• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi asam oksalat dan fe pada tanah vertisol dan alfisol terhadap pertumbuhan dan serapan k tanaman jagung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi asam oksalat dan fe pada tanah vertisol dan alfisol terhadap pertumbuhan dan serapan k tanaman jagung"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA

VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP

PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K

TANAMAN JAGUNG

Mamihery Ravoniarijaona

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA

VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP

PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K

TANAMAN JAGUNG

Mamihery Ravoniarijaona

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Aplikasi Asam oksalat dan Fe pada

Vertisol dan Alfisol terhadap Pertumbuhan dan Serapan K Tanaman Jagung”

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum disajikan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Mamihery Ravoniarijaona

(4)

ABSTRACT

Mamihery Ravoniarijaona. The application of Oxalic acid and Fe in Vertisols and Alfisols to the Growth and K Uptake of Corn Plant. Under direction of KOMARUDDIN IDRIS, DJUNAEDI ABDUL RACHIM, and SRI DJUNIWATI.

The objectives of this research were to evaluate the application of Oxalic acid, Fe and their combination in smectite soil (Vertisols and Alfisols) to the growth and K uptake of corn plant (Zea mays, L.). The experiment was carried out in greenhouse condition

while soil and plant were analyzed in the laboratory using four soil samples taken from Java: two Vertisols from Ngawi (Typic Endoaquerts), Cilacap (Chromic Endoaquerts) and two Alfisols from Jonggol (Typic Hapludalfs), Blora (Typic Haplustalfs). The treatments were laid out in a factorial randomized complete design with three replications. The treatments consisted of two factors which were rates of oxalic acid (0, 500, 1000 ppm) and Fe (0, 50, 100, 150, 200 ppm) applications. The results showed that oxalic acid tends to decline the corn growth in the soil samples except in Typic Endoaquerts which increased with a rate of 500 ppm, but there was increase in K contents and K uptake for Chromic Endoaquert, Typic Endoaquerts, and Typic Haplustalfs. Fe itself with a rate of 50-100 ppm has the potential to increase corn growth and K uptake (K contents and uptake) for all samples. Fe (100 ppm) without oxalic acid (0 ppm) significantly increased plant height at Chromic Endoaquerts; however above those rates plant height was reduced. While, at Typic Endoaquerts, Fe (150 ppm) without oxalic acid (0 ppm) significantly reduced plant height, and then increased with 500 ppm oxalic acid. Furthermore Fe (200 ppm) without oxalic acid (0 ppm) were significant to reduce dry weight in Typic Hapludalfs. Fe treatment were more effective to increase corn growth and K uptake for all samples, while oxalic acid were effective to increase K content and uptake for the samples, except in Typic Hapludalfs.

(5)

RINGKASAN

Mamihery Ravoniarijaona. “Aplikasi Asam oksalat dan Fe pada Vertisol dan Alfisol terhadap Pertumbuhan dan Serapan K Tanaman Jagung”. Dibimbing oleh KOMARUDDIN IDRIS, DJUNAEDI ABDUL RACHIM, dan SRI DJUNIWATI.

Tanah-tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan. Tanah yang mempunyai sifat demikian umumnya meliputi tanah Vertisol dan tanah yang mempunyai sifat vertik lainnya (sebagian Alfisol). Tanah-tanah tersebut umumnya mempunyai kapasitas tukar kation , fiksasi K serta kadar K total tinggi; tetapi ketersediaannya bagi tanaman sering menjadi masalah karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1. Asam oksalat, dan kation besi berpotensi untuk melepaskan K dan hara-hara yang terfiksasi di ruang antara lapisan mineral menjadi tersedia untuk tanaman , dan unsur Fe juga sebagai hara mikro tanaman. Penelitian yang telah dilakukan peneliti sebulumnya menunjukkan bahwa penggunaan 250 ppm Fe maupun 2000 ppm asam oksalat pada Vertisol dan Alfisol masih cukup tinggi. Oleh karena itu penelitian ini secara umum mengevaluasi kembali penggunaan Fe dan asam oksalat dengan dosis yang lebih rendah pada Vertisol dan Alfisol.

Penelitian dilakukan di rumah kaca dengan empat contoh tanah, yaitu Endoaquert Kromik, Endoaquert Tipik, Haplustalf Tipik dan Hapludalf Tipik. Penelitian dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok Faktorial yang terdiri dari dua faktor: Faktor pertama adalah perlakuan asam oksalat (0, 500.1000 ppm) dan faktor kedua perlakuan Fe (0, 50, 100, 150, 200 ppm). Masing- masing perlakuan diulang 3 kali. Dengan demikian terdapat 45 satuan percobaan. Karena menggunakan 4 contoh tanah maka keseluruhan percobaan terdiri dari 180 satuan percobaan.

Asam oksalat cenderung menurunkan pertumbuhan tanaman (tinggi dan bobot kering) pada tanah-tanah yang diuji, kecuali pada Endoaquert Tipik (naik pada dosis 500 ppm). Kadar dan serapan K naik dengan dosis 500 ppm asam oksalat pada tanah Endoaquert Kromik dan Haplustalf Tipik tetapi menurun dengan penambahan 1000 ppm, sedangkan pada Endoaquert Tipik peningkatan kadar dan serapan K meningkat sampai dosis 1000 ppm. Pemberian Fe dengan dosis 50-100 ppm berpotensi meningkatkan pertumbuhan dan serapan K tanaman pada tanah semua diuji. Perlakuan tanpa asam oksalat (0 ppm), pada Endoaquert Kromik pemberian Fe sampai dosis 150 ppm menaikan tinggi tanaman dan menurun pada dosis 200 ppm. Pada Endoaquert Tipik penambahan Fe sampai 100 ppm tinggi tanaman meningkat dan turun diatas dosis tersebut. Selanjutnya pada Hapludalf Tipik pemberian Fe 50 ppm meningkatkan bobot kering tanaman dan menurun diatas dosis tersebut. Penambahan 500 ppm asam oksalat memberikan kenaikan terhadap tinggi, bobot kering, kadar dan serapan K tanaman jagung pada Endoaquert Tipik. Sedangkan pada Endoaquert Kromik dan Haplustalf Tipik efektif hanya pada kadar dan serapan K. Pemberian 500 ppm asam oksalat pada Hapludalf Tipik menekan pertumbuhan tanaman maupun kadar dan serapan K.

(6)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(7)

Judul Tesis : Aplikasi Asam oksalat dan Fe pada Tanah Vertisol dan Alfisol terhadap

Pertumbuhan dan Serapan K Tanaman Jagung

Nama : Mamihery Ravoniarijaona

NRP : A151078061

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Djunaedi Abdul Rachim, MS Dr. Ir.Sri Djuniwati, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Tanah

Dr. Ir Atang Sutandi, MS Prof. Dr .Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Toliara (Madagascar) pada tanggal 22 Mei 1981 dari ayah Celestin Ravoniarijaona dan Ibu Yvonne Josiane Rakotondranony. Penulis merupakan putri ketiga dari lima bersaudara.

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kahadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rachmat dan perlindunganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penelitian ini berjudul “Aplikasi Asam oksalat dan Fe pada Vertisol dan Alfisol terhadap Pertumbuhan dan Serapan K Tanaman Jagung” yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai Februari 2009. Penelitian ini, sebagian dibiaya oleh Proyek Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS, Prof. Dr. Ir Djunaedi Abdul Rachim, MS dan Ibu Dr. Ir Sri Djuniwati, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan yang bermanfaat bagi penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan SPs IPB dan semua staf yang sudah membantu kami selama

menyelesaikan studi di Indonesia.

2. Semua staf pengajar di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut

Pertanian Bogor.

3. Semua staf pengajar di Department ”Plant Ecology and Physiology”

Antananarivo University (Madagascar).

4. Sahabat-sahabat saya dalam program KNB (Bogor), dan semua rekan-rekan

angkatan 2007 PS Tanah, serta rekan-rekan yang lain.

5. Keluarga saya di Madagascar. Terima kasih atas dorongan dan kasih sayangnya

selama studi saya di Indonesia.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………... xi

DAFTAR GAMBAR……….. xii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii

PENDAHULUAN……….. 1

Perumusan masalah………... 3

Tujuan Penelitian……….. 3

Hipotesis……… 4

TINJUAN PUSTAKA………. 5

Ciri tanah Vertisol dan Alfisol……….. 6

Bentuk K dalam tanah………... 7

Siklus K Tanah... 11

Fungsi K untuk Pertumbuhan Tanaman... 13

Asam Oksalat………. 14

Besi (Fe)……… 15

Tanaman Jagung (Zea mays )………... 16

BAHAN DAN METODE PENELITIAN………. 18

Tempat dan waktu………... 18

Bahan Penelitian……… 18

Metodologi……… 18

Pelaksanaan percobaan………... 19

Pengamatan……… 19

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN………... 21

Karakteristik Tanah…………....………... 21

Pengaruh Asam oksalat dan Fe pada Vertisol dan Alfisol terhadap Pertumbuhan Tanaman... 22

Pengaruh Asam oksalat dan Fe pada Vertisol dan Alfisol terhadap Kadar dan Serapan K... 27

KESIMPULAN DAN SARAN………... 31

Kesimpulan……… 31

Saran……….. 32

DAFTAR PUSTAKA……….……… 33

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Aplikasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Tinggi Tanaman pada Hapludalf Tipik

dan Haplustalf Tipik ... 22

2. Interaksi antara Asam Oksalat dan Fe terhadap Tinggi Tanaman

pada Endoaquert Kromik... 23

3. Interaksi antara Asam Oksalat dan Fe terhadap Tinggi Tanaman

Pada Endoaquert Tipik ... 24

4. Aplikasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Bobot Kering Tanaman pada

Endoaquert Kromik, Endoaquert Tipik dan Haplustalf Tipik... 25

5. Interaksi antara Asam Oksalat dan Fe terhadap Bobot Kering Tanaman pada

Hapludalf Tipik... 25

6. Aplikasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Kadar K Tanaman pada Empat Jenis

Tanah ... 27

7. Aplikasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Serapan K Tanaman pada Empat Jenis

Tanah... 28

8. Kenaikan Pertumbuhan dan Serapan K Tanaman akibat Pemberian 500 ppm

Asam Oksalat pada Kempat Contoh Tanah ... 29

9. Kenaikan Pertumbuhan dan Serapan K Tanaman akibat Pemberian 50 ppm Fe

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Keseimbangan Dinamik antar Bentuk-bentuk K Tanah... 7

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Sifat-sifat Morfologi Profil Tanah-tanah di Lokasi Percobaan Laboratorium dan

Rumah Kaca (Nursyamsi, 2008)………... 38

2. Hasil analysis Mineral Liat Kuantitatif terhadap Lapisan Atas Contoh Tanah

(Nursyamsi, 2008)…...………... 42

3. Karakteristik Tanah di Jonggol (Bogor), Sidareja (Cilacap), Padas (Ngawi), dan

Todanan (Blora)... 43

4. Kriteria Penelitian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Peneliatian Tanah, 1983)….... 44

5. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam oksalat dan Fe terhadap Tinggi Tanaman

pada Kempat Contoh Tanah... 45

6. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam oksalat dan Fe terhadap Bobot Kering

Tanaman pada kempat Contoh Tanah... 45

7. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam oksalat dan Fe terhadap Kadar K pada

kempat Contoh Tanah... 45

8. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam oksalat dan Fe terhadap Serapan K

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah-tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 (smektit) mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan asal disertai dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Tanah yang mempunyai sifat demikian umumnya meliputi tanah Vertisol dan tanah yang mempunyai sifat vertik lainnya (sebagian Alfisol). Tanah-tanah tersebut mempunyai penyebaran yang cukup luas di tanah air, yaitu lebih dari 2.12 juta ha (Vertisol sekitar 2.12 juta ha ditambah sebagian Alfisol) tersebar di wilayah Jawa (Tengah dan Timur), Sulawesi (Sulsel, Sulteng dan Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Tanah-tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 umumnya mempunyai kapasitas tukar kation, fiksasi K serta kadar K total tinggi. Penelitian yang dilaksanakan di India menunjukkan bahwa tanah-tanah Vertisol mempunyai kapasitas

fiksasi K (K fixing capacity) dan daya sangga terhadap K yang sangat tinggi (Ghousikar et

al., 1987). Hasil penelitian Nursyamsi (2008) menunjukkan bahwa kadar K larut (Kl) , K

dapat dipertukaran (Kdd), K tidak dapat dipertukaran (Ktdd), dan K-total (Kt) tanah pada

Vertisol lebih tinggi daripada Alfisol.

Melihat sebaran tanah-tanah yang didominasi mineral liat Smektit cukup luas terutama di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka tanah-tanah tersebut memiliki peluang yang cukup besar dalam pengembangan tanaman pangan diantaranya

adalah tanaman jagung. Di Indonesia, jagung (Zea mays, L.) merupakan makanan yang

memegang peranan penting setelah padi, sehingga kebutuhan atau permintaan jagung cukup tinggi (Rukmana, 1993). Unsur-unsur hara yang penting untuk tanaman jagung adalah N, P, dan K. Jagung membutuhkan K lebih banyak dibandingkan dengan hara N dan P. Pada fase pembungaan akumulasi hara K bisa mencapai 60-75% dari seluruh

kebutuhannya (Sutoro et al., 1988).

Asam-asam organik seperti: oksalat, sitrat, malonat, furamat, malat, suksinat, benzoate, tartarat dan lain-lain merupakan komponen penting dari eksudat akar tanaman

yang dikeluarkan di sekitar rhizosphere. Akar tanaman jagung yang dipelihara dalam

(16)

et al., 1993). Sementara itu, dari hasil penelitian Nursyamsi, (2008) asam oksalat yang

dikeluarkan oleh akar jagung berkisar antara 3.15- 5.93 mg/g bobot kering akar. Asam oksalat memegang peranan penting dalam membebaskan K terfiksasi menjadi K tersedia pada tanah-tanah yang banyak mengandung mineral K (muskovit, biotit, ortoklas, dan lain-lain) (Song et al., 1988).

Sejumlah kation dapat membebaskan K yang terfiksasi pada tanah-tanah yang

banyak mengandung mineral liat tipe 2:1. Kation tersebut antara lain: Fe, Na (Ismail,

1997) dan NH4 (Kilic et al., 1999). Kation Fe berpotensi untuk membebaskan K terfiksasi

karena berdasarkan deret liotropik kation tersebut mempunyai jerapan yang lebih kuat daripada kation K (Tan, 1998). Selain itu, Fe juga mempunyai kemampuan meningkatkan jarak basal smektit sehingga K yang berada di ruang antar lapisan mineral liat lebih mudah didepak keluar oleh Fe. Hasil penelitian Nursyamsi (2008) menunjukkan bahwa kation Fe dapat meningkatkan jarak basal smektit dari 12.71 - 14.73 Å pada Endoaquert Tipik (Ngawi), 13.00- 15.59 Å pada Haplustalf Tipik (Blora), 13.81- 14.88 Å Hapludalf Tipik (Jonggol), 12.71- 14.73 Å Endoaquert Kromik (Cilacap). Hasil penelitian Novpriansyah (1998) menyatakan bahwa, pemberian Fe mampu meningkatkan kelarutan Cu pada tanah gambut Berengbengkel, Sampit dan Handil Sohor dari Kalimantan tengah. Kation Fe mempunyai afinitas atau stabilitas yang lebih tinggi dari Cu, maka Fe yang ditambahkan mampu mendesak Cu yang mempunyai afinitas atau stabilitas yang lebih rendah dari kompleks jerapan, akibatnya Cu mudah lepas dan jumlah Cu terkelat dan terikat kuat menjadi turun. Sebaliknya pemberian Fe justru meningkatkan bentuk Cu larut, dapat dipertukar dan terikat lama. Selain itu Fe dapat membebaskan K terfiksasi, dan juga berperan sebagai unsur mikro bagi tanaman (Novpriansyah, 1998).

Perumusan masalah

Tanah-tanah yang didominasi oleh mineral liat smektit seperti Vertisol dan Alfisol cukup luas dan mempunyai jerapan kation kuat sehingga kadar K total tanah tinggi tetapi ketersediaanya bagi tanaman sering menjadi masalah karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1.

(17)

tanaman melalui proses pertukaran kation dan difusi. Unsur Fe juga sebagai hara mikro tanaman. Nursyamsi (2008) menggunakan Fe dari 125 sampai 500 ppm dan asam oksalat dari 1000 sampai 4000 ppm pada tanah Vertisol dari Cilacap dan Ngawi serta Alfisol dari Jonggol dan Blora. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pertumbuhan jagung maupun serapan K cenderung menurun pada penggunaan 250 ppm Fe maupun 2000 ppm Asam oksalat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut penggunaan Fe sampai 500 ppm, maupun asam oksalat sampai 4000 ppm tampak masih terlalu tinggi terutama dalam aplikasi di lapangan. Oleh karena itu penelitian ini akan mengevaluasi kembali penggunaan Fe dan asam oksalat dengan dosis yang lebih rendah pada Vertisol dan Alfisol

Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini, adalah

1- Mengevaluasi penggunaan Asam oksalat dan Fe terhadap pertumbuhan dan serapan

K tanaman jagung pada tanah Vertisol dan Alfisol.

2- Mencari kombinasi Asam oksalat dan Fe dimana pertumbuhan tanaman jagung dan

serapan K maksimum.

Hipotesis

1- Terdapat dosis Asam oksalat dan Fe yang optimal dalam menaikkan pertumbuhan

dan serapan K.

2- Terdapat kombinasi Asam oksalat dan Fe dimana pertumbuhan dan serapan K

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Ciri-ciri Tanah Vertisol dan Alfisol

Vertisol

Tanah yang termasuk ordo Vertisol merupakan tanah dengan kandungan liat tinggi

(lebih dari 30%) di seluruh horison, mempunyai sifat mengembang dan mengkerut jika kelembaban berubah. Bila kondisi kering tanah mengkerut sehingga tanah pecah-pecah dan keras, dan bila basah mengembang dan sangat lekat. Padanan dengan sistem klasifikasi

lama adalah termasuk tanah Grumusol (Driessen et al., 1989). Tanah ini umumnya

terbentuk dari bahan sedimen yang mengandung mineral smektit dalam jumlah tinggi

di daerah datar, cekungan hingga berombak (Driessen et al., 1989).

Pembentukan tanah Vertisol terjadi melalui dua proses utama, yang pertama adalah proses terakumulasinya mineral 2:1 (smektit), dan yang kedua adalah proses mengembang dan mengkerut yang terjadi secara periodik akibat dari perubahan kelembaban

sehingga terbentuk slickenside dan relief mikro di permukaan yang disebut gilgai (Van

Wambeke, 1992). Dalam perkembangannya mineral 2:1 yang sangat dominan dan memegang peran penting pada tanah ini. Komposisi mineral liat pada Vertisol selalu didominasi oleh mineral 2:1, biasanya monmorilonit, dan dalam jumlah sedikit sering dijumpai mineral liat lainnya seperti illit dan kaolinit (Ristori et al., 1992).

Pada tanah Vertisol umumnya sifat-sifat fisik lebih merupakan kendala dibandingkan dengan sifat-sifat kimianya. Kendala utama untuk tanaman adalah tekstur yang liat berat, sifat mengembang dan mengkerut, kecepatan infiltrasi air yang rendah kecuali melalui

rekahan, serta drainase yang lambat (Mukanda et al., 2001). Tanah ini juga tergolong rawan

(19)

Alfisol

Tanah yang termasuk ordo Alfisol merupakan tanah-tanah yang terdapat penimbunan liat di horison bawah permukaan (horison argilik) dan mempunyai KB jumlah kation tinggi yaitu lebih dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah atau 125cm dibawah batas atas horison argilik. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison di atasnya dan tercuci kebawah bersama dengan gerakan air. Padanan dengan sistem klasifikasi yang lama adalah termasuk tanah Mediteran Merah Kuning, Latosol, kadang-kadang juga Podzolik Merah Kuning (Hardjowigeno, 1993).

Alfisol diperkirakan mencakup 13% dari seluruh lahan dunia (USDA, 1972, dalam Rust, 1983). Sementera itu, di Indonesia sekitar 7 juta hektar tersebar di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara (Takala, 1997).

Pada kebanyakan observasi komposisi liat silikat dari horizon argilik, agak bervariasi dengan kumpulan mika-hidrous, smektit, vermikulit, dan kaolinit. Fiksasi liat yang lebih halus cenderung kebanyakan sebagai smektit, yaitu kisi liat yang dapat mengembang (Rachim, 2007). Jika Alfisol didominasi oleh liat 2 :1, maka pengaruhnya bisa tampak sebagai sifat vertik jika tanah berada pada variasi kelembaban yang nyata; namun, bila tanah selalu lembamb sepanjan tahun, sifat vertik bisa tidak tampak.

Lahan kering tanah Alfisol sangat potensial untuk pengembangan budidaya jagung. Tanah Alfisol mempunyai keunggulan sifat fisika yang relatif bagus, tetapi tanah Alfisol umumnya miskin hara tanaman baik yang makro maupun mikro dan hanya kaya akan hara Ca dan Mg (Soepardi, 1983). Di lahan kering kandungan Ca dan Mg pada Alfisol umumnya tinggi atau sedang, tetapi kandungan K umumnya rendah sampai sangat rendah sehingga harus ada tambahan K dari luar yang berupa pemupukan K, atau K yang difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1 untuk yang mempunyai sifat vertik.

Bentuk K dalam tanah

(20)

Gambar 1. Keseimbangan Dinamik antar Bentuk-bentuk K Tanah (Kirkman et al., 1994)

yang dijerap pada kompleks permukaan koloid tanahdan (3) kalium berada dlm larutan tanah

dalam bentuk K+ segera tersedia untuk tanaman.Kalium dapat dipertukarkan dan kalium

larut langsung dan mudah diserap tanaman disebut kalium tersedia (segera tersedia). Sebagian kalium terfiksasi dan kalium struktural dapat juga diserap tanaman setelah menjadi kalium tersedia dan disebut sebagai kalium tidak dapat dipertukarkan atau kalium lambat tersedia (BKS-PTN, 1983). Di lapangan batas antara bentuk satu dengan yang lainnya umumnya tidak jelas, walaupun bentuk-bentuk K tersebut dapat dipisahkan di laboratorium (Sharpley, 1990 ) bentuk-bentuk K tersebut dalam tanah berada dalam keseimbangan yang dinamik (Gambar 1).

Diagram Keseimbangan (Gambar 1) tersebut memperliatakan bila kalium tersedia berkurang dari tanah maka akan dinganti dengan kalium lambat tersedia atau kalium tidak tersedia. Demikian juga bila diadakan pemupukan kalium yang berat atau tinggi maka akan mengingkatkan jumlah kalium lambat tersedia (BKS-PTN, 1983).

K-Struktural

Kalium struktural disebut juga sebagai kalium mineral, kalium tidak hancur, kalium

alamiah, kalium matrix, atau kalium inert. Menurut Sparks dan Huang (1985) jumlah

(21)

tanah. Metson (1968) menyatakan bahwa K struktural umumnya terselimuti struktur kristal dari mineral yang mengandung K tinggi seperti mika (biotit dan muskovit), feldspar (ortoklas dan mikroklin), dan gelas volkan baik yang masam maupun alkalin. Umumnya mineral-mineral tersebut berada ditemukan dalam fraksi kasar tanah. Hancuran umumnya menghasilkan formasi dari liat silikat sekunder yang mungkin masih mengandung K-struktural. Tingkat ketersediaan K relatif untuk tanaman dari tinggi ke rendah adalah biotit > muskovit > ortoklas dan mikroklin. Menurut Metson (1968) gelas volkan alkalin lebih cepat hancur dibandingkan gelas volkan masam. Mineral primer yang memiliki cadangan K tinggi akan hancur menghasilkan sejumlah K tersedia bagi tanaman. Fase hancuran tergantung juga dari komposisi dan struktur mineral primer tersebut sebagai contoh: biotit dan gelas volkan alkalin melapuk lebih mudah, sedangkan feldspar masam dan gelas volkan masam melapuk lebih lambat. Hancuran mika ditandai

oleh pergantian posisi K+ di ruang antar lapisan (

interlayer space) oleh kation lain seperti

Ca2+, Mg2+, Al3+, Fe3+, dan lain-lain yang menghasilkan formasi illit, vermikulit, smektit, dan mineral interstratifikasi. Saat hancuran berlangsung ukuran partikel menurun, kadar K berkurang dari sekitar 10% (mika) menjadi < 1% (smektit), dan jarak basal meningkat dari 1nm (mika) menjadi 1.8 nm (smektit).

K-Dapat Dipertukarkan (Kdd)

Kalium dapat dipertukarkan (Kdd) merupakan K yang dijerap pada kompleks

permukaan koloid tanah. Pada mineral liat, Kdd berada pada tapak jerapan non spesifik,

yaitu di posisi planar dan edge. Pada koloid humus, K dijerap muatan negatif grup karboksilat dan fenolat dari koloid humus yang merupakan sumber muatan tergantung pH

(Kirkman et al., 1994). Jumlah K+ yang dijerap oleh mineral liat pada tapak pertukaran

tergantung faktor kinetik dan termodinamik tanah. Selain itu juga tergantung afinitas tapak pertukaran terhadap K (kompleks permukaan koloid tanah) dan konsentrasi kation lain terutama kation bervalensi dua seperti Ca2+ (Barber, 1984). Pertukaran K oleh Ca sering terjadi terutama pada tanah-tanah yang dipupuk Ca tinggi. Menurut Schroeder

(1974) umumnya kadar Kdd kurang dari 2% dari K total tanah atau berkisar antara 10-400

ppm. Namun demikian tanah-tanah yang ditanami secara intensif mengandung Kdd yang

(22)

jumlah muatan negatif. Sebagai contoh, tingkat Kdd pada tanah-tanah yang banyak

mengandung alofan relatif rendah, sedangkan pada tanah-tanah yang banyak mengandung vermikulit atau mika relatif tinggi (Parfitt, 1992).

K-Larut (Kl)

Kalium larut berada dalam larutan tanah dalam bentuk K+. Kalium dalam larutan

tanah berada dalam keseimbangan dengan Kdd. Jika konsentrasi K dalam larutan tanah

menurun maka Kdd akan dibebaskan ke dalam larutan tanah. Jumlah K dalam larutan

relatif sangat kecil dibandingkan kalium total tanah dan besarnya tergantung daya sangga K dalam tanah. Kalium yang dijerap tanah berbahan induk alofan yang memiliki daya sangga rendah tidak segera dapat mengganti K larut. Sebaliknya tanah berbahan induk mika dan vermikulit dapat mempertahankan level K dalam larutan tanah dalam waktu yang relatif lama (Parfitt, 1992).

Bentuk kalium larut dan kalium dapat dipertukarkan tergolong bentuk K yang cepat tersedia, sedangkan kalium tidak dapat dipertukarkan sangat lambat tersedia bagi

tanaman. Menurut Haby et al., (1990) laju konversi dari bentuk kalium struktural menjadi

bentuk larut sangat lambat, dari bentuk kalium terfiksasi ke bentuk larut memerlukan sekitar beberapa minggu, sedangkan dari kalium dapat dipertukarkan berlangsung cepat. Ketersediaan K menggambarkan situasi yang komplek dan kondisinya tergantung faktor-faktor tanah dan karakteristik tanaman (Grimme, 1985).

Kemampuan tanah untuk melepaskan K merupakan suatu indeks potensi K tersedia di dalam tanah dan hal ini dapat diukur oleh prosedur analisis kimia yang tepat. Analisis

tersebut dapat mengukur bukan hanya perubahan dari kalium dapat dipertukarkan (Kdd)

menjadi kalium larut (Kl), melainkan juga pelepasan K dari kalium tidak dapat

dipertukarkan (Ktdd) dan kalium dapat dipertukarkan (Kdd) menjadi kalium larut (Kl).

(23)

performan tanaman, hal yang penting adalah bukan hanya jumlah total K yang dapat diserap tanaman, melainkan juga pelepasan K yang dapat mempertahankan konsentrasi K dalam larutan tanah. Pelepasan K ke dalam larutan dan pergerakan K ke zone perakaran harus mempunyai kecepatan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan

mencegah gejala kekahatan tanaman terhadap K (Kirkman et al., 1994).

Jenis dan mineral liat mempergaruhi pelepasan K ke dalam larutan tanah. Tanah yang didominasi oleh mineral yang mengandung K rendah seperti kaolinit melepaskan K ke dalam larutan dalam jumlah sedikit. Sebaliknya tanah yang kaya akan mineral yang mengandung K tinggi seperti muskovit dan biotit, tergantung tingkat hancurannya, dapat melepaskan K ke dalam larutan dalam jumlah banyak sehingga dapat mencukupi kebutuhan tanaman.

Tanaman menyerap K+ dalam larutan tanah umumnya melalui difusi atau akibat

perpanjangan akar. Difusi K+ tergantung kepada gradien konsentrasi K, dimana gradien

konsentrasi K dalam larutan tanah tinggi bergerak ke akar tanaman yang mempunyai

gradien konsentrasi K rendah. Konsentrasi K+ sekitar tanaman juga kurang selama

pengambilan K+ oleh tanaman, hal tersebut dapat mempengaruhi pelepasan K+ dari

mineral (Kuchenbunch et al., 1984). Lokasi-lokasi adsorpsi dari antar lapisan dapat

dibebaskan oleh pelepasan K+ dan menjadi yang diduduki oleh kation yang lain. Adsorpsi

”hydrated” kation-kation seperti Na+, Ca2+, H+ dan Mg2+ menyebabkan penyembangkan

antarlapisan akar akan menyerap K+ dengan penukaran kation lain biasanya H+.

(24)

Siklus K Tanah

Kalium dalam tanah sebagian besar berada dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman (berkisar antara 90 – 98% dari total K tanah). Sisanya berada dalam bentuk K lambat tersedia sekitar (1 – 10%), dan cepat tersedia sekitar (0.1 – 2%). Gambar 2 menyajikan hubungan dan transformasi berbagai bentuk K di dalam tanah. Menurut

Havlin et al. (1999) siklus dan transformasi bentuk-bentuk K tanah sangat dinamik karena

kehilangan K oleh serapan tanaman dan pencucian berlangsung terus-menerus. Demikian pula halnya transformasi K dari mineral primer menjadi bentuk dapat dipertukarkan dan larut berjalan terus walaupun dengan kecepatan rendah.

Jika laju kehilangan K (serapan hara dan pencucian) lebih cepat daripada suplai K

ke dalam sistem Kdd dan Kl maka tanaman akan mengalami defisiensi. Defisiensi K akan

menghambat pertumbuhan tanaman sehingga dapat menurunkan produksi tanaman. Oleh karena itu pengelolaan K sangat penting agar K dalam kondisi selalu tersedia atau dapat diserap langsung oleh tanaman sehingga produksi tanaman optimal dan berkelanjutan.

(25)

Fungsi K untuk Pertumbuhan Tanaman

Kalium adalah kation bervalensi satu dengan radius ion terhidrasi 0.331 nm dan

energi hidrasi 314 j mol-1 (Havlin et al., 1999). Pada tanaman kalium banyak ditemukan

ada dalam sitoplasma dan memberikan kontribusi utama terhadap potensial osmotik dari sel (Marschner, 1997).

Salah satu fungsi yang penting dari K adalah mengaktifkan enzim dimana lebih dari 80% enzim memerlukan K. Aktivasi enzim diduga sebagai fungsi K yang paling penting untuk pertumbuhan tanaman. Enzim ini berlimpah di jaringan meristem pada titik tumbuh tanaman baik yang berada di bagian atas maupun di bagian bawah tanaman dimana pertumbuhan sel sangat cepat dan jaringan primer terbentuk. Dalam sintesis pati, enzim terlibat dalam konversi gula larut menjadi pati yang merupakan tahap penting dalam proses pengisian biji. Kalium juga berperan dalam transfer karbohidrat ke nodul dalam

proses sintesis asam amino (Havlin et al., 1999).

Dalam kaitannya dengan serapan air, K menstimulir tarikan osmotik (osmotic pull)

yang menyebabkan air masuk ke dalam akar tanaman. Tanaman yang mengalami kekahatan K biasanya rentan terhadap stres air karena ketidakmampuannya dalam menggunakan air tersedia secara optimal. Perawatan turgor tanaman sangat penting dalam proses-proses metabolik dan fotosintesis. Pembukaan stomata terjadi bila ada peningkatan tekanan turgor pada sel di sekitar stomata yang dikendalikan oleh influx K. Penurunan

fungsi stomata yang disebabkan oleh defisiensi K dapat menyebabkan rendahnya laju fotosintesis dan ketidak efisienan penggunaan air. Kalium juga dapat mengendalikan proses transpirasi tanaman dan serapan air yang mengandung hara dengan mengatur buka-tutup stomata.

Pada saat CO2 terasimilasi ke dalam gula selama fotosintesis, gula tersebut diangkut

(26)

Translokasi gula ini memerlukan energi dari ATP dimana K diperlukan untuk sintesis ATP tersebut. Translokasi gula dari daun menurun drastis akibat tanaman mengalami kekahatan K. Misalnya yang terjadi pada daun tebu, translokasi gula dalam keadaan normal sekitar 2.5 cm/menit tapi laju translokasi menurun menjadi setengahnya bila tanaman defisiensi K.

Kekurangan K juga dapat menurunkan retensi tanaman terhadap penyakit-penyakit tertentu, seperti Powdry-mildew pada tanaman gandum, kerusakan pada bantangnya, busuk akar dan Winter killed pada tanaman Alfalfa, dan dapat menurungkan kualitas tanaman buah-buahan dan sayuran. Kesuluruhan pengaruh ini terhadap pertumbuhan dan kualitas tanaman adalah disebabkan oleh gangguan fisiologis di dalam sistem tanaman. Sebagai contoh, kekurangan K dapat mengubah kegiatan enzim invertase, peptase dan katalase pada tanaman tebu. Juga dapat mempergaruhi kegiatan enzim pirufik kinase pada beberapa tanaman (BKS-PTN, 1991).

Asam Oksalat

Asam oksalat adalah asam organik, yang dicirikan dengan rantai karbon dan gugus –CO-OH nya. Asam ini dihasilkan oleh beberapa spesies tanaman, mickroorganism,

eksudat akar, dekomposisi bahan organik dan cendawan mikoriza dalam rhizosphere

(Cannon et al., 1995). Asam oksalat merupakan suatu senyawa yang termasuk golongan

bervalensi dua. Asam oksalat mengkristal dengan dua molekul air (C2H2O4. 2H2O) dan

molekul air tersebut dihilangkan dengan pemanasan pada temperature 100ºC sehingga

membentuk asam oksalat anhidrat (Tredwell et al., 1962)

Dalam beberapa hal kedua jenis asam oksalat ini mempunyai sifat yang berbeda, misalnya asam oksalat dihidrat lebih mudah larut dalam pelarut polar dibandingkan asam oksalat anhidrat. Asam oksalat berbentuk kristal transparan monoklin, tidak berbau dan rasanya asam, memiliki sifat yang mudah larut dalam air dan alkohol, tetapi sukar larut

dalam eter dan tidak larut dalam benzene (Treadwell et al., 1962)

(27)

Dengan demikian konsentrasi ion Ca yang bebas dalam larutan akan berkurang dan

diharapkan erapan P oleh tanah akan berkurang (Staunton et al., 1996). Asam oksalat juga

berperan dalam meningkatkan ketersediaan hara kalium terutama di tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 atau mineral yang banyak mengandung K melalui proses pertukaran kation dan difusi.

Asam oksalat merupakan bagian penting dan dominan dalam eksudat asam organik

yang dikeluarkan oleh akar jagung (Nursyamsi et al., 2008). Senyawa tersebut dapat

melepaskan K tidak dapat dipertukaran (Ktdd) menjadi K dapat dipertukaran (Kdd) dan K

larut (Kl) pada tanah-tanah yang berbahan induk batu kapur, dimana asam oksalat

mempunyai efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam sitrat (Zhu et al.,

1993). Song dan Huang (1998) juga melaporkan bahwa Kdd dari struktur mineral yang

mengandung K (biotit, muskovit, mikroklin, dan orthoklas) dapat dilepaskan menjadi K tersedia untuk tanaman dengan mengunakan perlakuan asam oksalat.

Besi (Fe)

Besi diserap dalam bentuk Fe++ dan mempunyai fungsi yang tidak dapat digantikan

pada pembentukan hijau daun. Besi juga merupakan salah satu unsur yang diperlukan pada pembentukan enzim-enzim pernapasan yang mengoksidasikan hidrat arang menjadi gas asam arang dan air. Besi di dalam tanaman kurang mobil, oleh karena itu bila kekurangan besi maka akan segera tampak gejala-gejala pada bagian tanaman yang masih muda.

(28)

katalis dari peroksidasi linolik. Selain itu Fe juga berperan dalam perkembangan kloroplas dan fotosintesis (Marschner, 1997)

Kation Fe dapat melepaskan K terfiksasi dan meningkatkan ketersedian hara K di

tanah Alfisol dan Vertisol (Nursyamsi et al., 2008). Proses pertukaran K oleh Fe3+ juga

dapat berlangsung karena berdasarkan deret liotropik, jerapan koloid tanah terhadap Fe3+

> K+ (Tan, 1998). Selain itu, Fe dapat meningkatkan jarak basal smektit Nursyamsi (2008). Kekurangan Fe pada tanaman mengakibatkan daun muda berawrna putih pucat lalu kekuningan, dan akhirnya rontok.

Tanaman jagung (Zea mays)

Di Indonesia jagung (Zea mays) merupakan makanan pokok yang memegang

peranan penting setelah padi, sehingga kebutuhan atau permintaan jagung cukup tinggi (Rukmana, 1993). Selain untuk pemenuhan kebutuhan pangan, jagung dibutuhkan sebagai bahan baku industri seperti industri pekan ternak, makanan ringan dan lain sebagainya. Permintaan biji jagung di Indonesia akan terus menginkat, sejalan dengan jumblah penduduk dan jenis produk berbahan baku jagung yang terus bertambah. Menurut

proyeksi P.T. Monsanto (2002 dalam Suwarto et al., 2005) permintaan jagung pada tahun

2005 sebesar 18.354 juta ton dan pada tahun 2010 sebesar 33.903 juta ton.

Jagung termasuk tanaman semusim jenis serealia yang paling banyak mengambil P dari dalam tanah dan sangat responsive terhadap pupuk P (Effendi, 1982). Unsur-unsur hara yang penting untuk tanaman jagung adalah N, P,dan K. Jagung membutuhkan K lebih banyak dibandingkan dengan hara N dan P. Pada fase pembungaan akumulasi hara

K bisa mencapai 60-75% dari seluruh kebutuhannya (Sutoro et al., 1988).

(29)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan analisis tanah dan tanaman di laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor, sejak bulan Juli sampai February 2009.

Bahan penelitian

Contoh tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat contoh tanah

masing-masing dua Vertisol dari Padas (Ngawi) dan Sidareja (Cilacap); dua Alfisol dari Todanan (Blora) dan Jonggol (Bogor). Penentuan lokasi contoh tanah didasarkan pada pertimbangan status K tanah dan kandungan liat smektit. Benih tanaman jagung yang

digunakan adalah varietas Pioneer-21. Asam oksalat dan FeCl3 yang digunakan untuk

percobaan semuanya dalam bentuk teknis. Selain itu digunakan pula pupuk dasar Urea dan SP-36.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2 faktor, faktor I adalah perlakuan asam oksalat (0, 500, 1000ppm), faktor II adalah perlakuan Fe ( 0, 50, 100, 150, 200 ppm). Masing- masing perlakuan diulang 3 kali. Dengan demikian terdapat :

3 X 5 X3 = 45 satuan percobaan.

Karena menggunakan 4 contoh tanah maka keseluruhan percobaan terdiri dari 4 X 45 = 180 satuan percobaan.

Model linier analisis data:

(30)

Dimana: γijk = Respon factor I ke-i, faktor II ke-j, dan ulangan ke-k

µ = Nilai tengah perlakuan

k = Kelompok

τ = Perlakuan (αij +[αβ]ij)

αi = Pengaruh aditif faktor perlakuan asam oksalat ke-i

βj = Pengaruh aditif faktor perlakuan kation Fe ke- j

(αβ)ij= Pengaruh interaksi factor I ke-i dan factor II ke- j

εijk = Galat perlakuan factor I ke-i, factor II ke- j, dan ulangan ke-k

Pelaksanaan percobaan

Pengambilan contoh tanah dilakukan pada kedalaman 0- 20cm. Bahan tanah

dikering-udarakan, ditumbuk, diayak dengan saringan 2 mm, lalu dimasukkan ke dalam pot sebanyak 2 kg BKM /pot. Percobaan menggunakan pupuk dasar 300 ppm N (Urea), dan 200 ppm P (SP-36). Semua pupuk diberikan dalam bentuk larutan, lalu tanah diaduk hingga homogen. Benih jagung Varietas P-21 ditanam 5 biji/pot dan setelah berumur 1 minggu setelah tanam (MST), tanaman dijarangkan menjadi 2 tanaman/pot. Kadar air dipertahankan sampai kapasitas lapang. Tanaman dipanen pada umur 4 minggu setelah tanam (MST).

Pengamatan

1. Tinggi tanaman diukur setiap minggu setelah tanam (MST); diukur dari permukaan

tanah sampai ujung daun yang paling tinggi.

2. Bobot basah dan kering tanaman (yang dikeringkan dalam oven pada suhu 65oC

selama 48 jam)

3. Kadar dan serapan K tanaman.

(31)

Analisis sifat tanah meleputi: analisis kimia, fisika dan mineralogi tanah. Untuk analisis K tanaman dengan menggunakan metode Pengabuan basah.

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Tanah

Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukan bahwa, semua tanah yang diteliti bertekstur liat. Sifat kimianya menurut kriteria Puslittan (1983), reaksi tanah neutral pada Endoaquert Kromik (Cilacap) dan Endoaquert Tipik (Ngawi) hingga masam pada Hapludalf Tipik (Jonggol) dan alkalin pada Haplustalf Tipik (Blora) (Lampiran 3). Kejenuhan basa (KB) semuanya sangat tinggi, kecuali pada Hapludalf Tipik kejenuan basa tinggi. Kadar K-potensial tanah sedang pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Tipik hingga tinggi pada Endoaquert Kromik dan Haplustalf Tipik. Kadar C dan N-organik tanah

semuanya rendah, sedangkan kadar P-potensial tanah semuanya tinggi. Kadar Cadd dan

Mgdd tanah termasuk sangat tinggi pada Vertisol (Endoaquert Tipik dan Endoaquert

Kromik ) hingga Cadd tinggi dan Mgdd sedang pada Alfisol (Hapludalf Tipik dan Haplustalf

Tipik), sedangkan Kdd tanah termasuk rendah pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Tipik

hingga sedang pada Endoaquert Kromik dan Haplustalf Tipik. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah termasuk sangat tinggi pada Endoaquert Tipik, tinggi pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Kromik dan rendah pada Haplustalf Tipik ( Lampiran 3).

(33)

Pengaruh Asam Oksalat dan Fe pada Vertisol dan Alfisol terhadap Pertumbuhan Tanaman

Pada Hapludalf Tipik dan Haplustalf Tipik, perlakuan asam oksalat dan Fe tidak nyata berinteraksi terhadap tinggi tanaman. Namun, pemberian asam oksalat nyata menurunkan tinggi tanaman pada tanaman berumur 4 MST (Hapludalf Tipik dan Haplustalf Tipik). Selanjutnya, pemberian perlakuan Fe tidak nyata menaikkan tinggi tanaman pada Hapludalf Tipik, dan nyata menaikkan tinggi tanaman pada Haplustalf Tipik (Tabel 1). Perlakuan Fe nyata meningkatkan tinggi tanaman sebesar 7.38% pada dosis 50 ppm untuk Haplustalf Tipik, namun antara dosis 50 sampai 200 ppm tidak berbeda.

Tabel 1. Aplikasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Tinggi Tanaman pada Hapludalf Tipik

dan Haplustalf Tipik

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing perlakuan dan tanah menunjukkan tidak nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%

Pada Endoaquert Kromik, setiap dosis Fe pada pemberian asam oksalat 500 dan 1000 ppm nyata menurunkan tinggi tanaman, sedangkan antara penambahan 500 ppm dan 1000 ppm tidak berbeda namun ada kecenderungan terjadinya penurunan tinggi tanaman. Selanjutnya, pada dosis tanpa asam oksalat ( 0 ppm), pada penambahan Fe 100 dan 150 ppm nyata meningkatkan tinggi tanaman namun menurun pada dosis 200 ppm Fe. Pada

Perlakuan Hapludalf Tipik Haplustalf Tipik

(34)

dosis 500 dan 1000 ppm asam oksalat penambahan dosis Fe tidak berpengaruh nyata namun cenderung menurunkan tinggi tanaman (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh Kombinasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Tinggi Tanaman pada

Endoaquert Kromik

Angka yang diiikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan.

Pada Endoaquert Tipik, pada dosis Fe 0, 50, 100, dan 200 ppm pemberian asam oksalat 500 dan 1000 ppm tidak berpengaruh nyata namun cenderung menurunkan tinggi tanaman, sedangkan pada dosis 150 ppm Fe, penambahan asam oksalat 500 ppm nyata menaikkan tinggi tanaman dan tidak berbeda dengan penambahan 1000 ppm tetapi cenderung menurun (Tabel 3). Selanjutnya, pada dosis asam oksalat 0, 500, dan 1000 ppm, penambahan Fe umunya tidak berpengaruh nyata kecuali pada tanpa asam oksalat (0 ppm) penambahan Fe 150 ppm nyata menurunkan tinggi tanaman (Tabel 3)

Perlakuan Asam oksalat (ppm)

0 500 1000

Fe (ppm) ………...cm…………...………

0 88.62dc 81.67fe 78.55fe

50 90.18bc 84.92dce 82.1dfe

100 97.75a 79.5fe 80.52fe

150 96.33ab 83.22dfe 80.95fe

200 88.72dc 82dfe 76.3f

(35)

Tabel 3. Pengaruh kombinasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Tinggi Tanaman pada Endoaquert Tipik

Angka yang diiikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan.

Seperti halnya tinggi tanaman, pemberian asam oksalat nyata mempengaruhi bobot kering tanaman pada tanaman berumur 4 MST pada Endoaquert Kromik, Endoaquert Tipik dan Haplustalf Tipik. Pemberian asam oksalat sampai 1000 ppm nyata menurunkan bobot kering tanaman pada Endoaquert Kromik dan Haplustalf Tipik, sedangkan pada Endoaquert tipik pemberian 500 ppm asam okslat menaikan bobot kering 10.69% dan menurun kembali pada pemberian 1000 ppm asam oksalat (Tabel 4).

Perlakuan Fe nyata meningkatkan bobot kering tanaman pada Endoaquert Tipik sebesar 12.7% pada dosis 50 ppm, sedangkan pada Endoaquert Kromik, walaupun tidak nyata, bobot kering tanaman umumnya cenderung naik pada pemberian dosis 100 ppm Fe, dan pada pemberian dosis 50 ppm Fe untuk Haplustalf Tipik (Tabel 4).

Perlakuan Asam oksalat (ppm)

0 500 1000

Fe (ppm) ………..…..…cm……...….………..

0 78.3ab 75.86ab 73.26ab

50 78.58ab 79.66ab 71.45bc

100 78.11ab 80.75a 73.76ab

150 64.4c 80.41ab 74.36ab

200 59.98cd 77ab 74.53ab

(36)

Angka yang diiikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan.

Tabel 4. Aplikasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Bobot Kering Tanaman pada Endoaquert Kromik, Endoaquert Tipik dan Haplustalf Tipik

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing perlakuan dan tanah menunjukkan tidak nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%

Pemberian asam oksalat dan Fe nyata berinteraksi dengan meningkatkan bobot kering tanaman pada Hapludalf Tipik. Pada setiap dosis Fe, penambahan asam oksalat 500 dan 1000 ppm nyata menurunkan bobot kering tanaman namun antara dosis 500 dan 1000 ppm tidak berbeda nyata tetapi cenderung menurunkan bobot kering tanaman (Tabel 5).

Tabel 5. Pengaruh kombinasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Bobot Kering Tanaman pada Hapludalf Tipik

Perlakuan Endoaquert

Kromik Endoaquert Tipik Haplustalf Tipik

(37)

Selanjutnya pada dosis tanpa asam oksalat (0 ppm) penambahan Fe sampai dosis 150 ppm tidak berbeda nyata namun cenderung meningkat, dan nyata menurunkan bobot kering tanaman pada dosis 200 ppm. Pada Dosis asam oksalat 500 dan 1000 ppm, penambahan Fe tidak berbeda nyata (Tabel 5).

Naiknya pertumbuhan tanaman dengan mengunakan 500 ppm asam oksalat pada

Endoaquert Tipik (Tabel 4), kemungkinan disebabkan sifat kimia tanah (KTK, Kdd, Cadd,

dan Mgdd) ini pada umumnya lebih baik daripada Alfisol (Hapludalf Tipik, Haplustalf

Tipik). Endoaquert Tipik juga yang mempunyai jumlah smektit sangat banyak (Lampiran 2) dari pada tanah-tanah yang lain sehingga tanah ini berpotensi untuk mengfiksasi dan mempertukar kation-kation, berarti kapasitas tukar kation tinggi (Lampiran 3) pada tanah tersebut. Tingginya KTK pada Endoaquert Tioik menyebabkan peluang dalam menjerap kation asam oksalat (H+) lebih besar sehingga efek tingginya H+ yang dapat meracuni perakaran kemungkinan dapat ditekan. Endoaquert Tipik yang mempunyai persentase smektit sangat banyak (Lampiran 2)

Selain itu ion ”hydrated” H+ yang diadsorpsi oleh mineral liat lebih kuat (Marcel, 1996), kemungkinan meningkatkan jarak basal antara unit lapisan dan dapat menggantikan K+ menjadi tersedia untuk tanaman (Feigenbaum et al., 1981) melalui proses pertukaran

kation dan difusi (Roland Push et al., 2005).

Pada Hapludalf Tipik pertumbuhan tanaman (Tabel 1, dan 2), turun sangat drastis pada pemberian 500 ppm asam oksalat. Hal tersebut kemungkinan disebabkan tanah tersebut mempunyai sifat kimia terutama pH tanah masam. Pemberian asam oksalat kemungkinan menyebabkan tanah ini semakin masam sehingga merancuni dan menghambat pertumbuhan tanaman.

(38)

Pengaruh Asam oksalat dan Fe pada Vertisol dan Alfisol terhadap Kadar dan Serapan K tanaman

Aplikasi kombinasi asam oksalat dan Fe tidak nyata berinteraksi tehadap kadar K tanaman, pada semua tanah diuji. Namun pemberian asam oksalat pada dosis 500 ppm cenderung menaikan kadar K tanaman pada Endoaquert Kromik, Endoaquert Tipik dan menaikkan pada Haplustalf Tipik, sedangkan pada Hapludalf Tipik kadar K tanaman menurun dan nyata pada dosis 1000 ppm (Tabel 8). Selanjutnya pemberian Fe tidak nyata meningkatkan kadar K pada semua tanah yang diuji. Pada perlakuan tersebut kadar K tanaman umumnya cenderung naik pada pemberian 50 ppm Fe. Dosis 50 sampai 200 ppm Fe pada semua tanah diuji kadar K tanaman tidak berbeda tetapi cenderung menurun (Tabel 6).

Tabel 6. Aplikasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Kadar K Tanaman pada Empat Jenis Tanah yang diuji.

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing perlakuan dan tanah menunjukkan tidak nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%

Seperti halnya Kadar K, aplikasi kombinasi asam oksalat dan Fe tidak nyata berinteraksi tehadap serapan K tanaman pada semua tanah diuji. Pemberian asam oksalat sampai 500ppm umumnya nyata menaikan serapan K tanaman pada tanah yang diuji, kecuali pada Hapludalf Tipik (Tabel 7). Selanjutnya pemberian perlakuan Fe nyata meningkatkan serapan K sampai dosis 50ppm Fe pada Endoaquert Tipik dan Haplustalf Tipik. Peningkatan dosis Fe tersebut pada dua tanah diatas tidak beda nyata tetapi pada

Perlakuan Hapludalf

(39)

umumnya cenderung menurun. Selanjutnya pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Kromik, perlakuan Fe tidak nyata berbeda pada serapan K tanaman tetapi cenderung naik sampai 50ppm Fe, peningkatkan dosis Fe lebih dari 50 ppm cenderung menurunkan serapan K (Tabel 7).

Tabel 7. Aplikasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Serapan K Tanaman pada Empat Jenis tanah

Perlakuan Hapludalf

Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik Haplustalf Tipik

Asam Oksalat(ppm) ...mg/pot...………

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing perlakuan dan tanah menunjukkan tidak nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%.

Pada Tabel 6 dan 7, tampak bahwa pada tanah Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik, dan Haplustalf Tipik umumnya tanah kenaikan kadar dan serapan K tanaman jika diberi 500 ppm asam oksalat. Hal tersebut mungkin disebabkan karena kemampuan K-potensial tanah cukup tinggi pada Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik sedangkan pada Haplustalf Tipik KTK lebih rendah daripada kedua tanah tersebut di atas. Tingginya

KTK pada tanah tersebut memudahkan kemampuan tanah untuk mengabsorpsi H+ dari

asam oksalat untuk mengeluarkan K+ (melalui proses difusi) menjadi tersedia untuk

tanaman (Roland Push et al., 2005).

(40)

ppm asam oksalat memberikan hasil lebih baik, sedangkan pada Hapludalf Tipik memberikan efek negatif.

Tabel 8.Kenaikan Pertumbuhan dan Serapan K Tanaman akibat Pemberian 500ppm Asam

Oksalat pada Keempat Contoh Tanah

Demikian pula pemberian 50ppm Fe memberikan efek positif untuk semua tanah yang dicoba, dimana Endoaquert Tipik pada umumnya memberikan efek positif yang paling besar (Tabel 9).

Parameter Hapludalf

Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik Haplustalf Tipik ………%...

Tinggi tanaman (cm) -69.11 -10.9 3.8 -7.3

Bobot kering (g/pot) -3.74 -16.11 10.69 -14.97

Kadar K (%) -6.12 12.57 5.31 64.41

(41)

Tabel 9. Kenaikan Pertumbuhan dan Serapan K Tanaman akibat Pemberian 50ppm Fe

pada Keempat Contoh Tanah

Dari uraian di atas tampak bahwa pemberian perlakuan 50 ppm Fe pada umumnya lebih efektif daripada asam oksalat untuk semua parameter yang diuji. Sedangkan pemberian 500 ppm asam oksalat umumnya efektif terhadap kadar dan serapan K, kecuali pada Hapludalf Tipik. Hal senada dikemukahan Nursyamsi (2008) dalam hasil penelitiannya menyatakan pemberikan Fe jauh efektif dalam meningkatkan ketersedian K di dalam tanah diuji dimbandingkan pemberian asam oksalat.

Parameter Hapludalf

Tipik

Endoaquert Kromik

Endoaquert Tipik

Haplustalf Tipik ……….…….%...

Tinggi tanaman (cm) 3.37 3.36 0.98 7.38

Bobot kering (g/pot) 5.52 4.61 12.67 14.77

Kadar K (%) 4.89 12.65 29.59 4.95

(42)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Asam oksalat cenderung menurunkan pertumbuhan tanaman (tinggi dan bobot kering)

pada tanah-tanah yang diuji, kecuali pada Endoaquert Tipik (naik pada dosis 500 ppm). Kadar dan serapan K naik dengan dosis 500 ppm asam oksalat pada tanah Endoaquert Kromik dan Haplustalf Tipik tetapi menurun dengan penambahan 1000 ppm, sedangkan pada Endoaquert Tipik peningkatan kadar dan serapan K meningkat sampai dosis 1000 ppm.

2. Pemberian Fe dengan dosis 50-100 ppm berpotensi meningkatkan pertumbuhan dan

serapan K tanaman pada semua tanah diuji.

3. Perlakuan tanpa asam oksalat (0 ppm), pada Endoaquert Kromik pemberian Fe sampai

dosis 150 ppm menaikan tinggi tanaman dan menurun pada dosis 200 ppm. Pada Endoaquert Tipik penambahan Fe sampai 100 ppm tinggi tanaman meningkat dan turun diatas dosis tersebut. Selanjutnya pada Hapludalf Tipik pemberian Fe 50 ppm meningkatkan bobot kering tanaman dan menurun diatas dosis tersebut.

4. Penambahan asam oksalat 500 ppm pada Hapludalf Tipik tidak efektif, pada

(43)

Saran

1. Pemberian asam oksalat tidak disarankan untuk Hapludalf Tipik. Untuk Endoaquert

Kromik, Endoaquert Tipik dan Haplustalf Tipik disarankan tidak melebih 500ppm.

2. Pemberian Fe tidak disarankan melebihi 50ppm pada Hapludalf Tipik, dan Haplustalf

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Barber, S.A. 1984. Soil Nutrient Availability. A mechanism approach. New York, Wiley. 398p.

BKS-PTN Badan Kerjasama Ilmu Tanah. 1991. “Ilmu kesuburan tanah”. Indonesia, bagian Barat. 154p

Bolton H.Jr., J.K. Fredrickson, and L.F. Elliot. 1993. Microbial ecology of the rhizosphere. Page 27-64 in Soil Microbial Ecology. Application in Agricultural and Environmental Management. Marcel Dekker, Inc. 270 Madison Avenue, New York.

Cannon, JP., E.B. Allen, M.F. Allen; L.M .Dudley; and J.J. Jurinak. 1995. The effect of oxalat produced by Salsola tragus on the phosphorus nutrition of stipapulchra.

Ecologia 102:265-272

Deckers, J., O. Spaargaren and F. Nachtergaele. 2001. Vertisols: Genesis properties and soil management for sustainable development. p. 3-20. In Syers, J. K, F. W. T. Penning De Vries, and P. Nyamudeza (Eds): The Sustainable Management of Vertisols. IBSRAM Proceeding No. 20.

Driessen, P.M. and R. Dudal (Eds). 1989. Lecture notes on the Geography, Formation, Properties, and Use of the Major Soils of The World. Agricultural University, Wageningen.

Effendi, S. 1982. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta.

Feigenbaum, S., Edelstein R., and Shainbeirg l. 1981. Release of potassium and structural cations from micas to ion exchangers in dilute solution. Soil. Sci. Soc. Am 45: 501-506.

Ghousikar C.P. and D.W. Kendr. 1987. Potassium supplying status of some soils of Vertisol type. Potash Review No. 5/1897. International Potash Institute, Switzerland.

Grimme, H. 1985. The dynamic of potassium in the soil-plant syatem. Pp. 9-27 in Soil Testing, Plant Analysis and Fertilizer Evaluation for Potassium.PR II research series 4. Gurgaon, Haryana, India. Potash Research Institut of India.

Haby V.A. and M.P. Russelle. 1990. Testing soils for potassium, calcium, and

magnesium. p: 181-221. In RL Westerman (Ed). Soil Testing and Plant Analysis.

Third Edition. Soil Science Society of America, Madison, Wisconsin.

(45)

Havlin, J.L., J.D. Beaton; S.L. Tisdale, and W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizes. An Introduction to Nutrient Management. Sixth edition. Prentice Hall. New Jersey.

Ismail, I. 1997. Peran Na dan Substitusi Partial KCl oleh NaCl dalam Pertumbuhan dan

Produksi tebu (Saccharum officinarum L.) serta Penggaruhnya terhadap Sifat

Kimia Tanah [Disertasi]. Program Pascasarjana, IPB, Bogor.

Kilic, K., M.R. Derici and K. Saltali. 1999. The ammonium fixation in great soil groups of Tokat Regions and some factors affecting the fixation. I. The affect of potassium on ammonium fixation. Tr. J. of Agriculture and Forestry 23:673-678.

Kirkman, J.H., A. Barker, A. Surapaneni and A.N. Macgregor. 1994. Potassium in the soils of New Zealand- areview. New Zealand J. Agric. Res. 37: 207-227.

Konrad Mengel, Ernest A. Kirkby, Harald Kosegarten, Thomas Appel. 2001. Principles of plant nutrition. 5th Edition. P. 481-484.

Marcel, D. 1996. Principal of soil chemistry. Third Edition, Revised and Expanded. New York. Basel. Hong Kong.

Marschner, H. 1997. Mineral Nutrition of Higher Plants. Second Edition. Academic Press, Harcourt Brace & Company, Publisher. Tokyo.

Metson, A.J. 1968. Potassium. Pp. 82-95 in Soil of New Zealand. Part 2. New Zealand Soil Bureau Bulletin 26. Wellington, New Zealand, Government printer.

Mukanda, N. and A. Mapiki. 2001. Vertisols Management in Zambia. p. 129-127. In Syers, J. K, F. W. T. Penning De Vries, and P. Nyamudeza (Eds): The Sustainable Management of Vertisols. IBSRAM Proceedings No. 20.

Novpriansyah, H. 1998. Pemanfaatan Fe3+ dalam Meningkatkan Kelarutan Cu pada

Tanah Gambut dari Kalimantan Tengah [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor

Nursyamsi, D. 2008. Pelepasan Kalium Terfiksasi dengan Penambahan Asam Oksalat dan Kation untuk Meningkatkan Kalium Tersedia bagi Tanaman pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Parfitt, R.L. 1992. Potassium- Calcium exchange in some New Zealand soils. Australian Journal of Soil Research 30: 145-158.

PPT. 1983. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

(46)

Rachim, D.A. 2007. Dasar-dasar Genesis Tanah (Dept Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

Ristori, G.G., E. Sparvalie, M. deNobili, and LP. D’Aqui. 1992. Characterization of organic matter in particle size fractions of Vertisols. Geoderma. 54: 295-305.

Roland Push and Raymond Nen Yong. 2005. Microstructure of smectite claysand Engineering performance. P. 329. Routledge, UK

Rukmana, R. 1993. Budidaya Jagung, Kanisius, Yogokarta

Rust, R.H. 1983. Alfisols. In Wilding, L. P., N. E. smeck, and G. F. hall (Eds). Pedogenesis and Soil Taxonomy. II. The soil Orders. Elsevier Sci. Publ. B. V., Amsterdam.

Schroeder, D. 1974. Relationship between soil potassium and the K nutrition of the plant. Proc. of the Congress of the International Potash Institut 10: 53-63.

Sharpley, A.N. 1990. Reaction of fertilizer potassium in soils differing mineralogy. Soil Sci 14: 44-51.

Sparks, D.L. and P.M. Huang. 1985. Physical chemistry of soil potassium. Pp. 201-276 in Potassium in Agriculture, Munson, R. D. ed. M. Huang. 1988. Dynamic of potassium release from potassium-bearing minerals as influenced Madison, Wisconsin, U.S.A. Soil Sci Soc Am.

Sparks, D.L. 1987. Potassium Release from interlayers. Potash Review No. 2/1987. International Potash Institute, Switzerland.

Soepardi. G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Song, S.K. and P.M. Huang. 1988. Dynamic of potassium-bearing minerals as influenced by oxalic and citric acid. Soil Sci Soc. Am. J. 52:383-390.

Staunton, S. and F. Leprince. 1996. Effect of pH and some organic anions on the solubility of soil phosphate: Implication for P bioavalability. Eur J. Soil Sci 47:231-239.

Sutoro, Y. Soelaeman dan Iskandar. 1988. Budidaya Tanaman Jagung dalam Jagung.

Balitbang Pertanian. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Hal 49-66.

Suwarto, S., Yahya., Handoko dan M.A. Chozin. 2005. Kompetisi Tanaman Jagung dan Ubi Kayu dalam system Tumpangsari. Buletin Agronomi (2):1-7.

Takala. 1997. Tanah Pertanian di Indonesia. Editor. Edisi Khusus. Jakarta. J. Ilmu Pertanian 2004 (2): 11-24.

Tan, K.H. 1998. Principles of Soil Chemistry. Third edition revised and expanded. Marcel Deker, Inc., New York.

Treadwell, F.P. and S.B. Hall. 1962. Analytical Chemistry. Vol I. 9th Ed. John Willey&

(47)

Van Wambeke, A. 1992. Soil of the Tropics. Properties and Appraisal. McGraw-Hill. Inc, New York.

(48)

Lampiran 1. Sifat-sifat Morfologi Profil Tanah-tanah di Lokasi Percobaan Laboratorium dan

Rumah Kaca.(Nursyamsi, 2008)

Profil : P1

Klasifikasi :

Taksonomi (USDA, 1998) : Hapludalf Tipik, halus, smektitik, isohipertermik

PPT (1983) : Mediteran Coklat Kemerahan

FAO : Luvisol

Lokasi : Jonggol, Bogor, Jabar

Tinggi tempat : 80 m

Topografi : Datar

Drainase : Sedang

Penggunaan lahan/vegetasi : Palawija

Bahan induk : Batu kapur

Horizon Kedalaman (cm) Uraian

Ap 0 – 19 Coklat gelap 7 ½ YR 4/4, lempung berliat, gumpal bersudut halus

sedang, gembur (lembab), akar halus banyak, jelas rata.

Bt 19 – 52 Coklat 7 ½ YR 5/4, liat, gumpal bersudut sedang sedang, teguh

(lembab), akar halus sedikit, jelas rata.

BC 52 – 73 Coklat 7 ½ YR 5/4, coklat kelabu sangat gelap 7 ½ YR 2-3/0, dan

merah 2 ½ YR 4/6, liat, gumpal bersudut halus sedang, gembur (lembab), akar halus sangat sedikit, berangsur rata.

C1 73 – 96 Kelabu pucat 7 ½ YR 6/2 dan merah 2 ½ YR 4/6, liat, masif,

berangsur rata.

C2 96 – 120 Putih pucat 7 ½ YR 8/2, liat, masif, berangsur rata.

(49)

Profil : P2

Klasifikasi :

Taksonomi (USDA,

1998) : Endoaquert Kromik, sangat halus, smektitik, isohipertermik

PPT (1983) : Grumusol

FAO : Vertisol

Lokasi : Sidareja, Cilacap, Jateng

Tinggi tempat :

Topografi : Datar

Drainase : Terhambat

Penggunaan lahan/vegetasi : Campuran (kebun dan tegalan)

Bahan induk : Endapan liat berkapur

Horizon Kedalaman (cm) Uraian kasar banyak, berangsur rata, bidang kilir jelas

Bgis 35 – 59 Kelabu 10 YR 6/1 dan coklat gelap kekuningan 10 YR 4/4, liat

(50)

Profil : P3

Klasifikasi :

Taksonomi (USDA,

1998) : Endoaquert isohipertermik Tipik, sangat halus, smektitik,

PPT (1983) : Grumusol

FAO : Vertisol

Lokasi : Padas, Ngawi, Jatim

Tinggi tempat :

Topografi : Datar

Drainase : Terhambat

Penggunaan lahan/vegetasi : Tembakau

Bahan induk : Endapan liat

Horizon Kedalaman (cm) Uraian

Ap 0 – 17 Hitam 10 YR 2/1, liat, gumpal bersudut sedang lemah, gembur

(lembab), lekat plastis (basah), akar halus banyak, jelas rata, bidang kilir agak jelas

Bgis 17 – 49 Kelabu sangat gelap 2 ½ Y 3/0, liat berat, baji kasar lemah,

sangat teguh (lembab), lekat plastis (basah), akar halus sedikit, berangsur rata, bidang kilir jelas

Bgis 49 – 105 Kelabu gelap 2 ½ Y 4/0, liat berat, baji sangat kasar lemah,

sangat teguh (lembab) lekat plastis (basah), berangsur rata, bidang kilir sangat jelas

Bg 105 – 140 Kelabu gelap 2 ½ 4/0, liat, baji kasar lemah, sangat teguh

(51)

Profil : P4

Klasifikasi :

Taksonomi (USDA,

1998) : Haplustalf Tipik, halus, campuran, semi aktif, isohipertermik

PPT (1983) : Mediteran

FAO : Luvisol

Lokasi : Todanan, Blora, Jateng

Tinggi tempat :

Topografi : Bergelombang

Drainase : Baik

Penggunaan lahan/vegetasi : Campuran

Bahan induk : Batu kapur

Catatan: Terdapat retakan hingga kedalaman 70 cm selebar ½ - 1 cm; Terdapat pasir halus (10%) di lapisan ke-3 dan ke-4.

Horizon Kedalaman (cm) Uraian

Ap 0 – 12 Coklat gelap kekuningan 10 YR 3/4, lempung berliat, gumpal

bersudut halus lemah, gembur (lembab), akar halus sedang, jelas rata.

Bt1 12 – 36 Coklat gelap kekuningan 10 YR 4/6, liat, gumpal bersudut

prisma sedang sedang, sangat keras (kering), akar halus, sedang, dan kasar sedikit, jelas rata.

Bt2 36 – 82 Coklat gelap kekuningan 10 YR 4/6 dan coklat kekuningan 10

YR 5/6, liat, gumpal bersudut prisma sedang sedang, sangat keras (kering), akar halus, sedang, dan kasar sedikit, berangsur rata.

BC 82 – 115 Coklat gelap kekuningan 10 YR 4/6 dan coklat kekuningan 10

YR 5/6 serta karatan coklat kuat 7 ½ YR 5/6, liat, gumpal bersudut prisma sedang sedang, sangat keras (kering), akar halus, sedang, dan kasar sedikit, jelas rata.

C 115 – 150 Coklat kekuningan 10 YR 5/6 dan karatan coklat kuat 7 ½ YR

(52)

Lampiran 2. Hasil Analysis Mineral Liat Kuantitatif terhadap Lapisan Atas Contoh Tanah (Nursyamsi, 2008)

Tanah Smektit Kaolinit Kuarsa Tempat

Vertisol (Endoaquert Kromik) ++++ + (+) Sidareja (Cilacap)

Vertisol (Endoaquert Tipik) ++++ - - Padas ( Ngawi)

Alfisol (Hapludalf Tipik) +++ ++ (+) Jonggol (Bogor)

Alfisol (Haplustalf Tipik) ++ ++++ + Todanan (Blora)

(53)
(54)

Lampiran 4. Kriteria Penelitian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Peneliatian Tanah, 1983)

Sumber: Pusat Penelitian Tanah (1983)

Sifat Tanah

Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

C (%) <1.00 1.00-200 2.01-3.00 3.01-5.00 >5.00

N (%) <0.10 0.10-0.20 0.21-0.50 0.51-0.75 >0.75

C/N <5 5.00-10 11.00-15 16-25 >25

P2O5 HCl (mg/100g) <10 10.00-20 21-40 41-60 >60

P2O5 Bray (ppm) <10 10.00-15 15-25 26-35 >35

P2O5 Olsen (ppm) <10 10.00-25 26-45 45-60 >60

K2O HCl 25%

(mg/100g) <10 10.00-20 21-40 41-60 >60

KTK (me/100g) <5 5.00-16 17-24 25-40 >40

Susunan Kation

K (me/100g) <0.10 0.1-0.2 0.3-0.5 0.6-1.0 >1.00

Na (me/100g) <0.10 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1.0 >1.00

Mg (me/100g) <0.4 0.4-1.0 1.1-2.0 2.1-8.0 >8.00

Ca (me/100g) <2 20-35 6.00-10 11.00-20 >20

Kejenuhan Basa (%) <20 20-35 36-50 51-70 >70

Kejenuhan Al (%) <10 10.00-20 21-30 31-60 >60

Masam Sangat Masam Agak Masam Netral Agak Alkali Alkali

(55)

Lampiran 5. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam oksalat dan Fe terhadap Tinggi Tanaman pada keempat Contoh Tanah.

Lampiran 6.Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam oksalat dan Fe terhadap Bobot Kering Tanaman pada

keempat Contoh Tanah.

Lampiran 7. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam oksalat dan Fe terhadap Kadar K pada keempat Contoh

Tanah.

Hapludalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik Haplustalf Tipik

Hapludalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik Haplustalf Tipik

Hapludalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik Haplustalf Tipik

(56)

Lampiran 8. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam oksalat dan Fe terhadap Serapan K pada kempat Contoh

Tanah.

Hapludalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik Haplustalf Tipik

Source DF SS Mn Sq F Pr > F SS Mn Sq F Pr > F SS Mn Sq F Pr > F SS Mn Sq F Pr > F A 2 11618 5809 60.7 <.0001* 58187 29093 6.98 0.0035* 21048 10524 3.51 0.0435* 2109 1055 1.05 0.3637 F 4 8.199 2.05 0.02 0.9991 9183.3 2296 0.55 0.7 20736 5184 1.73 0.1711 6282 1571 1.56 0.2119 AxF 8 184.9 23.1 0.24 0.9791 7177.8 897.2 0.22 0.985 12714 1589 0.53 0.8232 7339 917 0.91 0.5207 R 2 533.7 267 2.79 0.0788 4959.7 2480 0.59 0.559 63669 31835 10.6 0.0004 5813 2906 2.89 0.0722 Error 28 2682 95.8 116748 4170 83845 2994 28153 1005 Total 44 15027 196256 202012 49696

Gambar

Gambar 1. Keseimbangan Dinamik antar Bentuk-bentuk K Tanah (Kirkman  et al., 1994)
Gambar 2. Keseimbangan dan Siklus K di dalam Tanah (Havlin et al., 1999)
Tabel 1. Aplikasi Asam Oksalat dan Fe terhadap Tinggi Tanaman pada Hapludalf Tipik dan Haplustalf Tipik
Tabel 2. Pengaruh Kombinasi Asam Oksalat  dan Fe terhadap Tinggi Tanaman pada Endoaquert Kromik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kehadiran A.W yang kini telah pulih telah kembali berkumpul dengan Ibu dan kedua adik kandungnya dalam keluarga diterima oleh semua anggota keluarga dengan saling

Segala Puji bagi Allah SWT atas segala kemuliaan dan kehendak-Nya dapat diselesaikannya penyusunan skripsi yang berjudul “PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF LEARNING

Penelitian ini bertujuan menelaah, membandingkan, dan mendeskripsikan (1) kemampuan berpikir kreatifdan komunikasi matematis siswa yang diajar dengan menggunakan

Penelitian ini menggunakan studi kasus yang bertujuan untuk menganalisis serta mendesain sistem informasi akuntansi atas siklus penggajian dan pembelian dalam upaya meningkatkan

[r]

Kurikulum 2013 atau Pendidikan Berbasis Karakter adalah kurikulum baru yang dicetuskan oleh Kementerian.. Pendidikan dan Kebudayaan

menghadapi tantangan atau memanfaatkan kesempatan yang diciptakan perubahan-perubahan yang terjadi. Peningkatan kompleksitas Organisasi. Semakin besar organisasi semakin

UPAYA MENINGKATKAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI BERMAIN AIR”BERENANG” KELOMPOK B TK PERTIWI TOYAREJA KECAMATAN PURBALINGGA KABUPATEN PURBALINGGA.. SEMESTER GENAP TAHUN