• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU DELINKUEN REMAJA (Studi pada Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU DELINKUEN REMAJA (Studi pada Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung)"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA

KONSEP DIRI DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU DELINKUEN REMAJA

(Studi pada Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung)

Oleh Dwi Oktaviani

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan pergaulan teman sebaya dengan perilaku delinkuen remaja. Metode penelitian ini adalah eksplanatory dengan pendekatan kuantitatif, penelitian dilakukan pada siswa-siswi kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner, observasi, dan studi kepustakaan. Sampel penelitian berjumlah 68 responden. Sedangkan analisis data dilakukan dengan analisa korelasi, dan analisa regresi linear berganda melalui program pengolahan data statistik (SPSS). Penelitian ini untuk menguji teori interaksi simbolik pada siswa-siswi kelas X dan XI yang dilakukan di SMK Surya Dharma. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar siswa-siswi kelas X dan XI SMK Surya Dharma memiliki konsep diri positif dan memiliki pergaulan teman sebaya yang positif yang mana dari kedua variabel tersebut mempengaruhi rendahnya perilaku delinkuen remaja. Pada penelitian ini, Ha diterima dan Ho ditolak, artinya ada hubungan antara konsep diri dengan perilaku delinkuen remaja, dan ada hubungan antara pergaulan teman sebaya dengan perilaku delinkuen remaja

(2)

ABSTRACT

THE CORRELATION BETWEEN

SELF-CONCEPT AND PEER RELATIONSHIP WITH DELINQUENT ADOLESCENT BEHAVIOR

(Studies in high school students class X and XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung)

By Dwi Oktaviani

This research aims to know the correlation between self-concept and peer relationships with delinquent adolescent behavior. The method of this research is quantitative approach with eksplanatory, doing research on high school students class X and XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung. Data collection techniques in the study using questionnaires, observation, and study of librarianship. Sample research totalling 68 respondents. While data analysis is carried out with the analysis of correlation, multiple linear regression and analysis through statistical data processing program (SPSS). This research also aims to test the theory of symbolic interaction which is done the students of class X and XI at the SMK Surya Dharma. Based on the results of the research note that most students of class X and XI SMK Surya Dharma have a positive self-concept and have a positive peer relationships which of the two variables influence the low delinquent adolescent behavior. In this study, the Ha received and Ho is rejected, meaning that there is correlation between self-concept with delinquent adolescent behavior, and there is correlation between peer relationships with delinquent adolescent behavior.

(3)

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU DELINKUEN REMAJA

(Studi pada Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung)

Oleh

DWI OKTAVIANI

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA SOSIOLOGI

Pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

23 Oktober 1993. Penulis terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Akhyar dan Ibu Hartati.

Pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis :

1. TK Dharma Wanita Unila yang diselesaikan pada tahun 1999.

2. SD Negeri 2 Kampung Baru Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2005.

3. SMP Negeri 8 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2008. 4. SMA Al-Kautsar yang diselesaikan pada tahun 2011.

(8)

Bismillahirrohmanirrohiim

Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, Ku

persembahkan karya ini kepada:

Keluargaku: Mamaku Hartati, Papaku Akhyar, Uni Eka, dan

Ikhsan.

Seluruh keluarga besarku tercinta yang tak henti memberi

semangat dan doa untuk keberhasilan ku menyelesaikan studi

kesarjanaan ini.

Seluruh guru-guruku yang telah membimbing dan

mendidikku dari umur 5 tahun sampai umurku 22 tahun ini.

Sahabat-sahabatku yang telah menemani dan mendukungku

serta

(9)

MOTTO:

Berusaha untuk selalu berpikir positif dan optimis

dalam semua kesulitan dan bertindak bijaksana dalam

(10)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Atas Izin dan Rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Skripsi saya yang

berjudul Hubungan antara Konsep Diri dan Pergaulan Teman Sebaya dengan Perilaku Delinkuen Remaja pada Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung.

Penyelesaian Penulisan Skripsi ini tidak lain adalah karena jasa orang-orang yang

telah berperan penting di dalamnya. Untuk itulah dalam kesempatan ini Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua Orang tuaku yang tak terhitung jasanya terhadapku, serta keluarga besar lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah membantu doa dan memberikan dorongan untuk tetap semangat.

(11)

4. Ibu Dra. Anita Damayanti, M.H., selaku Sekretaris Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

5. Bapak Drs. Ikram, M.Si., selaku Pembimbing Akademik penulis atas kesediaanya membantu, mengarahkan dan memberi masukan selama penulis

menempuh pendidikan S1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

6. Ibu Dr. Erna Rochana, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan kritik, saran, pikirannya serta masukan dan semangat sehingga

saya dapat menyelesaikan skripsi ini serta terima kasih ibu sering meluangkan waktu saat sore dan malam untuk membimbing penulis walaupun ibu sedang beristirahat di rumah

7. Ibu Dra. Paraswati Darimilyan., selaku Dosen pembahas yang telah memberikan kritik, saran dan masukan yang membangun, walau ibu sedang sakit, ibu selalu memberikan yang terbaik bagi penulis sehingga menjadikan

skripsi ini menjadi lebih baik

8. Kepada seluruh Dosen dan Staf Sosiologi FISIP UNILA, Ibu Paraswati, Ibu

Dewi , Ibu Endri, Ibu Vivit, Pak Hartoyo, Pak Gede, Pak Ikram, Pak Suwarno, Bung Pay, Pak Gun, Pak Bintang, Pak Fahmi dan Mbak Siti yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan juga pembelajaran berharga bagi

penulis selama menempuh program pendidikan S1.

9. Sahabat-sahabatku tersayang yang berjuang bersama di Jurusan Sosiologi

(12)

baik moril maupun materiil, dan mendengarkan segala curhatan keluh

kesahku, kalian yang akan selalu aku rindukan, semoga kita selalu menjadi sahabat yang saling mendukung baik saat ini maupun dimasa yang akan datang.

10. Teman-teman Jurusan Sosiologi angkatan 2011 Anggun, Eri, Yossi, Fahru, Deni, Dina, Marina, Will, Jeje, Kiki, Fahri, Eka, Yani, Cece yeni, Arum,

Lilian, Desi, alpek, Mbak Tata, Siska, Hesti, Vinta, Bang Pandi, Windu, Bang Nanda, Bang Anton, Hafiz, gede, dan teman-teman seperjuangan lainnya

yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11. Teman-teman “Satu Komunitas” Ica, Mbak Nora, Nora, Citra, Andre, Ratna, Anisa Oktaviani yang telah memberikan semangat, bantuan saat mengerjakan

skripsi, saling bertukar pikiran, serta nasehat disaat kegalauan melanda dan kenangan terindah diakhir masa studi ini. Semangat teman-teman!!

12. Sahabat-sahabat terbaikku dari les LIA 2011 Alfiyyah, Dinda dan Icha terima

kasih karena selalu ada saat dalam kesulitan maupun kesenangan, telah membantu dan menemani selama ini, terima kasih banyak yaaaaa 

13. Temen-temen seperjuangan KKN 6 gadis cantik di Dusun Candi Sari 1, Desa Gunung Rejo, Tiara (kordus yang sangat diandalkan dalam kegiatan apapun) Wike (temen satu sosiologi yang sering beda pendapat, hehehe), Tri (tempat

main game di hpnya), Pumai (paling bahenol dan konyol), Okta (senior 2010 keliatan sangar tapi baik hati) terima kasih untuk semua pengalaman selama

(13)

14. Almamaterku tercinta.

15. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari meskipun telah berusaha semaksimal mungkin skripsi ini

masih jauh dari sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun, serta penulis sangat mengharapkan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya

Bandar Lampung, 30 September 2015 Penulis,

(14)

Halaman

ABSTRACT i

ABSTRAK ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 01

B. Perumusan Masalah ... 07

C. Tujuan Penelitian ... 07

D. Manfaat Penelitian ... 08

II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri ... 09

2. Dimensi Konsep Diri ... 11

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Remaja ... 12

4. Jenis-jenis Konsep Diri ... 14

B. Tinjauan tentang Pergaulan Teman Sebaya 1. Pengertian Pergaulan ... 20

2. Pengertian Teman Sebaya ... 21

3. Latar Belakang Terbentuknya Teman Sebaya ... 23

(15)

2. Pengertian Perilaku Delinkuensi Remaja ... 27

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Perilaku Delinkuensi ... 30

4. Bentuk-bentuk Perilaku Delinkuen ... 32

D. Landasan Teori ... 35

E. Hipotesis ... 39

III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 40

B. Lokasi Penelitian ... 40

C. Definisi Konseptual ... 41

D. Definisi Operasional Variabel ... 42

E. Populasi dan Sampel 1. Populasi Penelitian ... 44

2. Sampel Penelitian ... 45

F. Teknik Pengumpulan Data ... 45

G. Teknik Pengolahan Data ... 46

H. Penentuan Skor dan Kategori ... 47

(16)

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Identitas Sekolah ... 51

2. Sejarah Berdirinya Sekolah ... 52

3. Visi dan Misi SMK Surya Dharma ... 53

4. Keadaan Umum SMK Surya Dharma Bandar Lampung ... 53

5. Klasifikasi Pelanggaran dan Sanksi Siswa ... 54

B. Gambaran Umum Subyek Penelitian 1. Gambaran Umun Responden ... 57

2. Identitas Responden menurut Jenis Kelamin ... 57

3. Identitas Responden menurut Usia ... 58

4. Identitas Responden menurut Kelas dan Jurusan ... 59

V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Konsep Diri Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung ... 60

2. Pergaulan Teman Sebaya pada Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung ... 72

3. Perilaku Delinkuen Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung ... 76

(17)

dengan Perilaku Delinkuen Remaja ... 84

2. Pengaruh Konsep Diri dan Pergaulan Teman Sebaya terhadap Perilaku Delinkuen Remaja ... 85

2.1 Koefisien Determinasi (R2) ... 85

2.2 Analisis Regresi Linear Beranda ... 86

2.3. Uji t ... 87

2.4. Uji F ... 89

VI KESIMPULAN dan SARAN A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 93

(18)

Tabel 4.1 Identitas Responden Menurut Jenis Kelamin ... 57

Tabel 4.2 Identitas Responden Menurut Usia ... 58

Tabel 4.3 Identitas Responden Menurut Kelas dan Jurusan ... 59

Tabel 5.1 Pengetahuan Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma terhadap Konsep Dirinya ... 61

Tabel 5.2 Harapan Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma terhadap Konsep Dirinya ... 64

Tabel 5.3 Penilaian Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma terhadap Konsep Dirinya ... 68

Tabel 5.4 Kualitas Konsep Diri Remaja ... 71

Tabel 5.5 Pergaulan Teman Sebaya Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma ... 72

Tabel 5.6 Kategori Pergaulan Teman Sebaya ... 75

Tabel 5.7 Perilaku Delinkuen Remaja pada Siswa-Siswi Kelas X dan XI SMK Surya Dharma ... 76

Tabel 5.8 Bentuk Perilaku Delinkuen Remaja ... 78

Tabel 5.9 Tabel Silang antara Konsep Diri dan Pergaulan Teman Sebaya .. 80

Tabel 6.0 Tabel Silang antara Konsep Diri dan Perilaku Delinkuen Remaja ... 81

Tabel 6.1 Tabel Silang antara Pergaulan Teman Sebaya dan Perilaku Delinkuen Remaja ... 82

Tabel 6.2 Uji Korelasi antara Konsep Diri dan Pergaulan Teman Sebaya dengan Perilaku Delinkuen Remaja ... 84

Tabel 6.3 Model Summary ... 85

Tabel 6.4 Hasil Uji Regresi Linier Berganda ... 86

Tabel 6.5 Uji t ... 88

(19)
(20)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Remaja adalah generasi masa depan, penerus generasi masa kini yang diharapkan

mampu berprestasi, bisa dibanggakan dan dapat mengharumkan nama bangsa pada masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja

pada masa kini mulai memprihatinkan. Remaja yang seharusnya menjadi kader-kader penerus bangsa kini tidak bisa lagi menjadi jaminan untuk kemajuan Bangsa dan Negara. Bahkan perilaku mereka cenderung merosot dan mengarah pada tindakan

yang melanggar hukum. Remaja adalah bagian umur yang sangat banyak mengalami kesukaran dalam hidup manusia di mana remaja masih memiliki kejiwaan yang labil

dan justru kelabilan jiwa ini mengganggu ketertiban yang merupakan tindakan kenakalan.

Menurut Sarwono (2001) remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari

saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologik dan

(21)

berakhirnya masa anak dan merupakan masa diletakkannya dasar-dasar menuju taraf

kematangan. Perkembangan tersebut meliputi dimensi biologik, psikologik dan sosiologik yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Secara biologik ditandai

dengan percepatan pertumbuhan tulang, secara psikologik ditandai dengan akhir perkembangan kognitif dan pemantapan perkembangan kepribadian. Secara sosiologik ditandai dengan intensifnya persiapan dalam menyongsong peranannya

kelak sebagai seorang dewasa muda.

Masa remaja yang diyakini banyak kalangan sebagai masa yang paling indah,

seringkali diidentikkan dengan proses pencarian identitas. Dalam masa ini banyak remaja mengalami kebingungan, karena pertumbuhan fisiknya yang sedemikian pesat kurang diimbangi dengan perkembangan psikologis dan sosial yang seimbang. Dari

segi fisik, remaja sudah seperti orang dewasa, namun dari segi tuntutan masyarakat, remaja belum siap menerima peran berlebih. Hal ini lah yang kemudian menjadi

permasalahan dalam diri remaja. Identitas sebagai seorang remaja ditentukan oleh kemampuan mereka dalam mengendalikan emosi, menempatkan diri dengan teman sebayanya, mengidolakan seorang tokoh yang menjadi panutan, menerima diri apa

adanya, mencapai prestasi yang mereka peroleh di sekolah, meraih cita-citanya dan

mengendalikan dirinya secara biologis (Hidayati, 2006).

Menurut soerjono soekanto (dalam pudjiastiti, 2007) masalah remaja pada umumnya ditandai oleh dua ciri yang berlawanan, yakni keinginan untuk melawan dan sikap apatis (acuh atau cuek) yang disebabkan rasa kecewa terhadap situasi dan kondisi

(22)

akhir-akhir ini adalah masalah remaja nakal atau delinkuen. Perilaku remaja yang mampu

mencelakakan dirinya sendiri maupun orang lain disebut dengan perilaku delinkuen.

Perilaku delinkuen berasal dari bahasa Latin “delinquere”, yang diartikan terabaikan,

mengabaikan, yang kemudian diperluas menjadi jahat, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror dan tidak dapat diatur. Kartono (dalam Susilowati, 2011) mengartikan delinkuen lebih mengacu pada suatu bentuk perilaku

menyimpang, yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta emosi yang sangat labil dan defektif.

Menurut Santrock (2003) menyatakan bahwa perilaku delinkuen remaja mengarah pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara oleh lingkungan sosial (seperti berkata kasar pada guru dan orang tua),

pelanggaran ringan (seperti membolos sekolah), hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri, seks pranikah, dan menggunakan obat-obat terlarang).

Perilaku nakal remaja atau perilaku delinkuen yang terjerumus kedalam tindakan penyimpangan sosial ini merupakan aplikasi dari ideologi yang telah tertanam di dalam pemikiran mereka, yang selanjutnya merupakan implementasi dari “konsep

diri”, yaitu jawaban individu atas pertanyaan “siapa aku” dan “bagaimana mengisi

masa remajaku”. Konsep ini berupa kesadaran individu mengenai keterlibatannya

(23)

tindakan-tindakan mereka yang dianggap potensial dan menyenangkan, meski orang lain

menganggapnya sebagai bentuk penyimpangan (Prabudiani, 2012. http://blog.unsri.ac.id/wiwin/blogroll/)

Menurut Mead (dalam Ahmadi, 2008) konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Menurut beberapa ahli (dalam Kanisius, 2006) konsep diri dikembangkan melalui interaksinya dengan orang lain

maupun peniruan. Apabila sejak kecil ia diterima, disayangi dan selalu dihargai, maka ia akan mengembangkan konsep diri yang positif. Sementara itu pengalaman

sosial yang buruk seperti ditolak, dicela, akan membentuk konsep diri yang negatif. Semenjak konsep diri mulai terbentuk, seseorang akan berperilaku sesuai dengan konsep dirinya tersebut. Apabila perilaku seseorang tidak konsisten dengan konsep

dirinya, maka akan muncul perasaan tak nyaman dalam dirinya. Inilah hal yang terpenting dari konsep diri. Pandangan seseorang tentang dirinya akan menentukan

tindakan yang akan diperbuatnya

Konsep diri yang tertanam dalam diri para remaja nakal atau delinkuen ini telah menekan para remaja berperilaku sesuai dengan apa yang mereka inginkan karena

mereka sedang mengembangkan eksistensinya di dalam proses sosialisasi. Pengembangan identitas tersebut kemudian dicapai melalui proses belajar dalam

menyesuaikan diri dengan lingkungannya melalui sebuah pembauran yang menginginkan harapan akan terjadinya penerimaan dari pihak-pihak yang dimasukinya. Proses inilah yang kemudian menghantarkan para remaja

(24)

menunjukkan keberadaan dirinya, sehingga hal tersebut mampu membuat dirinya

diterima oleh lingkungan pergaulannya sekalipun lingkungan tersebut tidak baik bagi dirinya.

Sebuah survei yang dilakukan di 33 provinsi pada pertengahan tahun 2008 yang dilakukan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN

melaporkan bahwa 63% remaja di Indonesia usia sekolah SMP, SMA dan SMK sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21% di antaranya melakukan aborsi. Secara umum survei itu mengindikasikan bahwa pergaulan remaja di

Indonesia makin mengkhawatirkan (Tanpaka, 2004).

Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN mengatakan, persentasi remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah tersebut mengalami

peningkatan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Bandung,

Surabaya, hingga Makassar, masih berkisar 47,54% remaja mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah. Namun, dari hasil survei terakhir tahun 2008, persentasenya meningkat menjadi 63%. Dengan adanya perilaku seperti itu, para

remaja tersebut sangat rentan terhadap resiko kesehatan seperti penularan penyakit

HIV-AIDS, penggunaan narkoba, serta penyakit lainnya (Tanpaka, 2004)

(25)

yang kurang menghargai guru, tidak disiplin, sering bolos, merokok di dalam maupun

luar lingkungan sekolah, menonton video porno bahkan ada yang mengarah pada pergaulan kurang sehat yakni sex bebas. Berdasarkan hasil pra penelitian, bahwa ada

beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku delinkuen remaja yakni, faktor internal dan faktor eksternal. faktor internal terkait dengan ketidakmampuan remaja untuk mengontrol tingkah lakunya dan pandangan terhadap keseluruhan diri,

baik yang menyangkut kelebihan maupun kekurangan diri, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan dan faktor

eksternal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku delikuensi pada remaja, yaitu terkait dengan pengaruh teman sebaya, orang tua, ekonomi sosial dan lingkungan

sekitar tempat tinggal (Santrock, 2003).

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen remaja di atas, dalam penelitian ini peneliti akan menitikberatkan pada faktor pengaruh teman

sebaya. Kemudian dari faktor tersebut dilihat sejauh mana pergaulan teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku delinkuen remaja. Menurut Hartono (1998) berpendapat bahwa remaja terkadang banyak menghabiskan waktu dengan

teman-teman sebayanya melebihi waktu yang mereka habiskan dengan orang tua dan anggota keluarga yang lain, oleh karena itu, pengaruh dari teman sebaya biasanya

lebih dominan bila di bandingkan dengan pengaruh dari keluarganya..

Dalam bergaul, remaja akan memahami kebutuhan rekan-rekan dan dirinya sendiri dalam timbal baliknya hubungan antara teman sebaya (Gerungan, 1998). Timbal

(26)

dimaksud adalah ketika individu dan bersama teman-teman sebayanya melakukan

kegiatan yang bermanfaat seperti membentuk kelompok teman belajar dan patuh pada aturan-aturan yang ada dan apabila seseorang bergaul dengan teman sebaya yang

menyimpang maka akan berpengaruh negatif, yang dimaksudkan dapat berupa pelanggaran terhadap norma-norma sosial, dan pada lingkungan sekolah berupa

pelanggaran terhadap aturan sekolah.

Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini peneliti akan membatasi pembahasan pada pergaulan teman sebaya dan konsep diri yang diperkirakan dapat menjadi faktor

yang mempengaruhi terbentuknya perilaku delinkuen remaja. Berdasarkan Uraian di atas peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara

konsep diri dan pergaulan teman sebaya dengan perilaku delinkuen remaja.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan antara konsep diri dengan perilaku delinkuen remaja pada

siswa-siswi kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung?

2. Bagaimana hubungan antara pergaulan teman sebaya dengan perilaku delinkuen

remaja pada siswa-siswi kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dengan perilaku delinkuen remaja

(27)

2. Untuk mengetahui hubungan antara pergaulan teman sebaya dengan perilaku

delinkuen remaja pada siswa-siswi kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun

praktis yaitu sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teori-teori sosiologi yang berhubungan dengan kenakalan remaja

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat yaitu:

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur atau bacaan yang bisa membantu guru, remaja-remaja dan masyarakat untuk menambah pengetahuan tentang konsep diri, pergaulan teman sebaya dan perilaku

delinkuen remaja

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan referensi bagi remaja untuk memiliki konsep diri yang positif

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Tentang Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

William H. Fitts (dalam Ramadhani, 2009) meninjau konsep diri secara fenomenologis. Fitts mengatakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam

diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi dengan lingkungannya. Fitts juga mengemukakan bahwa konsep diri mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku seseorang..

Fitts menjelaskan bahwa jika individu mempersepsikan dirinya, berreaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya, maka

hal ini menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya sebagaimana ia lakukan terhadap

obyek-obyek lain yang ada di dalam kehidupannya. Jadi, diri yang dilihat, dihayati, dan dialami seseorang itu disebut konsep diri.

Menurut Mead (dalam Ahmadi, 2008) konsep diri adalah suatu proses yang berasal

dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Mead menjelaskan bahwa konsep

(29)

dimaksud berlaku pada dirinya sendiri sebagai karakter dasar dari makhluk lain,

sehingga mampu mencapai kesadaran diri (self conciousness), dan dasar dalam mengambil sikap dalam dirinya, juga untuk situasi sosial. Pendapat senada diberikan

John Kinch (dalam Ramadhani, 2009) yang mengemukakan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri ini mempengaruhi tingkah laku seseorang. Menurutnya, konsep diri seseorang didasarkan pada persepsi dari

reaksi-reaksi orang lain terhadap dirinya.

Menurut Brooks (dalam Rahmat, 2012) konsep diri disini dimengerti sebagai

pandangan atau persepsi individu terhadap dirinya, baik bersifat fisik, sosial, maupun psikologis, dimana pandangan ini diperolehnya dari pengalamannya berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai arti penting dalam hidupnya. Konsep diri ini

bukan merupakan faktor bawaan, tetapi faktor yang dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman individu berhubungan dengan orang lain. Sejalan dengan Brroks, Rini

(2002) mengartikan konsep diri secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah

persepsi individu terhadap diri sendiri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri yang dibentuk melalui

(30)

2. Dimensi Konsep Diri

Menurut Calhoun (dalam Ramadhani, 2009) konsep diri memiliki 3 dimensi, yaitu:

1) Pengetahuan

Dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri

sendiri atau penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberikan gambaran

tentang diri saya. Gambaran diri tersebut pada gilirannya akan membentuk citra diri. Singkatnya dimensi pengetahuan (kognitif) dari konsep diri mencakup segala sesuatu yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi, seperti “saya

pintar”, “saya cantik”, “saya anak baik”, dan seterusnya.

2) Harapan

Dimensi kedua dari konsep diri adalah dimensi harapan atau diri yang

dicita-citakan dimasa depan. Ketika kita mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa kita sebenarnya, pada saat yang sama kita juga mempunyai sejumlah

pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa diri kita di masa mendatang. Singkatnya, kita juga mempunyai pengaharapan bagi diri kita sendiri.

Pengaharapan ini merupakan diri ideal (self-ideal) atau diri yang dicita-citakan.

3) Penilaian

Dimensi ketiga konsep diri adalah penilaian kita terhadap diri kita sendiri.

(31)

setiap hari kita berperan sebagai penilai tentang diri kita sendiri, menilai

apakah kita bertentangan, pengaharapan bagi diri kita sendiri (saya dapat menjadi apa), standar yang kita terapkan bagi diri kita sendiri (saya seharusnya

menjadi apa). Hasil dari penilaian tersebut membentuk apa yang disebut dengan harga diri, yaitu seberapa besar kita menyukai diri sendiri.

Berdasarkan penjelasan 3 dimensi konsep diri diatas, yakni pengetahuan, harapan dan

penilaian. Maka peneliti akan menggunakan 3 dimensi konsep diri tersebut sebagai faktor utama yang mempengaruhi perilaku delinkuen remaja

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri Remaja

Mead (dalam Setyani, 2007) konsep diri adalah menjelaskan pandangan, penilaian, dan perasaan individu mengenai dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksi

sosial sebagai konsep diri. Konsep diri mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku individu, yaitu individu akan bertingkah laku sesuai dengan konsep

diri yang dimiliki. Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola kepribadian melalui pengaruhnya pada konsep diri seperti perubahan fisik, psikologis dan sosial pada masa remaja. Beberapa faktor yang mempengaruhi konsep

diri remaja, yaitu;

a. Usia kematangan

Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat

(32)

diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang

baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri. b. Penampilan diri

Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan dan mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya daya tarik

fisik dapat menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.

c. Nama dan julukan

Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya

buruk atau bila mereka memberi nama julukan (label) yang bernada cemoohan. d. Hubungan keluarga

Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seseorang anggota

keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, remaja akan tertolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis

seksnya.

e. Teman-teman sebaya

Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya dan kedua, ia berada dalam tekanan untuk

(33)

Remaja yang semasa kanak-kanak didorong agar kreatif dalam bermain dan

dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya,

remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas. g. Cita-cita

Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realistik, ia akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi

bertahan dimana ia menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuanya lebih banyak mengalami keberhasilan daripada

kegagalan. Ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasaan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik.

4. Jenis-Jenis Konsep Diri

Menurut Calhoun dan Acocella dalam Rahmat (2012) dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

a. Konsep diri positif

Konsep diri positif dapat disamakan dengan penilaian diri positif, penghargaan diri yang positif, perasaan harga diri yang positif dan penerimaan diri yang

(34)

tentang dirinya sendiri, penilaian terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan

dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan

yang kemungkinan besar tercapai.

Hamachek (dalam Rahmat, 2012) menjelaskan beberapa ciri-ciri konsep diri

positif, ciri-ciri tersebut antara lain :

1. Ia meyakini dengan betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.

Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan bahwa ia salah. 2. Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah

yang berlebih-lebihan atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.

3. Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang terjadi di waktu lalu dan apa yang terjadi di waktu sekarang.

4. Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia mengahadapi kegagalan atau kemuduran.

(35)

6. Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi

orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya. 7. Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati dan menerima

penghargaan tanpa rasa bersalah.

8. Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai

bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.

9. Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang

dengan mengorbankan orang lain.

b. Konsep diri negatif

Konsep diri negatif sama dengan evaluasi diri yang negatif. Orang yang memiliki

konsep diri negatif tidak akan mampu merumuskan dan mengemas hal-hal yang hendak ia komunikasikan dengan orang lain, sehingga komunikasinya menjadi lambat. Pesan yang tidak disampaikan dengan baik akan menimbulkan tanggapan

yang juga tidak baik, akhirnya sebuah proses komunikasi yang diharapkan tidak

dapat terlaksana secara efektif.

Dengan konsep diri yang negatif, seseorang akan merasa minder, rendah, penakut, membenci diri dan tidak adanya perasaan menghargai pribadi dan penerimaan diri. Orang yang tidak menerima dirinya sendiri cenderung tidak

(36)

Berikut ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif antara lain, yaitu:

1. Peka atau tidak tahan terhadap kritik dan mudah marah jika dikritik karena dianggap menjatuhkan harga dirinya,

2. Sangat responsif terhadap pujian, senang dipuji meskipun dia sering berpura-berpura menghindari pujian

3. Bersikap hiperkritis terhadap orang lain, selalu mengeluh, mencela atau

meremehkan terhadap apa dan siapapun, juga tidak pandai mengungkapkan penghargaan dan pengakuan terhadap orang lain.

4. Cenderung merasa tidak disenangi dan tidak diperhatikan oleh orang lain, menganggap orang lain sebagai musuh,

5. Pesismis dan enggan berkompetisi dengan orang lain dalam berperestasi.

Kualitas konsep diri seseorang berdasarkan tiga dimensi: pengetahuan, harapan dan penilaian seseorang atas dirinya. Atas dasar tiga dimensi itu, maka dapat

didiskripsikan beberapa karakter seseorang sesuai kualitas konsep dirinya, yang secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pada dimensi pengetahuan, jika seseorang memiliki konsep diri negatif maka ia tidak

mempunyai pandangan yang teratur tentang dirinya sendiri, sehingga ia tidak mempunyai kestabilan dan keutuhan diri. Seseorang dengan konsep diri negatif, ia

(37)

mengenal dengan baik siapa dirinya. Selain itu ia akan dapat memahami dan

menerima berbagai fakta dan keadaan yang ada pada dirinya secara apa adanya.

Pada dimensi pengharapan, seseorang dengan konsep diri negatif terlalu banyak atau

bisa juga terlalu sedikit harapan dalam hidupnya, yang sebenarnya tidak sesuai dengan keadaan dirinya. Oleh karena tidak punya harapan maka dia tidak mengharapkan suatu kesusksesan apapun, sehingga dia tidak akan pernah merasa

sukses. Bisa juga sebaliknya, karena harapannya terlalu tinggi, maka apa yang telah dicapainya dianggap masih jauh dari harapannya. Dengan kata lain, orang dengan

konsep diri negatif mempunyai pengharapan yang tidak realistis. Sedangkan orang dengan konsep diri positif akan mempunyai pengharapan dan cita-cita yang realistis sesuai dengan keadaan dirinya. Orang dengan konsep diri positif akan dapat bertindak

dengan berani dan spontan serta memperlakukan orang lain dengan hangat dan hormat.

Pada dimensi penilaian, konsep diri yang negatif merupakan penilaian yang negatif terhadap diri. Orang dengan konsep diri negatif, tidak pernah menilai baik diri sendiri. Baginya, apapun yang dicapainya dianggap tidak berharga dibandingkan

dengan yang dicapai orang lain. Orang semacam ini sangat mungkin mengalami kecemasan karena menghadapi informasi dirinya sendiri yang tidak dapat diterimanya

(38)

Jadi, pada dasarnya konsep diri yang negatif adalah pemahaman yang tidak tepat

tentang dirinya sendiri, pengharapan diri yang tidak realistis dan penilaian yang rendah pada diri sendiri (harga diri yang rendah). Sedangkan konsep diri yang positif

adalah pengetahuan yang luas dan bermacam-macam tentang dirinya sesuai dengan keadaan sebenarnya, pengharapan diri yang realistis dan harga diri yang tinggi. Jika seseorang memiliki konsep diri yang positif berarti ia akan menilai, menghargai,

merasa dan menerima keadaan dirinya secara positif. Sebaliknya, seseorang yang memiliki konsep diri yang negatif berarti ia memiliki evaluasi diri yang negatif,

membenci diri, perasaan rendah diri serta tiadanya penghargaan dan penerimaan terhadap diri sendiri. Dijelaskan lebih lanjut bahwa orang-orang dengan penilaian diri

yang tinggi dan perasaan harga diri yang tinggi umunya mereka menerima keadaan dirinya. Sebaliknya mereka yang menilai dirinya secara negatif, akan mempunyai perasaan harga diri yang kecil, penghargaan diri yang kecil ataupun penerimaan diri

yang kecil.

Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pemahaman, perasaan, dan pengharapan seseorang terhadap dirinya sendiri, baik secara fisik, psikis, maupun

sosialnya. Kualitas konsep diri seseorang dapat bersifat negatif atau positif tergantung bagaimana pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri negatif

merupakan pemahaman, penilaian/perasaan dan pengharapan diri yang negatif atas diri sendiri. Begitu pula sebaliknya untuk konsep diri yang positif. Ciri-ciri seseorang

(39)

orang lain dan mempunyai harapan yang realistis dalam hidupnya. Demikian pula

jika yang terjadi sebaliknya, menunjukkan adanya indikasi seseorang memiliki kualitas konsep diri yang negatif.

B.Tinjauan Tentang Pergaulan Teman Sebaya

1. Pengertian Pergaulan

Pergaulan merupakan proses interaksi yang dilakukan oleh individu dengan individu, dapat juga oleh individu dengan kelompok. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia sebagai makhluk sosial (zoon-politicon), yang artinya

manusia sebagai makhluk sosial yang tak lepas dari kebersamaan dengan manusia lain. Pergaulan mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian

seorang individu. Pergaulan yang ia lakukan itu akan mencerminkan kepribadiannya, baik pergaulan yang positif maupun pergaulan yang negatif. Pergaulan yang positif itu dapat berupa kerjasama antar individu atau kelompok guna melakukan hal – hal

yang positif. Sedangkan pergaulan yang negatif itu lebih mengarah kepergaulan bebas, hal itulah yang harus dihindari, terutama bagi remaja yang masih mencari jati dirinya. Dalam usia remaja ini biasanya seorang sangat labil, mudah terpengaruh

terhadap bujukan dan bahkan dia ingin mencoba sesuatu yang baru yang mungkin dia belum tahu apakah itu baik atau tidak. (Asmawati, 2013 dari

(40)

2. Pengertian Teman Sebaya

Teman sebaya (peer groups) adalah kelompok sosial yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki usia sebaya, baik anak-anak, orang dewasa, orang tua

maupun mereka yang termasuk dalam lanjut usia. Mereka memiliki kesamaaan dalam berpikir, bertindak dan juga berangan-angan. Mereka disatukan dengan

kesamaan-kesamaan tersebut. Mereka merasa senasib sepenangggungan dengan teman sebaya mereka (Soeroso, 2006)

Santrock (2007) menjelaskan bahwa teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau

remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Remaja akan menerima umpan balik dari teman sebaya mengenai kemampuan-kemampuan

mereka. Mereka belajar tentang apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama baiknya atau lebih buruk dari apa yang dilakukan remaja lain.

Mappiere (1982) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan

lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan keluarganya. Lingkungan teman sebaya merupakan suatu kelompok yang baru, dimana punya ciri, norma dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan apa

yang ada di keluarganya. Oleh karena itu remaja dituntut untuk dapat memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dan dapat dijadikan dasar dalam hubungan

(41)

Horrock dan Benimoff (dalam Hurlock, 2002) kelompok teman sebaya merupakan

dunia nyata kawula muda yang menyiapkan panggung dimana mereka dapat menguji, merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya. Disinilah mereka dinilai oleh orang

lain yang sejajar dengan dirinya dan tidak dapat memaksakan dunia dewasa yang ingin dihindarinya. Kelompok teman sebaya memberikan tempat bagi remaja untuk melakukan sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku bukan nilai

orang-orang dewasa melainkan teman seusianya. Jadi dalam kelompok teman sebaya inilah remaja mendapat dukungan untuk emansipasi dan dapat menemukan dunia

yang memungkinkan mereka untuk bertindak sebagai pemimpin apabila ia melakukannya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa teman sebaya adalah adalah kelompok sosial yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki usia sebaya, baik anak-anak, orang dewasa, orang tua maupun mereka yang termasuk dalam lanjut

usia. teman sebaya merupakan suatu kelompok yang baru, dimana punya ciri, norma dan kebiasaan yang jauh berbeda dengan apa yang ada di keluarganya. teman sebaya dapat dijadikan sebagai tempat para remaja belajar bersosialisasi dengan orang lain

(42)

3. Latar Belakang Terbentuknya Teman Sebaya

Menurut Santoso (2004) latar belakang terbentuknya teman sebaya adalah sebagai berikut:

a. Adanya perkembangan proses sosialisasi. Pada usia remaja (usia anak SMP, SMA dan SMK), individu mengalami proses sosialisasi dimana mereka sedang belajar

memperoleh kemantapan sosial dalam mempersiapkan diri untuk menjadi orang dewasa baru.

b. Kebutuhan untuk menerima penghargaan. Secara psikologis, individu butuh

penghargaan dari orang lain, agar mendapat kepuasan dari apa yang telah dicapainya.

c. Perlu perhatian dari orang tua. Individu perlu perhatian dari orang lain terutama yang merasa senasib dengan dirinya. Hal ini dapat ditemui dalam kelompok sebayanya, dimana individu merasa sama satu dengan yang lainnya.

d. Ingin menemukan dunianya. Didalam pertemanan yang sebaya individu dapat menemukan dunianya, dimana berbeda dengan dunia orang dewasa. Mereka mempunyai persamaan pembicaraan disegala bidang, misalnya pembicaraan

tentang hobi, permainan dan yang lainnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar belakang terbentuknya pertemanan

(43)

mendapatkan perhatian orang tua, dan untuk menemukan dunianya. Karena anak

sekolah yang tergabung dalam kelompok teman sebaya mempunyai sikap ingin terlihat menonjol dari pada anak-anak sekolah yang lainya. Karena dengan begitu

anak berharap dia akan disegani dan tidak dipandang sebelah mata.

4. Peran Teman Sebaya Terhadap Perkembangan Perilaku Remaja

Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima oleh teman sebaya. Sebagai akibatnya, mereka akan merasa senang apabila diterima dan sebaliknya merasa tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh teman-teman

sebayanya. Bagi kebanyakan remaja, pandangan teman sebaya terhadap dirinya merupakan hal yang paling penting. Teman sebaya merupakan anak-anak atau remaja

yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama, interaksi diantara teman sebaya yang berusia sama sangat berperan penting dalam perkembangan sosial. Pertemanan berdasarkan tingkat usia dengan sendirinya akan

terjadi meskipun sekolah tidak menerapkan sistem usia. Remaja dibiarkan untuk menentukan sendiri komposisi masyarakat mereka. Salah satu fungsi terpenting dari teman sebaya adalah sebagai sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga.

Remaja memperoleh umpan balik mengenai kemampuannya dari teman-teman sebayanya dan remaja mempelajari bahwa apa yang mereka lakukan itu lebih baik.

(Santrock, 2007).

(44)

karena remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya daripada

masa pertengahan atau kanak-kanak akhir. Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah

dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga.

Pengaruh teman sebaya kepada remaja dapat berdampak positif atau negatif (Santrock, 1997). Pengaruh teman sebaya yang positif akan menguntungkan bagi remaja karena remaja dapat belajar mengembangkan dirinya selama bersama teman

sebayanya. Seperti yang dikemukakan oleh Owen (2002), teman sebaya dapat memberikan pengaruh positif pada perilaku remaja antara lain, meningkatkan

kebiasaan belajar dan mendapat nilai baik, terlibat dalam pelayanan komunitas atau terbebas dari minuman beralkohol.

Pengaruh teman sebaya juga dapat berdampak negatif bagi remaja. Masalah akan

timbul jika remaja berada dalam kelompok sebaya yang memiliki aturan, norma atau kebiasaan yang negatif seperti mabuk, merokok, narkoba, seks bebas dan sebagainya. Apabila mereka mengikuti aturan yang ada dalam kelompok sebayanya tersebut maka

remaja akan terlibat dalam masalah-masalah perilaku yang menentang norma yang ada di masyarakat agar dapat diterima oleh teman sebayanya. Seperti yang

(45)

C.Tinjauan Tentang Perilaku Delinkuen Remaja

1. Pengertian Remaja

WHO (dalam Yusar, 2014) menyatakan bahwa remaja adalah golongan manusia

berusia 10-19 tahun, kaum muda adalah manusia dengan golongan usia 15-24 dan usia muda adalah manusia berusia 10-24 tahun. Kartono (1998) menyatakan bahwa

remaja adalah golongan manusia berumur 12-21 tahun, yang terdiri atas remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun).

Sarwono (2001) remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat

pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Jelasnya remaja adalah suatu

periode dengan permulaan dan masa perlangsungan yang beragam, yang menandai berakhirnya masa anak dan merupakan masa diletakkannya dasar-dasar menuju taraf

kematangan. Perkembangan tersebut meliputi dimensi biologik, psikologik dan sosiologik yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Secara biologik ditandai dengan percepatan pertumbuhan tulang, secara psikologik ditandai dengan akhir

perkembangan kognitif dan pemantapan perkembangan kepribadian. Secara sosiologik ditandai dengan intensifnya persiapan dalam menyongsong peranannya

kelak sebagai seorang dewasa muda.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah

(46)

awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21

tahun).

2. Pengertian Perilaku Delinkuen Remaja

Perilaku delinkuen berasal dari bahasa Latin “delinquere”, yang diartikan terabaikan,

mengabaikan, yang kemudian diperluas menjadi jahat, anti sosial, kriminal, pelanggar

aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror dan tidak dapat diatur. Kartono (1998), dalam mengartikan delinkuen lebih mengacu pada suatu bentuk perilaku menyimpang, yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta emosi yang sangat

labil dan defektif.

Bynum dan Thompson (dalam Susilowati, 2011), mengartikan perilaku delinkuensi

dalam tiga kategori, yaitu :

a. The Legal Definition atau Secara legal perilaku delinkuensi diartikan sebagai segala perilaku yang dapat menjadi kejahatan jika dilakukan oleh orang dewasa

atau perilaku yang oleh pengadilan anak dianggap tidak sesuai dengan usianya, sehingga anak tersebut dipertimbangkan melakukan perilaku delinkuensi berdasarkan larangan yang diberlakukan dalam undang-undang status perilaku

kriminal dari pemerintah pusat, negara dan pemerintah daerah. Namun, tidak semua perilaku pelanggaran dapat dikategorikan sebagai kriminal. Perilaku

delinkuensi merupakan perilaku yang dilakukan remaja, yaitu meliputi pelanggaran peraturan yang diberlakukan bagi anak seusianya, seperti

(47)

b. The Role Definition atau Segi peran memfokuskan arti perilaku delinkuensi

pada pelaku antisosial daripada perilaku antisosial, pengertian ini mengungkap, ”Siapakah yang melakukan perilaku delinkuensi?”. Pengertian mengacu pada

individu yang mempertahankan bentuk perilaku delinkuensi dalam periode waktu yang cukup lama, sehingga kehidupan serta identitas kepribadiannya terbentuk dari perilaku menyimpang (deviant). Konsep sosiologis yang

berhubungan dengan pengertian peran dalam mendeskripsikan perilaku delinkuensi, yaitu status sosial dan peran sosial. Status sosial merupakan

pengaruh posisi seseorang dalam hubungannnya dengan orang lain dalam kelompok sosial atau masyarakat. Peran sosial diartikan sebagai perilaku yang

diharapkan untuk ditunjukkan dari seseorang yang memiliki status dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.

c. The Societal Response Definition. Pengertian dari segi societal response,

menekankan pada konsekuensi sebagai akibat dari suatu tindakan dan/atau seorang pelaku yang dianggap melakukan suatu perilaku menyimpang atau delinkuensi, dimana audience yang mengamati dan memberi penilaian terhadap

perilaku tersebut. Audience adalah kelompok sosial atau masyarakat dimana

pelaku menjadi anggotanya.

Berdasarkan ketiga kategori pengertian di atas, Bynum dan Thompson (dalam Susilowati, 2011), mengartikan perilaku delinkuensi dengan mengkombinasikan

(48)

“Delinquency reffering to illegal conduct by a juvenile that reflects a persistent delinquent role and results in society regarding the offender as seriously deviant. Deviant is conduct that is perceived by others as violating institutionalized expectations that are widely shared and recognized as legitimate within the society.” (Bynum & Thompson, dalam Susilowati, 2011)

Perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk perilaku ilegal yang mencerminkan peran kenakalan yang terus-menerus, dimana perilaku tersebut oleh masyarakat

dianggap sebagai penyimpangan yang sangat serius. Perilaku menyimpang tersebut diartikan oleh orang lain sebagai ancaman terhadap norma legitimasi masyarakat.

Walgito (dalam Sudarsono, 1997) merumuskan bahwa istilah delinkuensi lebih ditekankan pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak dan remaja,

jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan.

Fuad Hasan (dalam Hadisuprapto, 1997), merumuskan perilaku delinkuensi sebagai

perbuatan antisosial yang dilakukan oleh anak dan remaja yang bila dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan. Suatu perilaku dianggap ilegal hanya karena status usia si pelaku yang masih muda (bukan usia dewasa), atau yang

sering disebut status offenses. Perilaku anti-sosial dapat berupa menggertak, agresi fisik dan perilaku kejam terhadap teman sebaya, sikap bermusuhan, lancang,

negativistik terhadap orang dewasa, menipu terus-menerus, sering membolos dan merusak.

(49)

akan tetapi tidak tergolong pidana umum maupun khusus. Antara lain, perbuatan

yang bersifat anti susila, yaitu durhaka kepada orang tua, membantah, melawan, tidak patuh, tidak sopan, berbohong, memusuhi orang tua, saudara-saudaranya, masyarakat

dan lain-lain. Serta dikatakan delinkuensi, jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama yang dianut.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk perbuatan anti sosial, melawan hukum negara, norma-norma masyarakat dan norma-norma agama serta perbuatan yang tergolong anti sosial yang

menimbulkan keresahan masyarakat, sekolah maupun keluarga, akan tetapi tidak tergolong pidana umum maupun khusus, yang dilakukan oleh orang yang belum

dewasa (anak dan remaja)

3. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Perilaku Delinkuensi Remaja

Santrock (2003) berdasarkan teori perkembangan identitas, Erikson mengemukakan

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuensi pada remaja:

1. Identitas negatif, Erikson yakin bahwa perilaku delinkuensi muncul karena

remaja gagal menemukan suatu identitas peran.

2. Kontrol diri rendah, beberapa anak dan remaja gagal memperoleh kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan.

(50)

demikian, tidak semua anak bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi

pelaku delinkuensi.

4. Jenis kelamin (laki-laki), anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku

antisosial daripada anak perempuan. Keenan dan Shaw (dalam Gracia, et al., dalam Susilowati, 2011), menyatakan anak laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku (conduct) merusak. Namun, demikian perilaku

pelanggaran seperti prostitusi dan lari dari rumah lebih banyak dilakukan oleh remaja perempuan.

5. Harapan dan nilai-nilai yang rendah terhadap pendidikan. Remaja menjadi pelaku kenakalan seringkali diikuti karena memiliki harapan yang rendah

terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah.

6. Pengaruh orang tua dan keluarga. Seseorang berperilaku nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana orang tua menerapkan pola disiplin secara tidak

efektif, memberikan mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anaknya sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga, antara lain hubungan dengan saudara kandung dan sanak saudara.

Hubungan yang buruk dengan saudara kandung di rumah akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial ketika berada di luar

rumah.

7. Pengaruh teman sebaya. Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan

(51)

8. Status ekonomi sosial. Penyerangan serius lebih sering dilakukan oleh

anak-anak yang berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah.

9. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal. Tempat dimana individu tinggal

dapat membentuk perilaku individu tersebut, masyarakat dan lingkungan yang membentuk kecenderungan kita untuk berperilaku ”baik” atau ”jahat”.

Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa lima dari sembilan

faktor yang paling memengaruhi terbentuknya perilaku delikuensi pada remaja, yaitu faktor internal terkait dengan ketidakmampuan remaja untuk mengontrol tingkah

lakunya dan pandangan terhadap keseluruhan diri, baik yang menyangkut kelebihan maupun kekurangan diri, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseluruhan perilaku yang ditampilkan dan empat dari sembilan faktor yang

memengaruhi terbentuknya perilaku delikuensi pada remaja, yaitu faktor eksternal terkait dengan pengaruh teman sebaya, orang tua, ekonomi sosial dan lingkungan

sekitar tempat tinggal.

4. Bentuk-bentuk Perilaku Delikuensi

Bynum dan Thompson (dalam Susilowati, 2011), mengkategorikan bentuk-bentuk

perilaku delinkuensi yang termasuk dalam status offenses meliputi running away, truancy, ungovernable behaviour danliquor law violations, sedangkan yang termasuk

(52)

United Stated Department of Justice’s Office of Juvenile Justice and Delinquency

Prevention (OJJDP) mengindentifikasi index offenses dalam empat kategori utama (dalam Hund, 1998), yaitu :

1. Pelanggaran kekerasan (violent offenses), yaitu perbuatan-perbuatan yang menimbulkan korban fisik, meliputi kekerasan fisik baik menyebabkan kematian ataupun tidak, pemerkosaan, menyerang, dan merampok dengan

senjata.

2. Pelanggaran properti (property offenses), yaitu perbuatan-perbuatan yang

menimbulkan kerusakan property milik orang lain, meliputi pengrusakan, pencurian, pembakaran.

3. Pelanggaran hukum negara (public offenses), yaitu segala perbuatan yang melanggar undang-undang Negara selain dari violent offenses dan property

offenses.

4. Penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras (drug and liquor offenses), yaitu perbuatan yang melibatkan obat-obatan dan minuman keras, meliputi

mengkonsumsi dan memperjualbelikan obat-obatan serta minuman keras.

United Stated Department of Justice’s Office of Juvenile Justice and Delinquency

Prevention (OJJDP) mengindentifikasi status offenses dalam empat kategori utama

(dalam Hund, 1998), yaitu :

(53)

2. Membolos (truancy) dari sekolah tanpa alasan jelas, dan berkeliaran di

tempat-tempat umum atau tempat-tempat bermain.

3. Melanggar aturan atau tata tertib sekolah dan aturan orang tua

(ungovernability).

4. Mengkonsumsi alkohol (underage liquor violations)

5. Pelanggaran lainnya (miscellaneous category), meliputi pelanggaran jam malam, merokok, berkelahi dan lain-lain.

Santrock (2003) menjelaskan bentuk kenakalan remaja berdasarkan tingkah laku yang

ditampilkan menjadi tiga, yaitu :

1) tindakan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial karena bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat. Contoh : berkata kasar pada

guru dan orang tua dll.

2) tindakan pelanggaran ringan seperti : membolos sekolah, kabur pada jam mata

pelajaran tertentu dll.

3) tindakan pelanggaran berat yang merajut pada semua tindakan kriminal yang

dilakukan oleh remaja seperti : mencuri, seks pranikah, menggunakan obat-obatan terlarang dll.

Sementara itu peneliti di Indonesia, Sunarwiyati (dalam Masngudin, 2004),

(54)

dari rumah tanpa pamit. Kedua, kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan

kejahatan, seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang miliki orang lain tanpa izin. Ketiga, kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan

seks diluar nikah, pemerkosaan, penganiayaan, penyiksaan, pembunuhan dan lain-lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi-dimensi perilaku

delinkuensi dibagi menjadi 2 yaitu, index offenses dan status offenses. Pendapat mengenai bentuk-bentuk kenakalan remaja yang dikemukakan oleh santrock (2003)

sesuai dengan fenomena yang terjadi sehari-hari. Terdiri dari tindakan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial, tindakan pelanggaran ringan, dan tindakan

pelanggaran berat.

D. Landasan Teori

Tokoh ilmuan yang mewakili andil utama sebagai perintis interaksi simbolik adalah G. Herbert Mead. Menurut Mead, inti dari interaksi simbolik adalah tentang “diri”

(self), menganggap bahwa konsepsi diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Bagi Mead, individu adalah makhluk

yang bersifat sensitif, aktif, kreatif dan inovatif. Lebih jauh, Mead menjelaskan bahwa konsep “diri” (self) dapat bersifat sebagai objek dan subjek sekaligus. Objek

yang dimaksud berlaku pada dirinya sendiri sebagai karakter dasar dari makhluk lain, sehingga mampu mencapai kesadaran diri (self consciousness), dan dasar mengambil

(55)

“diri” muncul dalam proses interaksi karena manusia baru menyadari dirinya sendiri

dalam interaksi sosial (Ahmadi, 2005)

Sejalan dengan Mead, menurut Herbert Blumer (dalam Hidayati, 2006) pendekatan

interaksi simbolik adalah adanya interaksi antara seseorang dengan orang lain akan memunculkan makna (meaning) tertentu. Ada tiga pokok pikiran dari teori

interaksionisme simbolik, yaitu pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut baginya. Kedua, makna yang dimiliki sesuatu tersebut muncul dari interaksi sosial seseorang dengan sesama. Ketiga, makna

diperlakukan atau diubah melalui proses penafsiran.

Remaja adalah bagian umur yang sangat banyak mengalami kesukaran dalam hidup

manusia di mana remaja masih memiliki kejiwaan yang labil dan justru kelabilan jiwa ini mengganggu ketertiban yang merupakan tindakan kenakalan. Masalah remaja yang paling banyak disoroti akhir-akhir ini adalah masalah remaja nakal atau

delinkuen. Kartono (1998), dalam mengartikan delinkuen lebih mengacu pada suatu bentuk perilaku menyimpang, yang merupakan hasil dari pergolakan mental serta

emosi yang sangat labil dan defektif.

Perilaku nakal remaja atau perilaku delinkuen yang terjerumus kedalam tindakan penyimpangan sosial ini merupakan aplikasi dari ideologi yang telah tertanam di dalam pemikiran mereka, yang selanjutnya merupakan implementasi dari “konsep

diri” Menurut John Kinch (dalam Ramadhani, 2009) yang mengemukakan bahwa

(56)

tingkah laku seseorang. Apabila sejak kecil ia diterima, disayangi dan selalu dihargai,

maka ia akan mengembangkan konsep diri yang positif. Sementara itu pengalaman sosial yang buruk seperti ditolak, dicela, akan membentuk konsep diri yang negatif.

Faktor lain yang ikut mempengaruhi perilaku delinkuen remaja adalah pergaulan dengan teman sebaya. Menurut Hartono (1998) berpendapat bahwa remaja terkadang banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya melebihi waktu yang

mereka habiskan dengan orang tua dan anggota keluarga yang lain, oleh karena itu, pengaruh dari teman sebaya biasanya lebih dominan bila di bandingkan dengan

(57)

Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pikir

(58)

E. Hipotesis

Hipotesis yang hendak diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah :

1. H0 = Tidak ada hubungan antara konsep diri dengan perilaku delinkuen remaja

pada siswa-siswi kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung?

Ha = Ada hubungan antara konsep diri dengan perilaku delinkuen remaja pada

siswa-siswi kelas X dan XI SMK Surya Dharma Bandar Lampung?

2. H0 = Tidak ada hubungan antara pergaulan teman sebaya dengan perilaku

delinkuen remaja pada siswa-siswi kelas X dan XI SMK Surya Dharma

Bandar Lampung?

Ha = Ada hubungan antara pergaulan teman sebaya dengan perilaku delinkuen

(59)

III. METODE PENELITIAN

A.Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah kuantitatif ekspalanatoris, yaitu untuk memperoleh

kejelasan atau menjelaskan suatu fenomena, menjelaskan hubungan dan menguji hubungan antar variabel yang diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menguji

hipotesis dengan statistik korelasional untuk generalisasi data sampel pada populasi dengan menarik sampel random dari suatu populasi yang diteliti.

B.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di SMK Surya Dharma Bandar Lampung, Jl. Kimaja Gg Pertama No.1 Way Halim Kecamatan Bandar Lampung.

Adapun alasan peneliti memilih SMK Surya Dharma dikarenakan SMK yang notabene kenakalan remajanya tinggi dimana peneliti melakukan serangkaian penelitian yang menyangkut dengan perilaku delinkuensi remaja, sehingga dengan

(60)

C.Definisi Konseptual

Adapun definisi konseptual dalam penelitian ini adalah :

1. Konsep Diri (X1)

konsep diri adalah persepsi individu terhadap diri sendiri yang mencakup keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan

orang lain. Konsep diri ini memiliki 3 dimensi mengenai gambaran terhadap diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang diri, pengharapan bagi diri dan

penilaian terhadap diri sendiri.

2. Pergaulan Teman Sebaya (X2)

Pergaulan masa muda di luar keluarga dapat disebut persahabatan atau pertemanan. teman sebaya adalah adalah kelompok sosial yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki usia sebaya, teman sebaya dapat dijadikan sebagai

tempat para remaja belajar bersosialisasi dengan orang lain dan belajar bertingkah laku sesuai dengan norma yang ada dalam kelompoknya. Pergaulan mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kepribadian seorang individu. Pergaulan

yang ia lakukan itu akan mencerminkan kepribadiannya, baik pergaulan yang positif maupun pergaulan yang negatif. Pergaulan yang positif itu dapat

(61)

3. Perilaku Delinkuen Remaja (Y)

Perilaku delinkuen remaja atau Juvenile delinquency adalah perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kanakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis)

secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang

menyimpang. Segala kenakalan yang dilakukan oleh anak yang muncul merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi anak.

D.Definisi Operasional Variabel

Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah :

(62)
(63)

2. melanggar nilai dan

Populasi adalah seluruh subyek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan

Gambar

Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pikir
Tabel 3.1. Kerangka Instrument Penelitian.
Tabel 4.1 Identitas Responden Menurut Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Identitas Responden Menurut Usia
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Untuk mendapatkan data yang akurat, mengenai alasan perkawinan di bawah umur di KUA Kecamatan Sayung dan Mranggen kabupaten Demak tahun 2016-2017 dan faktor apa saja

The thing to note about config servers is that no configuration can change while a config server is down—you can’t add mongos servers, you can’t migrate data, you can’t add or

Seluruh dosen Universitas Bina Nusantara yang telah memberikan bekal ilmu dan tuntunan selama penulis menjalankan studi Universitas Bina Nusantara sehingga ilmu

membahas tentang makna denotatif dan konotatif pada reklame, slogan, dan poster. Berdasarkan penelitian tersebut guru dapat mengarahkan siswa betapa pentingnya pemahaman mengenai

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan segala karunia, nikmat dan rahmat Nya yang tak terhingga kepada penulis,

Bila menyerang sapi bunting dapat menyebabkan abortus path usia kebuntingan 2-9 bulan dan sangat menular. Penularan dapat lewat oral atau parental, urin atau feces. Infeksi path

Pada bab empat menjelaskan mengenai perkembangan program dan pelaksanaan MUI kota Surabaya baik di bidang organisasi atau sekretariatan, bidang fatwa dan hukum, bidang