Oleh:
M. ADE SEPTIAWAN PUTRA NIM : 1110043200010
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM (PH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 “. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum , Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015.
Skripsi ini menjelaskan mengenai perubahan wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam penetapan jaminan produk halal dan Prospek kedepan dalam penentuan sertifikasi halal setelah lahir dan berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wewenang LPPOM dalam penetapan produk halal pasca berlakunya UU No.33 Tahun 2014.
Metode Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang tertulis, dimana perundangan yang menjadi objek penelitian dan sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan yang kemudian dianalisis oleh penulis.
Berdasakan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa terdapat perubahan wewenang LPPOM MUI sebelum dan sesudah berlakunya UU No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Sebelum berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 atau selama 23 tahun semenjak berdirinya LPPOM MUI, LPPOM MUI berwenang penuh atas penetapan sertifikasi halal namun pasca lahir dan berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal LPPOM MUI tidak lagi memiliki hak penuh atas pengeluaran dan penetapan sertifikasi jaminan produk halal, melainkan hanya sebagai mitra. Tidak bisa dipungkiri ,bahwa kebutuhan sertifikasi halal atau label halal sangat dibutuhkan di Indonesia ,terlebih masyarakat awam dan khususnya masyarakat muslim di Indonesia .karena dengan tersedia nya produk makanan halal, setidaknya konsumen,khususnya konsumen muslim tidak lagi khawatir akan adanya campuran bahan bahan yang mengandung zat berbahaya yang dilarang baik secara hukum negara maupun agama .
Kata kunci : Kewenangan, LPPOM MUI, sertifikasi halal, UU No.33 Tahun 2014
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penyusun panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di
Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, yang berhasil menyampaikan risalahnya kepada umat
manusia di seluruh dunia, pendobrak revolusi akbar dalam peradaban sosial
kehidupan kita yang kita harapkan syafaatnya kelak di akhirat.
Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun tidak berdiri
sendiri. Dalam arti, penyusunan banyak mendapatkan kontribusi dari pihak-pihak
lain. Untuk itu, penyusun menghaturkan ribuan terima kasih kepada:
1. Allah SWT dan Rasul Nya yang selalu memberikan nikmat dan
hidayah-Nya kepada seluruh hamba nya, serta menjadi tauladan bagi ummat hidayah-Nya.
2. Kepada orang tua penulis, ayahanda Abu Hasan dan ibunda Suryani
beserta kedua adik ku tercinta (A,Chandrika Jaya Kusuma dan Intan
Kesuma Ayu), Abang, saudara, serta semua keluarga besar penulis Di
lampung, terima kasih atas do’a, dukungan serta motivasi nya baik secara
moril maupun materil. dengan do’a yang kalian panjatkan akhirnya
sehingga penulis mampu menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.
4. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar ,MA Selaku dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Dr. Khamami Zada ,MA dan ibu Siti Hana MA ,Selaku Kepala
Jurusan Dan sekretaris jurusan Pebandingan Madzhab dan Hukum yang
telah membantu banyak hal kepada penulis.
6. Bapak Dr.H.Ahmad Mukri Aji ,MA Selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan dan
arahan kepada penulis. serta ikhlas meluangkan waktunya untuk
membimbing serta memberikan arahan dan masukan yang bersifat
membangun kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. semoga apa
yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat ganjaran dari allah
swt,amin ya rabbal alamin.
7. Pimpinan , Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah
dan Hukum Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi
kepustakaan.
8. Para dosen Fakultas Syaria’ah dan Hukum, para Guru. Asatidz dan
asatidzah yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, namun tidak
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) atau Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pusat beserta stafnya dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dan
Dewan Perwakilan Rakyat( MPR & DPR ) yg telah meluangkan waktu
dan mengizinkan, serta memberi kemudahan penulis untuk melakukan
Penelitian dalam Tugas Akhir ini .
10.Kanda Asep sholahuddin selaku senior saya di fakultas syari’ah dan
hukum sekaligus Ketua umum HMI cabang CIPUTAT periode 2013/2014,
Kanda Ridho Akmal Nasution Direktur LKBHMI cabang CIPUTAT
Periode 2010/2011,yg selalu menjadi inspirasi untuk penulis pribadi atas
kepribadian mereka berdua. Terima kasih kanda , telah mengajarkan saya
arti kekeluargaan, pengorbanan, perjuangan dan solidaritas yang tinggi
terhadap sesama .
11.Kakanda Humaedullah Irpan ,kakanda Ismail Fadilah (imung) ,kanda
Abiyuddin S.H ,kanda irpan pasaribu, kanda Ahmad Masyhud (Dimas)
direktur LKBHMI Periode 2015 ,kanda Fariz Abdurrahman, kanda
Muhammad Roies, kanda A.Zaki Al Fajri Nas ,kanda Kevin Dea Putra
,kanda Husnul Qari,yunda Sena Siti Arafiah S.sy ,Alan Novandi ,Abdul
Gopur ,Lisanul Fikri ,Muhammad irfan ,Asmu’I S.sy ,Taslim Aditiya
,A.Chaesal Regia, serta kawan kawan seperjuagan lainnya ,yg tidak bisa
12. Kawan-kawan dan Adik-adik Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Khususnya Komisariat Fakultas Syari’ah dan Hukum,dan umum nya HMI
se-CABANG CIPUTAT, pengurus Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI
Cabang Ciputat ,kanda Muhammad Adam ,kanda Aco ,kanda Wawan ,
kanda bryan, kanda Fikri Abdillah, kanda Andri, yang selalu membuat
penulis menjadi bersemangat dalam segala hal, dari kalian saya belajar
militansi dan solidaritas yang tinggi terhadap organisasi dan sesama.
Semoga Kita dipertemukan kembali dilain waktu dan kesempatan . Salam
INSTRUKTUR .
13. Kepada Puakhi Himpunan Mahasiswa Lampung (HML) tangerang
Selatan ,abang juned ,abang dayat, abang uchal ,abang indra hadi ,Saudara
Abdurrahman (bhe’el) selaku Ketua umum periode 2013/2014,adinda
Rahmat Ramdhani, (ketua umum HML terpilih 2015) Muhammad Afif
,Glamora lionda ,Pakuan ,Meiriza ,Rahmalia, Redno, Azriyani,
Nursolehah ,Lely , Syifa Conita, hanny , Zekha, Ilham Harsya ,suhendra ,
Zakia Nisa ,Libom, ipul, Radi , Merina Tri Okta ,Ecil , Mar’atu Sholehah
,Brilliant Al Tamin Al Deri,ibnu Nugraha Aris ,ryan dan puakhi yang lain
nya yg tidak bisa penulis sebutkan satu persatu .terimakasih telah memberi
semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. dari kalian saya
mimpi-organ intra kampus UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ,
terimakasih telah menjadi warna dalam dunia kampus di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, perbedaan bukan lah kendala untuk kita menjadi
Organisatoris sejati . dari perbedaan kita bisa bertukar fikiran dan
argument, Terimakasih telah memberi pelajaran kepada penulis pribadi
tentang apa itu DEMOKRASI . semoga kita dapat berjumpa kembali di
lain kesempatan dan waktu .
15.Kepada kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan
Hukum (BEM-FSH) diaz islami noor (presiden dema FSH periode
2015),dan Humaidi (Selaku wakil dema FSH periode 2015), Ketua HMPS
,fawwazul haqqie, ella lazim,Avicenna, Nurul Rizkillah pomalingo,
Muhammad Yusuf, Rhomi Prayoga , Kamilina khidmati ,budiarti
,budiman, adik adik Ilmu Hukum ,PMH ,SJS ,SAS,dan MUAMALAT
Angkatan 2014 ,yg selalu ada saat penulis membutuhkan sesuatu ,
terimakasih kawan kawan. Pertemanan kita tidak sampai disini . semoga
kita berjumpa dilain waktu dan tempat yang berbeda .
16.Terimakasih kepada Annisa fauziah yg selalu memberi semangat kepada
penulis dalam penulisan skripsi ini .
17.Semua teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2010, laka ramadhan
HALAMAN JUDUL ...
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Metode Penelitian... 7
E. Review Studi Terdahulu ... 12
BAB II PENGERTIAN HALAL DALAM ISLAM A. Halal dan Haram dalam Islam ... 15
B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Ummat Islam ... 25
C. Penentuan Kehalalan dalam Hukum Islam ... 33
BAB III PROFILE LEMBAGA A. Sejarah LPPOM MUI ... 35
B. Tugas dan Fungsi LPPOM MUI ... 42
C. Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI ... 46
B. Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No. 33 Tahun
2014 ... 68
C. Prospek Sertifikasi Halal di Indonesia ... 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 83
DAFTAR PUSATAKA ... 84
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya.
Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani serta
rohaninya. Sejak dahulu ummat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda dalam
persoalan makanan dan minuman ,apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh.1Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai ummat muslim
memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran islam banyak
peraturan yang berkaitan dengan “makanan”, dari mulai mengatur makanan
yang halal dan haram, etika makanan, sampai mengatur idealitas dan kuantitas
di dalam perut. Salah satu peraturan yang terpenting adalah larangan
menkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Mengonsumsi yang haram
atau belum diketahui kehalalannya akan berakibat serius, baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Sebagaimana hadis yang artinya,” setiap daging yang
tumbuh yang diperoleh dari kejahatan (jalan haram), makan neraka lebih layak
baginya.” (HR. Imam Ahmad)2
Seruan Allah kepada umat manusia agar menkonsumsi makananan
yang halal lagi baik dan menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya
kemaslahatan bagi umat manusia itu sendiri dalam Al Qur‟an dituliskan:
1
.Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers,2002), h.45 2
مني ِبُمٌّبدَعممبكَلمبهڰّ إم ناَطيڰّلام تاَوبطبخماوبع ِڰَّتماَّماِ يَطمااَحم ضرأامي فماڰّ ُماوبلبكمبساڰّلاماَهڱيَأماَي
٢م
)٨٦١مم:
:
بةَروبسمبةَرَقَِلا
)
Artinya : ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.”(QS Al-Baqarah: 2 :168).
Hikmah dibalik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal serta
keturunan dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan
terjaganya kemaslahatan tersebut seorang mukallaf diharapkan akan sanggup
menjalankan tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi ini dan akan
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dewasa ini, isu tentang produk makanan dan minuman yang
diharamkan dan berbahaya sedang mendapatkan perhatian masyarakat.
Produk-produk makanan instan, makanan cepat saji, restoran sampai jajanan
pasar merupakan hal yang rawan dicemari oleh jenis makanan yang tidak halal
baik dari segi bahan, maupun prosesnya.3 Tuntutan konsumen akan produk
halal belakangan memang semakin kritis, mereka tidak sekedar menuntut
produk yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi bagi yang
muslim, salah satu yang menjadi konsen mereka adalah juga kehalalannya dan
label halal pun menjadi ketentuan ,makanan tersebut dapat dikonsumsi atau
tidak.
3
Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nomor 518 tanggal
30 November 2001 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan
Halal, pemerintah kembali berusaha menerapkan labelisasi halal pada produk
makanan dan minuman. Keputusan tersebut disusul dengan SK 519 Tahun
2001 yang menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI)4 sebagai lembaga
pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal dan dikemas untuk
diperdagangkan. Selain itu, melalui SK Nomor 525 Tahun 2001, Menteri
Agama juga menunjuk peran percetakan Uang Republik Indonesia (PERURI)
untuk mencetak label halal yang nantinya akan diberikan kepada produk yang
dinyatakan halal oleh MUI.5
Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syariat Islam.6 Sertifikat halal ini merupakan
syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk
dikonsumsi oleh konsumen muslim . Pelaku usaha harus memenuhi syarat
tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI
untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal,
pelaku usaha memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan
pada label produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu
tertentu dan pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh
sertifikasi kehalalan produknya kembali.
4
Selanjutnya penulis menggunakan singkatan MUI untuk menyebutkan Majelis Ulama Indonesia
5
Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram (Malang: UIN-Malang,2007), h.iii 6
Dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI dalam
menentukan makanan mana yang dapat dan tidaknya di konsumsi, maka
makanan tersebut harus memenuhi syarat kehalalanya. Selain itu juga dalam
sertifikasi halal ini MUI menerapkan tarif untuk setiap makanan yang akan
diberikan sertifikat halal. Biaya tarif yang diterapkan oleh MUI dalam setiap
sertifikasi produk berkisar antara 3/4 juta rupiah. Biaya ini dirasakan cukup
mahal untuk dikeluarkan terutama bagi kalangan menengah ke bawah.
Predikat halal yang pada dasarnya merupakan ketentuan hukum islam
yang memiliki tujuan untuk melindungi dan menjaga kemaslahatan umat dari
perbuatan diluar hukum Islam. Namun sayang nya hal tersebut telah dijadikan
peluang untuk meraih keuntungan dengan dijadikannya sebagai objek bisnis.
Oleh karena itu kewenangan MUI ini telah menjadi bahan perbincangan yang
serius di Parlemen.
Peraturan Perundang Undangan di Indonesia menjamin Setiap
konsumen berhak untuk memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan suatu produk. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal
4 butir c UU Perlindungan Konsumen; bahwa konsumen berhak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau
jasa. Hak atas informasi ini sangat penting karena jika informasi yang
merupakan salah satu bentuk cacat produk, yakni disebut dengan cacat
instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai7.
Untuk itu penulis ingin memaparkan dalam skripsi ini tentang undang
undang sertifikasi halal yang sudah di sahkan oleh pemerintah, UU No.33
tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), kesesuaian ndengan
hukum Islam, Serta Kewenangan lembaga penjamin produk halal menurut
ketentuan Undang Undang No. 33 tahun 2014.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis ingin meneliti dan
membahasnya dalam skripsi yang berjudul: “KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI HALAL PASCA BERLAKU NYA UU NO. 33 TAHUN 2014’’
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan dalam skripsi ini,
penulis hanya memokuskan pada masalah Undang-Undang Sertifikasi halal
yang sudah di sahkan di DPR RI pada tahun 2014 dalam kajian hukum islam
dan kewenangan LPPOM MUI dalam UU No. 33 Tahun 2014.serta Prospek
sertifikasi halal di Indonesia.
Oleh karena itu rumusan masalah yang dikaji dalam perumusan
masalah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kewenangan LPPOM MUI pasca Undang-Undang No. 33
Tahun 2014 ?
2. Bagaimana Prospek Sertifikasi halal di Indonesia ?
7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a. Untuk mendeskripsikan halal dan haram dalam pandangan agama
islam.
b. Untuk menjelaskan kewenangan LPPOM MUI dalam
Undang-Undang No. 33 tahun 2014.
c. Untuk mengetahui bagaimana prospek sertifikasi halal di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberi manfaat
sebagai berikut:
a. Bagi penulis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus
pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan produk halal.
b. Secara praktis yaitu untuk mengetahui batasan-batasan
pengkonsumsian yang benar dan halal untuk menambah keyakinan
kepada konsumen terutama terhadap umat Islam dalam mengonsumsi
sesuatu.
c. Secara teoritis untuk mengetahui kewenangan LPPOM MUI dalam
Undang Undang No.33 tahun 2014.
d. Bagi akademisi, yaitu upaya menambah khazanah pengetahuan bidang
hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan lembaga penjamin
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah metode-metode yang dapat mempermudah dalam penelitian
yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif Tertulis,Metode
Penelitian Hukum Normatif Tertulis adalah metode penelitian hukum
terhadap aturan hukum yang tertulis. Pada penelitian hukum Normatif,
peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data
primer dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis
yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengumpulan bahan-bahan baik
yang terpublikasi atau tidak yang berkenaan dengan bahan hukum positif
yang dikaji dengan terkumpulnya bahan-bahan tersebut maka akan mudah
melakukan sistematisasi dan analisis selanjutnya.
Bahan pustaka lain yang merupakan berhubungan dengan tema
walaupun menjadi dasar yang dalam ilmu hukum digolongkan sebagai
data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi ,buku harian,
buku-buku, UU JPH, SK kemenag, LPPOM MUI, UU Perlindungan Konsumen,
buku buku yang berkenaan tentang halal dalam islam, Risalah Sidang,
sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
adapun data sekunder, sebagai berikut:
2. Opini yang Berhubungan Tentang Halal / JPH di indonesia
3. LPPOM MUI
Dengan adanya data sekunder tersebut ,seorang peneliti tidak perlu
melakukan penilaian sendiri.
Metode penelitian Hukum Normatif dapat berupa :
a. Sinkronisasi Hukum
Penelitian normatif memiliki 2 (dua) bentuk ,yaitu horizontal dan
Vertikal. Dalam kedua bentuk penelitian tersebut, penelitian
sinkronisasi hukum meneliti bagaimana hukum positif tertulis yang
ada dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sesuai.
Hal itu dapat ditinjau secara vertical, yakni apakah
perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak
saling bertentangan, apabila ia dilihat dari segi hirarki
perundang-undangan tersebut. Mengenai penelitian ini, dapat di pergunakan
sebagai titik tolak tata urutan peraturan perundangan Republik
Bagan No. 01Tentang Dasar Hukum
Hirarki peraturan perundangan yang ada di Indonesia
sebagaimana yang termaktub dalam UU No.12 Tahun 2012, Pasal 7
ayat 1. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut
adalah sesuai dengan hirarki. Dengan kata lain tidak boleh ada
pertentangan dari bawah .inti kajian pada sinkronisasi vertical ada
pada taraf peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan peraturan
perundangan di atasnya, misalnya UU dengan UUD 1945. Hal ini
sesuai dengan sistem konstitusi Indonesia yang menjelaskan bahwa
peraturan perundang-undangan yang tertinggi menjadi dasar dan
sumber bagi semua peraturan perundangan yang ada dibawahnya .
Berbeda dengan sinkronisasi Horizontal, dimana yang dikaji
adalah perundang-undangan yang setingkat dengan tingkatan
peraturan perundangan. Dengan kata lain penelitian sinkronisasi
horizontal, yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat
yang mengatur bidang yang sama atau bidang yang bersentuhan.
UU DASAR TAHUN 1945
UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU)
Peraturan Daerah Propinsi
Peraturan Daerah Kabupaten/kota
misalnya, antara UU perlindungan konsumen dan jaminan produk
halal.
b. Perbandingan Hukum
Kemajemukan hukum yang ada di Indonesia dimana ada Hukum
islam , Hukum Adat ,dan tentunya hukum positif . hal ini Sangat
menarik untuk dikaji dengan metode perbandingan hukum menjadi
suatu alternatif kajian.Kajian perbandingan hukum ini dapat dilakukan
terhadap sistem hukum yang mencakup 3 unsur pokok8
1. Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga Hukum
2. Substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah prilaku
3. Budaya hukum yang mencakup ,bagaimana hukum itu diperlakukan .
Dengan melihat pokok system hukum tersebut maka penelitian
perbandingan hukum tidak hanya dilakukan secara normatif belaka.
Karena membutuhkan kajian sosial lain untuk memahami mengapa
perbedaan itu terjadi dan dampak yang di akibatkan.9
2. Sumber Data Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari
berbagai sumber, sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu sumber penelitian yang diperoleh
secara langsung dari sumber asli. Sumber bahan hukum primer dapat
8
Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si, Dr.jaenal Aripin, M.Ag Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet ke-1, Jakarta tahun.2010
9
berupa opini subjek (orang) secara individu atau kelompok, hasil
observasi atau kegiatan dan hasil pengujian. Dalam hal ini peneliti
mengambil sumber hukum primer melalui:
1).Pedoman sertifikasi halal MUI
2).Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari
bahan kepustakaan.10 Bahan hukum terdiri atas buku-buku
(textbooks), jurnal-jurnal hukum dan hasil-hasil simposium yang
berkaitan dengan topik penelitian ini.11 Perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia UU Perlindungan Konsumen .
c. Bahan Hukum Terster
Bahan hukum terster adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.12
3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan studi pustaka (Library Research) yaitu penulis melakukan
10
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 94
11
Amirudin, H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) , h.30
12
pengumpulan data dengan cara menelusuri buku-buku dan
literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
4. Pengolahan dan Analisa Data
a. Metode Induktif yaitu suatu cara menganalisa yang bertitik tolak dari
data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat
umum.
b. Metode deduktif, yaitu logika yang bertitik tolak dari pengetahuan
yang bersifat umum, kemudian dijadikan titik tolak yang menilai suatu
fakta yang bersifat khusus atau konkrit.
5. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah
diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta 2012.
E. Riview Study Terdahulu
No Identitas Subtansi Perbedaan
1. Mahwiyah, Konsentrasi
Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum. 2010.
“Pengaruh
Labelisasi Halal Terhadap Terhadap Keputusan
Pembelian
Konsumen.”
Skripsi ini membahas bagaimana persepsi
atau pandangan
masyarakat (konsumen) terhadap label halal pada suatu prodak makanan dan juga membahas mengenai pengaruh label halal terhadap keputusan
konsumen (dosen
Fakultas Syariah dan
Hukum) dalam
membeli produk
makanan.
Perbedaan dengan
penelitian yang penulis
lakukan, penulisn
membahas mengenai
2. Hasyim As‟ari, Konsentrasi
Perbandingan
Mahzab Fikih
Fakultas Syariah dan Hukum. 2011.
“Kriteria Sertifikasi Makanan Halal Dalam Perspektif Ibn Hazm dan
MUI.”
Skripsi ini membahas mengenai kriteria atau persyaratan dalam pemberian halal oleh MUI dan kriteria halal menurut pendapat ibn Hazm.
Perbedaan dengan
penelitian yang penulis
lakukan, penulisn
membahas mengenai
bagaimana prosedur dan persyaratan sertifikasi halal oleh MUI dan bagaimana kesesuaian sertifikasi halal MUI dengan ketentuan pada Maqasid Syariah.
3. Zuriah binti
Semoni, Konsentrasi
Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum.2013.
”Implementasi
Aturan Produk Halal di Malaysia Berdasarkan Akta
730 Perihal
Dagangan 2011”
Skripsi ini membahas
mengenai peranan
Jakim di Malaysia dan Bagaimana Pelaksanaan dan Penerapan Akta 730 Perihal Dagangan 2011.
Perbedaan dengan
penelitian yang penulis lakukan, penulisan
membahas mengenai
bagaimana prosedur dan persyaratan sertifikasi halal oleh MUI dan bagaimana kesesuaian sertifikasi halal MUI dengan ketentuan pada Maqasid Syariah.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan
skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab sebagai
berikut: BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
BAB II Dasar hukum diantaranya membahas Halal dan haram dalam
Islam. Sertifikasi halal sebagai bentuk perlindungan umat Islam. Penentuan
Kehalalan dalam hukum Islam.
BAB III Tinjauan umum mengenai Sejarah LPPOM MUI, Tugas dan
BAB IV lembaga sertifikasi pasca Undang-Undang No. 33 Tahun
2014: Lembaga Sertifikasi Halal dalam UU No. 33 Tahun 2014, Kewenangan
dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No 33 Tahun 2014, Prospek
Sertifikasi Halal Di Indonesia, Lembaga Sertifikasi Halal dalam Undang
Undang No. 33 tahun 2014, kewenangan dan kedudukan LPPOM MUI Pasca
Undang Undang No. 33 Tahun 2014.
Halal adalah sesuatu yang (diperkenankan) atau boleh dikonsumsi, yang
terlepas dari ikatan larangan, dan dizinkan oleh pembuat syari‟ah untuk
dilakukan.1 Halal juga diartikan sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan
mendapat siksa (dosa).2 Sedangkan, haram adalah sesuatu yang dilarang oleh
pembuat syari‟at dengan larangan yang pasti, dimana orang yang melanggarnya
akan dikenai hukuman di akhirat, dan ada kalanya dikenai hukuman juga di
dunia.3
Hukum Islam mencakup berbagai dimensi abstrak dan dimensi konkret.
Dalam wujud memola yang bersifat ajeg dikalangan orang Islam sebagai upaya
untuk melaksanakan Titah Allah dan Rasulnya itu lebih konkret lagi, dalam wujud
prilaku manusia (amaliah), baik individual maupun kolektif, hukum Islam juga mencakup substansi yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial.
Dimensi dan substansi hukum Islam itu dapat disilang yang kemudian disebut
hukum islam dan pranata sosial 4 .
Terdapat catatan berkenaan dengan pengidentifikasian hukum Islam
dengan fiqh, atau sebaliknya. Hal itu mengundang berbagai komentar, bahkan
kecaman, terutama dari kalangan sarjana hukum yang memiliki kepedulian
1
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13 2Ma‟ruf Amin,
Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011) Cet.
Ke-3. h. 313 3
Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram(Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13 4
terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia. Sebagai contoh seperti
dikemukakan Mohammad Daud dan Yahya Harahap, ketika membahas tentang
beberapa masalah hukum Islam, yang berkenaan dengan diundangkan dan
berlakunya Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,5
menyatakan, bahwa manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang
dimaksud syari‟at Islam itu adalah fiqih Islam?. Syari‟at Islam adalah hukum
islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan fiqh adalah perumusan
konkret syari‟at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu pada tempat dan
suatu masa. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
Hal yang serupa dikemukakan oleh Harahap, ketika menyampaikan
informasi tentang latar belakang penyusunan dan perumusan hukum Islam (KHI),
yang menyatakan adanya kerancuan pemahaman dan penghayatan masyarakat
Islam Indonesia selama ini. Kerancuan itu tidak terbatas pada masyarakat awam
tetapi meliputi kalangan ulama dan lingkungan pendidikan serta perguruan–
perguruan tinggi Islam. Mereka selalu mengindentikan “fiqih” dengan “syariah”
atau “hukum Islam”. Pengindentikan fiqih dengan hukum Islam telah melahirkan
kekeliruan penerapan yang sangat keterlaluan. Dalam menghadapi penyelesaian
kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh pada
kitab – kitab fiqih.6 Rujukan utama mereka pada kitab-kitab fiqih ulama mazhab.7
5
Dapat dibaca tulisan Muhammad Daud Ali 1990 : 28 , dalam buku Cik hasan bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004)
6
Cik hasan bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004), h.39
7
Catatan kedua, berkenan dengan fiqih sebagai salah satu dimensi hukum
Islam dan sebagai Ilmu hukum. Secara umum fiqh didefinisikan sebagai ilmu
tentang hukum syara‟ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil – dalil
yang rinci 8 Namun juga diartikan sebagai kumpulan hukum tentang hal yang
bersifat praktis yang digali dari dalil yang rinci9, sebagaimana dikemukakan oleh
„Abd Wahab Kallaf. Apabila fiqih didefinisikan sebagai ilmu, maka dinyatakan
secara deskriptif. Bahwa Ia merupakan wacana intelektual dengan menggunakan
cara berfikir tertentu, tentang penataan kehidupan manusia. Apabila
diindentifikasi sebagai hukum merupakan kumpulan hukum, atau sebagai salah
satu dimensi hukum Islam. Yakni produk pemikiran fuqoha yang dijadikan salah satu dalam penataan kehidupan manusia .10
Menurut Asaf Fyzee, syariah dapat diartikan kedalam bahasa inggris
sebagai canon law of Islam, keseluruhan perintah Allah. Perintah itu dinamakan
hukm (jamaknya ahkam). Sedangkan fiqih atau ilmu hukum Islam adalah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban seseorang seagaimana diketahui
dalam Al-Qur‟an dan sunah, atau yang disimpulkan dari keduanya, atau tentang
apa yang telah disepakati oleh kaum cerdik pandai. Sementara itu menurut „Abd
Al-„Ati, hukum Islam mempunyai fungsi ganda, yaitu fungsi syariah dan fungsi
fiqih. Syariah merupakan fungsi kelembagan yang diperintahkan Allah untuk
dipatuhi sepenuhnya, atau saripati petunjuk Allah untuk perseorangan dalam
8
Al-ilmu bil ahkam assyar‟iyah al-amaliyyah al-mukhtasabu minn adillatiha al tafshiliyah 9al majmu‟atu al
- akhkami assyariyati al-amaliyyati al-mustafaadatu min adillatiha atafshiliyah
10
mengatur hubunganya dengan Allah, sesama manusia dan dengan semua mahluk
didunia ini. Sedangkan fiqih produk daya pikir manusia, fiqih merupakan usaha
manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan
prinsip-prinsip syariah secara sistematis.
Berkenaan dengan hal itu, maka fiqih merupakan produk daya nalar
fuqaha, yang di deduksi dari sumber yang autentik kemudan dijadikan patokan
kehidupan yang dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang
sangat panjang. Ia disosialisasikan dan memberikan makna Islami terhadap
pranata sosial yang tersedia atau, bahkan, menjadi cikal bakal pranata sosial yang
baru. Produk pemikiran para fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di kalangan
umat Islam sehingga terdapat kecendrungan dikalangan mereka bahwa fiqih
indentik dengan hukum Islam dan dapat ditemukan dalam berbagai kitab fiqih dari
berbagai aliran mazhab.11
Dalam tradisi pemikiran fuqaha, pemilahan fiqih memilki dasar yang kuat
dan jelas. Pada awal perumusannya, fiqih mencakup 4 bidang yakni,
Rubu’ibadah, rubu’ munakahah, rubu’ muamalah, dan rubu’ jinayah. Ia
kemudian dikembangkan kebidang lain, diantaranya fiqih siyasah dan fiqih
qadha‟. Selanjutnya fiqih dijadikan salah satu sasaran pengkajian dalam “pohon ilmu” agama Islam, dalam lingkungan sekolah, madrasah, pesantren, dan unit
penyelenggara pengkajian Islam diluar penyelenggaraan pendidikan. Bahkan
dalam lingkungan perguruan tinggi agama islam, khususnya pada lingkungan
Fakultas Syariah, fiqih menjadi salah satu bidang keahlian yang dikembangkan
11
dalam beberapa program studi (Akhwal Syaksiyyah, Muamalah, Jinayah dan
Siyasah,serta perbandingan mazhab dan hukum).
Berkenaan dengan kedua catatan di atas diharapkan kedudukan dan posisi
masing-masing menjadi jelas. Dimensi dan subtansi hukum Islam, bagaikan
bentuk dan isi. Gabungan keduanya dipandang sebagai aspek statis hukum Islam.
Sedangkan aspek dinamisnya terlihat dalam proses pemikiran dan interaksi
pengguna hukum Islam dalam kehidupan masyarakat yang amat luas dan rumit,
terutama dalam sistem masyarakat bangsa, baik dalam perspektif masa lalu dan
masa kini maupun prospeknya pada masa datang.
Hukum Islam berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber
ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur‟an dan kitab-kitab hadist.
Kedua sumber itu kemudian dijadikan patokan dalam menata hubungan antar
hubungan sesama manusia dan antar manusia dan mahluk lainnya.
Hukum, sebagai unsur normatif dalam penataan kehidupan, dalam
bentuk dan jenis apapun, berkenaan dengan pengaturan dan kekuasaan.
Sedangkan kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi atau
mengarahkan manusia untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan sesuai
dengan kehendak (perintah atau larangan) yang berkuasa. Berkenaan dengan hal
itu, kekuasaan melekat pada Tuhan, melekat pada manusia dan melekat pada
organisasi masyarakat yaitu negara. Hal itu menunjukan bahwa kekuasaan itu
bervariasi baik graduasinya maupun kawasannya. Oleh karena itu, daya atur,
daya ikat dan daya paksa hukum dalam penataan kehidupan manusia tergantung
atur dan daya ikat yang longgar dan adapula yang kuat. Disamping itu ada yang
memiliki daya paksa walaupun dalam batas-batas tertentu.
Prinsip dan fungsi hukum Islam dan Hubungannya dengan keyakinan dan
kekuasaan, pada penjelasan diatas, menjukan bahwa hukum, dalam hal ini hukum
Islam, dibangun atas prinsip tawhid „l-lah. dengan prinsip itu, ia memiliki beberapa fungsi. Pertama fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan (
al-qudrah) dan kehendak (al-iradah) Allah dan Rasulnya kedalam nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun
secara kolektif.
Prinsip itu menjadi dasar dan landasan dalam rumusan kaidah hukum
yang mnegatur tentang apa yang harus dilakukan (al-„awamir) dan apa yang
dilarang dan mesti ditinggalkan (al-nawahi) oleh manusia. Kedua, fungsi mengatur berbagai kehidupan manusia yang diinternalisasikan kedalam pranata
sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi
mengikat manakala melakukan transaksi (al-„uqud) diantara manusia, baik antara individu (al akhwal al syakhshiyyah), maupun antar individu dengan masyarakat
termasuk yang berkenaan dengan hak-hak kebendaan (al-madaniyah), dengan berpatokan dengan hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh
kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini penyelenggara
dan aparatur negara, seperti badan peradilan (al- qadha’).
Berkenaan dengan graduasi dan kawasan hukum Islam dapat dipilah
menjadi beberapa dimensi. Ia merupakan wujud hukum yang relatif konkret,
memproduknya. Dimensi-dimensi hukum Islam itu adalah: syari’ah, ilmu, fiqh,
fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha, dan adat.12
1. Dimensi syariah
Berdasarkan prinsip dan fungsi di atas, sumber hukum (mashadir al ahkam
atau al-adillah al-syari’ah) yakni ayat-ayat Al-Qur‟an (kalam Ilahi) mencakup ayat akidah dan ayat hukum kemudian diimplementasikan dalam sunah rasulullah
(yang didokumentasikan dalam berbagai kitab hadist), dipahami sebagai hukum
Islam. Ia dideduksi dari kedua sumber itu, dengan dasar pandangan bahwa Allah
dan Rosulnya memilki kekuasaan dan bentuk mengatur kehidupan manusia (
Al-Syar’i) dalam berbagai aspeknya.
Hukum yang didasarkan pada kedua sumber itu dikenal sebagai syari’ah.
Ia merupakan dimensi hukum Islam yang utama, yang menjadi sumber dalam
pembentukan dan pengembangan hukum Islam dimensi lainnya, dan menjadi
patokan dalam mengarahkan dan memberi makna terhadap berbagai pranata
sosial. Ia bersifat universal dan abadi, memilki daya atur dan daya ikat terhadap
orang-orang yang beriman dan ia menjadi rujukan serta tolak ukur bagi dan
terhadap hukum Islam dalam dimensi lainnya.
2. Dimensi Ilmu
Upaya untuk mengeluarkan hukum (istinbath al-ahkam) dari kedua sumber diatas, disusun berbagai perangkat dengan menggunakan cara berpikir
tertentu, terutama cara berpikir logis. Dengan mengacu kepada kedua sumber
hukum diatas, disusun dan metode dan alat memahami ayat dan hadis hukum.
12
Oleh karena itu, dikenal hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah (al-„ilm)
postulat yang digunakan bahwa ulama yang menyusun dan merumuskannya,
memiliki kekuasaan (baca: otoritas atau kompetensi) ilmiah di bidang hukum Islam.
Oleh karena dimensi hukum Islam sangat lentur, maka daya atur dan daya
ikat amat longgar. Hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah memiliki
unsur-unsur subtansi, informasi dan metode sebagai penyangga utamanya. Ia
menjadi bagian sistem keilmuan yang bersifat universal dan otonom, tanpa terikat
oleh sistem sosial manapun. Ia seolah-olah anti struktur, dan hanya menjadi
konvensi dikalangan komunitas ilmiah (ulama). Termasuk dalam dimensi ini,
falsafah hukum, ilmu ushul fiqh,13 ilmu fiqh dan tarikh tasyri’ yang belakangan
ini dapat diindentikan dengan apa yang disebut sebagai sejarah sosial hukum
islam.
3. Dimensi Fiqh
Salah satu hukum islam yang dikenal di masyarakat, baik umat Islam
maupun komunitas ilmiah adalah fiqh. Ia merupakan produk penalaran fuqaha
yang dideduksi dari sumber (ayat Al-Qur‟an dan teks hadis) yang otentik. Produk
pemikiran mereka didokumentasikan dalam berbagai kitab fiqih yang disusun
secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan. Mulai dari thaharah
sampai jihad. Ia dapat diidentifikasi sebagai kumpulan hukum yang bersifat praktis (amaliah atau terapan).
13Mahdi Fadhl„i
Sementara itu, menurut al-„Asymawi, fiqih memiliki beberapa
karakteristik. Pertama, selalu disajikan sebagai suatu yang unik, yang tidak dapat
dibandingkan dengan kebudayan-kebudayan lain. Tetapi sebetulnya fiqih sangat
dipengaruhi oleh hukum yurisprudensi Romawi-Bizantium.
Kedua, mula-mula fiqih berkembang secara kasuistis, tanpa rencana dan
sistem, karena itu tidak mempunyai teori tentang hukum, politik atau ekonomi
selain yang dikembangkan oleh imam syafi‟i. Ketiga, fiqih kurang memberi
kebebasan kepada fuqaha karena situasi-situasi politik sepanjang sejarah Islam.
Keempat, ada kekurangan indenpendensi ijtihad, disebabkan oleh banyak faktor
luar. Keadaan ini memaksa fuqaha untuk tidak mencari pendapat baru tetapi
mencari hilah. Kelima, pembaruan hanya terbatas pada pemilihan terhadap
pendapat-pendapat dalam berbagai mazhab, pandangan yang mengindentikkan
fiqih dengan hukum Islam.
Pandangan yang mengindentikan fiqih dengan hukum Islam, sebagaiman
dikemukakan di atas, ditunjang oleh beberapa hal:
a) Berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis yang terantum secara eksplisit dan otentik.
b) Tersusun secara tematik. Mencakup unsur hukum taklifi dan hukum wadh’i. c) Mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, disertai dengan kaifah
masing-masing dalam berbagai hal pararel dengan pertumbuhan dan
d) Bersifat praktis („amaliyah) sehingga mudah diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Fiqh dijadikan rujukan dalam menghadapi maslah hukum yang
memerlukan pemecahan segera.14
e) Terdokumentasi dalam kitab-kitab fiqih, yang tersebar pada berbagai mazhab.
f) Diajarkan dalam berbagai lingkungan.
4. Dimensi Fatwa
Dimensi lain dari hukum Islam itu adalah fatwa ulama (al ifta). Ia merupakan respon ulama atas pertanyaan yang diajukan. Salah satu ciri fatwa
adalah kasuistis dan parsial. Berkenaan dengan hal itu, fatwa tidak memiliki daya
ikat bagi penataan kehidupan manusia, termasuk bagi pemohon fatwa itu sendiri,
hanya mengikat secara moral. Namun demikian, kebutuhan terhadap fatwa
semakin meningkat berkenaan dengan munculnya berbagai masalah dalam
kehidupan masyarakat.
Fatwa-fatwa MUI misalnya, merupakan respon ulama terhadap
perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia, berkenaan dengan perubahan
sosial yang dirancang secara nasional 15. Penelitian tentang fatwa Muhamadiyyah
dan Nadlatul Ulama dapat disimak dalam tulisan Rifyal Ka‟bah16. Sedangkan
penelitian tentang fatwa Persatuan Islam dalam tulisan Dede Rosyada17.
Disamping itu dikenal berbagai himpunan dan pembahasan tentang fatwa,
diantaranya dihimpun dalam Muhimmat al-Nafais fi Bayan As’ilat Al hadits.18
14
Yusuf Qhardawi ,Halal dan Haram , cetakan 1995 15
Lihat tulisanMuhammad Atho Mudzhar. 1993:83-84 16Lihat Tulisan Rifyal Ka‟bah 1999
17
Lihat tulisan Dede Rosyada (1999) 18
Dewasa ini, ketika produk industri makanan, minuman, dan kosmetika
dilakukan secara besar-besaran dan bervariasi, serta dipromosikan secara gencar,
MUI bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan RI dan didukung oleh kalangan
perguruan tinggi, melakukan pengujian terhadap produk industri itu. Dalam
bidang pangan, makanan dan minuman kemudian didirikan sebuah Lembaga yang
menangani hal tersebut, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan
Kosmetika (LPPOM). Dalam proses tersebut dilakukan kerjasama oleh MUI,
pemerintah, dan pengusaha atau pelaku usaha (produsen). Berdasarkan hasil
pengujian itu dikeluarkan fatwa ulama tentang kehalalan produk, yang kemudian
disertifikasi halal bagi produk itu. Fatwa yang dikeluarkan hanya memiliki daya
atur setelah dilegalisasi oleh MUI dalam kedudukannya sebagai satuan
administrasi Islam.
5. Dimensi Nizham
Dimensi lainnya adalah tatanan atau sistem hukum (al-nizham). Ia merupakan suatu kompleks hukum Islam yang tumbuh dan bekembang didalam
kehidupan masyarakat. Mencakup materi hukum, bagaimana penerapan hukum,
institusi dan badan penyelenggara penerapan hukum, dan sarana penunjang dalam
penerapannya.
B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Umat Islam
Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu tidak
dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka atau rasa tidak suka. Sebab,
tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang Agama. Perhatikan firman Allah berikut:
)
فارْعٔاا
:
٧
:
٣٣
(
Artinya:“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (mengharamkan,) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S al a’raf: 7 :33)
Imam ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin mas’ud bahwa rasulullah saw ,bersabda
َّحادحا
ال
و
ً݈طب
ا݅و
اݎ݊݅
رݎًظ
ا݅
شحاوفلا
مَرح
كل
݂ف
ها
݈݅
ريغًا
دحا
ال
(
ْ݄݂س݅و
ْياخ۴ْل
او
)
ها
݈݅
܃د݆لا
يلا
Artinya : “Tiada Yang lebih cemburu dari pada allah .oleh karena itu ,dia mengharamkan perbuatan yang keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
dan tiada yang lebih menyukai pujian selain allah .” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dikemukakan dalam shahihain. Pembicaraan ihwal perkara yang
berkaitan dengan aneka perbuatan keji , baik yang tampak maupun yang
tersembunyi telah dikemukakan dalam surat al an’am ayat 151. Firman Allah
Ta’ala “perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar .”
Al-itsm berarti aneka kesalahan yang berkaitan dengan si pelaku itu sendiri. Al-Baghyu berarti menzalimi manusia tanpa alasan yang benar.
Firman Allah Ta’ala “Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
dalam menyembahnya” dan mengada adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui” berupa perbuatan mengada ada dan dusta seperti menetapkan anak
kepada Nya dan hal lain yang tidak kamu ketahui. Ayat ini seperti ”maka jauhilah
berhala berhala yang najis itu.”19
Dalam Firman-Nya yang lain secara tegas melarang tahakkum (penetapan hukum tanpa didasari argument, dalil) ini dapat dipahami dari ayat berikut:
(
ْ݀حَ݊لا
:
٦١
:
٦٦١
)
Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.(Q.S an nahl: 16 :116)
Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba hamba nya agar memakan
rezekinya yang halal lagi baik dan mensyukurinya. Selanjutnya Allah Ta’ala
menerangkan makanan yang diharamkan kepada mereka karena membahayakan
mereka, baik bahaya yang menyangkut agama maupun dunia. Makanan yang
diharamkan itu diantara nya bangkai, darah,daging babi, dan apa yang disembeih
dengan menyebut nama selain Allah.
Kemudian Allah melarang hambanya untuk menghalalkan dan
mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan mereka semata dan
mengharamkan nama nama yang mereka istilahkan sendiri, seperti bahirah,
sa’ibah, washilah dan haam yang mereka ciptakan pada masa jahiliah. Maka
Allah berfirman “ dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut
sebut oleh lidahmu secara dusta „ini halal ini haram’ , untuk mengada adakan
kebohongan terhadap Allah .” termasuk dalam kategori ini maka apa yang mereka
ciptakan sebagai bid’ah dengan Menghalalkan yang haram dan Mengharamkan
yang halal20.
Atas dasar itu penentuan halal haram hanyalah hak Prerogatif Allah. Dengan
kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu termasuk bidang pangan,
harus didasarkan pada Al-Qur’an, sunnah dan kaidah-kaidah hukum.Dari sini
timbul pertanyaan, dapatkah setiap orang mengetahui mana pangan yang halal dan
mana pangan yang haram dengan hanya mencukupkan diri merujuk pada
Al-Qur’an dan Sunnah?. Jika pada saat ini kehalalan pangan merupakan suatu
persoalan yang rumit, karena jenis dan bahan pangan yang halal dan mudah
dikenali, serta cara pemerosesannya pun bermacam-macam.
Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan peralatan
yang canggih, kiranya dapat dikategorikan kedalam kelompok pangan yang tidak
mudah diyakini kehalalannya. Apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri
yang penduduknya mayoritas non-muslim, sekalipun bahan bakunya berupa bahan
suci atau tercampur, menggunakan atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang
tidak suci atau tercampur dengan bahan haram.
Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak
setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya secara pasti halal
tidaknya suatu produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika. Karena untuk
mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang
pedoman atau kaidah-kaidah syariah Islam, itulah kiranya apa yang jauh-jauh hari
telah disinyalir oleh Nabi SAW, dalam sebuah hadist popular :
݈يب مارحلا و ݈يب ܿاحلا
Artinya: “Halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas.
Hadis ini menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah jelas
kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamkannya. Disamping itu,
dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal yang samar-samar
(syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh banyak orang. Bagi umat Islam, hal tersebut yakni hal atau pangan kategori
syubhat, tidak dipandang sebagai persoalan yang mendapat perhatian besar dan
serius.
Oleh karena tidak setiap orang dapat dengan mudah mengetahui kehalalan
atau keharaman suatu pangan sebagiamana dikemukakan diatas, maka peranan
ulama sebagai kelompok orang yang dipandang memiliki pengetahuan memadai
tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk memberikan penjelasan (fatwa)
kepada masyarakat luas mengenai status hukum pangan tersebut.
Fatwa produk halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh komisi fatwa MUI
mengenai produk pangan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Fatwa tersebut
ditetapkan setelah dilakukan serangkaian pembahasan dalam rapat komisi fatwa
yang didahului dengan laporan hasil auditing oleh LPPOM. jika rapat memandang
aspek bahan maupun dalam proses produksinya. Setelah akan ditetapkan
kehalalannya, serta dibuat satu keputusan fatwa untuk produk-produk yang
diputuskan dalam rapat secara tertulis. Selanjutya, untuk setiap produk dari suatu
produsen dibuatlah satu sertifikat yang disebut dengan sertifikat halal.
Sertifikat halal ini berlaku untuk jangka waktu dua tahun dengan syarat
produk tersebut tetap memenuhi standar atau kriteria sebagaimana dilaporkan
pada saat rapat komisi fatwa. Setelah dua tahun, atau jika ada perubahan bahan,
produk bersangkutan harus diproses kembali untuk memperoleh setifikat baru.
Hal ini demi terciptanya kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu
produk makanan minuman dan obat obatan. Semua peraturan yang ada untuk
kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk.
Sebagaimana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada Bab III
pasal 4 ayat (a). bahwa pengkonsumsi makanan, minuman dan obat-obatan
mempunyai hak dilindungi, memiliki hak kenyamanan dalam mengkonsumsi
suatu produk, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam.
Oleh sebab itu, bagaimana sinergisitas antara pemerintah dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dapat berjalan beriringan untuk mengontrol pelaku usaha yang
ada di Indonesia.
Telaah atas perlindungan konsumen muslim atas produk barang dan jasa
menjadi sangat penting setidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
Pertama, bahwa konsumen Indonesia mayoritas merupakan konsumen beragama
Islam yang sudah selayaknya mendapatkan perlindungan atas segala jenis produk
Berdasarkan hal tersebut, maka konsumen muslim harus mendapatkan
perlindungan atas kualitas mutu barang dan jasa serta tingkat kehalalan suatu
barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Kedua, bahwa Pemerintah
Indonesia sudah harus melakukan upaya aktif untuk melindungi
konsumen-konsumen yang mayoritas beragama Islam. Perlindungan konsumen-konsumen merupakan
hak warga negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk
melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan baik.
Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik telah
terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 168:
ني ِبُمٌّبدَعممبكَلمبهڰّ إم ناَطيڰّلام تاَوبطبخماوبع ِڰَّتماَّماِ يَطمااَحم ضرأامي فماڰّ ُماوبلبكمبساڰّلاماَهڱيَأماَي
م
)٨٦١مم: ٢: بةَرَقَِلامبةَروبس )
Artinya: “Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syetan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”( QS
Al-Baqarah : 2 : 168)
Berdasarkan ayat tersebut di atas, maka terdapat garis hukum, yaitu:
Pertama, bahwa perintah ditujukan bagi manusia, tidak saja kaum muslim. Kedua,
bahwa manusia diwajibkan memakan makanan yang halal dan baik. Ketiga,
bahwa mengikuti langkah-langkah setan yang merupakan musuh utama manusia.
Konsep makanan berdasarkan ayat itu tidak sekedar halal, baik dari cara
memperolehnya, mengolahnya, hingga menyajikannya. Tetapi makanan juga
harus baik, baik secara fisik yang diharapkan tidak mengganggu kesehatan yang
mengkonsumsinya. Hal menarik adalah bahwa konsep makanan juga terkait
dengan nilai ketuhanan, bahwa ketika kita menolak memakan-makanan yang halal
setan adalah musuh nyata manusia. Allah menyatakan tentang kehalalan pangan
tertuang dalam Al-Qura’n Surah Al Maidah )5( ayat: 3.
(
:
اْ݆لا
۵دئ
:
٥
:
٣
)
Artinya :“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(Q.S Al-Maidah :5 : 3)
Berdasarkan ayat tersebut maka dapat kita klasifikasikan atas segi fisik
hewan, meliputi: bangkai, darah, dan daging babi. Serta klasifikasi atas cara atau
proses, meliputi: hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, hewan yang
tercekik, hewan dipukul, hewan yang jatuh, hewan yang ditanduk dan hewan yang
diterkam binatang buas. Tujuan pelaksanaan konsumsi yang harus diperhatikan,
fisik hewan: bangkai, darah, dan daging babi merupakan zat yang secara tegas
diharamkan. Zat pangan yang halal akan menjadi haram jika proses serta tujuan
konsumsi tidak sesuai dengan norma hukum yang tertuang dalam Surah
Al-Maidah ayat 3 tersebut.
Menarik untuk dikaji secara mendalam adalah berkaitan pula dengan
peranan negara untuk melindungi masyarakat muslim dalam kaitan dengan
hak-hak konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia masih
belum menyentuh permasalahan ini, mengingat fokus masih terbatas pada sisi
fisik barang serta jasa dan masih belum menyentuh pada kehalalan. Tingkat
kehalalan rupanya diatur oleh lembaga tersendiri yaitu LPPOM MUI padahal
sesungguhnya ini merupakan hal yang harus terintegrasi. Konsumen Muslim yang
sangat besar di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah
membentuk sebuah lembaga perlindungan konsumen muslim.21
C. Penentuan Kehalalan Dalam Hukum Islam
Islam menetapkan bahwa asal segala sesuatu dan kemanfa