• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Siswa Sekolah Dasar Di Daerah Tingkat I Provinsi Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Siswa Sekolah Dasar Di Daerah Tingkat I Provinsi Bali"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KEBUTUHAN PEMBELAJARAN BAHASA BALI

SISWA SEKOLAH DASAR

DI DAERAH TINGKAT I PROVINSI BALI

1)

Ni Luh Sutjiati Beratha

Fakultas Sastra Universitas Udayana

Abstract

This article discusses the needs of studying and learning processes of Balinese for primary student in Bali Province. From the research findings, it was discovered that the Balinese primary students’ proficiency is very poor and the goal of teaching Balinese is very urgent since its usage is getting rare. The scope of using Balinese involves the society, household, schools,, and psychosocial backgrounds like religions, brotherhood, relax, formal, politics, and ethics. Further, from the three domains of Balinese usage, it could be identified the communicants who speak Balinese and the social relations of those speakers, that is, high x

low, and parallel. The communication instrumentality of primary students in rural areas, 1st

– 4th classes are very productive at spoken language and written language for primary

students of 1st and 3rd classes are receptive. For primary students at urban areas, the spoken language of 1st and 2nd classes is receptive and it is more productive for 3rd -4th classes. For written language its result is the same with the primary students in the country, that is, receptive on 1st – 3rd classes and it is getting more productive after the 4th classes. The communication mode of Balinese consists of monolog and dialogue and its communication channel is divided into three categories, that is, very important, important, and unimportant. The Balinese style that needs to be taught to primary students is standard style. The communication events consist of speech situation and speech acts that involve the society, household and school domains.

Key words: studying and learning process, domain, spoken and written language,

productive, reseptive

1. PENDAHULUAN

Makalah ini akan menguraikan pokok-pokok bahasan yang terkait dengan kebutuhan pembelajaran bahasa Bali siswa SD kelas I sampai dengan kelas VI di daerah Tingkat I Provinsi Bali berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga kabupaten dan satu pemerintahan kota di Bali. Pembahasan mengenai pemerolehan bahasa I dan II mengawali makalah ini mengingat posisi bahasa Bali saat ini bisa sebagai bahasa I dan II. Ketidakpahaman seseorang terhadap bahasa Bali sangat erat kaitannya dengan apakah sebuah bahasa diperoleh sebagai bahasa I atau II (dengan kata lain bagaimanakah suatu bahasa diperoleh), dan tampaknya posisi bahasa Bali di Bali saat ini pada beberapa ranah pemakaian bahasa Bali diambil alih oleh bahasa Indonesia (Arnati 1996). Menurut Richard dkk. (1985:3), proses seseorang dalam mempelajari suatu bahasa disebut dengan istilah pemerolehan bahasa, bukan pembelajaran bahasa. Istilah pemerolehan bahasa berkembang

karena adanya kepercayaan para ahli bahasa bahwa perkembangan sebuah bahasa pertama pada seorang anak merupakan suatu proses khusus. Pendapat Richard dkk tampaknya sejalan dengan Chomsky yang menyatakan bahwa:

1. anak-anak lahir dengan kemampuan

khusus dalam pembelajaran bahasa, 2. mereka tidak harus dipaksa untuk belajar

bahasa atau memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka,

3. mereka belajar bahasa dengan menjelaskan secara rinci (membedah) hal-hal yang terkait dengan bahasa tersebut, dan

4. kaidah-kaidah bahasa berkembang secara tidak disadari.

(2)

Berdasarkan hasil wawancara dengan para guru SD di desa dan di kota, dengan para budayawan dan pemerhati bahasa, secara umum anak-anak di perkotaan berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi karena mereka belum mampu berbahasa Bali. Ini menunjukkan bahwa bahasa pertama mereka adalah bahasa Indonesia. Pada masyarakat pedesaan adalah sebaliknya, bahasa Bali merupakan bahasa pertama mereka. Dalam konteks seperti ini bahasa Bali di Bali adalah sebagai bahasa pertama di satu sisi dan sebagai bahasa kedua di sisi lain. Dalam kenyataan, pemerolehan bahasa I sangat berbeda dengan bahasa II, baik ditinjau dari karakteristik pribadi maupun kondisi dalam mempelajari suatu bahasa. Oleh sebab itu, hal seperti ini perlu mendapatkan perhatian, khususnya untuk menyamakan persepsi dalam rangka pembelajaran bahasa Bali, baik untuk pengembangan maupun untuk pelestarian bahasa Bali. Berikut disajikan ciri-ciri seorang anak yang belajar bahasa I dan kondisi pembelajarannya.

Ciri-ciri pembelajaran bahasa I:

1. Seorang anak yang mempelajari suatu bahasa sebagai bahasa I tidak memiliki

cognitive maturity (yaitu kemampuan

untuk ikut serta memecahkan suatu masalah deduksi dan yang terkait dengan memori kompleks). Di samping itu, mereka tidak memiliki kesadaran metabahasa, yaitu suatu kemampuan untuk memperlakukan bahasa sebagai bahasa sebuah objek, dan

2. Pengetahuan tentang bahasa-bahasa lain dapat mengantarkan pembelajaran untuk membuat terkaan yang tidak benar tentang bagaimana kedua bahasa tersebut berinteraksi, dan ini dapat memungkinkan terjadinya penyimpangan (error) yang semestinya tidak perlu dibuat oleh pembelajar bahasa I.

Kondisi pembelajaran bahasa I:

1. Pembenaran penyimpangan cenderung

terbatas pada perbaikan makna termasuk di dalamnya penyimpangan dalam pemilihan kosakata. Akan tetapi, untuk pemerolehan bahasa II kondisi seperti ini tidak terjadi sebab secara formal penyimpangan tidak berpengaruh terhadap makna, namun ini sering diperhatikan secara berlebihan. Penyimpangan terhadap tata bahasa, ucapan (pelafalan) jarang terjadi;

2. Kondisi yang tampaknya umum terjadi di dalam pemerolehan bahasa I dan II adalah akses terhadap masukan yang termodifikasi;

3. Anak-anak yang memperoleh kondisi

pembelajaran bahasa yang baik di rumah menerima langsung umpan balik, sedangkan kondisi seperti ini sulit dilaksanakan dengan segera.

Di samping itu, bahasa I umumnya diperoleh secara normal di dalam lingkungan keluarga (rumah) tanpa intervensi pedagogik, sedangkan bahasa II diperoleh melalui lingkungan sekolah di bawah penguasaan langsung seorang guru. Bahasa II mengizinkan pembangunan sebuah teori atas bahasa II dalam kaitannya dengan bahasa I tanpa melewati tahapan pemerolehan bahasa I.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan mengidentifikasi kebutuhan belajar bahasa Bali untuk siswa SD yang meliputi (1) pengukuran terhadap kemampuan berbahasa Bali, (2) tujuan belajar bahasa Bali, (3) latar penggunaan bahasa Bali, (4) interaksi dalam komunikasi, (5) ragam bahasa bali dan tingkat penguasaan berbahasa dan, (6) peristiwa komunikasi. Keenam materi tersebut akan diuraikan secara rinci berikut ini.

2. KEBUTUHAN PEMBELAJARAN

BAHASA BALI SISWA SEKOLAH

DASAR

2.1 Kemampuan Berbahasa Bali

Menurut Chomsky (1965), kemampuan adalah pengetahuan tentang penguasaan bahasa seseorang yang umum disebut dengan istilah linguistic

competence, yaitu kemampuan dalam

(3)

2.1.1 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali Lisan

Seorang anak akan memperoleh bahasa lisan terlebih dahulu sebab pada hakikatnya bahasa adalah bahasa lisan, diikuti oleh kemampuan berbahasa tulis. Bahasa dianggap sebagai gejala sosial, yaitu sebagai produk kehidupan manusia dalam masyarakat. Kemampuan berbahasa lisan siswa SD kelas I—VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali sangat beraneka ragam, baik mereka yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan.

Dari pengamatan secara mendalam terhadap anak-anak yang memiliki kemampuan berbahasa Bali lisan pada kelompok nihil khususnya pada masyarakat pedesaan, mereka tampaknya hanya memiliki pemahaman secara pasif. Ini artinya bahwa apabila ayah dan ibu atau guru mereka berbahasa Bali, mereka dapat memahaminya, namun tidak dapat menggunakannya secara verbal, serta semua respon atas pertanyaan yang diberikan kepada mereka akan selalu dijawab dengan bahasa Indonesia.

Ini sangat berbeda dengan siswa yang tergolong pada kelompok nihil di perkotaan: mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Bali. Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa bahasa I yang mereka peroleh adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Bali baru dipelajari di sekolah, bukan dari lingkungan keluarga yang semestinya merupakan komunitas kecil untuk mengawali pelestarian bahasa daerah, khususnya dengan mengajarkan bahasa Bali di rumah tangga.

Pada masyarakat pedesaan, terdapat peningkatan kemampuan berbahasa lisan yang sangat tajam. Akan tetapi, pada masyarakat perkotaan peningkatan kemampuan berbahasa lisan adalah tidak seperti pada masyarakat pedesaan. Ini mungkin disebabkan oleh penggunaan bahasa Bali di rumah sangat kurang pada masyarakat perkotaan dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Di samping itu, kemampuan pemahaman berbahasa Bali lisan siswa SD pada masyarakat pedesaan dan perkotaan belum disertai oleh penggunaan aras-tutur (unda-usuk) yang cukup memadai. Aras-tutur adalah ragam yang merupakan ciri khas bahasa Bali, dan kemampuan penggunaan aras-tutur dibahas secara rinci berikut ini.

2.1.2 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali Sesuai dengan Aras-Tutur

Menurut statistik (1997), penduduk Bali saat ini berjumlah 2.906.582 jiwa, yang terdiri atas laki-laki 1.446.822 dan perempuan 1.459.760. Sekitar 10% dari seluruh penduduk saat ini adalah

dari kalangan Triwangsa dan selebihnya dari kalangan kebanyakan (sudra). Masyarakat Bali terdiri atas dua kelompok masyarakat: (1) kelompok non-Triwangsa menduduki jumlah banyak sehingga sering disebut pula sebagai kalangan kebanyakan; dan (2) kelompok Triwangsa terdiri atas Brahmana, Ksatria, dan Wesya. Tingkatan-tingkatan masyarakat Bali seperti ini memunculkan aras-tutur bahasa Bali, seperti bentuk hormat dan lepas hormat (Bagus, 1976:109; Tinggen, 1995).

Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa SD di Bali, baik di desa maupun di kota belum memiliki kemampuan penggunaan aras-tutur yang cukup memadai. Salah satu faktor penyebab tingkat kemampuan penggunaan aras-tutur yang belum memadai adalah karena rumit (‘sulit’) penggunaannya, dan siswa SD belum mampu untuk memahaminya; dengan berbahasa Indonesia tampaknya lebih mudah dan netral tanpa harus mengetahui pelibat dalam suatu peristiwa komunikasi berasal dari kelompok yang mana. Di samping itu, tampaknya sejauh ini belum tersedia materi yang khusus terkait dengan pengajaran aras-tutur bahasa Bali.

Secara umum, siswa SD di desa dari kelas III sampai dengan kelas VI belum menguasai penggunaan aras-tutur dengan cukup baik. Berdasarkan pengamatan pada saat pelaksanaan tes (pengisian instrumen) yang dilakukan terhadap anak SD kelas I—VI, khususnya pada sekolah pedesaan, para siswa tersebut sangat lambat di dalam menjawab semua pertanyaan yang berbahasa Bali, apabila dibandingkan dengan siswa SD di kota. Apabila kemampuan siswa SD yang berasal dari kalangan Triwangsa dibandingkan dengan mereka dari Sudra tampak jelas bahwa siswa SD dari Triwangsa jauh lebih mampu menggunakan aras-tutur daripada mereka dari kalangan non-Triwangsa. Anak-anak dari Triwangsa (khususnya Brahmana) selalu berkomunikasi dengan nenek/kakek (apabila mereka adalah pendeta Hindu) menggunakan bahasa Bali bentuk hormat. Di Bali, jarang ditemukan seorang pendeta mau berkomunikasi dengan lawan tuturnya dengan bahasa lain, kecuali bahasa Bali.

(4)

kemampuan dalam kategori lanjut 50% adalah wanita dan selebihnya 25% adalah laki-laki. Demikian juga halnya untuk siswa kelas V: 47% wanita dan 40% laki-laki, dan pada kelas VI: 50% wanita dan 43,7% laki-laki.

Secara umum wanita dianggap selalu lebih rendah (subordinate) daripada pria. Menurut Smith (1992:59), wanita memiliki sifat lemah lembut, tidak langsung, dan kurang memiliki kekuasaan. Hal ini sudah mulai tampak jelas pada siswa SD, baik di desa maupun di kota, sehingga penelitian ini mendukung pendapat Smith bahwa wanita Bali memiliki status sosial lebih rendah daripada pria. Hal ini berimplikasi terhadap penggunaan bahasa Bali siswa SD wanita; mereka berbahasa Bali bentuk hormat lebih sering dan lebih terampil daripada laki-laki. Ini mungkin dikarenakan wanita memiliki sifat halus, modest,

pendiam (reticence), sopan. Sifat seperti ini jarang ditemukan pada pria. Sifat yang dimiliki oleh wanita tercermin melalui gaya atau tingkah laku berbahasa yang selalu tampak sopan dan formal sehingga bahasa Bali wanita lebih baik daripada pria. Untuk siswa SD kelas IV, wanita memiliki kemampuan penguasan aras-tutur 37,5%, sedangkan prianya 18,7%. Di samping itu, siswa wanita cenderung menggunakan kalimat kompleks pada ketiga ranah pemakaian bahasa. Temuan ini mendukung sifat formal yang dimiliki wanita. Bahasa formal lebih lengkap, utuh, sesuai dengan kaidah penggunaannya.

Kenyataan ini sudah disadari para guru mereka, dan bahkan mereka mengalami kesulitan dalam mengajar bahasa Bali. Kesulitan itu dirasakan makin bertambah berat karena belum tersedianya materi pengajaran aras-tutur bahasa Bali yang sesuai sebagai materi pelajaran untuk siswa SD di Bali. Walaupun Tinggen (1995) telah menulis Sor Singgih Bahasa Bali, buku tersebut diperuntukan bagi siswa SLTP dan SLTA. Di samping itu, guru bahasa Bali tidak memiliki kualifikasi dalam bidang studi yang diajarkan. Semua guru bahasa Bali di SD adalah guru agama (kualifikasi/latar belakang pendidikannya adalah agama Hindu), namun mereka diminta untuk mengajarkan bahasa Bali.

2.1.3 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali Tulis

Bahasa Bali tulis dalam penelitian ini terdiri atas (a) bahasa Bali tulis yang berhuruf Latin dan (b) bahasa Bali tulis yang berhuruf Bali

(hanacaraka).

(a) Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan huruf Latin

Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa Bali dengan huruf Latin siswa SD kelas I—kelas VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali adalah seperti dijelaskan berikut ini. Menurut data penelitian ini, siswa SD kelas I baru diajarkan menulis dengan huruf Latin, dan pada Semester I baru diperkenalkan huruf balok. Oleh sebab itu, kemampuan mereka berbahasa Bali tulis dengan huruf Latin boleh dikategorikan nihil.

(b) Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan huruf Bali

Hasil wawancara dengan informan kunci menunjukkan bahwa pelajaran menulis Bali (dengan huruf Bali) baru diperkenalkan di kelas tiga pada Semester III, yaitu dengan mengajarkan alfabet bahasa Bali yang disebut dengan

anacaraka. Pelajaran membaca dan menulis huruf

Bali diberikan sampai dengan kelas VI. Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan menulis mereka dikategorikan sangat minim. Salah satu penyebabnya adalah materi yang digunakan sebagai pegangan guru untuk mengajar penulisan huruf Bali di SD belum ada sampai saat ini. Buku pegangan guru untuk mengajar menulis (uger-uger

pasang sastra aksara Bali) diambil dari Tinggen

(1984). Buku ini tampaknya belum memadai sebab buku tersebut memiliki level tinggi, dan terasa sangat sulit bagi siswa SD. Buku Purwa Aksara,

Pasang Aksara dan Pacraken digunakan untuk

belajar menulis siswa SD kelas III—VI. Menurut pengakuan mereka menulis dengan aksara Bali sangat sulit. Pada akhir Semester II, siswa kelas VI belum mampu menggunakan dengan baik aturan

(uger-uger) Pasang Aksara Bali. Hasil evaluasi

akhir menunjukkan bahwa nilai rata-rata mereka adalah 75% cukup, dan hanya sebagian kecil yang memperoleh nilai 7 atau 8.

2.3Tujuan Belajar Bahasa Bali

(5)

belajar bahasa untuk tujuan menulis surat, keterampilan yang diajarkan adalah menulis. Oleh sebab itu, tujuan yang hendak dicapai di dalam mempelajari suatu bahasa harus diketahui terlebih dahulu sebelum latar penggunaan bahasa sebab tujuan pembelajaran suatu bahasa sangat terkait dengan keterampilan yang mendukung proses pembelajaran agar sasaran yang ingin dicapai terpenuhi dengan baik.

Penelitian yang telah dilakukan adalah dalam rangka pelestarian bahasa Bali seperti digariskan dalam GBHN 1993 dan UUD 1945, dengan tujuan agar orang Bali tetap memiliki identitas, dan tidak tercabut dari akar dan budayanya. Dalam instrumen penelitian ada lima keterampilan yang diusulkan sebab kelima keterampilan ini sangat umum digunakan dalam pengajaran bahasa, baik untuk pengajaran bahasa I, II, ataupun bahasa asing. Keterampilan tersebut adalah (1) keterampilan membangun kosakata, (2) keterampilan bercakap-cakap, (3) keterampilan menyimak, (4) keterampilan membaca, dan (5) keterampilan menulis.

Kemampuan berbahasa seseorang akan tampak dalam kelima keterampilan di atas. Hasil penelitian sudah sesuai dengan filosofis bahasa bahwa seseorang belajar sebuah bahasa adalah melalui kata (leksikon), selanjutnya dengan menggabungkan kata dengan kata lainnya, dibentuk frasa, klausa (kalimat tunggal), kemudian kalimat (kalimat kompleks). Dalam kenyataannya, bahasa lisan diperoleh terlebih dahulu kemudian diikuti oleh bahasa tulis.

Untuk SD kelas I, tampaknya mereka baru diperkenalkan huruf Balok sehingga jenis keterampilan berbahasa Bali yang perlu diajarkan adalah (1) membangun kosakata dan (2) bercakap-cakap. Keterampilan yang diajarkan untuk siswa SD kelas II adalah (1) membangun kosakata, (2) bercakap-cakap, dan (3) menyimak. Data studi ini menunjukkan bahwa keterampilan menyimak tampaknya mulai penting diajarkan pada siswa kelas II. Realisasi pelajaran menyimak untuk siswa kelas II ini adalah guru bercerita di depan kelas dan siswa mendengarkan sambil memahami isi cerita tersebut. Materi yang dipilih adalah yang sarat akan pesan dan berisikan pendidikan budi pekerti.

Siswa SD kelas III mulai diperkenalkan keterampilan menulis huruf Bali pada semester II. Pada kelas III, jenis-jenis keterampilan yang perlu diajarkan adalah (1) membangun kosakata, (2) bercakap-cakap, (3) menyimak, dan (4) menulis dengan huruf latin dan Bali. Pada siswa SD kelas IV keterampilannya adalah (1) membangun kosakata, (2) bercakap-cakap, (3) menyimak, (4)

menulis dengan huruf Latin dan Bali, dan (5) membaca. Keterampilan huruf Bali tampaknya penting diajarkan mulai kelas IV Semester I sebab pengenalan huruf Bali sudah diajarkan pada kelas III semester II. Pelajaran membaca tampaknya perlu diajarkan seintensif mungkin pada saat itu, dan akan berlanjut sampai ke kelas V dan VI.

Pada siswa kelas V dan VI, semua keterampilan perlu diajarkan secara terintegrasi sebab keterampilan yang satu akan mendukung yang lain, dan kemampuan siswa sudah semakin meningkat. Penguatan atas semua keterampilan perlu diberikan di kelas IV mulai Semester II dalam rangka mempersiapkan siswa menghadapi EBTADA (EvaIuasi Belajar Tahap Akhir Daerah), di mana bahasa Bali merupakan salah satu mata pelajaran yang harus diujikan.

Perlu dikemukakan di sini bahwa teks untuk keterampilan membaca diambil dari buku cerita rakyat Bali yang kaya akan pesan untuk mengajarkan budi pekerti kepada siswa. Untuk pelajaran menyimak, siswa SD diajarkan menyajikan lagu-lagu Bali, yaitu “Sekar Alit” terdiri atas: “Pupuh Ginanti”, “Mijil”, “Mas Kumambang”, “Pucung”, “Semaran Dana”, “Sinom”, “Ginada”, “Durma”, “Pangkur”, dan “Dangdang”. Untuk Kidung (khususnya “Kidung Dewa Nyadnya”) meliputi “Kidung Warga Sari” dan “Magatruh”. Keterampilan menyimak ini sekaligus dikaitkan dengan pelajaran apresiasi seni. Siswa juga diajarkan beberapa hal yang terkait dengan bidang kesusastraan seperti pepatah

(sesonggan), ibarat (sasenggakan), tamsil

(wewangsalan), seloka (bidal), metafora

(beladbadan), pantun (peparikan), perumpamaan

(papindan), perumpamaan (sesawangan), teka-teki

(cacimpedan), syair teka-teki (cecangkriman),

olok-olokan (cecangkitan), lawakan (raos

ngempelin), sindiran (sasimbing), sindiran halus

(sasemon), dan alamat (sipta).

2.4 Latar Penggunaan Bahasa Bali

(6)

di mana terjadinya peristiwa tutur. Pemakaian satu bahasa dapat terjadi pada ranah keluarga, adat, pendidikan, dan lain-lain.

Ranah dalam konteks ini terkait dengan latar (setting) penggunaan bahasa Bali yang dalam studi ini terdiri atas:

1. lokasi penggunaan hahasa, 2. waktu penggunaan bahasa, dan 3. latar psiko-sosial penggunaan bahasa

2.4.1 Lokasi Penggunaan Bahasa Bali

Objek penelitian ini adalah siswa SD kelas I—kelas VI di Daerah Tingkat I Provinsi Bali. Dengan didasari atas asumsi bahwa mereka sekurang-kurangnya berada pada tiga lokasi dalam keseharian mereka di Bali, dalam studi ini diusulkan tiga lokasi penggunaan bahasa Bali, yaitu (a) pada masyarakat luas, (b) di rumah (tangga), dan (c) di sekolah.

a. Pada masyarakat luas

Ada sejumlah lokasi yang dapat dikategorikan ke dalam masyarakat luas, di mana bahasa Bali dianggap memiliki potensi untuk digunakan. Bahasa dalam ranah ini digunakan oleh anggota masyarakat luas dalam interaksi verbal dengan kelompok sosial, lingkungan peribadatan, permainan, dan rekreasi.

b. Di rumah tangga

Siswa SD hampir sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah sehingga keluarga sebagai komunitas kecil sudah sewajarnya menggunakan bahasa Bali, dan rumah tangga digunakan sebagai tempat untuk memulai pengajaran bahasa Bali. Bahasa pada ranah keluarga digunakan oleh semua anggota keluarga, yaitu antara orang tua dengan anak-anak, atau sebaliknya. Pada SD pedesaan semua aktivitas tampaknya mampu diwahanai oleh bahasa Bali. Ini artinya bahwa mereka menganggap penggunaan bahasa Bali potensial atau sangat potensial, kecuali pada ruang belajar dan kamar mandi. Pada masyarakat perkotaan, potensi penggunaan bahasa Bali sangat bervariasi. Khusus untuk lokasi yang berkaitan dengan kegiatan adat istiadat, bahasa Bali dikatakan sangat potensial, serta untuk lokasi di dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang tidur penggunaan bahasa Bali masih potensial, namun untuk halaman rumah, sumur, ruang belajar, dan kamar mandi, penggunaan bahasa Bali tidak potensial.

c. Di sekolah

Sekolah juga merupakan salah satu lokasi siswa SD beraktivitas sehari-hari. Dalam ranah

sekolah bahasa Bali juga digunakan apabila guru berkomunikasi dengan siswa, pagawai dengan siswa, antarsiswa, pedagang dengan siswa.

Pada SD pedesaan, bahasa Bali mampu mewahanai semua aktivitas di luar kelas, dan dapat dikategorikan masih potensial, tetapi kenyataan ini tidak berlaku untuk aktivitas tutur di dalam kelas, baik di perpustakaan, ruang kelas, atau ruang guru. Tampaknya untuk semua aktivitas di sekolah diwahanai oleh bahasa Indonesia, dan bahasa Bali dianggap tidak potensial apabila digunakan di sekolah, terutama pada SD perkotaan.

Menurut para budayawan, pemerhati bahasa, dan para guru SD, penggunaan bahasa pada ranah sekolah masih terkait dengna kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan resmi negara karena bahasa Indonesia selalu digunakan untuk mewahanai hal-hal yang bersifat resmi (Halim,1980). Jadi, pada ranah ini bahasa Bali tidak digunakan sebab situasi pada ranah tersebut tampaknya resmi. Akan tetapi, mereka mengimbau bahasa Bali digunakan sebagai bahasa pengantar di kelas apabila mengajarkan bahasa Bali. Di samping itu, bahasa Bali digunakan pula sebagai bahasa pengantar pada SD kelas I apabila siswa tersebut belum memiliki kemampuan untuk memahami bahasa Indonesia dengan baik. Keadaan seperti ini ditemukan khususnya pada SD di pedesaan di mana guru kelas menggunakan bahasa Bali pada saat menjelaskan semua mata pelajaran.

Perlu juga untuk diungkapkan di sini bahwa penguasaan bahasa dan variasi bahasa mempengaruhi keterampilan berbahasa sesuai dengan fungsi dan tingkat penguasaannya, termasuk di dalamnya kemampuan memahami (comprehension) secara lisan dan tulisan, dan kemampuan berbicara dan menulis (expression).

2.4.2 Waktu Penggunaan Bahasa Bali

(7)

2.4.3 Latar Psiko-Sosial Penggunaan Bahasa Bali

Fungsi bahasa memiliki kaitan yang sangat erat dengan latar psiko-sosial penggunaan bahasa. Untuk ketiga lokasi/ranah di atas, latar psiko-sosial penggunaan bahasa Bali terdiri atas (a) etis, (b) santai, (c) politis, (d) resmi, dan (e) religius.

Suasana sosio-psikologi etis artinya suasana terjadi dalam komunikasi verbal penutur dengan lawan tutur di masyarakat luas dengan penuh keseriusan di mana salah satu lawan tuturnya tidak mengerti bahasa Bali. Suasana sosio-psikologi politis artinya suasana terjadi dalam rumah/di luar rumah dalam keadaan santai. Suasana sosio-psikologi politis artinya suasana terjadi di masyarakat luas dengan serius dan penuh perhatian untuk tujuan politik. Suasana sosio-psikologi formal artinya suasana terjadi di masyarakat luas, sekolah dan rumah dengan penuh perhatian dan keseriusan. Suasana sosio-psikologis religius artinya suasana terjadi di tempat-tempat peribadatan dengan serius dan memiliki kaitan dengan kegiatan keagaman (band. Pride, 1971:4-8)

Pada semua ranah, penggunaan bahasa Bali dalam suasana sosio-psikologi politis dianggap tidak penting, baik pada masyarakat kota maupun desa. Pada masyarakat luas, dan rumah tangga di desa, suasana santai dan kekeluargaan penggunaan bahasa Bali masih tetap dianggap penting, dan bahkan pada ranah rumah tangga pada suasana formal, kekeluargaan dan religius penggunaan bahasa Bali sangat penting. Akan tetapi, pada ranah sekolah, hanya pada suasana kekeluargaan dan religius tampaknya penggunaan bahasa Bali penting, sedangkan untuk suasana lainnya dianggap tidak penting.

Untuk masyarakat perkotaan, ranah masyarakat luas yang dianggap penting berbahasa Bali adalah apabila suasananya santai, dan kekeluargaan, serta menjadi penting sekali untuk suasana religius. Pada ranah rumah tangga suasana santai, formal, dan kekeluargaan penting menggunakan bahasa Bali, sedangkan pada suasana religius penggunaan bahasa Bali menjadi penting sekali. Pada ranah sekolah hanya suasana religius yang menganggap penggunaan bahasa Bali penting sekali, sedangkan pada suasana lainnya penggunaan bahasa Bali tidak penting.

2.5 Interaksi dan Instrumentalitas Komunikasi Suatu komunikasi verba yang baik memiliki pelibat dalam peristiwa tutur pada ranah-ranah pemakaian bahasa sebab latar selalu dihubungkan dengan tempat terjadinya peristiwa tutur. Posisi komunikan yang realistik diperankan oleh penutur.

Oleh sebab itu, pokok bahasan tentang interaksi dan komunikasi serta hubungan sosial antarpelibat akan mengawali uraian ini, dan selanjutnya diikuti dengan pembahasan tentang instrumentalitas komunikasi.

2.5.1 Interaksi dalam Komunikasi

Posisi komunikan dalam komunikasi perlu dibicarakan untuk mengetahui dengan siapa para komunikan biasanya berbahasa Bali pada ketiga ranah di atas. Pada masyarakat luas, penggunaan bahasa Bali menjadi penting bila digunakan oleh anggota banjar dengan klian banjar, antaranggota banjar, dan bahkan sangat penting bila komunikasi dengan bahasa Bali dilakukan oleh klian banjar dengan prajuru desa adat. Akan tetapi, tidak penting bila komunikasi itu terjadi antarkelompok masyarakat.

Di rumah tangga, penggunaan bahasa Bali penting bila komunikasi itu dilaksanakan antarsaudara, paman/bibi dengan kemenakan, orang tua dengan paman/bibi, dan sangat penting apabila anak dengan orang tua, kakek/nenek dengan cucu, ayah dengan ibu, orang tua dengan kakek/nenek, tetapi tidak penting apabila anak dengan pembantu. Di sekolah, posisi komunikan dalam komunikasi menjadi penting antarsiswa, dan siswa dengan orang tuanya, tetapi tidak penting jika guru dengan siswa, siswa dengan pegawai, dan siswa dengan pedagang di kantin.

2.5.2 Hubungan Sosial Antarpelibat

Menurut Haugen (1972:329), pemakaian bahasa dalam masyarakat dikaitkan dengan kekuasaan dan solidaritas seseorang dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, Bown dan Gilman (1972:256) menyatakan bahwa kekuasaan mengacu kepada hubungan pelibat yang tidak sejajar karena jabatan, kedudukan, atau posisi lebih tinggi di masyarakat daripada penutur lain dalam masyarakat bahasa. Misalnya, hubungan guru dengan siswa, pengurus desa adat dengan anggota banjar, dan lain-lain. Solidaritas mengacu kepada hubungan antara penutur yang akrab dan sejajar, seperti hubungan antarteman akrab dan antaranggota banjar.

(8)

warna atau klen, dan di Bali dikenal dengan istilah caturwarga yang terdiri atas Brahmana, Ksatriya, Wesia, dan Sudra. Pemilihan dan penggunaan ragam bahasa apakah bentuk hormat atau lepas hormat sangat ditentukan oleh hubungan sosial antarpelibat.

2.5.3 Instrumentalitas Komunikasi

Sifat keterampilan berbahasa dapat dikategorikan sebagai reseptif atau produktif. Produktif artinya kemampuan untuk menghasilkan ungkapan (berupa frasa, klausa, atau kalimat) yang dapat dipahami dengan baik oleh penutur bahasa yang sama. Reseptif adalah kemampuan seseorang untuk memahami ungkapan yang disampaikan oleh penutur suatu bahasa, namun belum sanggup menghasilkan suatu ungkapan.

2.5.4 Modus Komunikasi

Modus komunikasi bisa bersifat monolog: komunikasi terjadi satu arah yang hanya dimiliki pembicara, dan pendengar tidak terlibat langsung. Misalnya, pembaca berita pada TV, pencerita, dan sebagainya. Dialog adalah komunikasi dua arah, terdiri atas pembicara dan pendengar yang kedua-duanya aktif dan terlibat langsung dalam komunikasi verbal, seperti diskusi dalam seminar, rapat, dan lain-lain. Kedua modus ini bisa dituliskan dan dilisankan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa modus komunikasi yang dikategorikan penting sekali untuk siswa SD di desa dan di kota adalah (a) monolog yang ditulis untuk didengarkan dan dituliskan, dan (b) dialog yang ditulis untuk didengar dan dituliskan. Yang dianggap penting adalah (a) monolog yang dilisankan untuk didengar dan dituliskan, dan (b) dialog yang dilisankan untuk didengar dan dituliskan.

Dalam materi pembelajaran bahasa Bali terdapat keterampilan yang bermodus monolog dan dialog yang direalisasikan ke dalam jenis keterampilan yang akan diajarkan dengan pendekatan pragmatik yang lebih mementingkan kelancaran berkomunikasi (fluency) daripada ketepatan (accuracy). Misalnya, untuk siswa SD kelas III, guru harus mengajarkan siswa keterampilan menyimak. Pada keterampilan tersebut, siswa diminta mendengar dengan sungguh-sungguh cerita yang diucapkan oleh guru, selanjutnya siswa disuruh menyarikan cerita itu dengan kata-kata sendiri dengan ragam tulis, kemudian diminta bercerita di dalam kelas, dengan tujuan apakah telah terjadi pemahaman terhadap apa yang disampaikan guru.

2.5.5 Saluran Komunikasi

Jenis-jenis komunikasi berbahasa Bali yang dianggap tepat digunakan di siswa SD dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

a. Saluran komunikasi yang termasuk ke dalam kategori penting sekali adalah tatap muka bilateral, barang cetakan, gambar-gambar.

b. Saluran komunikasi yang termasuk ke dalam kategori penting adalah tatap muka unilateral, TV dan radio

c. Saluran komunikasi yang termasuk ke dalam kategori tidak penting adalah telepon dan video.

2.6 Ragam Bahasa Bali dan Tingkat Penguasaan Bahasa Bali

Ragam bahasa Bali untuk siswa SD kelas I sampai dengan kelas VI meliputi ragam standar dan nonstandar, serta penggunaan aras-tutur yang tepat dalam berkomunikasi. Di samping itu, tingkat penguasaan kemampuan berbahasa Bali yang terdiri atas ukuran teks, kompleksitas ujaran, rentang bentuk untuk fungsi mikro dan makro, kecepatan, serta fleksibilitas bentuk ujaran juga dibahas dan dipadukan dengan medium komunikasi lisan dan tulisan, baik yang bersifat reseptif maupun produktif.

2 6.1 Ragam Bahasa Bali

Bahasa Bali memiliki beraneka ragam variasi dialektal (variasi geografis). Menurut Bawa (1983), yang dianggap sebagai dialek standar adalah dialek Klungkung. Pemilihan tersebut didasari atas latar belakang sejarah dialek tersebut. Studi ini tidak mengacu pada salah satu dialek yang ada di Bali untuk menentukan standar tidaknya ragam bahasa Bali sebab untuk tujuan pembelajaran suatu bahasa, pertama-tama harus diketahui apa yang dimaksud dengan ragam standar.

(9)

Penggunaan aras-tutur menunjukkan bahwa bahasa Bali Kepara tampaknya tidak perlu diajarkan pada siswa SD di Bali. Bahasa Bali Kepara dapat diperoleh dengan cepat dari lingkungan tetangga ataupun sekolah (hasil wawancara dengan para informan kunci). Bahasa Bali Alus perlu diajarkan kepada siswa kelas I dan II, bahkan guru bahasa Bali tampaknya menggunakan bahasa Bali Alus sebagai bahasa pengantar siswa SD kelas I dan II di desa. Untuk itu, materi pelajaran untuk siswa SD I dan II sebaiknya menggunakan bahasa Bali Alus. Bahasa Bali ragam Alus mulai diajarkan dari kelas III sampai dengan kelas VI baik untuk materi pelajaran ataupun bahasa pengantar di kelas. Hasil ini sudah sesuai dengan kenyataan bahwa pada masyarakat Bali, apabila ada orang ingin menyapa seseorang yang belum jelas stratifikasi sosialnya, dia akan disapa dengan bahasa Alus dengan ungkapan seperti ti/tiang nunasang antuk linggih

(yang artinya ‘bolehkan saya mengetahui status sosial Anda’). Mengajarkan seseorang berbahasa Bali ragam Alus jauh lebih baik daripada mengajarkan bahasa Kepara sebab seseorang yang belum dikenal lebih senang jika disapa dengan bahasa Alus daripada bahasa Kepara. Penggunaan bahasa Bali Kepara, terlebih-lebih dengan orang yang usianya lebih tua atau belum dikenal dapat membuat orang tersinggung sebab tidak sesuai dengan tata krama adat Bali.

2.6.2 Tingkat Penguasaan Kemampuan Berbahasa Bali

Parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat penguasaan kemampuan berbahasa Bali adalah (a) ukuran ujaran/bahasa, (b) kompleksitas ujaran, (c) rentang bentuk fungsi mikro dan makro, (d) kecepatan, dan (e) fleksibilitas bentuk ujaran. Parameter di atas akan dikombinasikan dengan medium komunikasi, baik lisan maupun tulisan, serta sifat keterampilan berbahasa, yaitu reseptif dan produktif.

2.7 Peristiwa Komunikasi 2.7.1 Peristiwa Tutur

Peristiwa tutur sangat penting dalam berkomunikasi, terutama dalam kaitannya dengan aktivitas tutur yang akan memunculkan fungsi bahasa. Peristiwa tutur dalam suatu komunikasi harus dipahami terlebih dahulu sebelum memilih jenis fungsi bahasa yang tepat dalam komunikasi tersebut.

Pada ranah komunikasi di masyarakat luas, peristiwa tutur dapat di kategorikan penting sekali, dan bahasa Bali dapat mewahanai peristiwa tutur seperti (a) menyucikan pratima ke laut

(melasti), (b) membuat sesajen, (c) membuat makanan tradisional Bali (mebat) di banjar, (d) gotong royong (ngaturang ayah) di pura, dan (e) melayat (majenukkan), atau kundangan. Semua peristiwa tutur di atas dianggap sangat penting sebab pemakaian bahasa Bali sangat erat hubungannya dengan adat-istiadat (budaya) Bali, yang memiliki sifat gotong royong.

Peristiwa tutur yang termasuk ke dalam kategori penting adalah (a) piknik dengan keluarga dan (b) nonton kesenian Bali. Pada ranah rumah tangga, peristiwa komunikasi yang termasuk kategori tidak penting adalah menjawab dan menerima telepon, tetapi yang termasuk ke dalam kategori penting adalah (a) memberi informasi diri, (b) memberi perintah, (c) menunjuk arah mata angin, (d) menghitung, (e) bersenda gurau, (f) menanyakan menu makanan, (g) menjelaskan kesehatan, dan (h) meninggalkan pesan.

Yang termasuk kategori penting sekali, artinya bahasa Bali harus digunakan adalah pada peristiwa komunikasi (a) peristiwa tutur yang berhubungan dengan upacara keagamaan, (b) membantu orang tua, dan (c) kegiatan sehari-hari di rumah. Pada ranah sekolah, bahasa Bali tidak perlu mewahanai peristiwa tutur sebagai berikut: (a) belajar dan (b) berolahraga. Yang dikategorikan penting adalah (a) bermain, (b) berkebun, (c) berbelanja, dan (d) bertengkar.

2.7.2 Aktivitas Tutur

Aktivitas tutur merupakan unsur dasar untuk menginterpretasikan kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam sebuah bahasa sebab fungsi bahasa memuat makna dan berisikan faktor isyarat kecocokan (appropriacy condition) dari sebuah aktivitas tutur (Kempson 1980). Konsep syarat kecocokan kondisi dapat digeneralisasi pada semua tuturan dalam masyarakat bahasa dan pikiran manusia.

Fungsi bahasa adalah fungsi yang sesuai dengan penggunaan bahasa. Berikut disajikan fungsi-fungsi bahasa yang tepat diajarkan kepada siswa SD kelas I sampai VI, yang sesuai dengan ranah (lokasi) penggunaan bahasa. Fungsi bahasa dalam penggunaan sering tumpang tindih. Ini sangat tergantung pada peristiwa tuturnya.

a. Ranah masyarakat luas

(10)

(xi) menyatakan sebab akibat, (xii) mendeskripsikan proses, (xiii) menyatakan kualifikasi, (xiv) memberi saran dan nasihat, (xv) menginterpretasikan, (xvi) memberikan pendapat, (xvii) mengakui, (xviii) mengidentifikasi, dan (xix) memberi penilaian.

b Ranah rumah tangga

Fungsi bahasa yang terkait dengan ranah rumah tangga adalah (i) menyangkal, (ii) memerintah, (iii) melarang, (iv) menyatakan sebab akibat, (v) mengandaikan, (vi) menjelaskan, (vii) mengakui, (viii) mendeskripsikan, (ix) menjelaskan, (x) menerka, (xi) menyimpulkan, (xii) bertanya, (xiii) memberikan penilaian, (xiv) memberi saran atau nasihat, (xv) bercerita, (xvi) memberikan informasi, (xvii) membandingkan dan mengontraskan, (xviii) menyatakan setuju dan tidak setuju, (xix) menyatakan pendapat, dan (xx) menyatakan kualifikasi.

c. Ranah sekolah

Fungsi bahasa yang bertalian dengan ranah sekolah meliputi (i) mengidentifikasi orang/benda dan tempat, (ii) mendeskripsikan orang, bangunan, proses, dan waktu, (iii) mengikuti perintah, (iv) bertanya, (v) memberikan informasi, (vi) memberikan penilaian, (vii) membandingkan dan mengontraskan, (viii) menyatakan sesuatu, (ix) memperingati, (x) memberi contoh, (xi) mendefinisikan, (xii) mengkalisifikasikan, (xiii) menggeneralisasi, dan (xiv) menyatakan kualifikasi.

Semua fungsi bahasa yang dikemukakan di atas memiliki kata kerja performatif (Austin 1962; Searle 1969). Menurut Searle (1969), teori tindak tutur yang dikembangkannya adalah untuk membicarakan penggunaan bahasa, kondisi penggunaan, serta kaidah yang menyertai dan sekaligus turut menjelaskan tindak tutur dalam ujaran.

3. SIMPULAN

Beberapa simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan berbahasa Bali siswa SD di Provinsi Bali yang terdiri atas kemampuan berbahasa lisan, unda-usuk, dan bahasa tulis adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan merekam dalam berbahasa lisan sangat bervariasi, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Siswa SD di

pedesaan memiliki kemampuan berbahasa lisan lebih baik daripada mereka yang tinggal di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahasa Bali di desa lebih intensif daripada di kota;

b. Kemampuan menggunakan unda-usuk siswa SD belum memadai. Menurut mereka, penggunaan unda-usuk adalah rumit (’sulit’), serta belum tersedianya materi yang baik untuk mengajarkan unda-usuk bahasa Bali di SD; dan

c. Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan huruf Latin untuk siswa SD kelas I adalah nihil, kelas II dan III pemula, kelas IV menengah, serta untuk kelas V dan VI lanjut. Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan dengan huruf Bali sangat rendah sebab sampai dengan kelas VI mereka belum menguasai dengan baik Pasang

Sastra Aksara Bali (tata cara penulisan

huruf Bali). Menurut pengakuan guru, mereka hanya menggunakan buku acuan yang sifatnya masih umum, dan belum berisikan aturan yang pasti tentang tata cara penulisan huruf Bali.

2. Tujuan belajar bahasa Bali siswa SD dapat dikatagorikan sangat urgensi mengingat kemampuan berbahasa Bali mereka sangat rendah, dan penggunaan bahasa Bali semakin dihindari. Dalam rangka pengembangan dan pelestarian bahasa Bali perlu dicarikan jalan pemecahannya, yaitu mengajarkan mereka keterampilan yang disesuaikan dengan jenjang mereka. Penelitian ini menunjukan bahwa keterampilan yang perlu diajarkan sesuai dengan tujuan belajar tersebut adalah sebagai berikut:

Kelas I : membangun kosakata, dan bercakap-cakap,

Kelas II : membangun kosakata, bercakap- cakap, dan menyimak, Kelas III : membangun kosakata, bercakap-

cakap, menyimak, dan menulis dengan huruf Latin dan Bali,

Kelas IV : membangun kosakata, bercakap- cakap, menyimak, menulis dengan huruf Latin dan Bali, dan membaca huruf Bali.

(11)

3. Latar penggunaan bahasa Bali terdiri atas: (a) Lokasi penggunaan bahasa Bali bagi

siswa SD dalam kesehariannya berada pada tiga lokasi, yaitu (i) di masyarakat luas: pura, banjar, sawah, sungai, pasar tradisional, supermarket, laut, tempat hiburan, dan kolam renang, (ii) di rumah tangga: sanggah, Bali Gede, dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang tidur, halaman rumah, kebun, sumur, ruang belajar, dan kamar mandi, serta (iii) di sekolah: kantin sekolah, halaman sekolah, lapangan olahraga, perpustakaan, kamar mandi, kelas, dan ruang guru.

(b) Waktu penggunaan bahasa Bali untuk di SD perkotaan masih perlu ditingkatkan sebab siswa berbahasa Bali pada saat diajarkan bahasa Bali di kelas. Bahasa Bali perlu digunakan pada semua ranah pakai yang bersifat kedaerahan. Di desa bahasa Bali secara umum digunakan setiap saat.

(c) latar psiko-sosial penggunaan bahasa meliputi (i) religius, (ii) kekeluargaan, (iii) santai, (iv) formal, (v) politis, dan (vi) etis.

4. Bentuk interaksi dan instrumentalitas dalam komunikasi meliputi:

a. Interaksi dalam komunikasi: dengan siapa para komunikan menggunakan bahasa Bali pada ketiga ranah di atas: (i) di masyarakat luas: anggota banjar dengan klian banjar, antaranggota banjar, klian banjar dengan prajuru desa, antarkelompok masyarakat; (ii) di rumah tangga: anak dengan orang tua, antarsaudara, kakek/nenek dengan cucu, paman/bibi dengan kemanakan, ayah dan ibu, orang tua dengan kakek/nenek, anak dengan pembantu, dan orang tua dengan paman/bibi; (iii) di sekolah: antarsiswa, guru dan siswa, siswa dengan pegawai, siswa dengan pegawai di kantin, dan siswa dengan orang tuanya;

b. Hubungan sosial antarpelibat pada ketiga ranah di atas adalah tinggi x rendah, dan sejajar;

c. Instrumentalitas komunikasi mereka adalah pada SD di pedesaan kelas I—VI bahasa lisan mereka sangat produktif, dan bahasa tulis untuk siswa SD kelas I dan III adalah reseptif, tetapi makin produktif setelah di kelas IV sampai dengan kelas VI. Pada SD di kota, bahasa lisan kelas I dan II adalah reseptif, dan lebih produktif setelah di kelas III dan berlanjut sampai

dengan kelas VI. Untuk bahasa tulis hasilnya sama dengan SD di pedesaan, yaitu reseptif pada kelas I sampai dengan III, dan makin produktif setelah di kelas IV;

d. Modus komunikasi bahasa Bali terdiri atas (i) monolog yang dituliskan untuk didengar dan dituliskan, serta dialog yang dilisankan untuk didengar dan dituliskan termasuk kategori penting sekali; dan (ii) monolog yang dilisankan untuk didengar dan dituliskan, serta dialog yang dituliskan untuk didengar dan dituliskan termasuk kategori penting;

e. Saluran komunikasi siswa SD dibagi menjadi 3 kategori: (i) penting sekali: tatap muka bilateral, barang cetakan, dan gambar-gambar; (ii) penting: tatap muka unilateral, TV, dan radio; (iii) tidak penting: telepon dan video.

5. Ragam bahasa Bali yang perlu diajarkan untuk siswa SD adalah ragam standar, yaitu bahasa Bali yang baik dan benar (karena sudah sesuai dengan kaedah penggunaan bahasa). Dan hasil penelitian ini menunjukan ragam bahasa untuk siswa SD dimulai dengan mengajarkan mereka bahasa Bali Madya dan Halus, sebab bahasa Bali kasar akan di pahami secara cepat dari pergaulan baik dengan tetangga maupun dengan teman sekelas.

6. Peristiwa komunikasi terdiri atas peristiwa tutur dan aktivitas tutur.

(a) Peristiwa tutur yang berbahasa Bali meliputi (i) masyarakat luas: menyucikan pratima ke laut (melasti), membuat sesajen, membuat makanan tradisional Bali, gotong royong di pura, melayat/kundangan, piknik, dan nonton kesenian tradisioanal Bali, (ii) rumah tangga: semua peristiwa tutur yang berhubungan dengan kegiatan upacara keagamaan, membantu orang tua, aktivitas sehari-hari, memberi informasi diri, memberi perintah, menunjukan arah mata angin, menghitung, bersenda gurau, menanyakan menu makanan, menjelaskan kesehatan, dan meninggalkan pesan, (iii) ranah sekolah: bermain, berkebun, berbelanja, bertengkar.

(12)

meng-klasifikasikan, mendeskripsikan orang/ tempat/proses, memberi contoh/saran/ nasihat, menyangkal, memberi informasi/ perintah/pendapat/ penilaian, menyatakan sebab akibat: menginterpretasikan dan mengakui, (ii) di rumah tangga: menyangkal, memerintah, melarang, menyatakan setuju/sebab akibat/ pendapat/kualifikasi, menjelaskan, mengakui, mendeskripsikan, menerka, menyimpulkan, memberi penilian, memberi informasi diri/saran dan nasehat, bercerita, membandingkan dan mengontraskan, (iii) di sekolah: mengindentifikasi orang, benda/tempat, mendeskripsikan orang, bangunan, proses, mengikuti perintah, bertanya, memberi informasi/penilaiaan, mem-bandingkan dan mengontraskan, menya-takan setuju/kualifikasi, memperingati, memberi contoh, mendefinisikan, mengklarifikasikan, dan menjederalisasi.

---

1

Makalah ini telah dipresentasikan pada Lokakarya Bahasa Bali yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali pada tanggal 29 – 31 Oktober 2007 di Denpasar dan disunting sesuai keperluan LOGAT tanpa mengubah isi.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

1975. Kurikulum Sekolah Dasar 1975

Garis-Garis Besar Program Pengajaran Bidang Studi Bahasa Bali Untuk Kelas III,

IV, V, VI. Denpasar: Dinas Pengajaran

Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali. 1994. Lampiran II Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali Nomor 22/I 19 C/Kep/I.94 Tanggal 17 Januari 1994, Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan Dasar, Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar, Mata Pelajaran: Bahasa Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi Bali.

Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1983 Tatabahasa Bali. Denpasar: Dinas Pengajaran Daerah Tingkat I Bali.

Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1995. Kusumasari 1, 4, 5. Denpasar: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali

Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1997. Kusumasari 2, 3, 6. Denpasar: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.

Arnati, Ni Wayan. 1996. Kedwibahasaan di

Kalangan Karyawan Etnis Bali di Bali.

Tesis Program Studi Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Austin, J.L. 1962. “How to Do Thing with Words.” Dalam J.O. Urmson (ed). New York: Oxford University Press.

Azies, F., A. C. Alwasilah. 1996. Pengajaran

Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Bagus, I Gusti Ngurah. “Perubahan Bentuk Hormat dalam Masyarakat Bali: Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa.” Disertasi untuk Universitas Indonesia.

Barbar, C.C. 1977. “A Grammar of the Balinese.”

Language, Vol. 1 dan 2. Arberdeen:

Arberdeen University.

Blum-Kulka, Shosana, dkk., 1989. Cross-Cultural

Pragmatics: Request and Apologies. New

Jersey: Ablex.

Brown dan A. Gilman. 1960. “The Pronouns of Power and Solidarity’ dalam Language and Social Context.” Dalam Pierpaolo (eds.) 1972.

Brumfit, C. J. 1986. The Practice of

Communicative Teaching. Oxford:

Pergamon Press.

Coates, J. 1986. Women, Men, and Language: A Sosiolinguistic Account of Sex Differences

in Language. London: Longmn.

Dulay, Heide, Marina Burt, dan Stephen Krashen. 1982. Language Two. New York: Oxford University Press.

Ellis, G. dan Barmara Sinclair. 1989. Learning to

Learn English. Cambridge: Cambridge

(13)

Finocchiro, M. 1979. “The Funcional-national Syllabus: Problems, Practices, Problems.” Dalam English Teaching Forum 17 (1979), 11-20.

Fishman, 1972. “Language Maintenance and Language Shift.” Dalam J.A. Fishman,

Language in the Sosiocultural Change.

Stanford: Stanford University Press.

Granoka, Ida Wayan, dkk. 1984/1985. Tatabahasa Bali. Denpasar: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Gumperz, J.J. dan D.H. Hymes (eds.) 1972.

Direction in Sosiolinguistics: The

Ethnography of Communication. Oxford:

basil Blackwell.

Gumperz, J.J. 1982a. Discourse Strategies. Cambridge: Cambridge University Press.

Gumperz, J.J. 1982b. Language and Social

Identity. Cambridge: Cambridge University

Press.

Halim, A. (ed). 1980/1981. Politik Bahasa nasional 1 dan 2. Jakarta: Bali Pustaka.

Halliday, M.A.K. 1997. Exploration in the

Function of Language. London: Edward

Arnold.

Hynes, D. H. 1962. “The Ethnography of Speaking.” Dalam Readings on Sosiology of

Language. The Hagua: Mounton.

Hymes, D.H. 1972. “On Communicative Competence.” Dalam Pride dan Holmes (eds.) 1972. London: Penguin Book.

Harmer, J. 1991. The Practice of English

Language. London: Longman Group Ltd.

Haugen, E. 1972. The Ecology of Language. California: Standard University Press.

Jorden, R.R. 1990. Academiv Writing Course. London: Collins.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum

1984. Yogyakarta: Kanisius.

Kersten SVD, J. 1984. Bahasa Bali, Tatabahasa,

Kamus Bahasa Balu Lumrah. Ende: Nusa

Indah.

Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Littlewood, W.T. 1985. “Integrating the New and the Old Communicative Approach.” Das (ed), 1985:1—13.

Mackey, W.E. 1968. “The Description.” Dalam Joshua H. Fishman (ed). Reading in the Sociology.

Madera, I Gede. 1967. Sari Basa Bali. Denpasar: Gema.

Moleong, L.J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT remaja Indonesia.

Muhadjir. N. 1992. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Yogyakarta: Raka sarasin.

Munby, J. 1978. Communicativ Syllabus Design. Cambridge: Cambridge University Press.

Nunan, D. 1991. Language Teaching

Methodology. Hertfordshire: Prentice Hall

International Ltd.

Poedjosoedarmo, S. 1982. Javanese Influence on

Indonesian, Canberra.: Pasific Linguistic,

D-38. The Australian National University.

Putra, I Ketut Adnyana. 1994. “Kesulitan Siswa dalam Belajar Membaca Permulaan di Sekolah Dasar” (Laporan Penelitian). Singaraja: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Raka, A.A. Gde, dkk. Titi Basa Bali I-VI. Denpasar: Upada Sastra.

(14)

Redman, S. 1990. A Way with Words: Vocabulary Development Activities for Learners of

English. Cambridge: Cambridge University

Press.

Remen, I Ketut. 1982. Penuntun Mempelajari Sekar Alit. Denpasar: Upada Sastra.

Searle, J.R. 1971. “Indirect Speech Acts.” Dalam

The Philosophy of Language. Oxford:

Oxford University Press.

Searle, J.R. 1971. “Indirect Speech Act”. Dalam P Cole dan J. Morgon (eds). Syntax and

Semantics Vol. 3. New York: Academic

Press.

Simpen, A.B. I Wayan. 1996. Purwa Aksara I-IV. Denpasar: Upada Sastra.

Smith, J.S. 1992. “Women in Charge Politeniss and Directives in the Speech of Javanese Women.” Dalam Language in Society, 21: 59—82. Cambridge: Cambridge University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian

Wahana Kebudayaan secara Linguistis.

Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sukarta, I Nyoman. 1996. “Kedwibahasaan Masyarakat di Kawasan Wisata di Bali.” Tesis Program Studi Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Sukendra, I Nyoman. 1996. “Kedwibahasaan generasi Muda pada Masyarakat Desa dan Kota di Bali.” Tesis Program Studi Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Sulaga, I Nyoman, dkk. 1996. Tata Bahasa Baku

Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah

Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Suparka, I Wayan dan I Gusti Ketut Anom. 1993.

Tata Bahasa Bali Anyar. Denpasar: Upada

Sastra.

Sutjiati Beratha, Ni Luh. 1996. Beberapa Pemikiran tentang Pemantapan Kedwibahasaan Masyarakat Bali di Bali. Makalah disajikan pada Pesamuhan Agung Basa Bali IV dan Kongres Bahsa Bali II, Denpasar7—9 November 1996.

Sutjiati Beratha, Ni Luh. dkk. 1998/1999. “Buku Pelajaran Bahasa Bali untuk Siswa Sekolah Dasar.” Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I.

Sutjiati Beratha, Ni Luh. Dkk. 1999/2000. “Buku Pelajaran Bahasa Bali untuk Siswa Sekolah Dasar.” Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II.

Tama, I Wayan. 1996. “Kedwibahasaan Masyarakat Desa dan Kota di Bali.” Tesis Program Studi Magister (S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Taro, Made. 1993. Mari Bermain. Denpasar: Upada Sastra.

Taro, Made. 1993. Gending-Gending Pelalian Bali. Denpasar: Yaysan Sabha Sastra Bali.

Tinggen, I Nengah, 1984. Tata Basa Bali Ringkas. Singaraja: Rhika.

Tinggen, I Nengah, 1995. Sor Singgih Basa Bali. Singaraja: Rhika Dewata.

Wilkins.. D.A. 1976. National Syllabus: A Taxonomy and Its Relevance to Foreign.

Language Curriculum Development,

London: Oxford University Press.

Wierzbicka. A. 1996. Semantics: Primes and

Universal. Oxford: Oxford University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun secara konseptual dan dan struktur bangsa Indonesia telah memiliki nilai, akan tetapi problematika yang dihadapi selalu ada pada proses dan Implementasi

orientalis tergolong jenis fast growing species dan dapat membentuk kolonisasi yang baik pada areal kritis sehingga potensial dimanfaatkan sebagai tanaman pionir pada

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan perhitungan atau analisis biomassa, simpanan karbon dan serapan CO2 tanaman di jalur hijau jalan Kota Binjai dan

KAJIAN TERHADAP U-Mo SEBAGAI KANDIDAT BAHAN BAKAR BARU BERDENSITAS TINGGI. Pengembangan bahan bakar baru dikaji guna mencari bahan bakar yang memiliki densitas tinggi dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan murid-murid SMP N dalam membaca dan menulis teks mata pelajaran IPS, serta mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi

2 Saya tidak tahu pasti apakah hari ini saya bisa lebih baik dari pada hari kemarin 3 Saya menghafal hal-hal yang menurut

yang telah dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kekurangan yang ada pada siklus I, yaitu masih banyak anak yang mengalami kesulitan dalam menggunakan metode

Berdasarkan lembar penilaian aktivitas siswa, perolehan skor aktivitas siswa adalah 28 dengan kategori sangat baik. Aktivitas siswa yang memperoleh penilaian