PERBANDINGAN EKSPRESI SERABUT SARAF ENDOMETRIUM WANITA ENDOMETRIOSIS DENGAN NON ENDOMETRIOSIS
MENGGUNAKAN PROTEIN GENE PRODUCT 9.5
TESIS
OLEH :
ROBBY PAKPAHAN
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK
PENELITIAN INI DI BAWAH BIMBINGAN TIM 5
PEMBIMBING:
dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG),SpOG(K)
dr. Elida R Sidabutar,SpOG
PENYANGGAH :
dr. Edy Ardiansyah,M.Ked(OG), SpOG.K
dr. Syamsul A Nasution, M.Ked(OG),
SpOG.K
dr. Hayu L Haryono, M.Ked(OG), SpOG
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Keahlian Dalam
LEMBAR PENGESAHAN
Penelitian ini telah disetujui oleh TIM – 5 :
PEMBIMBING :
dr. Ichwanul Adenin.M.Ked(OG),SpOG(K)
Pembimbing I Tgl : Oktober 2014
..………..
dr. Elida R Sidabutar, SpOG
Pembimbing II Tgl : Oktober 2014
…...
PENYANGGAH
dr. Edy Ardiansyah, M.Ked (OG),SpOG(K)
Divisi Uroginekologi Tgl : Oktober 2014
….……….…….
dr. Syamsul A Nasution, M.Ked(OG), SpOG(K)
Divisi Fertilitas Endokrinologi dan Reproduksi Tgl : Oktober 2014
...
dr. Hayu L Haryono, M.Ked(OG), SpOG
Divisi Feto Maternal Tgl : Oktober 2014
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat ridho
dan karunia-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
salah satu syarat untuk memperoleh keahlian dalam bidang Obstetri dan
Ginekologi. Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis ini
memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, namun demikian
besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam
menambah perbendaharaan pustaka, dengan judul :
“PERBANDINGAN EKSPRESI SERABUT SARAF ENDOMETRIUM WANITA ENDOMETRIOSIS DENGAN NON ENDOMETRIOSIS
MENGGUNAKAN PROTEIN GENE PRODUCT 9.5 ”
Dengan selesainya penelitian ini, perkenankanlah saya
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program
Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.
Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG(K) dan Dr. dr. M. Fidel Ganis
Siregar, M.Ked(OG), SpOG(K), selaku ketua dan sekretaris Departemen
Obstetri dan Ginekologi FK USU Medan.
Dr. dr. Henry Salim Siregar, SpOG(K) dan dr. M. Rhiza Z. Tala,
M.Ked(OG), SpOG(K) selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK
USU, Medan.
Kepada Prof. dr. Hamonangan Hutapea, SpOG(K), Prof. Dr. dr. H.
M. Thamrin Tanjung, SpOG(K), Prof. dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG(K),
Prof. dr. T. M. Hanafiah, SpOG(K), Prof. dr. Budi R. Hadibroto, SpOG(K),
Prof. dr. Daulat H. Sibuea, SpOG(K), Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K),
dr. Deri Edianto, M.Ked(OG), SpOG(K) dan dr. M. Rusda, M.Ked(OG),
SpOG(K) yang secara bersama-sama telah berkenan menerima saya
untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis di Departemen Obstetri dan
Ginekologi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan budi
guru-guru saya tersebut.
Kepada dr. Makmur Sitepu, M.Ked(OG), Sp.OG (K) selaku orang
tua angkat saya selama menjalani masa pendidikan, yang telah banyak
mengayomi, membimbing, dan memberikan nasehat yang bermanfaat
kepada saya selama dalam pendidikan.
Kepada dr. Ichwanul Adenin, M.Ked(OG), SpOG(K) dan dr. Elida
M.Ked (OG), SpOG(K), dr. Syamsul A Nasution, M.Ked (OG), SpOG(K)
dan dr. Hayu L Haryono, M.Ked (OG), SpOG selaku penyangga.
Terima kasih kepada para guru saya di tim 5, atas segala koreksi, kritik
yang membangun, serta atas segala atas bantuan, bimbingan, juga waktu
dan pikiran yang telah diluangkan dengan penuh kesabaran, dalam
rangka melengkapi penulisan dan penyusunan tesis ini hingga dapat
terselesaikan dengan baik.
Kepada dr. Putri C. Eyanoer, MSEpi.Phd yang telah meluangkan
waktu dan pikiran untuk membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik
tesis ini.
Kepada Divisi Ginekologi yang telah mengizinkan saya untuk
melakukan penelitian ini.
Kepada dr. Johny Marpaung, M.Ked (OG), SpOG selaku
pembimbing Referat Fetomaternal saya yang berjudul : “Peranan Proses Inflamasi pada Persalinan Prematur”, kepada dr. Ichwanul Adenin,
M.Ked(OG), SpOG(K) selaku pembimbing Referat Fertilitas Endokrinologi
dan Reproduksi saya yang berjudul “Keguguran berulang karena pengaruh faktor lingkungan ”, dan kepada dr. J. S. Khoman, SpOG(K)
selaku pembimbing Referat Onkologi-Ginekologi saya yang berjudul
“Penyakit Tropoblastik Gestasional”
Para guru guru yang saya hormati, seluruh staf pengajar
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik di
Deli, RSU Sundari dan RS KESDAM II Putri Hijau, Medan, yang telah
banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir
pendidikan.
Direktur RSUP H. Adam Malik, Medan dan Ketua Departemen Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan, beserta seluruh staf medis,
paramedis maupun non medis-paramedis yang telah memberikan
kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya untuk bekerja selama
mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di instansi tersebut.
Direktur RSUD dr. Pirngadi, Medan dan Ketua SMF Kebidanan dan
Penyakit Kandungan dr. Syamsul Arifin Nasution, M.Ked(OG), SpOG(K)
beserta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis
yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya
untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di
instansi tersebut.
Direktur RS Haji Mina Medan serta Kepala SMF Kebidanan dan
Penyakit Kandungan dr. H. Muslich Perangin-angin, SpOG, Direktur RS
Tembakau Deli serta Kepala SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan dr.
H. Sofian Abdul ilah, SpOG, Direktur RSU Sundari serta Kepala SMF
Kebidanan dan Penyakit Kandungan dr. H. M. Haidir, MHA, SpOG, Kepala
RUMKIT KesDam II / Bukit Barisan Puteri Hijau serta Kepala SMF
Kebidanan dan Penyakit Kandungan Mayor CKM dr. Gunawan Rusuldi,
SpOG, serta seluruh staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis
untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan selama saya bertugas di
instansi-instansi tersebut.
Kepada Direktur RSUD Sanana Kepulauan Sula Maluku Utara dr.
Syekh Ahmad, para staf medis, paramedis maupun non medis-paramedis.
Terimakasih atas segala kesempatan, bantuan, kerjasama dan bimbingan
yang diberikan selama saya bertugas.
Seluruh staf Laboratorium Patologi Anatomi RSUP H Adam Malik
yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
Kepada senior-senior saya,teman seangkatan saya dan
rekan-rekan PPDS, saya berterima kasih atas segala bimbingan dan dukungan
selama ini.
Kepada seluruh staf pegawai negeri dan pegawai honorer dan
seluruh petugas yang bekerja di lingkungan Departemen Obstetri dan
Ginekologi RSHAM dan RSPM, terima kasih atas bantuannya selama ini.
Seluruh pasien, rekan dokter muda, staf medis, paramedis maupun
non medis-paramedis pada seluruh instansi ditempat saya pernah
mengikuti pendidikan maupun bertugas. Terima kasih banyak atas segala
kerjasama, bantuan, bimbingan, serta kebaikan yang diberikan selama
masa pendidikan yang saya jalani.
Hormat dan terimakasih yang tidak terhingga saya sampaikan
kepada kedua Orang Tua Saya yang tersayang Ayahanda H.Syamsul Rizal Pakpahan dan Ibunda Hj. Intan G Simatupang yang telah
penuh kasih sayang dari saya kanak kanak hingga kini. Saya ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua adek saya Ir. Malwin
Pahlevi Alamsyah Pakpahan dan Indriyani Putri Pakpahan SE, adek ipar
Dewita Mardiny dan juga keponakan saya Azzahra Alifia Amira Pasya
Pakpahan dan Arrafah Abimanyu Pasya Pakpahan, terima kasih atas doa
dan dukungannya selalu.
Kepada seluruh keluarga dan sahabat yang telah memberikan
banyak bantuan baik secara moril maupun materil, saya ucapkan banyak
terima kasih
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah-Nya kepada
kita semua.
Medan, Oktober 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Ethical Clearance
Lampiran 2. Ekspresi serabut saraf endometrium
Wanita endometrioisis menggunakan PGP 9.5
Lampiran 3. Tabel Induk Penelitian
Lampiran 4.
1 PERBANDINGAN EKSPRESI SERABUT SARAF ENDOMETRIUM
WANITA ENDOMETRIOSIS DENGAN NON ENDOMETRIOSIS MENGGUNAKAN PROTEIN GENE PRODUCT 9.5
Robby Pakpahan, Ichwanul Adenin, Elida R Sidabutar Edy Ardiansyah, Syamsul A Nasution, Hayu L Haryono
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP H Adam Malik Medan
ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan serabut saraf di endometrium eutopik pada wanita endometriosis dan pada wanita non endometriosis dengan pewarnaan menggunakan PGP 9.5.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian desain analitik menggunakan metode Case Control Study untuk membandingkan serabut saraf di endometrium eutopik pada wanita endometriosis dengan non endometriosis. Penelitian ini dilakukan di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP H.Adam Malik Medan dan pemeriksaan imunohistokimia dilakukan oleh Laboratorium Patologi Anatomi RSUP.H. Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2014 hingga jumlah sampel terpenuhi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling. Data selanjutnya ditabulasi dan dianalisis dengan komputerisasi.
Hasil: Penelitian yang dilakukan didapati karakteristik umur subjek yang paling banyak menderita endometriosis adalah sebanyak 20 orang (80%) pada kelompok usia 35 - 45 tahun dan 17 orang (68%) di usia 41 - 45 tahun pada kelompok non endometriosis. Sedangkan untuk paritas, yang paling banyak adalah paritas 1 – 2 sebanyak 11 orang (44%) pada penderita endometriosis dan pada kelompok non endometriosis dijumpai paritas terbanyak adalah ≥ 3 sebanyak 14 orang (56%). Intensitas ekspresi serabut saraf dengan pewarnaan PGP 9.5 pada penderita endometriosis terbanyak adalah +3 didapati pada 10 kasus (40%), sedangkan pada penderita non endometriosis terdapat 22 kasus dimana tidak dijumpainya serabut saraf dengan pewarnaan tersebut.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan pada serabut saraf endometrium eutopik antara penderita endometriosis dan non endometriosis dengan menggunakan pewarnaan PGP 9,5.
.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Endometriosis merupakan suatu keadaaan ditemukannya jaringan
endometrium diluar lokasi normalnya dikavum uteri. kelainan ini
dideskripsikan sejak 1860 dan menjadi salah satu penyakit tersering yang
ditemukan dalam penyakit ginekologi, serta menjadi salah satu alasan
dilakukannya tindakan histerektomi. 1,2,3,4
Dengan adanya berbagai keluhan yang bervariasi, maka
prevalensi endometriosis sulit untuk diinterpretasikan. Diperkirakan
endometriosis muncul pada 5% hingga 10% dari wanita usia reproduktif
dan terdapat 25% hingga 35% pasien dengan keluhan infertilitas.2 Metode
primer untuk mendiagnosis endometriosis adalah laparoskopi, dengan
atau tanpa biopsi untuk diagnosa histopatologi (Kennedy, 2005; Marchino,
2005). Menggunakan standar ini, para peneliti telah melaporkan insiden
tahunan endometriosis yang terdeteksi secara tindakan bedah yaitu 1,6
kasus per 1000 wanita berusia 15 hingga 49 tahun. Pada wanita tanpa
gejala, prevalensi endometriosis bervariasi dari 2% hingga 22%. Pada
wanita yang infertil, prevalensinya antara 20% hingga 50%. Diantara
pasien dengan keluhan nyeri panggul, 40% hingga 50% merupakan
endometriosis.1 Dalam literatur lain disebutkan pula endometriosis terjadi
terdapat pada pasien dengan nyeri pelvis kronis dan 20-50%
prevalensinya pada wanita infertil.4
Saat ini kriteria standar untuk diagnosis endometriosis secara
tepat masih sulit ditentukan, hal ini terjadi karena penyakit ini memiliki
gambaran klinis dan riwayat penyakit yang tidak spesifik dan bervariasi.
Walaupun telah banyak penelitian mengenai endometriosis, namun tetap
menjadi perdebatan. Dibutuhkan penelitian lanjutan untuk dapat
memahami dan menegakkan diagnosa endometriosis.2,4
Hubungan antara endometriosis dan nyeri pada pelvis sendiri
masih belum jelas. Walaupun penderita endometriosis cenderung untuk
merasakan nyeri, terdapat 15% penderita yang ternyata bersifat
asimptomatik atau tidak mengalami nyeri. Namun, studi epidemiologi telah
banyak mendukung adanya hubungan antara endometriosis dengan
dismenorea, dispareunia dan nyeri pelvis kronis. Endometriosis yang
menyebabkan nyeri pelvis ini memberikan dampak signifikan terhadap
kualitas hidup seseorang. Namun, hingga saat ini mekanisme pasti dari
terbentuknya rangsang nyeri tersebut masih belum jelas.4,5
Studi terakhir menunjukkan bahwa pada lesi endometriosis
terdapat serabut serabut saraf sensorik dan penanda untuk rangsang
nosiseptif. Serabut serabut saraf ini diduga memiliki peran penting dalam
pertumbuhan saraf-saraf yang menyebabkan terjadinya nyeri pada
penderita endometriosis peritoneum, endometriosis ovarium dan
Protein gene product 9.5 (PGP9.5) adalah sebuah penanda
imunohistokimia neural spesifik, yang digunakan untuk melihat kandungan
serat saraf yang ada pada suatu jaringan. PGP9.5 dapat mengenali
seluruh jenis serat saraf.
Penelitian Al-Jefout M dkk, 2007, bahwa hasil biopsi endometrium
eutopik pada pasien endometriosis yang dilanjutkan dengan pewarnaan
imunohistokimia dengan PGP 9,5 untuk melihat serabut saraf dapat
digunakan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan endometriosis.5
Penelitian Bokor A dkk, 2009, menyatakan bahwa densitas
serabut saraf di endometrium eutopik pasien endometriosis 14 kali lebih
tinggi dibanding endometrium pasien normal.6
Penelitian Meibody FA dkk, 2011, menyatakan dari hasil biopsi
endometrium eutopik ditemukan serabut saraf pada seluruh penderita
endometriosis, tapi hanya ditemukan pada 3 orang yang bukan
endometriosis.7
Penelitian Liutkeviciene R dkk, 2013, menyatakan bahwa densitas
serabut saraf dari hasil biopsi endometrium eutopik yang diwarnai dengan
PGP 9,5 memiliki akurasi yang hampir sama dibanding dengan
laparoskopi dalam mendiagnosis endometriosis.8
Sementara pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Cetin C
dkk, 2013, bahwa tidak ditemukan serabut saraf pada endometrium
eutopik penderita endometriosis yang diwarnai dengan PGP 9,5, sehingga
Newman T.A dkk, 2013, menyebutkan bahwa dari hasil biopsi
endometrium eutopik ditemukan ekspresi PGP 9,5 pada endometrium
eutopik pasien endometriosis dan pasien non endometriosis.10
Keberhasilan pewarnaan PGP9.5 untuk membandingkan kedua
jaringan eutopik endometrium wanita penderita endometriosis dan
penderita non endometriosis membuka pertanyaan dan strategi baru
untuk penanganan endometriosis. Untuk itu dalam penelitian ini peneliti
melakukan perbandingan serabut saraf pada endometrium eutopik
penderita endometriosis dengan penderita non endometriosis dengan
pewarnaan dengan PGP9.5.
1.2 Rumusan Masalah
Adakah perbedaan serabut saraf pada jaringan endometrium
eutopik wanita dengan endometriosis bila dibandingkan dengan wanita
non endometriosis.
1.3. Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan serabut saraf di eutopik endometrium pada
wanita endometriosis dengan wanita non endometriosis dengan
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan serabut saraf di endometrium
eutopik pada wanita endometriosis dan pada wanita non endometriosis
dengan pewarnaan menggunakan PGP 9.5.
1.4.2 . Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi penderita endometriosis dan
non endometriosis berdasarkan paritas dan usia.
2. Untuk mengetahui ekspresi serabut saraf pada eutopik
endometrium eutopik penderita endometriosis dan non
endometriosis.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat teoritis
Dapat diketahui bagaimana perbandingan serabut saraf
pada endometrium eutopik penderita endometriosis dan non
endometriosis. Sekaligus diharapkan dapat menjadi dasar
1.5.2. Manfaat Metodologis
Dapat diketahui bagaimana pemeriksaan pewarnaan dengan
PGP 9,5 pada endometrium eutopik dengan pemeriksaan
imunohistokimia.
1.5.3. Manfaat Aplikatif
Penelitian ini diharapakan bermanfaat untuk memperoleh
data tentang bagaimana perbandingan jaringan saraf pada
penderita endometriosis dapat digunakan menjadi landasan
pilihan tindakan diagnostik untuk mengetahui adanya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Endometrium
Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus) yang
terletak diatas orifisium uteri internum dan suatu struktur silindris yakni
serviks yang terletak di bawah orifisium uteri internum. Serviks
merupakan sepertiga dari panjang uterus ini. Struktur uterus dewasa dan
tidak hamil menyerupai bentuk buah pir dengan panjang 7-8 cm dengan
berat 40-80 gram. ukuran dari cornu ke cornu 5 cm dan anteroposterior
2.5 cm. Ukuran ini akan bervariasi seiring perubahan usia, fase
menstruasi dan angka paritas.11,12
Dari segi histologi, dinding uterus terdiri dari tiga lapisan : 12
1. Lapisan perimetrium yang merupakan lapisan luar yang dibentuk oleh
lapisan jaringan ikat.
2. Lapisan muskular atau miometrium yang merupakan lapisan paling
tebal di uterus dan terdiri dari serat otot yang dipisahkan oleh kolagen
dan serat elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang
tidak berbatas tegas. Lapisan pertama dan keempat terutama terdiri
atas serat yang tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan sumbu
panjang organ. Lapisan tengah mengandung pembuluh darah yang
3. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel selapis kolumnar dan
lamina propia yang mengandung kelenjar tubular simpleks.
Endometrium merupakan lapisan mukosa yang melapisi rongga
uterus wanita yang sedang tidak hamil. Dengan ketebalan bervariasi dari
0,5 mm hingga 5 mm, lapisan mukosanya dibentuk oleh kelenjar, stroma
dan pembuluh darah. Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua
zona, yaitu : (1) Lapisan fungsional (stratum functionalis) yang
merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapisan fungsional
endometrium dibagi menjadi lapisan permukaan yang padat (stratum
compactum) dan lapisan lebih dalam yang berongga (stratum
spongiosum), (2) Lapisan basal (stratum basalis) yang paling dalam dan
berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung lamina propia
dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan basal berdekatan dengan
miometrium dan dibentuk oleh kelenjar bentuk tubular, kadang-kadang
bercabang, dilapisi oleh epitel selapis hingga bertingkat dengan stroma
yang lebih basophilic dan padat.11,13
Saraf uterus berasal dari inferior hypogastric plexus, yang terutama
membentuk uterovaginal plexus di broad ligament. Uterovaginal plexus
beberapa cabangnya turun bersamaan dengan arteri vagina dan cabang
lainnya langsung menembus serviks uteri atau naik bersamaan atau dekat
dengan arteri uterina di broad ligament. Lapisan fungsional endometrium
pada perempuan normal merupakan salah satu jaringan normal di dalam
2.2. Endometriosis
Endometriosis merupakan kelainan ginekologis jinak yang
didefinisikan sebagai adanya kelenjar dan stroma endometrial diluar lokasi
normalnya. Endometriosis pertama kali diidentifikasi pada pertengahan
abad 19 (Von Rokintansky, 1860), endometriosis paling sering ditemukan
di peritoneum pelvis namun dapat juga ditemukan di ovarium, septum
rektovaginal, ureter, dan dalam jumlah yang lebih jarang di kandung
kemih, perikardium, serta pleura (Comiter, 2002; Giudice, 2004).
Endometriosis merupakan penyakit yang tergantung oleh kondisi
hormonal dan sering ditemukan di wanita dengan usia reproduksi.
Jaringan endometrium yang berlokasi didalam miometrium dinamakan
adenomiosis.1,2
2.2.1. Epidemiologi
Insiden dari endometriosis sulit untuk diukur, karena wanita
dengan penyakit ini seringkali asimtomatik, dan modalitas radiologis
memiliki sensitivitas yang rendah untuk diagnosis. Wanita dengan
endometriosis dapat asimtomatik, subfertil, ataupun menderita nyeri pelvis
yang bervariasi derajat beratnya.1
Menurut Missmer A dkk, 2004, insidensi endometriosis terbanyak
ditemukan pada wanita usia 25-29 tahun, dan juga ditemukan dalam
Menurut Gylfason JT dkk, 2010, bahwa insidensi endometriosis di
Islandia sejak tahun 1981-2000 secara umum terjadi pada wanita usia
15-49 tahun.16
Menurut Penelitian Brandi S dkk, 2010, konfirmasi diagnosa
endometriosis dilakukan secara histologi dan insidensinya ditemukan
pada wanita usia 15 - 49 tahun di Minnesota sebanyak 160/100.000 orang
per tahun . Studi ini menunjukkan bahwa insidensinya meningkat seiring
dengan umur dari 17/100.000 orang per tahun diantara wanita usia 15-19
tahun sampai 285/100.000 orang per tahun diantara wanita usia 40-44
tahun . Insidensinya kemudian turun menjadi 184/100.000 orang per tahun
diantara wanita usia 45-49 . Studi lain juga menyatakan untuk wanita > 15
tahun, kemungkinan dilaporkan diagnosa endometriosis saat pembedahan
adalah 11,5% dan bahkan lebih tinggi pada wanita usia 45 – 54 tahun.17
2.2.2. Patofisiologi
Walaupun penyebab definitif dari endometriosis masih belum
diketahui, beberapa teori dengan bukti pendukung telah disebutkan :
A. Menstruasi retrograd
Teori terawal dan paling diterima secara luas ini
berhubungan dengan menstruasi retrograd melewati tuba fallopi
dengan diikuti penyebaran dari jaringan endometrium didalam
endometrium ini menempel dan menginvasi mesotelium peritoneum
dan mengembangkan suplai pembuluh darah, yang kemudian
berlanjut dengan pertumbuhan implan secara kontinu (Giudice,
2004).1,2
B. Penyebaran Limfatik
Bukti juga mendukung konsep terjadinya endometriosis
yang bermula dari penyebaran jaringan endometrium lewat limfatik
dan vaskuler (Ueki, 1991). Penemuan endometriosis pada lokasi
tidak biasa, seperti perineum atau panggul, mendukung teori ini
(Mitchell, 1991; Pollack, 1990). Regio retroperitoneal memiliki
sirkulasi limfatik yang sangat banyak. Kecenderungan dari
adenokarsinoma endometrium yang menyebar lewat rute limfatik
juga mengindikasikan bahwa endometrium dapat ditransportasikan
lewat rute ini (McMeekin, 2003). 1,2
C. Ketergantungan terhadap kondisi hormonal
Sebuah faktor yang terbukti memiliki peran kausatif dalam
perkembangan endometriosis adalah estrogen (Gurates, 2003).
Walaupun kebanyakan estrogen diproduksi oleh ovarium, banyak
jaringan perifer yang diketahui dapat membentuk estrogen melalui
aromatisasi dari androgen ovarium dan adrenal. Implan
endometriotik diketahui mengekspresikan aromatase dan
17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1, enzim yang bertugas untuk
estradiol. Implan pun diketahui kekurangan enzim
17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2, yang menginaktivasi
estrogen. Kombinasi ini memastikan implan berada dalam
lingkungan penuh estrogen, sehingga dapat mengeluarkan efek
biologis seperti jaringan yang memproduksinya (proses ini disebut
intrakrinologi).1,2,4
Prostaglandin E2 (PGE2) merupakan penginduksi paling
poten dari aktivitas aromatase pada sel stroma endometrium,
beraksi lewat subtipe reseptor prostagladin EP2. Estradiol yang
diproduksi sebagai respon pada peningkatan aktivitas aromatase
akhirnya memperbesar produksi PGE2 dengan menstimulasi enzim
siklooksigenase tipe 2 (COX-2) di sel endotelium uterus. Hal ini
menghasilkan lingkaran umpan balik positif dan mempotensiasi
efek estrogenik pada proliferasi endometriosis. Konsep ini secara
lokal memproduksi estrogen dan aksi intrakrin estrogen pada
endometriosis menjadi basis inhibisi farmakologis terhadap aktivitas
aromatase dalam kasus endometriosis yang refrakter terhadap
Gambar 1. Aktivitas aromatase estrogen dan pengaruh prostaglandin E2 1
Walaupun kebanyakan wanita mengalami menstruasi retrograd,
yang mungkin memiliki peran pada penyebaran dan terjadinya implan,
hanya sedikit yang mengalami endometriosis. Jaringan menstrual dan
endometrium yang refluks ke rongga peritoneum biasanya dibersihkan
oleh sel imun seperti makrofag, sel natural killer (NK), dan limfosit. Untuk
alasan ini, disfungsi sistem imun menjadi salah satu mekanisme yang
paling mungkin untuk pertumbuhan endometriosis pada kejadian
menstruasi retrograd (Seli, 2003). Gangguan imunitas selular dan humoral
serta perubahan faktor pertumbuhan juga sinyal akan adanya sitokin
Gambar 2. Berbagai Faktor yang berpengaruh pada patogenesis Endometriosis.20
2.2.3. Faktor risiko
A. Riwayat keluarga.
Terdapat bukti bahwa pola penurunan familial ada pada
endometriosis. Walaupun tidak ditemukan pola penurunan genetik
Mendel, peningkatan insidensi pada kerabat tingkat pertama
memungkinkan adanya pola penurunan poligenik/ multifaktorial.
Simpson et al di tahun 1980 melihat bahwa 5,9% saudara wanita
dan 8,1% dari ibu mereka menderita endometriosis, dibandingkan
dengan 1% dari kerabat laki-laki tingkat pertama mereka.1
B. Mutasi Genetik dan polimorfisme.
Angka endometriosis yang ditemukan dari suatu keluarga
membuat investigasi terhadap beberapa gen dilakukan. Studi
terbesar saat ini memeriksa lebih dari 1000 keluarga dengan dua
wanita bersaudara yang menderita endometriosis, dan
teridentifikasi bahwa regio pada kromoson 10q26 menunjukkan
ikatan yang signifikan pada kedua bersaudara tersebut dengan
endometriosis (Treloar, 2005). Beberapa gen lain juga telah
diidentifikasi, lewat mutasi genetik, polimorfisme, ataupun ekspresi
gen yang berbeda, untuk berhubungan dengan endometriosis.
Meskipun begitu peran kausa dari penyakit ini belum dapat
ditentukan.1,20
C. Defek Anatomik.
Obstruksi saluran reproduksi dapat mempredisposisi
seseorang untuk mengalami endometriosis, paling mungkin
melalui menstruasi retrograd (Breech, 1999). Endometriosis juga
telah diidentifikasi pada wanita dengan tanduk uterus yang tidak
berhubungan, himen imperforata, dan septum vagina yang
mengidentifikasi dan mengobati endometriosis disarankan pada
saat bedah perbaikan untuk anomali-anomali ini. Perbaikan dari
defek anatomik ini diperkirakan dapat menurunkan resiko
terjadinya endometriosis (Joki-Erkkila, 2003; Rock,1982).1,4
2.2.4. Lokasi Anatomik Endometriosis
Endometriosis dapat terbentuk dimana saja didalam pelvis
maupun permukaan peritoneal ekstrapelvis lainnya. Endometriosis paling
sering ditemukan pada area tertentu di pelvis, seperti ovarium, peritoneum
pelvis, cul-de-sac anterior dan posterior, serta ligamen uterosakral.
Terkadang septum rektovaginal, ureter, dan kandung kemih, perikardium,
skar paska operasi, dan pleura juga bisa terkena dalam frekuensi yang
lebih jarang. Sebuah tinjauan patologis menyebutkan bahwa
endometriosis telah teridentifikasi pada seluruh organ kecuali limpa
(Markham, 1989). Bisa endometriosis terbentuk pada tempat yang tidak
biasa, maka gejala yang ditimbulkan akan bersifat atipikal. Misalnya,
wanita dengan endometriosis di traktur urinarius akan mengeluhkan gejala
berkemih iritatif yang berulang dan hematuria. Wanita dengan keterlibatan
rektosigmoid dapat merasakan perdarahan rektal berulang, dan pada lesi
pleura dapat muncul pneumotoraks saat menstruasi ataupun hemoptisis
Gambar 3. Lokasi umum endometriosis.1
Endometrioma ovarium adalah manifestasi yang cukup sering dari
endometriosis. Kista ovarium dengan dinding halus, warna coklat ini berisi
cairan coklat dan dapat unilokular atau multilokular. Endometrioma
ovarium diperkirakan terbentuk dari invaginasi korteks ovarium dan
masuknya debris menstruasi yang menempel pada permukaan ovarium
(Hughesdon, 1957). Teori lain mengatakan bahwa endometrioma
2.2.5. Klasifikasi Derajat dan Lokasi Lesi Endometriosis
Pada tahun 1996, ASRM merevisi sistem klasifikasinya, yang
dikenal dengan sistem skoring revised – AFS (r-AFS). Dalam sistem ini
dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni :21
a. Stadium I (minimal) : 1 - 5
b. Stadium II (ringan) : 6 - 15
c. Stadium III (sedang) :16 - 40
d. Stadium IV (berat) : > 40
2.2.6. Manifestasi Klinis
Walaupun wanita dengan endometriosis dapat menjadi
asimtomatik, gejala yang muncul biasanya meliputi nyeri pelvis dan
infertilitas.
1. Nyeri.
Endometriosis adalah penyebab paling umum dari nyeri pelvis,
yang diderita wanita dalam derajat yang bervariasi, dapat terjadi
sewaktu-waktu maupun terjadi secara kronik. Salah satu penelitian menyebutkan
bahwa yang dikatakan dengan nyeri pelvis adalah sakit pada daerah
pelvik menetap setidaknya 3 bulan.22 Penyebab dari rasa nyeri ini belum
diketahui secara pasti, namun sitokin proinflamasi dan prostaglandin yang
dilepaskan oleh implan endometriotik ke cairan peritoneal dapat menjadi
salah satu sumbernya. Terdapat pula sumber yang menyebutkan bahwa
nyeri berhubungan dengan kedalaman invasi dan lokasi nyeri dapat
menentukan tempat implantasi endometriosis.1,2 Namun, pasien dengan
endometriosis sering mengeluhkan nyeri pada abdomen yaitu suprapubik,
umbilicus, iliaka kanan dan kiri serta sacrum.21
Data terbaru menyebutkan nyeri endometriosis dapat berasal dari
invasi neuronal terhadap implan endometriotik yang akhirnya
menghasilkan suplai saraf sensorik dan simpatik, yang kemudian dapat
hipereksitabilitas persisten dari neuron tersebut dan terjadilah nyeri yang
persisten, walaupun telah dilakukan eksisi bedah. 23.24
2. Dismenore.
Nyeri siklikal selama menstruasi sering ditemui pada wanita dengan
endometriosis. Dismenore yang berhubungan dengan endometriosis
biasanya mendahului menstruasi selama 24-48 jam dan kurang responsif
pada NSAID maupun kontraseptif oral kombinasi. Nyeri ini akan lebih
berat dibandingkan dismenore primer.1,2
3. Dispareunia.
Gejala ini berhubungan dengan endometriosis pada septum
rektovagina atau ligamen uterosakral. Selama terjadinya hubungan
seksual, tegangan pada ligamen uterosakral tersebut dapat merangsang
nyeri ini. Dispareunia yang berhubungan dengan endometriosis dicurigai
telah terjadi bila baru muncul setelah bertahun-tahun dapat berhubungan
seksual tanpa rasa nyeri (Ferrero, 2005).1
4. Disuria.
Gejala ini kurang sering dikeluhkan pasien endometriosis, begitu
pula keluhan berupa nyeri berkemih, frekuensi maupun urgensi dalam
berkemih. Bila kultur urin negatif, maka endometriosis dapat menjadi
5. Nyeri panggul kronik.
Nyeri ini juga merupakan gejala yang paling sering ditemukan
berhubungan dengan endometriosis. Sekitar 40-60% wanita dengan nyeri
panggul kronik ditemukan memiliki endometriosis saat laparoskopi
(Eskenazi, 1997). Fokus nyeri kronik ini bervariasi antar wanita, apabila
septum rektovagina yang terlibat, nyeri dapat beradiasi ke rektum ataupun
punggung bawah.1
6. Infertilitas.
Insidensi endometriosis pada wanita dengan subfertilitas adalah
20% hingga 30% (Waller, 1993). Walaupun terdapat banyak variasi,
pasien dengan infertilitas terlihat memiliki insiden endometriosis yang lebih
tinggi dibandingkan kontrol fertil, 13% hingga 33% dibandingkan 4%
hingga 8%, (D’Hooghe, 2003; Strathy, 1982). Matorras dkk, di tahun 2001
memperhatikan tingginya prevalensi endometriosis derajat berat pada
wanita dengan infertilitas. Hal ini dapat terjadi dari adhesi yang
disebabkan oleh endometriosis dan rusaknya pengambilan oosit normal
dan transportasinya ke tuba fallopi. Diluar gangguan mekanis ovulasi dan
fertilisasi, defek yang lebih ringan juga diperkirakan terlibat dalam
2.2.7. Diagnosa banding
Gejala endometriosis tidak spesifik dan dapat menyerupai banyak
proses penyakit. Karena endometriosis merupakan suatu diagnosis
bedah, beberapa diagnosis lain dapat diperkirakan sebelum diadakannya
eksplorasi tindakan bedah.25 Adapun yang dapat menjadi diagnosis
banding adalah penyakit inflamasi panggul, abses tubo-ovarian,
salpingitis, endometritis, kista ovarium hemoragik, torsi ovarium,
dismenore primer, sistitis, infeksi traktus urinarius kronik, batu ginjal,
penyakit inflamasi usus, divertikulitis, penyakit muskuloskeletal, dan
lain-lain.1,2
2.2.8. Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosis endometriosis selain lewat
anamnesis yang teliti, juga perlu dilakukan pemeriksaan fisik hingga
penunjang. Penegakan diagnosa endometriosis tidaklah mudah karena
pemeriksaan baku emas (gold standar) adalah laparaskopi, sebuah
tindakan yang masih cukup mahal untuk kebanyakan orang Indonesia.
Umumnya endometriosis juga ditemukan secara tidak sengaja pada
laparatomi.
26
Pada inspeksi visual, biasanya tidak ditemukan kelainan. Kecuali
bisa endometriosis terjadi dalam skar episiotomi atau skar bedah, dan
pemeriksaan spekulum, juga biasanya tidak terlihat tanda dari
endometriosis. Biasanya lesi berwarna kebiruan ataupun kemerahan
mungkin terlihat pada serviks atau forniks posterior pada vagina. Lesi ini
dapat nyeri atau berdarah dengan kontak. Pada pemeriksaan bimanual,
palpasi organ panggul sering menunjukkan kelainan anatomik yang
mengarahkan ke endometriosis. Nodularitas ligamen uterosakral dan rasa
nyeri dapat merefleksikan penyakit aktif. Namun sensitivitas dan
spesifisitas rasa nyeri fokal pelvis dalam mendeteksi endometriosis
menunjukkan variasi dari 36% hingga 90% dan 32% hingga 92%
(Chapron, 2002; Eskenazi, 2001; Koninckx, 1996; Ripps, 1992).1,2,4
Selain pemeriksaan fisik, pemeriksaaan laboratorium dapat
dilakukan untuk mengeksklusi penyebab nyeri panggul lain. Sebagai awal,
pemeriksaan darah perifer lengkap, urinalisis, kultur urin, kultur vagina,
dan usap serviks dapat dilakukan untuk mengeksklusi infeksi yang dapat
menyebabkan penyakit inflamasi panggul. Banyak marker serum yang
telah dipelajari sebagai alat bantu diagnosis endometriosis.
Ca125 merupakan marker serum yang paling banyak dipelajari, marker
ini ditemukan di epitel tuba falopi, endometrium, endoserviks, pleura, dan
peritoneum. Peningkatan Ca125 secara positif berkorelasi dengan
keparahan endometriosis (Hornstein, 1995). Spesifisitas marker ini cukup
tinggi, sayangnya sensitivitasnya kurang baik untuk mendeteksi
endometriosis ringan. Marker ini lebih baik untuk mendeteksi
endometriosis stadium 3 dan 4. Sebuah meta analisis menunjukkan
Untuk penunjang radiologis, ultrasonografi baik transabdominal
maupun transvaginal keduanya banyak digunakan dalam diagnosis
endometriosis. Ultrasonografi transvaginal masih menjadi pilihan utama
dalam mengevaluasi gejala yang berhubungan dengan endometriosis.
Terdapat pula teknik baru berupa sonovaginografi, yaitu sebuah teknik
dengan melakukan instilasi cairan fisiologis ke vagina untuk secara akurat
melokalisasi endometriosis rektovagina. Sonografi transrektal juga dapat
membantu diagnosis dan evaluasi endometriosis (Brosens, 2003).
Ultrasonografi transvagina sama efektifnya dengan pendekatan transrektal
dalam mengidentifikasi endometriosis panggul posterior.1,2,4
Laparoskopi diagnostik merupakan metode primer yang
digunakan untuk mendiagnosis endometriosis. Dengan metode ini dapat
terlihat lesi yang bervariasi warnanya, dapat merah, putih, ataupun hitam.
Walaupun konsensus saat ini tidak membutuhkan evaluasi histologis
untuk diagnosis endometriosis, hanya bergantung pada temuan
laparoskopik yang dapat menyebabkan terjadinya overdiagnosis. Dalam
diagnosis histologis harus ditemukannya kedua kelenjar endometrial dan
stroma yang ditemukan diluar rongga uterus. Deposisi hemosiderin dan
metaplasia fibromuskular juga dapat ditemukan. Tampilan makroskopik
akan spesifik seperti temuan mikroskopiknya, misalnya lesi merah dalam
tampilan mikroskopik biasanya memiliki banyak vaskularisasi. Lesi putih
lebih sering menunjukkan fibrosis dan sedikit pembuluh darah (Nissolle,
2.3. Nyeri Endometriosis
Nyeri panggul secara umum diakui sebagai gejala utama pada
endometriosis. Infertilitas juga merupakan gejala umum dari
endometriosis, tetapi sebagian besar pasien akan disertai dengan keluhan
nyeri. Nyeri panggul endometriosis dapat dikenal dengan baik, tetapi
kebanyakan hanya berpikir dalam hal trias umum berupa dismenorea
,dispareunia dan nyeri yang mendalam mengikuti motilitas usus.
Kurangnya kesadaran tentang variasi nyeri endometriosis mungkin
bertanggung jawab atas keterlambatan dalam diagnosis, yang rata-rata
mencapai waktu 8-10 tahun dari timbulnya gejala awal. Faktor lain yang
berkontribusi terhadap keterlambatan dalam diagnosis adalah kegagalan
pasien untuk menginformasikan tentang gejala nyeri.14,21,27,28,29
Ballar dkk (2006), menemukan bahwa persepsi nyeri
endometriosis yang paling sering dikemukakan pasien adalah jenis
throbbing, gnawing dan dragging pada tungkai. Beberapa mekanisme
yang diduga sebagai penyebab nyeri pada endometriosis adalah:30
a. Produksi zat – zat, seperti prostaglandin, growth factor dan sitokin dari
makrofag yang teraktivasi, juga sel – sel yang berkaitan dengan implan
endometrium.
b. Efek langsung dan tidak langsung dari perdarahan aktif pada implant
endometriosis.
Gejala klasik endometriosis, termasuk dismenorea sekunder
(kongestif), dispareunia, nyeri gerakan usus, perdarahan menstruasi yang
berat dan infertilitas. Namun, literatur menunjukkan bahwa siklus
menstruasi dan nyeri menstruasi jauh lebih luas dan kompleks daripada
ini. Memang, rasa sakit endometriosis hanya salah satu bagian dari suatu
gejala unik namun sangat kompleks.22,27
Karakteristik nyeri haid (dismenorea) dijelaskan oleh sebagian
besar perempuan sebagai intens, tak tertahankan, kram, menggerogoti,
dan menekan. Lokasi dominan dari nyeri terdapat di abdomen tengah dan
bawah (92% dari wanita dengan dismenorea), daerah panggul dalam
(41%), punggung bagian bawah (50%) dan paha, pinggang,
selangkangan, anus dan umbilikus.22,27,28
Gejala nyeri gastrointestinal sering diabaikan, tetapi nyeri kolik
dan gejala iritasi usus dialami 82% wanita dengan endometriosis.
Dikatakan bahwa perbedaan utama antara irritable bowel syndrome dan
gejala khas endometriosis usus adalah bahwa dalam irritable bowel
syndrome, nyeri kolik hilang dengan gerakan usus, sedangkan pada
Gambar 5. Perbedaan tipe nyeri yang berhubungan dengan
Gambar 6. Mekanisme nyeri pada endometriosis yang berhubungan dengan nyeri pelvis.27
2.4. Serabut Saraf Endometrium eutopik pada endometriosis
Sangat sedikit yang diketahui tentang endometrium atau neurogenesis pada uterus, namun mereka dianggap penting dalam
pembentukan gejala nyeri terkait endometriosis yang dibuktikan dengan
peningkatan yang sangat signifikan dari ekspresi nerve growth factor
(NGF). 31
Ada bukti bahwa endometrium eutopik pada wanita dengan
endometriosis berbeda dengan endometrium wanita tanpa endometriosis
endometrium normal. Endometrium eutopik wanita dengan endometriosis
ini menunjukkan berbagai anomali dibandingkan dengan endometrium
wanita yang bebas penyakit yang menunjukkan bahwa defek utama dalam
endometriosis mungkin endometrium eutopik. 32,33
Adanya serabut saraf pada endometrium eutopik pada wanita
endometriosis diduga muncul karena adanya rangsangan yang memicu
munculnya perkembangan saraf lokal, dan diduga NGF berperan dalam
hal ini. NGF di ekspresikan dengan kuat pada kelenjar dan stroma lapisan
fungsional dan basal endometrium penderita endometriosis, dan hal ini
tidak diekspresikan pada endometrium eutopik wanita yang tidak
endometriosis. 34
Molekul yang memiliki peran penting dalam neurogenesis
termasuk novel neurotrophin-1 / B cell-stimulating factor-3 (NNT-1/BSF-3)
dan NGF, brain-derived neurotrophic factor (BDNF), neurotrophin-3
(NT-3), neurotrophin-4/5 (NT-4/5), dan anggota famili glial-cell derived
neurotrophic factor (GDNF). 35,36
Pada wanita dengan endometriosis, ekspresi dari neurotrophin,
reseptornya dan molekul aktif neuronal lainnya meningkat dibandingkan
dengan wanita tanpa penyakit. Secara khusus, ekspresi NGF dan
reseptornya TrkA dan P75 meningkat pada wanita dengan endometriosis,
terutama pada lapisan fungsional dari endometrium. Reseptor ini tidak
dijumpai pada endometrium yang normal, tapi dijumpai pada serabut saraf
menimbulkan dugaan bahwa sekresi neurotrophin dan reseptornya
merupakan penyebab pertumbuhan serabut saraf.37
Selain itu ekspresi berbagai faktor angiogenik dan / atau
limfoangiogenik utama dan reseptornya yang juga secara neuronal aktif
diketahui berubah (kebanyakan meningkat) dalam endometrium eutopik
dari wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan kontrol
endometrium. Sel neuroendokrin, yang dapat menghasilkan zat
neuromodulatorik dalam merespon stimulasi neurogenik atau kimia,
meningkat densitasnya secara signifikan pada endometrium wanita
dengan endometriosis. NGF dan neurotrophin lainnya, diproduksi oleh
berbagai sel imun termasuk sel T, sel B, makrofag, sel natural killer (NK),
sel mast dan sel dendritik. Menariknya, sejumlah populasi sel imun ini
diketahui meningkat densitasnya pada endometrium eutopik wanita
dengan endometriosis dan ini mungkin memainkan peran dalam
memfasilitasi ekspresi yang terganggu secara lokal dari molekul yang aktif
secara neuronal dalam endometrium eutopik pada endometriosis. 38,39
Endometrium pada wanita endometriosis mungkin menghasilkan
sejumlah molekul pengatur dengan efek neurotropik (misalnya factor
pertumbuhan saraf) untuk memicu pertumbuhan serabut saraf. Lebih
lanjut dari temuan peningkatan ekspresi neurogenesis, endometrium
eutopik dari wanita dengan endometriosis mengandung serabut saraf kecil
dan tidak bermielin dalam lapisan fungsional. Serabut saraf tidak dijumpai
pada wanita tanpa endometriosis. Serabut saraf dalam lapisan fungsional
otonom. Pada wanita dengan endometriosis densitas serabut saraf dalam
endometrium basal dan miometrium juga meningkat secara signifikan
dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis. Adanya serabut saraf
pada wanita dengan gejala nyeri menunjukkan bahwa pada wanita
dengan endometriosis endometrium eutopik mungkin terlibat dalam
pembentukan gejala nyeri. 5,7,26,40
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, patofisiologi rasa nyeri
yang dirasakan penderita endometriosis belum dapat diketahui secara
jelas. Bagaimana dapat terjadi jaringan endometrium yang tidak ada
serabut saraf dapat menimbulkan nyeri saat berada ditempat yang
berbeda.26
Adapun serabut saraf yang telah teridentifikasi sampai sekarang
adalah serabut saraf A delta, serabut saraf C, dan saraf otonom simpatis.
Schaible dkk, (2002) menunjukkan bahwa serabut saraf yang
termielinisasi hanya terdapat pada lapisan basal endometrium sedangkan
serabut saraf yang tidak termielinisasi tersebar pada seluruh jaringan
endometriosis.41
Penelitian Tulandi dkk. (2001) menggunakan penanda (marker)
neurofilamen dan menunjukkan bahwa jarak antara serabut saraf lebih
padat pada wanita endometriosis yang mengeluhkan gejala nyeri
dibandingkan yang tidak mengeluhkan gejala nyeri.42 Penelitian Anafdkk.
(2002) dengan penanda imunohistokimia protein S-110 juga menunjukkan
adenomiotik yang menunjukkan ekspresi nosiseptor dibanding yang
tidak.43
Serabut A delta (Aδ) adalah serabut saraf bermielin yang berdiameter 2-5 mikrometer. Serabut saraf ini dapat menghantar dengan
kecepatan 12-30 m/detik dalam peranan nyeri cepat (dirasakan dalam
waktu kurang dari satu detik) serta memiliki lokalisasi yang jelas dirasakan
seperti ditusuk, tajam. Serabut C merupakan serabut yang tidak bermielin
dengan kecepatan hantaran 0,4 –1,2 m/detik. Nyeri yang ditimbulkan
adalah nyeri lambat (dirasakan selama 1 (satu) detik atau lebih) dengan
sifat nyeri tumpul, berdenyut atau terbakar. Dibandingkan dengan serabut
A delta yang hanya ditemukan pada lapisan basal endometrium,rangsang
nyeri hilang timbul lebih dinamik dicetuskan oleh serabut C yang tersebar
baik di lapisan basal maupun fungsional endometrium.44,45
Penelitian Tokushige dkk, 2007 membuka sedikit tabir untuk mengarahkan
pada penjelasan atas kondisi ini. Penelitian ini berusaha untuk mencari
apakah terdapat perbedaan kandungan saraf diantara jaringan
endometrium penderita endometriosis dan tidak endometriosis. Polyclonal
rabbit anti-protein gene product 9.5 (PGP9.5) adalah salah satu penanda
yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan menggunakan sampel
endometrium dari hasil histerektomi, didapati 10 wanita penderita
endometriosis dengan rentang usia berkisar antara 42-46 tahun dan 35
wanita yang non endometriosis dengan rentang usia berkisar antara 38-54
tahun (tidak ada yang menopause). Penelitian ini berhasil membuktikan
endometrium wanita tanpa endometriosis dan serabut saraf pada
penderita endometriosis secara signifikan berbeda dibanding yang bukan
penderita endometriosis. ditemukan serat saraf bermyelin, tidak bermyelin,
serta beberapa saraf sensoris pada endometrium. Pada lapisan fungsional
endometrium penderita endometriosis ditemukan serabut saraf sensori C
dan sensori Aδ, dan serabut saraf adrenergik pada lapisan basal
endometrium. PGP9.5 adalah penanda seluruh jenis saraf yang sangat
spesifik.25
Gambar 8. Lapisan fungsional endometrium pada wanita endometriosis.45
Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2007
tersebut, banyak penelitian lain dilakukan dengan dasar potensi
penggunaan deteksi serat saraf untuk melakukan diagnosis terhadap
endometriosis. Hal ini berhubungan kembali dengan tindakan laparoskopi
yang menjadi baku emas pemeriksaan saat ini. Laparoskopi yang invasif,
dengan biaya yang tidak sedikit, serta proses persiapan yang memakan
waktu, mendorong penemuan cara baru untuk diagnosis endometriosis
dengan lebih mudah dan lebih cepat.25,26
Pada tahun 2009, sebuah uji tertutup ganda oleh Al Jefout M dkk,
dilakukan untuk mencari kemungkinan penggunaan deteksi serat saraf
sebagai diagnosis endometriosis. Dalam penelitian ini juga digunakan
polyclonal rabbit anti-protein gene product 9.5 (PGP9.5) sebagai penanda,
diambil dari 99 wanita dengan rentang usia 20-50 tahun, sampel
didapatkan bahwa dari 64 orang yang terdiagnosis endometriosis secara
laparoskopik, hanya 1 orang yang tidak terdeteksi memiliki serat saraf di
endometriumnya, dan terdapat 6 orang tanpa endometriosis yang
ditemukan serat saraf pada endometriumnya. Dalam uji ini didapatkan
spesifisitas 83% dan sensitivitas sebesar 96%. Nilai yang diperoleh
metode ini cukup baik, bahkan mendekati keakuratan laparoskopi yang
dilakukan oleh ahli ginekologis.45
Sependapat dengan penelitian pada tahun 2009 tersebut, sebuah
uji lain pada tahun 2011 oleh Meibody dkk, yang dilakukan dengan
metode case control dengan menggunakan jaringan endometrium dari
hasil biopsi endometrium dari 12 penderita endometriosis dengan rerata
usia 39,5 ± 5,9 tahun dan 15 yang non endometriosis dengan rerata usia
41,6 ± 5,7 tahun yang akan dilakukan tindakan laparoskopi ataupun
laparotomi, untuk memeriksa kelayakan deteksi serat saraf ini sebagai
penunjang diagnosis endometriosis, dengan hasil yang juga menetapkan
bahwa deteksi serat saraf dengan menggunakan Polyclonal rabbit
anti-protein gene product 9.5 (PGP9.5) merupakan penanda diagnosis
endometriosis yang terpercaya. Pada penelitian yang berlangsung selama
2 tahun ini, digunakan metode menyerupai penelitian terawal (penelitian
oleh Tokushige dkk tahun 2007). Didapatkan hasil bahwa dari seluruh
penderita endometriosis, terdeteksi adanya serat saraf. Pada penderita
non endometriosis, ditemukan 3 dari 15 orang (20%) terdeteksi memiliki
serat saraf di endometriumnya. Tetap saja, ditemukan densitas serat saraf
endometriosis.7 Maka uji ini memberikan kesimpulan bahwa pendeteksian
serat saraf dengan menggunakan polyclonal rabbit anti-protein gene
product 9.5 (PGP9.5) adalah metode yang baik untuk digunakan secara
umum.46
Bahkan penelitian yang dilakukan Liutkeviciene R dkk, 2013, yang
dilakukan dengan metode case control pada 283 sampel endometrium
yang diperoleh dari hasil biopsi tanpa membedakan fase menstruasi,
dengan penderita endometriosis sebanyak 131 orang dan 152 orang non
endometriosis, dengan usia berkisar antara 26-46 tahun, menyatakan
bahwa densitas serabut saraf dari hasil biopsi endometrium yang diwarnai
dengan PGP 9,5 memiliki akurasi yang hampir sama dibanding dengan
laparoskopi dalam mendiagnosis endometriosis. Namun karena PGP 9.5
merupakan alat uji diagnostik yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi, besar kemungkinan pemeriksaan ini dapat menjadi alat bantu
pada pasien infertilitas untuk menurunkan jumlah tindakan laparoskopi
tanpa menurunkan angka penderita endometriosis.8
Sayangnya penelitian terbaru, yang dilakukan Leslie C dkk, pada
bulan Maret 2013, justru memberikan hasil yang kontradiktif terhadap hasil
penelitian-penelitian sebelumnya. Pada penelitian yang dilakukan di King
Edward Memorial Hospital ini selama 2006-2011 dengan sampel 47
pasien endometriosis dengan rentang usia 22-53 tahun, 21 pasien non
endometriosis dengan rentang usia 21-50 tahun, dengan teknik biopsi
endometrium didapatkan hasil yaitu lebih banyak persentase
endometriosis (29% dibandingkan 19%). 7,46 Akhirnya, penelitian ini
menyimpulkan bahwa pemeriksaan serat saraf endometrial yang
dilakukan dengan teknik imunohistokimia standar pada spesimen biopsi
rutin terbukti tidak sensitif ataupun spesifik untuk mendiagnosis
endometriosis. Oleh sebab itu bila merujuk dari hasil penelitian ini maka
patologis dan ginekologis yang ingin menggunakan pendekatan diagnostik
ini harus mempertimbangkan teknik ini.7,45
Gambar 9. Jaringan Saraf di Endometrium dengan menggunakan
Penanda neuron.30
Perbedaan tipe serabut saraf pada wanita dengan atau tanpa
endometriosis diyakini memiliki peran penting pada mekanisme
mediator inflamasi yang dilepaskan endometrium dapat mengaktivasi atau
melakukan sensitisasi terhadap serabut saraf sensoris C, yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri.5,7,8 Mekanisme ini belum sepenuhnya
jelas, tidak diketahui stimulus ataupun kondisi apa yang menyebabkan
tumbuhnya serabut saraf pada endometrium eutopik wanita penderita
endometriosis.44
2.5. Protein Gene Product (PGP9.5)
Protein Gene Product 9,5 (PGP 9,5) adalah protein terlarut 27 kDa
yang terkait dengan ubiquitin COOH-terminal hydrolase (UCH) yang
memainkan peran modulasi dalam proteolisis intraseluler.47 PGP 9,5
adalah penanda panneuronal yang spesifik untuk serabut saraf bermyelin
dan tidak bermyelin.48,49
Fungsi dari PGP9.5 pada awalnya tidak diketahui tetapi terbukti
mempunyai kesamaan dengan UCH-L1 yang merupakan suatu enzim
pada jaringan timus sapi. Gen PGP9.5 berlokasi pada kromosom 4p14.
PGP9.5 memotong ubiquitin dari protein lainnya dan melindunginya dari
proses degradasi oleh enzim protease.9
Studi imunohistokimia menunjukkan lokalisasi di semua neuron
sentral dan perifer serta dalam sel sistem neuroendokrin. Ekspresi protein
juga telah digambarkan dalam jumlah kecil pada yang bukan jaringan
Protein ini awalnya diisolasi dari otak, merupakan bagian dari
sistem ubiquitin proteasom, jalur proteolitik non lisosom yang terlibat
dalam regulasi pertumbuhan sel, modulasi beberapa reseptor membran
dan perubahan bagian sitokskletal.49 PGP 9,5 awalnya dianggap terbatas
pada sel neuron dan sel neuroendokrin. Namun, studi-sudi terakhir
mendeteksi PGP 9,5 pada sel sistem genital pria, sistem genital wanita,
kulit dan sel epitel ginjal.48,49
2.6. Imunohistokimia
Imunohistokimia adalah sebuah metoda pemeriksaan dengan
menggunakan prinsip antibodi dengan spesifikasi yang tinggi untuk
menunjukkan lokasi dan keberadaan sebuah protein di dalam jaringan.50
Prinsip IHC meliputi langkah:51
1. Fixing and embedding jaringan
2. Cutting and mounting jaringan
3. Deparafinizing and rehydrating jaringan yang telah dilakukan
diseksi
4. Antigen retrieval
5. Pewarnaan Immunohistokimia
6. Counterstaining
7. Dehidrasi dan stabilisasi dengan medium mounting
Pewarnaan imunohistokimia menggunakan antigen
tertentu.pemeriksaan imunohistokimi memiliki keunggulan dalam hal
pembiayaan yang lebih murah, dapat dilakukan dari jaringan tersimpan
dan paraffin blok. Sehingga pemeriksaan dapat dilakukan ulang untuk
meyakinkan dan mendukung terhadap penyakit yang meragukan pada
pemeriksaan histopatologi. Kelemahan pemeriksaan imunohistokimia ini
adalah pemeriksaan dilakukan dengan observasi yang berpeluang untuk
subjektif, walaupun saat ini pemeriksaan sudah mulai menggunakan
komputerisasi. 51
Hasil pemeriksaan imunohistokimia tersebut diinterpretasikan
berdasarkan gabungan antara kualitas intensitas ikatan antigen dengan
antibodi yang terbentuk di sitoplasma atau inti sel dengan persentase sel
yang terwarnai dalam lapang pandang. 50,51
Skor total Interpretasi
0 Negatif
1-3 1+
4-6 2+
7-9 3+
2.7. Kerangka Teori
↑ Apoptosis
Penurunan imunitas
↑ perlengketan molekul seluler
↑ proteolisis
↑ angiogenesis & produksi estrogen
↑ neurogenesis & respon inflamasi
Sensitisasi serabut saraf menstruasi retrograde
Penyebaran ke jaringan lain secara limfatik dan / atau vaskular
Sel Endometrium pada rongga peritoneum
Sel endometrium tetap bertahan
Perlengketan pada peritoneum
Implantasi & invasi
Proliferasi & pertumbuhan lesi endometriosis
Pertumbuhan serabut saraf
2.8. Kerangka Konsep
Variabel Independent Variabel Dependent
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain analitik
menggunakan metode Case Control Study
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dilakukan di Departemen Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - RSUP. H.
Adam Malik Medan, sedangkan pemeriksaan imunohistokimia dilakukan
oleh Laboratorium Patologi Anatomi RSUP.H. Adam Malik Medan.
Penelitian ini dilakukan mulai Juli 2014 hingga jumlah sampel
terpenuhi.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi Penelitian
Adalah seluruh pasien endometriosis yang dilakukan histerektomi
di RSUP H. Adam Malik Medan
3.3.2. Sampel penelitian
3.4. Besar Sampel
Rumus yang digunakan adalah :
n1 = n2 (Zα β
(P1-P2)²
Catatan : P = ½ (P1+P2)
dimana :
n : jumlah sampel pada penelitian ini
Zα : nilai baku normal pada tabel Z yang besarnya bergantung dari nilai α
yang ditentukan, pada satu arah. Dimana nilai untuk Zα pada tingkat kesalahan 0,05 = 1,96
Zβ : nilai baku normal pada tabel Z yang besarnya bergantung dari nilai β
yang ditentukan, pada satu arah. Dimana nilai untuk Zβ pada tingkat kesalahan 0,20 = 0,842
P1 : proporsi pewarnaan endometrium wanita endometriosis, dengan
nilai yang didapatkan 0,6 (menurut penelitian Tokushige dkk
2007)
P2 : proporsi pewarnaan endometrium wanita normal, dengan nilai yang
didapatkan 0,2 (menurut penelitian Tokushige dkk 2007)
P1-P2 : selisih proporsi antara endometrium wanita endometriosis
dengan wanita normal.
N1=N2= 22,3 dibulatkan jadi 23 orang.
Maka jumlah sampel minimal untuk masing-masing kelompok adalah 23
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian
Pada Penelitian ini yang menjadi kriteria inklusi adalah :
• Kelompok Kasus : Parafin blok jaringan endometrium penderita
endometriosis yang dibuktikan oleh pemeriksaan histopatologi.
Jaringan dapat diambil dari hasil histerektomi.
• Kelompok Kontrol : Parafin blok jaringan endometrium pasien
paska histerektomi yang bukan disebabkan oleh endometriosis
dan adenomiosis yang dibuktikan secara histopatologi
Sedangkan yang menjadi kriteria eksklusi adalah :
• blok parafin yang rusak atau pewarnaan imunohistokimia yang
gagal sehingga tidak bisa dibaca.
3.6. IdentifikasiVariabel
3.6.1. Variabel Bebas
Jaringan saraf pada endometrium eutopik
3.6.2. Variabel Tergantung
3.7. Definisi Operasional
VARIABEL DEFINISI ALAT UKUR KATEGORI SKALA
UKUR
PGP9,5 enzim, yaitu
ubiquitin
Usia Usia dihitung
3.8. Teknik pengumpulan data
1. Setelah mendapat persetujuan dari komisi etik untuk melakukan
penelitian, penelitian dimulai dengan mengumpulkan data dari
histopatolgi pasien yang pernah diperiksa histopatologis dan
didiagnosa sebagai endometriosis (sesuai kriteria inklusi dan
eksklusi). Sedangkan kelompok kontrol diambil dari data
histopatologi Laboratorium Patologi Anatomi (PA), pasien yang
dilakukan histerektomi dan ditemukan uterus tidak terdapat
adenomiosis, kanker endometrium dan endometriosis.
2. Dari data PA tersebut, diambil data rekam medik tentang identitas
lengkap dan karakteristik pasien.
3. Dilakukan peminjaman sediaan parafin blok eutopik endometrium
pasien Endometriosis dan pasien non endometriosis
4. Dilakukan pewarnaan imunohistokimia dengan PGP 9,5.
5. Dilakukan interpretasi sediaan tersebut oleh dua orang ahli
Patologi Anatomi.
6. Hasil interprestasi sediaan tersebut dilakukan analisa statistik.
3.9. Cara Kerja
- Blok parafin dilakukan pulasan Hematoksilin Eosin
- Pulasan imunohistokimia menggunakan alat Bondmax full
automatic. Antibodi primer yang digunakan adalah monoclonal
antibody Protein gene Product 9,5 (Leica), dengan pengenceran
- Blok parafin yang telah dikumpulkan, disimpan dalam freezer
sampai cukup dingin, selanjutnya dipotong tipis dengan
menggunakan mikrotom dengan tebal 4µm dan ditempelkan
pada coated object glass.
- Preparat yang siap dipulas dimasukkan dalam alat Bondmax full
automatic selama 4 jam.
- Setelah itu, dilakukan dehidrasi dengan cara : dicelupkan
secara berurutan pada cairan alcohol 70%, 80%, 90% dan
etanol 98% masing-masing 20 celup
- Masukkan dalam cairan xylol selama 3 menit
3.10. Kerangka Kerja
Data Laporan Patologi Anatomi Data Laporan Rekam Medik : Diagnosa dan Data Umum pasien
Sampel Parafin Blok
Jaringan endometrium wanita endometriosis
Pewarnaan imunohistokimia PGP 9,5
Analisis Statistik
3.11. Rancangan Analisis
Hasil penelitian ini disajikan ke dalam tabel distribusi frekwensi.
Untuk menganalisa akurasi pembacaan ekspresi PGP 9,5, nilai kappa dari
dua observer akan dihitung dan dinyatakan valid bilai nilai > 75% untuk
sedangkan untuk melihat perbedaan antara kedua kelompok akan
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan sampel untuk kasus endometriosis sebanyak 25 orang dan sampel untuk kontrol adalah kasus non
endometriosis dengan endometrium tanpa penyakit yang tergantung
estrogen sebanyak 25 orang. gambaran karakteristik kasus dan kontrol
pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik
Kelompok Penelitian
Jumlah Endometriosis Non Endometriosis
n % n %
1. Usia (thn)
35 – 40 10 40% 7 28% 17
41 – 45 10 40% 17 68% 27
46 – 50 5 20% 1 4% 6
2. Paritas
0 10 40% 0 0% 10
1-2 11 44% 11 44% 22
≥ 3 4 16% 14 56% 18
Tabel diatas menunjukkan bahwa pada Kelompok endometriosis
dijumpai sebanyak 20 orang (80%) pada kelompok usia 35 - 45 tahun dan
kelompok non endometriosis yang terbanyak adalah pada kelompok usia
41 - 45 tahun sebanyak 17 orang (68%) dan yang terendah pada
kelompok usia 46 - 50 tahun sebanyak 1 orang (4%).
Berdasarkan literatur, hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Brandi S, dkk, 2010 dimana insidensi penderita
endometriosis ditemukan pada rentang usia 15-49 tahun. Pada studi lain
dilaporkan insidensi endometriosis tertinggi berada pada rentang usia 45 –
54 tahun. Selain itu juga hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Liutkeviciene dkk, 2013, dimana dari 169 wanita
endometriosis, rentang usia yang dijumpai berkisar antara 26 – 46 tahun.
Pada penderita yang non endometriosis, rentang usia yang didapati oleh
Meibody dkk, 2011, adalah berkisar 41.6 ± 5.7, sedangkan peneltian yang
dilakukan oleh Cetin C dkk, 2013, mendapati rentang usia 24 – 44 tahun
pada kasus non endometriosis.17
Berdasarkan paritas, pada kelompok endometriosis yang terbanyak
adalah dengan paritas 1 – 2 (44%) dan terendah dengan paritas ≥3 didapati sebanyak 4 orang (16%). Pada kelompok non endometriosis
yang terbanyak adalah dengan paritas ≥3 sebanyak 14 orang (56%) dan lainnya paritas 1 – 2 sebanyak 11 orang (44%).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Newman dkk, 2013, didapati
bahwa jumlah paritas dari 20 orang yang menderita endometriosis
menderita endometriosis dari 25 orang didapati jumlah paritas terbanyak
adalah multipara (75%).10
Penilaian dari dua observer dalam menentukan nilai ekspresi
serabut saraf di jaringan endometrium berdasarkan pewarnaan PGP 9,5
menghasilkan nilai Kappa 0.745, hal ini berarti terdapat kesesuaian yang
baik (excellence) dan signifikan (p<0.05) sehingga dapat digunakan hasil
pemeriksaan imunohistokimia dari salah satu observer saja.
Tabel 4.2. Perbedaan Ekspresi serabut saraf endometrium antara kelompok endometriosis dan non endometriosis
Intensitas Ekspresi Pewarnaan
PGP 9.5
Kelompok Penelitian Nilai p
Endometriosis Non Endometriosis
n % n %
Negatif 7 28% 22 88%
0.0001*
+1 2 8% 1 4%
+2 6 24% 2 8%
+3 10 40% 0 0
Jumlah 25 100% 25 100%
*Fisher exact
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa pada penderita
endometriosis ditemukan intensitas ekspresi pada pewarnaan
menggunakan PGP 9.5 yang paling banyak adalah +3 sebanyak 10
kasus (40%) dan diikuti masing – masing dengan nilai negatif sebanyak 7