GAMBARAN KONFLIK PERNIKAHAN PADA PASANGAN
BERLATAR BELAKANG ETNIS JAWA-BATAK
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persayaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
MAWADDAH HASANAH
081301016
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SKRIPSI
GAMBARAN KONFLIK PERNIKAHAN PADA PASANGAN
BERLATAR BELAKANG ETNIS JAWA-BATAK
Dipersiapkan dan disusun oleh:
MAWADDAH HASANAH 081301016
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 20 Juli 2012
Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog
NIP. 195301311980032001
Tim Penguji
1. Rahma Yurliani, M.Psi, psikolog Penguji I
NIP. 198107232006042004 Merangkap Pembimbing
2. Eka Ervika, M.Si, psikolog Penguji II
NIP. 197710142002122001
3. Meutia Nauly, M.Si, psikolog Penguji III
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa skripsi saya
yang berjudul:
Gambaran Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak
adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip
dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 14 Juli 2012
MAWADDAH HASANAH
Gambaran Konflik pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak
Mawaddah Hasanah dan Rahma Yurliani
ABSTRAK
Pernikahan multikultur merupakan pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda (Tseng, 1997), dimana dalam kasus ini menyatukan antara pria Jawa dengan wanita Batak. Menurut Bratawijaya (1997) orang Jawa dikenal dengan sifat yang ramah, sabar dan tidak mau berkonflik. Berbeda dengan Jawa, orang Batak cenderung bersifat tegas, bersuara keras dan tidak mau mengalah (Tinambunan, 2010). Ketika pasangan ini menikah, akan terjadi penyatuan pola fikir dan perbedaan cara hidup sehingga harus melakukan penyesuaian pernikahan dan apabila gagal akan muncul konflik. Konflik pernikahan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri dimana konflik memberikan efek atau pengaruh yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan (Sadarjoen, 2005). Terdapat tiga metode menghadapi konflik dalam pernikahan, yaitu avoidance, ventilation & catharsis, dan constructive & destructive. Lebih lanjut dikatakan bahwa setiap konflik ada sumber yang melatarbelakanginya. Terdapat empat sumber konflik, yaitu sumber pribadi, fisik, hubungan interpersonal dan lingkungan (Degenova, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konflik pernikahan pada pasangan yang berlatar belakang etnis Jawa-Batak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus intrinsik. Jumlah responden adalah empat orang, yang terdiri dari dua pasang suami istri Jawa dan Batak. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri, dimana suami Jawa dan istri Batak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata individu yang berlatar belakang etnis Jawa yaitu suami cenderung menghadapi konflik dengan cara avoidance, sedangkan pada individu yang berlatar belakang etnis Batak yaitu istri cenderung menghadapi konflik dengan cara destructive dengan menyerang pasangannya. Namun begitu, metode constructive dan ventilation and catharsis beberapa kali ditemukan muncul pada setiap individu tetapi tidak dominan. Secara umum sumber pribadi, fisik, hubungan interpersonal, dan lingkungan melatarbelakangi terjadinya konflik pada pasangan I. Namun pada pasangan II, sumber yang mendominasi terjadinya konflik adalah sumber fisik dan hubungan interpersonal.
The Description of Marital Conflict on the Javanese-Bataknese Couples Mawaddah Hasanah and Rahma Yurliani
ABSTRACT
Multicultural marriage is a marriage between couples who come from different cultural background (Tseng, 1997), which in this case unite between Javanese male and Bataknese female. According Bratawijaya (1997) the Javanese people are recognized friendly, patient and avoid conflict. Contrast to Javanese, Bataknese people tend to be assertive, loud and will not budge (Tinambunan, 2010). When the couple married, there will be union mindset and different ways of life so that have to make adjustment if they fail there will be conflict. Marital conflict is a conflict involving a married couple which will give effect of conflict or a significant influence on the couple’s (Sadarjoen, 2005). There are three methods dealing with conflict, namely avoidance, ventilation and catharsis, and also the constructive and destructive. Further it is said that every conflict there is a source. There are four sources of marital conflict, namely personal, physical, interpersonal relationships and the environment (Degenova, 2008). The goal of this research is to know the description of marital conflict on the Javanese-Bataknese couples.
This research used a qualitative approach to the intrinsic case study method. The amount of respondent are four people, consist of two pairs of husband and wife from Javanese and Bataknese. The characteristics of respondent in this research is a couple, where the Javanese male and Bataknese female.
The results of this research showed that the average individual who belong to the Javanese ethnic that is husbands tend to show avoidance behavior, while the individual who belong to the Bataknese ethnic that is wife tend to show destructive behavior. However, the methods of constructive, and ventilation & catharsis appeared several times on each individual but not dominant. Generally, the sources like personal, physical, interpersonal relationships, and environmental cause of conflict in couple I. But the sources of conflict from couple II are physical and interpersonal relationships.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya hingga
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Gambaran
Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak”, guna
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Berbagai proses telah penulis alami selama ini. Perlu banyak usaha, kerja
keras dan kemauan yang sangat tinggi untuk bisa menyelesaikan penelitian ini.
Bagi penulis penyelesaian penelitian ini merupakan titik awal untuk mencapai
kesuksesan yang sesungguhnya. Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak
akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Terutama sekali
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada ayahanda dan ibunda penulis H.
Lazuardi Ismail dan Suryani Rangkuti yang telah memberikan banyak perhatian,
dukungan baik secara moril dan materil serta doa yang tiada henti-hentinya
kepada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
saudara-saudara penulis, Kakanda Azmi Suryadi, Amd, Kakanda Mhd.Khairul Umam,
Amd beserta istri dan Adinda Mawar Hilda Khairunnisa atas setiap perhatian,
dukungan, doa dan berbagai hiburan aneh yang diberikan selama penulis
Penelitian ini juga tidak akan selesai tanpa bantuan dari banyak pihak, oleh
karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka.Adapun
orang-orang yang berjasa dalam penelitian ini adalah:
1. Ibu Porf. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Rahma Yurliani, M.Psi, psikolog selaku dosen yang membimbing penulis
selama pengerjaan penelitian ini. Mulai dari penentuan judul, kerangka
berfikir, pembuatan bab I, II dan III hingga akhirnya ujian seminar, kemudian
berlanjut kepada pembuatan bab IV dan V sehingga dapat
dipertanggungjawabkan pada ujian sidang skripsi. Tanpa bimbingan dan
arahan dari beliau, penulis tidak akan sampai di akhir proses ini.
3. Ibu Eka Ervika, M.Si, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog, selaku
dosen penguji, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan
memberikan banyak saran dan masukan yang sangat berarti bagi penulis demi
kesempurnaan penelitian ini.
4. Ibu Cherly Kemala Ulfa, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademi
yang telah memberikan bimbingan dan motivasi selama masa perkuliahan di
Fakultas Psikologi Universitas sumatera Utara.
5. Para responden yang telah rela meluangkan waktu dan bersedia untuk berbagi
cerita dan pengalamannya kepada penulis. Tanpa ada mereka, penulis tidak
6. Ibu Nuriatul Hifni Rangkuti, selaku ibu dari penulis yang senantiasa
memberikan keluangan waktu untuk membantu penulis dalam proses
wawancara dengan responden pasangan II.
7. Ayunda Rahmah, S.Psi dan Aprizal Nst, Amd yang telah memberikan
dukungan dan semangat saat penulis mengalami kesulitan dan down dalam
proses pengerjaan penelitian ini. Kalian berdua adalah sahabat terbaik yang
dimiliki penulis selama empat tahun perjalan perkuliahan baik suka maupun
duka. Khususnya Ayunda Rahmah, masa depan yang cerah sedang menunggu
kita. Semangat buat kita berdua ya!
8. Sahabat-sahabat penulis di masa SMA yaitu MUVIK, Silvira, Irma
Handayani, Rizka Oetami, Amd, Nurhikmah Sinaga, Veny Pratiwi, Anastasia
R. Ardiyanti, Amd dan Melisa Kristina. Walaupun tidak semua dari kalian
yang ada saat peneliti merasa penat, bosan dan butuh hiburan, akan tetapi
kalian tetap ada di hati penulis. Mari sama-sama berjuang untuk memperoleh
kesukesan di masa mendatang. Amin.
9. Teman-teman seperjuangan angkatan 2008 yang tidak dapat penulis tulis satu
persatu, baik yang sudah duluan maupun yang masih berjalan yang selalu
memberikan semangat serta motivasi untuk terus maju dan berusaha dalam
penyelesaian penelitian ini. Semoga kita semua bisa meraih kesuksesan
masing masing ya!!
10.Buat Kakanda Andini Mirandita, S.Psi dan Kakanda Rizty Desta Mahestri
metode kualitatif yang cukup rumit namun menyenangkan. Terima kasih ya
kakak-kakak senior yang baik hati.
11.Seluruh keluarga besar Fakultas Psikologi USU, yang telah membantu dan
mempermudah segala urusan yang berkaitan dengan administrasi, baik saat
masa perkuliahan maupun yang berhubungan dengan penelitian.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam
penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran
dari semua pihak yang sifatnya membangun agar penelitian ini menjadi lebih baik
lagi.
Harapan penulis, mudah-mudahan penelitian ini dapat berguna bagi penulis
maupun pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantudalam menyelesaikan penelitian ini.
Medan, Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATAPENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR BAGAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 17
1. Manfaat teoritis ... 17
2. Manfaat praktis ... 17
E. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II LANDASAN TEORI A. Konflik ... 20
3. Sumber-sumber konflik pernikahan ... 21
4. Metode-metode menghadapi konflik pernikahan ... 23
B. Pernikahan ... 25
1. Pengertian pernikahan ... 25
2. Pernikahan antar budaya (interculture) ... 26
C. Budaya Jawa ... 27
1. Pengertian budaya Jawa ... 27
2. Nilai-nilai budaya Jawa... 28
D. Budaya Batak ... 30
1. Pengertian budaya Batak... 30
2. Nilai-nilai budaya Batak ... 31
E. Dewasa Awal ... 34
1. Pengertian dewasa awal ... 34
2. Tugas-tugas perkembangan dewasa awal ... 35
F. Gambaran Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak ... 35
G. Paradigma Penelitian ... 41
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 42
B. Responden Penelitian ... 43
1. Karakteristik responden penelitian ... 43
2. Jumlah responden penelitian ... 44
3. Prosedur pengambilan responden penelitian... 45
C. Metode Pengumpulan Data ... 46
D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 47
1. Alat perekam ... 48
2. Pedoman wawancara ... 48
3. Pedoman observasi ... 49
4. Alat tulis dan kertas untuk mencatat ... 49
E. Kredibilitas Penelitian ... 49
F. Prosedur Penelitian ... 50
1. Tahap persiapan penelitian... 50
2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 52
3. Tahap pencatatan data ... 54
G. Teknik dan Prosedur Analisa Data ... 54
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data ... 58
1. Responden A ... 59
a. Identitas diri ... 59
b. Jadwal pelaksanaan wawancara ... 59
c. Data observasi ... 59
2. ... Respo nden B ... 63
a. Identitas diri ... 63
b. Jadwal pelaksanaan wawancara ... 64
c. Data observasi ... 64
(1). Latar belakang kehidupan pernikahan dan konflik –
konflik yang terjadi ... 67
(2). Metode-metode konflik pernikahan ... 74
(3). Sumber-sumber konflik pernikahan ... 96
(4). Kaitan konflik dengan budaya yang dimiliki ... 112
(a). Budaya Batak ... 112
(b). Budaya Jawa ... 115
3. Responden C ... 138
a. Identitas diri ... 138
b. Jadwal pelaksanaan wawancara ... 138
c. Data observasi ... 138
4. Responden D ... 141
a. Identitas diri ... 141
b. Jadwal pelaksanaan wawancara ... 142
c. Data observasi ... 142
d. Data wawancara pasangan II ... 144
(1). Latar belakang kehidupan pernikahan dan konflik - konflik yang terjadi ... 144
(2). Metode-metode konflik pernikahan ... 151
(3). Sumber-sumber konflik pernikahan ... 169
(4). Kaitan konflik dengan budaya yang dimiliki ... 185
(a). Budaya Batak ... 185
(b). Budaya Jawa ... 188
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 237
B. Saran... 241
1. Saran Praktis ... 242
2. Saran Penelitian Lanjutan ... 242
DAFTAR PUSTAKA ... 244
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jadwal wawancara responden A ... 59
Tabel 2. Jadwal wawancara responden B ... 64
Tabel 3. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan responden A pada pasangan I ... 120
Tabel 4. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan responden B pada Pasangan I ... 125
Tabel 5. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan pada pasangan I ... 129
Tabel 6. Jadwal wawancara responden C ... 138
Tabel 7. Jadwal wawancara responden D ... 142
Tabel 8. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan responden C pada Pasangan II ... 192
Tabel 9. Rekapitulasi gambaran konflik pernikahan responden D pada Pasangan II ... 196
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Gambaran Konflik Pernikahan Pasangan I ... 136
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Pedomana Wawancara ... 247
Lampiran 2. Pedomana Observasi ... 248
Gambaran Konflik pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa-Batak
Mawaddah Hasanah dan Rahma Yurliani
ABSTRAK
Pernikahan multikultur merupakan pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda (Tseng, 1997), dimana dalam kasus ini menyatukan antara pria Jawa dengan wanita Batak. Menurut Bratawijaya (1997) orang Jawa dikenal dengan sifat yang ramah, sabar dan tidak mau berkonflik. Berbeda dengan Jawa, orang Batak cenderung bersifat tegas, bersuara keras dan tidak mau mengalah (Tinambunan, 2010). Ketika pasangan ini menikah, akan terjadi penyatuan pola fikir dan perbedaan cara hidup sehingga harus melakukan penyesuaian pernikahan dan apabila gagal akan muncul konflik. Konflik pernikahan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri dimana konflik memberikan efek atau pengaruh yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan (Sadarjoen, 2005). Terdapat tiga metode menghadapi konflik dalam pernikahan, yaitu avoidance, ventilation & catharsis, dan constructive & destructive. Lebih lanjut dikatakan bahwa setiap konflik ada sumber yang melatarbelakanginya. Terdapat empat sumber konflik, yaitu sumber pribadi, fisik, hubungan interpersonal dan lingkungan (Degenova, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konflik pernikahan pada pasangan yang berlatar belakang etnis Jawa-Batak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus intrinsik. Jumlah responden adalah empat orang, yang terdiri dari dua pasang suami istri Jawa dan Batak. Adapun yang menjadi karakteristik responden dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri, dimana suami Jawa dan istri Batak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata individu yang berlatar belakang etnis Jawa yaitu suami cenderung menghadapi konflik dengan cara avoidance, sedangkan pada individu yang berlatar belakang etnis Batak yaitu istri cenderung menghadapi konflik dengan cara destructive dengan menyerang pasangannya. Namun begitu, metode constructive dan ventilation and catharsis beberapa kali ditemukan muncul pada setiap individu tetapi tidak dominan. Secara umum sumber pribadi, fisik, hubungan interpersonal, dan lingkungan melatarbelakangi terjadinya konflik pada pasangan I. Namun pada pasangan II, sumber yang mendominasi terjadinya konflik adalah sumber fisik dan hubungan interpersonal.
The Description of Marital Conflict on the Javanese-Bataknese Couples Mawaddah Hasanah and Rahma Yurliani
ABSTRACT
Multicultural marriage is a marriage between couples who come from different cultural background (Tseng, 1997), which in this case unite between Javanese male and Bataknese female. According Bratawijaya (1997) the Javanese people are recognized friendly, patient and avoid conflict. Contrast to Javanese, Bataknese people tend to be assertive, loud and will not budge (Tinambunan, 2010). When the couple married, there will be union mindset and different ways of life so that have to make adjustment if they fail there will be conflict. Marital conflict is a conflict involving a married couple which will give effect of conflict or a significant influence on the couple’s (Sadarjoen, 2005). There are three methods dealing with conflict, namely avoidance, ventilation and catharsis, and also the constructive and destructive. Further it is said that every conflict there is a source. There are four sources of marital conflict, namely personal, physical, interpersonal relationships and the environment (Degenova, 2008). The goal of this research is to know the description of marital conflict on the Javanese-Bataknese couples.
This research used a qualitative approach to the intrinsic case study method. The amount of respondent are four people, consist of two pairs of husband and wife from Javanese and Bataknese. The characteristics of respondent in this research is a couple, where the Javanese male and Bataknese female.
The results of this research showed that the average individual who belong to the Javanese ethnic that is husbands tend to show avoidance behavior, while the individual who belong to the Bataknese ethnic that is wife tend to show destructive behavior. However, the methods of constructive, and ventilation & catharsis appeared several times on each individual but not dominant. Generally, the sources like personal, physical, interpersonal relationships, and environmental cause of conflict in couple I. But the sources of conflict from couple II are physical and interpersonal relationships.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki bermacam-macam
suku bangsa (multietnik), dengan derajat keberagaman yang tinggi dan
mempunyai peluang besar untuk terjadinya pernikahan multikultural. Pernikahan
yang dilangsungkan mengandung nilai-nilai atau norma-norma budaya yang
sangat kuat dan luas (Abu dalam Natalia & Iriani, 2002).
Budaya yang berbeda akan melahirkan standar masyarakat yang berbeda
pula dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk juga dalam mengatur hubungan
pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu contoh hubungan yang dapat dilihat
secara adat istiadat suku setempat yang dapat diterima serta diakui secara
universal (Duvall dalam Natalia & Iriani, 2002).
Duvall dan Miller (1986) mendefenisikan pernikahan sebagai hubungan
antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, saling mengetahui tugas
masing-masing sebagai suami dan istri. Pasal 1 Undang-undang Pernikahan No 1
menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria
dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia,
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU RI tentang Perkawinan, 1976).
Pernikahan beda budaya sudah menjadi fenomena yang terjadi pada
komunikasi yang memungkinkan individu untuk mengenal dunia dan budaya lain.
Pernikahan beda budaya adalah suatu pernikahan yang terjadi antara pasangan
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dimana terdapat penyatuan
pola pikir dan cara hidup yang berbeda (McDermott & Maretzki, 1977).
Berdasarkan data yang ditemukan pada BPS (Badan Pusat Statistik) pada
tahun 2010, tercatat sebanyak 2.109.339 jiwa penduduk di provinsi Sumatera
Utara khususnya di kota Medan dan memiliki keanekaragaman suku bangsa
diantaranya Melayu, Batak, Karo, Jawa, Tionghoa dan India. Artinya, tidak dapat
dihindari bahwa akan banyak pernikahan multikultural yang terjadi, tidak hanya
pada WNI yang berbeda etnis, tetapi juga pernikahan WNI dengan WNA dari
budaya Barat yang ditemukan di provinsi ini khususnya di Kota Medan (BPS,
2010).Sejalan dengan penuturan Ibu Suri (47 tahun) mengenai pernikahan
multikultural.
“Zaman sekarang ya sudah lumrah lah jika pasangan menikah itu berasal
dari suku yang berbeda, malahan ya bagus agar campuran tersebut menghasilkan keturunan yang bagus pula. Bahkan sudah tidak sedikit juga dijumpai pasangan yang menikah beda Negara kan. Namun begitu saya tetap merasa masih ada lah beberapa orang tua yang mengharapkan jika anaknya itu menikah dengan orang yang satu suku hanya beda marga, seperti sama-sama suku batak tapi satu hasibuan satu lagi nasution. Ya wajarlah kalau
begitu mah”
(Komunikasi Personal, 27 Agustus 2011)
Menjalani suatu hubungan dalam ikatan pernikahan tidak segampang seperti
menjalani hubungan ketika masih belum menikah (Degenova, 2008). Banyak hal
baru yang akan ditemukan oleh individu pada diri pasangannya saat menikah.
Individu harus mulai belajar untuk saling menyesuaikan diri agar dapat menerima
latar belakang etnis yang berbeda, akan banyak dijumpai berbagai jenis perbedaan
seperti nilai-nilai budaya, sikap, keyakinan, prasangka, stereotype, dll
(Matsumoto, D. & L. Juang, 2008). Perbedaan yang muncul inilah menyebabkan
pasangan harus melakukan penyesuaian pernikahan dimana mereka mencoba
mengubah perilaku dan hubungan untuk mencapai kesepahaman bersama dalam
pernikahan mereka (Degenova, 2008). Berikut kutipan wawancara kepada Ibu
Suri sehubungan dengan pengalaman pernikahannya yang multikultural.
“saat pertama saya menikah, saya merasa senang sekali karena saya dapat
suami yang pengertian, sepaham, dan awal-awal pernikahan kami tenang. Tapi setelah sudah lama hidup satu rumah baru tau deh kalau kita itu juga memiliki perbedaan. Saat itulah kami mencoba untuk saling sharing, melakukan penyesuaian lah mencoba memahami kebiasaan masing-masing pasangan. Tapi ya kadang-kadang capek juga kalau kami gak nemukan titik tengahnya. Ujung-ujungnya ya berantem lah”
(Komunikasi Personal, 12 Oktober 2011)
Menikah merupakan proses menyatunya dua individu dalam ikatan yang
sakral (Hurlock, 2004), dimana ketika menikah akan terjadi penyatuan pola pikir
dan ditemukannya perbedaan cara hidup antara keduanya. Salah satu cara yang
dapat dilakukan oleh pasangan adalah dengan melakukan penyesuaian pernikahan
(Degenova, 2008). Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Ibu Suri di awal-awal
pernikahannya setelah mengetahui adanya perbedaan yang ditemukan pada
pasangannya.
Umumnya individu memutuskan untuk menikah saat ia berada pada tahap
perkembangan dewasa awal yaitu pada usia 20-40 tahun (Papalia, 2008). Hal ini
sejalan dengan teori Havighurs (dalam Hurlock, 2004), yang menjelaskan bahwa
calon pasangan hidup. Dewasa awal merupakan masa krisis antara intimasi dan
isolasi, artinya selama usia dewasa awal akan merasa lebih aman identitasnya
apabila individu mampu membangun keintiman dirinya dengan pasangannya
dalam ikatan pernikahan (Erikson, dalam Papalia, 2008).
Pasangan yang menikah pada usia dewasa awal akan berbeda dalam
melakukan penyesuain pernikahan dibandingkan dengan pasangan yang menikah
di usia dewasa madya ataupun usia remaja. Pasangan yang menikah pada usia
remaja tentu akan lebih sulit dalam melakukan penyesuaian dan sulit dalam
mengartikan konflik-konflik yang muncul. Hal ini karena tugas perkembangan
remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan perilaku yang
kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa (Hurlock,
2004). Sejalan dengan ini, Monks (2001) menyebutkan bahwa remaja yang telah
menikah maka masa remaja menjadi diperpendek sehingga tugas
perkembangannya juga mengalami penyesuaian.
Berbeda dengan dewasa madya yang merupakan individu dengan rentang
usia 40-60 tahun, sudah tentu pengalaman hidup yang dilalui lebih banyak dan
pada akhirnya kedua individu akan lebih mudah melakukan penyesuaian dalam
pernikahan mereka, ditambah lagi pada dasarnya tujuan dewasa madya yang
menjalani pernikahan adalah untuk mendapatkan teman hidup di hari tua mereka
maka akan lebih mudah menerima kelebihan dan kekurangan dari masing-masing
pasangan mereka (Papalia, 2008).
Penjelasan di atas membuktikan bahwa usia masing-masing individu saat
ini tidak akan terlepas dari konflik yang dihadapi nantinya. Terlebih jika individu
tersebut menikah dengan pasangan yang berbeda etnis dengan dirinya.
Sebenarnya, baik pasangan yang menikah satu etnis maupun beda etnis akan tetap
melakukan penyesuaian dalam pernikahan mereka. Hanya saja proses dalam
melakukan penyesuaian pernikahannya yang berbeda dimana pasangan satu etnis
cenderung lebih mudah melakukan penyesuaian pernikahan daripada pasangan
beda etnis. Hal ini karena pasangan yang menikah satu etnis secara umum
memiliki kesamaan khususnya terhadap nilai-nilai budaya yang dianut dan
dipahami sehingga dalam melakukan penyesuaian pernikahan untuk mendapatkan
kesepahaman menjadi lebih mudah. Hal ini juga tampak dari penuturan kak Tasya
(25 tahun) dan bang Andi (28 tahun) seputar penyesuain pernikahan yang mereka
lalui dan sama-sama berlatar belakang etnis Jawa.
“penyesuaian pasti kami lakukan. Namun itu semua tidak sulit. Karena harus
dibekali ilmu pernikahan dan mempelajari benar karakter pasangan hidup kita, misalnya apa yang paling dia suka dan tidak suka. Apalagi kami sama-sama orang Jawa, sudah tentu tidak sedikit persama-samaan yang kami temukan.
Jadi tidak sulit lah.”
Kak Tasya (Komunikasi Personal, 29 Februari 2012)
“tidak sulit karena harus ada pihak yang siap mengalah dengan adanya
benturan sikap dan sifat dalam rumah tangga.”
Bang Andi (Komunikasi Personal, 29 Februari 2012)
Berbeda dengan pasangan beda etnis yang merupakan pasangan dari latar
belakang budaya berbeda harus menyatukan dua persepsi, nilai-nilai budaya,
sikap, keyakinan, prasangka, stereotype yang masing-masing individu berbeda
(McDermott & Maretzki, 1977). Pasangan yang menikah beda etnis harus
muncul konflik selama proses penyesuaian yang dilakukan. Sejalan dengan
ungkapan dari kak Eli (27 tahun) dan bang Sekar (30 tahun) yang menikah beda
etnis.
“…iya kami beda suku, saya Batak sedangkan abang Jawa. Sulitlah pasti
melakukan penyesuaian setelah menikah karena banyak perbedaan kehidupan diantara kami. Itu semua membutuhkan waktu untuk bisa saling memahami satu sama lain ya. Kalau berapa lama kami melakukan penyesuaian ya tidak terbatas ya. Tapi bisa dibilang semenjak saya hamil suami baru terlihat berubah, maksudnya bisa mengerti keadaan saya.”
Kak Eli (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)
“kalau berbicara tentang penyesuaian pernikahan tentulah sudah pasti tidak
mudah dek. Kami berasal dari budaya yang berbeda. Abang kan Jawa, taulah gimana orang Jawa kan, nah disandingi dengan orang Batak kayak kakak, udah deh payah bilang. Jelasnya harus saling pengertian dan saling
bisa menerima kekurangan maupun kelebihan lah biar bisa rukun dan puas.”
Bang Sekar (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)
Terkadang penyesuaian tertentu yang dilakukan bukanlah dianggap terbaik
oleh seseorang, tapi hal itu merupakan yang terbaik untuk dapat mencapai tingkat
kepuasan tertinggi dalam keadaan tersebut. Tentunya penyesuaian tidaklah
bersifat statis dan bukan juga langkah yang diambil hanya sekali. Penyesuaian
tersebut merupakan proses dinamis yang terus menerus terjadi pada kehidupan
pernikahan pasangan (Degenova, 2008).
Penyesuaian pernikahan didefenisikan sebagai proses memodifikasi,
beradaptasi, dan mengubah individu, pola perilaku dan interaksi pasangan untuk
mencapai kepuasan maksimal dalam hubungan (Degenova, 2008). Menurut
Bernard (dalam Santrock, 2009) ada 2 dimensi dalam penyesuaian pernikahan,
yaitu (1) adanya derajat kesepahaman & kesepakatan, (2) komunikasi yang intim
penyesuaian penikahan yang paling umum dan penting bagi kebahagiaan
pernikahan, yaitu penyesuaian dengan pasangan, penyesuaian seksual,
penyesuaian keuangan, dan penyesuaian dengan pihak keluarga pasangan.
Penyesuaian yang sehat akan membawa pada suatu kondisi pernikahan yang
bahagia begitu juga sebaliknya, individu yang gagal dalam menyesuaikan diri
akan mengalami masalah dalam pernikahan mereka (Degenova, 2008). Hal ini
sejalan dengan penuturan ibu Suri dan kak Eli.
“saat saya dan suami berbeda pendapat tentang suatu hal, pasti deh kami
saling adu mulut berantam gitu, tapi itu gak lama kok. Karena biasanya suami saya yang selalu mengalah. Tapi tidak jarang juga kami adu mulut sampai panjang lebar permasalahannya kemana-mana dan tidak ada yang mau mengalah, terakhir ya saya diamin suami saya karena kesal dan kalau uda gitu bawaannya mau marah aja.”
Ibu Suri (Komunikasi Personal, 25 Agustus 2011)
“Banyak jugalah dijumpai hal-hal yang kadang kami gak sepaham, adanya perbedaan pendapat dan sifat masing-masing yang ujung-ujungnya membuat kami jadi ribut. Tapi kadang nih ya kalau dua-duanya sama-sama akur, salah satu mau mengalah atau ada yang mencairkan suasana, nanti akhirnya baikan kan. Jadi tenang rumah.”
Kak Eli (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)
Kutipan wawancara di atas, merupakan salah satu gambaran kehidupan
dalam pernikahan bahwa perselisihan, pertentangan dan konflik dalam suatu
rumah tangga merupakan sesuatu yang terkadang tidak bisa dihindari, tetapi harus
dihadapi. Hal ini karena dalam pernikahan terdapat penyatuan dua pribadi yang
unik dengan membawa sistem kayakinan masing-masing dari latar belakang
budaya serta pengalaman yang berbeda. Perbedaan yang ada tersebut perlu
disesuaikan satu sama lain untuk membentuk sistem keyakinan baru bagi mereka.
sejumlah perubahan yang harus mereka hadapi seperti perubahan kondisi hidup,
kebiasaan atau perubahan sosial (Dewi & Basti, 2008).
Fenomena pernikahan beda etnis memiliki pengalaman cerita yang
berbeda-beda. Dalam pernikahan disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang
berbeda, dan suku yang berbeda yang dapat menimbulkan ketidakcocokan
(Koentjaraningrat, 1981 dalam Sedyawati, 2003). Terlebih lagi di Indonesia terdiri
atas banyak pulau yang didiami oleh banyak suku bangsa, misalnya Pulau Jawa
terdiri dari suku Jawa, Sunda, dan Betawi. Bahkan dalam suku bangsa secara
lebih khusus terdiri dari sub-sub suku bangsa, misalnya suku Batak di Sumatera
terdiri dari sub suku bangsa Karo, Toba, Simalungun, Pakpak, Angola, dan
Mandailing. Banyaknya suku bangsa yang ada sudah tentu masing-masing
memiliki kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, karsa, dan karya dari suku-suku
bangsa tersebut.
Suku Batak dan suku Jawa adalah salah satu dari delapan etnis budaya asli
di provinsi Sumatera Utara. Walaupun terdapat beberapa perbedaan dalam bentuk
corak adat istiadat serta kebiasaan diantara kelompok masyarakat, namun terdapat
hal-hal dasar yang universal seperti aspek-aspek dimana adat istiadat dan
kebiasaan berpengaruh dan berperan dalam perwujudan sikap, karakter, respon,
cara pandang, dan lainnya merupakan ciri-ciri yang koresponden.
Pada sekitaran tahun 2000, provinsi Sumatera Utara khususnya kota Medan
memiliki jumlah penduduk sebesar 2.109.339 jiwa. Jumlah seluruh penduduk
Jawa di kota Medan mengambil bagian sekitar 33,03% dan dibawahnya diikuti
jumlah suku Batak di Medan semakin meningkat (Data Stistika Kependudukan
Kota Medan, 2010). Banyaknya jumlah penduduk bersuku Jawa dan Batak yang
bermukim di kota Medan menjadi salah satu faktor yang dapat menyatukan
mereka ke dalam suatu ikatan pernikahan.
Orang Jawa cenderung memiliki sikap nrimo dan pasrah terhadap kehidupan
yang sedang berjalan karena itu merupakan takdir yang telah ditentukan oleh
Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Mulder (1985) bahwa nrimo berarti tahu
tempatnya sendiri, berarti percaya pada nasib sendiri dan berterima kasih pada
Tuhan karena ada kepuasan dalam memenuhi apa yang menjadi bagiannya dengan
kesadaran bahwa semuanya telah ditetapkan. Lebih lanjut Suseno (2001)
menambahkan bahwa budaya Jawa sudah menyebar secara luas di Indonesia dan
cukup menjadi icon bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, keramahtamahan khas
suku ini juga menjadi kesan yang cukup mendalam dikarenakan tingginya nilai
kerukunan dan penghormatan
Orang Jawa dikenal memiliki sikap yang lamban, tidak mau tergesa-gesa
dalam melakukan pekerjaan, sopan santun, lemah lembut, ramah dan sabar. Orang
Jawa menghendaki keselarasan, kerukunan dan keserasian pola pikir untuk hidup
saling menghormati (Bratawijaya, 1997). Ciri utama yang khas dari kebudayaan
Jawa yaitu sifat gotongroyong, apabila dilihat dari kacamata psikologi hal ini
dapat diartikan bahwa masyarakat Jawa memiliki motif untuk bersosialisasi. Hal
ini menunjukkan bahwa orang Jawa memiliki kemampuan menerima, bekerja
sama, dan membuka diri, baik terhadap orang-orang yang berasal dari dalam
out-group). Lebih lanjut Susena (dalam Adyanto, 2005) menjelaskan bahwa
masyarakat Jawa dalam kehidupan bermasyarakat menuntut agar setiap individu
selalu dapat mengontrol diri dan dapat membawa diri dengan sopan dan tenang.
Hal ini sejalan dengan ungkapan bang Sekar dan ibu Ida (50 tahun).
“karena abang orang Jawa kali ya jadi kalau ada masalah, misalnya ribut
sama kakak, abang lebih banyak mengalah karena gak mau jadi panjang masalahnya. Lagi pula kan enak hidup rukun toh”
Bang Sekar (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)
“dalam hal ini bapak yang Jawa. Kalau ibu perhatikan, bapak itu jarang
sekali mau terlibat dalam konflik. Kalaupun ada masalah, dia lebih baik diam dan tidak mau ribut. Ya….walaupun terkadang muncul juga emosinya, mungkin karena sebagai laki-laki kali ya jadi dia harus juga berani bersikap keras. Tapi yang ibu perhatikan kali yaitu sifat bapak yang selalu nggeh-nggeh (mengangguk iya) setiap ibu bicara apalagi kalau ibu sedang marah. Ibu Ida (Komunikasi Personal, 9 Januari 2012)
Berbeda dengan Jawa, Batak adalah suatu etnis dari daerah Sumatera Utara
yang terdiri dari beberapa fouk, seperti Batak Toba, Dairi, Simalungun, Karo dan
Mandailing. Orang Batak tidak seperti paradigma sebagian orang yang
menganggap bahwa penampilan atau cara berinteraksinya kasar. Sebenarnya
“kasar” itu berarti orang Batak bicara dan bertindak dengan tegas, dimana mereka
memiliki sikap saling menguatkan, mempengaruhi dan dominan (Tinambunan,
2010). Lebih lanjut dikatakan bahwa orang Batak digambarkan sebagai orang
yang tidak mau kalah, bersuara keras, egois, terbuka, spontan, agresif, pemberani
pada orang di luar suku Batak. Hal ini diperkuat dengan penuturan dari kak Eli
mengenai kriteria orang Batak dan juga pada pasangan pernikahan beda etnis
yaitu bapak Dedi (50 tahun) dan ibu Yani (48 tahun).
itu keras kepala. Iya benar, saya keras dek. Makanya mungkin abang banyak
mengalahnya sama saya.”
Kak Eli (Komunikasi Personal, 23 Februari 2012)
“Ibu orang Batak dan Om orang Jawa, ya kalau dalam rumah tangga kami
tidak bisa dipungkiri kalau tidak ada masalah. Masalah pasti datang lah, apalagi Ibu orangnya keras tuh dan Om sedikit sabar dan tidak banyak
bicara. Jadinya kalau kami bertengkar ya Ibu yang lebih cerewet.”
Bapak Dedi (Komunikasi Personal, 10 Oktober 2011)
“saya sih sebenarnya memang seperti itu bawaannya dek, suara saya memang sedikit keras makanya kalau kami lagi berdebat ketika saya
ngomong kami jadi kelihatan berantam dan suasana jadi memanas”
Ibu Yani (Komunikasi Personal, 10 Oktober 2011)
Teori yang telah dipaparkan di atas tentang karakter dan sikap orang Jawa
dan Batak serta fenomena yang terjadi pada pasangan pernikahan Bapak Dedi dan
Ibu Yani serta Bang Sekar dan Kak Eli, menguatkan bahwa orang Jawa memiliki
sikap yang lemah lembut sementara orang Batak memiliki sikap yang lebih keras
dalam berperilaku yang mereka tunjukkan. Secara umum ditemukan bahwa
kebanyakan orang Jawa lebih memilih untuk diam dan menghindari konflik
daripada bertengkar, karena cenderung menekankan pada kerukunan dan
keharmonisan dalam hidup. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Andayani (2001) bahwa di dalam keluarga Jawa ditemukan, ketika konflik
pernikahan terjadi mereka cenderung menghadapinya dengan cara menghindari
konflik tersebut. Berbeda dengan orang Batak yang terkenal spontan dan tidak
takut berkonflik dengan orang lain karena mereka memiliki ajaran bahwa manusia
adalah sederajat, tidak ada manusia istimewa lebih dari orang lain (Bangun, 1986
dalam Minauli, 2006). Hal ini tampak dalam keyakinan mereka bahwa setiap
na tolu” dimana setiap orang dapat berganti peran sesuai posisinya dalam
berhadapan dengan seseorang (Tinambunan, 2010).
Menarik untuk diteliti ketika mengetahui bahwa suami adalah suku Jawa
dan istri suku Batak. Menurut Hurlock (2004), pada dasarnya laki-laki dikenal
dengan sisi maskulin, gagah dan berani (male power), berbeda dengan persepsi
terhadap wanita yang dikenal dengan sisi feminim, lembut, dan lebih penakut.
Seorang suami yang menjadi kepala rumah tangga diharapkan akan menjadi
figure yang disegani dan dihormati, akan berbeda maknanya apabila ditemukan
suami yang lebih lemah daripada istri. Sesuai dengan pemaparan teori tentang
suku Jawa dan Batak, maka peran yang seharusnya dimiliki suami sebagai
seorang pemimpin menjadi hilang dengan didominasinya peran dari sang istri
yang pada dasarnya bersuku Batak yang memiliki karakter sifat yang lebih keras
dan tegas (Tinambunan, 2010). Berikut kutipan wawancara dengan ibu Yani dan
bapak Dedi.
“misalnya nih kami lagi ribut masalah keuangan, ketika kami lagi berselisih faham saya tidak mau kalah dengan suami saya. Saya terus saja ngomel. Bahkan suara saya sampai keras sekeras-kerasnya, wajah saya pun mungkin sudah merah karena marah. Kalau uda seperti itu ya suami saya yang diam
dek”
Ibu Yani (Komunikasi Personal, 10 Oktober 2011)
“ya kalau uda seperti itu ya Om pergi aja lah, dari pada dimarahi terus sama Ibu kan.”
Bapak Dedi (Komunikasi Personal, 10 Oktober 2011)
Adanya perbedaan yang muncul pada pasangan pernikahan tentunya akan
menimbulkan konflik bagi keduanya apabila mereka tidak mampu mengatasinya.
terjadi. Hal ini akan menuntun terjadinya konflik yang tiada hentinya dan pada
akhirnya pertengkaran tidak dapat dielakkan (Sadarjoen, 2005).
Konflik merupakan kondisi ketika individu memiliki dorongan-dorongan
yang tidak sejalan dan berlainan arah dengan yang harus dipenuhi secara
bersamaan (Lewin, dalam Lindzey & Hall 1985: Shaw & Costanzo, 1982). Lebih
lanjut Sadarjoen (2005) mengatakan konflik pernikahan merupakan konflik yang
melibatkan suami istri dimana keduanya memiliki pandangan, nilai-nilai ataupun
dorongan-dorongan yang tidak sejalan.
Kurdek & Smith (dalam Hoffman, Paris & Hall 1994)menyatakan bahwa
dalam pernikahan akan ada tiga tahap yang dilalui pasangan, yaitu (1) fase
blending yang terjadi pada tahun pertama yaitu pasangan belajar hidup bersama
dan memahami satu sama lain, (2) fase nesting yang terjadi pada tahun kedua dan
ketiga yaitu pasangan mengeksplorasi batas-batas kecocokan mereka sehingga
mulai timbul konflik, (3) fase maintaining yang terjadi pada tahun keempat yaitu
pasangan mulai dapat mengatasi konflik-konflik yang terjadi dalam pernikahan
mereka. Berdasarkan dari ketiga fase dari tahap dalam pernikahan yang dilalui
pasangan, fase kedua menjelaskan bahwa ada masa krisis yang dilalui oleh
pasangan pada tahun kedua dan ketiga pernikahan dimana akan muncul konflik
yang akan dihadapi oleh pasangan. Hal ini sejalan dengan penuturan dari
Degenova (2008) bahwa konflik merupakan sesuatu yang normal terjadi pada
setiap hubungan dan tidak dapat dihindari.
Setiap konflik yang terjadi tentu ada cara-cara tersendiri dalam
menghadapi konflik dalam hububungan dengan orang lain khususnya hubungan
pernikahan, yaitu avoidance, ventilation and catharsis, dan constructive and
destructive. Metode avoidance adalah metode dimana pasangan mencoba
mencegah konflik dengan menghindari orang yang bersangkutan. Metode
Ventilation dan catharsis artinya mengekspresikan/menyalurkan emosi dan
perasaaan negatif. Metode constructive merupakan bentuk dimana pasangan
mengatasi konflik dengan memahami dan menghadapi masalahnya dan
berkompromi dengan pasangan, sementara destructive adalah dengan menyerang
orang yang bermasalah denganya (Degenova, 2008).
Menurut Degenova (2008), ketiga konflik ini berpeluang terjadi pada setiap
pasangan pernikahan multikultural, dimana berdasarkan hasil wawancara kepada
pasangan bapak Dedi dan ibu Yani terlihat jelas bahwa bapak Dedi yang
merupakan orang Jawa menunjukkan perilaku yang avoidance dalam menghadapi
konflik, hal ini terlihat pada wawancara di atas yang menunjukkan tindakan bapak
Dedi saat mereka berkonflik, ia hanya diam dan pergi meninggalkan istrinya
ketika selesai marah. Sementara ibu Yani yang merupakan orang Batak lebih
menunjukkan perilakudestructivedimana ia tidak mau kalah saat berkonflik
dengan suaminya, hal ini terlihat pada hasil wawancara yang dilakukan dimana
ketika dirinya berselisih faham dengan suaminya, ia cenderung marah-marah dan
terus menyerang suaminya.
McGonagle dkk (1994, dalam Dewi dan Basti 2008) menyatakan bahwa
terjadi dan akan senantiasa terjadi dalam kehidupan pernikahan. Sejalan dengan
ungkapan bapak Dedi.
“Dalam pernikahan, kalau gak ada konflik itu diibaratkan seperti makan
sayur tanpa garam. Malah menurut saya agak aneh kalau ada pernikahan yang sama sekali bebas masalah. Yang seperti itu wajar-wajar aja lah”
(Komunikasi Personal, 25 November 2011)
Secara umum konflik yang muncul pada pasangan pernikahan tidak terlepas
dari sumber yang melatarbelakanginya. Degenova (2008) mengatakan bahwa
konflik pernikahan memiliki empat sumber, yaitu (a) sumber pribadi, yaitu
konflik yang berasal dari dorongan diri individu, naluri dan nilai-nilai yang
berpengaruh serta saling berlawanan satu sama lain, (b) sumber fisik, yaitu
konflik muncul akibat kelelahan fisik yang terjadi pada individu, (c) sumber
hubungan interpersonal, yaitu konflik yang terjadi dalam hubungan dengan orang
lain, (d) sumber lingkungan, yaitu konflik diakibatkan oleh kondisi tempat
tinggal, tekanan sosial dari keluarga, ketegangan budaya, dll. Setiap konflik yang
muncul tentunya memiliki sumber, hal ini menjadi penting untuk diteliti karena
dengan mengetahui sumber dari terjadinya konflik dapat membantu pasangan
dalam menangani konflik pernikahannya.
Berdasarkan penuturan di atas, dapat diketahui bahwa konflik dalam
pernikahan adalah hal yang wajar dialami setiap pasangan. Bahkan seorang
terapis pernikahan menekankan bahwa dalam kondisi yang tepat, pertengkaran
justru merupakan sesuatu yang cukup produktif yang dapat membuat kedua
pasangan menjadi semakin dekat dan tidak membuat mereka semakin jauh,
Namun bukan berarti setiap konflik yang muncul harus ditanggapi secara positif
dan pasrah menerima keadaan (Sardarjoen, 2005). Konflik dalam pernikahan
tentunya harus dihadapi dan diselesaikan oleh pasangan agar tidak berujung pada
hasil yang tidak diharapkan. Setiap pasangan tentunya memiliki cara yang
berbeda-beda dalam menghadapi konflik dalam rumah tangganya.
Pemaparan fenomena di atas membuat peneliti tertarik untuk meneliti
bagaimana gambaran konflik yang terjadi pada pasangan pernikahan, dimana
pasangan pernikahan yang akan diteliti adalah yang berasal dari etnis Jawa-Batak.
Penelitian yang dilakukan akan menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat
mengetahui gambaran dari konflik pernikahan yang sesuai dengan kehidupan
pasangan beserta bukti empiris yang ada dan bukan semata-mata penarikan
kesimpulan sebab akibat (Bogdan & Taylor, dalam Moloeng, 2005).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana konflik pernikahan yang terjadi pada pasangan berlatarbelakang
etnis Jawa-Batak?
2. Bagaimana metode menghadapi konflik yang dilakukan pada pasangan
berlatar belakang etnis Jawa-Batak?
3. Apakah sumber yang melatarbelakangi terjadinya konflik pernikahan pada
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penelitian ini adalahuntuk
memperoleh pengetahuan mengenai gambaran konflik pernikahan pada pasangan
yang berlatar belakang etnis Jawa-Batak.
D. Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara
lain:
1. Memberi masukan yang bermanfaat dan informasi bagi disiplin ilmu psikologi
khususnya pada bidang psikologi perkembangan.
2. Menjadi masukan dan referensi untuk bahan penelitian bagi peneliti
selanjutnya.
2.Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara
lain:
1. Para pasangan pernikahan multietnik akan mendapatkan informasi tentang
gambaran konflik pernikahan, metode menghadapinya serta sumber-sumber
yang menimbulkan konflik tersebut sehingga dapat meminimalisir konflik
2. Masyarakat umum akan mengetahui dan memahami gambaran-gambaran
konflik yang ada di dalam pernikahan sehingga dapat menjadi pertimbangan
dan proses belajar untuk nantinya menjalani suatu pernikahan.
3. Para konselor pernikahan akan mendapatkan referensi dalam mencari
data-data untuk menyelesaikan kasus-kasus dalam pernikahan yang terjadi pada
pasangan pernikahan multietnik.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : Landasan teori berisi landasan teoritis yang bersumber dari literatur
dan pendapat para ahli/pakar yang dapat digunakan sebagai
landasan berpikir dalam pembahasan penelitian ini.
BAB III : Metode penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian
kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat
bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, dan
prosedur penelitian.
BAB IV : Analisa data dan pembahasan berisi uraian singkat mengenai hasil
penelitian, interpretasi data dan pembahasan.
BAB V : Kesimpulan, diskusi dan saran, berisikan hasil dari penelitian yang
tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya
karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran
praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian serta
saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konflik
1. Pengertian konflik
Secara umum Degenova (2008) mengatakan bahwa konflik merupakan hal
yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu
setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985)
menyatakan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan di dalam
diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.
Weiten (2004) mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau
lebih motivasi atau dorongan berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan
secara bersamaan. Hal ini sejalan dengan defenisi yang diuraikan oleh Plotnik
(2005) bahwa konflik sebagai perasaan yang dialami ketika individu harus
memilih antara dua atau lebih pilihan yang tidak sejalan.
Berdasarkan beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik
merupakan suatu keadaan yang terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan
untuk merespon stimulus-stimulus yang muncul akibat adanya dua motif yang
saling bertentangan dimana antara motif yang satu akan menimbulkan frustasi
2. Konflik pernikahan
Finchman (1999) mendefenisikan konflik pernikahan sebagai keadaan
suami-istri yang sedang menghadapi masalah dalam pernikahannya dan hal
tersebut tampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika
sedang menghadapi konflik. Konflik dalam pernikahan terjadi dikarenakan
masing-masing individu membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang
unik dan berbeda(Sprey dalam Lasswell & Laswell, 1987).
Menurut Sadarjoen (2005) konflik pernikahan adalah konflik yang
melibatkan pasangan suami istri dimana konflik memberikan efek atau pengaruh
yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan. Lebih lanjut Sadarjoen (2005)
menyatakan bahwa konflik tersebut muncul karena adanya persepsi-persepsi dan
harapan-harapan yang berbeda serta ditunjang oleh keberadaan latar belakang,
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan
untuk menjalin ikatan pernikahan.
Jadi konflik pernikahan adalah perselisihan yang terjadi antara suami istri
yang disebabkan oleh keberadaan dua pribadi yang memiliki pandangan,
tempramen, kepribadian dan tata nilai yang berbeda dalam memandang sesuatu
dan menyebabkan pertentangan sebagai akibat dari adanya kebutuhan, usahan,
keinginan atau tuntutan dari luar yang tidak sesuai.
3. Sumber-sumber konflik pernikahan
Degenova (2008) menyatakan bahwa konflik bisa muncul karena empat
1. Sumber pribadi
Konflik pribadi yang berasal dari dorongan dalam diri individu, naluri
(instinct) dan nilai-nilai yang berpengaruh dan saling berlawanan satu sama lain.
Adanya ketakutan irasional dan kecemasan neuroticyang terjadi pada individu
seperti terlalu posesif menjadi sumber dasar dari perselisihan suami istri. Penyakit
emosional lainnya seperti depresi juga bisa menjadi sumber perselisihan.
Penyebab konflik utama individu melibatkan jauh di dalam jiwa individu tersebut,
apalagi kecemasan yang berasal dari pengalaman pada masa kanak-kanak.
2. Sumber fisik
Kelelahan fisik adalah salah satu sumber lainnya. Kelelahan dapat
menyebabkan individu cepat marah, tidak sabar, sedikitnya toleransi dan frustasi.
Hal ini menyebabkan seseorang dapat berkata atau melakukan sesuatu yang tidak
ingin dilakukannya. Kelaparan, beban kerja berlebih, gula darah yang menurun
dan sakit kepala juga merupakan beberapa sumber lainnya yang dapat
menyebabkan konflik dalam pernikahan.
3. Sumber hubungan interpersonal
Konflik ini terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Orang-orang yang
tidak bahagia dalam pernikahannya lebih sering mengeluh tentang perasaan
diabaikan, kekurangan cinta, kasih sayang, kepuasan seksual dan lainnya daripada
orang-orang yang bahagia dalam pernikahannya. Individu merasa bahwa
pasangan mereka terlalu membesar-besarkan masalah dan menganggap kecil
menyelesaikan perbedaan dan kekurangan komunikasi juga menyebabkan
pernikahan tersebut menjadi penuh konflik dan tidak bahagia.
4. Sumber lingkungan
Konflik ini meliputi kondisi tempat tinggal, tekanan sosial pada anggota
keluarga, ketegangan budaya diantara keluarga dengan kelompok minoritas
seperti diskriminasi dan kejadian yang tidak diharapkan yang dapat mengganggu
fungsi keluarga. Sumber stress utama bagi keluarga adalah saat wanita yang
memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, merawat anggota keluarga
yang mengalami penyakit kronik. Hal ini dapat menyebabkan stress dan
kesejahteraan dirinya menjadi berkurang dan pada akhirnya menimbulkan konflik
dalam hidupnya.
4. Metode-metode menghadapi konflik pernikahan
Degenova (2008) membagi konflik ke dalam beberapa metode.
Metode-metode ini digunakan individu untuk menghadapi konflik yang terjadi dengan
pasangannya, metode-metode tersebut adalah:
a. Avoidance conflict
Konflik pertama ini merupakan metode dimana pasangan menghadapi
konflik yang terjadi dengan cara menghindar. Mereka mencoba mencegah konflik
dengan menghindari orang yang bersangkutan, situasinya dan hal-hal yang
berhubungan dengan hal tersebut. Dengan menghindari masalah, untuk sementara
keadaan memang cukup tenang tetapi masalahnya tidak akan selesai, masalah
Pasangan yang tidak pernah melakukan usaha untuk menghindari
pertentangan secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara
perlahan-lahan dan pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan
memberi perhatian satu sama lainnya. Sebagai hasilnya, akan terjadi peningkatan
dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada hal lainnya seperti
sexual intercourse.
b. Ventilation and catharsis conflict
Metode konflik yang kedua ini merupakan kebalikan dari avoidance, yaitu
individu mencoba menyalurkan konflik tersebut. Ventilation artinya
mengekspresikan emosi dan perasaan negatif. Sama halnya dengan catharsis
dimana individu yang sedang dalam masalah akan menyalurkan emosi dan
perasaan negatif yang dirasakannya, seperti berteriak, bernyanyi sekeras-kerasnya,
dan yang lainnya. Diharapkan setelah proses ini dilakukan seluruh emosi dan
perasaan negatif yang ada akan keluar dan diganti dengan emosi dan perasaan
yang lebih positif.
c. Constructive and destructive conflicts
Setiap pasangan tentu memiliki konflik, dan bagaimana seseorang mengatasi
konflik mempengaruhi perkembangan pribadi mereka. Metode konstruktif
(constructive) yaitu pasangan mengahadapi masalah pernikahannya dengan lebih
memahami dan berkompromi atau menerima solusi yang ditawarkan untuk
dipertimbangkan. Hal ini lebih kepada meminimalisir emosi negatif, menaruh
hormat dan percaya kepada pasangan serta dapat menyebabkan hubungan menjadi
Metode destruktif (destructive) yaitu menyerang orang yang bermasalah
dengan dirinya. Mereka mencoba untuk mempermalukan pasangannya,
mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan konfliknya dengan
menghina dan menjelek-jelekkannya.
B. Pernikahan
1. Pengertian pernikahan
Pernikahan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik dengan membawa
pribadi masing-masing berdasarkan latar belakang budaya serta pengalamannya.
Hal tersebut menjadikan pernikahan bukanlah sekedar bersatunya dua individu,
tetapi lebih pada persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan
pembangunan sebuah sistem yang baru (Santrock, 2009).
Duvall dan Miller (1986) mendefenisikan pernikahan sebagai hubungan
antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas
masing-masing sebagai suami istri. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang
Pernikahan No 1 menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU RI
tentang Perkawinan).
Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008) menambahkan
pemuasan seksual, pendampingan, dan peluang bagi pertumbuhan emosional serta
sumber identitas dan kepercayaan diri yang baru.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan
merupakan suatu ikatan lahir dan batin yang sah antara pria dan wanita yang
melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran
suami istri, adanya komitmen, keintiman, persahabatan, cinta dan kasih sayang
dimana dua individu tersebutmembawa pribadi masing-masing berdasarkan latar
belakang budaya serta pengalamannya.
2. Pernikahan antar budaya (Interculture)
Menurut Tseng (dalam McDemott & Maretzki, 1997) pernikahan antar
budaya (intercultural marriage) adalah pernikahan yang terjadi antara pasangan
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya menjadi suatu
aspek penting dalam pernikahan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki
nilai-nilai budaya yang dianut, keyakinan dan kebiasaan, adat-istiadat dan gaya hidup
budaya.
Koentjaraningrat (1981, dalam Sedyawati, 2003) menyatakan bahwa di
dalam pernikahan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang
berbeda dan suku yang berbeda. Latar belakang yang berbeda ini dapat
menimbulkan ketidakcocokan, dimana ketidakcocokan tersebut memungkinkan
dapat menimbulkan konflik di dalam hidup berumah tangga, baik tentang
kebiasaan, sikap perilaku dominan maupun campuran tangan keluarga (Purnomo
C. Budaya Jawa
1. Pengertian budaya Jawa
Budaya Jawa adalah salah satu budaya tradisonal di Indonesia yang sudah
cukup tua, dianut secara turun temurun oleh penduduk di sepanjang wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Meskipun banyak orang Jawa menganggap bahwa
budaya Jawa itu hanya satu dan tidak terbagi-bagi, akan tetapi dalam
kenyataannya terdapat berbagai perbedaan sikap dan perilaku masyarakatnya di
dalam memahami budaya Jawa tersebut (Sedyawati, 2003). Perbedaan tersebut
antara lain disebabkan oleh kondisi geografis yang menjadikan budaya Jawa
terbagi ke dalam beberapa wilayah kebudayaan, dimana setiap wilayah
kebudayaan memiliki karakteristik khas tersendiri dalam mengimplementasikan
falsafah-falsafah budaya Jawa ke dalam kehidupan keseharian (Sujamto, 1997
dalam Sedyawati, 2003).
Salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari
generasi ke generasi berikutnya oleh masyarakat Jawa adalah falsafah hidup.
Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling umum
yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Falsafah hidup
menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat yang
biasanya tercermin dalam berbagai ungkapan yang dikenal dalam masyarakat
(Sedyawati, 2003).
Endraswara (2003) mengatakan bahwa watak dasar orang Jawa adalah sikap
nrima. Nrima adalah menerima segala sesuatu dengan kesadaran
Apapun yang diterima dianggap sebagai karunia Tuhan. Mereka cenderung
menerima dengan kesungguhan hati apapun hasilnya asalkan ada usaha yang lebih
dulu dilakukan. Jika usaha yang dilakukan gagal, orang Jawa cenderung
menerimanya sebagai sebuah pelajaran. Nrima bukan berarti tanpa upaya yang
gigih, namun hanya sebagai sandaran psikologis. Hal ini berarti orang Jawa
mempunyai kewajiban moral untuk menghormati tata kehidupan yang ada di
dunia ini. Mereka harus menerima kehidupan sebagaimana adanya sambil
berusaha sebaik-baiknya dan menumbuhkan kedamaian jiwa serta ketenangan
emosi. Ketika orang Jawa dihadapkan dengan suatu konflik, mereka cenderung
menghadapinya dengan memilih untuk diam dan tidak rewel (melawan) karena
prinsip dasar dari kebanyakan orang Jawa adalah “lebih baik hidup rukun
daripada harus berulah dengan orang lain”. Artinya orang Jawa begitu
menjunjung tinggi sifat keramahtamahan dan nilai kerukunan antar sesama
sehingga begitu menghindari konflik demi mencapai kedamaian dalam hidup
(Suseno, 2001). Lebih lanjut Bratawijaya (1997) mengatakan bahwa orang Jawa
dikenal memiliki sikap yang lamban, tidak mau tergesa-gesa dalam melakukan
pekerjaan, sopan santun, lemah lembut, ramah dan sabar.
2. Nilai-nilai budaya Jawa
Menurut Koentjaraningrat (1981 dalam Sedyawati, 2003) masyarakat Jawa
1. Hakekat hidup
Orang Jawa memandang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalaman
masa lalu dan konsep religiusitas yang bernuansa mistis. Mereka sangat
menghormati budaya, agama (Hindu dan Islam), dan kondisi geografis. Pada
dasarnya masyarakat Jawa menerima yang telah diberikan Tuhan secara apa
adanya, harus tabah dan pasrah dengan takdir serta ikhlas menerima segala hal
yang diperolehnya.
2. Hakekat kerja
Bagi masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun
perkotaan cenderung beranggapan bahwa mereka harus terus berikhtiar dan
bekerja. Bagi mereka, bekerja merupakan suatu keharusan untuk
mempertahankan hidup. Sebaliknya bagi masyarakat kelas menengah dan atas
telah memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga usaha yang dijalankannya
selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan. Bagi mereka bekerja
adalah segala sesuatu yang dicita-citakan dan harus disertai dengan usaha
yang sungguh-sungguh, artinya untuk mewujudkan cita-cita diperlukan biaya
dan pengorbanan.
3. Hakekat waktu
Banyak orang berpendapat bahwa orang Jawa itu kurang menghargai waktu.
Hal ini disebabkan karena ada pemahaman mereka bahwa melakukan segala
sesuatu tidak usah terburu-buru, yang penting selesai. Melakukan sesuatu
4. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya
Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola
pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan
menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di
masyarakat. Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola pergaulan
masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh prinsip
rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konfik.
5. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya
Pandangan hidup masyarakat Jawa adalah mengharuskan manusia
mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara
dan harmonis. Artinya mereka berkewajiban untuk memelihara dan
melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia.
D. Budaya Batak
1. Pengertian budaya Batak
Batak adalah suatu suku atau etnis dari daerah Sumatera Utara yang terdiri
dari beberapa fouk, seperti Batak Toba, Dairi, Simalungun, Karo dan Mandailing.
Orang Batak Toba menyebutkan kampung halaman mereka sebagai Bonani
Pasogit atau tanah Batak yaitu daerah kelahiran yang menjalani kehidupan
sehari-hari berdasarkan falsafah-falsafah Batak yang dipegang kuat (Tinambunan, 2010).
Falsafah Batak adalah suatu kebenaran hakiki yang menggambarkan tentang
cirri-ciri khas Batak, yang mengatur perilaku hubungan kekerabatan dan interaksi