• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PENANGANAN KONFLIK AGAMA (Studi Kasus Konflik Implementasi Penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL PENANGANAN KONFLIK AGAMA (Studi Kasus Konflik Implementasi Penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

RELIGIOUS CONFLICT MANAGEMENT MODEL (Conflict Case Study Implementation Issuance of Building

Permit (IMB) Grace Church Pentecostal Movement Kedaton Bandar Lampung) FKUB. While secondary data obtained through government authorities handle the IMB and literature studies or literature. The results of this study show a wide range of social conflicts that occur in the process of building permit issuance, namely: (1) the villages that make IMB, (2) the refusal to public figures who have different beliefs with the church, and (3) political interests carried out by the government. Model of conflict resolution that has been done in accordance with the problems that occur are: (1) property, the church attempted to secure an obligation to provide a place of worship to others who do not agree, (2) Sharing, the church did several approaches to the public, community leaders and government to deliver all the desires and expectations in order to avoid widespread conflict and IMB can be realized (3) compromise, this is done by all parties concerned the conflict in order to resolve the conflict with the right solution (4) Conciliation, the church doing this handling model to the community leaders and the government. Make an effort to reconcile the desire of the parties in order to reach mutual agreement. And there is also medel conflict handling is done, namely: (5) Mediation, (6) Integration, (7) Conciliation.

_______________________________

(2)

ABSTRAK

MODEL PENANGANAN KONFLIK AGAMA

(Studi Kasus Konflik Implementasi Penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

Kedaton Bandar Lampung)

Oleh

FANNY PANGARIBUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model penanganan konflik yang dilakukan pihak Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah dalam proses mendapatkan surat izin mendirikan Bangunan (IMB). Penelitian ini bersifat kualitatif. Data primer doperoleh melalui wawancara dan observasi dengan pihak gereja, masyarakat dan anggota FKUB. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui pihak pemerintah yang berwenang menangani proses IMB dan studi kepustakaan atau literatur. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadinya berbagai macam konflik sosial yang terjadi pada proses penerbitan IMB, yaitu: (1) pihak kelurahan yang mempersulit IMB, (2) penolakan yang dilakukan tokoh masyarakat yang memiliki perbedaan keyakinan dengan pihak gereja, dan (3) kepentingan politik yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Model penanganan konflik yang telah dilakukan sesuai dengan masalah yang terjadi adalah: (1) Akomodasi, pihak gereja berupaya meminta kewajiban untuk menyediakan tempat ibadah kepada pihak lain yang tidak menyetujui, (2) Sharing, pihak gereja melakukan beberapa pendekatan kepada masyarakat, tokoh masyarakat dan pemerintah dengan menyampaikan segala keinginan dan harapan agar tidak terjadi konflik yang meluas dan surat IMB dapat terealisasi (3) Kompromi, hal ini dilakukan dengan semua pihak terkait konflik agar dapat menyelesaikan konflik dengan solusi yang tepat (4) Konsiliasi, pihak gereja melakukan model penanganan ini kepada pihak tokoh masyarakat dan pihak pemerintah. Melakukan usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak terkait sehingga tercapai persetujuan bersama. Dan ada juga medel penanganan konflik yang dilakukan, yaitu: (5) Mediasi, (6) Intergrasi, (7) Konsiliasi.

_______________________________

(3)
(4)

(Studi Kasus Konflik Implementasi Penerbitan Surat Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

Kedaton Bandar Lampung)

(Skripsi)

Oleh

Fanny Pangaribuan

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR GAMBAR

(6)

DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

2. Macam-macam Penyebab Konflik ... 11

B. Tinjauan Izin Mendirikan Rumah Ibadah ... 13

C. Tinjauan tentang Peraturan/Persyaratan Pendirian Rumah Ibadah ... 16

D. Tinjauan Penyeban dan Konflik Pendirian Rumah Ibadah... 24

E. Tinjauan Penanganan Konflik Rumah Ibadah ... 25

(7)

III. METODE PENELITIAN ... 36

A. Pendekatan Penelitian ... 36

B. Fokus Penelitian ... 37

C. Teknik Pengumpulan Data ... 38

1. Teknik Penentuan Informan ... 40

2. Lokasi Penelitian ... 41

3. Teknik Analisis Data ... 42

IV. LOKASI PENELITIAN ... 43

A. Visi dan Misi Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah ... 45

B. Panggilan dan Tugas Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah ... 47

C. Kepenguruan Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah ... 50

D. Sumber Daya Manusia ... 54

. V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Sejarah Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung ... 58

B. Peranan dan Proses Penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Gerakan Pentakosta (GGP) Anugrah ... 59

1. Peran Masyarakat ... 59

2. Peran Pemerintah ... 63

3. Peran Pengurus Gereja ... 64

4. Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ... 65

(8)

(GGP) Anugrah ... 74

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Anggota Jemaat Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

Menurut Pendidikan Tahun 2014 ... 57 Tabel 2 Jumlah Anggota Jemaat Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

Menurut Pekerjaan Tahun 2014 ... 59 Tabel 3 Jumlah Jemaat Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

(10)
(11)
(12)
(13)

MOTO

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan

-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai

kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu

rancangan damai sejahtera dan bukan

rancangan kecelakaan, untuk memberikan

kepadamu ha

ri depan yang penuh harapan”

(14)

Puji Syukur untuk Tuhan Yesus Kristus yang selalu setia hingga karya kecil ku ini dapat selesai. Anak Tuhan emang harus tahan banting. Luar biasa penyertaanMu Tuhan. Makasi Papa Jesus.

Dengan segala kerendahan hati ku persembahkan karya sederhana ini Kepada kedua orang tuaku, yang selalu memberi dukungan dan berdoa untuk keberhasilanku. Opung, mama, bapak, abang atin, dio. Makasi semuanya.

Keluarga besar PDO FISIP, wahhh luar biasa kalian semua. Makasi buat smuanya kamen-mamen kakak-abang-adik-temen-temen Smua. Takkan terlupakan deh Muuacchhhh.

(15)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Januari 1992. Penulis

bernama lengkap Fanny Pangaribuan. Saat ini penulis tinggal di

Kampung Baru No. 23 Panjang Bandar Lampung.

Pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis

1. SD Negeri 2 Panjang, diselesaikan tahun 2004, 2. SMP Xaverius Panjang, diselesaikan tahun 2007

3. SMA Negeri 8 Bandar Lampung, diselesaikan tahun 2010. Selanjutnya pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi dan

berhasil menjadi Mahasiswi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, melalui jalur PKAB.

Selama menjalani studi, penulis juga aktif mengikuti berbagai organisasi internal yang

ada di kampus. Penulis pernah menjadi pewawancara pada penelitian PRC (Polmark Research Center). Penulis juga aktif mengikuti kegiatan rohanian Kristen dengan menjadi pengurus Persekutuan Doa Oikoumene (PDO) FISIP sebagai Sekertaris Bendahara pada

periode 2013-2014. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kepanitiaan

Persekutuan Doa Oikoumene dan mengikuti acara unit Kegiatan Mahasiswa Kristen

Unila (UKMK-U).

Penulis mempraktekkan ilmu yang telah diperoleh di bangku kuliah dengan

melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik selama 31 hari pada bulan

(16)

Segala puji bagi Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan peyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul MODEL PENANGANAN KONFLIK AGAMA (Studi Kasus Konflik Implementasi Penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis sangat menyadari banyak sekali bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Erna Rohana M.Si. selaku dosen pembimbing penulis, terima kasih atas waktu, motivasi, bimbingan, saran dan kesabarannya dalam proses penulisan skripsi ini, sehingga saya dapat meraih gelar Sarjana Sosiologi (S.Sos) di Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Ikram M.Si. selaku pembimbing akademik penulis dan sekaligus sebagai dosen penguji, terima kasih telah memberikan saran dan pengetahuan yang sangat berarti dalam kesempurnaan skripsi ini.

(17)

5. Ibu Dra. Anita Damayantie, M.H. selaku Sekretaris Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

6. Para dosen yang telah memberikan input ilmu pengetahuan dalam proses

pembelajaran dan inspirasi besar dalam hidup penulis, Pak Ben, Pak Syani, Pak

Hartoyo, Pak Suwarno, Bung Pay, Pak Gede, Pak Sindung, Pak Fahmi, Ibu Anita,

Ibu Paraswati, Ibu Dewi, Ibu Vivit, Ibu Yuni. Terima kasih untuk setiap

pengetahuan dan motivasi baru yang penulis peroleh setiap hari selama kuliah.

7. Seluruh staf administrasi dan karyawan di FISIP Unila yang membantu dan melayani urusan administrasi perkuliahan dan skripsi.

8. Pdt. Mansyukur yang memiliki peranan luar biasa dalam skripsi ini. Terima kasih

banyak pak.Tuhan Berkati

9. Pdt. Rully Rorong yang setia membantu penyelesaian skripsi ini, para informan

Gereja Gerakan Pentakosta (GGP) Anugrah dan Pdt. Piet Mensana selaku

pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), terima kasih telah

memberikan pelajaran berharga bahwa anak Tuhan harus jadi teladan terimakasih

juga buat informasi, dan data-data yang sangat berharga dalam proses

penyusunan skripsi ini. Tuhan Berkati

10.Emakk dan bapak tercinta, walaupun sering marah-marah buat kejer skripsi. Makasi buat kasih sayang, doa, kesabaran.

11.Abang-abang tersayang. Makasi ya bang Atin, Dio.

(18)

telat masuk kelas, Monalia, Peni, Ayu, Emi, Desti, Arini, makasi buat semua perhatiannya, canda tawanya, kalian sahabat yang baik. Kawan-kawan Sosiologi 2010 yang lain yang tidak dapat dituliskan satu persatu. Terima kasih telah menjadi bagian dalam perjalanan menggapai kesuksessan ini.

14.Keluarga kecilku yang sangat LUAR BIASA di PDO FISIP. Abang-abang yang slalu bantu, kasih semangat, bikin ketawa, bang Sabar (makasi ya bang waktu itu udah nemenin nyari dompetku yang ilang), bang Jhon (yang selalu ngatain aku reteng), bang Icon, bang Bulu (makasii ya abang bimbingannya di PDO abang baik bangett), buat Bango (abang jangkung yang suka ngelawak hahaa makasi bang ledekan-ledekannya ditunggu surat undangannya ya haaa), bang Cichkkoo abangku yang suka diem-diem ini hahaa makasi bang, bang Erick, bang Sakai, bang Aldo, bang Rian, bang Anton,dan abang-abang yang lainnya. Hahaha

(19)

kaliannn). Gak lupa juga buat Yesi Tarigan, Gadis, Yohana, Tomi, Tika, Vero smangat ya deksss.

15.Buat yang baru jadi kakak. Adek-adekku 2013: Angel, Cici, Decil,Devi, Simiil, Gita, Hendriko, Jesica, Riko, Satria, Tioma, Yolanda, Vania, Opunggg smangatt ya dek buat kuliah dan pelayanan kalian 

16.Tiga kali jadi kakak diskusi pengalaman berharga banget. Adek-adekku 2012 Infantri, Viyana, Friska, Vera, Ade, Dian, Icay makasi buat mug cantikknya 

Adek diskusi aku 2013 yang kece badai: Bobi, Sarah, Maria, Kesy, Parasian, Fajar, Yulia, Ega, Yohanes. Makasii ya buat kebersamaannya dengan kado-kado yang kocak 

Diskusi 2014 : Derick, Rendi. Pram, Malini, Dewi, Desi, Esra, Priska, Sonang. Kalian luar biasa. Tetap Takut Akan Tuhan ya adekku.

17.Teman-teman KKN Tematik 2013 Desa Mulyo Sari. Terima kasih untuk kebersamaan, kekompakkan kita, dan perbedaan melahirkan kenangan yang tak terlupakan.

18.Penulis hanya bisa berdoa semoga Tuhan Yesus membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis

(20)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama adalah penghubung antara manusia dengan Tuhan. Setiap manusia berhak menganut agama sesuai dengan keinginannya. Berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1945 tentang Hak Kebebasan beragama tentu membawa pengaruh besar terhadap seseorang dengan keyakinannya. Didalam suatu negara kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan merupakan isu baru, karena sejak awal berdirinya suatu negara, agama dan keyakinan yang hidup di negara tersebut menjadi bagian penting dalam pembentukan karakter. (Hendropuspito 1983)

(21)

Macam-macam agama yang ada khususnya di Indonesia, menjadikan hal tersebut menimbulkan adanya perbedaan. Setiap agama memang memiliki perbedaan, sehingga dibutuhkan suatu hal untuk menyatukan perbedaan tersebut. Titik tengah persoalan akibat dari perbedaan ini adalah pemerintah yang merupakan pihak yang paling utama dalam hal pelaksanaan kepemerintahan atau sistem kepemerintahan yang ada didalamnya, baik itu dalam hal agama, pembangunan, peraturan, pelayanan masyarakat, dan lain-lain. Peran penting pemerintah adalah melayani setiap kebutuhan masyarakat dengan mewujudkan demokrasi khususnya dalam hal keyakinan. Tidak kalah penting dengan peran pemerintah, toleransi antar umat beragama pun menjadi suatu titik hak kebebasan beragama dapat benar-benar terealisasi.

Toleransi dan kebebasan adalah dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan satu sama lainnya. Toleransi ada karena adanya kebebasan dan kebebasan ada karena adanya toleransi. Toleransi dan kebebasan adalah syarat mutlak bagi masyarakat plural maupun homogen, demi terciptanya masyarakat yang dinamis dan kondusif. Kebebasan berfikir, memilih, dan berkarya hanya mungkin terjadi ketika masyarakat dalam suatu bangsa siap untuk menerima perbedaan (toleran) serta mengakui bahwa perbedaan pandangan atau keyakinan tidak bisa dipaksakan.

(22)

terhadap sesuatu yang ia setujui. Sedangkan kebebasan ialah, seseorang mampu memilih bertindak tanpa campur tangan orang lain. (Fedyani, 2011). Di Negara Indonesia yang memiliki keragaman budaya dan etnis masih diperhadapkan dengan sikap teleransi yang rendah pada masyarakatnya. Diberbagai tempat juga masih banyak terjadi kekerasan bernuansa agama dan itu semua akibat dari sikap yang tidak mau menerima perbedaan.

Toleransi mempunyai tiga bentuk, yaitu :

1. Sisi negatif, yaitu isi ajaran dan penganutnya tidak di hargai, tapi di biarkan saja karena terpaksa

2. Sisi positif, yaitu isi ajaran di tolak, tetapi penganutnya di terima serta di hargai;

3. Sisi eukumenis, yaitu isi ajaran dan penganutnya di hargai karena karena dalam ajaran mereka itu terdapat unsur-unsur kebenaran yang berguna untuk memperdalam pendirian dan kepercayaan sendiri. (Fedyani, 2011).

(23)

Beberapa peristiwa konflik sosial yang disebabkan oleh persoalan rumah ibadah masih terus terulang dan belum ada model penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Sederet peristiwa konflik karena persoalan rumah ibadah masih mewarnai kehidupan umat beragama di Indonesia. Fenomena tersebut jika ditelusuri akar masalahnya terjadi karena adanya prasangka (prejudice) baik yang bersumber pada masalah agama itu sendiri maupun dari faktor lainnya. Jika agama menjadi faktor penyebab utama tentu kejadian seperti ini berlangsung sejak Indonesia merdeka atau bahkan sebelumnya.

Dalam sejarah konflik antar agama di Indonesia, tempat ibadah selalu menjadi pelampiasan amarah, perusakan, dan pembakaran. Hal-hal seperti inilah yang menjadi tugas besar bagi pihak pemerintah untuk dapat mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Keberadaan birokrasi pemerintah menjadi hal yang tidak ditawar lagi yakni sebagai pelayanan masyarakat maka seyogyanya pemerintah dituntut agar mampu memberi pelayanan yang terbaik. (Kumorotomo,2006).

Upaya mencegah konflik yang terkait dengan persoalan tempat ibadah tersebut, pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No. 1/Ber/MDN-MAG/ 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh

Pemeluk-Pemeluknya. Dalam SKB ini antara lain disebutkan bahwa

(24)

pendapat kepada perwakilan Departemen Agama setempat dan bila perlu meminta pendapat ulama atau rohaniawan di daerah itu.

Keberadaan SKB tersebut dirasa cukup memojokan kaum minoritas, terlebih umat Kristen-Katolik, aturan ini dianggap sangat membatasi. Bagi umat Islam yang kebetulan secara komposisi minoritas di sebuah wilayah juga akan terkena dampak yang menyulitkan dari SKB ini. Dengan alasan bahwa umat Kristen dianggap yang paling dirugikan dengan diberlakukannya SKB ini, maka melalui Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), pernah melontarkan usulan akan perlunya pemerintah mencabut SKB tersebut. Dalam praktik di lapangan, pemberlakuan SKB tersebut menemui berbagai kendala. Hal ini terjadi karena beberapa faktor antara lain bahwa dalam SKB tersebut masih terdapat kalimat multitafsir sehingga tidak ada kejelasan mengenai siapa yang disebut sebagai pemerintah daerah, siapa yang disebut sebagai pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu, dan siapa yang disebut sebagai organisasi keagamaan dan ulama atau rohaniawan setempat.

Berbagai persyaratan diberlakukan untuk memperoleh surat izin mendirikan bangunan rumah ibadah, pemohon harus mengajukan permohonan dengan memenuhi persyaratan tersebut :

1. Instansi yang menangani permohonan akan melihat berbagai persyaratan yang ada, termasuk rekomendasi dari instansi terkait.

(25)

maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Inilah sebagian kecil persyaratan yang dibutuhkan dalam izin pendirian rumah ibadah. Namun demikian, sistem perizinan tersebut dalam kasus-kasus tertentu juga terkadang masih saja menimbulkan masalah. Hal ini berkaitan dengan kepastian hukum, dalam asas umum pemerintahan yang baik, masuk kategori fair play. Maksudnya apabila syarat-syarat izin sudah terpenuhi maka tidak ada alasan untuk menunda penerbitan perizinan tersebut, siapapun pihak yang mengajukannya atau dari pemeluk agama apapun juga. Persoalan tersebut sudah merupakan masalah penerapan hukum yang diselenggarakan dalam tingkat teknis birokrasi sehingga dalam pelaksanaannya pendirian rumah ibadah tidak selalu disertai konflik antar umat beragama.

(26)

sehingga membuat beberapa pihak saling merasa dirugikan dan terjadi konflik yang semakin membesar.

Berangkat dari permasalahan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui sebab dari sulitnya mendapatkan surat izin mendirikan bangunan rumah ibadah pada Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung. Alasan peneliti melakukan penelitian pada Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung dikarenakan Proses panjang yang dialami pihak pengurus gereja tersebut dalam hal penerbitan surat izin mendirikan bangunan (IMB) yang terealisasi selama kurang lebih lima belas tahun. Pada kenyataannya pihak gereja mengalami proses yang berbelit-belit. Warga yang tidak termasuk pada lingkungan wilayah geraja tidak menyetujui adanya pendirian gereja di wilayah tersebut bahkan disaat pihak gereja sangat taat pada aturan yang berlaku. Peneliti juga ingin mengetahui bagaimana model penanganan konflik yang dilakukan baik dari pihak pendiri rumah ibadah, masyarakat, maupun pihak pemerintah sehingga pada akhirnya surat izin mendirikan bangunan (IMB) dapat terealisasi pada gereja tersebut. Karena pada hakekatnya, kebebasan beragama merupakan suatu hal yang harus dimiliki semua orang bukan memperkuas ketidakadilan di masyarakat.

B. Rumusan Masalah

(27)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berjudul Model Penanganan Konflik Implementasi Penerbitan Surat Izin Mendirikan Gereja adalah memperoleh informasi penyebab sulitnya mendapatkan Surat Izin Mendirikan Bangunan Gereja pada Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung serta mengetahui model penanganan konflik yang telah dilakukan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara akademis maupun praktis:

1. Secara akademis, sebagai salah satu upaya untuk memperkaya kajian ilmu terkait Izin Mendirikan Bangunan.

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Konflik 1. Pengertian Konflik

Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Konflik adalah adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang (masalah intern) maupun dengan orang lain (masalah ekstern) yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai kepada mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai pengahalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing. (Maris,2006)

Substantive conflicts merupakan perselisihan yang berkaitan dengan tujuan kelompok, pengalokasian sumber dalam suatu organisasi, distrubusi kebijaksanaan serta prosedur serta pembagaian jabatan pekerjaan. Emotional conflicts terjadi akibat adanya perasaan marah, tidak percaya, tidak simpatik, takut dan penolakan, serta adanya pertantangan antar pribadi (personality clashes). (Antonius, 2002)

(29)

di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu diidentifikasikan dengan komunikasi yang tidak efektif yang menjadi kambing hitam. Keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.

Teori konflik menurut Bapak Sosiologi Konflik Georg Simmel muncul karena adanya inretaksi antar individu antar kelompok. Masalah mendasar dari setiap masyarakat adalah konflik antara kekuatan-kekuatan sosial dan individu, karena sosial melekat kepada setiap individu dan sosial dan unsur-unsur individu dapat berbenturan dalam individu, meskipun pada sisi lain dari konflik merupakan sarana mengintegrasikan individu-individu. Karena setiap individu meiliki kepentingan yang berbeda-beda dan adanya benturan-benturan kepentingan tersebut mencerminkan dari sikap-sikap individu tersebut dalam usahanya memenuhi kebutuhannya, dari sikap yang nampak ini Simmel memiliki sebuah pemikiran yang menghasilkan konsep individualisme ini (dari kepribadian yang berbeda) terwujud dalam prinsip-prinsip ekonomi, masing-masing, persaingan bebas dan pembagian kerja. (Ritzer, Goodman 2004).

(30)

a. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

c.Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.

(31)

memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. (Maris, 2006)

Asumsi setiap orang memiliki kecenderungan tertentu dalam menangani konflik. Terdapat 5 kecenderungan:

1. Penolakan: konflik menyebabkan tidak nyaman 2. Kompetisi: konflik memunculkan pemenang

3. Kompromi: ada kompromi & negosiasi dalam konflik untuk meminimalisasi kerugian

(32)

5. Kolaborasi: mementingkan dukungan & kesadaran pihak lain untuk bekerja bersama-sama. Raipeza (2008)

Ada lima macam konflik yang dapat kita indentifikasi dalam sebuah organisasi atau lembaga, yaitu:

1. Konflik dalam diri individu (intrapersonal)

2. Konflik antar individu (interpersonal)

3. Konflik antara individu dan kelompok (intragroup)

4. Konflik antar kelompok (intergroup)

5. Konflik antar organisasi (interorganisasi).

B.Tinjauan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadah

Bangunan adalah cara bangunan itu dapat melayani pemakainya dalam suatu kegiatan yang mengandung proses. Bangunan berfungsi dengan baik jika semua unsur diatur dengan baik sehingga tidak terjadi hambatan dalam operasinya. Bangunan juga diartikan sebagai suatu yang didirikan, atau sesuatu yang dibangun (seperti rumah, gedung, menara) bangunan menjelaskan bahwa yang dimaksud bangunan ialah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau perairan. (Mardiasmo,2003)

(33)

Bangunan (IMB) yang selalu membuat kesejahteraan umat kristiani resah. (Korten, David C. 1985)

Mendirikan bangunan adalah mengadakan, memperbaharui, memperluas, mengubah, membongkar, memperbaiki, suatu bangunan atau bagian dari padanya atau melakukan pekerjaan tanah untuk keperluan pekerjaan tersebut. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah Izin yang diberikan Pemerintah kepada orang pribadi atau Badan untuk mengadakan suatu bangunan yang direncanakan, agar gambar rencana, rencana tamak sesuai dengan Tata Ruang yang telah ditentukan, rencana kostruksi bangunan dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud untuk melindungi kepentingan penghuninya, kepentingan umum serta menjaga kelestarian lingkungan. (UU RI No.28/2002)

(34)

Melalui IMB, pemegang izin mendapatkan pegangan ketika melakukan kegiatan yang berhubungan dengan bangunan, karena bangunan yang didirikannya sesuai dengan perencanaan tata ruang, sehingga tidak mungkin ada penggusuran karena melanggar rencana tata ruang. IMB juga digunakan untuk pengaturan sehingga kontruksi dan bahannya memenuhi standar keselamatan, pendiriannya tidak mengganggu lingkungan sekitar (misalnya lalulintas jalan, tidak mengganggu cagar budaya dan lain sebagainya). Jelasnya bahwa seseorang yang akan mendirikan bangunan jika mengabaikan kaidah-kaidah tersebut di atas IMB tidak akan dikeluarkan oleh Pemerintah. (Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2007)

IMB (Izin Mendirikan / Merubah / Merobohkan Bangunan) merupakan legalitas yang sah atas luas bangunan yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah yang berwenang (Dinas Tata Kota) berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota (untuk Kota Madya) dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan IMB dan membayar restribusi yang telah ditetapkan berdasarkan luas bangunan yang diajukan. (SKB No. 1 Tahun 1969)

(35)

kuat. Ada beberapa hal yang memudahkan pemilik ketika sudah memiliki Surat Izin Mendirikan Bangunan, seperti :

1. Tata letak ruang, tata tetak bangunan dan tata lingkungan menjadi teratur dan tertata sesuai dengan ketentuan teknis tata ruang dan tata bangunan sehingga sangat bermanfaat bagi tata lingkungan kehidupan manusia dan alam.

2. Melestarikan budaya arsitektur.

3. Memiliki kepastian hukum terhadap bangunan yang dimiliki.

4. Dapat memudahkan dalam pengurusan : Kredit Bank, Ijin Usaha dan dapat meyakinkan pihak-pihak yang memerlukan dalam transaksi jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Menunjang kelangsungan pembangunan Daerah melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

C.Tinjauan tentang Peraturan/Persyaratan Pendirian Rumah Ibadah

Peraturan yang berkaitan dengan penerbitan surat Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadah seperti, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 – No. 8 tahun 2006 (atau sering disingkat Perber 2006) yang mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya yaitu tanggal 21 Maret 2006. Sebagaimana dimaklumi, pemberlakukan Perber 2006 tersebut telah menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.

(36)

Mendirikan Bangunan Rumah Ibadah yang selanjutnya disebut IMB Rumah Ibadah adalah ijin yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota untuk pembangunan rumah ibadah.

Dalam Perber 2006, mekanisme pendirian rumah ibadat diatur dalam Bab IV Pasal 13–17. Pasal 14 disebutkan:

1. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 tahun 2002.

2. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi : a) Daftar Nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat

paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

b) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala Desa;

c) Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; dan

d) Rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/Kota.

(37)

Dalam Pasal 18 dan 19 Perber 2006, pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadah sementara (ruko, hotel dll), harus mendapat surat keterangan pemberian ijin sementara dari Bupati/Walikota dengan memenuhi persyaratan: (a). Layak Fungsi sesuai dengan UU No. 28 tahun 2002 dan (b). Pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban masyarakat, meliputi: ijin tertulis pemilik bangunan; rekomendasi tertulis Lurah/Kepala Desa; pelaporan tertulis kepada FKUB dan kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Surat Keterangan tersebut berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

Untuk bangunan gedung rumah ibadah yang telah digunakan secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadah sebelum berlakunya Perber ini, maka menjadi kewajiban Bupati/Walikota untuk membantu memfasilitasi penerbitan IMB tersebut. (Pasal 28).

Melalui Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini, setidaknya ada beberapa ketentuan yang tidak terdapat di peraturan sebelumnya. Beberapa ketentuan tersebut diatur secara rinci dalam Bab IV pasal 13-17. Dalam Pasal 13 disebutkan mengenai ketentuan dukungan sosiologis dalam mendirikan rumah ibadah, disebutkan bahwa :

1. Pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa

(38)

ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan bangunan gedung.

3. Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.

Dalam pasal 14 juga disebutkan mengenai syarat administrasi dan dukungan komposisi jemaat dan warga setempat dalam pendirian rumah ibadah :

1. Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis

2. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :

1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

3. Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan

4. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

(39)

pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya alokasi pembangunan rumah ibadat.

Pada realisasinya terdapat pasal-pasal yang potensial menyebabkan konflik pada Peraturan Bersama ini seperti pada Pasal 1 yang tidak dijelaskan besarnya jumlah biaya administratif dan persyaratan teknis. Besar kemungkinan hal ini dijadikan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Pada Pasal 2 juga tidak dijelaskan bahwa dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) tersebut wajib kepala keluarga atau tidak.

Ada juga beberapa manfaat pada Peraturan Bersama ini. Secara teoritis, keberadaan Peraturan Bersama ini jauh lebih baik dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, yang tidak memberikan batas waktu penerbitan ijin, sehingga yang terjadi adalah waktu yang beralarut-larut untuk menunggu diterbitkannya izin, kendati semua persyaratannya sudah terpenuhi. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 16 ayat (2) yaitu Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(40)

tidak senang. Melihat kenyataan tersebut maka dejelaskan secara terperinci dalam Bab V Pasal 18 disebutkan :

1. Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan : a. layak fungsi ; dan b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.

2. Persyaratan layak fungsi sebagaimana dimaksud mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.

3. Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat meliputi:

a. izin tertulis pemilik bangunan ;

b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;

c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan

d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

(41)

sering diikuti dengan kepentingan dan konflik para missionaris agama. Namun dalam kenyataannya tetap memuai kontra permasalahan IMB.

Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan mengenai soal izin sementara tempat ibadah, Pertama, ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi umat beragama yang belum mampu mendirikan tempat ibadah permanen. Kedua, proses perizinan tidak mensyratkan jumlah pengguna dan dukungan masyarakat setempat, yang penting adalah adanya kebutuhan nyata umat beragama akan rumah ibadah tersebut. Ketiga, ketentuan dua tahun batas berlakunya izin sementara bukan berarti tidak dapat diperpanjang. Keempat, ketentuan ini bisa membatasi munculnya “gereja ruko” dan meminimalisir konflik akibat kesalahpahaman soal tempat ibadah. (Rumadi, 2005)

Terlepas dari siapa yang ada di balik penyusunan Peraturan Bersama 2006 tersebut, sebagai produk hukum yang dibuat oleh menteri maka peraturan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai pihak yang menerbitkannya. Kendati secara teoritis jauh lebih bagus dibandingkan peraturan sebelumnya, namun Peraturan Bersama ini masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Masih ada yang perlu diperhatikan mengenai substansi hukum yang terkandung dalam regulasi tersebut, beberapa point yang perlu diperhatikan diantaranya berkenaan dengan :

(42)

sampai minimal 90 orang, dan harus mendapat izin minimal dari 60 orang warga setempat. Aturan ini diangap cukup menyulitkan bila dibandingkan dengan aturan sebelumnya yakni, SKB No. 1 Tahun 1969 yang hanya mewajibkan mandapatkan ijin dari Departemen Agama dan Ketua RT/RW setempat.

2. Sekalipun dibentuk oleh masyarakat, FKUB versi Peraturan Bersama tersebut masih berwajah birokratis dan struktural sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah, mengingat FKUB mendapat SK pengangkatan dari bupati/walikota. Struktur kepengurusan FKUB terdiri dari Ketua : Wakil Gubernur, Wakil Ketua : Kepala Kanwil Departemen Agama, Sekerteris : Kepala Badan Kesbangpol Provisnsi, anggota : Instansi terkait termasuk wakil kepolisian, TNI, dan Kejaksaan. Dengan struktur kepngurusan seperti ini bisa dipastikan bahwa posisi FKUB sangat sakti, berdiri atau tidaknya tempat ibadah amat sangat bergantung pada rekomendasi forum ini. Bahkan bisa saja keberadaan FKUB akan menjadi alat politik baru yang pada tingkat tertentu bisa merepresi masyarakat. 3. Adanya birokratisasi tempat ibadah yang terlalu berlebihan amat potensial

menyuburkan sentiment mayoritas-minoritas. Dapat dipastikan kelompok minoritas akan selalu dalam kontrol mayoritas.

(43)

5. Dengan birokrasi yang rumit dalam proses pendirian rumah ibadah, bukan tidak mungkin kalangan minoritas merasa dipersulit oleh kelompok mayoritas. Makanya tak heran jika peraturan ini dicurigai sebagai cara mayoritas menghambat minoritas, karena dengan SKB No. 1 Tahun 1969 yang lebih sederhana saja banyak kalangan yang mengeluhkan sulitnya mendpat izin pendirian tempat ibadah, apalagi dengan perturan yang lebih rumit seperti PBM ini.

D. Tinjauan Penyebab Dan Konflik Pendirian Rumah Ibadah

(44)

mengintimidasi warga negara atau mendiskriminasikan kelompok agama lain. Kerangka kedua adalah konflik sosial, karena tak dapat dipungkiri bahwa persoalan pendirian rumah ibadah seringkali berujung pada konflik sosial. Konflik terjadi manakala persaingan dan kompetisi untuk mencapai sebuah tujuan tidak memperoleh kanalisasi yang semestinya, sehingga akan melahirkan ketidakpuasan sebagai kondisi awal konflik. Konflik sosial senantiasa melibatkan dua kelompok sosial atau lebih, kelompok agama dalam hal ini juga merupakan kelompok sosial. Berbagai kelompok sosial dalam masyarakat di suatu wailayah memiliki posisi sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lainnya. Karena kelompok sosial memiliki posisi maka ia juga memiliki otoritas. Membaca konflik sosial penting memperhatikan otoritas dan posisi suatu kelompok sosial dalam masyarakat. Otoritas itu secara mendasar ditentukan oleh posisi basis sosial mereka dan kekuatan yang dimiliki dalam masyarakat untuk dapat melakukan hegemoni. (http://Stoner dan Wankel, 2011. Manajemen Diterjemahkan oleh Ais Zakiyudin. Di unduh pada tanggal 18 Mei 2014)

E.Tinjauan Penanganan Konflik Rumah Ibadah

Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas atau tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :

1. Kompetisi

(45)

2. Akomodasi

Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian. 3. Sharing

Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.

4. Kolaborasi

Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan masalah yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.

5. Penghindaran

Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain. (Maris, 2006)

Model Penanganan Konflik Agama di Indonesia menurut Rizal Panggabean (2008) dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM sebagai berikut:

(46)

konteks konflik horizontal. Paling tidak ada 3 hal yang memungkinkan praktik ini terus dilakukan: pertama, karena masyarakat kita belajar dari rezim otoriter mengenai penggunaan kekuatan/kekuasaan untuk menyelesaikan problem sosial, kedua, jurang yang lebar antara model penanganan berbasis kekuatan dan hak, dan yang ketiga, pendidikan kita yang lebih menekankan ketundukan dan kepatuhan kepada yang lebih berkuasa/berpengaruh, bukan berpikir kritis. Model penanganan ini tidak menyelesaikan masalah karena akar persoalannya tidak tersentuh.

(47)

pendekatan ini dapat menjadi delusi dan simbolik karena menjadi kelanjutan pendekatan berbasis kekuatan.

3. Pendekatan berbasis kepentingan atau interest-based approach, yang saat ini sedang diupayakan sebagai model penanganan alternatif dalam menyelesaikan konflik keberagaman di Indonesia. Dalam model ini, kewenangan paling besar ada di tangan pihak-pihak yang bertikai. Mereka sendiri yang menentukan model penyelesaian yang terbaik bagi mereka. Pendekatan ini lebih menjanjikan karena mengandaikan pihak yang berkonflik pada posisi setara, saling peduli dan mengakomodasi. Walaupun pendekatan ini belum menjadi arus utama dalam penanganan konflik agama di Indoensia, akan tetapi perlu terus diupayakan, dan model ini sebenarnya pernah dilakukan.

Berbagai macam penanganan konflik dilakukan agar menemukan jalan tengah pada permasalahan peraturan pendirian rumah ibadah, namun pada kenyataannya masih saja ada pihak yang selalu dirugikan akan peraturan tersebut.

Ada beberapa alternatif untuk menyelesaikan konflik yang tejadi. Secara umum, untuk menyelesaikan konflik dikenal beberapa istilah, yakni :

(1) pencegahan konflik; pola ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kekerasan dalam konflik,

(48)

(3) pengelolaan konflik; bertujuan membatasi atau menghindari kekerasan melalui atau mendorong perubahan pihak-pihak yang terlibat agar berperilaku positif;

(4) resolusi konflik; bertujuan menangani sebab-sebab konflik, dan berusaha membangun hubungan baru yang relatif dapat bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan,

(5) transformasi konflik; yakni mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas, dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada kekuatan positif. (Maris,2006)

Pickering dalam buku Kiat Menangani Konflik yang diterjemahkan Masri Maris 2006, mengkaji asumsi-asumsi dalam penyelesaian konflik adalah : (1) Kalah-Kalah; setiap orang yang terlibat dalam konflik akan kehilangan

tuntutannya jika konflik terus berlanjut,

(2) Kalah–Menang; salah satu pihak pasti ada yang kalah, dan ada yang menang dari penyelesaian konflik yang terjadi. Jika yang kalah tidak bisa menerima sepenuhnya, maka ada indikasi munculnya konflik baru;

(3) Menang-Menang: dua pihak yang berkonflik sama-sama menang. Ini bisa terjadi jika dua pihak kehilangan sedikit dari tuntutannya, namun hasil akhir bisa memuaskan keduanya. Istilah ini lebih popular dengan nama win-win solution di mana kedua belah pihak merasa menang dan tidak ada yang merasa dirugikan.

(49)

menyelesaikan masalah. Sementara itu, untuk menyelesaikan konflik ada banyak sekali model, di antaranya adalah sebagai berikut :

a) Model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian konflik yang tunggal.

b) Model penyelesaian menghindari konflik. Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik. Menaklukkan adalah pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik. Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri konflik.

(50)

perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama.

d) Model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi. Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik. Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Sementara itu, mediasi berarti pihak ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.

Keempat hal di atas hanyalah sebagian dari berbagai model penyelesaian konflik yang ada. Masih banyak lagi model-model penyelesaian konflik yang lain. Namun demikian, satu hal yang harus diingat adalah setiap konflik memiliki kompleksitas yang berbeda-beda sehingga tidak bisa mengambil salah satu model untuk langsung diterapkan begitu saja untuk menyelesaikannya. Harus dipahami secara sungguh-sungguh kerumitan dan kompleksitas konflik yang akan dicari jalan keluarnya. (http://Parker, 1974. Model Penanganan Konflik. Di unduh pada tanggal 3 Mei 2014)

Di sisi lain secara teori berbagai cara dan atau bentuk dalam menyelesaikan konflik yaitu :

(51)

mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.

2. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.

3. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.

4. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.

5. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.

(52)

Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :

a) Eliminasi, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.

b) Dominasi, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya.

c) Suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.

d) Kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.

e) Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik

f) Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan. (http://Robert 2001.Cara Memecahkan Konflik. Di unduh pada tanggal 22 April 2014)

F. Kerangka pikir

(53)

dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara, akibatnya masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat. Dalam hal ini menangani penerbitan Surat Izin Mendirikan Bangunan Gereja pada gereja-gereja khususnya Gereja Gerakan Pentakosta Kedaton Bandar Lampung. Dengan peraturan yang ada sangat diharapkan bisa meminimalisir konflik. Namun pada kenyataannya banyak sekali peraturan yang justru membuat konflik mengenai agama ini semakin membesar.

(54)

G. Skema Kerangka Berfikir

Gambar 1. Bagan Alur Kerangka Pemikiran

Kebebasan beribadah Kebebasan memilih

keyakinan Hak warga Negara

Indonesia Hak Kebebasan

Beragama UUD No 29 Tahun 1945

Konflik Sosial

Sulitnya mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan

(IMB) Gereja

Terciptanya Ketenangan dalam beribadah bagi umat Kristiani

Model Penanganan Konflik

Mengetahui sumber konflik

*Memperkecil resiko *Mengakhiri konflik

(55)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (2010), penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Noor (2009) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia, menekankan sifat realitas yang terbangun secara sosial, hubungan erat antara peneliti dengan subjek yang diteliti.

(56)

selama penelitian itu. (Lexy 2000)

B. Fokus Penelitian

Fokus Penelitian sangatlah diperlukan dalam suatu penelitian. Fokus penelitian bertujuan agar data penelitian tidak meluas. Fokus penelitian ini adalah: apa yang menyebabkan terjadinya konflik serta mengetahui model penanganan konflik yang dilakukan pihak Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah pada proses penerbitan surat izin mendirikan bangunan.

Peranan pemerintah menurut peneliti sangat besar kontribusinya bagi penanganan permasalahan umat kristiani yang ingin mendirikan bangunan rumah ibadah. Pemerintahah yang menjadi pihak yang berwenang dalam memberikan pelayanan kesejahteraan melalui penanganan perihal perndirian rumah ibadah terhadap umat kristiani guna terciptanya kesejahteraan bagi para umat kristiani dalam mendapatkan hak dan mengenai kewajiban yang harus dijalankan.

(57)

C. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Yin (2011), pelaksanaan pengumpulan data terdapat enam sumber yaitu: dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung, observasi, dan perangkat-perangkat fisik. Proses penelitian studi kasus menurut Yin adalah:

a. Mendefinisikan dan merancang penelitian. Peneliti melakukan kajian pengembangan teori atau konsep untuk menentukan kasus atau kasus-kasus dan merancang protokol pengumpulan data.

b. Menyiapkan, mengumpulkan, dan menganalisis data. Peneliti melakukan persiapan, pengumpulan, dan analisis data berdasarkan protokol penelitian yang telah dirancang sebelumnya.

c. Menganalisis dan menyimpulkan. Pada kasus tunggal, hasil penelitian digunakan untuk mengecek kembali kepada konsep atau teori yang telah dibangun pada tahap pertama penelitian.

Dalam pengambilan data dilaksanakan dalam dua model yaitu pengambilan data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer merupakan pengumpulan data yang diperoleh bukan dari instansi, melainkan berasal dari observasi langsung ke lapangan. Pengumpulan data sekunder didapatkan dari instansi-instansi terkait dengan obyek penelitian. Data primer diperoleh dengan cara.

a. Wawancara mendalam (indepth interview).

(58)

langsung. Pedoman wawancara disusun terlebih dahulu dan dapat dikembangkan sesuai dengan keadaan di lapangan. Penunjukan informan dengan prosedur purposif yaitu menentukan kelompok peserta yang mejadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian tertentu, (Bungin 2007).

Pada penelitian ini wawancara yang dilakukan adalah untuk menggali informasi mengenai sejarah gereja, konflik yang terjadi, serta penanganan yang dilakukan. Hal ini peneliti lakukan kepada pihak yang terkait dalam proses IMB Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah, yaitu: Pendeta Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah, pengurus gereja, ketua RT, dan Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

b. Pengamatan langsung ke lapangan.

(59)

Data sekunder diperoleh dengan cara:

a. Pemerintah yang berwenang menangani Penerbitan Surat Izin Mendirikan Rumah Ibadah.

b. Studi kepustakaan/literatur. Survei ini berkaitan dengan usaha mendapatkan informasi tentang Persyaratan mendapatkan Surat Izin Mendirikan Bangunan dari buku teks, internet, kliping koran, laporan kegiatan, dan lain-lain.

1. Teknik Penentuan Informan

Informan-informan penelitian ini adalah dari berbagai pihak seperti pengurus Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung dan beberapa jemaat gereja, pihak pemerintah yang berwenang menangani pendirian rumah ibadah, dan warga masyarakat disekitar Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung. Berdasarkan jenis data yang akan dikumpulkan, maka informan yang akan dimintai informasinya ialah yang mempunyai pengetahuan yang cukup luas mengenai masalah yang sedang diteliti.

Menurut pernyataan Sanggar Kanto (Bungin,2007), informan yang dijadikan subjek penelitian harus memenuhi beberapa kriteria yang sudah dipertimbangkan. Adapun kriteria informan yang digunakan untuk menentukan informan adalah sebagai berikut:

a. Informan mengetahui dengan jelas mengenai konflik yang terjadi dan model penanganan konflik yang dilakukan.

(60)

c. Waktu yang cukup, maksudnya informan mempunyai cukup banyak waktu atau kesempatan untuk dimintai informasi.

Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

a. Pengurus Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung, sebagai pihak yang berkaitan langsung dengan konflik peraturan pendirian rumah ibadah beserta beberapa umat kristiani jemaat gereja tersebut. b. Pihak pemerintah yang berwenang menangani pendirian rumah ibadah. c. Masyarakat atau warga sekitar lingkungan Gereja Gerakan Pentakosta

Anugrah Kedaton Bandar Lampung.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung. Dipilihnya lokasi ini berdasarkan beberapa pertimbangan:

1) Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung pernah menangani permasalahan sulitnya mendapatkan Surat Izin Mendirikan Bangunan Gereja.

2) Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung memiliki fungsi strategis di dalam proses penyelenggaraan kesejahteraan bagi umat kristiani di Bandar Lampung dalam hak mereka beribadah.

(61)

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunankan teknis analisis sebagai berikut:

a. Analisis deskriptif yaitu dengan menggambarkan model penanganan konflik yang dipilih dan dilakukan oleh Pengurus Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah Kedaton Bandar Lampung terkait konflik penerbitan surat Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadah.

(62)

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

Kecamatan Kedaton terdiri dari 7 kelurahan, yaitu: (1) Kelurahan Kedaton,

(2) Kelurahan Surabaya, (3) Kelurahan Sukamenanti, (4) Kelurahan Sidodadi,

(5) Kelurahan Sukamenanti Baru, (6) Kelurahan Penengahan dan (7) Kelurahan Penengahan Raya.

(63)

Gambar 2. Peta Administartif Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung Sumber: Perda Nomor 12 Tahun 2012

Pada tahun 1999 seorang hamba Tuhan berkerinduan untuk membangun sebuah gereja dimana ia memiliki tujuan agar umat Tuhan dapat bersama-sama bersekutu dan beribadah. Pada tahapan awal Pdt Rully menyediakan lahan dan rencana pembangunan ini akan berdiri di atas lahan seluas 281,5 M².

(64)

karunia Tuhan. Nama tersebut dibuat oleh Pdt. Rully Rorong yang menyadari bahwa kasih karunia atau pertolongan Tuhan selalu diberikan kepada gereja tersebut. Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah berada di Kelurahan Sidodadi Kecamatan Kedaton tepatnya di Jl. Sejahtera No 28 Kedaton Bandar Lampung. Untuk memantapkan keberadaannya, maka Pemerintah Kota Bandar Lampung telah menerbitkan surat izin Mendirikan Bangunan pada Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah pada tahun 2013.

A. Visi dan Misi Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

Gereja mempunyai aturan main yang tertuang dalam sebuah peranngkat peraturan yang disebut Tata Gereja (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). Dalam perangakat peraturan itu biasnya disebutkan tentang apa, siapa dan bagaimana gereja itu melaksanakan tugasnya sebagai tubuh Kristus. Tentunya tidaklah sama isi dari sebuah Tata Gereja dari setiap gereja (denominasi) yang ada, meskipun tidak dapat dipungkiri terdapat bagian-bagian yang sama di dalamnya. Dalam Tata Gereja juga biasanya ditemukan apa visi dan misi dari gereja itu dan bagaimana ia melaksanakan dan menjalankannya. Itulah yang menyebabkan gereja mampu menjalankan roda organisatorisnya sepanjang masa tanpa harus khawatir tentang apa yang dilakukan oleh kepemimpinan pada setiap periode, baik yang lalu, sekarang dan yang akan datang.

(65)

gereja. Sedangkan misi (Inggris : mission : cara, langkah, action) yang diperlukan oleh gereja dalam mencapai cita-cita/tujuan dari gereja itu sendiri.

Antara visi dan misi keduanya saling berkaitan dan melengkapi satu dengan lainnya dan tidak dapat dilepaspisahkan. Dalam proses kepemimpinan gereja, seluruh kegiatan dan perjalanan pelayanan gereja mengacu pada visi dan misi yang telah ditetapkan oleh gereja tersebut. Bukan saja hanya dalam program pelayanan gerejawi, akan tetapi tata kerja (manegemen) gereja juga juga diatur berdasar pada visi dan misi tersebut. Secara tersirat visi utama gereja adalah menghadirkan syalom (damai Sejahtera) Allah di tengah-tengah dunia demi terciptanya keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Gereja-gereja dari berbagai denominasi yang ada menterjemahkan hal ini ke dalam berbagai aspek kehidupan gereja mereka yang nantinya akan dicapai melalui langkah-langkah nyata dalam bergereja dan berjemaat. Gereja Gerakan Pentakosa memiliki visi dan misi sebagai berikut:

1. Visi Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

Mencari dan menyelamatkan jiwa yang hilang. Maksudnya adalah bagaimana Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah dapat menjadi wadah dan menyelamatkan jiwa-jiwa yang kehidupannya jauh dari Tuhan seperti kenakalan-kenakalan, seks bebas, cinta akan hal-hal duniawi, dan lain-lain.

2. Misi Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

(66)

menemukan setiap potensi yang dimiliki jemaat dan dapat mengembangkan seluruh potensi tersebut untuk kemuliaan nama Tuhan. (GGP Anugrah,2014)

Pengurus gereja juga telah menjelaskan kepada anggota jemaat dan mengajak seluruh jemaat untuk dapat membantu mencapai visi dam misi Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah. Pada prosesnya bahkan dalam menghadapi permasalahan penerbitan surat IMB, pihak Gereja Gerakan Pentakosta berupaya agar IMB dapat terealisasi karena bersamaan dengan adanya legalitas bangunan gereja visi dan misi secara bertahap akan tercapai. Diperjelas dengan pengakuan pdt Rully yang mengatakan:

“Tujuan Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah mencapai Visi dan misi secara bertahap. Pada prosesnya memang menemui banyak tantangan dan hambatan-hambatan. Tapi yah kalo dibilang karna IMB visi dan misi terhambat ya tidak juga, karena pada proses kurang lebih lima belas tahunpun kami tetap menjalankan visi dan misi yang ada, walaupun memang keduanya tidak dipungkiri adalah hal yang berkaitan. Kalo bangunan ini sudah legal ya lebih leluasa kami menjalankan visi misi kami”

B. Panggilan dan Tugas Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah terpanggil untuk menerima, melaksanakan dan memberitakan injil, Kasih dan Keselamatan dalam Yesus Kristus kepada segala bangsa di dunia. Dalam melaksanakan panggilan dan tugasnya, Gereja Gerakan Pentakosta melakukan hal-hal sebagai berikut :

1. Persekutuan (Koinonia)

(67)

b) Di antara anggota Jemaat dalam keterbukaan terhadap sesama manusia. Persekutuan terwujud pada tubuh Kristus dalan kasih-Nya di antaranya:

1) Sesama anggota dalam segala hal

2) Sesama Jemaat dalam kegiatan Majelis Wilayah, Majelis Daerah dan Majelis Pusat

3) Sesama Gereja Tuhan dalam kegiatan Oikumene 2. Kesaksian (Marturia)

a. Dalam persekutuan antar Jemaat, Gereja Gerakan Pentakota terpanggil untuk mewujudkan tugas dan kesaksiannya, yaitu untuk menyaksikan Kasih dan Anugrah Keselamatan yang disediakan untuk semua manusia yang telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus Kristus

b. Untuk melaksanakan tugas kesaksian tersebut, setiap Jemaat Gereja Gerakan Pentakosta bertugas untuk melaksanakan dan mewujudkan panggilan bersaksi dalam hidup pribadi, keluarga, Jemaat, antar Gereja dan masyarakat.

3. Pelayanan Kasih (Diakonia)

a) Dalam persekutuan antar Jemaat Gereja Gerakan Pentakosta maupun antar gereja, setiap anggota jemaat terpanggil untuk mewujudkan tugas dan pelayanannya melalui tindakan nyata yang membuat pribadi maupun kelompok mengalami Kasih Kristus.

(68)

membantu sesama anggota Jemaat, antar Jemaat Gereja Gerakan Pentakosta, umat Kristen dan sesama umat manusia.

4. Pembinaan dan Pendidikan

a. Agar panggilan Jemaat Gereja Gerakan Pentakosta dapat dilaksanakan, maka Jemaatnya dalam kehidupan berkeluarga, bergereja, dan bermasyarakat melalui pembinaan dan pendidikan. b. Pembinaan dan pendidikan adalah usaha untuk menanamkan dan

menumbuhkan pengertian serta penghayatan iman Kristen, hingga tiap anggota Jemaat menjadi dewasa untuk menyatakan imannya di dalam kesaksian dan pelayanan.

c. Usaha pembinanaan dan pendidikan deilakukan melalui : 1) Kebaktian

2) Sakramen 3) Penggembalaan

4) Pendidikan melalui sekolah alkitab maupun sekolah umum

5) Kegiatan umum lainnya yang diadakan tiap jemaat dan pada setiap kesempatan.

5. Hubungan Oikumene

(69)

6. Mengembangkan dan meningkatkan kehidupan rohani dan jasmani jemaat.

7. Mengangkat pelayan-pelayan jemaat.

8. Menyediakan lahan pertapakan dan bangunan gereja, bangunan lain dan segala kebutuhan jemaat.

Pihak gereja melalui tugas dan panggilan gereja tersebut mengajarkan dan mendidik jemaat untuk bisa bersekutu, bersaksi, dan melayani dengan kasih. Pada kehidupan nyata hal tersebut dapat direalisasikan oleh jemaat dalam kehidupan pribadi mereka masing-masing. Khususnya pada proses penerbitan surat IMB, pihak gereja dan jemaat dapat bersekutu dalam hal saling menguatkan dan setia pada prosesnya. Jemaat juga bersaksi dalam hal manaati peraturan yang ada dan mengedepankan hal yang benar. Bentuk melayani dengan kasih yang dilakukan pihak gereja dan jemaat adalah memiliki hubungan yang baik dengan warga lingkungan sekitar melalui sosialisasi yang melibatkan langsung masyarakat seperti: kerja bakti, donor darah, pengobatan gratis, dan lain-lain.

C. Kepenguruan Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah merupakan salah satu gereja di Bandar Lampung yang bernaung di bawah Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). Kepengurusan Gerakan Pentakosta Anugrah menetapkan pergantian 5 (Lima) tahun kepengurusan, yang terdiri dari:

(70)

3. Wakil Sekretaris 4. Bendahara 5. Wakil Bendahara 6. Komisi Kaum Pria 7. Komisi Kaum Wanita 8. Komisi Pemuda

9. Komisi Sekolah Minggu 10.Komisi Khusus

11.Komisi MPS 12.Komisi Diakonia 13.Komisi Pemerhati

14.Komisi Rukun Kematian. (Data Gereja, 2014)

1. Ketua

Ketua kepengurusan yang biasa disebut Ketua Gembala mempunyai tugas :

 Mendorong dan memberikan teladan bagi jemaat Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah untuk melakukan visi dan misi Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah pada umumnya

 Berkoordinasi dengan pembina serta sekretaris, bendahara, dan pengurus lainnya dalam melaksanakan Program kepengurusan Gereja Gerakan Pentakosta Anugrah

Gambar

Gambar 2. Peta Administartif Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung Sumber: Perda Nomor 12 Tahun 2012
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Pengumpulan data dilakukan dengan cara kuisioner, yaitu untuk mendapatkan data tentang jumlah mahasiswa yang memiliki komputer, jumlah dosen yang mengajar dengan

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah bersumber dari Pasal 18 dan Pasal 18A

Hasil observasi yang telah dilakukan pada ruangan, timbang terima telah dilakukan sesui dengan alur, dimana pelaksanaan timbang terima dimulai

Dari hasil penelitian secara deskriptif dapat diketahui bahwa model abatisasi sistem membran yaitu dengan cara memasukkan bubuk abate yang terbungkus dengan kain berpori 1

Sungai Kali Wonokromo merupakan sungai Kota Surabaya, sungai ini dijadikan bahan baku air minum.Kondisi kualitas air Sungai Kali Wonokromo dapat digambarkan melalui defisit

milling adalah metode yang lebih baik dari pada dry milling untuk mendapatkan. produk yang lebih halus karena molekul pelarut yang teradsorpsi

Dari hasil analisis pada kelompok perlakuan dapat diketahui responden yang mengalami peningkatan sebanyak 29 orang dan sebanyak 1 orang yang tidak mengalami pe- rubahaan