ASPEK HUKUM STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK
HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR
SEB ELUM DAN SESUDAH B ERL AK UNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
TENTANG KEWARGANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
T E S I S
Oleh KUS WINARNO
087005024/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ASPEK HUKUM STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK
HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR
SEB ELUM DAN SESUDAH B ERL AK UNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
TENTANG KEWARGANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi
Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh KUS WINARNO
087005024/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Telah diuji pada
Tanggal : 31 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum
2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
3. Prof. Dr.Budiman Ginting, SH, MH
4. Dr. Agusmidah, SH, MH
ASPEK HUKUM STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK
HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR
SEB ELUM DAN SESUDAH B ERL AK UNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
TENTANG KEWARGANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2010 Penulis
ABSTRAK
Perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 merupakan perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Selama ini pemerintah Indonesia mengatur perkawinan campuran antara WNI dan WNA berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan RI, namun kemudian sejak tanggal 1Agustus 2006 diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI. Di dalam UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas. Dikatakan terbatas karena status kewarganegaraan ganda terbatas ini hanya diperuntukan bagi anak hasil perkawinan campur saja, dimana setelah mereka dewasa secara hukum Indonesia yaitu usia 18 tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun, diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya. Maka akan timbul permasalahan dalam bidang keimigrasian yaitu dalam pengaturan dalam hal izin keimigrasian.
Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan pendekatan metode yuridis normatif dan deskripsi analitis, yaitu berupa kajian terhadap asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian izin keimigrasian berikut peraturan pelaksanaannya dan Undang-undang Keimigrasian dan menggambarkan permasalahan mengenai pengaturan izin keimigrasian serta selanjutnya menganalisis permasalahan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Keimigrasian yang berlaku saat ini baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Kehakiman maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi belum mencantumkan anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas maupun Izin Tinggal Tetap.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pengaturan Pemberian Izin Keimigrasian bagi Subyek Kewarganegaraan ganda terbatas yang telah dewasa dan memilih WNA dan menetap di Indonesia belum diatur dalam perundang-undangan yang ada saat ini. Untuk itu perlu dibuat suatu perubahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 Tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasan maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan, Penolakan, dan Gugurnya Izin Keimigrasian dengan mencantumkan anak-anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai salah satu subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas dan Izin Tinggal Tetap.
ABSTRACT
Mix marriage as regulated in Article 57 Law Number 1 of 1974 concerning marriage that is committed by a couple with different nationality. During the time, Indonesian government regulates mix marriage between Indonesia National and Foreign National pursuant to Law Number 62 of 1958 concerning The Nationality of The Republic of Indonesia. Then, on August, 1st of 2006 it is innovated with Law Number 12 of 2006 concerning The Nationality of the Republic of Indonesia. In Law Number 12 of 2006,is explained that children as the result of mix marriage can have double nationalities but limited. Limited means that the limited double nationalities status is only valid for children of mix marriage, after they are 18 years old and get grace period for 3 years up to 21 years old, they are obliged to chooce one of the owned nationality. But they still want to stay in Indonesia. Problem discussed as the object of research recounts to the regulation on immigration permit.
Description of the object of research on this thesis is undertaken by using judicial-normative and analytical-descriptive approach methods, that is in the form of study of principles and law norm which available in the rule of legislation related to regulation on immigration permit, regulation on implementation and Law Number 9 of 1992 concerning immigration. It is also researched by describing the matters concerning regulation on immigration permit then analyzing them based on the valid rule of legislation. This time The valid immigration rule that is law, Governmental Regulation, Decree on The Minister Of Legal Affairs, Guide Execution on Director General of Immigration is not mentioned the children ex- limited double nationalities as the owner subject of Limited Stay Permit and Permanent stay permit.
The result of this research is concluded that up to now there is not the regulation on immigration permit for ex- subject of limited double nationalities who choose to be Foreign National yet. Therefore Republic of Indonesia government requires to make a change of Law Number 9 of 1992 concerning Immigration, Governmental Regulation Law Number 32 of 1994 concerning Visa, Entry Permit and Immigration Permit, Decree on The Minister Of Legal Affairs Law Number M.02-IZ.01.10 of 1995 concerning Transit Visa, Visit Visa, Limited stay Visa, Entry Permit, Immigration Permit and also Guide Execution on Director-General Immigration Law Number F-309.Iz.01.10 of 1995 concerning Procedures, Lengthening of, Deduction, and Lose of Immigration Permit by mentioning children of ex-limited double nationalities as one of the owner subject of Limited Stay and Permanent Stay Permit.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT, karena hanya
dengan berkat karunia Nyalah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
ini. Penyelesaian penulisan tesis ini berkat dorongan, pengarahan, bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak kepada penulis.
Penulis menyadari masih kurang dari kesempurnaan baik dari isi maupun
penyajiannya, hal ini dikarenakan masih terbatasnya kemampuan yang dimiliki .
Pada kesempatan ini, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sahril Pasaribu, DTH&H,
MSc(CTM), Sp.A(K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menempuh pendidikan di Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir.T.
Chairun Nisa, B.M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magíster
pada pendidikan di Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Runtung,
Sitepu SH.MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada
pendidikan di Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Ketua Program Studi S2 Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku
ketua pembimbing, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH, atas kesempatan
dan telah meluangkan waktu untuk membimbing penulisan tesis ini.
5. Tim Pembimbing Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, dan Ibu Prof. Dr. Sunarmi
SH. MH, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing pada penulisan tesis
6. Tim Penguji Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,. MH dan Dr. Agusmidah,
SH,. MH. Yang telah menguji demi kesempurnaan tesis ini.
7. Seluruh Dosen Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna selama
menempuh pendidikan.
8. Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Medan, Drs.Bambang Soepadiyono, SH.
MH. yang telah memberikan izin bagi penulis untuk mengikuti pendidikan
Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.
9. Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Pekanbaru, Bapak Jumanter Lubis, SH. MH, atas
dukungan dan izin yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis ini.
10.Ayah dan Ibu serta Istriku tercinta Sri Wanty atas semua dukungannya dalam
menyelesaikan tesis ini.
11.Rekan-rekan Angkatan Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, yang telah berbagi suka dan duka selama mengikuti pendidikan
pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.
Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat baik kepentingan
pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan
Hukum Keimigrasian.
Medan, Agustus 2010
DAFTAR ISI
BAB II IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP KEWARGA-NEGARAAN DALAM BIDANG KEIMIGRASIAN DI INDONESIA ... 12
A. Keimigrasian ... 12
1. Definisi Imigrasi ... 12
2. Peraturan Perundang-undangan Keimigrasian Indonesia .... 13
B. Yurisdiksi ... 15
C. Kewarganegaraan ... 17
1. Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan ... 17
2. Prinsip-Prinsip Penentuan Kewarganegaraan ... 18
3. Apatridie dan Bipatridie ... 18
D. Implikasi Keimigrasian Dalam Pengaturan Kewarganegaraan Ganda Terbatas ... 21
E. Implimentasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 ... 22
BAB III STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGA-NEGARAAN REPUBLIK INDONESIA ... 24
Berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 ... 25
BAB IV KEBIJAKAN YANG DIAMBIL OLEH DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI, KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI DALAM MENANGANI PERBEDAAN PENGATURAN STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA ... 31
A. Pengaturan Keimigrasian Bagi Subyek Kewarganeraan Ganda Terbatas ... 31
B. Pemberian Izin Keimigrasian Bagi Anak Eks-Kewarganegaraan Ganda Terbatas ... 34
1. Pemberian Izin Tinggal Terbatas (ITAS) ... 36
2. Pemberian Izin Tinggal Tetap (ITAP) ... 36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
A. Kesimpulan ... 38
B. Saran ... 39
ABSTRAK
Perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 merupakan perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Selama ini pemerintah Indonesia mengatur perkawinan campuran antara WNI dan WNA berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan RI, namun kemudian sejak tanggal 1Agustus 2006 diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI. Di dalam UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas. Dikatakan terbatas karena status kewarganegaraan ganda terbatas ini hanya diperuntukan bagi anak hasil perkawinan campur saja, dimana setelah mereka dewasa secara hukum Indonesia yaitu usia 18 tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun, diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya. Maka akan timbul permasalahan dalam bidang keimigrasian yaitu dalam pengaturan dalam hal izin keimigrasian.
Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan pendekatan metode yuridis normatif dan deskripsi analitis, yaitu berupa kajian terhadap asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian izin keimigrasian berikut peraturan pelaksanaannya dan Undang-undang Keimigrasian dan menggambarkan permasalahan mengenai pengaturan izin keimigrasian serta selanjutnya menganalisis permasalahan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Keimigrasian yang berlaku saat ini baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Kehakiman maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi belum mencantumkan anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas maupun Izin Tinggal Tetap.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pengaturan Pemberian Izin Keimigrasian bagi Subyek Kewarganegaraan ganda terbatas yang telah dewasa dan memilih WNA dan menetap di Indonesia belum diatur dalam perundang-undangan yang ada saat ini. Untuk itu perlu dibuat suatu perubahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 Tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasan maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan, Penolakan, dan Gugurnya Izin Keimigrasian dengan mencantumkan anak-anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai salah satu subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas dan Izin Tinggal Tetap.
ABSTRACT
Mix marriage as regulated in Article 57 Law Number 1 of 1974 concerning marriage that is committed by a couple with different nationality. During the time, Indonesian government regulates mix marriage between Indonesia National and Foreign National pursuant to Law Number 62 of 1958 concerning The Nationality of The Republic of Indonesia. Then, on August, 1st of 2006 it is innovated with Law Number 12 of 2006 concerning The Nationality of the Republic of Indonesia. In Law Number 12 of 2006,is explained that children as the result of mix marriage can have double nationalities but limited. Limited means that the limited double nationalities status is only valid for children of mix marriage, after they are 18 years old and get grace period for 3 years up to 21 years old, they are obliged to chooce one of the owned nationality. But they still want to stay in Indonesia. Problem discussed as the object of research recounts to the regulation on immigration permit.
Description of the object of research on this thesis is undertaken by using judicial-normative and analytical-descriptive approach methods, that is in the form of study of principles and law norm which available in the rule of legislation related to regulation on immigration permit, regulation on implementation and Law Number 9 of 1992 concerning immigration. It is also researched by describing the matters concerning regulation on immigration permit then analyzing them based on the valid rule of legislation. This time The valid immigration rule that is law, Governmental Regulation, Decree on The Minister Of Legal Affairs, Guide Execution on Director General of Immigration is not mentioned the children ex- limited double nationalities as the owner subject of Limited Stay Permit and Permanent stay permit.
The result of this research is concluded that up to now there is not the regulation on immigration permit for ex- subject of limited double nationalities who choose to be Foreign National yet. Therefore Republic of Indonesia government requires to make a change of Law Number 9 of 1992 concerning Immigration, Governmental Regulation Law Number 32 of 1994 concerning Visa, Entry Permit and Immigration Permit, Decree on The Minister Of Legal Affairs Law Number M.02-IZ.01.10 of 1995 concerning Transit Visa, Visit Visa, Limited stay Visa, Entry Permit, Immigration Permit and also Guide Execution on Director-General Immigration Law Number F-309.Iz.01.10 of 1995 concerning Procedures, Lengthening of, Deduction, and Lose of Immigration Permit by mentioning children of ex-limited double nationalities as one of the owner subject of Limited Stay and Permanent Stay Permit.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 secara substansi jauh lebih maju dan
demokratis dari pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, karena dalam
pembentukan Undang-Undang tersebut telah mengakomodasi berbagai pemikiran
yang mengarah pada pemberian perlindungan warganegaranya dengan
memperhatikan kesetaraan gender, tapi yang tidak kalah penting adalah pemberian
perlindungan terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara
Indonesia dengan warga negara asing.1 Contoh perlindungan terhadap anak oleh
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan
ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan campuran sampai dengan batas usia 18
tahun dan setelah sampai batas usia tersebut, ia diwajibkan memilih salah satu
kewarganegaraannya, apakah tetap mempertahankan kewarganegaraan
Indonesianya ataukah memilih kewarganegaraan asingnya2
Dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya (Undang-Undang Nomor
62 Tahun 1958), ketentuan semacam itu tidak diatur, karena status anak hasil
perkawinan campuran ditentukan oleh garis keturunan ayahnya. Hal ini sesuai dengan
asas yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, yaitu asas ius sanguinis sebagai asas utama. Ketika seorang anak hasil dari perkawinan campuran
1 Wicipto Setiadi, Pembaharuan Undang-undang Kewarganegaraan RI,
itu menghendaki kewarganegaraan Indonesia, dilakukan melalui proses naturalisasi
setelah anak tersebut mencapai batas usia dewasa (21 tahun).
Selama ini pemerintah Indonesia mengatur perkawinan campuran antara
Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA)
berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
yang kemudian sejak tanggal 1 Agustus 2006 diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sedangkan mengenai
perkawinan antara Warga Negara Indonesia diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. UU ini memang cukup efektif dalam hal menangani
permasalahan perkawinan antara Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI).
Perbedaan yang mendasar antara UU No. 12 Tahun 2006 dengan UU No. 62 Tahun
1958 yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah
mengenai status kewarganegaraan ganda terbatas yang didapat oleh anak hasil kawin
campur antara WNI dengan WNA. Pada UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa
anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas
sedangkan pada UU No. 62 Tahun 1958 dijelaskan bahwa Indonesia tidak mengakui
adanya azas kewarganegaraan ganda (bipatriat). Dikatakan terbatas karena status kewarganegaraan ganda ini hanya diperuntukan bagi anak-anak subjek
kewarganegaraan ganda terbatas saja, tidak berlaku bagi seluruh WNI. Selain itu
menurut UU No. 12 Tahun 2006 ini, setelah anak hasil kawin campur tersebut
dewasa secara hukum Indonesia (berusia 18 tahun dan mendapat tenggang waktu 3
tahun sampai dengan usia 21 tahun) mereka diharuskan untuk memilih salah satu
Masyarakat Internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai hak
eksklusif karena adanya prinsip kedaulatan negara dalam batas wilayah negara yang
bersangkutan tanpa adanya keterikatan atau pembatasan dari hukum internasional.
Batas-batas wilayah negara merupakan salah satu manifestasi terpenting kedaulatan
teritorial suatu negara. Sejauh batas-batas ini diakui secara eksplisit oleh perjanjian
atau diakui secara umum, maka batas-batas tersebut merupakan bagian hak suatu
negara terhadap wilayah tersebut.3
Gejala yang ditimbulkan ini akan berlanjut pada pasangan perkawinan campur
ini memperoleh keturunan (anak). Karena anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan
campur ini memiliki orang tua yang masing-masing dinaungi oleh peraturan hukum
yang berbeda sesuai dengan kewarganegarannya.
Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 secara filosofi, yuridis dan sosiologis
sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik
Indonesia.
Secara Yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut
adalah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku, sejak
dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 05 Juli 1959 yang menyatakan ”kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945”. Dalam perkembangannya, Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin
perlindungan terhadap hak asasi dan hak warganegara.
Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo Tahun 1933 tentang Hak dan
Kewajiban Negara menyebutkan 4 (empat) kualifikasi negara, yaitu:
1. Penduduk yang tetap ( a permanent population); 2. Wilayah tertentu ( a defined);
3. Pemerintahan (a government);
4. Kemampuan hubungan dengan negara lain ( a capacity to enter into relations with orther States);
Hak dasar suatu negara menurut Starke adalah:4
1. Kedaulatan dan persamaan negara (independence and equality of states); 2. Yurisdiksi teritorial (territorial yurisdiction);
3. Mempertahankan diri (self-defence) atau mengembangkan diri (self-preservation); Kewajiban dasar (basic duties) suatu negara adalah:
1. Tidak menyatakan perang;
2. Tidak menyulut kerusuhan sipil di suatu negara;
3. Menaati hak asasi orang;
4. Melaksanakan sengketa secara damai;
5. Melaksanakan kewajiban dengan itikad baik;
6. Non-intervensi dalam persoalan dalam negeri lain.
Negara yang berdaulat memiliki hak dan kewajiban seperti yang dikemukakan
di atas, juga memiliki beberapa hak lain berupa kekuasaan, yaitu:
1. Kekuasaan eksklusif untuk mengendalikan persoalan domestik;
2. Kekuasaan untuk menerima dan mengusir orang asing;
3. Hak-hak istimewa perwakilan diplomatiknya di negara lain;
4. Yurisdiksi penuh atas kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya. 5
Bila dikaitkan dengan urusan pengaturan warga negaranya, maka kedaulatan
negara sebagaimana dikemukakan di atas merupakan pijakan utama untuk mengatur
dan mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban negara,
termasuk di dalamnya kekuasaan untuk mengatur orang asing.
Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
Internasional dalam lingkup global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan
dan kedudukan warganegara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan
gender.
Perkawinan campuran yang terjadi membawa masalah terhadap status
kewarganegaraan seseorang baik sebagai seorang suami, istri, maupun anak dari hasil
perkawinan tersebut. Setiap negara mempunyai asas yang berbeda–beda tentang
penentuan status kewarganegaraan seseorang yang mana status kewarganegaran
seseorang tersebut akan menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai warga
negara suatu negara. 6
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang pada dasarnya memiliki
5Ibid, hlm. 201-241.
denominator yang sama, yaitu kesepakatan untuk hidup bersama yang sah diantara
seorang pria dan wanita, ternyata dapat memiliki ciri-ciri atau aspek-aspek yang
berbeda-beda menurut sistem hukum terhadap mana perkawinan itu ditundukkan,
maka setiap sistem hukum harus menetapkan apakah persyaratan yang harus dipenuhi
untuk membentuk hukum suami isteri itu.7
Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945,
sementara saat ini UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin
terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga Negara. Sehingga UU No. 12
Tahun 2006 lebih cenderung menjadikan UUD 1945 sebagai landasan
konstitusionalnya. Secara sosiologis, UU No. 62 Tahun 1958 dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat internasional dalam pergaulan global yang menghendaki adanya
persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di mata hukum serta adanya
kesetaraan dan keadilan gender8.
Perbedaan yang mendasar antara UU No. 12 Tahun 2006 dengan UU No. 62
Tahun 1958 yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah
mengenai status kewarganegaraan ganda terbatas yang didapat oleh anak hasil kawin
campur antara WNI dengan WNA. Pada UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa
anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas
sedangkan pada UU No. 62 Tahun 1958 dijelaskan bahwa Indonesia tidak mengakui
adanya azas kewarganegaraan ganda (bipatriat). Ganda terbatas karena status
7Abdikoro, Perkawinan Campur Internasional Sebagai Masalah Hukum Perdata Internasional. 2005
kewarganegaraan ganda ini hanya diperuntukan bagi anak-anak subjek
kewarganegaraan ganda terbatas saja. Selain itu menurut UU No. 12 Tahun 2006 ini,
setelah anak hasil kawin campur tersebut dewasa secara hukum Indonesia (berusia 18
tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun) mereka
diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya.
Penjelasannya UU No. 12 Tahun 2006 ini menganut beberapa asas khusus,
yaitu:
Asas kepentingan nasional, yang menentukan bahwa peraturan
kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad
mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki tujuan dan
cita-citanya sendiri;
Asas perlindungan maksimum, yang menentukan bahwa pemerintah wajib
memberikan perlindungan penuh kepada setiap WNI dalam keadaan apapun baik
berada di dalam maupun di luar negeri;
Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, yang menentukan bahwa
setiap WNI mendapat perlakuan yang sama di dalam hukum pemerintahan;
Asas kebenaran substantif, dimana prosedur kewarganegaraan seseorang tidak
hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan persyaratan
permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya;
Asas non diskriminatif, yang tidak membedakan perlakuan terhadap warga
negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender;
Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dimana
manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya;
Asas keterbukaan, yang menentukan bahwa segala sesuatu yang berhubungan
dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka;
Asas publisitas, yang menentukan bahwa dalam hal seseorang mendapatkan
atau kehilangan kewarganegaraan RI harus diumumkan dalam Berita Negara RI agar
masyarakat mengetahuinya.9
Proses pembangunan membawa konsekuensi terjadinya proses perubahan dan
pembaharuan seluruh pranata sosial yang ada, termasuk peranata hukum.10
Pokok materi yang termuat dan diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan RI ini meliputi:
a) Siapa yang menjadi Warga Negara Indonesia;
b) Syarat dan tata cara memperoleh Kewarganegaraan RI;
c) Kehilangan Kewarganegaraan RI;
d) Syarat dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan RI;
e) Ketentuan pidana.
Selanjutnya mengenai tata cara memperoleh, kehilangan, pembatalan, dan
memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2007. Sedangkan khusus bagi anak
subjek kewarganegaraan ganda terbatas dalam hal pemberian fasilitas keimigrasian
diatur dalam Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09-IZ.03.10 Tahun
9 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, Bahan Sosialisasi UU No.12 Tahun 2006.
2006 yang kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan
HAM RI No. M.80-HL.04.01 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan,
dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian sebagai WNI yang berkewarganegaraan ganda
pada tanggal 13 Februari 2007.
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Kewarganegaraan, Kementerian
Hukum dan HAM RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan
Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Indonesia.11 Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, maka
diperlukan ketentuan yang berkaitan dengan keimigrasian bagi anak subyek
kewarganegaraan ganda terbatas yang dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Subyek Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang lahir
sebelum Undang-Undang / sebelum 01 Agustus 2006 (diatur dalam Surat Edaran
Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09-IZ.03.10 Tahun 2006 tentang Fasilitas
Keimigrasian Bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang lahir
sebelum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia).
2. Subyek Pasal 4 c, huruf d, huruf h, huruf l dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang lahir setelah
Undang-Undang / setelah 01 Agustus 2006 (diatur dalam Peraturan Menteri
Hukum dan HAM R.I No. M. 80-HL.04.01 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian sebagai Warga
Negara Indonesia yang Berkewarganegaraan Ganda).12
Add 1. Subyek Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada dasarnya
anak yang lahir sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 (sebelum 01
Agustus 2006) tidak secara otomatis mendapatkan Kewarganegaraan RI tetapi
dengan cara didaftarkan oleh orangtua / walinya kepada Menteri Hukum dan
HAM RI melalui Pejabat (Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
HAM RI) sesuai Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 junto
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006
tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia dan diberi waktu paling lama 4 (empat) tahun setelah
Undang-Undang ini diundangkan, dengan perkataan lain bahwa pada tanggal 01 Agustus
2010 mereka tidak dapat lagi menggunakan haknya untuk mendapatkan
Kewarganegaraan Republik Indonesia.13 Karena sifatnya sementara atau pada
hukum waktu tertentu akan tidak berlaku lagi, maka ketentuan ini diatur di
dalam Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09-IZ.03.10 Tahun
12 Peraturan Menteri Hukum dan HAM R.I No. M. 80-HL.04.01 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian sebagai Warga Negara Indonesia yang Berkewarganegaraan Ganda.
2006 tentang Fasilitas Keimigrasian Bagi Anak Subyek Kewarganegaraan
Ganda Terbatas yang lahir sebelum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Berdasarkan pada paparan di atas, maka timbul suatu permasalahan dibidang
keimigrasian, yaitu ketika anak-anak tersebut diharuskan untuk memilih salah satu
kewarganegaraan yang dimilikinya, kemudian memilih sebagai Warga Negara
Asing, namun masih ingin tetap tinggal dan menetap di Indonesia, maka diperlukan
suatu pengaturan mengenai izin keimigrasian bagi mereka untuk tinggal di
Indonesia. Berdasarkan atas hal tersebut, maka dalam usulan penelitian ini penulis
mengambil judul “Aspek Hukum Status Kewarganegaraan Anak Hasil Perkawinan Campuran Yang Lahir Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaran Republik Indonesia”.
B. Perumusan Masalah
Dalam penulisan perumusan penelitian mengenai anak hasil perkawinan
campuran yang lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No.12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi prinsip-prinsip kewarganegaraan dalam bidang
keimigrasian di Indonesia?
2. Bagaimana status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran yang lahir
sebelum dan sesudah berlakunya Undang Undang nomor 12 tahun 2006 tentang
3. Kebijakan apakah yang harus diambil oleh Direktorat Jenderal Imigrasi,
Kementerian Hukum dan HAM RI dalam menangani perbedaan pengaturan status
kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum dan
sesudah berlakunya Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Indonesia dalam hal pengaturan izin keimigrasian ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk dapat menerapkan dan mengetahui Implementasi prinsip-prinsip
kewarganegaraan dalam bidang keimigrasian di Indonesia
2. Untuk dapat menyelesaikan status kewarganegaraan anak hasil
perkawinan campuran yang lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
3. Untuk dapat menerapkan kebijakan yang perlu diambil oleh Direktorat
Jenderal Imigrasi yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM
RI di bidang keimigrasian dalam hal pengaturan izin keimigrasian bagi
subyek kewarganegaraan ganda terbatas.
D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat memeberikan manfaat teoritis
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian untuk
pengembangan studi ilmu hukum di bidang keimigrasian khususnya dalam status
kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran menurut Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006.
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan bagi
kalangan akademis, praktisi yang berhubungan dengan status kewarganegaraan
ganda terbatas.
E. Keaslian Penulisan
Penelitian yang dilakukan penulis bukanlah sebuah penelitian yang bersifat
baru. Dari berbagai penelitian yang terdahulu kususnya yang mengenai Undang
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia belum
disesuaikan peraturan perundang undangan secara lebih kuusus. Hal ini dikarenakan
hukum itu bersifat statis karena selalu mengalami perubahan.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka teori
Telah kita ketahui bahwa Indonesia memiliki letak geografis yang sangat
strategis, terletak di persilangan dunia. Maka dengan meningkatnya arus lalu lintas
internasional, Indonesia pun menjadi salah satu negara yang dijadikan perlintasan
dampak positif, seperti kemungkinan maju dengan pesatnya perekonomian Indonesia
maupun dampak negatif, seperti munculnya Transnational Organized Crime (TOC) yang meliputi perdagangan perempuan dan anak, money laundry, perdagangan
narkotika dan obat-obatan terlarang internasional, arus imigran gelap, sampai dengan
tindakan terorisme internasional14.
Jajaran Imigrasi Indonesia dituntut agar dapat bekerja lebih keras guna
menanggulang i dampak yang akan muncul dari globalisasi internasional yang
saat ini sedang berlangsung. Imigrasi harus lebih memperhatikan selective policy dimana hanya orang-orang yang bermanfaat bagi kepentingan negara dan masyarakat
Indonesialah yang dapat diizinkan untuk memasuki wilayah kesatuan Republik
Indonesia, seperti para investor asing, serta pihak-pihak lain yang dapat membawa
dampak positif bagi Indonesia.
Perkawinan campuran yang merupakan salah satu dampak dari era globalisasi
sebagai akibat dari maraknya arus migrasi internasional mempunyai potensi
permasalahan yang sangat besar karena masing-masing dari pelaku perkawinan
campuran ini memiliki status kewarganegaraan yang berbeda yang juga dinaungi oleh
peraturan hukum dari negara yang berbeda, demikian juga bagi kewarganegaraan
anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan campuran tersebut.
Adapun asas-asas yang dianut dalam undang-undang ini sebagai berikut :
1. Asas Ius Sanguinis ( Law of the Blood ) adalah asas yang menentukan kewarganegaaran seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara
tempat kelahiran.
2. Asas Ius Soli ( Law of the soil ) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam undang-undang ini. 15.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 12 tahun 2006 bila dibandingkan
dengan Undang-Undang No. 62 tahun 1958 adalah mengenai status kewarganegaraan
anak hasil kawin campur antara WNI dengan WNA, dijelaskan pada Undang-Undang
No. 12 tahun 2006 bahwa anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan
ganda namun terbatas sedangkan pada Undang-Undang No. 62 tahun 1958 dijelaskan
bahwa Indonesia tidak mengakui adanya azas kewarganegaraan ganda (bipatriat).
Dikatakan terbatas karena status kewarganegaraan ganda ini hanya diperuntukan bagi
anak-anak hasil perkawinan campur saja, tidak berlaku bagi seluruh WNI. Selain itu
menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 ini, setelah anak hasil kawin campur
tersebut dewasa secara hukum Indonesia (berusia 18 tahun dan mendapat tenggang
waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun) mereka diharuskan untuk memilih salah
satu kewarganegaraan yang dimilikinya. Dalam hal anak yang lahir sebelum
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 (sebelum 01 Agustus 2006) tidak secara otomatis
mendapatkan Kewarganegaraan RI tetapi dengan cara didaftarkan oleh orangtua /
walinya kepada Menteri Hukum dan HAM RI melalui Pejabat (Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI) sesuai Pasal 41 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006 junto Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01-HL.03.01
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia dan diberi waktu paling lama 4 (empat) tahun setelah
Undang-Undang ini diundangkan, dengan perkataan lain bahwa pada tanggal 01 Agustus 2010
mereka tidak dapat lagi menggunakan haknya untuk mendapatkan Kewarganegaraan
Republik Indonesia. 16
Selanjutnya akan dipaparkan beberapa teori yang mendukung dalam
pembahasan permasalahan usulan penelitian ini yaitu teori yurisdiksi, teori keadilan,
hukum positif dan teori tentang kewarganegaraan.
Keputusan pengadilan tidak hanya memiliki karakter deklarasi seperti yang
terkadang diasumsikan. Pengadilan tidak hanya ”menemukan” das Recht finden, hukum yang sudah selesai diciptakan; fungsi pengadilan bukan sekedar sebagai
”yurisdiksi”, yakni keputusan hukum dalam pengertian deklaratif. Penemuan hukum
hanya terjadi ketika norma umum yang akan diterapkan dalam kasus konkret mesti
dipastikan; dan bahkan pemastian ini memiliki karakter konstitusi, bukan hanya
deklarasi. 17 Oleh sebab itulah penelitian ini mengacu kepada teori yurisdiksi, karena
setiap orang baik WNI, WNA ataupun mereka yang memiliki kewarganegaraan
ganda yang berada di wilayah hukum Indonesia harus tunduk kepada peraturan
hukum di Indonesia.
Masyarakat Internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai hak
eksklusif karena adanya prinsip kedaulatan negara dalam batas wilayah negara yang
bersangkutan tanpa adanya keterikatan atau pembatasan dari hukum internasional.
Yuridiksi ini bersumber pada kedaulatan negara yang melahirkan
kewenangan/kekuasaan negara berdasarkan hukum internasional untuk mengatur
segala sesuatu yang terjadi dalam negara tersebut. Oleh karena itu arti yuridiksi
secara umum adalah “suatu kekuasaan, kemampuan, otoritas, hak serta wewenang
formal untuk mengambil tindakan melalui perangkat yang ada seperti pengadilan,
perundang-undangan berdasarkan hukum.
Menurut Aristoteles tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi
distributif, komutatif, vindikatif, kreatif, protektif dan legalis.18 Teori keadilan
menurut Aristoteles, merumuskan bahwa negara hukum adalah negara yang berdiri
diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan
syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan sebagai daripada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga
17 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung:Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hlm.261.
negara yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan
yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya.
Penggunaan hukum sebagai sarana implementasi kebijakan publik
dikarenakan hukum memiliki beberapa kelebihan, yaitu hukum bersifat rasional,
integratif, memiliki legitimasi, didukung oleh adannya mekanisme pelaksanaan dan
memiliki sanksi.19
Hukum telah lama ada dan keberadaannya telah diakui serta digunakan untuk
berbagai keperluan. Tetapi hukum yang benar – benar otonom di masyarakat kita
masih menjadi pertanyaan besar karena makna yang ada dibalik hukum yang
terbentuk (baik undang-undang ataupun peraturan lainnya) seringkali lebih dominan,
seperti unsur politik, ekonomi dan kepentingan lain dibandingkan makna hukum yang
bercirikan keadilan. Otonomi hukum perlu ditumbuhkan agar hukum sebagai suatu
sistem tersendiri mempunyai kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai
dengan kebutuhan masyarakat berupa keadilan dan tuntutan ilmu pengetahuan berupa
timbulnya teori hukum yang lebih komprehensif.
Hukum adalah tata aturan sebagai suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku
manusia beserta semua kondisi yang terkait dengan perilaku manusia. Dengan
demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal tetapi seperangkat aturan
yang memiliki suatu kesatuan, sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Obyek
dari hukum adalah norma hukum yang didalamnya mengatur perbuatan manusia, baik
dengan kondisi maupun konsekuensi dari kondisi tersebut. Hubungan antar manusia
hanya menjadi obyek dari hukum sepanjang hubungan tersebut diatur dalam norma
hukum. Tata aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan manusia akan kebahagiaan sosial.
Hukum dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Sejak jaman Yunani
dan Romawi sampai sekarang hukum mengalami perkembangan yang luar biasa yang
mungkin saja orang Yunani dan Romawi dahulu tidak akan dapat memperkirakan
hal – hal yang terjadi sekarang dalam bidang hukum. Perkembangan ini tidak bisa
dilepaskan dari sifat hukum yang selalu berada di tengan-tengah masyarakat
sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mengalami perkembangan.
Aliran hukum positif mendapatkan dasar-dasar filsafatnya dari aliran filsafat
Positif (Positivism) pada awal abad 19 yang dipelopori oleh antara lain Saint Simon, Aguste Comte dari Prancis dan Herbert Spencer dari Inggris. Perkembangan secara
fundamental aliran hukum positif dipelopori oleh dua tokoh terkemuka di bidang itu
yaitu John Austin dan Hans Kelsen.20
Menurut Austin, pertama, hukum merupakan perintah penguasa (law is a command of the law given). Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system). Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.
Penegasan lain diberikan oleh Hans Kelsen, yaitu pertama, hukum haruslah
dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik
dan sebagainya. Kedua, hukum termasuk dalam sollenskatagori (hukum sebagai
keharusan), bukan seinskatagori (hukum sebagai kenyataan). Orang menaati hukum karena memang harus menaati hukum sebagai perintah negara. Ketiga, hukum
sebagai kesatuan sistem peringkat (stifentheorie) yang sistematis menurut keharusan tertentu.21
Aliran hukum positif berdasar pada pandangan bahwa hukum tidak berdasar
dari Tuhan ataupun alam, melainkan dari manusia itu sendiri berdasar
kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat digali
dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat
masyarakat karena adanya perjanjian sosial. Aliran hukum positif memandang perlu
untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam pandangan kaum
positivisme, tidak ada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas
legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang. Pandangan
positivis berpegang teguh pada teori korespondensi tentang kebenaran. Menurut teori
ini, kebenaran adalah kesamaan antara teori dengan dunia nyata.
Hukum positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan
yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang semula
terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum positif mengajarkan bahwa
hukum positiflah yang mengatur dan berlaku di atas norma yuridis yang telah
ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk
memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengidentikkan antara keadilan
dengan legalitas yang didasarkan norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas
negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara
kebijaksanaan dengan etika dan mengidentikkan antara keadilan dengan legalitas
yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. Jadi
pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan
penting dalam dirinya yaitu :
1. Kekuasaan terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu;
2. Kekuasaan itu berakhir ketika kekuasaan suatu negara lain dimulai.22
Dalam konteks hubungan internasional prinsip kedaulatan negara (state souveregnity) merupakan salah satu prinsip penting di dalam hukum internasional bahkan termasuk salah satu prinsip atau doktrin juscogens.
Berbeda dengan Bodin, Hugo Grotius yang menulis sebuah karya “De Jure Belli ac Pacis” melihat doktrin kedaulatan dari aspek eksternnya yaitu kedaulatan dalam hubungannya dengan negara-negara lain, bahwa satu negara berada di dalam
suatu masyarakat negara dimana setiap negara mempunyai kemerdekaannya serta
adanya persamaan derajat. Pada masa kini hampir setiap negara di dunia menyadari
arti pentingnya hubungan antar negara di dalam masyarakat negara (state society). Kalau Bodin berpendapat bahwa kedaulatan itu adalah sebagai kekuasaan mutlak
(absolute) dan berada diatas hukum, maka Grotius berpendapat sebaliknya, yaitu adanya pembatasan-pembatasan terhadap fungsi kedaulatan dalam hubungan antar
negara. George Jellineck mengemukakan doktrin pembatasan sendiri oleh negara (the doctrine of the self-limitation of the state) yaitu :23
22 Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung:Alumni, 2003), hlm. 16-18.
Pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang
memberi penegasan terhadap bentuk hukum (undang-undang), isi hukum (perintah
penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan), dan
sistematisasi norma hukum.
Di dalam teori kewarganegaraan, syarat-syarat untuk berdirinya suatu negara
adalah adanya penduduk yang menetap (baik warga negara maupun orang asing),
memiliki daerah teritorial (wilayah yang diakui oleh negara lain), dan memiliki
pemerintahan yang berdaulat.
Menurut Austin Ranney, warga negara sebagai salah satu syarat berdirinya
suatu negara memiliki arti orang-orang yang memiliki kedudukan resmi sebagai
anggota penuh suatu negara dimana mereka dituntut untuk memberikan kesetiaannya
kepada negara itu, menerima perlindungan darinya, serta menikmati hak untuk ikut
serta dalam proses politik.
Pedoman untuk menentukan kewarganegaraan seseorang dapat dibagi menjadi
2 (dua) asas yaitu :
1. Penentuan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran
2. Penentuan kewarganegaraan berdasarkan perkawinan24.
Untuk mencegah melebarnya permasalahan menjadi tidak fokus maka penulis
hanya akan membahas mengenai penentuan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran
saja.
Penentuan kewarganegaraan seseorang berdasarkan kelahiran dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) asas, yaitu ius soli dan ius sanguinis yang masing-masing
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran orang tersebut
dan menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan garis keturunan / hubungan
darah.
Ius soli berasal dari bahasa latin “ius” dan “solum” yang berarti pedoman untuk menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat, daerah, domisili,
negara dimana orang tersebut lahir. Secara historis, ius soli merupakan asas kewarganegaraan yang paling tua. Sebelum banyak terjadinya perpindahan umat
manusia yang bergerak di suatu negara ke negara lain, dianggap apabila seseorang
dilahirkan di suatu negara maka orang tersebut otomatis menjadi warga negara dari
negara tersebut25.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, dimana kemajuan umat manusia
berdampak pada makin tingginya mobilitas antar negara, maka teori ini dianggap
tidak memadai lagi sebagai satu-satunya teori yang menentukan kewarganegaraan
seseorang. Atas dasar pertimbangan tersebut maka lahirlah teori lain untuk
menentukan kewarganegaraan seseorang, salah satunya adalah ius sanguinis.
Sama seperti ius soli, ius sanguinis pun berasal dari bahasa latin “ius” dan “sanguinis” yang memiliki arti pedoman untuk menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan hubungan darah atau garis keturunan. Bila suatu negara
menganut asas ini, maka siapapun anak dari warga negara tersebut, di manapun ia
dilahirkan, otomatis akan menjadi warga negara dari negara tersebut26.
25 Ibid, hlm. 154.
Konvensi Dewan Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989 tentang
Hak-Hak Anak pada artikel 7 menyebutkan bahwa anak harus didaftarkan segera setelah
kelahiran dan hak untuk memperoleh kebangsaan. Negara harus menjamin
implementasi hak-hak ini sehubungan dengan hukum nasional dan kewajibannya di
bawah pengawasan perangkat internasional yang relevan di bidang ini, khususnya di
mana anak di lain pihak tidak memiliki kewarganegaraan. Merujuk pada artikel di
atas, dapat dikatakan bahwa setiap anak mempunyai hak atas sebuah nama saat lahir
dan anak tersebut juga mempunyai hak untuk memperoleh kewarganegaraan.
Pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI
telah mengakomodir isi dari Konvensi Dewan Umum PBB tentang Hak-Hak Anak, di
mana status personal anak yang lahir di wilayah Indonesia, otomatis diakui sebagai
warga negara Indonesia.
Sejak disahkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang baru pada tanggal 11 Juli 2006, selain
menganut kedua teori kewarganegaraan tersebut di atas, Indonesia juga menganut
suatu teori kewarganegaraan lain yaitu ganda terbatas, dimana Indonesia mengakui
adanya kewarganegaraan ganda namun hanya diperuntukkan bagi anak subyek
kewarganegaraan ganda terbatas seperti yang diatur dalam Pasal 4 huruf c, huruf d,
huruf h, dan huruf l dan Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan RI. Mereka diperbolehkan untuk mengikuti kewarganegaraan
kedua orang tua / walinya, namun terbatas hanya sampai mereka berusia dewasa (18
tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun hingga berusia 21 tahun). Setelah itu
2. Konsepsi
Guna menghindari perbedaan penafsiran maka digunakan definisi operasional
sebagai berikut:
1. perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.27
2. Keimigrasian, adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau ke luar
wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah
Negara Republik Indonesia. 28
3. Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.29
4. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga
negara.30
5. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.31
6. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.32
7. Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu yang ditunjuk oleh
Menteri untuk menangani masalah Kewarganegaraan Republik Indonesia.33
8. Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.34
9. Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia,
Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Konsulat Republik Indonesia, atau
Perutusan Tetap Republik Indonesia.35
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode yuridis normatif36, artinya
cenderung menggunakan data sekunder yang diperoleh berdasarkan dari bahan
hukum primer yaitu peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan
kewarganegaraan ganda terbatas.
Spesifikasi yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan
permasalahan mengenai persamaan hak bagi anak hasil perkawinan campuran yang
lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Indonesia dan lebih lanjut menganalisis permasalahan tersebut
berdasarkan asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1) Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a) Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data berupa :
33 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (5) 34 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (6) 35 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (7)
(1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah berupa peraturan perundang-undangan
beserta peraturan pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 mengenai Keimigrasian, Undang-Undang nomor 62 Tahun
2006 mengenai Kewarganegaraan, Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang
Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI,
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.80-HL.03.01 Tahun
2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian
Fasilitas Keimigrasian sebagai WNI yang Berkewarganegaraan Ganda,
Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM Nomor M.09-IZ.03.10 Tahun
2006 tentang Fasilitas Keimigrasian Bagi Anak Subyek
Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang Lahir Sebelum Undang Undang
Nomor 12 Tahun 2006 dan lain sebagainya.
(2)Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian (tesis dan
desertasi), jurnal, makalah seminar dan karya ilmiah lainnya yang
berkaitan dengan keimigrasian.
(3)Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum
primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya.
Dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data, meneliti dan menyeleksi data
primer yang diperoleh langsung dari lapangan, terutama dari Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Kantor Imigrasi Medan,
praktisi hukum dan pihak terkait lainnya.
Guna mendukung penelitian, dilakukan pengumpulan data berupa studi
dokumenter dan wawancara. studi dokumenter dilakukan melalui bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Wawancara dilakukan
dengan beberapa pihak yang terkait dengan materi pokok penelitian, yaitu para
Pejabat Imigrasi dan beberapa ahli hukum dan lain sebagainya, dalam rangka
memverifikasi dan melengkapi hasil kajian dan observasi serta informasi yang
diperoleh.
2) Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis secara yuridis
kualitatif. yaitu bahwa perundang-undangan yang diberlakukan antara satu dengan
yang lain tidak saling bertentangan. Selain itu juga memperhatikan hierarki
perundang-undangan dan memperhatikan kepastian hukum. Artinya, menganalisis
persoalan-persoalan hukum keimigrasian baik dari aspek substansinya maupun aspek
implementasinya yang didasarkan pada prinsip konsistensi, sinkronisasi, hierarki
perundang-undangan dan prinsip kepastian hukum dengan menggunakan teori-teori,
konsep-konsep dan kaidah-kaidah hukum sebagaimana yang terdapat dalam kerangka
pemikiran guna memberikan jawaban terhadap identifikasi masalah37
BAB II
IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP KEWARGANEGARAAN DALAM BIDANG KEIMIGRASIAN DI INDONESIA
A. Keimigrasian 1. Definisi Imigrasi
Pengertian keimigrasian mengandung atau terdapat beberapa arti.
Perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain, telah berlangsung lama, hal ini
dari waktu kewaktu masa yang lalu, dapat kita pelajari melalui penelusuran sejarah
peradaban umat manusia.
Perpindahan manusia tersebut, dapat disebabkan beberapa alasan atau faktor,
antara lain : untuk memperbaiki dan meninggalkan taraf kehidupan ekonomi yang
lebih sejahtera.
Dalam perkembangan, migrasi manusia tersebut, dapat berupa masuk atau
keluar dari wilayah suatu negara. Perpindahan orang dari suatu tempat dan masuk ke
wilayah suatu negara disebut imigrasi, sedangkan sebaliknya emigrasi merupakan
perpindahan orang dari dalam suatu negara ke luar menuju ke negara lain.
Istilah imigrasi berasal dari bahasa latin migratio yang artinya perpindahan orang dari suatu tempat atau negara menuju ke tempat atau negara lain. Ada istilah
emigratio yang mempunyai arti berbeda, yaitu perpindahan penduduk dari suatu wilayah atau negara keluar menuju wilayah atau negara lain. Sebaliknya, istilah
immigratio dalam bahasa latin mempunyai arti perpindahan penduduk dari suatu
negara untuk masuk kedalam negara lain. Pada hakekatnya emigrasi dan imigrasi itu
menyangkut yang sama yaitu perpindahan penduduk antar negara, tetapi yang
berbeda adalah cara memandangnya. Ketika seseorang pindah ke negara lain,
peristiwa ini dipandang sebagai peristiwa emigrasi, namun bagi negara yang
didatangi orang tersebut peristiwa itu disebut sebagai peristiwa imigrasi.38
Definisi imigrasi menurut Oxford Dictionary of Law adalah “Immigration is the act of entering a country other than one’s native country with the intention of living there permanently”. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa perpindahan itu selalu mempunyai arti yang pasti, yakni untuk tinggal menetap dan mencari
nafkah di tempat yang baru. Oleh karena itu, bagi orang asing yang datang ke suatu
negara untuk tujuan wisata, bisnis, membawa misi kesenian atau misi olah raga, tugas
dari negaranya, atau hal-hal yang sejenis lainnya tidak dapat dikatakan sebagai
immigrant.
Sebuah Konferensi Internasional yang dilaksanakan di Roma pada tahun 1924
tentang migrasi dan imigrasi, memberikan definisi tentang imigrasi sebagai berikut :
“Emmigration and Immigration is human mobility to enter a country with its purpose to make a living or for residence”. Dari kalimat tersebut, pengertian emigrasi dan imigrasi adalah gerak pindah manusia memasuki suatu negara dengan niat untuk
tinggal menetap dan mencari nafkah di negara tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor: 9 Tahun
1992 tentang Keimigrasian, bahwa keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang
yang masuk atau keluar wilayah RI dan pengawasan orang asing di wilayah negara
RI.
Dari perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut diatas, bahwa
keimigrasian memuat 2 (dua) hal pokok yaitu:
a. Lalu lintas orang, baik orang asing maupun warga negara Indonesia yang
meliputi:
1) Mengatur setiap orang yang masuk ke wilayah Indonesia, baik warga negara
Indonesia maupun orang asing;
2) Memberikan legalitas keberadaan orang asing;
c) Mengratur setiap orang yang keluar wilayah Indonesia, baik warga Negara
Indonesia maupun orang asing.
b. Pengawasan orang asing di wilayah Indonesia, berupa pengawasan terhadap
orang asing yang masuk, keberadaan, kegiatan dan keluar dari wilyah Indonesia,
antara lain dapat menimbulkan 2 (dua) kemungkinan yakni:
1. Orang asing menaati peraturan yang berlaku dan tidak melakukan kegiatan
yang berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, hal ini tidak
menimbulkan masalah keimigrasian maupun kenegaraan.
2. Orang asing menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, hal ini menimbulkan tindakan hukum, berupa:
(a) Tindakan hukum pidana berupa penyidikan keimigrasian yang
(b) Tindakan hukum administrasi negara berupa tindakan keimigrasian
adalah tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses
peradilan. Termasuk bagian daripada tindakan keimigrasian ini adalah
diantaranya deportasi terhadap orang asing untuk keluar dari wilayah
yurisdiksi negar kesatuan Republik Indonesia.39
Dari berbagai uraian mengenai pengertian umum keimigrasian diatas, maka
dapat dinyatakan bahwa pada hakekatnya keimigrasian merupakan suatu rangkaian
kegiatan dalam rangka pemberian pelayanan dan penegakan hukum, serta
pengamanan terhadap lalu lintas keluar masuknya orang dari dan ke dalam wilayah
suatu negara, serta pengawasan atas keberadaan dan kegiatan orang asing selama
berada di negara tersebut.40
Bila dikaitkan dengan negara kesatuan Republik Indonesia, secara operasional
peran keimigrasian di Indonesia dapat diterjemahkan ke dalam konsep Tri Fungsi
Imigrasi.41 Konsep ini menyatakan bahwa sistem keimigrasian baik ditinjau dari sisi
budaya hukum keimigrasian, materi hukum keimigrasian, lembaga keimigrasian
organisasi, aparatur, mekanisme hukum keimigrasian, sarana dan prasarana hukum
keimigrasian, dalam operasionalnya selalu mengandung fungsi pelayanan, fungsi
penegakan hukum dan fungsi pengamanan.
39Yusril Ihza Mahendra, Deportasi Sebagai Instruyen Penegakan Hukum dan Kedaulatan Negara di Bidang Keimigrasian, (Jakarta: PT.Adi Kencana Aji, 2004), hlm.3.
40 Muhammad Iman Santoso, Perspektif Imigrasi, Dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2004), hlm. 21.