan
dengan objek penelitian (heuristik) yang di lanjutkan dengan tahapan kritik sumber.
Kemudian dilakukan interpretasi terhadap data-data yang dikritisi tersubut dan akhirnya
Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN:
Diterima oleh:
Panitia Ujian Fakultas sastra Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan
Pada :
Tanggal : Hari :
Fakultas Sastra USU Dekan,
Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D NIP.132098531
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. Dra.Fitriaty Harahap, S.U ( ………. )
2. Dra.Nurhabsyah, M.Si (………)
3. Drs.Samsul Tarigan (………)
4 Drs.J.Fachruddin Daulay (………)
Lembar Persetujuan Ketua Departemen
DISETUJUI OLEH:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH Ketua,
Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP. 131284309
PESANTREN DARUL ARAFAH DI DESA LAU BEKERI 1985-1990
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : NURBAITY LUBIS NIM : 020706016
Pembimbing,
Drs. Saifuddin M, S. U NIP.131284310
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAK
Pesantren Darul Arafah merupakan amal usaha milik swasta yang dikelola oleh
keluarga Bapak Amrullah Naga Lubis. Pesantren ini terletak di Desa Lau Bekeri,
Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Biaya pembangunan
gedung sekolah, gaji guru serta biaya operasional lainnya ditanggung oleh keluarga
Bapak Amrullah Naga Lubis. Bantuan ala kadarnya diterima Pesantren Darul Arafah
hanya dari umat Islam maupun dari warga sekitar yang bersimpati terhadap pesantren
Darul Arafah.
Dengan segala kemandirian pesantren Darul Arafah, alhamdulillah pesantern ini
dapat terus eksis dari sejak awal berdiri yaitu dari tahun 1985 sampai sekarang.
Kehadiran pesantren ini telah memberikan angin segar bagi santri-santri yang ingin
melanjutkan di dunia pesantren, dimana pada awalnya orangtua harus mengirim
anak-anak mereka ke Gontor namun sejak berdirinya pesantren Darul Arafah mereka tidak
perlu lagi mengirim anak-anak mereka kesana karena sistem pendidikan di pesantren
Darul Arafah hampir sama dengan pesantren Gontor.
Penelitian ini dilakukan di Desa Lau Bekeri, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam penelitian ini penulis mengunakan metode
penelitian sejarah yang diawali dengan pengumpulan data-data historis yang berkenaan
dengan objek penelitian (heuristik) yang di lanjutkan dengan tahapan kritik sumber.
Kemudian dilakukan interpretasi terhadap data-data yang dikritisi tersubut dan akhirnya
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada awal berkembangnya agama Islam di Indonesia, pendidikan Islam
dilaksanakan secara informal dan individual1. Pendidikan Islam dilakukan di surau
atau di langgar dan di mesjid. Modal pokok mereka hanyalah semangat menyiarkan
agama Islam dan di tempat ini murid-murid hanya sekedar membaca Al-Quran,
namun lambat laun terjadi perubahan dan perkembangan tempat ini menjadi embrio
terbentuknya sistem pendidikan pesantren dan pendidikan Islam formal berbentuk
madrasah atau sekolah yang berbasis agama2. Pesantren berasal dari bahasa Pali
“santri” yang diberi imbuhan awalan “pe” dan akhiran “an”, yang artinya tempat para
santri. Istilah pesantren berlainan menurut tempat atau daerah. Pesantren di Jawa
disebut pondok pesantren atau langgar, surau di Minangkabau, rangkang atau
meunasah di Aceh sedangkan di daerah lainnya seperti di Sulawesi, Kalimantan dan
Sumatera mengadopsi istilah seperti di Jawa. Sedangkan madrasah diartikan sebagai
sekolah yang kurikulumnya lebih menekankan pada agama Islam. Perbedaan yang
mencolok pada keduanya adalah di pesantren santri harus tinggal di sana dalam
jangka waktu yang ditentukan sedangkan pada madrasah tidak.
Pondok pesantren tumbuh sebagai perwujudan dari strategi umat untuk
mempertahankan eksistensinya terhadap pengaruh penjajahan “barat”3 juga
disebabkan karena surau atau langgar dan mesjid tidak mampu lagi menampung
jumlah anak-anak yang ingin mengaji. Selain itu berdirinya sebuah pesantren
1
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah , Jakarta: LP3ES, 1994, hal 13 2
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hal 213 3
didorong keinginan untuk mengintensifkan pendidikan agama Islam kepada
anak-anak.
Berdirinya sebuah pesantren biasanya didirikan oleh perorangan atau inisiatif
tokoh-tokoh agama yang menaruh perhatian besar terhadap dunia pendidikan
khususnya pendidikan agama Islam. Keberadaan sebuah pesantren sebagai lembaga
pendidikan tidak dapat dipungkiri memberi andil besar dalam dunia pendidikan,
sistem pendidikan pesantren telah sangat berjasa dalam mencetak kader-kader ulama
dan yang memberi sumbangsih terhadap negeri ini4. Keberadaan pesantren terus
berkembang tidak hanya di Jawa tapi terus menyebar di kawasan lain di Indonesia
bahkan hingga saat ini keberadaannya semakin berkembang termasuk di Sumatera
Utara. Demikian halnya dengan penelitian ini, penelitian ini berjudul Perkembangan
Pesantren Darul Arafah yang berdiri sejak tahun 1985 di desa Lau Bekeri
Kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Deliserdang Propinsi Sumatera Utara.
Pesantren Darul Arafah menjadi fenomena yang menarik, pesantren ini dibangun di
lokasi yang sebenarnya jauh dari perhitungan yang matang untuk sebuah lembaga
pendidikan, selain daerahnya terpencil dan jauh dari keramaian, pesantren Darul
Arafah juga berada di lingkungan masyarakat yang masih terbatas pemeluk
Islamnya5. Hal ini tentunya berpengaruh pada kemampuan dan usaha yang extra
keras yang harus dilakukan oleh pesantren Darul Arafah dalam usaha membangun
opini masyarakat atau orangtua sehingga mereka percaya dan yakin mendaftarkan
anak-anaknya untuk menjadi santri di pesantren Darul Arafah. Berbagai kesulitan
dan cobaan telah dilewati pesantren Darul Arafah sehingga sampai sekarang bisa
4
H. Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembanga Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001, hal. 204
5
Panitia Peringatan 1 Dasawarsa Pesantren Darularafah, Satu Dasawarsa Pesantren
terus eksis dan menjadi salah satu pesantren yang besar di Sumatera Utara. Selain
alasan di atas alasan lain adalah sepanjang penelusuran saya belum ada penelitian
yang menulis tentang pesantren Darul Arafah kalaupun ada hanya ditulis oleh
kalangan sendiri yaitu oleh Panitia Peringatan 1 Dasawarsa Pesantren Darul Arafah
yang berjudul Satu Dasawarsa Pesantren Darul Arafah Refleksi Menyongsong Masa
Depan, yang ditulis pada tahun 1996 untuk memperingati hari ulang tahun pesantren
Darul Arafah yang ke-10, yang tentunya sangat kental subjektivitasnya. Dua alasan
di atas maka penulis berkesimpulan bahwa penelitian ini penting untuk dilakukan.
Penelitian ini dimulai dari tahun 1985, yaitu awal berdirinya pesantren Darul Arafah
dan berakhir pada tahun 1990, dalam rentang waktu 5 (lima) tahun penelitian ini
diharapkan dapat melihat kemajuan pesantren Darul Arafah dari tahun ke tahun
dengan lebih jelas dan detail.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini dimaksudkan untuk menyoroti bagaimana latar belakang
pendirian pesantren Darul Arafah serta usaha-usaha yang dilakukan pesantren Darul
Arafah dalam mengembangkan dan menjadikan pesantren Darul Arafah sebagai
pesantren modern dan menjadi salah satu pesantren yang besar di Sumatera Utara
kurun waktu 1985-1990. Agar lebih memperjelas dan mengarahkan penelitian ini,
maka perumusan masalah dijabarkan sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi pendirian pesantren Darul Arafah?
2. Usaha-usaha apa yang telah dilakukan dalam pengembangan pesantren Darul
3. Bagaimana pula reaksi masyarakat desa Lau Bekeri terhadap pendirian
pesantren Darul Arafah?
4. Bagaimana akibat keberadaan pesantren Darul Arafah terhadap agama
muslim dan masyarakat sekitarnya?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun penelitian yang saya lakukan ini bertujuan untuk memberikan
informasi mengenai pesantren Darularafah (1985-1990), antara lain:
1. Ingin memberikan gambaran bagaimana peran sebuah pesantren yang telah
mengisi khasanah pendidikan dalam masyarakat Indonesia khususnya yang
beragama Islam.
2. Ingin memperlihatkan bahwa salah satu sarana pendidikan berupa pesantren
Darul Arafah pada hakikatnya tidak hanya berperan membangun agama Islam
tetapi juga pada hakikatnya telah ikut membangun kecerdasan bangsa.
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain:
1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagaimana dan seperti apa pesantren
Darul Arafah.
2. Menambah referensi pengetahuan bagi ilmu sejarah serta peminat sejarah
lainnya khususnya tentang pendidikan pesantren.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini saya menggunakan beberapa buku yang dapat dijadikan
masalah pesantren pada umumnya dan pesantren Darul Arafah pada khususnya.
Buku-buku utama yang penulis gunakan diantaranya adalah sebagai berikut:
Buku pertama adalah buku Karel A. Steenbrink yang berjudul Pesantren
Madrasah Sekolah, buku ini berisi tentang kehidupan pesantren pada abad 19, dalam
buku ini dikatakan bahwa pesantren merupakan wujud dari perhatian masyarakat
terhadap dunia pendidikan khususnya pendidikan agama Islam. Pada awal berdirinya
seorang santri yang belajar di pesantren tidak membayar biaya mereka belajar,
biasanya orangtua santri memberi hadiah seiklas hati dan semampu mereka kepada
para kyai sehingga seringkali dijumpai kyai yang mengajar di pesantren harus
mencari nafkah dengan cara berdagang atau bertani. Jadi dalam dunia pesantren
materi bukan segalanya karena ilmu yang ditularkan kepada orang lain sangatlah
besar pahalanya. Dalam bukunya, penulis ini juga memaparkan tentang sejarah
mengapa bahasa Arab menjadi sangat penting kedudukannya dalam kehidupan
pesantren sehingga bisa dikatakan bahwa santri yang tidak bisa berbahasa Arab tidak
layak menjadi pelajar di pesantren.
Buku kedua adalah tulisan Tim Panitia Peringatan 1 Dasawarsa Pesantren
Darul Arafah dan Peresmian SMP/SMU Galih Agung, yang berjudul Satu
Dasawarsa Pesantren Darul Arafah Refleksi Menuju Masa Depan. Tulisan ini berisi
tentang sejarah pendirian pesantren Darularafah dan hal-hal yang menyangkut
pesantren tersebut. Tulisan ini menjadi referensi yang penting dimana tulisan ini
menjadi pegangan bagi peneliti untuk mengembangkan lebih lanjut tentang sejarah
perkembangan pesantren Darul Arafah selama kurun waktu 5 tahun.
Buku ketiga adalah buku H. Abuddin Nata, yang berjudul Sejarah
Buku berisi tentang lembaga pendidikan Islam yang pada awalnya dilakukan di
surau, langgar ataupun mesjid yang kemudian berkembang menjadi sebuah lembaga
pendidikan formal yang berbentuk pesantren.. Dari buku ini peneliti mendapat
informasi tentang asal-usul dan perkembangan pesantren-pesantren di Indonesia.
Bagaimana proses pesantren yang identik dengan ilmu agama menjadi lebih fleksibel
mengikuti perkembangan jaman. Dari pemaparan-pemaparan di atas penulis menarik
suatu kesimpulan bahwa sebuah pesantren sebagai lembaga pendidikan agama yang
pada awalnya dianggap sebagian orang adalah lembaga untuk membentuk pribadi
yang agamais bisa menata dirinya sedemikian rupa sehingga tamatannya tidak hanya
bisa menjadi mubaliqh, pendakwah atau yang berhubungan dengan agama tapi juga
bisa menjadi lebih luas lapangan pekerjaannya seperti tamatan dari sekolah umum
lainnya.
Buku keempat adalah buku karangan Mastuhu yang berjudul Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren. Buku ini merupakan studi penelitian tentang 6 (enam)
pesantren besar yang ada di Jawa yaitu pesantren Guluk-guluk, pesantren Sukorejo,
pesantren Blok Agung, pesantren Tebu Ireng, pesantren Paciran dan pesantren
Gontor. Penulis membandingkan keenam pesantren ini baik segi kepemimpinan,
kurikulum, kehidupan para santri dan sebagainya. Dari pemaparan-pemaparannya
penulis dapat membandingkan pesantren-pesantren tersebut di atas dengan pesantren
Darul Arafah
1.5 Metode Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, maka dalam
penelitian untuk menghasilkan sebuah penelitian yang baik. Penggunaan metode
penelitian dapat memunculkan lagi peristiwa masa lampau yang lebih objektif
dengan menyatukan potongan-potongan peristiwa tersebut6. Untuk mendukung
penelitian ini maka dipergunakan 4 (empat) tahapan metode penulisan dalam sejarah.
Tahapan tersebut adalah pengumpulan data (heuristik), kritik terhadap sumber,
interpretasi dan historiografi.
Pada tahapan pengumpulan data (heuristik) ini penulis melakukan
pengumpulan data yang berkaitan dengan topik yang diteliti. Proses pengumpulan
data ini dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Pada studi pustaka,
penulis meminjam buku-buku yang berkaitan dengan pesantren Darul Arafah. Pada
studi lapangan, penulis melakukan penelitian langsung kelapangan tepatnya di Desa
Lau Bekeri Kecamatan Kutalimbaru. Disini penulis akan melakukan wawancara
terhadap tokoh-tokoh yang terlibat langsung maupun tidak langsung tetapi
mengetahui proses berdirinya pesntren Darul Arafah. Selain melakukan wawancara,
penulis juga akan mengumpulkan dan menggunakan dokumen-dokumen dari
pesantren tersebut.
Langkah kedua adalah kritik sumber. Kritik sumber adalah tahap penyaringan
dan penyeleksian data-data yang telah diperoleh. Kesemua data yang diperoleh
terlebih dahulu diteliti ulang (dikritisi) untuk mendapatkan kebenaran data yang
akurat.
Tahap ketiga adalah Interpretasi. Pada tahap ini kita akan menafsirkan
sumber-sumber yang telah diteliti keakuratannya sebagai sumber sejarah, jadi pada
tahap ini kita akan berusaha memberikan sebuah analisa terhadap sumber-sumber
6
yang telah kita peroleh. Melalui interpretasi tersebut kita juga dapat mencari garis
hubungan atau kesinambungan data-data yang kita peroleh.
Tahap terakhir adalah Historiografi. Tahap ini adalah langkah akhir dari
metode penulisan sejarah. Data-data yang telah didapat dan telah dikritik kemudian
diinterpretasikan maka akan disusun menjadi sebuah penulisan sejarah.
1.6 Jadwal Penelitian
Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4 Bulan 5 Bulan 6 Bulan 7
Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
BAB II
GAMBARAN UMUM PESANTREN
2.1 Sejarah Berdirinya Pesantren
Pada awal kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara, mereka menjumpai bahwa
sebagian besar penduduknya beragama Islam. Di wilayah ini juga sudah terdapat
model pendidikan tradisional yang secara umum menekankan pada pendidikan
agama Islam. Pendidikan ini berlangsung di langgar, surau dan di mesjid, materi
pelajarannya pun hanya berkisar pada baca tulis Al-Quran. Pendidikan tradisional ini
lambat laun berkembang karena langgar, surau ataupun mesjid tidak mampu lagi
menampung jumlah murid yang ingin belajar agama Islam terutama bagi
orang-orang yang ingin memperdalam ilmu agama kadangkala mereka menginap di
langgar, surau ataupun mesjid sehingga mereka bisa lebih intensif dalam
mempelajari agama Islam11. Hal ini kemudian memacu tokoh-tokoh agama atau
orang-orang yang perduli pada pendidikan Islam untuk mendirikan sebuah pesantren.
Pada umumnya pesantren adalah milik kyai atau suatu kelompok keluarga.
Mereka menyediakan harta kekayaannya dengan maksud menyebarkan ilmunya
kepada orang lain, selain itu ada juga seseorang yang mewakafkan sebagian
kekayaannya misalnya berupa tanah kepada kyai untuk dipakai sebagai tempat
pendidikan agama. Wakaf ini bisa berasal dari penguasa, raja atau orang kaya
lainnya.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam formal lanjutan dari
pendidikan tradisional di langgar, surau atau mesjid. Pesantren merupakan unsur
1
H. Abuddin Nata, (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
penting dari pendidikan Islam namun hanya sedikit yang dapat kita ketahui tentang
perkembangan pesantren di masa lalu terutama sebelum Nusantara dijajah Belanda
karena sumber sejarahnya tidak jelas dan sangat kurang. Namun dalam buku Karel
A. Steenbrink dikatakan bahwa pesantren telah ada sejak masa Hindu-Budha bahkan
dikatakan bahwa istilah pesantren merupakan istilah dari India bukan dari Arab22.
Ketika Nusantara dikuasai oleh VOC, kemudian beralih pada pemerintah
kolonial Belanda, mereka membiarkan pondok pesantren berjalan apa adanya. Untuk
pendidikan anak-anak mereka, Belanda sangat mengandalkan sekolah-sekolah
Kristen, namun setelah kebutuhan atas tenaga pegawai pemerintahan pemerintah
Kolonial Belanda juga menyelenggarakan pengajaran melalui sistem persekolahan,
namun sangat diskriminatif terutama menyangkut penduduk pribumi. Hal ini dapat
dilihat ketika masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, pemerintah hanya
memperhatikan perbaikan staats onderways (sekolah-sekolah pemerintah) sedangkan
mohammedans gods dienst onderways (pondok pesantren) tidak. Karena bagi
Belanda pondok pesantren tidak menguntungkan dan ditakutkan menjadi basis
kekuatan dalam menghimpun rakyat untuk melawan penjajah. Banyak hal yang
dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk mematikan pendidikan Islam.
Beberapa kebijakan yang mereka buat adalah:
Tahun 1882, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Prienterreden (pengadilan
agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan
pesantren.
Tahun 1902, dikeluarkan Ordonansi yang berisi peraturan bahwa guru-guru
agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.
2
Tahun 1932, dikeluarkan peraturan yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde
school ordonantie), yang berisi tentang kewenangan untuk memberantas dan
menutup madrasah atau pesantren yang tidak ada izinnya atau yang memberi
pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Kolonial Belanda.33
Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini
sangat menyulitkan pendidikan Islam dalam melebarkan sayapnya. Walaupun
demikian kyai-kyai tidak putus asa dan mendirikan pesantren-pesantren baru secara
diam-diam. Tantangan pendidikan Islam tidak hanya terjadi pada masa pemerintahan
Belanda. Pada masa awal Indonesia merdeka pun terjadi demikian, setelah
penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah RI mendorong pembangunan
sekolah umum seluas-luasnya dan membuka luas kesempatan bagi tamatan sekolah
umum untuk meduduki jabatan administrasi pemerintahan RI. Dampaknya, pesantren
sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun peminatnya karena anak-anak
muda yang dulu tertarik pada dunia pesantren beralih ke sekolah-sekolah umum
karena lebih jelas dan terjamin masa depannya. Perhatian terhadap pesantren mulai
muncul lagi pada dekade tahun tahun 50-an tepatnya pada tahun 1955 yaitu ketika
partai NU menempati posisi 4 besar pada pemilu, selain itu pesantren juga
melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Kyai Haji Hasyim Asyari dll.4
Pada awalnya pesantren bukanlah semacam sekolah atau madrasah walaupun
sekarang ini telah banyak yang mendirikan unit-unit pendidikan klasikal. Berbeda
dengan sekolah atau madrasah, pesantren memiliki pola kepemimpinan, ciri khusus,
unsur-unsur kepemimpinan bahkan aliran keagamaan tertentu.
3
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hal.47 4
Secara historis, Pesantren merupakan lembaga pendidikan Non-formal swasta
yang tidak mengajarkan pelajaran umum. Seluruh program pendidikan disusun
sendiri dan pada umumnya bebas dari ketentuan formal. Program pendidikan baik
formal maupun informal berjalan di bawah pengawasan seorang kyai. Pada
umumnya pesantren tidak pernah mengeluarkan ijazah bagi para santrinya. Ijazah
menurut pesantren sendiri adalah keterampilan dan kecakapan itu sendiri. Dengan
kata lain ijazah adalah pengakuan sekaligus penghargaan langsung dari masyarakat.
Karena doktrin inilah biasanya orientasi santri pada awal masuk pesantren tidak
berharap menjadi pegawai negeri. Mereka lebih dipersiapkan untuk berwiraswasta
seperti berdagang atau profesi lainnya. Namun, seiring waktu berjalan, banyak para
santri setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren ingin melanjutkan ke
pendidikan formal dan ingin menjadi pegawai negeri. Menjawab tantangan ini
lambat laun pesantren melakukan pembenahan internal dengan melakukan
penyesuaian atau pembaharuan sistem pendidikan seiring dengan tuntutan
perkembangan zaman. Sejumlah pesantren dewasa ini telah mengembangkan sistem
pendidikan baru dengan mendirikan “sekolah umum” di lingkungan mereka sendiri.
Dengan demikian pesantren, mengalami modifikasi sedemikian rupa sehingga
pesantren tidak lagi menjadi pendidikan yang hanya tertuju pada pendidikan agama
dan identik dengan “kaum sarungan”.
2.2 Unsur-unsur Pesantren 2.2.1 Kyai
Berdirinya pondok pesantren berawal dari seorang kyai yang tinggal di suatu
orangtua, dan selanjutnya menjadi “Kyai” yang artinya adalah orang yang dituakan
terutama dalam bidang keagamaan. Seorang kyai dianggap memiliki pengetahuan
agama yang tinggi kemudian datanglah santri yang ingin belajar agama kepadanya.
Oleh karena semakin banyak santri yang ingin belajar kepadanya kyai pun
mendirikan pondok pesantren. Tanah tempat berdirinya pesantren biasanya milik
pribadi kyai atau merupakan tanah yang diwakafkan dan dana operasionalnya pun
pada awalnya berasal dari masyarakat, sehingga tidak heran guru yang mengajar di
pesantren tidak bayar dengan uang atau memiliki kerja sampingan.
Dalam sebuah pesantren kekuasaan dan peran seorang kyai sangat besar.
Segala keputusan di pesantren sepenuhnya berada di tangan kyai, baik dalam
penyusunan kurikulum, metode dan peraturan lainnya yang berlaku di dalam
pesantren. Seorang kyai tidak hanya dihormati dan disegani oleh santri tapi juga oleh
masyarakat karena kyai dianggap sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT, doa
mereka lebih makbul sehingga tidak heran jika kemudian banyak masyarakat
mempercayakan penyelesaian permasalahan kehidupan mereka seperti mencarikan
jodoh, memberi jodoh, mengobati penyakit, memberi nama anak dsb.
2.2.2 Santri
Santri merupakan sebutan umum pengganti siswa atau murid pada
sekolah-sekolah non pesantren5. Pada umumnya santri mewakili kelompok siswa usia SMP
dan SMU, dengan pengecualian beberapa pesantren juga ada membina santri sendiri.
Santri dapat dibagi menjadi dua, yaitu santri mukim dan santri kalong6. Santri
mukim adalah santri yang selama 24 jam berada di bawah pengawasan dan tanggung
5
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS. 1989, hal. 136
6
jawab pesantren, mereka semuanya wajib mengikuti seluruh kegiatan atau aktivitas
yang diselenggarakan pesantren sementara santri kalong adalah santri yang belajar di
pesantren bedanya mereka tidak menginap di pesantren.
2.2.3 Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya
mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah
kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Quran
dengan tajwidnya dan tafsir, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis
dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf,
bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab yang dikaji di
pesantren umumnya kitab-kitab yang ditulis dalam aba pertengahan yaitu antara abad
ke-12 sampai dengan abad ke-15 atau lazim disebut dengan “KITAB KUNING”
Dalam sebuah pesantren metode yang lazim digunakan ada 3 yaitu:
1. Wetonan
Wetonan adalah metode kuliah para santri mengikuti pelajaran dengan duduk
di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing dan
dicatat bila perlu. Istilah weton berasal dari kata waktu (Jawa), yang berarti waktu,
karena pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau
sesudah melakukan shalat fardu. Di Jawa Barat metode ini disebut Bandongan,
sedang di Sumatera sebut dengan Halaqah. System ini juga dikenal dengan sebutan
2. Sorogan
Metode sorogan ialah suatu metode dimana seorang santri menghadap guru
atau kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai
membacakan dan menerjemahkan kalimat demi kalimat, kemudian menerangkan
maksudnya. Santri menyimak bacaan kyai dan mengulanginya sampai
memahaminya. Istilah Sorogan berasal dari kata Sorog yang berarti menyodorkan
kitab ke depan kyai atau asistrennya. Menurut Dhofier, metode sorogan ini
merupakan metode yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam
tradisional sebab sistem ini memerlukan kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin
pribadi santri, namun metode ini juga diakui paling intensif karena dilakukan seorang
demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.
3. Hafalan
Metode hafalan ialah metode santri menghapal teks atau kalimat tertentu dari
kitab yang dipelajarinya. Biasanya cara menghapal ini diajarkan dalam bentuk syair
atau nazham. Dengan cara ini memudahkan santri untuk menghapal, baik ketika
sedang belajar maupun disaat berada di luar jam belajar. Kebiasaan menghapal,
dalam sistem pendidikan pesantren, merupakan tradisi yang sudah berlangsung sejak
awal berdirinya. Hapalan tidak hanya terbatas pada ayat-ayat Al-Quran dan hadist
maupun nazham tetapi juga isi atau kitab tertentu karena itu pula oleh sebahagia kyai
diajarkan secara berangsur, kalimat demi kalimat sehingga santrinya mengerti benar
apa yang diajarkannya.
Kitab, merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut karya tulis
di bidang keagamaan yang ditulis dengan huruf Arab. Sebutan ini membedakannya
dengan karya tulis pada umumnya yang ditulis dengan huruf selain huruf Arab, yang
disebut buku. Adapun kitab yang menjadi sumber belajar di pesantren dan lembaga
pendidikan Islam tradisional semacamnya disebut “Kitab Kuning” (KK). Sebutan
“kuning” adalah karena kertas yang digunakan berwarna kuning mungkin karena
sudah berumur lama kitab kuning juga disebut kitab kuno. Istilah kitab kuning ini
selanjutnya menjadi nama jenis literatur dan menjadi karakter fisik.
Sebagai sumber belajar kitab kuning telah dipergunakan sejak abad ke XVI,
meskipun tradisi cetak belum tersebar di Indonesia. Kitab kuning yang dipelajari
dalam pengajian kitab memiliki corak yang berbeda dari abad ke abad, meskipun
kitab yang dipelajari sejenis kelompok kitab karya abad pertengahan Islam.
Sejalan dengan corak Islam yang pertama kali masuk di Indonesia, kitab yang
dipelajari sekitar abad 17 bercorak mistik (tasawuf), khusunya paham tasawuf falsafi
Wahdat al-Wujud, seperti kitab al- Tuhfah al- Mursalat ila Ruh al-Nabi ditulis
tahun1000/0590 oleh Syekh Muhammad Fadhlullah al-Burhanfuri yang
mengajarkian paham Martabat Tujuh. Di Jawa pada abad ke-16 berkembang paham
Manunggaling Kawula Gusti yang dianut oleh Syeik Siti Djenar. Meskipun
demikian, pada awal abad ke-17 dipelajari juga kitab figh Taqrib karya Abu Suja’ al
Isfahani dan karya anonim al-Idhah. Kedua kitab tersebut masih digunakan sampai
sekarang.
Dalam buku Van Bruinessen tercata ada 900 kitab kuning yang berbeda-beda.
Dari kitab tersebut sekitar 500 karya berbahasa Arab, 200 karya berbahasa Melayu,
dan 5 karya berbahasa Aceh. Kitab kuning dibagi kedalam tiga kelompok yaitu: 1.
Kitab Dasar, 2. Kitab Menengah dan 3. Kitab Besar. Diantara kitab popular yang
digunakan kurikullum, termasuk Kitab Dasar adalah Bina’ (Sharf), Awawil (Nahwu),
Aqidat al-Awwanm (Akidah) dan Washaya (Akhlak). Untuk Kitab Menengah
meliputi kitab Amsilat al Tashrifiyah (sarf/ Tsanawiyah), Kailani Maqshud (sarf/
Aliyah) dsb. Untuk kitab Besar meliputi kitab Jam’u al-Jawawi, al Asyibah wa al-
Nadho (Ushul Fiqh) dsb.
Kitab kuning sebagai sumber belajar umumnya diakses oleh kalangan
“tradisionis” yang memberi penghargaan tinggi pada kitab dan pengarangnya dan
merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikannya sebagaimana adanya.
Sedangkan kalangan “modernis” kurang mengakses kitab kuning ini. Pada umumnya
mereka cenderung menggunakan sumber belajar yang disusun sendiri oleh para
pengajar dengan cara mengambil substansi kitab ini, atas dasar pertimbangan
efesiensi dan efektifitas mempelajarinya.7
2.2.5 Sistem Pendidikan Pesantren
Sistem pendidikan menggunakan pendekatan holistik, artinya para pengasuh
pesantren memandang bahwa kegiatan belajar-mengajar merupakan kesatupaduan
atau lebur dalam totalitas kegiatan kehidupan sehari-hari. Bagi warga pesantren,
belajar di pesantren tidak mengenal perhitungan waktu, kapan harus mulai dan kapan
harus selesai dan target apa yang harus dicapai. Bagi dunia pesantren hanya
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ubudiah yang dipandang sakral sedang ilmu-ilmu muamallah
dipandang tidak sakral. Dalam pandangan mereka semua kejadian dalam kehidupan
7
berawal dari Tuhan berproses menurut hukumNya dan berakhir atau kembali
kepadaNya. Setiap peristiwa yang terjadi merupakan bagian dalam keseluruhan dan
selalu berhubungan satu sama lain dan akhirnya pasti bertemu pada kebenaran
Tuhan. Kyai yakin bahwa apa saja yang dipelajari oleh santri adalah baik dan pada
suatu saat akan mendatangkan manfaat bagi yang bersangkutan jika sudah tiba
waktunya. Seiring dengan pandangan holistik ini maka di pesantren tidak pernah
dijumpai perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas dan standar yang
berlaku umum bagi semua pesantren juga tidak ditemukan kurikulum, cara-cara
penilaian yang jelas dan kalkulatif serta cara-cara penerimaan santri dan tenaga
kependidikan secara jelas pula. Dalam cara penerimaan santri boleh masuk pesantren
setiap saat, tinggal di pesantren selama santri mau dan meninggalkan pesantren
sewaktu-waktu. Dalam penerimaan tenaga kependidikan siapa saja boleh bekerja dan
membantu asal iklas kecuali bagi program pendidikan formal seperti madrasah dan
sekolah umum serta Pondok Pesantren Gontor yang seluruh kegiatannya
menyelenggarakan pendidikan formal.8.
Dalam perkembangan selanjutnya pesantren mengalami
perubahan-perubahan baik dalam kurikulum maupun sistem pengajarannya.
2.2.6 Fungsi Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan tetapi juga
berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama. Sebagai lembaga pendidikan,
pesantren menyelenggarakan pendidikan formal seperti madrasah, sekolah umum
dan perguruan tinggi. Sistem pendidikan Non-formal yang secara khusus
8
mengajarkan agama yang sangat kuat dipengaruhi pikiran-pikiran ulama fikih, hadist,
tafsir, tauhid dan tasawuf yang hidup antara abad ke 7-13 Masehi. Kitab-kitab yang
dipelajari meliputi: tauhid, tafsir, hadist, fiqih, ushul fikih, tasawuf, bahasa Arab,
mantik dan akhlak.
Dalam perannya di tengah masyarakat, pesantren memiliki 3 (tiga) fungsi
sosial, yaitu sebagai lembaga pendidikan, membangun moral masyarakat dan
mempersiapkan tenaga pendidik dan pembina di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai lembaga sosial, pesantren juga menampung anak dari segala lapisan
masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan tingkat sosial ekonomi orang tuanya.
Biaya hidup di pesantren relatif murah daripada belajar di luar pesantren. Pesantren
juga banyak menerima anak-anak nakal atau yang memiliki tingkah laku yang
menyimpang untuk dididik dan kembali menjadi manusia yang baik. Setiap hari
pesantren juga menerima tamu dari masyarakat umum, umumnya kedatangan mereka
adalah untuk bersilaturahmi, meminta nasihat, dan sebagainya. Sehubungan dengan
ketiga fungsi tersebut maka pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan
masyarakat sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum.
Masyarakat umum memandang pesantren sebagai komunitas khusus ideal terutama
dalam bidang kehidupan moral keagamaan. Masing-masing pesantren tampak
memiliki semacam daerah pengaruh sendiri, yaitu komunitas-komunitas dalam
masyarakat. Misalnya pesantren Tebu Ireng, pengaruhnya meliputi masyarakat di
Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Kalimantan, dan sebagainya.9
2.2.7 Tantangan Pesantren Masa Depan
9
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam perkembangannya
pesantren banyak melakukan berbagai pembaharuan dalam rangka menjawab
tantangan hidup. Beberapa hal pembaharuan yang dilakukan pesantren adalah
sebagai berikut:
a. Kyai bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Artinya dalam kegiatan belajar-
mengajar santri dibekali dengan buku-buku pembaharuan yang ditulis oleh
cendikiawan muslim Indonesia maupu dari luar yang telah diterjemahkan.
b. Dewasa ini hampir seluruh pesantren menyelenggarakan jenis pendidikan formal,
yaitu madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi. Jenis pendidikan pesantren
sendiri sebagai jenis pendidikan non-formal tradisional yang hanya mempelajari
kitab-kitab klasik hanya sekitar 1-2% dari keseluruhan kegiatan pendidikan
pesantren.
c. Seiring dengan pergeseran-pergeseran tersebut santri mebutuhkan ijazah dan
penguasaan bidang keahlian atau keterampilan yang jelas maka para santri
cenderung mempelajari sains dan teknologi pada lembaga-lembaga pendidikan
formal baik di madrasah maupun sekolah umum selain tetap belajar di pesantren
untuk mendalami agama dalam rangka memperoleh moral agama.
d. Saat ini santri yang ingin belajar pesantren rata-rata dikenakan biaya belajar yang relatif lebih murah dari sekolah umum atau swasta dan biaya tersebut sekedar
untuk menutupi biaya pengajar, administrasi dsb.10
2.3 Dari Pesantren Ke Madrasah 2.3.1 Sejarah Madrasah
10
Pesantren dan madrasah memiliki sejarah yang berbeda. Madrasah sebagai
lembaga pendidikan mempunyai sejarahnya sendiri. Madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam dalam bentuk formal sudah dikenal sejak abad ke-11 atau ke-12
Masehi, yaitu sejak dikenal adanya madrasah Nidzamiyah yang didirikan di Baqhdad
oleh Nizam Al- Mulk, seorang wajir dari dinasti Saljuk. Madrasah ini telah
memperkaya khasanah lembaga pendidikan di lingkungan masyarakat Islam karena
pada masa sebelumnya Islam hanya mengenal pendidikan yang biasa
diselenggarakan di mesjid. Di Timur-Tengah, madrasah kemudian berkembang
sebagai penyelenggara pendidikan keislaman tingkat lanjut yaitu melayani
orang-orang yang masih haus ilmu sesudah mereka belajar di Mesjid.11
Kata madrasah sebagai nama lembaga pendidikan agama Islam tidak asing
lagi bagi pendengaran masyarakat Indonesia, baik kalangan pelajar, mahasiswa
maupun masyarakat umum, akan tetapi tidak diketahui secara pasti sejak kapan
madrasah sebagai istilah atau sebutan untuk satu jenis pendidikan Islam digunakan di
Indonesia. Namun demikian madrasah sebagai satu lembaga pendidikan Islam
berkelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non keagamaan sudah
tampak sejak awal abad ke-20.
Mengingat bahwa saat ini lembaga pendidikan di Indonesia uyang berada di
bawah pembinaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada umumnya disebut
sekolah, maka kiranya dipandang perlu untuk memberi penjelasan tentang pengertian
madrasah dan sekolah untuk membedakan kedua istilah tersebut ditinjau dari segi
kelembagaan. Di dalam UU No.2 tahun 1989 tentang pendidikan dinyatakan bahwa
sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan
11
yang menurut jenisnya terdiri dari atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan,
pendidikan luar biasa, pendidikan keagamaan, pendidikan kedinasan, pendidikan
akademik dan pendidikan professional.
Istilah madrasah dalam berbagai penggunaannya terdapat bermacam-macam
pengertian dan ruang lingkupnya, baik di dalam buku-buku ilmiah maupun di dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, pengertian dari arti istilah
madrasah tersebut pada hakikatnya adalah sama, yaitu sebagaimana terdapat dalam
Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Agama serta Menteri Dalam Negeri
yang mengatur tentang madrasah, yaitu bahwa madrasah merupakan lembaga
pendidikan agama Islam yang didalam kurikulumnya memuat materi pelajaran
agama dan pelajaran umum, mata pelajaran agama pada madrasah lebih banyak
dibandingkan dengan mata pelajaran agama pada sekolah umum. Namun demikian,
tidak semua lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah menamakan dirinya
madrasah karena kadang-kadang ada juga lembaga pendidikan madrasah menamakan
dirinya sekolah. Atas dasar hal tersebut, dalam pembahasan selanjutnya lembaga
pendidikan yang dikatakan madrasah adalah apabila secara prinsipil keberadaannya
sesuai dengan pengertian madrasah tersebut dengan sistem klasikal dan adanya
pelajaran pengetahuan umum, walaupun lembaga itu menamakan dirinya sekolah
atau dengan nama lain.
Pesantren dan madrasah merupakan dua hal yang berbeda, namun dalam
perkembangannya sistem pendidikan di pesantren mulai menyamai sistem
pendidikan pesantren dengan memisahkan santri-santri ke dalam kelas-kelas tertentu.
Perbedaan yang mencolok antara pesantren dan madrasah adalah sistem pondok yang
2.3.2 Tingkatan dalam Madrasah
Madrasah di Indonesia dibagi ke dalam beberapa tingkatan:
1. Madrasah Ibtidaiyah
Kebanyakan madrasah ibditaiyah berstatus swasta dan tersebar di seluruh
tanah air. Madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) awalnya berjumlah 205 buah, berasal
dari madrasah-madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah Istimewa
Aceh, kemudian diserahkan kepada Departemen Agama oleh Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh pada tahun 1949 berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1
tahun 1959, 19 buah berasal dari Keresidenan Lampung dan 11 buah berasal dari
Sekolah Mambaul Ulum di Keresidenan Surakarta diserahkan kepada Departemen
Agama masing-masing dengan Penetapan Menteri Agama No.2 Tahun 1959 dan
Penetapan Menteri Agama No.12 Tahun 1959.
Kemudian pada tahun 1967, terbuka kesempatan untuk menegerikan
madrasah, hingga sampai tahun 1970 dengan diterbitkannya keputusan Menteri
Agama Nomor 213 Tahun 1970 tentang larangan penegerian madrasah, maka
Madrasah Ibtidaiyah Negeri menjadi 362 buah.
2. Madrasah Tsanawiyah
Seperti Madrasah Ibtidayah, Madrasah Tsanawiyah kebanyakan berstatus
swasta, Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTsAIN) semula dimaksudkan
sebagai percontohan bagi madrasah swasta. Proses penegerian dimulai pada tahun
1967 berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 80 Tahun 1967, sekarang
diubah menjadi MTsN. Sampai tahun 1970 MTsN berjumlah 182 buah, Madrasah
juga dapat memiliki status terdaftar dan dipersamakan. Pada saat ini seluruh
Madrasah Tsanawiyah berjumlah 10.792 buah.
3. Madrasah Aliyah
Madrasah Aliyah negeri pertama kali didirikan melalui proses penegerian
berdasarkan SK Menteri Agama Nomor 80 Tahun 1967, yaitu dengan menegerikan
Madrasah Aliyah Al-Islam di Surakarta dan kemudian Madrasah Aliyah di Magetan
Jawa Timur, Madrasah Aliyah Palangki di Sumatera Barat dan sebagainya. Sampai
dengan tahun 1970, seluruhnya berjumlah 43 buah. Jumlah ini tidak bertambah lagi
dikarenakan kebijaksanaan yang diambil pemerintah mengingat keterbatasan
anggaran dan kurangnya tenaga guru sehingga diterbitkan SK Menteri Agama
Nomor 213 Tahun 1970 tentang Penghentian Penegerian Sekolah/Madrasah Swasta
dan Pendirian/ Penegerian Sekolah-sekolah/Madrasah Negeri dalam lingkungan
Departemen Agama. Pada saat ini seluruh Madrasah Aliyah berjumlah 3.772 buah12.
12
BAB III
BERDIRINYA PESANTREN DARUL ARAFAH 3.1 Sejarah Berdirinya Pesantren Darul Arafah
Pesantren Darul Arafah adalah Pesantren yang didirikan oleh Bapak H.
Amrullah Naga Lubis yang akrab dipanggil oleh guru dan masyarakat sekitarnya
dengan sebutan “Pak Lubis”, namun untuk para santri pak lubis dipanggil dengan
sebutan ustad seperti sebutan guru di pesantren Darul Arafah. Pendirian Pesantren ini
terinspirasai ketika Pak Lubis mengunjung anaknya yang belajar di pondok pesantren
Gontor yaitu Indera Perkasa Lubis. Dalam kesempatan mengunjungi anaknya beliau
berbincang-bincang dengan pimpinan pondok pesantren Gontor yaitu K.H Imam
Zarkasyi. Dalam perbincangan mereka K.H Imam Zarkasyi mengatakan bahwa
dahulu putra Jawa lah yang belajar agama ke Pulau Sumatera namun sekarang putra
Sumatera lah yang belajar agama ke pulau Jawa. Selain itu menurut K.H Imam
Zarkasyi santri yang berasal dari Sumatera Utara hanya 200 orang saja, jumlah ini
terlalu sedikit dibanding jumlah siswa didik Sumatera Utara yang beragama Islam.1
Dari hasil pengamatan Pak Lubis mengambil suatu kesimpulan bahwa hal ini
disebabkan karena faktor ekonomi sebab jauhnya jarak antara Sumatera-Jawa
tentunya berpengaruh pada besarnya biaya yang harus dikeluarkan orangtua untuk
memenuhi kebutuhan anak mereka selama mereka belajar di Jawa.
Keinginan Pak Lubis semakin besar ketika beliau mengetahui bahwa tidak
semua anak dari Sumatera bisa belajar di Gontor yang merupakan pesantren favorit
pada saat itu karena persyaratan yang cukup ketat. Keinginan yang kuat dari santri
yang ingin belajar di Pesantren Gontor inilah yang akhirnya memantapkan tekad pak
1
Panitia Peringatan 1 Dasawarsa Pesantren Darularafah, Satu Dasawarsa Pesantren
lubis untuk mendirikan lembaga pendidikan di Sumatera Utara dengan harapan
dengan adanya lembaga pendidikan ini murid-murid dari Sumatera Utara tidak lagi
jauh-jauh belajar agama ke pulau Jawa.
Selain alasan diatas salah satu hal yang menginspirasi Pak Lubis dalam
mendirikan pesantren Darul Arafah adalah pesantren Musthofawiyah yang ada di
desa Purbabaru, Mandailing Natal. Pesantren ini didirikan sejak tahun 1915 dan
merupakan pesantren pertama di Sumatera Utara. Sejarah panjang pendirian
pesantren ini melecut semangat Pak Lubis. Dilihat dari sejarah pendiriannya, kedua
pesantren ini memiliki persamaan walaupun dalam kurun waktu yang berbeda,
namun kedua pesantren ini sama-sama didirikan dalam kondisi dimana penduduk di
wilayah tersebut masih sangatlah sedikit dan jauh dari pusat keramaian bahkan
pesantren Musthofawiyah pada awal pendiriannya tidak mempunyai tempat khusus
dan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan belajar mengajar agama namun
hal tersebut tidak menjadi halangan yang berarti bahkan pesantren Musthofawiyah
dapat terus eksis sampai sekarang.
Bapak Amrullah Naga Lubis dibantu oleh keluarga dan beberapa guru
tamatan pondok pesantren Gontor dan didampingi oleh Bapak Dr. H. M Hasballah
Thaib M.A dan Kepala Desa Lau Bekeri Bapak Drs. Cokong Meliala22 meletakkan
batu pertama pembangunan gedung asrama pesantren Darul Arafah pada tanggal 8
Mei 1985 di Desa Lau Bekeri Kecamatan. Kutalimbaru Kabupaten Deli Serdang
Propinsi Sumatera Utara.
Pada mula tujuan pendirian pesantren Darul Arafah adalah untuk melahirkan
para ulama yang ahli dalam bidang agama namun setelah umur 4 (empat) tahun
2
yakni sejak tahun 1990, pesantren Darul Arafah melakukan suatu pembaharuan yaitu
dengan tidak hanya memprioritaskan ilmu agama saja tapi juga menerapkan ilmu
ekonomi dan eksakta sehingga diharapkan santri yang belajar di pesantren setelah
tamat tidak hanya bisa melanjutkan pendidikan ke IAIN atau ke universitas yang
berbasis jurusan agama tapi juga bisa melanjutkan ke fakultas ilmu-ilmu sosial dan
eksakta.
3.2 Lokasi Pesantren Darul Arafah
Seperti yang telah disinggung di atas bahwa pesantren Darul Arafah didirikan
pada tahun 1985 dan situasi dan kondisi Desa Lau Bekeri jauh dari keramaian
pesantren Darul Arafah yang terletak di Desa Lau Bekeri Kecamatan Kutalimbaru
Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. Luas Desa Lau Bekeri 174 Ha,
dengan jumlah penduduk sekitar 5600 jiwa33 dan sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian sebagai petani. Jumlah rumah yang ada di sekitar lokasi
pesantren hanya 3 rumah dan jarak antara rumah satu dengan yang lain berjarak 300
m . Sebelum pendirian pesantren Darul Arafah, desa Lau Bekeri terdiri dari 7 dusun,
yaitu:
1. Lau Bekeri
2. Dalam Suka
3. Dalam Rimbun
4. Lau Belong
5. Nari Gunung
6. Salang Mbelin
3
7. Ujung Lingga
Dari hasil penelitian didapat informasi bahwa penduduk desa Lau Bekeri
didominasi oleh suku Batak Karo yang mayoritas beragama Kristen. Penduduk yang
beragama Islam hanya sekitar 15 % dari jumlah penduduk. Lokasi Desa Lau Bekeri
berada:
- 46 km dari ibukota Kabupaten Deli Serdang
- 26 km dari kota Medan
- 23 km dari kota Binjai
3.3 Proses Pembangunan Pesantren Darul Arafah
Mendirikan suatu lembaga pendidikan dengan melahirkan suatu lembaga
pengkaderan umat adalah tujuan lembaga pendidikan Darul Arafah. Hal ini bukanlah
hal yang mudah bagi Badan Pendiri Pesantren Darul Arafah. Proses pembangunan
pesantren Darul Arafah dilakukan dengan sangat sederhana. Pada awalnya Pak Lubis
membeli tanah di Desa Lau Bekeri seluas 2 hektar dengan harga sekitar Rp.1 juta
dimana tanah ini rencananya akan digunakan sebagai ladang yang akan digarap oleh
keluarga Pak Lubis. Pak Lubis membeli tanah ini dari seorang perantara dan sebagai
seorang pedagang Pak Lubis menginginkan hari tuanya dihabiskan untuk berladang
dan karena harga yang ditawarkan cukup murah Pak Lubis pun membeli tanah
tersebut. Ketika timbul keinginan untuk mendirikan pesantren Pak Lubis lalu
mengubah niat yang semula untuk berladang menjadi untuk tempat mendirikan
pesantren Darul Arafah.
Keputusan untuk mendirikan pesantren di Desa Lau Bekeri sebenarnya
merupakan desa yang masih terpencil dan jauh dari pusat keramaian dimana
angkutan desa yang menunjang sarana transportasi ke desa tersebut hanya satu-dua
dan itu pun pada jam-jam tertentu. Selain itu desa Lau Bekeri merupakan desa
dengan penduduk mayoritas non muslim dimana jumlah masyarakat muslim hanya
sekitar 15%. Namun hal ini tidak membuat Pak Lubis beserta staf dan keluarganya
mundur bahkan hal ini menjadi cambuk pendorong bagi mereka.
Pada awal pembangunan Pak Lubis hanya memiliki uang Rp.25 juta dimana
uang ini diperoleh dari hasil menjual aset keluarga yang berada di Medan. Pak Lubis
menyerahkan uang ini kepada “arsitek kampung”.
“Batu demi batu, dipanas terik matahari pesantren Darul Arafah didirikan”,
begitulah kalimat sederhana untuk menggambarkan proses berdirinya pesantren
Darul Arafah. Banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi Dewan Pendiri Darul
Arafah seperti yang telah disinggung diatas bahwa lokasi pembangunan pesantren
berada di tempat yang terpencil selain itu Dewan Pendiri juga hanya memiliki biaya
yang terbatas. Namun tantangan dan rintangan tersebut tidak menghalangi niat dan
yang sudah terpatri dihati Dewan Pendiri. Persoalan-persoalan yang datang baik
intern dan ekstern dihadapi dengan segenap ketabahan. Dengan dibantu beberapa
stafnya seperti Dr. H. M Hasballah Thaib M. A dan para muhajirrin berdirilah
pesantren Darul Arafah dengan izin pendirian dari notaris ( lihat lampiran). Pak
Lubis memilih nama pesantren Darul Arafah karena secara harfiah kata Darul
berarti tempat dan kata Arafah adalah nama tempat yang suci bagi umat Islam. Jadi
dalam hal ini Pak Lubis mengharapkan pesantren binaannya menjadi pesantren yang
Pada awal berdirinya pesantren, situasi dan kondisi pesantren masihlah sangat
sederhana. Pesantren Darul Arafah terdiri atas 10 lokal, 6 pintu rumah guru, satu
buah mesjid dengan nama Assallam, 2 pintu rumah karyawan, dapur umum dan
gudang, 1 ruang gardu listrik, ruang makan santri, 1 buah aula, kamar mandi, warung
sederhana dan sarana olahraga. Selain fasilitas di atas masyarakat Islam khususnya
warga sekitar dan orangtua santri juga memberikan bantuan kepada Yayasan Badan
Wakaf 4 pesantren Darul Arafah berupa karpet, mesin ketik, meja, kursi, buku dan
sebagainya.
3.4 Dampak bagi Masyarakat Desa Lau Bekeri Terhadap Pendirian Pesantren Darul Arafah
Pada awal pembangunan diakui oleh Pak Lubis selaku pimpinan Pesantren
Darul Arafah gangguan tersebut berupa mistik55 namun dengan kekuatan doa
gangguan tersebut bisa diatasi dan bisa terlewati dengan baik. Seiring waktu berjalan
penduduk mulai bisa menerima kehadiran Pesantren Darul Arafah apalagi sejak
berdirinya pesantren tersebut, Desa Lau Bekeri mulai diperhatikan oleh pemerintah
yaitu dengan adanya pembangunan jalan dan masuknya sarana PLN dimana hal ini
juga terjadi atas permintaan Kelurahan, selain itu sarana transportasi pun semakin
lancar. Pada awalnya angkutan umum sangat jarang dimana angkutan yang ada
hanya KOPABRI6 (Koperasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yaitu
angkutan bantuan pemerintah dimana angkutan ini ada pada jam-jam tertentu
4
Badan yang dibentuk pesantren Darul Arafah untuk menampung segala bentuk sumbangan dari masyarakat
5
Santri pernah mengalami kesurupan 6
sehingga tidak bisa dipergunakan penduduk setiap waktu implikasinya penduduk
harus berjalan kaki atau menggunakan sepeda untuk melakukan aktivitas mereka,
sejak adanya Pesantren angkutan menuju Desa Lau Bekeri semakin lancar sehingga
memudahkan penduduk dalam melaksanakan aktifitas mereka. Selain itu pimpinan
pesantren membuka kesempatan seluas-luasnya bagi anak-anak penduduk setempat
yang beragama Islam untuk menuntut ilmu di Pesantren Darul Arafah dan mereka
sama sekali tidak dikenakan biaya. Selain kemajuan di atas ada lagi kemajuan yang
dapat jelas terlihat yaitu dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yang cukup
banyak. Selain dari santri yang belajar di pesantren dan para pegawai, jumlah
penduduk ini juga berasal dari para penduduk yang mulai bermukim di desa Lau
Bekeri. Hal ini juga membangkitkan minat para investor real estate yaitu dengan
pembangunan 2 (dua) perumahan pada tahun 1990 di lokasi yang tidak jauh dari
pesantren sehingga karena perubahan ini desa Lau Bekeri menjadi 9 (sembilan)
dusun dimana tambahannya adalah Dusun Perumahan Bumi Tuntungan I dan dusun
Perumahan Bumi Tuntungan II.
3.4Penerimaan Santri dari Tahun ke Tahun
Setelah berdirinya Pesantren Darul Arafah tanggal 8 Mei 1986 dibukalah
pendaftaran santri pertama. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang baru berdiri
apalagi berada di tempat yang asing bagi masyarakat umum maka pimpinan
pesantren yaitu Bapak H. Amrullah Naga Lubis melakukan promosi dalam rangka
mengenalkan pesantren yang baru didirikannya7. Promosi yang dipilih Pak Lubis
berupa promosi dari mulut kemulut dimana kebetulan pada tahun yang sama Pak
7
Lubis menjadi salah satu pembina Ikatan Wali Murid Pondok Pesantren Gontor (PP
Gontor). Dalam wadah inilah Pak Lubis mempromosikan Pesantren Darul Arafah.
dimana dalam promosinya Pak Lubis mengatakan kepada orangtua dalam ikatan
tersebut bahwa ia mendirikan pesantren yang tidak kalah bagusnya dengan Gontor
dimana guru-gurunya merupakan lulusan PP Gontor. PP Gontor sendiri mendukung
promosi Pak Lubis ini sebab PP Gontor memiliki niat untuk mendirikan seribu
Gontor di seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak heran pada awal berdirinya
pesantren Darul Arafah dianggap Gontornya Medan. Dari uraian di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa santri pertama berasal dari anak-anak yang orangtuanya
merupakan anggota Ikatan Wali Murid PP Gontor dimana perlu digarisbawahi bahwa
santri yang diterima di pesantren Darul Arafah hanya santri putera saja. Hal ini
berkaitan dengan jumlah lokal yang masih sedikit dan kemampuan dari Dewan
Pendiri Pesantren Darul Arafah yang belum merasa sanggup untuk mendidik
Santridyah. Santri yang belajar di Pesantren Darul Arafah berasal dari beragam latar
belakang pendidikan. Pesantren Darul Arafah tidak mematokkan bahwa santri yang
belajar di Pesantren Darul Arafah harus tamatan Madrasah. Namun bagi santri yang
ingin belajar di Pesantren Darul Arafah harus memenuhi persyaratan khusus dan
persyaratan umum yang harus dipatuhi dan santri juga harus mengikuti pembekalan
sebelum resmi menjadi santri di Pesantren Darul Arafah. Syarat-syaratnya adalah
sebagai berikut:
1. Persyaratan Khusus:
Tamatan SD, lama pendidikan selama 6 tahun
Tamatan SMP/MTs,lama pendidikan 4 tahun
Dapat membaca Al- Quran
2. Persyaratan umum (Administrasi)
Fotocopy STTB yang telah dilegalisir sebanyak 3 lembar
Fotocopy Nem yang telah dilegalisir sebanyak 3 lembar
Pasfhoto hitam putih 3*4 sebanyak 10 lembar : memakai kemeja putih dan
peci
Surat keterangan sehat dari Dokter
3. Tata cara pendaftaran:
Calon santri diantar oleh orangtua atau wali ketempat pendaftaran
Mengikuti ujian masuk yang meliputi:
Bacaan Al-Quran; Hapalan surat-surat pendek; Praktek sholat; Imla (menulis
Arab)
Mengisi formulir pendaftaran yang sudah disediakan
Melengkapi persyaratan administrasi
Masuk asrama sesuai dengan tanggal yang ditetapkan
Mengikuti pembekalan Santri
Demikianlah persyaratan yang dilakukan oleh pesantren Darul Arafah.
Persyaratan ini bukanlah menjadi suatu seleksi yang membatasi jumlah santri di
pesantren Darul Arafah akan tetapi untuk mengukur seberapa jauh ilmu dan
kemampuan santri-santri tersebut. Hal ini juga kelak diharapkan dapat lebih
3.5 Jumlah Santri
Pada awal berdirinya pesantren Darul Arafah, bukanlah suatu hal yang mudah
bagi Dewan Pendiri untuk menjaring santri. Namun usaha keras dari Dewan Pendiri
akhirnya pada awal dibuka pesantren Darul Arafah sudah mampu menyaring santri
walaupun jumlahnya masih ratusan. Santri tahun ajaran pertama dikenakan biaya
pendaftaran sebesar Rp. 30.000,- dan uang sekolah sebesar Rp. 300.000,- per
semester, dimana biaya ini termasuk biaya makan beserta fasilitas lainnya. Dibawah
[image:46.595.175.432.361.504.2]ini dapat kita lihat rekapitulasi santri pesantren Darul Arafah.
Tabel I
REKAPITULASI SANTRI MTIH DARUL ARAFAH
Tahun Pelajaran Jumlah Siswa
1986-1987 103
1987-1988 256
1988-1989 538
1989-1990 829
Tabel II
REKAPITULASI SANTRI MTs (Madrasah Tsanawiyah)
Siswa
Tahun Pelajaran Kelas
I
Kelas
II
Kelas
III
Jumlah
1986-1987 103 - - 103
1987-1988 159 97 - 256
[image:46.595.134.477.581.755.2]1989-1990 350 299 271 774
Tabel III
REKAPITULASI KELULUSAN SANTRI MTs
Tahun pelajaran Peserta Lulus Persentase
1988-1989 47 42 89,4%
1989-1990 82 75 91,5%
[image:47.595.145.461.365.451.2]
Tabel IV
REKAPITULASI SANTRI MASDA (Madrasah Aliyah Swasta Darul Arafah)
Siswa Tahun Pelajaran
Kelas I Kelas II Kelas III Jumlah
[image:47.595.200.411.558.647.2]1989-1990 55 - - 55
Tabel V
REKAPITULASI JUMLAH MAHASISWA/I SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM DARUL ARAFAH (STAIDA)
Tahun Akademi Jumlah Mahasiswa
1988-1989 20
1989-1990 23
Dari rekapitulasi jumlah santri dari tahun ketahun dapat diambil kesimpulan
bahwa jumlah santri di Pesantren Darul Arafah menunjukkan peningkatan. Hal ini
dilakukan dengan cara peningkatan kualitas santri. Pada awal berdiri Pesantren Darul
Arafah pada mulanya memprioritaskan dua hal pokok yakni pendidikan agama yang
mencakup ilmu Tauhid, Tafsir, Hadist, Fiqih, Sejarah Islam dan Bahasa Arab, sedikit
ilmu sosial seperti sejarah, tata negara, dsb dan ilmu eksakta seperti matematika,
fisika, dsb, namun kemudian Dewan Pendiri Pesantren Darul Arafah meningkatkan
kualitas santri dengan menambahkan kurikullum Pesantren Darul Arafah dengan
pelajaran-pelajaran umum baik sosial dan eksakta ditambah keterampilan dalam
kegiatan ekstra kurikuller. Pesantren Darul Arafah juga menjadikan bahasa Arab dan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar dan mengajar namun
dalam pelaksaannya bahasa Arablah yang lebih sering digunakan. Hal ini disebabkan
karena guru yang mengajar para santri lebih menguasai bahasa Arab di samping
santri juga lebih dapat mengerti bahasa Arab dibanding bahasa Inggris.
Dari rekapitulasi jumlah santri MTs dimana jumlah santri pada tahun ajaran
1987-1988 berjumlah 159 orang namun di kelas II berkurang menjadi 97 orang dan
pada tahun 1988-1989 dari jumlah santri 325, di kelas II menjadi 137, di kelas III
bahkan berkurang menjadi 76 santri. Begitu juga pada tahun 1989-1990 dari jumlah
santri 350, di kelas II menjadi 299 santri, di kelas III bahkan menjadi 271.
Banyaknya pengurangan ini berkaitan dengan santri yang kurang bisa mengikuti
sistem pendidikan di pesantren yang lumayan berat. Selain harus menginap di
pesantren dan tidak boleh sesuka hati pulang ke rumah santri juga harus mematuhi
sejumlah peraturan yang telah dibuat oleh manajemen pesantren salah satunya adalah
tidak boleh merokok, tidak boleh pacaran dan tidak boleh melawan guru selain itu
santri diwajibkan menghapal sejumlah doa-doa, ayat-ayat dalam Al-Quran, membaca
sampai menjelang tengah malam selain kegiatan mingguan dan bulanan. Hal ini
bukanlah hal yang mudah bagi santri untuk mereka lewati sampai masa pendidikan
mereka apalagi santri yang terpaksa masuk ke dalam pesantren seperti pesantren
lainnya kadangkala pesantren Darul Arafah juga mendapati santri yang nakal dan
merupakan anak yang sudah tidak sanggup dididik orangtuanya. Untuk menghadapi
hal tersebut pesantren Darul Arafah selalu mengusahakan hal terbaik yang bisa
mereka lakukan mulai dari berdiskusi dengan orangtua, menasehati santri dan
memahami santri namun bila perbuatan santri sudah sangat melampaui batas santri
diberikan sanksi bahkan sampai dikeluarkan tanpa kompromi8.Jadi bukan suatu yang
mengherankan bila kita melihat dalam rekapitulasi banyak santri yang tidak sampai
tamat menimba ilmu di pesantren Darul Arafah. Hanya santri yang memang berminat
untuk menimba ilmu dalam Pesantrenlah yang bisa menamatkan pendidikan mereka.
[image:49.595.110.498.469.713.2]Untuk lebih jelas dapat kita lihat tabel berikut:
Tabel I
Siswa
Tahun Pelajaran Kelas
I
Kelas
II
Kelas
III
Uraian
1986-1989 103 97 - 2 orang tinggal kelas
4 orang tidak bisa
mengikuti pelajaran
76 4 orang merokok
12 orang tidak dapat
8
mengikuti pelajaran
5 orang lari dari asrama
1987-1990 159 137 5 orang merokok
6 lari dari asrama
10 tidak dapat mengikuti
pelajaran
271 66 orang pindahan dari
berbagai pesantren di
Medan
Dalam rekapitulasi kelulusan santri pun dapat dilihat dengan jelas bahwa di
kelas III pun banyak santri yang keluar dan tidak semua santri yang mengikuti ujian
bisa lulus karena dalam ujian santri sama sekali tidak ditolong oleh guru mereka.
Dalam hal ini walaupun Pesantren Darul Arafah merupakan Pesantren yang baru
berdiri namun pesantren Darul Arafah sama sekali tidak menggunakan cara-cara
yang curang untuk menaikkan prestise mereka dimata masyarakat. pesantren Darul
Arafah menilai sesuai dengan kemampuan santri-santri mereka.
3.6 Kehidupan Para Santri
Para santri di pesantren Darul Arafah resmi menjadi santri setelah mereka
melewati pembekalan di pesantren. Para santri di pesantren diajarkan untuk mandiri.
Di pesantren mereka harus mengurus diri mereka sendiri, mereka harus mencuci dan
laundry, fasilitas ini ada setelah tahun 1990 namun fasilitas ini tidak secara bebas
digunakan oleh santri maupun para karyawan, mereka harus membayar Rp. 200
untuk setiap baju yang dicuci.