ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK
TERHADAP KUMPULAN PUISI RENUNGAN KLOSET
KARYA RIEKE DIAH PITALOKA
Skripsi
Oleh:
Ronauli Gultom
Nim 050701041
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
▸ Baca selengkapnya: analisis puisi malaikat juga tahu
(2)ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK TERHADAP KUMPULAN PUISI RENUNGAN KLOSET
KARYA RIEKE DIAH PITALOKA
Oleh: Ronauli G. Nim: 050701041
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan
dan telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dra. Peraturen Sukapiring, S. U. Dra. Yulizar Yunas, M. Hum.
Nip: 130517485 Nip: 130900687
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
▸ Baca selengkapnya: analisis puisi sepasang sepatu tua
(3)Disetujui
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA Ketua,
Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. Nip: 131676481
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
atau sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya
perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar
kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, 19 Juni 2009
ABSTRAK
Analisis Struktural dan Semiotik Terhadap Kumpulan Puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka ini bertujuan untuk menganalisis struktural dan semiotik di dalam kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka. Hasil analisis ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami makna puisi. Untuk mencapai tujuan itu telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode heuristik dan hermeneutik dengan teknik catat pada kartu data. Setelah data terkumpul, dilakukan analisis dengan menggunakan teori struktural yang dikemukakan oleh Roman Ingarden yang disebut analisis strata norma (Pradopo, 1999:15) kemudian dilanjutkan dengan analisis semiotika yang sesuai dengan pendapat Zoest (1996:6).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan karena telah diberi-Nya berkat kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat waktu.
Skripsi ini penulis susun berkaitan dengan sastra yaitu analisis
struktural dan semiotika terhadap kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke
Diah Pitaloka. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Sastra, di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas
Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Wan Syaifuddin, M. A., Ph. D. selaku Dekan Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara, serta pembantu Dekan I, II, dan III.
2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. dan ibu Dra. Mascahaya, M. Hum.
selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Peraturen Sukapiring, S. U. dan Dra. Yulizar Yunas, M. Hum. Selaku
dosen pembimbing I dan II yang banyak membantu penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Bapak Drs. Gustaf Sitepu selaku dosen pembimbing akademik yang banyak
membantu dan memotivasi penulis selama menjadi mahasiswa di departemen
5. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si. yang telah meluangkan waktunya
untuk membaca dan memberi kritik dan saran pada saat ujian seminar
proposal.
6. Seluruh dosen di lingkungan Departemen Sastra Indonesia, kak Fitri dan kak
Dede’ yang telah banyak membantu urusan administrasi.
7. Mama yang dengan sabar menghadapi penulis dan selalu mendukung, baik
secara material maupun secara spiritual sepanjang hidup penulis. Ma, terima
kasih buat doanya ya!
8. Bang Hen yang mendukung dan memotivasi penulis sehingga penulis lebih
dewasa dan tegar dalam menjalani hidup ini.
9. Amangboru Raja Gukguk di Jambi yang selalu mendukung dan mendoakan
penulis selama ini. Terima kasih atas perhatiannya Amangboru.
10. Sweetshe yang selalu peduli dan perhatian selama penyusunan skripsi ini.
11. Adik-adik penulis (Tina, Hasan, Riris, dan Yuli) yang turut mendoakan
penulis.
12. Risna yang selalu mendukung penulis walaupun skripsinya sedang “istirahat”.
13. Retta yang caem, Ticka Item yang selalu jail, Listi, Eva, Vivi, teman-teman
stambuk 2005, 2006, 2007, dan 2008 yang tidak dapat penulis tulis satu per
satu.
Skripsi ini belum sempurna. Karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran pembaca terhadap skripsi ini untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga
skripsi ini berguna bagi kita semua.
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ……….………..………...i
ABSTRAK ……….……….ii
KATA PENGANTAR ………...……….……...iii
DAFTAR ISI ………...…….……...v
BAB I PENDAHULUAN ………...………1
I.1 Latar Belakang dan Masalah ………..………1
I.1.1 Latar Belakang ………..………...……….1
I.I.2 Masalah ………....…..6
I.2 Batasan Masalah ………7
I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……...………...8
I.3.1 Tujuan Penelitian ………...……..……….8
I.3.2 Manfaat Penelitian ……….………...8
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA …….…9
2.1 Konsep dan Landasan Teori ………..9
2.1.1 Konsep ………...………..…….9
2.1.2 Landasan Teori ……….9
2.2 Tinjauan Pustaka ………...………..15
BAB III METODE PENELITIAN ……….………...17
3.1 Populasi dan Sampel ………..……….17
3.1.2 Sampel ………..……….……….17
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ………...…...18
3.2.1 Sumber Data ………..………..……...19
3.3 Metode dan Teknik Pengkajian Data ………...19
BAB IV ANALISIS ………..20
4.1 Analisis Struktural………20
4.1.1 Bersama Kereta Malam ………..20
4.1.2 Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi (Kita Anak Negeri)...24
4.1.3 Hujan 1 ………...31
4.1.4 Hujan 2 ………...34
4.1.5 Bulan yang Gelisah ………38
4.1.6 Renungan Kloset ………42
4.1.7 Eksodus ………..45
4.1.8 Legian, Kuta 121002 ………..48
4.1.9 Mengapa Aku Sayang padamu ………...54
4.1.10 Winternachten ………..59
4.2 Analisis Semiotik ………64
4.2.1 Bersama Kereta Malam ………..64
4.2.2 Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi (Kita Anak Negeri)………..66
4.2.5 Bulan yang Gelisah ………74
4.2.6 Renungan Kloset ………76
4.2.7 Eksodus ………..78
4.2.8 Legian, Kuta 121002 ………..80
4.2.9 Mengapa Aku Sayang padamu ………..83
4.2.10 Winternachten ………..86
BAB V SIMPULAN ……….89
ABSTRAK
Analisis Struktural dan Semiotik Terhadap Kumpulan Puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka ini bertujuan untuk menganalisis struktural dan semiotik di dalam kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka. Hasil analisis ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memahami makna puisi. Untuk mencapai tujuan itu telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode heuristik dan hermeneutik dengan teknik catat pada kartu data. Setelah data terkumpul, dilakukan analisis dengan menggunakan teori struktural yang dikemukakan oleh Roman Ingarden yang disebut analisis strata norma (Pradopo, 1999:15) kemudian dilanjutkan dengan analisis semiotika yang sesuai dengan pendapat Zoest (1996:6).
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang
Puisi adalah bentuk karya sastra yang paling tua yang diciptakan oleh
manusia. Menurut zamannya puisi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu (1)
Puisi lama, (2) Puisi baru, dan (3) Puisi modern (Badudu, 1984).
Puisi lama yang kita kenal di Indonesia adalah puisi peninggalan sastra
Melayu. Ada yang asli dan ada pula yang berasal dari puisi-puisi asing yaitu dari
Arab, India, dan Parsi. Puisi baru (pada zaman Pujangga Baru) ialah bentuk puisi
Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh puisi Belanda terutama Angkatan
’80-nya. Sedangkan puisi modern (mulai dari ’45) dipengaruhi oleh puisi dunia seperti
Inggris, Prancis, Rusia, Italia, Spanyol, dan lain-lain.
Badudu (1984) mengatakan, perbedaan utama puisi tiga zaman ini
terletak pada sifat keterikatan dan kebebasan dalam mencipta. Puisi lama sangat
terikat pada bentuk dan isinya. Kebebasan individu dalam kehidupan masyarakat
modern terpantul kembali dalam ciptaan-ciptaan sastra. Pengarang dalam
menciptakan karyanya tidak terikat lagi dengan kebiasaan-kebiasaan lama;
mereka ingin bebas dalam mencipta menurut keinginan dan hati mereka, bebas
menggunakan bahasa dan pemilihan kata-kata dan selalu menghindari bahasa
klise dalam karya mereka.
Mantra dan bidal dianggap sebagai permulaan bentuk puisi lama.
gurindam dan kalimat-berirama. Yang dimaksud dengan mantra ialah kata-kata
yang mengandung hikmat dan kekuatan gaib. Biasanya hanya orang-orang
tertentu yang dapat mengucapkannya seperti dukun atau pawang. Sedangkan bidal
adalah peribahasa yang meliputi: pepatah (kiasan dengan kalimat selesai),
ungkapan (kiasan tentang keadaan atau kelakuan seseorang yang berupa frase),
perumpamaan ( kalimat yang menggunakan kata-kata perbandingan untuk
mengungkapkan keadaan atau kelakuan seseorang), tamsil dan ibarat (kalimat
perbandingan yang diiringi kalimat penjelas), serta pameo (kata-kata yang
menjadi populer yang diucapkan dan mengandung dorongan semangat maupun
ejekan).
Pantun berdasarkan isinya dibedakan atas: pantun anak-anak, pantun
orang muda, pantun orang tua, pantun jenaka, dan pantun teka-teki. Sedangkan
berdasarkan bentuknya pantun dibedakan atas: pantun biasa, pantun berkait,
talibun, dan pantun kilat (karmina). Syarat pantun ialah sebagai berikut: (1) terdiri
atas empat baris; (2) tiap baris terdiri atas delapan sampai sepuluh suku kata; (3)
dua baris pertama disebut sampiran dan dua baris berikutnya mengandung maksud
si pemantun (isi pantun); (4) pantun mementingkan rima akhir dan rumus rima
disebut dengan abjad/abjad; maksudnya bunyi akhir baris pertama sama dengan
bunyi akhir baris ketiga, bunyi akhir baris kedua sama dengan bunyi akhir baris
keempat (Badudu, 1984).
Syair mempunyai dua pengertian, yaitu salah satu bentuk puisi lama;
dan sajak (puisi). Pada abad pertengahan, syair mendapat tempat yang penting
dapat dibedakan atas; (1) syair-syair yang merupakan dongeng atau yang berisi
angan-angan pengarang, (2) syair yang berisi kiasan atau sindiran, (3) syair yang
berisi cerita atau hikayat, (4) syair yang berisi cerita kejadian, dan (5) syair yang
berisi ajaran budi pekerti / agama. Sedangkan syarat sebuah syair adalah: terdiri
atas empat baris; tiap baris terdiri atas delapan sampai sepuluh suku kata; tidak
terbagi atas sampiran dan isi, tetapi semuanya merupakan isi; umumnya beruntun
karena dipakai melukiskan cerita; dan rima akhirnya /aaaa/ artinya berima rangkai
(Badudu, 1984).
Gurindam adalah bentuk puisi lama yang kurang populer. Bentuk puisi
ini diperkirakan berasal dari India (Tamil) masuk ke Indonesia karena adanya
pengaruh kesusasteraan Hindu. Gurindam yang terkenal adalah kumpulan
gurindam karangan pujangga Melayu lama Raja Ali Haji. Gurindam XII karena
terdiri atas dua belas pasal dan berisi kurang lebih 64 buah gurindam. Melihat dari
isinya gurindam mendekati pepatah. Syarat sebuah gurindam adalah: gurindam
terdiri atas dua baris; rima akhirnya /aa/; sempurna dengan dua baris saja; baris
pertama merupakan syarat, baris kedua berisi akibat daripada yang disebutkan
dalam baris pertama; isi gurindam pada umumnya berisi nasihat atau sindiran
(Badudu, 1984).
Kalimat-berirama adalah bentuk prosa, tetapi di dalamnya irama puisi
sangat terasa, sedangkan puisi dibedakan daripada prosa oleh iramanya, maka
kalimat berirama dimasukkan ke dalam bentuk puisi. Di dalam bahasa
Minangkabau, ada cerita-cerita pelipur lara dalam bentuk bahasa berirama yang
Beberapa bentuk puisi lama yang berasal dari Arab dan Parsi ialah:
Masnawi, Rubai, Kit’ah, Nazam, dan Gazal. Bentuk-bentuk puisi Arab-Parsi
sangat berlainan dengan puisi asli baik Melayu maupun Indonesia. Kata-kata dan
susunannya juga sudah berlainan sekali dengan bahasa yang kita pergunakan
dewasa ini sehingga agak sukar untuk memahami artinya.
Puisi baru Indonesia lahir pada tahun dua puluhan. Sebenarnya bukan
Angkatan Pujangga Baru yang pertama sekali melahirkan puisi baru, melainkan
beberapa pengarang yang lebih tua daripada mereka yang disebut Angkatan
Pra-pujangga Baru, di antaranya ialah Mohammad Yamin dan Rustam Effendi lalu
disusuul oleh Angkatan Pujangga Baru yang mulai bereksperimen dengan
bentuk-bentuk puisi yang lebih bebas. Bebas menggunakan rima, memilih kata-kata dan
perbandingan-perbandingan, bebas dalam menentukan irama. Kemudian lahirlah
bentuk-bentuk puisi Indonesia baru seperti: (1) distichon / sajak dua seuntai; (2)
terzina / sajak tiga seuntai; (3) quatrain / sajak empat seuntai; (4) quint / sajak lima
seuntai; (5) sextet atau dubbel terzina / sajak enam seuntai; (6) septima / sajak
tujuh seuntai; (7) stanza atau octaaf / sajak delapan seuntai; (8) soneta / sajak
empat belas seuntai; (9) sajak bebas / bebas dalam jumlah baris (Badudu, 1984).
Puisi Indonesia Modern bermula sejak zaman pendudukan Jepang
yang dipelopori oleh Chairil Anwar yang dinamakan Angkatan ’45. bagi mereka
puisi baru masih belum bebas seratus persen. Bentuknya harus sesuai dengan
irama jiwa dan gerak sukma yang hendak dicetuskan. Menurut isinya, puisi
modern dibagi atas: puisi yang melukiskan keindahan alam; puisi yang
yang berjasa; dan lain-lain. Sedangkan puisi Barat membeda-bedakan puisi
kedalam bentuk: balada, romance, elegi, ode, himne, epigram, dan satire.
Puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks. Kekompleksan itu
merupakan: penggantian arti (displacing); penyimpangan arti (distorting); dan
penciptaan arti (creating of meaning) .Kumpulan puisi Renungan Kloset karya
Rieke Diah Pitaloka ini lebih mementingkan menggunakan majas metafora dan
metonimi menggantikan majas kiasan lainnya seperti majas perbandingan (simile),
personifikasi, senekdoke, perbandingan epos, dan alegori sehingga terjadi
penggantian arti dalam puisi-puisi tersebut.
Sebagai contoh:
katakan pada empat penjuru angin tanah dewata berduka
ada duri menggores jantungnya melukai ulu hatinya
menusuk dadanya menghujam batinnya
menghanguskan berpuluh raga
membakar berpuluh nyawa (Legian, Kuta 121002, hlm 80)
Dari penggalan puisi di atas yaitu katakan pada empat penjuru angin
(personifikasi karena angin tidak dapat mendengar), tanah dewwata berduka
(personifikasi karena tanah tidak dapat berduka), ada duri menggores
jantungnya-melukai ulu hatinya-menusuk dadanya-menghujam batinnya-menghanguskan
berpuluh raga-membakar berpuluh nyawa (personifikasi karena duri tidak dapat
menggores, melukai, menusuk, menghujam, menghanguskan, dan membakar
manusia). Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah kengerian yang dialami
manusia saat terjadinya pengeboman di Bali tahun 2002. Hal inilah yang
Selain itu, Pitaloka juga menggunakan ambiguitas yaitu adanya makna
ganda (polyinterpretable) dalam puisinya dan kontradiksi yang mengandung
pertentangan yang disebabkan paradoks atau ironi yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan arti.
Sebagai contoh:
Aku tak tahu, tunggu sampai ayahmu menjemput Kalau begitu tak usah pergi, Mak kita tunggu peluru menembus dada kita
sama seperti ketika ia menembus dada Bapak…
(Eksodus, dalam Renungan Kloset, hlm 69-70)
Dari penggalan puisi di atas yang merupakan penyimpangan arti yaitu
kata “peluru” yaitu untuk melambangkan kekerasan yang dilakukan oleh para
penguasa kepada masyarakat golongan rendah bukan untuk menyatakan peluru
dari sebuah pistol atau senapan.
Sedangkan untuk penciptaan arti, tidak ditemukan penulis di dalam
puisi-puisi Pitaloka ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis
makna kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka ini. Penulis
menganalisis kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka dari
segi maknanya karena menurut penulis puisi-puisi Rieke Diah Pitaloka ini
menggambarkan kepedihan, cinta, dan cita-cita rakyat Indonesia. Selain itu, puisi
Pitaloka ini belum pernah dianalisis orang.
1.1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah dirumuskan
1. Bagaimanakah srtuktur kelima lapis norma dalam puisi-puisi yang
terdapat dalam kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah
Pitaloka?
2. Bagaimanakah makna totalitas puisi berdasarkan tinjauan semiotik
dalam kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka?
1.2 Batasan Masalah
Dalam analisis struktural ini, dibatasi hanya pada struktur kelima lapis
norma dalam puisi. Kelima lapis norma itu terdiri atas (1) lapis bunyi, (2) lapis
arti, (3) lapis objek, (4) lapis “dunia”, dan (5) lapis metafisis. Analisis struktural
dengan kelima lapis norma ini dianggap sudah dapat menyingkap makna
puisi-puisi tersebut setelah dihubungkan dengan pendekatan semiotik nantinya
(Pradopo, 1999:20).
Menganalisis semiotik dilakukan dengan subtinjauan yaitu: sintaksis
semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik (Zoest, !999:6). Hal ini
dilakukan karena dengan pendekatan ketiga subtinjauan tersebut sudah dapat
menyingkap makna puisi-puisi tersebut.
Intensifnya penelitian, maka dipilih beberapa puisi dari kumpulan puisi
Renungan Kloset tersebut yang dapat mewakili analisis puisi secara struktural dan
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis srtuktur kelima lapis norma dalam puisi-puisi yang
terdapat dalam kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah
Pitaloka.
2. Menganalisis makna totalitas puisi berdasarkan tinjauan semiotik
dalam kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ialah:
1. Kajian ini untuk mengembangkan ilmu sastra di Jurusan Sastra Indonesia
USU, khususnya dalam bidang genre puisi, pada umumnya untuk
penerapan teori sastra dalam kajian ilmiah,
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep
Konsep adalah (1) rancangan atau buram surat dan sebagainya; (2) ide
atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) ling gambaran
mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan
oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2001:457).
Analisis ini menggunakan konsep makna semiotik untuk mencari
makna yang terdapat di dalam puisi-puisi kumpulan puisi Renungan Kloset.
Sesuai yang dikatakan oleh Preminger bahwa studi sastra yang bersifat semiotik
itu adalah usaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda-tanda
dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai makna. Untuk menentukan makna puisi secara semiotik, terlebih
dahulu dilakukan analisis secara struktural. Menurut teori struktural, karya sastra
merupakan sebuah struktur yang unsur-unsurnya saling berkaitan.
2.1.2 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, penulis memilih teori struktural dan teori
semiotik. Pada intinya, teori strukturalisme dalam sastra sebagai berikut: karya
sastra merupakan sebuah struktur yang unsur-unsurnya saling berkaitan
dalam struktur itu unsur-unsur tidak mempunyai makna dengan sendirinya,
maknanya ditentukan oleh keterkaitan dengan unsur-unsur lainnya dan
keseluruhan atau totalitasnya bahwa makna unsur-unsur karya sastra itu hanya
dapat dipahami dan dinilai sepenuh-penuhnya atas dasar pemahaman tempat dan
fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Antara unsur itu ada koherensi
atau pertautan erat; unsur-unsur itu tidak otonom, tetapi merupakan bagian dari
situasi yang rumit dari hubungannya dengan bagian lain unsur-unsur itu
mendapatkan maknanya (Culler dalam Jabrohim, 2003:93).
Struktur fisik dan struktur batin puisi ditelaah unsur-unsurnya. Kedua struktur itu harus mempunyai kepaduan dalam mendukung totalitas puisi. Telaah ini menyangkut telaah unsur-unsur puisi dan berusaha membedah puisi sampai ke unsur-unsur yang sekecil-kecilnya. Ditelaah bagaimana struktur fisik digunakan untuk mengungkapkan struktur batin dan bagaimana struktur batin dikemukakan. Telaah yang demikian menghasilkan pembahasan puisi secara lebih mendalam (Waluyo, 1991:147).
Struktur fisik puisi itu meliputi susunan kata, frase, kalimat, kiasan,
pengimajian, dan bagaimana penyair menyusun tata wajah puisi. Telaah struktur
batin puisi untuk mengungkapkan tema dan amanat yang hendak disampaikan
penyair (Waluyo, 1991:147).
Analisis struktural sukar dihindari, sebab dengan demikian analisis itu
baru akan memungkinkan tercapainya pemahaman yang optimal. Selanjutnya
analisis struktural ini merupakan perioritas utama sebelum yang lain-lain (Teew,
1983:61). Tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya
itu sendiri tidak akan tertangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat
dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur
Dalam hal ini, dipilih teori analisis strata norma yang dikemukan oleh
Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, yang menganalisis puisi berdasarkan
norma-normanya. Tiap-tiap norma menimbulkanlapis norma di bawahnya.
Norma-norma itu bersusun sebagai berikut: Lapis norma pertama adalah lapis
bunyi (sound Stratum). Dalam membaca puisi akan terdengar rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Suara disesuaikan dengan
konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Maka, lapis bunyi
menjadi dasar timbulnya lapis kedua yaitu lapis arti.
Lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat yang merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi
alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian
satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek
yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan.
Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi yang
menurut Wellek merupakan lapis keempat dan kelima, yaitu:
1. Lapis “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied). Sebuah peristiwa dalam
sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau “terlihat”, bahkan
peristiwa yang sama, misalnya suara jederan pintu, dapat memperlihatkan
aspek “luar” atau “dalam” watak.
2. Lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat-sifat ini seni dapat
memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca. Akan tetapi, tidak
Penulis menggunakan teori srtuktural karena untuk memahami makna
puisi perlu dianalisis puisi tersebut secara struktural sebab pendekatan struktural
merupakan tugas prioritas (Teew, 1983:61), yaitu dengan menganalisis
unsur-unsur intrinsik puisi tersebut. Unsur-unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur-unsur-unsur yang
membangun sebuah puisi dari dalam puisi tersebut, berupa: (1) bait dan baris, (2)
unsur musikalitas puisi, (3) hubungan antara kesatuan dalam puisi, (4) bahasa
puisi, (5) struktur penceritaan puisi, (6) suasana puisi, dan (7) makna puisi
(Atmazaki, 1990:64).
Teew mengatakan (1984:139-140) bahwa struktural yang hanya
menekankan otonomi karya sastra mempunyai kelemahan. Kelemahan itu
terutama berpangkal pada empat hal yaitu: (1) New Critism secara khusus, dan
analisis struktur karya sastra secara umum belum merupakan teori sastra, malahan
tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan ternyata merupakan
bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu; (2) karya sastra
tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem
sastra dengan latar belakang sejarah; (3) adanya struktur yang objektif pada karya
sastra makin disangsikan; peranan pembaca selaku pemberi makna dalam
interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk
analisis struktural; (4) analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga
menghilangkan konteks dan fungsinya sehingga karya itu dimenaragadingkandan
kehilangan relevansi sosialnya. Kenyataan ini menyebabkan penulis melanjutkan
penganalisisan ke pendekatan semiotik.
dianalisis dan bagian-bagiannya yang merupakan tanda-tanda bermakna, harus
dijelaskan (Pradopo, 2007:143).
Teori sastra yang memahami karya sastra sebagai tanda itu adalah
semiotik. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (Pradopo dalam
Jabrohim, 2003:67). Tanda itu mempunyai arti dan makna, yang ditentukan oleh
konvensinya, karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Karya
sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya yang merupakan sistem tanda
yang mempunyai arti. Sebagai medium sastra, bahasa disesuaikan dengan
konvensi sastra yaitu makna (significanse). Oleh Preminger (Jabrohim, 2003:94)
konvensi sastra itu sebagai konvensi tambahan.
Dalam analisis semiotik ini, penulis menggunakan teori yang
dikemukakan oleh Zoest. Zoest (1996:6) mendefinisikan semiotik sebagai studi
tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya,
hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh
mereka yang mempergunakannya. Secara khusus semiotik dibagi atas tiga bagian
utama, yaitu (1) sintaksis semiotik, (2) semantik semiotik, (3) pragmatik semiotik.
Sintaksis semiotik merupakan studi tentang tanda yang berpusat pada penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda lain, cara bekerja sama,
dan menjalankan fungsinya (Zoest, 1996:6). Kaidah sintaksis sering diabaikan
dalam puisi, tetapi untuk menafsirkan makna puisi hendaknya menafsirkan
larik-larik puisi itu sebagai suatu kesatuan sintaksis (Waluyo, 1991:69).
Kesatuan sintaksis dapat dibicarakan dalam larik dan bait. Sebuah larik
mewakili kesatuan gagasan penyair dan jika dibangun bersama-sama larik-larik
hakikatnya mirip dengan sebuah paragraf prosa, di dalam bait itu terdapat satu
larik yang merupakan kunci gagasan (Waluyo, 1991:70).
Hasil penelitian akan kurang baik apabila membatasinya hanya pada
tingkat sintaksis semiotik karena penelitian semiotik pada akhirnya harus berlanjut
hingga ke tingkat semantik dan pragmatik (Zoest, 1996:6). Oleh karena itu,
penelitian ini akan berlanjut ke tingkat semantik semiotik dan pragmatik semiotik.
Semantik semiotik adalah studi yang menonjolkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan dengan interpretasi yang dihasilkannya. (Zoest,
1996:6). Dalam puisi , kata-kata, frase, dan kalimat mengandung makna tambahan
atau konotatif. Bahasa kiasan yang digunakan menyebabkan makna dalam
baris-baris puisi itu tersembunyi dan harus ditafsirkan (Waluyo, 1991:103).
Menelaah puisi perlu ditafsirkan makna dari ungkapan penyair, baik
yang lugas maupun yang kias, baik yang menggunakan bahasa maupun
nonbahasa.
Pragmatik semiotik merupakan studi tentang tanda yang mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerima (Zoest,
1996:6). Hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerima dalam hal ini
dikaitkan dengan hubungan antara sastra, penyair, dan masyarakat. Masalah ini
berkaitan dengan latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang
yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Kemudian
masalah ini juga berkaitan dengan isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang
terlihat dalam karya sastra itu sendiri dan hubungannya dengan masalah sosial
2.2 Tinjauan Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, kumpulan puisi Renungan Kloset
karya Rieke Diah Pitaloka ini belum pernah dilakukan analisis terhadap maknanya
hanya tanggapan dan apresiasi pembaca (dalam kumpulan puisi Renungan Kloset
karya Rieke Diah Pitaloka) yaitu sebagai berikut: Seno Gumirah Ajidarma,
seorang penulis, yang mengatakan bahwa “Setiap kali ada orang Indonesia
menulis puisi, kita harus bersyukur karena kalau toh ia tidak berhasil
menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya
sendiri. Puisi memang tidak bisa menunda kematian manusia yang sampai kepada
akhir hayatnya, tetapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang
hidup. Hal ini dimungkinkan karena dari sifatnya, puisi membebaskan diri dari
kematian budaya.” Seno Gumirah Ajidarma hanya mengapresiasi para penyair
Indonesia sedangkan mengenai struktural dan semiotik tidak ada.
Wilmar Witoelar, mantan juru bicara mantan presiden RI
Abdurrahman Wahid, juga mengatakan, “… Puisi Rieke merupakan potret
kepedihan, ketegaran, kepongahan dalam cinta, angan-angan dan keniscayaan
politik …semua dalam paket yang nikmat untuk orang biasa, walaupun penuh
ketajaman yang tidak biasa. Wilmar Witoelar hanya berbicara mengenai tema dari
puisi-puisi Pitaloka ini sedangkan mengenai struktural dan semiotik tidak ada.
Menurut Gus Muh, anggota Paguyuban Perempuan El-Shadawi
Yogyakarta sekarang masih “nyantri” di IAIN Sunan Kalijaga, bahwa dengan
membaca puisi-puisi Rieke, khususnya posisi perempuan di hadapan wacana
terus terang. Gus Muh juga berbicara mengenai bahasa penulisan Pitaloka dan
tentang perempuan sedangkan mengenai struktural dan semiotik tidak ada.
Adessita, aktivis persma tinggal di Yogyakarta, berpendapat, “Tidak
sepuitis puisi yang lain, tetapi puisi Rieke ini mudah dimengerti dan akhir
puisinya jelas.” Selanjutnya dikatakan oleh Vero, seorang mahasiswa perguruan
tinggi negeri di Yogyakarta, berpendapat, “Bagaimanapun, puisi ini sungguh
lugas, lugu, dan apa adanya.” Adessita juga masih berbicara mengenai bahasa
penulisan Pitaloka sedangkan mengenai struktural dan semiotik tidak ada.
Dari semua pendapat dan apresiasi pembaca di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa belum ada orang yang membicarakan kumpulan puisi
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel 3.1.1 Populasi
Populasi adalah seluruh objek yang akan dianalisis, yang menjadi
populasi dalam analisis ini adalah kumpulan puisi Renungan Kloset karya Rieke
Diah Pitaloka yang ditulis dari tahun 1998, 2000—2003. Seluruh puisinya
berjumlah 43 puisi.
3.1.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari unsur populasi yang dipandang dapat
mewakili keseluruhan populasi. Karena jumlah populasi di atas terlalu besar,
maka sampel yang digunakan dalam analisis ini seluruhnya berjumlah dua belas
puisi yaitu:
• Dari puisi tahun 1998 puisi yang akan dianalisis yaitu:
1. Bersama Kereta Malam
2. Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi (Kita Anak Negeri)
• Dari puisi tahun 2000 puisi yang akan dianalisis yaitu:
1. Hujan 1
2. Hujan 2
• Dari puisi tahun 2001 puisi yang akan dianalisis yaitu:
1. Bulan yang Gelisah
• Dari puisi tahun 2002 puisi yang akan dianalisis yaitu:
1. Eksodus
2. Legian, Kuta 121002
• Dari puisi tahun 2003 puisi yang akan dianalisis yaitu:
1. Mengapa Aku Sayang padamu
2. Winternachten
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research yaitu
penelitian yang dilakukan di perpustakaan. Data dikumpulkan dengan metode
heuristik (metode membaca) dan metode hermeneutik (metode membaca secara
berulang).
Pradopo (2001:84) menyatakan bahwa,
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya.
Riffaterre mengatakan (dalam Jabrohim, 2003), proses membaca karya
sastra dimulai dengan pembacaan heuristik yaitu pembacaan dengan jalan meneliti
tataran gramatikalnya dari sisi mimetisnya dan dilanjutkan dengan pembacaan
retroaktif, yaitu pembacaan bolak-balik sebagaimana yang terjadi pada metode
Adapun teknik yang digunakan adalah teknik catat pada kartu data
yang dibedakan menurut masalah yang dibahas. Kartu data yang digunakan
berukuran 5 x 11 cm.
3.2.1 Sumber Data
Data dikumpulkan dari satu kumpulan puisi yatu:
Judul puisi : Renungan Kloset: dari Cengkeh sampai Utrecht
Karya : Rieke Diah Pitaloka
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku : 120 halaman
Ukuran : 14 x 21 cm
Cetakan ke : II
Tahun terbit : 2003
Warna sampul : Perpaduan antara warna putih, coklat tua,
abu-abu, dan hitam
Gambar sampul : Sketsa sebuah kloset
Desain sampul : Edward Iwan
3.3 Metode dan Teknik Pengkajian Data
Penganalisisan dilakukan berdasarkan data yang telah terkumpul dalam
kartu data yaitu dengan menggunakan metode analisis struktural yaitu dengan
menganalisis puisi menurut strata normanya kemudian dilanjutkan dengan analisis
BAB IV
ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIK
4.1 Analisis Struktural
4.1.1 Bersama Kereta Malam Lakukan,
telah kau rampas semua
jika kau ingin aku tak bicara
itu sia-sia
Terlanjur kusiarkan jiwa merdeka ini
pada apa pun yang kau sebut budak
Memang, tak terlihat
karena saat ini masih bersembunyi
di lorong-lorong kumuh, di sudut-sudut kota
Tapi jangan terlalu senang
gerbong-gerbong akan membawanya
ke penjuru negeri, lewat rel-rel
yang bersabar menanti kereta malam
menembus pekat yang engkau ciptakan
Suatu hari nanti,
Kami bersumpah
akan membinasakanmu
Tunggu saja!
1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Puisi-puisi itu terdiri atas satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
frase, dan kalimat. Lapis bunyi dalam sajak itu ialah seluruh satuan bunyi yang
tersusun darinrangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Lapis bunyi
yang akan dibaicarakan di sini ialah bunyi atau pola bunyi yang bersifat
“istimewa” atau khusus yang dipergunakan untuk mendapatkan efek kepuitisan
atau nilai seni.
Bait pertama baris pertama puisi Bersama Kereta Malam ada asonansi
a, yaitu: semua, bicara, dan sia-sia. Di awal kalimat terdapat aliterasi t pada baris
kedua dan kelima yaitu: telah dan terlanjur. Bait kedua ada asonansi a, yaitu: kota
dan membawanya. Bait ketiga ada asonansi u di setiap akhir kalimat dan di awal
kalimat terdapat asonansi a, pada baris ke-3 dan baris ke-5, dan aliterasi k, pada
baris ke-2 dan baris ke-4, secara berturut-turut yaitu: lehermu, membinasakanmu,
akan kami---, akan membinasakanmu, kami---, dan kami---. Puisi Bersama Kereta
Malam ini mempunyai bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat a
2. Lapis Arti (Units of Meaning)
Dalam sebuah puisi terdapat satuan terkecil berupa fonem. Satuan
fonem berupa suku kata dan kata-kata kemudian bergabung menjadi kelompok
kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan
arti (Pradopo, 1999).
Bait pertama puisi Bersama Kereta Malam; /lakukan//telah kau rampas
semua//jika kau ingin aku tak bicara//itu sia-sia/, berarti: si aku “dipaksa tutup
mulut” oleh orang yang mempunyai kuasa di negeri ini. /terlanjur kusiarkan jiwa
merdeka ini//pada apa pun yang kau sebut budak/, berarti: si aku tidak mau
dipaksa tutup mulut (berontak terhadap para penguasa) dengan cara membeberkan
semua kelakuan para penguasa kepada “rakyat kecil” yang ingin berjuang untuk
“merdeka”.
Bait ke-2; /Memang, tak terlihat//karena saat ini masih bersembunyi//di
lorong-lorong kumuh, di sudut-sudut kota/, berarti: para pejuang yang ingin
memperjuangkan “kemerdekaannya” sedang bersembunyi di tempat terpencil agar
tidak dilihat dan ditemukan para penguasa. /tapi jangan terlalu
senang//gerbong-gerbong akan membawanya//ke penjuru negeri, lewat rel-rel//yang bersabar
menanti kereta malam//menembus pekat yang engkau ciptakan/, berarti: penguasa
yang tidak melihat adanya para “pejuang” yang akan melawannya mengira bahwa
mereka tidak ada dan merasa senang. Ternyata mereka telah sampai keseluruh
pelosok negeri memberitakan “kebobrokan” para penguasa yang ternyata memang
sedang menunggu adanya orang yang membawa perubahan di negeri ini (menanti
Bait ke-3; /suatu hari nanti//kami bersumpah belenggu yang kau ciptakan//akan
kami kalungkan di lehermu//kami bersumpah//akan membinasakanmu/, berarti:
masyarakat yang merasakan akibat dari semua “kebobrokan” para penguasa hanya
dapat pasrah dan menunggu adanya pembaharuan yang dibawa oleh seseorang
sehingga masyarakat hanya dapat mengutuki penguasa. Bait ke-4 merupakan
luapan rakyat yang geram dan marah sehingga mengancam pemerintah dan
mengatakan “Tunggu saja!”
3. Lapis Objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek
yang dikemukakan, seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 2002:69).
Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi Bersama Kereta Malam
adalah budak, lorong-lorong kumuh, sudut-sudut kota, gerbong-gerbong, negeri,
rel-rel, kereta, dan leher. Pelaku atau tokoh adalah si aku. Latar waktu: malam hari
(menanti kereta malam).
4. Lapis “Dunia”
Lapis “dunia” yaitu makna yang harus dilihat dari sudut pandang
tetentu yang terkadang di dalam puisi dinyatakan secara tersirat (Pradopo,
2002:70).
Jika dilihat dari maknanya, puisi Bersama Kereta Malam
menggambarkan rakyat yang marah dan geram akibat ditindas penguasa sehingga
pembalasan. Saat ini, rakyat hanya pasrah dan menunggu saat pembalasan
tersebut. Sehingga di bait terakhir hanya ada dua kata, yaitu “Tunggu saja!”.
5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam puisi (Pradopo,
2002: 70).
Dalam puisi Bersama Kereta Malam terdapat kepura-puraan,
kebohongan, kepalsuan, ancaman, dan semua kebobrokan akhlak manusia bahkan
saling menindas sehingga yang tertindas hanya dapat menyumpahinya. Di dalam
puisi ini, bait pertama yang membuat pembaca untuk berkontemplasi.
4.1.2 Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi (Kita Anak Negeri) Satukanlah dirimu semua
Seluruh rakyat senasib serasa
Susah senang dirasa sama
Bangun-bangun segera
Panji-panji pun berdiri angkuh menantang langit
dalam genggaman jemari berkeringat
kibarannya terasa bergelora
berkaos dan berjins lusuh
bergandengan tangan-tangan
(mereka anak negeri)
Lantas siapa yang bersembunyi
di balik tembok-tembok pencakar langit
sebagian menghitung laba
sebagian bertransaksi
sebagian duduk di kafe-kafe ber-AC
sebagian kompromi berbagai kekuasaan-kekuasaan
(ssst, mereka anak negeri)
Lantas siapa yang berdiri tegap menghadang barisan
berdiri siaga diapit tank-tank tempur
bersepatu laras
bersangkur, mengongkang senjata-senjata
(mereka juga anak negeri)
Abrakadabraaaa!
mereka yang berada dalam barisan
mereka yang menghadang
bersatu dalam gas air mata dan desingan peluru
Ada yang beringas,
ada yang tersungkur mencium bumi
Ada yang menjadi pencabut nyawa,
Ada yang masih sembunyi
di balik tembok-tembok pencakar langit
sebagian mengintip malu-malu
sebagian masih menghitung laba
sebagian masih menghisap cerutu
sebagian masih memeluk tubuh-tubuh semampai
sebagian masih kompromi berbagai kekuasaan
(kita semua anak negeri)
Satukanlah berai jemarimu
Kepalkanlah dan jadikan tinju
Bara luka jadikan palu
Tuk’ pukul lawan tak perlu kau ragu
Senja itu,
lampu-lampu semanggi tak dinyalakan
1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Puisi-puisi itu terdiri atas satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
frase, dan kalimat. Lapis bunyi dalam sajak itu ialah seluruh satuan bunyi yang
tersusun darinrangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Lapis bunyi
yang akan dibaicarakan di sini ialah bunyi atau pola bunyi yang bersifat
Bait pertama pada puisi Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi
(Kita Anak Negeri) terdapat asonansi ua dan a yitu: semua, serasa, sama, dan
segera. Bait kedua terdapat aliterasi t yaitu: langit dan berkeringat. Bait ketiga
merupakan pengulangan kata siapa dan ada rangkaian bunyi yang bertolak dari
pola sebagian…(… diisi oleh kata yang lain yang mengikutinya), disusun
Pitaloka secara berurutan dalam setiap baris. Apabila kata-kata yang
mendampingi pola sebagian… disusun, maka keadaannya dapat dilihat sebagai
berikut:
sebagian menghitung laba sebagian bertransaksi
sebagian duduk di kafe-kafe ber-AC
sebagian kompromi berbagai kekuasaan-kekuasaan
(Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi, hlm. 8-9)
Di bait ketiga ini ada juga aliterasi r, yaitu: berdiri, bersepatu,
bersangkur. Di bait keempat ada pengulangan kata mereka, ada rangkaian bunyi
yang bertolak dari pola ada yang…(… diisi oleh kata yang lain yang
mengikutinya), disusun Pitaloka secara berurutan dalam setiap baris. Apabila
kata-kata yang mendampingi pola ada yang… disusun, maka keadaannya dapat
dilihat sebagai berikut:
Ada yang beringas,
ada yang tersungkur mencium bumi Ada yang menjadi pencabut nyawa, ada yang menyelamatkan nyawa Ada yang masih sembunyi
(Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi, hlm. 8-9)
Ada juga rangkaian bunyi yang bertolak dari pola sebagian
masih…(… diisi oleh kata yang lain yang mengikutinya), disusun Pitaloka secara
berurutan dalam setiap baris. Apabila kata-kata yang mendampingi pola sebagian
sebagian mengintip malu-malu sebagian masih menghitung laba sebagian masih menghisap cerutu
sebagian masih memeluk tubuh-tubuh semampai sebagian masih kompromi berbagai kekuasaan
(Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi, hlm. 8-9)
Bait kelima ada asonansi u dan aliterasi h, yang secara berturut-turut
yaitu: jemarimu, tinju, palu, ragu, satukanlah, dan kepalkanlah. Puisi Suatu Senja
Tanpa Lampu-Lampu Semanggi (Kita Anak Negeri) ini mempunyai bunyi-bunyi
yang dominan adalah vokal bersuara berat au dan u yang digunakan sebagai
lambang rasa sedih.
2. Lapis Arti (Units of Meaning)
Dalam sebuah puisi terdapat satuan terkecil berupa fonem. Satuan
fonem berupa suku kata dan kata-kata kemudian bergabung menjadi kelompok
kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan
arti (Pradopo, 1999).
Bait pertama pada puisi Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi
(Kita Anak Negeri); /satukanlah dirimu semua//sluruh rakyat senasib serasa//susah
senang dirasa sama//bangun-bangun segera/, berarti: motivasi untuk para
demonstran. Bait ke-2; /panji-panji pun berdiri angkuh menantang langit//dalam
genggaman jemari berkeringat//kibarannya terasa bergelora/, berarti: semuanya
ikut membela tanah air dari “kebobrokan” para penguasa bersatu dengan para
demonstran.
Bait ke-3; /siapakah mereka yang berbaris//dibelakang panji
/Lantas siapa yang bersembunyi//di balik tembok-tembok pencakar
langit//sebagian menghitung laba//sebagian bertransaksi//sebagian duduk di
kafe-kafe ber-AC//sebagian kompromi berbagai kekuasaan-kekuasaan/, berarti:
menanyakan siapa yang bersembunyi di balik tembok kekuasaannya bahkan
masih melakukan transaksi-transaksi yang merugikan rakyat.
Bait ke-4 berarti bahwa para demonstran yang berada dalam barisan
dan yang menghadang tersebut sangat kuat, kokoh, dan beringas yang siap
mendobrak “kebobrokan” para penguasa walaupun demikian masih ada penguasa
yang kompromi berbagi kekuasaan dengan adanya pengulangan kata “sebagian
masih”. Bait ke-5 berarti motivasi yang diberikan kepada para demonstran. Bait
terakhir ditutup dengan kalimat; /senja itu,//lampu-lampu semanggi tak
dinyalakan/, berarti bahwa pada saat itu kejadian demonstrasi yang ingin
melengserkan “kebobrokan” penguasa sangat tragis dan mengerikan.
3. Lapis Objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek
yang dikemukakan, seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 2002:69).
Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi pada puisi Suatu Senja
Tanpa Lampu-Lampu Semanggi (Kita Anak Negeri) adalah panji-panji, langit,
jemari, kaos, jins, tangan, tembok, café, AC, tank tempur, sepatu lars, sangkur,
senjata, peluru, bumi, cerutu, tubuh, laba, kekuasaan, luka, palu, dan lampu.
Pelaku atau tokoh adalah si aku. Latar tempat di Semanggi. Latar waktu pada
4. Lapis “Dunia”
Lapis “dunia” yaitu makna yang harus dilihat dari sudut pandang
tetentu yang terkadang di dalam puisi dinyatakan secara tersirat (Pradopo,
2002:70).
Puisi pada puisi Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi (Kita
Anak Negeri) menggunakan pengulangan kata tanya “siapa” yang menginginkan
jawaban atas semua kejadian pada tahun 1998 yang lalu, tetapi tidak ada jawaban
dan juga pengulangan kata “sebagian” dan “sebagian masih” yang
menggambarkan “kebobrokan” para penguasa karena pada saat demonstrasi
berlangsung, mereka masih menghitung laba dan berkompromi mengenai
kekuasaan. Puisi ini juga menggunakan kata-kata motivasi di bait pertama dan
terakhir sebagai bentuk semangat para pejuang yang membela kebenaran dan
yang menghancurkan “kebobrokan” penguasa saat itu.
5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam puisi (Pradopo,
2002: 70).
Dalam puisi pada puisi Suatu Senja Tanpa Lampu-Lampu Semanggi
(Kita Anak Negeri) ini terdapat suatu pertempuran dan pertarungan melawan
ketidakadilan, kepura-puraan, dan semua kebobrokan manusia. Bait ke-3 dan bait
4.1.3 Hujan 1
Dengarkah kau hujan di luar sana?
curahannya menyelimuti bumi
uap tanah menerpa
dalam kabut dingin
meraba
Ada yang seolah tak peduli
menyusup keruangruang tanpa segan
daudaun pun berpegangan
dalam hijau kemudaan
Tak beda seperti pertama jatuh cinta
saat pipi merona merah
saat kecupan pertama tiba
Luputkah semua itu dari tatapmu?
Jangan hanya berpikir
hujan berarti bandang
menenggelamkan pedesaan
menghanyutkan pedusunan
Dengarkan hujan di luar sana
kali ini curahnya terdengar manis
1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Puisi-puisi itu terdiri atas satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
frase, dan kalimat. Lapis bunyi dalam sajak itu ialah seluruh satuan bunyi yang
tersusun darinrangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Lapis bunyi
yang akan dibaicarakan di sini ialah bunyi atau pola bunyi yang bersifat
“istimewa” atau khusus yang dipergunakan untuk mendapatkan efek kepuitisan
atau nilai seni.
Bait pertama pada puisi Hujan 1 ada asonansi a yaitu: di luar sana,
menerpa, dan meraba. Bait kedua ada aliterasi d dan n, yaitu: daundaun, dalam,
segan, berpegangan, dan kemudaan, serta pengulangan kata saat. Bait ketiga
terdapat aliterasi ng dan m, yaitu: bandang, pedesaan, pedusunan,
menenggelamkan, dan menghanyutkan. Bait keempat terdapat aliterasi k yaitu:
kali ini dan karena. Puisi Hujan 1 ini mempunyai bunyi-bunyi yang dominan
adalah konsonan bersuara berat n dan m yang digunakan sebagai lambang rasa
pedih.
2. Lapis Arti (Units of Meaning)
Dalam sebuah puisi terdapat satuan terkecil berupa fonem. Satuan
fonem berupa suku kata dan kata-kata kemudian bergabung menjadi kelompok
kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan
arti (Pradopo, 1999).
Bait pertama pada puisi Hujan 1 berarti bahwa di luar sedang ada
bahkan tidak ada yang bersyukur, /ada yang seolah tak peduli/. Bait ke-3
menunjukkan bahwa hujan di luar tidak berhenti dan terus saja datang sehingga
air semaki lama semakin meninggi. Hal ini menunjukkan bahwa akan ada banjir
bandang yang akan menenggelamkan pedesaan dan menghanyutkan pedusunan.
Bait ke-4 menunjukkan tanda bahwa hujan akhirnya berhenti juga dan banjir akan
segera kering.
3. Lapis Objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek
yang dikemukakan, seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 2002:69).
Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi ini adalah hujan, bumi,
uap, tanah, kabut, ruang, daun, pipi, kecupan, pedesaan, dan pedusunan. Pelaku
atau tokoh si aku. Latar tempat di dalam ruangan (dengarkah kau hujan di luar
sana?).
4. Lapis “Dunia”
Lapis “dunia” yaitu makna yang harus dilihat dari sudut pandang
tetentu yang terkadang di dalam puisi dinyatakan secara tersirat (Pradopo,
2002:70).
Jika dilihat dari makna kata “Hujan” pada judul puisi ini
menggambarkan keadaan pada saat datangnya hujan yang seharusnya menjadi
berkah setelah sekian lama mengalami musim kemarau, tetapi datangnya hujan
secara terus-menerus tanpa henti akan mengakibatkan naiknya air sehingga
bandang kejadiannya sangat cepat tanpa disangka-sangka penduduk karena
penduduk menyangka bahwa hujan tersebut adalah hujan biasa sehingga mereka
tidak peduli pada saat hujan datang.
5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam puisi (Pradopo,
2002: 70).
Dalam puisi Hujan 1 ini, yang menyebabkan pembaca berkontemplasi
adalah bait ketiga, yaitu dengan adanya gambaran mengenai banjir bandang yang
menghanyutkan seluruh desa.
4.1.4 Hujan 2
Ada apa Upik?
Jangan kau simpan gundahmu sendiri
Mari sini, kita bermain di luar
Tak usah takut hujan
kita bermain bersamanya
Rasakan, rasakan,
rasa sejuk bulirbulir air langit
mengelus tubuhmu
kesegaran dan ketententeraman pada tanah retak
Ayo, Upik
Jangan kau enggan melangkah
Mari sini, kita bermain di luar
Tak usah takut hujan
kita akan bercengkrama dengannya
Rasakan, rasakan
rasa hangat saat ia jannjikan kedewasaan
memekarkan tubuhmu
meranumkan dadamu
Suatu hari,
kau akan membuktikan
setiap orang memanggilmu ‘dara’
Saat itu,
kau akan percaya
hujan tak pernah berbohong
1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Puisi-puisi itu terdiri atas satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
frase, dan kalimat. Lapis bunyi dalam sajak itu ialah seluruh satuan bunyi yang
yang akan dibaicarakan di sini ialah bunyi atau pola bunyi yang bersifat
“istimewa” atau khusus yang dipergunakan untuk mendapatkan efek kepuitisan
atau nilai seni.
Bait pertama pada puisi Hujan 2 tidak ada asonansi maupun aliterasi.
Pada bait kedua terdapat pengulangan kata rasakan dan aliterasi n, yaitu: janjikan,
pepohonan, kesegaran, dan ketentraman. Bait ketiga tidak ada asonansi dan
aliterasi. Pada bait keempat terdapat pengulangan kata rasakan dan aliterasi m dan
asonansi u berturut-turut yaitu: memekarkan, meranumkan, tubuhmu, dan dadamu.
Pada bait kelima ada rangkaian bunyi yang bertolak dari pola kau akan…(… diisi
oleh kata yang lain yang mengikutinya), disusun Pitaloka secara berurutan dalam
setiap baris. Apabila kata-kata yang mendampingi pola kau akan… disusun, maka
keadaannya dapat dilihat sebagai berikut:
kau akan membuktikan kau akan percaya
(Hujan 2, hlm. 22)
Puisi Hujan 2 ini mempunyai bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal
bersuara berat au dan u yang digunakan sebagai lambang rasa sedih.
2. Lapis Arti (Units of Meaning)
Dalam sebuah puisi terdapat satuan terkecil berupa fonem. Satuan
fonem berupa suku kata dan kata-kata kemudian bergabung menjadi kelompok
kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan
arti (Pradopo, 1999).
datang. Bait ke-2 dan ke-4 menggunakan pengulangan kata rasakan yang
menunjukkan ajakkan dan usaha menghibur korban banjir bandang terutama
anak-anak (Upik) untuk bersyukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa yaitu dengan
adanya hujan. Bait terakhir menunjukkan tanda bahwa adanya sesuatu yang indah
kepada anak-anak korban banjir bandang tersebut.
3. Lapis Objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek
yang dikemukakan, seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 2002:69).
Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi ini adalah hujan, air,
langit, tubuh, bunga, buah, pepohonan, tanah retak, dan dada. Pelaku atau tokoh
adalah si aku. Latar tempat di luar (Mari sini, kita bermain di luar).
4. Lapis “Dunia”
Lapis “dunia” yaitu makna yang harus dilihat dari sudut pandang
tetentu yang terkadang di dalam puisi dinyatakan secara tersirat (Pradopo,
2002:70).
Puisi Hujan 2 ini merupakan sambungan dari Hujan 1. Dalam puisi ini
Pitaloka menggunakan kata mari, ayo, dan pengulangan kata “rasakan” setiap
baris pertama yang berarti ajakan dan upaya untuk menghibur para korban banjir
bandang terutama anak-anak yang menjadi korban apalagi sampai kehilangan
orang tua. Mereka menjadi trauma jika hujan turun karena mereka pikir akan
5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam puisi (Pradopo,
2002: 70).
Bait pertama merupakan suatu gambaran akibat dari banjir bandang
yang menghanyutkan seluruh desa sehingga banyak korban yang menjadi takut
atau trauma jika hujan datang.
4.1.5 Bulan yang Gelisah
Setiap hari bulan menjemput
“aku ingin tahu yang terjadi di bumi
ceritakanlah”
“bukankah kau di langit
yang menaungi bumi,
seharusnya kau lebih tahu dari aku”
“cahayaku tak berkuasa atas beton
buatan manusia”
“untuk apa jika kau tahu?”
“aku kesepian,
tak dengar lagi lagi bocahbocah bernyanyi
“tak lagi kulihat remaja bercengkerama
sambil memandangku”
“mereka dikerangkeng benteng beton”
“tak lagi kulihat laut terpesona memandangku”
“ia diselimut atap beton”
“lalu, untuk apa aku ada?”
“aku tak tahu”
“bagiku, beton itu
lebih tebal dari tujuh lapis langit”
“aku tahu”
“sejengkal pun tak bisa aku menembusnya”
“aku tahu”
“lalu, aku harus bagaimana?”
“aku tak tahu”
“aku mengundurkan diri”
“kenapa?”
“aku kesepian”
“aku tahu”
Sejak itu bulan tak lagi menemuiku
tanpa bisa kutatap lagi langit
Bulan,
aku juga sepi
1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Puisi-puisi itu terdiri atas satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
frase, dan kalimat. Lapis bunyi dalam sajak itu ialah seluruh satuan bunyi yang
tersusun darinrangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Lapis bunyi
yang akan dibaicarakan di sini ialah bunyi atau pola bunyi yang bersifat
“istimewa” atau khusus yang dipergunakan untuk mendapatkan efek kepuitisan
atau nilai seni.
Bait pertama pada puisi ini tidak ada asonansi dan aliterasi. Bait ke-2
terdapat asonansi i yaitu: di bumi dan menaungi bumi. Bait ke-3 tidak ada
asonansi dan aliterasi. Bait ke-4 terdapat asonansi a dan aliterasi b dan n yang
berturut-turut: purnama, bercengkrama, bernyanyi, tembok beton, dan benteng
beton. Bait ke-5, ke-6, ke-7, dan ke-8 tidak ada asonansi dan aliterasi. Bait ke-9
terdapat asonansi a dan u yaitu: bagaimana, kenapa, tak tahu, aku tahu.
Puisi Bulan yang Gelisah ini mempunyai bunyi-bunyi yang dominan
adalah vokal bersuara berat a dan u yang digunakan sebagai lambang rasa sedih.
2. Lapis Arti (Units of Meaning)
kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan
arti (Pradopo, 1999).
Bait pertama berarti Bait pertama hanya terdiri dari satu baris yang
menunjukkan bahwa bulan setiap hari selalu muncul di bumi, /setiap hari bulan
menjemput/. Bait ke-2 sampai dengan bait ke-9 menunjukkan adanya percakapan
antara tokoh aku dengan bulan. Hal ini ditunjukkan dengan pemakaian tanda petik
dua. Bait ke-10 menunjukkan bahwa adanya rasa bersalah yang mendalam yang
dialami tokoh aku. Bait ke-11 menunjukkan adanya percakapan terhadap diri
sendiri, bahwa ia pun juga merasa “kesepian”.
3. Lapis Objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek
yang dikemukakan, seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 2002:69).
Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi ini adalah bulan, bumi,
langit, cahaya, beton, manusia, bocah, purnama, tembok, remaja, benteng, dan
atap. Pelaku atau tokoh adalah si aku. Latar waktu pada malam hari saat bulan
purnama (bocah-bocah bernyanyi saat purnama). Latar tempat di luar.
4. Lapis “Dunia”
Lapis “dunia” yaitu makna yang harus dilihat dari sudut pandang
tetentu yang terkadang di dalam puisi dinyatakan secara tersirat (Pradopo,
2002:70).
Bulan merupakan simbol Tuhan (“bukankah kau di langit yang
sebagai simbol kebobrokan akhlak manusia sudah sangat tebal sehingga ketika
Tuhan datang pun manusia tidak ada lagi yang memandang-Nya dan memuji-Nya.
5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam puisi (Pradopo,
2002: 70).
Bait ke-2 menggambarkan bahwa Tuhan setiap hari selalu ada di bumi
ini (hal ini menunjukkan sesuatu yang suci), bait ke-3 menggambarkan bahwa
Tuhan tidak dapat “merangkul” manusia karena tembok dosa yang terlalu tebal,
dan bait ke-4 menggambarkan bahwa tidak ada lagi manusia yang menyembah
Tuhan di bumi ini. Bait ke-3 dan bait ke-4 merupakan sesuatu yang tragis yang
terjadi di bumi ini. Hal ini yang menyebabkan pembaca berkontemplasi.
4.1.6 Renungan Kloset Ada baiknya,
tak mencatat hidup
dalam lembarlembar buku harian
Suatu masa,
jika membacanya lagi
manis, membuat kita ingin kembali
pahit, membuat duka tak bisa lupa
dalam kloset yang sepi
Tak perlu malu
mengenang, tersenyum atau menangis
Setelah itu,
siram semua
bersiap menerima makanan baru
yang lebih baik dari kemarin
1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Puisi-puisi itu terdiri atas satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
frase, dan kalimat. Lapis bunyi dalam sajak itu ialah seluruh satuan bunyi yang
tersusun darinrangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Lapis bunyi
yang akan dibaicarakan di sini ialah bunyi atau pola bunyi yang bersifat
“istimewa” atau khusus yang dipergunakan untuk mendapatkan efek kepuitisan
atau nilai seni.
Puisi Renungan Kloset ini hanya terdiri dari satu bait yang terdapat
pengulangan kata ada baiknya, dan terdapat asonansi au dan i yaitu: baiknya,
masa, lupa, semua, malu, baru, itu, lagi, kembali, dan sepi.
Puisi Renungan Kloset ini mempunyai bunyi-bunyi yang dominan
adalah vokal bersuara berat au dan i.
2. Lapis Arti (Units of Meaning)
Dalam sebuah puisi terdapat satuan terkecil berupa fonem. Satuan
kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan
arti (Pradopo, 1999).
Puisi ini terdiri dari satu bait, tetapi mempunyai baris yang banyak.
Hal ini menunjukkan tanda bahwa hidup ini hanya satu kali saja, tetapi dengan
banyak sekali masalah.
3. Lapis Objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek
yang dikemukakan, seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 2002:69).
Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi ini adalah buku, kloset,
dan makanan. Pelaku atau tokoh adalah si aku. Latar tempat di dalam kloset
(dalam kloset yang sepi).
4. Lapis “Dunia”
Lapis “dunia” yaitu makna yang harus dilihat dari sudut pandang
tetentu yang terkadang di dalam puisi dinyatakan secara tersirat (Pradopo,
2002:70).
Kloset adalah tempat untuk menumpahkan semua kotoran manusia.
“Kloset” di sini merupakan simbol Tuhan. Setelah menyadari dosa yang dilakukan
manusia dan merenunginya, ia dapat menumpahkan atau membuang semua
“kotoran hidupnya” kepada Tuhan agar diampuni sehingga manusia dapat
5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam puisi (Pradopo,
2002: 70).
Puisi ini hanya terdiri dari satu bait yang panjang yang membuat
pembaca berkontemplasi adalah ada suatu kenyataan hidup manusia bahwa ada
baiknya manusia merenungi hidupnya dan melihat baik atau buruk yang
dilakukannya sehingga manusia itu dapat datang kepada Tuhannya untuk
memohon ampun.
4.1.7 Eksodus
Ayo, lekas kemasi barangmu, Nak!
Ke mana kita pergi?
Aku tak tahu, masukkan buku-bukumu!
Kapan aku bisa sekolah lagi?
Aku tak tahu, gendong adikmu!
Kapan kami bisa bermain di
ladang lagi?
Aku tak tahu, jangan lupa bawa sarung dan
kopiahmu!
Kapan aku boleh mengaji di
langgar lagi?
Aku tak tahu, cepat, kita harus berangkat!
Aku tak tahu, tunggu sampai ayahmu menjemput
Kalau begitu tak usah pergi, Mak
kita tunggu peluru menembus dada kita
sama seperti ketika ia menembus dada Bapak…
1. Lapis Suara (Sound Stratum)
Puisi-puisi itu terdiri atas satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
frase, dan kalimat. Lapis bunyi dalam sajak itu ialah seluruh satuan bunyi yang
tersusun darinrangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Lapis bunyi
yang akan dibaicarakan di sini ialah bunyi atau pola bunyi yang bersifat
“istimewa” atau khusus yang dipergunakan untuk mendapatkan efek kepuitisan
atau nilai seni.
Puisi ini juga hanya terdiri dari satu bait yang mempunyai pengulangan
kalimat yaitu: aku tak tahu. Pada puisi ini juga terdapat asonansi u dan i serta
aliterasi t dan k berturut-turut yaitu: bukumu, adikmu, kopiahmu, pergi, lagi,
kembali, berangkat, menjemput, nak, mak, dan bapak.
Puisi Eksodus ini mempunyai bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara
berat u dan i dan konsonan bersuara berat yang digunakan sebagai lambang rasa
sedih.
2. Lapis Arti (Units of Meaning)
Dalam sebuah puisi terdapat satuan terkecil berupa fonem. Satuan
kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan
arti (Pradopo, 1999).
Puisi ini juga hanya terdiri dari satu bait. Puisi ini menunjukka tanda
bahwa ada kebingungan dan ketidakmengertian di sana. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya pengulangan kalimat seperti: “Aku tak tahu”. Kebingungan ini
semakin ditunjukkan dengan adanya pengulangan kata tanya seperti: “Kapan”.
3. Lapis Objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, yaitu objek-objek
yang dikemukakan, seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 2002:69).
Objek-objek yang dikemukakan dalam puisi ini adalah buku, adik,
ladang, sarung, kopiah, langgar, peluru, dan dada. Pelaku atau tokoh adalah si aku.
Latar tempat di dalam rumah.
4. Lapis “Dunia”
Lapis “dunia” yaitu makna yang harus dilihat dari sudut pandang
tetentu yang terkadang di dalam puisi dinyatakan secara tersirat (Pradopo,
2002:70).
Puisi ini menggunakan pengulangan kata tanya kapan dan ke mana
yang menandakan di sini ada suatu pergulatan antara logika si aku dengan
5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau merenungkan apa yang dikemukakan dalam puisi (Pradopo,
2002: 70).
Puisi ini juga terdiri dari satu bait dan membuat pembaca
berkontemplasi. Yaitu dengan adanya suatu kebingungan atau ketidakmengertian
akibat sesuatu yang dialaminya seperti perampasan kebebasan seseorang yang
ditunjukkan melalui penggalan puisi; /kita tunggu peluru menembus dada
kita//sama seperti ketika ia menembus dada bapak…/.
4.1.8 Legian, Kuta 121002 Hm, hm,…
Hm, hm, hm….
Hm, hm, hm, hm….
Hm, ya, hm,
O,oo….
Ya,ya, ya
Hm, hm, hm
Hm, hm, hm
Hm, hm, hm
Ya, om…..
tanah dewata berduka
ada duri menggores jantungnya
melukai ulu hatinya
menusuk dadanya
menghujam batinnya
menghanguskan berpuluh raga
membakar berpuluh nyawa
Om dewa-dewi mahasidhi
Kami kirim seribu kemboja
dengan untaian doa
lewat bayu yang menerbangkan
butir-butir airmata
menghapus bilur-bilur nestapa
kami kirim sesaji dan dupa
dengan alunan puja-puji
lewat banyu yang menghanyutkan
pedih demi pedih
membelai
perih demi perih
kami kirimkan padamu
roh-roh yang tercabut