• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan Racun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan Racun"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Adiwisastra, A., Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya, Angkasa, Bandung, 1985

1. Buku-Buku

Chadha, P.V.Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi., Widya Medika, Jakarta. 1995.

Darmono, Farmasi Forensik Dan Toksikologi, Penerapannya Dalam Penyidik Kasus Tindak Pidana Kejahatan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2009.

Frank, Lu. C, Toksikologi Dasar, Asas, Organ sasaran, dan penilaian resiko, UIP. Hamdani Njowito, Ilmu Kedokteran Kehakiman Cetakan Pertama, Surabaya,

KOMDIM, 1989.

Hamzah, Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1984. Harahap, Yahya, SH, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP ,Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan kembali edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Hardiati, Harmien Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik,Airlangga University Press, Surabaya, 1984.

Ketut, I. Murtika dan Djoko Prakoso. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta, 1992.

Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science),

(2)

Sabuan, Darwan, dkk, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990.

Sasangka , Hari, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Surabaya, 2003.

Simorangkir, J.C.T. dkk, Kamus Hukum, Bumi Aksara baru, Jakarta, 1995. Subekti, R. , Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Cet ke 13, 2001. Sudarsono, Kamus Hukum, Rineke Cipta, Jakarta, 1992.

Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2000.

KUHAP, UU RI No. 8 Tahun 1981

2. Makalah

Dr. Jims Ferdinan, Makalah Toksikologi Umum, Departemen Kedokteran Kehakiman FK USU RSU H Adam Malik Medan, 2010.

Dr. H. Amar Singh, Makalah Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman, Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Mohan S. Dharma, Dkk., Makalah Investigasi Kematian Dengan Toksikologi Forensik FK UNRI, 2008.

http://id.wikipedia.org/wiki/Toksikologi, Diakses pada tanggal 30 april 2010 pukul 10.31 WIB.

3. Situs Internet

http://larascookie.wordpress.com/Toxicology alias Toksikologi « Laras-Cookie Punya WeBlog.html. Diakses pada tanggal 30 april 2010 pukul 11.08 WIB.

http://www.freewebs.com/mygrandworkshop/makalahforensik. htm diiakses tanggal 26 Agustus 2010.

http://thiazone.blogspot.com/2009/12/visum-et-repertum-pendahuluan-visum-et.html, Diakses pada tanggal 15 agustus 2010, pukul 10.35 WIB.

(3)

http://Bripka.Ns. Adimas Brewijaya, S.H.,S.Kep.,M.Kes KETENTUAN VISUM..html, Diakses pada tanggal 14 agustus 2010

(4)

BAB III

HAMBATAN DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM PADA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN

MENGGUNAKAN RACUN

A. Bentuk dan Macam Visum Et Repertum 1. Bentuk Visum Et Repertum

Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang

kedokteran kehakiman yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan

Prof. Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu34

Supaya terdapat keseragaman dalam bentuk Visum Et Repertum maka ada

ketentuan pokok, yaitu tiga kerangka dari Visum Et Repertum:35

a. Pendahuluan

Pada bagian pendahuluan, disudut kiri atas dicantumkan kata “Pro

Justicia”. Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat

di atas kertas materai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap

visum yang dibuat harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada

Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian atas visum

maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai.

Penulisan kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih

diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari

bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering

terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata

34

Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman(edisi kedua), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, Hal. 24.

35

R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Transito,

(5)

Pro Justicia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang

dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung

dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa

korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai

salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Oleh karena biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter

menyadari arti dan makna yang terkandung di dalamnya maka kata-kata

atau tulisan ini menjadi sangat penting artinya.36

1. Identitas dokter yang memeriksa. Kemudian keterangan mengenai:

2. Identitas korban, antara lain: nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan,

tempat tinggal.

3. Identitas pemohon Visum Et Repertum.

4. Hari, tangga l, tahun, jam pemeriksaan.

5. Tempat pemeriksaan.

6. Keterangan lain seperti kapan, dimana dan sebab korban meninggal,

kapan dan dimana korban dirawat.

b. Pemberitaan.

Dalam pemberitaan menyebutkan hasil pemeriksaan korban secara objektif

sepanjang apa yang dilihat dan ditemukan oleh dokter pada korban seperti

rambut, warna kulit, pakaian atau kain dan sebagainya yang termasuk

identitas korban. Hal ini termasuk hasil pemeriksaan luar. Kemudian

dilanjutkan pemeriksaan dalam yang meliputi bagian tubuh penting seperti

36

(6)

otak, limpa, lambung dan sebagainya. Hal ini penting karena ada

kemungkinan kematian seseorang bukan disebabkan langsung oleh luka

karena penganiayaan atau karena kecelakaan lalu lintas melainkan karena

limpa pecah disebabkan karena telah lama menderita penyakit malaria.

c. Kesimpulan.

Bagian ini menjelaskan pendapat dokter atas dasar hasil pemeriksaannya

sesuai dengan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Pada Visum Et Repertum

ada empat hal yang perlu diungkapkan dalam kesimpulan yaitu:

1. Identitas Jenazah.

2. Kelainan yang ada pada diri korba baik dari pemeriksaan luar maupun

pemeriksaan dalam.

3. Hubungan sebab akibat dan kelainan yang didapati pada saat

pemerisaan.

4. Sebab dan saat kematian atau kualifikasi luka.

d. Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan

tersebut dibuat sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk

menguatkan pernyataan itu dokter maka sesuai dengan Ordonansi

Staatsblad 1937 No.350, maka pada bagian bawah dicantumkan “Sumpah”

yang berarti bahwa Visum Et Repertum harus dibuat berdasarkan sumpah,

yakni sumpah dokter. Dengan demikian barulah Visum Et Repertum

mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang dan perlu diakhiri dengan

mengingat sumpah seperti misalnya sebagai berikut:

“ Demikianlah Visum Et Repertum dibuat dengan sesungguhnya, dengan

(7)

Tentu saja tanda tangan dan nama terang harus dicantumkan.37

2. Macam Visum Et Repertum

a. Visum Et Repertum Korban Hidup38

1. Visum Et Repertum

Visum Et Repertum diberikan bila korban setelah diperiksa didapatkan

lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

tugas jabatan atau pencarian.

2. Visum Et Repertum Sementara

Visum Et Repertum Sementara diberikan apabila setelah diperiksa, korban

perlu dirawat atau diobservasi. Karena korban belum sembuh, Visum Et

Repertum sementara tidak memuat kualifikasi luka.

Ada 5 manfaat dibuatnya VeR sementara, yaitu:39

a. Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak,

b. Mengarahkan penyelidikan,

c. Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara

terhadap terdakwa,

d. Menentukan tuntutan jaksa,

e. Medical record.

37

Dikutip dari Sofwan Dahlan, dr., Visum Et Repertum, Ilmu Kedokteran kehakiman II,, diterbitkan oleh Senat mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Hal. 90. Dalam I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal. 135.

38

Njowito Hamdani, Op. Cit, Hal. 26.

39

(8)

3. Visum Et Repertum Lanjutan.

Visum Et Repertum lanjutan diberikan apabila setelah dirawat atau

diobservasikorban sembuh, korban belum sembuh, pindah Rumah Sakit,

korban belum sembuh pulang paksa, dan korban meninggal dunia.

b. Visum Et Repertum Mayat.

Visum Et Repertum mayat dibuat berdasar otopsi lengkap berdasarkan

pemeriksaan luar dan dalam mayat.Visum ini dibuat untuk mencari sebab

kematian serta hubungannya dengan tindak pidana sehingga harus

dilakuakan otopsi.40

1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak

keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.

Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya

harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi

cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada

surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan

yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau

pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).

Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :

2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan

membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul.

Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti

pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.

40

(9)

Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis

kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat

kematian seperti tersebut di atas.

c. Visum Et Repertum Pemeriksaan Ditempat Kejadian.

d. Visum Et Repertum Penggalian Mayat.

e. Visum Et Repertum Mengenai Umur.

f. Visum Et Repertum Psikiatrik. Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat

oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi ”Barang siapa

melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya

disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena

penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa,

orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini. Visum ini

diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan

bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga

menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga

manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya

seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik

bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di

rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.

g. Visum Et Repertum Mengenai Barang Bukti: darah, mani, dan sebagainya.

Tujuan dari Visum Et Repertum adalah untuk memberikan kepada hakim

suatu kenyataan atau fakta-fakta dari barang bukti tersebut atas semua

keadaan sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan, agar supaya

(10)

atau fakta-fakta tersebut. Fakta-fakta tersebut kemudian ditarik suatu

“Kesimpulan”, maka atas dasar pendapatnya yang dilandasai pengetahuan

yang sebaik-baiknya berdasarkan atas keahliannya tersebut diharapkan

agar supaya usaha membantu pemecahan pengungkapan masalahnya

menjadi terang (lebih jelas), dan hal mana diserahkan hakim sepenuhnya.

B. Tata Cara Permintaan Visum Et Repertum

Pihak-pihak yang berwenang meminta bantuan ahli kedokteran kehakiman

dalam kaitannya dengan persoalan hukum yang hanya dapat dipecahkan dengan

bantuan ilmu kedokteran kehakiman. Baik itu dalam perkara pidana maupun

perkara perdata. Namun dalam pembahasan berikut, tidak hendak mempersoalkan

kesemuanya itu. Melainkan hendak membahas bagaimana prosedur permohonan

visum et repertum dalam kaitannya dengan kasus-kasus pidana.

Sebelum sampai kepada pembahasan bagaimana prosedur permohonan

visum et repertum, terlebih dahulu untuk mengetahui peranan ilmu kedokteran

kehakiman dalam pembuatan visum. Ilmu kedokteran kehakiman berperan dalam

hal menentukan hubungan kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang

akan ditimbulkannya dari perbuatannya tersebut, baik yang menimbulkan akibat

luka pada tubuh, atau yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang

menimbulkan matinya seseorang, dimana terdapat akibat-akibat tersebut patut

diduga telah terjadi tindak pidana.

Berdasarkan pasal 132 ayat (1) KUHAP, berbunyi: “dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan oenyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli”,

(11)

mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”,

Pasal 133 ayat (2) KUHAP, berbunyi: “permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat”,

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemeriksaan oleh kedokteran forensik

atau yang ahli tentang itu terhadap korban luka, korban yang meninggal atau

melakukan bedah mayat untuk kepentingan proses pengadilan adalah merupakan

tugas sepanjang diminta oleh pihak-pihak terkait.

Memang di dalam peraturan perundang-undangan tidak menegaskan

dengan tegas bahwa dokter wajib memberikan bantuan dalam kaitannya dengan

proses peradilan, apabila diminta. Akan tetapi, bila kita berpedoman atau melihat

isi dari pasal 244 KUHPidana, maka kesan tidak wajib tersebut akan menjadi

wajib. Sehingga berdasarkan pasal ini dokter wajib memberikan bantuannya

apabila diminta. Di samping itu, juga perlu diketahui bahwa dokter adalah

pegawai negeri yang berkewajiban untuk mengabdi kepada kepentingan

masyarakat dan negara dalam pengertian yang sangat luas, sehingga penolakan

terhadap kewajiban itu merupakan pelanggaran terhadap peraturan.41

Secara garis besar, permohonan visum et repertum harus memeperhatikan

hal-hal sebagai berikut:42

1. Permohonan harus dilakukan secara tertulis oleh pihak-pihak yang

diperkenankan untuk itu, dan tidak diperkenankan dilakukan dengan lisan,

walaupun dengan pesawat telepon.

41

Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Djambatan, Jakarta, 2007, Hal. 11.

42

(12)

2. Permohonan visum et repertum harus diserahkan oleh penyidik bersamaan

dengan korban, tersangka, dan juga barang bukti kepada dokter ahli

kedokteran kehakiman.

Pertimbangan dari keduanya adalah:

a. Mengenai permohonan visum et repertum yang harus dilakukan secara

tertulis, oleh karena permohonan tersebut berdimensi hukum. Artinya,

tanpa permohonan secara tertulis, dokter tidak boleh dengan serta merta

melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka, seseorang yang

terganggu kesehatannya ataupu seseorang yang mati akibat tindak

pidana atau setidak-tidaknya patut disangka sebagai korban tindak

pidana. Pun demikian, apabila dokter menolak permohonan yang

dilakukan secara tertulis, maka iapun akan dikenakan sanksi hukum.

Permohonan visum et repertum oleh aparat hukum kepada dokter

ahli kedokteran kehakiman merupakan peristiwa dalam lalu lintas

hukum. Oleh karena permintaan dan juga pemenuhan dalam kaitannya

dengan visum et repertum tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.

Kegiatan pemeriksaan dokter atas seseorang, merupakan kegiatan yang

diharuskan menurut hukum. Dan bukan kegiatan asal-asalan.

b. Mengenai penyerahan korban, tersangka, dan alat bukti yang lain,

didasarkan bahwa untuk dapat meyimpulkan hasil pemeriksaannya,

dokter tidak dapat melepaskan diri dari dengan alat bukti yang lain.

(13)

peranan alat bukti lain, selain korban mutlak diperlukan. Barang bukti

yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan:43

1. Korban Mati.

Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta

merupakan Visum et Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik

harus memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan, menaruh

label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi cap jabatan ,

diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat. Mayat

selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat

permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik

yang melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya

memberi informasi yang diperlukan Dokter dan mengikuti pemeriksaan

badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada

korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya.

2. Korban Hidup.

Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan

kesusilaan menjadi sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan,

penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang

keadaan korban.

Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk

mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila korban

memerlukan/meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain,

permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam

43

(14)

perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh

atau meninggal dunia.

Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi

karena Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang

hasil akhir keadaan korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas,

Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.

Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu

permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui

secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan

penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya.

C. Hambatan dan Cara Mengatasi Hambatan Dalam Pembuatan Visum Et Repertum

Pada dasarnya pelayanan visum et repertum (dapat dibagi atas dua bagian

besar yaitu : visum untuk orang hidup dan visum untuk orang yang telah

meninggal. Yang terakhir ini disebut visum mayat atau visum jenazah yaitu visum

yang dibuat oleh dokter atas permintaan yang berwenang pada orang yang

meninggal karena kekerasan, luka-luka, keracunan/diduga keracunan, kematian

yang sebabnya mencurigakan dan lain-lain makar yang membinasakan nyawa

manusia. Hal ini telah berlangsung sejak dahulu diatur dalam undang-undang ayat

2 dan Staatsblad tahun 1937 No. 350.

Pada dasarnya setiap dokter yang bekerja di Indonesia dapat dimintakan

bantuan untuk membuat visum baik untuk orang hidup maupun untuk jenazah.

Umumnya pembuatan visum jenazah dilakukan oleh dokter rumah sakit

Pemerintah. Selanjutnya dengan makin berkembangnya pelayanan kesehatan

(15)

baru di samping rumah sakit swasta, rumah sakit Pertamina, rumah sakit TNI dan

lain-lain, terlihat pula adanya kecenderungan pelayanan visum dilakukan oleh

rumah sakit-rumah sakit di atas. Pada waktu ini sebagian visum orang hidup telah

banyak diterbitkan oleh rumah sakit- rumah sakit yang dikemukakan di atas, dan

begitu pula telah ada visum jenazah yang diterbitkan oleh sebagian rumah sakit

tersebut biarpun visum jenazah yang diterbitkannya tidak berdasarkan

pemeriksaan yang lengkap melalui bedah mayat (otopsi). Dalam undang-undang

memang tidak diatur ke mana permintaan visum harus dimintakan/ditujukan.

Yang ada hanyalah peraturan yang menyatakan asal visum dibuat oleh dokter,

visum itu sudah merupakan alat bukti yang sah di pengadilan, tanpa membedakan

kedudukan dokter tersebut maupun keahliannya. Agaknya semua orang

memahami bahwa tidak mudah melakukan bedah mayat untuk visum jenazah.

Banyak hambatan yang harus diatasi.Terutama dalam kasus dugaan keracunan44.

Yang menjadi hambatan dalam pembuatan visum et repertum dalam

pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan menggunakan racun, antara lain45

1. Keadaan mayat atau jenazah yang sudah membusuk.

Dalam keadaan mayat atau jenazah yang sudah membusuk dapat

mengakibatkan pemeriksaan toksikologi kadang-kadang tidak mendukung

kesimpulan yang akan diambil oleh dokter pemeriksa. Biasanya

organ-organ tubuh yang memberikan hasil positif untuk pemeriksaan toksikologi

seperti ginjal, hati, usus, lambung, dan otak sudah mengalami pembusukan

44

Dr. H. Amar Singh, Makalah Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman, Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

45

(16)

juga, sehingga dapat mengakibatkan hasil pemeriksaan toksikologi

menjadi negatif ( tidak ditemukan adanya racun).

Adapun yang menjadi penyebab terjadinya pembusukan mayat atau

jenazah tersebut antara lain:46

a. Permintaan visum telah datang, famili korban tidak ada

Hal ini sering pula dihadapi oleh para dokter ahli kedokteran

kehakiman. Mayat diantar ke rumah sakit disertai dengan visum atau

permintaan visum datang kemudian. Dokter tidak bisa segera

melakukan pemeriksaan karena sering menjadi persoalan besar,

terutama bila famili korban ternyata keberatan. Penungguan ini

kadang-kadang bisa berhari-hari. Sebelum ada kamar pendingin di rumah sakit

hal ini betul-betul menjadi problem karena mayat segera membusuk dan

tanda-tanda/kelainan-kelainan yang mungkin di dapat pada tubuh

korban sebagai penyebab kematian korban menjadi kabur atau hilang

sama sekali. Pemeriksaan secara ilmiah tidak dapat dilakukan lagi,

pemeriksaan secara ilmiah tidak dapat dilakukan lagi, pemeriksaan

jaringan untuk kelainan Patologi Anatomi tidak ada gunanya lagi

karena jaringan sudah mengalami lisis (membusuk); tetapi sesudah

kamar pendingin mayat ada di Bagian Kedokteran Kehakiman hal ini

dapat diatasi. Persoalannya adalah sampai berapa hari dokter dapat

menunggu. Kapasitas kamar pendingin mayat yang ada sekarang hanya

untuk kasus. Bila banyak kasus datang sekaligus, maka problem yang

sama timbul kembali. Dokter di Bagian Kedokteran Kehakiman tidak

46

(17)

berani mengambil keputusan misalnya setelah 2 hari famili korban tidak

ada, jenazah dapat diperiksa, karena tidak ada pegangan/ ketentuan

yang disetujui Direktur Rumah Sakit, Dekan Fakultas Kedokteran USU,

Dinas Kesehatan Kotamadya dan /Walikota sebagai pedoman yang

dapat dipakai dokter menghadapi.

b. Permintaan visum ada, jenazah tidak ada

Jenazahnya sudah dibawa ke rumah/ ke rumah sosial/ke rumah sakit

luar lainnya. Ada yang meminta supaya dokter datang ke rumah korban/

ke rumah sosial untuk memeriksa dan membuat visum. Umumnya

famili meminta supaya dilakukan pemeriksaan luar saja. Tentu hal ini

tidak mungkin dilakukan. Sejauh itu memang belum ada suatu

kesepakatan dokter dengan Kepolisian untuk mengatasi hal ini.

c. Permintaan visum et repertum yang kurang/tidak Iengkap

Dari kenyataan selama ini, sering permintaan visum dari yang

berwenang bila diteliti tidak atau kurang lengkap, kadang- kadang tidak

ada nomor, tanggal ataupun keterangan yang lengkap mengenai korban,

kadang-kadang malah tidak ditanda tangani. Kadang-kadang

permintaan visum malah datang dari dokter. Biasanya hal ini terjadi

karena Polisi meminta visum pada dokter di daerah/Puskesmas karena

dokter tersebut tidak dapat melaksanakan bedah mayat (baik karena

fasilitas atau keberatan mengerjakaninya), maka dokter tersebut

mengirim jenazah ke Rumah Sakit yang mampu untuk melakukan

pemeriksaan, sementara permintaan visum belum ditukar melalui pihak

(18)

yang dirawat di Badian Bedah, bila korban tersebut akhirnya

meninggal, sering Bagian Bedah melanjutkan permintaan visum ke

Bagian Kedokteran Kehakiman. Kecuali bila permintaan visum

diperbaharui kembali oleh Polisi untuk dibuatkan visum jenazah pada

korban yang sekarang telah meninggal, dokter Bagian kedokteran

Kehakiman tidak akan melakukan pemeriksaan dan biasanya jenazah

diserahkan saja pada famili korban.

d. Masalah dari famili korban

Biarpun masalah yang dihadapi dokter dengan famili korban telah

ditemukan sebagian, di bawah ini kami kemukakan masalah lainnya

yang dihadapi dokter dengan famili korban :

1. Bersedia diperiksa hanya tubuh korban bagian luar saja (asal tidak

melukai tubuh korban). Inilah permintaan yang paling banyak dari

kalangan masyarakat. Mereka menyadari perlunya visum, tetapi tidak

mengizinkan dokter membedah korban untuk membuat visum.

2. Bersedia diperiksa tetapi seperlunya saja.

e. Identifikasi pada koban yang tidak dikenal

Apabila ditemukan korban akibat keracunan tidak memiliki tanda

pengenal, maka akan semakin mempersulit melakukan pemeriksaan.

Identitas korban hanya dapat diketahui apabila ada anggota keluarga

ataupun masyarakat yang melapor bahwa ia telah kehilangan anggota

keluarganya. Maka terlebih dahulu melakukan pencocokan ciri-ciri

(19)

sulit untuk melakukan pemeriksaan toksikologi karena mayat atau

jenazah tersebut telah mengalami pembusukan.

2. Kurangnya Koordinasi Antara Penyidik dan Dokter

Prosedur pengiriman dan pengambilan hasil dari bahan pemeriksaan untuk

laboratorium kriminal harus dilakukan oleh penyidik yang bersangkutan,

sehingga setelah dokter pemeriksa mengambil jaringan/organ tubuh yang

akan diperiksa harus menunggu penyidik yang meminta visum et repertum

tersebut mengambil dan mengantar bahan pemeriksaan tersebut ke

laboratorium kriminal. Setelah hasil pemeriksaan toksikologi dikeluarkan

laboratorium kriminal, yang harus mengambil hasil tersebut adalah

penyidik. Sehingga prosedur pemeriksaan toksikologi ini kadang-kadang

memakan waktu kurang lebih 3 minggu sejak dokter pemeriksa

mengambil bahan untuk dikirimkan ke laboratorium kriminal. Jadi hasil

kesimpulan visum et repertum untuk kasus tersebut akan lebih lama

dikeluarkan oleh Departemen Kedokteran Kehakiman Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut

adalah untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pembuatan visum et repertum

atas dugaan keracunan diatas maka terlebih dahulu penyidik wajib

memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban agar pihak keluarga

dapat memberi keputusan dapat dilakukan visum atau tidak. Apabila pihak

keluarga hanya mengijinkan dilakukan pemeriksaan luar saja padahal

pemeriksaan dalamlah yang sangat dibutuhkan maka pihak dokter harus

(20)

membuktikan korban keracunan atau tidak. Pihak penyidik dalam meminta visum

harus lebih teliti dalam membuat surat permohonan visum et repertum. Pihak

penyidik harus memperhatikan kelengkapan data-data surat permintaan visum

tersebut. Untuk mengatasi kurangnya. Mungkin pihak laboratorium kriminal dapat

langsung mengirimkan hasil pemeriksaan dalam waktu yang lebih cepat ke

Departemen Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara tanpa menunggu penyidik yang bertanggung jawab terhadap kasus

tersebut.47

47

(21)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Peranan toksikologi dalam penyidikan bertujuan untuk memudahkan

penyidik dalam mencari dan mengumpulkan barang bukti yang ada dalam

Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang kemudian dengan bukti tersebut digunakan

untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan untuk menemukan

tersangkanya. Dan juga untuk mendeteksi dan mengidentifikasi bahan/racun yang

diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan tubuh korban.

Biasanya dokter pemeriksa, pada saat melakukan pemeriksaan luar dan

dalam korban mati dugaan tindak pidana sudah memikirkan untuk melakukan atau

tidak melakukan pemeriksaan toksikologi. Tertutama jika keadaan korban mati

lebih mengarah kepada keracunan suatu zat. Jika dugaan ini diperkuat dengan

hasil pemeriksaan racun tertentu, seperti: cairan pembasmi serangga,

obat-obatan/narkoba, atau zat-zat lainnya positif tentu saja kesimpulan pada visum et

repertum korban akan lebih jelas dan dapat disimpulkan dengan tepat. Dokter

pemeriksa pada bab kesimpulan visum et repertum tidak akan menyebutkan

korban mati akibat bunuh diri, pembunuhan, ataupun kecelakaan, tapi jelas

menyebutkan penyebab kematiannya akibat keracunan zat-zat, obat-obatan,dan

racun tertentu atau dengan kata lain ditemukannya gangguan pada organ-organ

tubuhnya akibat sesuatu zat-zat, obat-obatan,dan racun tertentu tersebut.

Sayangnya hasil pemeriksaan toksikologi kadang-kadang tidak menyebutkan

(22)

dengan berdasarkan angka-angka atau nilai dosis fatalnya yang ditemukan.

Misalnya 0,5 mg/ml darah jantung.

Peranan toksikologi sangat dibutuhkan untuk mewujudkan penyidikan

secara cepat dan tepat dalam rangka pengungkapan kejahatan pembunuhan

khususnya kasus pembunuhan yang ada indikasi korbannya meninggal karena

diracun, maka sangat diperlukan ilmu mengenai racun atau toksikologi forensik.

Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan menggunakan Racun

melalui Visum Et Repertum dapat dilakukan terlebih dahulu dengan melakukan

pemeriksaan di tempat kejadian (olah TKP), dimana pemeriksaan ini berguna

untuk membantu penentuan penyebab kematian dan menentukan cara kematian.

Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan forensik. Pemeriksaan forensik dapat

dilakukan pada korban yang masih hidup dan juga pada koraban yang telah

meninggal dunia.

Pada pada korban yang masih hidup dapat dilakukan pemeriksaan tinja

korban atau dari bahan yang dimuntahkan oleh korban. Sedangkan pada korban

yang telah meninggal dunia dapat dilakukan pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam

tubuh korban, dan pemeriksaan toksikologi. Setelah dilakukannya proses

pemeriksaan tersebut maka dapat disimpulkanlah bahwa korban tersebut ada atau

tidak mengalami peristiwa keracunan.

Dalam pelaksanannya, pembuatan visum et repertum banyak mengalami

hambatan-hambatan. Terutama bagi kasus dugaan keracunan. Hal yang paling

menonjol adalah sering sekali terjadi pembusukan pada mayat atau jenazah. Hal

ini dapat terjadi karena permintaan atas visum sudah ada ditangan para dokter

(23)

menyetujui apakah dapat dilakukan visum terutama pemeriksaan dalam tubuh.

Yang kedua disebabkan karena jenazah atau mayat tidak ada diruang visum

melainkan berada di tempat keluarga korban. Yang ketiga disebabkan karena surat

permintaan visum tidak dibuat secara lengkap. Yang keempat karena pihak korban

tidak setuju dilakukan visum terhadap korban, apalagi dilakukan pembedahan

terhadap tubuh korban. Yang kelima karena identifikasi korban tidak dikenal

sehingga dibutuhkan waktu agar keluarga korban mencari korban dan dapat

dilakukan visum. Hambatan yang berikutnya adalah kurangnya koordinasi antara

penyidik dengan dokter yang berwenang. Semua hal-hal diatas menjadi hambatan

dalam pembuatan visum. Sangat sulit untuk melakukan pemeriksaan toksikologi

apabila organ tubuh korban yang dianggap mengandung racun telah membusuk

sehingga hasilnya akan menjadi kabur dan maupun negatif mengandung racun.

B. Saran

Berdasarkan dari apa yang telah diuraikan diatas dan di dalam bab-bab

sebelumnya mengenai peranan toksikologi, akhirnya penulis mendapat suatu

kesimpulan seperti yang telah diuraikan diatas, dan dari kesimpulan tersebut

akhirnya penulis memberikan saran yang mungkin dapat dipergunakan ataupun

lebih meningkatkan peranan toksikologi dalam pembuktian pembunuhan dengan

menggunakan racun. Saran yang dapat disampaikan penulis adalah sebagai

berikut:

1. Sebaiknya dalam pelaksanaan pembuktian suatu kasus dugaan keracunan

harus dilakukan dengan baik. Mulai dari pemerikasaan tempat kejadian

harus dilakukan dengan baik agar dapat dengan mudah untuk menentukan

(24)

mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang saat kematian,

kapan terakhir kali ditemukan dalam keadaan sehat, sebelum kejadian ini

apakah sehat-sehat saja dan berapa lama gejala yang timbul setelah makan/

minum terakhir, dan apa saja gejala-gejalanya. Kemudian dalam

pemeriksaan forensik harus dilakukan dengan baik. Pemeriksaan pada

korban yang masih hidup harus di periksa dengan baik. Apakah ada tanda

kekerasan lain sebelum diracun atau ada bekas pada bagian luar tubuh

yang diakibatkan oleh racun iritan. Dan juga pada proses pemeriksaan

korban yang sudah meninggal harus dilakukan dengan seksama dan teliti

agar nantinya tidak mengalami kesalahan dalam mendiagnosa. Terutama

dalam pemeriksaan dalam tubuh korban.

2. Hambatan-hambatan yang dilalami dalam pembuatan visum atas dugaan

keracunan harus segera diatasi agar tidak mengganggu proses

pemeriksaan, terutama dalam pemeriksaan toksikologi. Karena dalam

pemeriksaan toksikologi, apabila organ tubuh korban yang diambil guna

sebagai bahan pemeriksaan sudah membusuk maka hasil dari pemeriksaan

akan kabur maupun negatif atau tidak mengandung racun. Hal ini akan

mengakibatkan proses pembuktian dalam peradilan tidak akan

mendapatkan hasil yang memuaskan.

3. Sebaiknya prosedur pengiriman dan pengambilan bahan untuk

pemeriksaan toksikologi di laboratorium kriminal harus lebih

(25)

BAB II

PERANAN TOKSIKOLOGI DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN DENGAN MENGGUNAKAN RACUN

A. Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Dugaan Pembunuhan Dengan Racun

Mengingat sulitnya pengungkapan kejahatan yang menggunakan racun,

maka saat ini sangat diperlukan aparat penegak hukum khususnya Polisi yang

mempunyai pengetahuan yang memadai baik teori maupun teknik melakukan

penyidikan secara cepat dan tepat dalam rangka pengungkapan kejahatan

pembunuhan khususnya kasus pembunuhan yang ada indikasi korbannya

meninggal karena diracun.

Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui latar belakang

toksikologi digunakan dalam proses pembuktian pembunuhan serta manfaat

toksikologi sebagai media pengungkap dalam proses penyidikan tindak pidana

pembunuhan yang menggunakan racun. Toksikologi Forensik adalah ilmu yang

mempelajari tentang racun dan pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada

dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan korban. Toksikologi Forensik sangat

penting diberikan kepada penyidik dalam rangka membantu penyidik polisi dalam

pengusutan perkara yaitu : mencari, menghimpun, menyusun dan menilai barang

bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan tujuan agar dapat membuat

terang suatu kasus pembunuhan yang ada indikasi korbannya meninggal akibat

racun.23

23

(26)

Untuk mewujudkan penyidikan secara cepat dan tepat dalam rangka

pengungkapan kejahatan pembunuhan khususnya kasus pembunuhan yang ada

indikasi korbannya meninggal karena diracun, maka sangat diperlukan ilmu

mengenai racun atau toksikologi forensik.

Jika berdasarkan penyidikan disimpulkan memang ada indikasi

pembunuhan karena racun, maka penyidik berdasarkan pasal 133 KUHAP

berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli. Apabila terdapat racun pada

barang bukti harus disebutkan jenis racun tersebut untuk kemudian membuat

kesimpulan hasil pemeriksaannya dalam bentuk berita acara/laporan pemeriksaan.

Adapun peranan penting dari toksikologi dalam penyidikan adalah,

pertama adalah memudahkan penyidik dalam mencari dan mengumpulkan barang

bukti yang ada dalam Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang kemudian dengan

bukti tersebut digunakan untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi

dan untuk menemukan tersangkanya. Kedua adalah untuk mendeteksi dan

mengidentifikasi bahan/racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh

dan cairan tubuh korban.

Biasanya dokter pemeriksa, pada saat melakukan pemeriksaan luar dan

dalam korban mati dugaan tindak pidana sudah memikirkan untuk melakukan atau

tidak melakukan pemeriksaan toksikologi. Tertutama jika keadaan korban mati

lebih mengarah kepada keracunan suatu zat. Jika dugaan ini diperkuat dengan

hasil pemeriksaan racun tertentu, seperti: cairan pembasmi serangga,

obat-obatan/narkoba, atau zat-zat lainnya positif tentu saja kesimpulan pada visum et

repertum korban akan lebih jelas dan dapat disimpulkan dengan tepat. Dokter

(27)

korban mati akibat bunuh diri, pembunuhan, ataupun kecelakaan, tapi jelas

menyebutkan penyebab kematiannya akibat keracunan zat-zat, obat-obatan,dan

racun tertentu atau dengan kata lain ditemukannya gangguan pada organ-organ

tubuhnya akibat sesuatu zat-zat, obat-obatan,dan racun tertentu tersebut.

Sayangnya hasil pemeriksaan toksikologi kadang-kadang tidak menyebutkan

jumlah kadar zat-zat, obat-obatan,dan racun yang terdapat di dalam tubuh korban

dengan berdasarkan angka-angka atau nilai dosis fatalnya yang ditemukan.

Misalnya 0,5 mg/ml darah jantung.24

Dasar – dasar dibawah ini adalah kunci untuk membuktikan bahwa

seseorang telah diracuni ;

B. Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan menggunakan Racun melalui Visum Et Repertum

1. Dasar – Dasar Untuk Pembuktian

25

24

Hasil wawancara dengan dr. Rita Mawarni, SpF. Pada tanggal 24 Agustus 2010

25

http://www.freewebs.com/mygrandworkshop/makalahforensik.htm diiakses tanggal 26 Agustus 2010

a. Penemuan ; penemuan ini terdiri dari pembuktian secara legal dan

demonstrasi berdasarkan keraguan yang beralasan bahwa kematian

tersebut disebabkan oleh racun. Jangan pernah lupa pentingnya rantai

pembuktian berdasarkan spesimen yang telah diperiksa.

b. Alasan : hal ini sangat penting karena peyelidik harus menentukan secara

jelas maksud yang ada dibelakang tindakan peracunan tersebut. Mengapa

kita harus mengetahui tindakan yang dilakukan terhadap korban ? Hal ini

menjadi dasar mengapa penelitian tertutup terhadap korban (victimology)

(28)

c. Maksud : merupakan tujuan dari seseorang individu yang mendapatkan

tugas dalam menjalankan aksinya. Disini penyelidik akan menyertai

keterangan tentang maksud dari suatu tindakan kriminal.

d. Akses dalam kepemilikan racun yang menjadi penyebab terhadap kematian

: seorang penyidik kriminal harus menunjukkan fakta – fakta seperti bukti

pembelian bahan racun (resep atau tanda tangan pada pencatatan

pembelian). Apakah paket yang berisi racun tersebut masih dalam bentuk

asli, dibungkus atau terdapat di dalam kaleng yang berhubungan dengan

tersangka? Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa tersangka

mempunyai akses dari tempat kerjanya, yaitu menggunakan bahan beracun

yang berasal dari tempat kerjanya atau mempunyai hobi yang melibatkan

penggunaan bahan beracun tersebut.

e. Akses terhadap korban : apakah terdapat suatu bukti bahwa tersangka

mempunyai pengetahuan tentang kebiasaan sehari – hari korban, apakah

tersangka mempunyai kesempatan untuk menguasai pertahanan diri dari

korban dan apakah tersangka dapat dengan mudah memberikan racun

kepada korban baik secara langsung maupun tidak langsung?

f. Kematian yang disebabkan oleh racun : harus ada data yang mencukupi,

fakta – fakta yang dapat mendukung dan alasan sehingga dapat

menegakkan pernyataan ini. Harus diingat bahwa dalam membuktikan

bahwa seseorang mati karena racun, harus didapatkan adanya bukti racun

yang terdapat di dalam sistem sirkulasi darah dan/atau organ tubuh. Jika

adanya bukti racun di saluran gastrointestinal tidak dapat membuktikan

(29)

gastrointestinal yang secara anatomi dimulai dari mulut sampai anus

bentuknya seperti pipa air taman, berbentuk cekung dan terbuka pada

kedua ujungnya, dan secara topografi terletak di bagian luar dari tubuh.

Oleh karena itu, untuk menjadikan hal tersebut menjadi berbahaya,

senyawa racun tersebut harus di absorbsi melewati dinding usus dan

masuk kedalam sistem sirkulasi sistemik sehingga racun tersebut dapat

menempati lokasi yang dapat mengakibatkan efek yang tidak

menguntungkan.

g. Pembunuhan : hal ini tidak hanya dapat dibuktikan secara analitik atau

melalui autopsi saja tetapi tergantung dari kinerja penyidik krimininal pada

olah TKP dan pemeriksaan saksi mata. Penjelasan ini harus dikategorikan

untuk menyingkirkan kemungkinan bahwa kematian disebabkan oleh

kecelakaan, penyalahgunaan substansi berbahaya yang disengaja, atau

merupakan tindakan bunuh diri.

Kesimpulannya, untuk memastikan kemungkinan adanya penghukuman,

sangat penting sekali bahwa pembuktian dari dasar penyidikan harus sangat jelas

berdasarkan kepada kesimpulannya yaitu kematian yang disebabkan oleh racun,

yang memungkinkan atau tidak memungkinkan adanya orang lain mempunyai

akses untuk menambahi substansi racun tersebut dan terdakwa tersebut

mengetahui efek dari dosis letal pada korban.

2. Pemeriksaan Peristiwa Keracunan

Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan,

(30)

yang sampai saat ini sebelum otopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap

kemungkinan keracunan.

Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracunan bila

pemeriksaan setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan,

bila pada otopsi ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan zat

tertentu, misalnya bau kutu busuk pada keracunan malation.

Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan

beberapa pemeriksaan penting yaitu pemeriksaan di tempat kejadian, pemeriksaan

forensik dan pemeriksaan toksikologi.

a. Pengelompokan Jenis Racun

Pengelompokan racun dibagi berdasarkan:26

1. Sumber racun.

Racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti opium (dari

Papaver somniferum), kokain , kurare, aflatoksin (dari Aspergilus niger),

Amygdala (sianida dalam tumbuhan). Racun yang berasal dari hewan :

bias/ toksin ular/ laba-laba/ hewan laut. Berasal dari mineral : arsen, timah

hitam atau sintetik : heroin.

2. Tempat Dimana Racun Berada.

a. Racun yang terdapat di alam bebas, misalnya gas beracun di alam.

b. Racun yang terdapat dalam rumah tangga misalnya, deterjen,

desinfektan, insektisida, pembersih (cleaners).

26

(31)

3. Racun yang digunakan dalam pertanian, misalnya insektisida, herbisida,

pestisida. Racun yang digunakan dalam industry dan laboratorium,

misalnya asam, basa kuat, dan logam berat.

4. Racun yang terdapat dalam makanan, misalnya CN dalam singkong, toksin

botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta “racun” dalam bentuk obat,

misalnya hipnotik, sedative dan lain sebagainya.

5. Racun yang banyak beredar dikalangan medis. Hipnotika, sdativa,

transqullizer, Anti Depresan, Analgetika, Narkotika, Antibiotika.

6. Mekanisme kerja

a. Racun yang bekerja local atau setempat.

1. Zat- zat korosif: lisol, asam urat, basa kuat.

2. Zat yang bersifat iriatan: arsen, HgCl2.

3. Zat yang bersifat anestetik: kokain, asam karbol.

b. Racun yang bekerja secara sistemik.

1. Narkotika, barbiturat dan alcohol, terutama berpengaruh terhadap

susunan syaraf pusat.

2. Digitalis dan amsam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.

3. Karbon-monoksida dan sianida terutama berpengaruh terhadap

sisetem enzym pernafasan dalam sel.

4. Insektisida golongan “chlorinated hydrocarbon”, dan golongan

fosfor organic; terutama berpengaruh terhadap hati.

5. Strychnine, terutama berpengaruh pada medulla spinalis.

6. Cantharides dan HgCl2; terutama berpengaruh terhadap ginjal.

(32)

1. Asam okslat.

2. Asam karbol.

3. Arsen.

4. Garam Pb.

d. Racun yang mengikat gugs sulfhidril(-SH) misalnya Pb, yang

berpengaruh pada ATP-ase.

e. Racun yang membentuk methemoglobin misalyna nitrat dan nitrit

(nitrat dalam usus oleh flora usus diubah menjadi nitrit).

f. Berikut ini daftar beberapa racun umum dan gejalanya.27

Asam (HCL, H2SO4). Seperti terbakar sekitar mulut, bibir, hidung.

Aniline (hypnotic, nitrobenzene). Kulit muka dan leher terlihat gelap. Arsenic (metal, mercuri, tembaga). Berat, diare yang tidak jelas

sebabnya. Atropine (belladonna), scopolamine. Dilatasi pupil.

Basa. Seperti terbakar sekitar mulut, bibir, hidung.

Asam karbol. Bau seperti disinfectan. Karbon mono oksida. Kulit merah terang.

Cyanide. Mati cepat, kulit merah, bau seperti buah peach.

Racun makanan. Muntah, sakit perut. Metal. Diare, muntah, sakit perut. Nikotin. Kejang.

Opiat. Miosis pupil. Asam oksalat. Bau seperti bawang. Natrium fluoride. Kejang.

Strychnine Kejang, muka dan leher gelap.

b. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan

Dalam menyelidiki suatu kasus forensik karena keracunan baik

secara sengaja maupun tidak, seorang ahli kedokteran forensik harus

memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Untuk

27

(33)

mengidentifikasikan faktor yang mempengaruhi toksisitas harus

mengetahui mekanisme farmakologik dari bahan kimia atau obat terhadap

makhluk hidup termasuk orang. Sehingga seorang ahli kedokteran forensik

harus mengetahui dasar-dasar respons tubuh terhadap obat tersebut.28

Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu faktor yang

mempengaruhi terjadinya keracunan, antara lain:

29

1. Cara masuk.

a. Ditelan (peroral, ingesti).

b. Terhisap berasama udara pernafasan (Inhalasi).

c. Melalui penyuntikan (parenteral, injeksi, seperti intravena,

intramuscular, intraperitoneal).

d. Penyerapan melalui kulit yag sehat atau yang sakit.

e. Melalui anus atau vagina (perektal, pervainam).

Berdasarkan kecepatan kerjanya, maka racun paling cepat

menimbulkan efek pada manusia bila masuknya racun secara inhalasi,

kemudian secara berturut-turut intramuscular, intraperitoneal dan paling

lambat ialah bila melalui kulit yang sehat.

2. Umur.

Kecuali untuk beberapa jenis racun tertentu, orang tua dan

anak-anak lebih sensitive misalnya pada barbiturate. Bayi premature lebih

rentan terhadap obat karena eksresi melalui ginjal belum sempurna dan

aktiviatas mikrosom dalam hati belum cukup.

28

Darmono, Op.cit, Hal. 6.

29

(34)

3. Kondisi tubuh.

Penderita penyakit ginjal umumnya lebih muda mengalami

keracunan. Pada penderita demam dan penyakit lambung, absorbsi dapat

terjadi dengan lambat. Bentuk fisik dan kondisi fisik, misalnya lambung

berisi atau kosong.

4. Kebiasaan.

Sangat berpengaruh pada racun golongan alcohol dan morfin sebab

dapat terjadi toleransi, tetapi toleransi tidak dapat menetap, jika suatu

ketika dihentikan, maka toleransi akan menurun lagi.

5. Waktu pemberian.

Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum makan, absorbs

terjadi lebih baik sehigga efek akan timbul lebih cepat.

6. Kuantitas (dosis) racun

Pada umumnya dosis racun yang besar akan menyebabkan kematian yang

lebih cepat. Tetapi pada beberapa kasus, misalnya racun tembaga sulfat

dalam dosis besar akan merangsang muntah sehingga racun dikeluarkan

dari dalam tubuh.

c. Proses Pemeriksaan Di Tempat Kejadian (olah TKP)

Pemeriksaan ditempat kejadian penting untuk membantu penentuan

penyebab kematian dan menentukan cara kematian. Pemeriksaan harus ditujukan

untuk menjelaskan apakah orang itu mati karena keracunan, misalnya dengan

memeriksa tempat obat, apakah ada sisa obat atau pembungkusnya. Apakah

terdapat gelas atau alat minum lain, atau ada surat perpisahan/ peninggalan jika

(35)

tentang saat kematian, kapan terakhir kali ditemukan dalam keadaan sehat,

sebelum kejadian ini apakah sehat-sehat saja. Berapa lama gejala yang timbul

setelah makan/ minum terakhir, dan apa saja gejala-gejalanya. Bila sebelumnya

sudah sakit, apa penyakitnya, obat-obat apa yang diberikan serta siapa yang

memberi. Pada kasus kecelakaan, misalnya pada anak-anak, tanyakan dimana zat

beracun disimpan, apakah dekat makan minuman. Bagaimana keadaan emosi

korban tersebut sebelumnya dan apakah pekerjaan korban. Kemungkinan adanya

industrial poisoning, yaitu racun yang diperoleh dari tempat dia bekerja.

Mengumpulkan barang bukti. Kumpulkan obat-obatan dan pembungkusnya

muntahan harus diambil dengan kertas saring dan disimpan dalam toples, periksa

adanya tiket dari apotik dan jangan lupa memeriksa tempat sampah.

d. Pemeriksaan Forensik

Pada Korban yang masih Hidup

Beberapa pertimbangan yang sangat perlu diperhatikan adalah

bahwa untuk mengetahui jenis racun yang masuk kedalam tubuh korban

dapat melalui pemeriksaan pada tinja korban atau dari bahan yang

dimuntahkan oleh korban. Gejala yang ditimbulkan tergantung kepada

jenis dan klasifikasi racun. Misalnya racun yang bersifat korosif akan

meninggalkan bekas pada bagian luar tubuh. Racun yang bersifat iritan

menyebabkan gejala yang mirip seperti kolera. Racun dari jenis spinal

menyebabkan rangsangan sehingga bisa menyebabkan kejang-kejang.

Bukti-bukti yang sangat menjurus adanya keracunan adalah dengan

ditemukannya racun pada makanan, obat, bahan yang dimuntahkan, urine

(36)

keracunan, setiap bahan tersebut diatas harus diambil untuk pemeriksaan

laboratorium.30

Pemeriksaan Luar

Pada Korban yang sudah meninggal

Untuk melakukan pemeriksaan pada korban yang sudah

meninggal, perlu dilakukan pemeriksaan khusus. Hal ini disebabkan

bahwa racun yang telah masuk ke dalam tubuh korban tidak ada

meninggalkan bukti yang konkrit di sekitar tempat kejadian. Adapun

hal-hal yang dilakukan adalah berupa pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam

tubuh korban, dan pemeriksaan toksikologi.

31

1. Bau yang tercium.

Ini dapat diperoleh petunjuk racun apa kiranya yang ditelan oleh

korban. Permeriksa dapat mencium bau minyak tanah pada penelanan

larutan insektisida, bau kutu busuk pada malation, mau ammonia,

fenol (asam karbolat), lisol, alcohol, eter, kloroform dan lain-lain.

2. Adanya busa/ buih halus sukar pecah.

Pada mulut dan hidung dapat ditemunaka adanya busa,

kadang-kadang disertai bercak darah.

3. Bercak coklat.

Kadang dapat ditemukan luka bakar kimiawi berupa bercak berwarna

coklat agak mencekung di kulit yang terkena insektisida bersangkutan.

4. Pakaian.

30

Ibid, Hal. 225.

31

Mohan S. Dharma, Dkk., Makalah Investigasi Kematian Dengan Toksikologi Forensik

(37)

Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh

tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak

berwarna coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.

5. Bercak-bercak racun.

Dari distribusi racun dapat diperkirakan cara kematian, bunuh diri,

kecelakaan atau pembunuhan. Pada kasus bunuh diri distribusi bercak

biasanya teratur pada bagian depan dan tengah dari pakaian, pada

kecelakaan tidak khas, sedangkan pada kasus pembunuhan distribusi

bercak racun biasanya tidak beraturan (seperti disiram).

Tanda-tanda asfiksida.

6. Lokasi.

Dapat ditemukan bibir, ujung jari, dan kuku kebiruan.

7. Lebam mayat.

Warna lebam mayat merah kebiruan gelap. Kadang warna lebam

mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna, karena pada dasarnya

adalah manifestasi warna darah yang tampak pada kulit.

Pemeriksaan Dalam32

1. Darah berwarna lebih gelap dan encer.

Pada pemeriksaan dalam akibat keracunan akan ditemukan

tanda-tanda seperti:

2. Busa halus di dalam saluran nafas.

32

(38)

3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga

menjadi lebih berat, berwarna gelap dan pada pengirisan banyak

mengeluarkan darah.

4. Ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada

bagian belakang jantung daerah aurikuloventrikuler, subpleura

visceralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura

interlobularis, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot

temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.

5. Edema paru : bauk dari zat pelarut mungkin dapat dideteksi, misalnya

bau minyak tanah, bensin, terpentin atau bau seperti mentega yang

tengik. Dalam lambung akan ditemukan cairan yang terdiri dari dua

lapis, yang satu adalah cairan lambung dan lapisan lainnya adalah

lapisan larutan insektisida.

Pada prinsipnya pemeriksaan luar dan dalam diperiksa dan dicatat

hal-hal penting dengan seksama dengan memperhatikan segala kemungkinan

tanda spesifik dari zat yang meracuni tubuh, seperti :

1. Bau.

Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa kiranya

yang ditelan oleh korban. Pemeriksa dapat mencium bau amandel

yang pada penelan sianida, bau minyak tanah pada penelanan

isektisida, bau kutu busuk pada malation, bau amoniak, fenol, alcohol,

eter dan lain-lain. Maka pada tiap kasus keracunan, pemeriksa harus

selalu memperhatikan bau yang tercium dari pakaian, lubang hidung,

(39)

disamping mayat, ia harus menekan dada mayat dan menetukan

apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang

hidung dan mulut.

2. Pakaian.

Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebarkan oleh

tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan misalnya bercak

warna coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.

Penyebaran bercak perlu diperhatikan, karena dari penyebaran itu

dapat diperoleh petunjuk tentang intense atau kemauan korban yaitu

apakah racun itu ditelan atas kemauan sendiri atau dipaksa. Jika

korban dipaksa maka bercak-bercak racun akan tersebar pada daerah

yang luas dan pada pakaian melekat bau racun.

3. Lebam mayat.

Warna lebam yang tidak biasa juga mempunyai makna karena warna

lebam mayat pada dasarnya manifestasi darah yang tampak pada kulit

misalnya cherry pink colour pada keracunan CO, merah terang pada

keracunan sianida, kecoklatan pada keracunan nitrit, nitrat, aniline,

fenasetin dan kina.

4. Perhatikan adanya kelainan ditempat masuknya racun.

Zat-zat bersifat korosif menyebabkan luka bakar atau korosi pada

bibir, mulut dan kulit sekitar. Bunuh diri dengan lisol ditemukan luka

bakar kering berwarna coklat bentuk tidak teratur dengan garis-garis

yang berjalan dari bibir atau sudut-sudut mulut kea rah leher. Pada

(40)

bakar barbagai bentuk dan ukuran tersebar dimana-mana. Pada asam

nitrat, korosi berwarna kuning atau jingga kuning karena reaksi

xantoprotein, pada asam klorida korosif kulit tidak begitu lebat atau

kadang tidak ditemukan. Pada sam format ditemukan luka bakar

warna merah coklat, batas tegas dan kelopak mata munkgin

membengkak karena extravasasi hemorhagik.

5. Perubahan kulit.

Hiperpigmentasi atau malanosis dan keratosis telapak tangan dan kaki

pada keracunan arsen kronik. Kulit warna kelabu kebiru-biruan pada

keracunan perak kronik. Kulit warna kuning pada keracunan tembaga

dan fosfor akibat hemolisis, juga pada keracunan insektisida

hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati. Dermatitis

pada keracunan kronik salsilat, bromida dan beberapa logam berat

seperti arsen dan talium. Vesikel atau bula pada tumit, bokong dan

punggung pada keracunan karbon monoksida dan barbiturat akut.

6. Kuku.

Pada keracunan arsen kronik dapat ditemukan kkuku yang menebal

secara tidak teratur.

7. Rambut.

Kebotakan atau alopesia dapat ditemukan pada keracunan talium,

(41)

8. Sklera.

Sklera tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti

fosfor, karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dikoumarol

atau akibat bisa ular.

Dalam pemeriksaan dalam, segera setelah rongga perut dan dada

dibuka, tentukan apakah terdapat bau yang tidak biasa (racun). Bila pada

pemeriksaan luar tidak tercium bau racun, maka rongga tengkorak sebaiknya

dibuka terlebih dahulu agar bau visera perut tidak menyelubungi bau tersebut,

terutama bila yang dicurigai adalah sianida. Bau sianida, alcohol, kloroform dan

eter tercium bau paling kuat dalam rongga tengkorak.

1. Inspeksi insitu.

Perhatikan warna otot-otot dan alat-alat. Pada keracunan

karbonmonoksida tampak berwarna keracunan merah muda cerah, dan

pada sianida warna merah cerah. Warna coklat pada racun dengan

eksresi melalui mukosa usus. Peradangan dalam usus karakteristik

pada keracuanan air raksa, biasana pada kolon ascenden dan

transversum dietemukan colitis. Lambung mungkin tampak hiperemi

atau tampak kehitam-hitaman dan terdapat perforasi akibat zat korosif.

Hati berwarna kuning karena degenerasi lemak atau nekrosis pada

keracunan zat hepatotoksik seperti fosfor, karbontetraklorida,

kloroform, alcohol, dan arsen. Perhatikan warna darah pada

intoksikasi dengan racun yang menimbulkan hemolisis (bias ular,

pirogalol, hidriquinon, dinitrofenol dan arsen). Darah dan organ-organ

(42)

menimbulkan gangguan trombosit terdapat bannyak bercak

perdarahan pada organ-organ. Bila terjadi keracunan yang cepat akan

menimbulkan kematian misalnya sianida, alcohol, kloroform maka

darh dalam jantung dan pembuluh darah besar tetap cair, tidak

terdapat bekuan darah.

2. Lidah.

Perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau

menunjukan kelainan yang disebabkan oleh zat korosif.

3. Esophagus.

Bagian atas dibuka sampai pada ikatan diatas diafragma, apakah

terdapat regurgitasi dan selaput lender. Diperthatikan adanya hiperemi

dan korosif.

4. Epiglottis dan glottis.

Perhatikan apakah ada hipermi atau oedem, disebabkan oleh inhalasi

atau aspirasi gas atau uap yang merangsang atau akibat regurgitasi dan

aspirasi zat yang merangsang.

5. Paru-paru.

Dietmukan kelainan yang tidak spesifik berupa bendungan akut. Pada

inhalasi gas yang merangsang seperti klorin dan nitrogen oksida

ditemukan perbendungan dan oedem hebat serta emfisema akut karena

terjadi batuk-batuk, dyspneu dan spasme bronchus.

6. Lambung dan usus 12 jari.

Dipisahkan dari alat-alat lainnya dan diletakkan dalam wadah bersih,

(43)

mengeluarkan bau yang tidak biasa. Perhatikan isi lambung, warna

dan terdiri atas bahan apa.

7. Usus-usus.

Secara rutin usus-usus sebaiknya dikirim seluruhnya dengan ujung

terikat. Pemeriksaan isi usus diperlukan pada kematian yang terjadi

beberapa jam setelah korban menelan zat beracun dan ingin diketahui

berapa lama waktu tersebut. Isi usus dikeluarkan dengan membuka

satu ikatan dan mengurut usus kemudian ditampung dalam gelas dan

tentukan beratnya. Selaput lender diperiksa kemudian dicuci dengan

aquadest kemudian air cucian ditimbang serta dimasukan dalam

tabung yang berisi usus. Dalam isis usus kadang-kadang dapat

ditemukan enteric tablets atau tablet lain yang belum tercena.

8. Hati.

Apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak

serinng ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan

pada keracunan phosphor, karbon tetrachlorida.

9. Ginjal.

Perubahan degenratif pada korteks ginjal dapat disebabkan oleh racun

yang merangsang ginjal agak membesar, korteks membesar, gambaran

tidak jelas dan berwarna suram kelabu kuning.

10.Urin.

Dengan semprit dan jarum yang bersih urin diambil dari kandung

(44)

mudah dikerjakan sehingga dapat diperoleh petunjuk yang pertama

dalam suatu analisis toksikologis secar sistematis.

11.Otak.

Pada keracunan akut dengan kematian yang cepat biasanay tidak

ditemukan adanya edema otak misalnya pada kematian cepat akibat

barbiturate atau eter dan juga pada keracunan kronik arsen atau timah

hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat ditemukan pada

keracunan karbonmonoksida, barbiturate, nitrogen oksida dan logam

berat seperti air raksa, arsen dan timah hitam.

12.Jantung.

Racun-racun yang dapat menyebabkan degenerasi parenkim, lemak

atau hidropik pada epitellium dapat menyebabkan degenerasi sel-sel

otot jantung sehingga jantung menjadi lunak, berwarna merak pucat

coklat kekuning-kuningan dan ventrikel mungkin melebar. Pada

keracunan karbonmonoksida bila korban hidup selama 48 jam atau

lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak dalam otot septum

iterventrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris pada

musculus papillaris ventrikel kiri dengan garis menyebar radier dari

ujung otot tersebut sehingga tampak gambaran seperti kipas. Pada

keracunan arsen hamper selalu ditemukan perdaraha kecil-kecil seperti

nyala api (frame like) di bawah edokardium septum interventrikel

ventrikel kiri. Juga pada keracunan fosfor dapat ditemukan

(45)

13.Limpa.

Selain adanya pembendungan akut, limpa tidak menunjukan kelainan

patologik. Limpa jarang dipergunakan dalam analisis toksikologik,

sehingga umumnya limpa tidak diambil terkecuali bila tidak dapat

diperoleh lagi darah dari jantung dan pembuluh-pembuluh darah

besar.

14.Empedu.

Empedu merupakan bahan yang baik untuk penentuan glutetimida

(doriden), quabaina (Strophantin, Strophantus gratus), morfin dan

heroin.

15.Lemak

Jaring lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah

kulit daerah perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan

lemak dan kemudian dengan lambat dilepaskan kedalam darah. Jika

terdapat persangkaan bahwa korban meninggal akibat penyuntikan

jaringan di sekitar tempat suntikan diambil dalam radius 5-10 cm.

16.Rambut

---- Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala. Rambut diikat terlebih

dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya, dan kemudian

diberi label agar ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian yang

proksimal dan bagian distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa

menggunakan pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap bagian

(46)

proksimal dan setiap bagian panjangnya ½ inci atau 1 cm. terhadap

setiap bagian itu ditentukan kadar arsennya.

17.Kuku

Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat

kuku-kuku kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan

dikirim tanpa diawetkan. Ahli toksikologi membagi kuku menjadi 3

bagian mulai dari proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3

bagian proksimal.

Pemeriksaan Toksikologi33

1. Lambung dengan isinya.

Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun

umumnya tidak akan di jumpai kelainan-kelainan yang khas yang dapat

dijadikan pegangan untuk menegakan diagnose atau menentukan sebab

kematian karena racun suatu zat. Jadi pemeriksaan toksikologi mutlak

harus dilakukan untuk menentukan adanya racun pada setian kasus

keracunan atau yang diduga mati akibat racun.

Setelah mayat si korban dibedah oleh dokter kemudian diambil dan

dikumpulkan jaringan-jaringan atau organ-organ tubuh si korban untuk

dijadikan barang bukti dan bahan pemeriksaan toksikologi. Prinsip

pengambilan sampel pada keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya

setelah disishkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologis.

Secara umum sampel yang harus diambil adalah :

33

(47)

2. Seluruh usus dengan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan

pada usus setiap jarak sekitar 60cm.

3. Darah yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer

(v.jugularis, a. femoralis dan sebagainya) masing-masing 50ml dan

dibagi 2 yang satu diberi bahan pengawet (NaF 1%), yang lain tidak

diberi bahan pengawet.

4. Hati sebagai tempat detoksifikasi, tidak boleh dilupakan, hati yang

diambil sebanyak 500gram.

5. Ginjal, diambil keduanya, yaitu pada kasus keracunan dengan logam

berat khususnya, dan bila urin tidak tersedia.

6. Otak diambil 500 gram, khusus untuk keracunan khloroform dan

keracunan sianida, hal tersebut dimungkinkan karena otak terdiri dari

jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk meretensi racun

walaupun telah mengalami pembusukan.

7. Urin diambil seluruhnya, penting oleh karena pada umumnya racun

akan dieksresikan melalui urin, khususnya untuk tes penyaring pada

keracunan narkotika, alcohol, dan stimulan.

8. Empedu sama halnya dengan urin diambil oleh karena tempat ekskesi

berbagai racun terutama narkotika.

9. Pada kasus khusus dapat diambil :

a. Jaringan sekitar suntikan dalam radius 5-10 sentimeter.

b. Jaringan otot, yaitu, dari tempat yang terhindar dari kontaminasi,

misalnya muskulus psoas sebanyak 200 gram.

(48)

d. Rambut yang dicabut sebanyak 10 gram.

e. Kuku yang dipotong sebanyak 10 gram, dan.

f. Cairan otak sebanyak-banyaknya.

Jumlah bahan pengawet untuk sampel padat minimal 2x volume

sampel tersebut, bahan pengawet yang dianjurkan :

a. Alcohol absolute.

b. Larutan garam jenuh (untuk Indonesia paling ideal).

Kedua bahan di atas untuk sampel padat atau organ.

a. Natrium fluoride 1%

b. Natrium fluoride + Natrium sitrat (75mg + 50mg, untuk setiap 10ml

sampel)

Kedua bahan diatas untuk sampel cair adalah Natrium Benzoat dan

phenyl mercury nitrate khusus urin.

Cairan tubuh sebaiknya diperiksa dengan jarum suntik yang bersih/baru.

1. Darah seharusnya selalu diperiksa pada gelas kaca, jka pada gelas

plastic darah yang bersifat aak asam dapat melumerkan polimer plastic

dari plastic itu sendiri, karena dapat membuat keliru pada analisa gas

kromatografi.

2. Pada pemeriksaan spesimen darah, selalu diberi label pada tabung

sampel darah:

a. Pembuluh darah femoral.

(49)

Pada kasus mayat yang tidak diotopsi :

1. Darah diambil dari vena femoral. Jika vena ini tidak berisi, dapat

diambil dari subclavia.

2. Pengambilan darah dengan cara jarum ditdarusuk pada trans-thoracic

secara acak, secara umum tidak bisa diterima, karena bila tidak

berhati-hati darah bisa terkontaminasi dengan cairan dari esophagus, kantung

pericardial, perut/cavitas pleura.

3. Urine diambil dengan menggunakan jarum panjang yang dimasukan

pada bagian bawah dinding perut terus sampai pada tulang pubis.

Pada mayat yang diotopsi :

1. Darah diambil dari vena femoral.

2. Jika darah tidak dapat diambil dari vena femoral, dapat diambil dari :

Vena subklavia, Aorta, Arteri pulmonalis, Vena cava superior dan

Jantung.

3. Darah seharusnya diberi label sesuai dengan tempat pengambilan.

4. Pada kejadian yang jarang terjadi biasanya berhubungan dengan trauma

massif, darah tidak dapat diambil dari pembuluh darah tetapi terdapat

darah bebas pada rongga badan.

a. Darah diambil dan diberi label sesuai dengan tempat pengambilan.

b. Jika dilakkukan tes untuk obat tersebut tidak dibawah efek obat pada

saat kematian.

c. Jika tes positif harus diperhitungkan kemungkinan kontaminsai.

d. Pada beberapa kasus bahan lain seperti vitreus/ otot dapat dianalisa

(50)

Prinsip pengambilan sample pada kasus keracunan adalah diambil

sebanyak-banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk

pemeriksaan histopatologik. Pengambilan sample untuk pemeriksaan

toksikologi adalah sebagai berikut :

1. Lambung dengan isinya.

2. Seluruh usus dengan isinya

3. Darah, yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer

(v. jugularis. A. femoralis dsb).

4. Hati.

5. Ginjal, diambil keduanya.

6. Otak.

7. Urin.

8. Empedu bersama-sama dengan kantung empedu.

9. Limpa.

10. Paru-paru

11. Lemak badan.

Bahan pengawet yang dipergunakan adalah :

1. Alcohol absolute.

2. Larutan garam jenuh.

3. Natrium fluoride 1%.

4. Natrium fuorida + natrium sitrat.

5. Natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate.

Alcohol dan larutan garan jenuh untuk sampel padat atau organ,

Referensi

Dokumen terkait

Matakuliah ini bertujuan memberikan pengenalan kepada mahasiswa berkaitan dengan ruang lingkup bidang, meliputi: Pengertian penyehatan lingkungan dan teknik penyehatan

Pada pembahasan tentang pengaruh konstruksi berita media online Xinhua terhadap konflik Laut Cina Selatan, penulis menggunakan teori propaganda politik oleh

darah dengan bagian dari tinggi badan yang lebih spesifik.. seperti panjang kaki atau

Salah satu usaha untuk mewujudkan peningkatan penerimaan untuk pembangunan tersebut adalah dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri, yaitu pajak.. Secara

Kesimpulan penelitian bahwa penambahan vitamin A sampai dengan 1500 IU dalam ransum mampu meningkatkan ketahanan tubuh berdasarkan jumlah leukosit,

dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi induktif yaitu metode-metodenya diawali dengan menjelaskan data basil penelitian yaitu data tentang praktek

Astrolabe RHI merupakan salah satu alat astronomi klasik yang dapat digunakan untuk menentukan panjang bayangan awal waktu Zuhur dan Asar.. Dalam menentukan panjang

Dengan demikian bila suatu sungai menerima limbah berupa senyawa organik atau limbah dalam jumlah yang sedikit atau dalam batas toleransi maka limbah tersebut akan dinetralisir oleh