• Tidak ada hasil yang ditemukan

MITIGASI DAN PENANGGULANGAN BENCANA ERUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MITIGASI DAN PENANGGULANGAN BENCANA ERUP"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MITIGASI DAN PENANGGULANGAN

BENCANA ERUPSI GUNUNG API

STUDI KASUS ERUPSI MERAPI TAHUN 2010

Disusun oleh:

Maya Indreswari 13/349419/TK/41114

Ganti Prasastha Purnaning S 13/346712/TK/40582 Brigitta Petra Kartika N 13/346652/TK/40553 Indah Dianti Putri 13/346707/TK/40579

Saela Widiya 13/346721/TK/40590

Fritz Andryan Yulianto 13/349214/TK/41062 Roja Fuad Rukan Nasrulloh 12/330524/TK/39619

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng atau kulit bumi aktif yaitu lempeng Australia, Lempeng Euro-Asia, dan Lempeng Pasifik. Penunjaman lempeng Indo-Australia dengan lempeng Euro-Asia menimbulkan jalur gempabumi dan rangkaian gunungapi aktif sepanjang Pulau Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. (Renas PB, 2009). Keadaan geografis dan fenomena geologis yang terjadi menyebabkan topografi negara ini menjadi beragam.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah yang dikelilingi oleh pegunungan di daerah timur (Kabupaten Gunung Kidul), dataran tinggi di sisi barat (Kabupaten Kulon Progo), pesisir di sisi selatan (Samudera Hindia), dan gunung berapi aktif di bagian utara (Gunung Merapi, Kabupaten Sleman). Oleh karena itu, banyak fenomena alam yang dapat terjadi di Provinsi DIY, salah satunya adalah erupsi Gunung Merapi yang kerap melanda wilayah Kabupaten Sleman dan sekitarnya.

Erupsi Gunung Merapi sudah menjadi “langganan” bagi masyarakat lereng Gunung

Merapi. Namun pada kejadian yang terjadi beberapa waktu terakhir, masih ditemukan banyak korban jiwa dan kerusakan parah. Dari situ masih dirasakan adanya ketidaksiapan dan kerentanan masyarakat terhadap ancaman bencana erupsi Gunung Merapi. Diperlukan kajian ulang dan pemahaman bagi masyarakat mengenai ancama dan resiko dari erupsi Merapi serta langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan bencana.

Maka berdasarkan kasus bencana erupsi Merapi pada tahun 2010, akan dilakukan analisis terkait kerentanan masyarakat di lereng Gunung Merapi dan usaha-usaha penanggulangan resiko bencana. Diharapkan dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai siklus bencana erupsi Merapi, dapat diberlakukan langkah-langkah terkait resiko yang mungkin terjadi berdasarkan tingkat kerentanan masyarakat itu sendiri.

1.2Perumusan Masalah

(3)

1. Bagaimana kerentanan masyarakat di lereng Gunung Merapi dikaitkan dengan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi?

2. Apa saja langkah manejemen resiko bencana yang dapat dilakukan untuk bencana erupsi Merapi?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kerentanan pada wilayah lereng Gunung Merapi terkait potensi bencana erupsi merapi.

2. Mengetahui langkah manajemen resiko bencana erupsi yang dapat diterapkan di lereng Gunung Merapi.

1.4Batasan Penelitian 1.4.1.1Wilayah Penelitian

Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara geografis terletak pada 8º 30' - 7º 20' Lintang Selatan, dan 109º 40' - 111º 0' Bujur Timur. Luas wilayah DIY sebesar 3.185,80 km2 yang terdiri atas satu kotamadya dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010, DIY memiliki populasi 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki, dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.

1.4.2 Batasan dan Definisi

1. Data berdasarkan Studi Kasus Erupsi Gunung Merapi tahun 2010.

(4)

waktu sebelumnya yakni tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006. Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 menghasilkan sekitar 150 juta m3 material vulkanik yang terdiri atas abu, pasir, kerikil dan batu. (Widiastuti, 2015)

2. Kerentanan bencana merupakan bagian dalam penilaian resiko bencana berupa jatuhnya korban jiwa maupun kerugian ekonomi dalam jangka pendek yang terdiri dari hancurnya permuiman, infrastruktur, sarana, dan prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi jangka panjang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma maupun kerusakan sumberdaya alam lainnya. Analisis kerentanan ditekankan pada kondisi fisik kawasan dan dampak kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal (Diposaptono, 2009). Kerentanan bencana merupakan bagian dalam penilaian resiko bencana.

3. Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Bakornas, 2007). Resiko bencana merupakan hasil perkalian dari kerawanan (faktor-faktor bahaya) dan kerentanan.

4. Kerawanan adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan, atau dengan kata lain disebut potensi bahaya (Diposaptono, 2009)

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gunung Api

Gunung api adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan ke permukaan bumi umumnya membentuk kerucut terpancung. Klasifikasi gunung api di Indonesia yaitu:

1. Tipe A gunung api yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.

2. Tipe B gunung api yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara.

3. Tipe C gunung api yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah

2.2 Erupsi

Erupsi adalah proses keluarnya material gunung berapi seperti lahar dan abu yang disertai lepasnya gas-gas ke permukaan bumi. Berdasarkan sifat dan kekuatannya, erupsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Efusif, yaitu proses erupsi berupa lelehan lava melalui retakan-retakan yang terdapat pada tubuh gunung api. Efusif biasanya terjadi jika magma yang terkandung dalam gunungapi sifatnya encer serta kandungan gasnya relative sedikit.

2. Eksplosif, yaitu erupsi gunungapi berupa ledakan yang memuntahkan bahan-bahan piroklastik di samping lelehan lava. Eksplosif dapat terjadi jika magma yang terdapat dalam tubuh gunungapi sifatnya kental dengan kandungan gas yang tinggi sehingga tekanannya sangat kuat.

2.3 Siklus Pengelolaan Bencana

(6)

(Diagram ini merupakan modifikasi dan pengembangan penulis dari diagram

‘Posisi Early Warning System dalam Siklus Pengelolaan Bencana‘ yang terdapat dalam

Robert Kodoatie Ph. D., dan Roestam Syarief Ph. D., Pengelolaan Bencana Terpadu, 2005)

2.4 Mitigasi

Mitigasi adalah salah satu tindakan penanggulangan resiko bencana yang dapat dilakukan di fase sebelum terjadinya bencana, pra-bencana, saat menjelang bencana, dan pasca bencana. Mitigasi bencana gunungapi dalam pengertian yang lebih luas bisa diartikan sebagai segala usaha dan tindakan untuk mengurangi dampak bencana yang disebabkan oleh erupsi gunung api.

Tindakan mitigasi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu dari aspek struktural dan non struktural. Mitigasi dari aspek struktural adalah dengan membangun suatu struktur untuk mengurangi dampak dari suatu bencana, misalnya pembuatan sabo dam untuk mengurangi dampak dari debris flow, pembangunan bunker untuk evakuasi ketika terjadi erupsi, serta perbaikan jalur evakuasi.

Langkah-langkah dalam menentukan tindakan mitigasi yang tepat untuk digunakan adalah, yang pertama melakukan penilaian langkah-langkah teknis (engineering and construction measures), penilaian tata ruang (physical planning measures), penilaian aspek ekonomi (economic measures), penilaian prosedur atau aspek manajemen dan organisasi (management and institutional measures), serta penilaian dari aspek sosial (societal measures).

2.5 Manejemen Resiko

(7)

menimbulkan dampak destruktif yang lebih besar lagi. Untuk mengurangi resiko dari suatu bencana maka diperlukan peningkatan ketahanan dalam menghadapi suatu bencana. Salah satu cara untuk meningkatkan ketahanan terhadap suatu bencana adalah dengan menyelenggarakan penanggulangan bencana. Menurut UU No.24 2007, penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi: (a) kesiapsiagaan (b) peringatan dini dan (c) mitigasi bencana.

(8)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas

Manajemen resiko bencana sebagai langkah mitigasi dan penanggulangan bencana erupsi gunung api.

2. Variabel Terikat

Jumlah korban jiwa serta besar kerusakan yang terjadi pada daerah sekitar Gunung Merapi.

3. Variabel Moderator

Sosialisasi manajemen resiko bencana kepada penduduk setempat. 4. Variabel Kontrol

Tingkat pendidikan warga setempat, kondisi cuaca daerah setempat, jumlah penduduk setempat.

3.2Analisa Bahaya dan Kerentanan

Letusan gunung berapi merupakan salah satu bencana alam yang memiliki tingkat bahaya yang cukup tinggi. Bahaya dari gunung berapi sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu bahaya primer (langsung) dan sekunder (tidak langsung). Bahaya primer terjadi ketika peristiwa sedang berlangsung. Sementara bahaya sekunder dirasakan setelah peristiwa telah berlalu. Bahaya sekunder biasa disebabkan oleh primer yang sudah terjadi dengan jangka waktu yang cukup panjang.

Bahaya primer yang terjadi dari letusan gunung berapi antara lain awan panas yang memiliki suhu tinggi sekitar 300 – 700 derajat Celcius, hujan abu yang terdiri dari material halus dapat membahayakan pernafasan dan pengelihatan, lava yang memiliki suhu sangat tinggi, serta gas - gas beracun dari letusan gunung berapi. Bahaya sekunder dapat berupa penurunan hasil produksi pertanian dan peternakan, timbul penyakit baru pada kawasan yang terkena bencana, Permasalahan psikologis masyarakat seperti trauma akibat bencana yang terjadi, serta terjadinya banjir lahar dingin.

(9)

dapat diakses oleh penduduk setempat dengan mudah sehingga penduduk setempat tidak dapat mengetahui kondisi terkini dari aktivitas gunung berapi.

Untuk menentukan tingkat kerentanan suatu wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan model skoring atau penilaian (Subandono, 2009) salah satunya seperti di bawah ini:

Tabel. Nilai skor tingkat kerentanan

Tingkat kerentanan Rendah Sedang Tinggi

Skor 1 2 3

Penentuan kelas kerentanan dapat diperoleh dengan melakukan analisis dan memberi skor pada setiap variable dengan kategori kerentanan dari kondisi, sosial, ekonomi, dan lingkungan. NIlai dari masing-masing variable kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah variable. Nilai ini menunjukkan apabila suatu wilayah mengalami permasalahan kompleks, maka masing-masing aspek akan memberikan kontribusi nilai rata-rata akhir yang tinggi pula. Perhitungan nilai rata-rata kerentanan sebagai berikut:

K= (V1+V2+V3+V4+…+Vn)/n

Dimana : K= nilai rata-rata kerentanan n= jumlah variabel

3.3Analisa Resiko

Setiap bencana yang terjadi tentu memiliki resiko masing – masing. Resiko yang dapat ditimbulkan dari letusan gunung berapi antara lain korban jiwa yang meninggal akibat gas beracun, awan panas, dan penyakit pernafasan, rusaknya kawasan perumahan tempat tinggal warga di sekitar gunung berapi, rusaknya daerah pertanian dan peternakan yang menyebabkan turunnya hasil produksi pertanian dan peternakan, rusaknya ekosistem mahkluk hidup yang tinggal di daerah sekitar gunung berapi, serta menurunnya tingkat ekonomi masyarakat sekitar.

(10)

Awan panas serta lava yang timbul saat terjadi letusan gunung berapi dapat menghancurkan semua mahkluk hidup maupun benda – benda yang ada di sekitarnya. Hal ini tidak terkecuali pada kawasan tempat tinggal warga, lahan pertanian dan peternakan, serta lapangan kerja yang ada. Oleh karena itu tingkat ekonomi masyarakat yang berada di kawasan sekitar gunung berapi dapat turun drastis karena hilangnya lapangan pekerjaan dan menurunnya tingkat produksi pertanian dan peternakan.

Menurut Diposaptono (2009) apabila tingkat bahaya (kerawanan/potensi) dan kerentanan diketahui, langkah selanjutnya adalah menentukan resiko wilayah terebut. Analisa resiko merupakan instrument penting karena dapat digunakan untuk menentukan uruta prioritas penangannannya. Secara sederhana, nilai resiko merupakan nilai perkalian antara potensi bahaya dan kerentanan. Secara umum resiko dapat dirumuskan sebagai berikut:

Resiko (Risk) = potensi bahaya (hazard) x kerentanan (vulnerability)

R = H x V

Korelasi kedua factor tersebut tertuang dalam matriks resiko bencana yang menunjukkan keterkaitan antara kerentanan dan kerawanan.

Tabel. Matriks Resiko, hubungan kerentanan dan kerawanan

(Sumber: Diposaptono, 2009)

(11)

3.4Penentuan Prioritas dan Upaya Penanganan

Menurut UU No.24 2007, penanggulangan bencana alam meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana alam tersebut. Yang dapat dilakukan sebagai bentuk kesiapsiagaan antara lain penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana, pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini, penyiapan lokasi evakuasi, dan penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar.

Peringatan dini dilakukan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Peringatan dini dapat dilakukan melalui pengamatan gejala bencana, analisis hasil pengamatan gejala bencana, dan penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana.

Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, serta penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.

3.5 Kerangka Analisis Penelitian

(12)

BAB VI

DESKRIPSI WILAYAH

4.1 Kondisi Geografis dan Lingkungan

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi terkecil kedua setelah provinsi DKI Jakarta dan terletak di tengah pulau Jawa, dikelilingi oleh provinsi Jawa Tengah dan termasuk zone tengah bagian selatan dari formasi geologi pulau jawa.

Di sebelah selatan provinsi terdapat garis pantai sepanjang 110 km berbatasan dengan Samudera Indonesia, di sebelah utara menjulang tinggi gunung berapi paling aktif di dunia Merapi (2.968 m). Luas keseluruhan Provinsi DIY adalah 3.185,8 km dan kurang dari 0,5 % luas daratan Indonesia. Di sebelah barat mengalir sungai Progo, yang berawal dari Jawa Tengah, dan sungai Opak di sebelah timur yang bersumber di puncak gunung api Merapi, yang bermuara di laut Jawa sebelah selatan.

Ibukota provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Yogyakarta, sedangkan kota-kota yang terdapat dalam wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bantul, Wates, Sleman, Wonosari. Secara administratif DIY dibagi dalam 1 (satu) kota dan 4 (empat) kabupaten, dimana Yogyakarta membentuk kesatuan adiministrasi tersendiri.

Di sebelah utara, provinsi DIY berbatasan dengan Gunung Merapi. Gunung Merapi merupakan gunung api aktif dengan periodisitas letusan yang relatif pendek (3-7 tahun). Dalam kegiatannya, Merapi menunjukkan terjadinya guguran kubah lava yang terjadi setiap hari. Jumlah serta letusannya bertambah sesuai tingkat kegiatannya. Volume guguran kubah lava

biasa oleh orang setempat disebut “wedhus gembel” atau glowingcloud/nueeardenteatau awan panas. Geofisik Gunung Merapi memiliki tipe khas stratolandesit dan punya bentuk lereng yang konkaf.

Gunung Merapi juga merupakan pertemuan persilangan dua buah sesar transversal yang membentengi wilayah tengah Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sesar longitudinal yang melewati Pulau Jawa.

(13)
(14)

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Analisa Kerentanan Masyarakat di Lereng Gunung Merapi

Menurut UU Penanggulangan Bencana, kerentanaan disebut sebagai rawan bencana, dimana definisinya adalah kondisi atau karakteristik geologi, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Kerentanan dapat menunjukkan nilai dari potensi kerugian pada suatu wilayah bencana alam, baik itu nilai lingkungan, materi, korban jiwa, tatanan sosial dan lainnya.

Keberadaan bencana pada dasarnya tidak diharapkan oleh pihak manapun. Akan tetapi ketika bencana merupakan hal yang mungkin terjadi, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesiagapan ketika terjadi bencana dan kesiapsiagaan ketika tidak atau belum terjadinya bencana. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa bencana datang tanpa dapat diperkirakan sebelumnya.

Model atau perkiraan terhadap bencana susulan hanya dapat dilakukan bila pernah terjadi kejadian sebelumnya. Dalam menghadapi ancaman bencana tersebut, terdapat berbagai kelompok masyarakat dalam menanggapinya. Di sebagian masyarakat terdapat kelompok yang menyikapi dengan tindakan yang sesuai dengan prosedur keselamatan yang telah ditetapkan. Namun ada juga terdapat sekelompok masyarakat yang belum siap dan sigap ketika terjadi bencana.

Hal tersebut merupakan kerentananan dimana kondisi masyarakat mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bencana. Rangkaian kondisi umumnya dapat berupa kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan tindak tanggap terhadap dampak bahaya. Beberapa analisis kerentanan yang ada di masyarakat, antara lain:

5.1.1 Ditinjau dari aspek lingkungan

(15)

lingkungan. Dengan meingkatnya kerentanan lingkungan seperti berkurangnya biodeversity, penurunan mutu tanah atau kelangkaan air bersih akan dengan mudahnya

mengancam jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi amsyarakat yang bergantung pada produksi lahan, hutan, serta lingkungan untuk mata pencahariannya. Lingkungan yang terpolusi juga meningkatkan ancaman resiko kesehatan.

Kondisi geografis dan geologis suatu wilayah serta data statistik kebencanaan merupakan indikator lain kebencanaan. Kabupaten Sleman dan Magelang termasuk salah satu wilayah yang memiliki kerentanan lingkungan yang cukup tinggi. Indikasi suatu daerah merupakan lingkungan yang rawan adalah dekat dengan sumber ancaman dengan kapasitas masyarakat yang masih rendah dalam menghadapi bencana.

5.1.2 Ditinjau dari aspek sosial

Parameter yang berkaitan dengan faktor kerentanan sosial adalah yang berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas, dan masyarakat pada umumya. Hal tersebut termasuk aspek yang berkaitan dengan tingkat jaminan keamanan dan ketenagaan, jaminan jak asasi manusia, sistem pemerintahan yang baik, persamaan sosial, nilai sosial positif, ideologi, isu gender, dan kelompok usia. Kearifan lokal serta kebiasaan atau tradisi menjadi bagian untuk meningkatkan kapabilitas sosial.

Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertambahan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita, maka kawasan rawan bencana Merapi memiliki kerentanan sosial yang cukup tinggi. Terlebih lagi jika melihat kondisi sosial saat ini yang semakin rentan terhadap bencana non alam, seperti rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap dampak penambangan pasir Merapi karena tingginya angka pengangguran juga tekanan ekonomi.

5.1.3 Ditinjau dari aspek ekonomi

(16)

terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat dilihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan industri) dan persentase rumah tangga miskin di daerah rentan gempa bumi tektonik dan kawasan Merapi.

5.2 Manajemen Resiko Bencana Erupsi Gunung Merapi

Disaster Management Cycle merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan bencana dan keadaan daruat, sekaligus memberikan kerangka kerja untuk menolong masyarakat dalam keadaan beresiko tinggi agar dapat menghindari ataupun pulih dari dampak bencana.

Gambar 5.1 Disaster Management Cycle

Menurut PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana meliputi upaya-upaya penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitas.

Manajemen Resiko Bencana Erupsi Gunung Merapi: 5.2.1 Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Merapi

(17)

a. Pemetaan kawasan rawan bencana dan penataan ruang

Menentukan kawasan-kawasan yang rawan bagi penduduk terhadap ancaman bahaya letusan dan awan panas, aliran lava, aliran lahar, lontaran batu pijar, dan hujan abu, dalam bentuk peta. Sehingga dapat dilaksanaan penataan ruang atau kawasan yang bukan rawan bencana.

b. Pembangunan Infrastruktur

Setelah diidentifikasi ancaman yang akan terjadi akibat adanya bencana erupsi Gunung Merapi maka perlu dilakukan pencegahan terhadap ancaman tersebut.

1. Pembangunan Sabo Dam

Salah satunya yaitu adanya lahar dingin akibat erupsi yang membawa banyak material bebatuan yang melintasi jalurnya. Lahar dingin ini dapat merusak apa saja yang dilewatinya, seperti jembatan serta pemukiman warga, yang secara tidak langsung merusak tananan kehidupan masyarakat social maupun ekonominya. Untuk meminimalisir dampak kerusakan tersebut perlu dibuat bangunan Sabo Dam di jalur sungai yang di lewati lahar dingin tersebut.

2. Pembangunan Jalur Evakusi

Untuk memudahkan proses evakuasi maka perlu dibuat jalur-jalur akses untuk ke tempat yang lebih aman atau tempat evakuasi yaitu pembangunan jalan beraspal. 3. Pembangunan Gedung Evakuasi

Gedung atau Bangunan untuk menampung masyarakat harus dirancang sesuai persyaratan yang dianjurkan sehingga menjamin keamanan masyarakat yang dievakuasi.

c. Monitoring atau pemantauan Gunung Merapi

Memantau kegiatan gunung api dengan berbagai metode (kegempaan, deformasi, pengukuran geofisikgas gunung api, remote sensing, hidrologi, geologi dan geokimia), untuk mengetahui secara tepat pergerakan magma dan gas yang terkandung di dalamnya dalam bentuk manifestasi permukaan maupun bawah permukaan. Sehingga memperoleh data dan informasi mengenai kegiatan Gunung Merapi yang kemudian dapat disampaikan kepada masyarakat.

5.2.2 Kesiapsiagaan terhadap Bencana Erupsi Gunung Merapi

Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana.

(18)

Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai tindakan mitigasi efektif di wilayah sekitar Gunung Merapi masih tergolong sedang (rata-rata), bentuk kesiapsiagaan bencana dari masyarakat dalam menghadapi kondisi darurat bencana erupsi gunung Merapi tahun 2010 masih tergantung dengan pemerintah misalnya instruksi peringatan dini dan komunikasi serta koordinasi, dan peranan masyarakat terhadap mitigasi bencana erupsi Gunung Merapi masih belum maksimal. Maka dari itu untuk meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai tindakan mitigasi harus dilakukan penyuluhan secara rutin dan menyeluruh.

b. Wajib Latih

Konsep wajib latih muncul sebagai alternatif dalam rangka pengurangan resiko bencana melalui rekayasa sosial peningkatan kapasitas masyarakat dikawasan rawan bencana. Wajib latih adalah program berkesinambungan yang diharapkan dapat membentuk budaya siaga bencana pada masyarakat. Tujuan wajib latih adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat akan potensi ancaman bencana, menciptakan dan meningkatkan kesadaran akan resiko bencana. Sasaran wajib latih adalah penduduk yang berada di kawasan rawan bencana berusia 17-50 tahun atau sudah menikah, sehat jasmani dan rohani dan mendapat ijin keluarga. Penyelenggaraan wajib latih dilakukan oleh instansi pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkompeten di bidangnya dan dilakukan atas sepengetahuan pemerintah setempat.

c. Early Warning System (Peringatan Dini)

Peringatan dini sirine adalah suatu sistem perangkat keras yang berfungsi hanya pada keadaan sangat darurat apabila peringatan dini bertahap tidak mungkin dilakukan. Sirine dipasang di lereng Merapi yang dapat menjangkau kampung-kampung yang paling rawan dan sistem ini dikelola bersama antara pemerintah Kabupaten bersangkutan dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam hal ini adalah BPPTK. Sarana komunikasi radio bergerak juga termasuk dalam sistem penyebaran informasi dan peringatan dini di Merapi. Komunikasi berkaitan dengankondisi terakhir Merapi bisa dilakukan antara para pengamat gunungapi dengan kantor BPPTK, instansi terkait, aparat desa, SAR dan lembaga swadaya masyarakat khususnya yang tergabung dalam Forum Merapi.

(19)

Respon yang dilakukan yaitu tindakan emergency sesaat setelah terjadinya bencana. Upaya ini dapat meliputi :

1. Penerjunan dan pengiriman Tim Tanggap Darurat

2. Kegiatan penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana 3. Pemberian bantuan kebutuhan dasar korban bencana

4. Pelaksanaan perlindungan terhadap kelompok rentan

5. Kegiatan pengamatan yang terus dilakukan terhadap aktifitas gunung merapi

5.2.4 Rekonstruksi dan Rehabilitasi Akibat Bencana Erupsi Gunung Berapi

(20)

BAB VI KESIMPULAN

1. Kerentanan ligkungan di daerah rawan bencana erupsi Gunung Merapi, dilihat dari kondisi geografis, geologis, kebergantungan kehidupan masyarakat akan alam lingkungan sekitar maupun potensi kerusakan lingkungan yang dimungkinkan terjadi, dapat dikatakan kerentanan lingkungan pada wialyah lereng Gunung Merapi masih tinggi.

2. Kerentanan sosial pada kawasan rawan bencana Merapi dapat dikatakan cukup tinggi, hal tersebut diadasarkan pada beberpa indikator yang ditinaju seperti kepadatan penduduk, laju pertambahan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita.

3. Kawasan rawan bencana Merapi memiliki kerentanan ekonomi yang cukup tinggi, hal tersebut didasarkan pada rendahnya tingkat ekonomi masyarakat, keterbatasan akses terhadap infarastruktur pendukung perekonomian seperti akses jalan, perbankan, pasar, serta persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan industri) dan persentase rumah tangga miskin di daerah tersebut.

4. Langkah manejemen resiko bencana yang dapat dilakukan untuk bencana erupsi Merapi, meliputi :

a. Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Merapi

Upaya mitigasi yang dapat dilakukan pada bencana erupsi Gunung Merapi, antara lain : (1) Pemetaan kawasan rawan bencana dan penataan ruang; (2) Pembangunan Infrastruktur ( Sabo Dam, Jalur Evakuasi, Gedung Evakuasi ); dan (3) Monitoring atau pemantauan Gunung Merapi.

b. Kesiapsiagaan terhadap Bencana Erupsi Gunung Merapi

Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana. Upaya kesiapsiagaan yang dapat dilakukan dalam rangka manajemen resiko bencana erupsi Gunung Merapi adalah : (1) Penyuluhan Tanggap Bencana; (2) Kegiatan Wajib Latih; dan (3) Penggunaan Early Warning System (Peringatan Dini).

c. Respon Tanggap Darurat saat terjadi Bencana Erupsi Gunung Merapi

(21)

terkena bencana; (3) Pemberian bantuan kebutuhan dasar korban bencana; (4) Pelaksanaan perlindungan terhadap kelompok rentan; dan (5) Kegiatan pengamatan yang terus dilakukan terhadap aktifitas gunung merapi.

d. Rekonstruksi dan Rehabilitasi Akibat Bencana Erupsi Gunung Berapi

(22)

DAFTAR REFERENSI

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas), 2007. Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Editor Triutomo dkk. Jakarta Diposaptono, S., Budiman,Agung F. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor

Widiastuti, Mega Ayundya. 2015. Evaluasi Jembatan Di Sungai Boyong Yogyakarta Pasca Erupsi Gunung Merapi 2010. EMARA- Indonesian Journal of Architecture Vol 1 Nomor 1.

ISSN 2460-7878

Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB). 2010-2014. dibuat saat Sidang Kabinet tanggal 5 November 2009

Sumekto, Didik R. 2014. Pengurangan Resiko Bencana Melalui Analisis Kerentanan dan Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bencana. Seminar Nasional Pengembangan

Gambar

Tabel. Nilai skor tingkat kerentanan
Tabel. Matriks Resiko, hubungan kerentanan dan kerawanan
Gambar 5.1 Disaster Management Cycle

Referensi

Dokumen terkait

kegiatan perawatan yaitu suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu hasil yang dapat mengembalikan atau mempertahankan suatu

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:(1) Berdasarkan analisis deskriptif terhadap Variabel X

Belajar Matematika Siswa Materi Bangun Ruang Sisi Datar Kelas VIII SMPN 01.

Penulis haturkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapatlah menyelesaikan skripsi yang

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitan ini adalah data mengenai kemampuan merumuskan hipotesis fisika peserta didik dalam tiga jenis hipotesis, yaitu

kriteria valid, reliable dan praktis, sangat efektif diterapkan dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis ditinjau dari respon peserta didik terhadap

Maklemat mengenai sistem ini juga diper lehi daripada umber rujuknn perpustakaan. Pembacaan buku-buku rujukan mcmbcrikan pcmaharnan. nm umurn tentang cabang kajian

Berdasarkan pada Berita Acara Pembuktian kualifikasi Nomor: 189/ULP-Pokja-I- JK/APBD-P/2015 tanggal 5 Oktober 2015, pekerjaan Penyusunan DED Kantor Dinas Perhubungan