• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai pada masyarakat kecamatan Tapos kota Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai pada masyarakat kecamatan Tapos kota Depok"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

“TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI PADA

MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK”

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)

Oleh :

ADE TRI CAHYANI

NIM : 1110043100029

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

iii

Nama : Ade Tri Cayani

Nim : 1110043100029

Dengan ini saya menyatakan bahwa;

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persayaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua Sumber saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika di kemudian hari karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil

jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku

di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Oktober 2014

(5)

iv

Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M.

Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan mengenai permasalahan Praktik Gadai Pada Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan dapat mengarahkan kepada suatu persoalan yaitu riba. Hal ini dapat dilihat dari praktik pelaksanaan gadai itu sendiri yang secara ketat ia harus menambahkan adanya bunga

gadai (rahin) karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu dalam melunasi

utangnya. Oleh karena itu penulis akan mengkaji mengenai praktik gadai tersebut yang terjadi dalam masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok, dengan menganalisa permasalahan mengenai tinjauan hukum Islam terhadap mekanisme gadai, pemanfaatan barang gadai, pemanfaatan barang gadai yang terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok.

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok tentang praktik pegadaian yang sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dalam memberi jawaban atas permasalahan terhadap praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok.

Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan

menggunakan instrumen penelitian lapangan (field research). Dan penelitian

kepustakaan yang didasarkan pada suatu pembahasan dengan menggunakan metode

studi kepustakaan (library research), metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode deskriptif, yakni penulis berusaha menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan. Metode pengumpulan data menggunakan purposive sampling.

Dengan permasalahan yang ada, penulis menarik kesimpulan bahwa praktik gadai yang diterapkan masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok ini tidak sah menurut hukum Islam, akad gadai dalam mekanisme gadai tidak sempurna atau belum sesuai syariat Islam, seluruh praktik gadai yang penulis temukan terdapat unsur riba dan pemanfaatan atas barang yang di gadaikan, gadai yang berupa barang hutang praktik gadai yang terjadi dengan menggunakan barang kredit ini jelaslah sangat tidak sesuai dengan syariat Islam.

Kata kunci : Praktik gadai, pemanfaatan barang gadai, gadai berupa barang

hutang.

Pembimbing : H. M. Riza Afwi, MA dan Arip Purkon, S.Hi, MA

(6)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Puji dan syukur yang tiada hentinya

dipanjatkan kepada sang penguasa kepada Allah SWT, yang telah memberikan

nikmat dan petunjuknya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM

TERHADAP PRAKTIK GADAI PADA MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK”

Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak pihak telah berkontribusi bahkan berjasa besar baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan

penuh rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu,

ucapan terima kasih diberikan kepada:

1. Bapak Dr. H. Phil. J.M. Muslimin, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Dr. Khamami, MA selaku Ketua Jurusan Program Study Perbandingan

(7)

vi

sudah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menulis skripsi

dengan baik.

4. Bapak H. Riza Afwi, MA, dan bapak Arip Purkon S.Hi, MA, selaku pembimbing

skiripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, saran serta

petunjuk dalam menyelesaikan skiripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah,

semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan di sisi Allah SWT.

6. Seluruh staf karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kerjasamanya dalam pelayanan

yang terbaik dalam pengumpulan materi skiripsi dan kelancaran administrasi.

7. Pejabat Kantor Kecamatan Tapos Kota Depok, beserta jajarannya yang telah

membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

8. Para relawan yang telah bersedia untuk diwawancarai sehingga membantu

kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

9. Kepada ayah tercinta bapak H. Asam Muhit, S.Ag M.Si, ibunda Hj. Yayah

(8)

vii

persembahkan. Seluruh keluarga besarku, kakanda Neneng Hasanah, machyudin, kakak iparku Dodi Mardani dan Juliana Sari dan kaka yang tercinta Boggie Adhar Frandyas yang senantiasa memberikan motivasi dan dukungan agar penulis tetap

semangat dalam menempuh studi di kampus tercinta ini. serta seluruh keluargaku yang selalu memberikan keceriaan dalam bingkai kebersamaan baik suka maupun duka.

10.Sahabat-sahabat tercinta, Dian Rahmayanti, Sri Wahyu Ningsih, Widya permata

Sari, Dian Kamal sari Ohorella, Ida Handayani, Ulfah Hidayah, Raihanun, dan semua rekan-rekan PMH (Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan 2010, khususnya perbandingan mazhab fiqih kelas A dan B yang tidak mungkin dapat

penulis sebutkan satu-persatu, yang senantiasa selalu memberikan semangat dan berjuang bersama dikampus tercinta ini, serta yang selalu menebarkan benih-benih keceriaan dalam kebersamaan.

Besar harapan bagi penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia

akademik. Sebagai manusia yang dhoif, yang memiliki keterbatasan dan kekurangan,

tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya, hanya kepada Allah

SWT juga kita memohon agar apa yang telah kita lakukan menjadi sesuatu investasi

yang sangat berharga dan kelak dapat membantu kita di yaumil akhir.

Jakarta, 15 Oktober 2014

(9)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI GADAI A. Pengertian Gadai (Rahn) ... 16

B. Dasar Hukum Gadai ... 20

C. Rukun dan syarat Gadai ... 23

D. Hak dan Kewajiban dalam gadai ... 30

E. Pendapat Para Ulama Tentang Pemanfaatan barang gadai ... 32

(10)

ix

TAPOS KOTA DEPOK

A. Letak Geografis Wilayah Kecamatan Tapos Kota Depok ... 39

B. Sekilas Kondisi masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok ... 40

C. Mekanisme praktik gadai di masyarakat Kecamata Tapos Kota

Depok ... 46

D. Latar belakang terjadinya praktik pemanfaatan barang gadai

di kecamatan Tapos kota Depok ... 50

BAB IV: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI DI KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK

A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Mekanisme gadai yang terjadi di

masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ... 53

B. Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai

di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ... 55

C. Tinjauan Hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang

di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ... 61

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 67

(11)

1

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dengan transaksi, Allah

SWT telah menjadikan manusia saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya,

agar mereka saling tolong-menolong, baik dengan jalan tukar-menukar, sewa

menyewa, bercocok tanam atau dengan cara yang lainnya, karena sejatinya manusia

adalah makhluk sosial (social creature). Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa

pemberian dan bisa berupa pinjaman (gadai).1

Praktik gadai yang terjadi pada masyarakat di

kecamatan Tapos Kota Depok tidak sesuai dengan syariat Islam.

Bagi masyarakat mendengar kata gadai bukanlah hal yang aneh, mereka

mengetahui bahwa gadai merupakan salah satu ajaran yang ada dalam agama Islam,

khususnya masyarakat di Kecamatan Tapos kota Depok sudah menjadi suatu

kebiasaan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari masyarakat di

Kecamatan Tapos Kota Depok, mereka terbiasa melaksanakan praktik gadai dengan

cara yang sangat sederhana yang dilakukan antar kerabat dekat ataupun tetangga.

Mereka menganggap proses gadai tersebut lebih mudah dan cepat untuk mendapatkan

pinjaman di bandingkan mereka harus meminjam kepada pegadaian ataupun bank.

Meski begitu mereka tetap menganggap bahwa barang gadaian tersebut sebagai

antisipasi bilamana hutangnya tidak terbayar, maka barang gadaian yang digunakan

1

(12)

untuk menutupi hutangnya. Dan mereka pun tahu bahwa hutang adalah hak adami

yang harus dibayar sebelum mati.2

Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut :























Artinya :“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksa-Nya.” (Qs. Al-Maidah:2).3

Karena sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai hasrat untuk hidup

bersama. Lebih-lebih dalam zaman modern ini tidak mungkin bagi seseorang

makhluk hidup secara layak dan sempurna tanpa bantuan dari atau kerja sama dengan

orang lain. Oleh sebab itu, kerjasama antara seorang manusia merupakan sebuah

kebutuhan. Kebutuhan itu bisa berbagai bentuk, misalnya berupa uang, padahal ia

memiliki sejumlah barang yang dapat dinilai dengan uang. Dalam kondisi seperti ini

orang bisa melakukan beberapa alternatif guna mendapatkan uang. Salah satu

alternatif tersebut, misalnya dengan menggadaikan barang.

Rasulullah pernah mencontohkan praktik gadai dengan menggadaikan baju

besinya ketika membeli makanan kepada orang Yahudi. Seiring dengan

berkembangnya zaman dan aneka ragam kebutuhan manusia, maka saat ini bukan

2

Muhammad al-Fitra Haqiqi, harta halal harta haram, (Jombang: lintas media, tth) hal.129.

3

(13)

hanya pakaian tetapi segala macam harta benda dapat digadaikan sebagaimana yang

sering dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Diantara mereka

ada yang menggadaikan tanah, kendaraan bermotor, ruko, rumah, bahkan elektronik

seperti handphone, televisi.

Rahn mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada kenyataannya, dalam masyarakat konsep tersebut dinilai “tidak adil”. Dilihat dari segi komersil yang

meminjamkan uang merasakan dirugikan misalnya karena inflasi atau pelunasan

berlarut-larut sementara barang jaminan tidak laku. Di lain pihak barang jaminan

mempunyai hasil.4

Banyaknya lembaga pegadaian dengan tujuan pokoknya yang baik bukan

berarti semua masyarakat mengerti dan menggadaikan barangnya ke lembaga

pegadaian tetapi banyak pula masyarakat dalam melakukan transaksi gadai

melakukan transaksi gadai justru lebih memilih antar individu dengan cara sederhana.

Gadai yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat Kecamatan Tapos

Kota Depok, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang

memberatkan salah satu pihak yakni Murtahin dan dapat mengarahkan kepada suatu

persoalan yaitu riba. Hal ini dapat dilihat dari praktik pelaksanaan gadai itu sendiri

yang mengharuskan penerima barang gadai (murtahin) untuk membebankan bunga

kepada penggadai (rahin) pada saat Penggadai mengembalikan uang pinjamannya

4

(14)

kepada penerima barang gadai (murtahin).5 Dengan adanya syarat dan ketentuan

seperti itu maka praktik gadai yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tapos

Kota Depok tidak akan bisa menjadi suatu solusi untuk menyelesaikan masalah

keuangan yang sedang dialami oleh rahin, akan tetapi justru akan menambah masalah

baru karena rahin harus mengembalikan uang pinjamannya lebih banyak dari uang

pinjaman yang diterima.

Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok menggadaikan barang yang

mereka miliki ke orang lain yang mereka kenal seperti saudara, dan tetangga. Dalam

pelaksanaannya, akad gadai seringkali yang mensyaratkan dalam pemberian hak

pakai terhadap barang yang dimiliki rahin, ada pula dalam akad gadai meskipun

rahin tidak mensyaratkan perizinan memanfaatkan barang tetapi pihak murtahin tetap

memanfaatkan barang gadaian tersebut untuk kepentingan pribadi sampai rahin dapat

mengembalikan utangnya pada murtahin.

praktik gadai yang dilakukan tidak dapat dikategorikan membantu seperti

yang di syariatkan oleh hukum Islam, dan ini merugikan salah satu pihak dalam hal

ini rahin dan bisa dikategorikan dalam persoalan riba. Padahal dalam sistem ekonomi

Islam tidak mengajarkan kepada umat muslim untuk menjadi hamba yang hanya

mengejar materi saja tanpa melihat kehalalannya, melainkan mengajarkan dan

memberitahukan tatacara bagaimana dapat menghasilkan harta dengan halal.6

5

Muhammad Shalikul hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hal. 8.

6

(15)

Menurut jumhur ulama, apabila tidak diijinkan oleh yang menggadaikan,

barang yang digadaikan tidak dapat diambil sama sekali manfaatnya oleh si

pemegang gadai, Jumhur berlandaskan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu

Hanifah dari Nabi Muhammad SAW:

َلاَل َُُّْػََٔ

:

َِّهنَا ُلُٕعَس َلاَل

-َىَهَعَٔ َِّْٛهَػ َُّهنَا َٗهَص

:

(

ِِّثِحاَص ٍِْي ٍَُْْشنَا ُكَهْغَٚ اَن

َََُُّْس ِ٘زَنَا

,

ًُُُُّْغ َُّن

,

ُُّيْشُغ َِّْٛهَػَٔ

)

ُُِْٙطُلَساَذنَا ُِأََس

,

ُىِكاَحْنأَ

,

ٌخاَمِث ُّناَجِسَٔ

.

7

Artinya:“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya. "Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.”

Hadits ini mensyariatkan baik untung maupun rugi adalah untuk yang

menggadaikan.8

Berangkat dari beberapa landasan dan latar belakang di atas penulis

menemukan suatu problem dalam hal praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos

Kota Depok, di mana dalam proses praktik gadai penyalahgunaan akad dalam praktik

gadai karena di dalamnya terdapat pemanfaatan, kecurangan, ketidakadilan, serta

riba. Menurut masyarakat, dalam pelaksanaan praktik gadai yang dilakukan di

Kecamatan Tapos Kota Depok belum mengetahui kejelasan tentang hukum kehalalan

dan keharamannya.

Terkadang akad yang dilakukan itu telah sesuai dengan hukum syara‟, tetapi

di dalam pelaksanaan dari akad dan sistem yang diterapkan itu sendiri belum dapat

ditindak lanjuti dan masih harus dipertanyakan tentang hukumnya.

7

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-„Asqalani, Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2007),Cet. 2 Hadits No. 883.

8

(16)

Dari fenomena di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian di

Kecamatan Tapos kota Depok. Sebelumnya pun tidak pernah dilakukan penelitian

serupa di Kecamatan Tapos kota Depok. Maka dari itu judul skripsi yang penulis

angkat adalah “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI

PADA MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih terarah dan menghindari salah persepsi dari pembaca, maka

penulis membatasi pembahasan tersebut pada:

a. Praktik gadai dibatasi pada kegiatan praktik gadai yang sering dilakukan oleh

masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok.

b. Penelitian pelaksanaan praktik gadai dan pemanfaatan barang gadai di masyarakat

Kecamatan Tapos Kota Depok.

c. Materi dibatasi, mengenai hukum Islam atau hukum-hukum yang hanya berkaitan

dengan pelaksanaan praktik gadai.

2. Perumusan Masalah

Praktik gadai yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok

menimbulkan beberapa problem yang harus dibahas dan ditentukan jawabannya. Hal

ini dikarenakan prosedur dari akad hingga pemanfaatan barang gadai tidak semuanya

berjalan sesuai dengan prosedur gadai yang sesuai dengan syariat Islam dengan

(17)

a. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap mekanisme gadai yang terjadi di

masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok?

b. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai di

masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ?

c. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang di

masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Pada setiap penelitian yang dilakukan pada dasarnya memiliki tujuan dan

fungsi tertentu yang ingin dicapai baik yang berkaitan langsung dengan penulis atau

pihak lain yang memanfaatkan hasil penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian

yang dilakukan penulis adalah:

a. Memberikan penjelasan terhadap proses dalam mekanisme gadai yang terjadi di

Masyarakat Kecamatan Tapos Kota depok sesuai dengan tata cara pelaksanaan

Praktik gadai yang sesuai dengan syariat Islam.

b. memberikan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya masyarakat di

Kecamatan Tapos Kota Depok tentang hukum pemanfaatan barang gadai yang

sesuai dengan syariat Islam.

c. memberikan penjelasan terhadap permasalahan barang gadai yang berupa barang

(18)

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan dari pihak lain yang

memanfaatkannya, juga diharapkan hasil penelitian ini dapat mendeskripsikan

proses dalam mekanisme gadai yang sesuai dengan syariat Islam.

b. Dengan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai hukumnya

memenfaatkan barang gadai sesuai dengan Hukum Islam.

c. Dengan penelitian yang penulis lakukan bisa memberitahu informasi mengenai

hukum menggadaikan barang yang berupa barang hutang, serta hasil penelitian ini

bisa bermanfaat untuk seluruh masyarakat dalam menjalani praktik gadai yang

sesuai dengan syariat Islam.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber,

kepustakan, penulis meliputi bahwa apa yang menjadi masalah pokok penelitian

tampaknya sangat penting dan prospektif. Untuk menghindari pengulangan dalam

penelitian ini, sehingga tidak terjadi adanya pembahasan yang sama dengan penelitian

lain, maka penulis perlu menjelaskan adanya tujuan penelitian yang akan diajukan.

Dan beberapa tulisan yang berkaitan dengan masalah tersebut merupakan suatu data

yang sangat penting.

Adapun beberapa skripsi yang pernah dibaca pada perpustakaan yang

(19)

1. Pada tahun 2011, telah ditulis skripsi atas nama Sarki dengan judul “Praktik Gadai Dikalangan Masyarakat di Desa Argapura Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor Dalam Perspektif Hukum Islam” dalam anaslisa ini membahas tentang Skripsi ini membahas tentang praktik gadai yang sering dilakukan oleh

masyarakat Desa Argapura Cigudeg Bogor yang hanya meliputi praktik gadai

mengandung riba atau tidak dan hukum Islam yang dibatasi hukum-hukum yang

bekaitan dengan pelaksanaan gadai. Metode penelitian kualitatif deskriptif,

penulisnya tidak bisa menyajikan data yang valid dan jelas terhadap studi kasus

yang coba diangkat.

2. Pada tahun 2012 atas nama Nur habibah, dengan judul “Analisa Dampak

Perekonomian dalam Gadai Sawah di Kalangan Petani Muslim.” Skripsi ini membahas mengenai tata cara sistem gadai sawah, dampak perekonomian petani

muslim di Desa Karang Patri dan analisa hukum memanfaatkan uang dari hasil

gadai. Metode yang digunakan kualitatif dan kuantitatif.

3. Pada tahun 2003, atas nama Aty Nurhayati, dengan judul “Konsep Gadai (ar-rahn) dalam Islam Serta Prospeknya di Indonesia.” Dalam skripsi ini membahas

tentang Analisa pegadaian dengan sistem syariah yang mempunyai prospek yang

cerah, baik pegadaian dengan sistem syariah maupun pegadaian baru serta

mengenai sekmentasi dan pangsa pasarari pegadaian ini sangat baik. Ini semua

dianalisis dari analisa SWOT yang telah ia teliti.

4. Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshory AZ. Dalam bukunya “Problematika

(20)

menurut Syari'at Islam berarti, permohonan atau pengekangan. Sehingga dengan

akad gadai menggadai kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama.

Yang punya hutang bertanggung jawab melunasi hutangnya, dan orang yang

punya hutang bertanggung jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Dan

bila utang telah dibayar, maka penahanan atau pengekangan oleh sebab itu akad

menjadi lepas, sehingga dalam pertanggungjawaban yang menggadai dan yang

menerima gadai hilang untuk menjalankan kewajiban dan bebas dari tanggung

jawab masing-masing.

Sedangkan yang membedakan dari penelitian ini membahas tentang

penyalahgunaan akad dalam praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota

Depok. Yang menjelaskan praktik gadai dalam Islam, penulis menyajikan beberapa

contoh praktik gadai yang diduga sering menjadi objek penyalahgunaan, agar dapat

menjadi bahan yang dapat dipertimbangkan untuk terciptanya produk hukum baru

sehingga bisa menanggulangi penyalahgunaan dan pemanfaatan praktik gadai

tersebut, kemudian Penulis juga mencoba untuk memberikan data yang akurat secara

prima dan up to date sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dengan

metode penelitian yang mengedepankan kualitatif deskriptif. Dan didukung oleh

wawancara secara langsung dengan para narasumber yang sering dan bahkan selalu

(21)

E. Metode Penelitian

Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan

suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat

memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

Metode adalah pedoman–pedoman, cara seseorang ilmuwan mempelajari dan

memahami lingkungan–lingkungan yang dihadapi. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan metode–metode sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Dalam ini penulis menggunakan metodelogi dengan pendekatan kualitatif,

yang memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung,

deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada hasil, analisis data kualitatif

cendrung dilakukan secara analisa induktif dan makna merupakan hal yang

esensial.9

Dalam masalah ini prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seorang, lembaga,

masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang

tampak, atau sebagaimana adanya.10

Dari pemaparan di atas Penulis berusaha memaparkan suatu kejadian dan

peristiwa. Metode ini berguna untuk melahirkan teori-teori tentative, metode

9

Lexi Moeleong. Metotodologi penelitian Kualitatif, Cet. 13, (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2002), hl.135.

10

(22)

deskriptif berusaha mencari bahan bukan mengujinya, penelitian ini lahir karena

kebutuhan.

Penelitian ini memerlukan kualifikasi, yaitu peneliti harus memiliki sifat yang

represif (mau menerima) yang berarti harus selalu mencari informasi, bukan

menguji kebenaran suatu teori dan penelitian harus memiliki kekuatan integrative,

yaitu kekuatan untuk memadukan berbagai informasi yang diperoleh menjadi satu

kesatuan penafsiran.

2. Jenis Penelitian

Dalam penyusunan skiripsi ini, penulis memilih studi kepustakaan (library

research). Penulis mencari bahan-bahan dari sumber tulisan yang berhubungan dengan permasalahan judul skiripsi.

3. Sumber Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik

Studi Pustaka, yaitu menyelidiki dokumen-dokumen tertulis untuk memperoleh

data yang terdiri dari:

a. Sumber data primer yaitu kitab suci Al-Quran, Hadist, Kitab Fiqih dan

lain-lain

b. Sumber data sekunder yaitu data yang di peroleh dari bahan-bahan hukum

yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer seperti, buku teks,

Dokume-dokumen, Analisis data, Biografi, Kamus, maupun data dari

(23)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skiripsi ini adalah dengan

menggunakan purposive sampling yaitu salah satu teknik pengambilan data atau

sampel yang sering digunakan dalam penelitian. Dengan cara peneliti menentukan

sendiri sampel yang diambil karena adanya pertimbangan pertimbangan tertentu,

sampel diambil tidak secara acak tetapi ditentukan sendiri oleh peneliti. Jadi

menurut penulis sampel ini cocok untuk penelitian kualitatif penelitian yang tidak

melakukan generalisasi. 11

5. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data yang telah dihimpun, penulis menggunakan

beberapa metode, yaitu:

a. Metode induktif, yaitu pengambilan kesimpulan yang dimulai dari

kesimpulan atau fakta-fakta khusus menuju kepada kesimpulan yang

bersifat umum.12

Jadi metode induktif adalah menganalisa data yang

bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum, oleh

karenanya dalam penelitian sebagai isi dari skiripsi ini, penulis mencari

berdasarkan literarture tentang judul yang sedang penulis teliti kemudian

dari temuan tersebut dilakukan analisa atau kesimpulan secara umum.

11

12

(24)

b. Metode deduktif, menarik fakta atau kesimpulan yang bersifat umum,

untuk dijadikan fakta atau kesimpulan umum yang bersifat khsusus.13

6. Teknik Penulisan

Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada

Prinsip-prinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan skiripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian awal skripsi, bagian isi

skripsi, dan bagian akhir skripsi yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab

terbagi dalam berbagai uraian sub-sub bab. Sistematika skripsi ini adalah sebagai

berikut: Bagian awal skripsi terdiri dari halaman judul, persetujuan pembimbing,

lembar pengesahan penguji, lembar pernyataan, abstrak, kata pengantar, daftar isi.

Bagian isi skripsi terdiri dari:

Bab I membahas mengenai pendahuluan, dalam bab ini diuraikan latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,tujuan dan manfaat

penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II memembahas tentang teori tentang gadai dalam Islam. Dalam bab ini

diuraikan tentang teori yang digunakan sebagai dasar pembahasan selanjutnya yaitu

pengertian gadai, dasar hukum gadai, rukun dan syarat gadai, hak dan kewajiban

13

(25)

dalam gadai, pendapat ulama kontemporer terhadap pemanfaatan barang gadai,

batalnya akad gadai.

Bab III membahas mengenai praktik Gadai di Kecamatan Tapos Kota

Depok. Letak geografis wilayah Kecamatan Tapos, sekilas kondisi masyarakat

Kecamatan Tapos, mekanisme praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota

Depok, latar belakang terjadinya praktik pemanfaatan barang gadai di Kecamatan

Tapos Kota Depok.

Bab IV membahas tentang hasil Analisa Dan Pembahasan. Bab ini terdiri

dari 3 sub yaitu terhadap Tinjauan Hukum Islam terhadap mekanisme gadai yang

terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, Tinjauan Hukum Islam terhadap

praktik pemanfaatan barang gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, dan

Tinjauan Hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang.

Bab V berisi penutup dan kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan

(26)

16

TINJAUAN UMUM MENGENAI GADAI A. Pengertian Gadai (Rahn)

Al-Rahn dalam kamus bahasa arab menggadaikan, menangguhkan اُْس –ٍْس

ٍْشٚ atau jaminan hutang, gadaian.14

Dan dapat juga dimaknai dengan alhabsu.Secara

etimologi rahn (gadaian) berarti tetap atau lestari, sedangkan al-habsu berarti

penahanan.15Begitupun jika dikatakan“ni‟matun rohinah” artinya: karunia yang tetap

dan lestari.16Menurut syarak kalimat Rahn itu artinya menjadikan harta sebagai

pengkukuh/penguat sebab adanya hutang.17

Sedangkan menurut terminologi atau istilah syara‟ terdapat beragam

pengertian tentang gadai(rahn), yaitu :

1. Menurut Imam syafi‟i

Mendefinisikan akad al-rahnu seperti berikut menjadikan al-„Ain (barang)

sebagai watsiiqah (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang

tersebut (al-marhun bihi) ketika pihak al-Madiin (pihak yang berhutang, Al-Rahin)

tidak bisa membayar hutang tersebut. Kalimat, (menjadikan al-„Ain) mengandung

pemahaman bahwa kemanfaatan tidak bisa dijadikan sebagai sesuatu yang digadaikan

14

Adib Bisri, Munawir AF, Kamus AL-BISRI, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), Cet. Ke-1, hal. 274.

15

Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), Cet. Ke-2, hal. 139.

16

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih bahasa. H. Kamaluddin A Marjuki, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1996), hal.139.

17

(27)

(al-marhuun), karena kemanfaatan sifatnya habis dan rusak, oleh karena itu tidak bisa

dijadikan sebagai jaminan.18

2. Menurut Imam Malik

Mendefinisikan Al-Rahn seperti sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta

dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk menjadikan watsiiqah hutang

yang Laziin (keberadaannya sudah positif dan mengikat). Maksudnya, suatu akad

atau kesepakatan akan mengambil sesuatu dari harta yang berbentuk al-„Ain (Barang,

harta yang berbentuk konkrit) seperti harta tidak bergerak yaitu tanah, rumah, hewan,

barang komoditi, atau dalam bentuk kemanfaatan (kemanfaatan barang, tenaga, atau

keahlian seseorang). Namun, dengan syarat kemanfaatan tersebut harus jelas dan

ditentukan dengan masa (penggunaan atau pemanfaatan suatu barang) atau pekerjaan

dengan memanfaatkan tenaga atau keahliannya, juga dengan syarat kemanfaatan

tersebut dihitung masuk kedalam hutang yang ada.19

3. Menurut Imam Hanafi

Rahn didefinisikan menjadi sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang)

yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu baik seluruhnya

maupun sebagiannya.20

18

Ibnu Qudamah, Al-Mughnil, Penerjemah Misbah, (Jakarta: Pustka Azzam, 2009), Cet. 1, Hal. 24.

19

Ahmad Al-Dardiri, Al-Syarhu Al-Shagir, (Mesir: Dar El-Maarif) t.th, Jil. 3, hal. 207.

20

(28)

4. Menurut Imam Hanbali

Mendefinisikan rahn dengan harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai

pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak mampu)

membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.21

Rahn menurut syara adalah :

َْٔأ ٍَِٚذنا َكِنَر ُذْخَأ ٍُِكًُْٚ ُثَْٛحِت ٍَِْٚذِت ِحَمِٛثَٔ ِعِسأَؾنا ِشْظََ ِٙف حِّٛناَي ٌحًَِْٛل آََن ٍَِْٛػ ُمؼج

ٍَِْٛؼنا َكْهِذ ٍِْي ِِّضْؼَت ُزْخَأ

“Menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara‟sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil (manfaat) barang itu”22

Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan

atas pinjaman yang diterimanya.Barang yang ditahan tersebut harus memiliki nilai

ekonomis.Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat

mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.Secara sederhana dapat

dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.23

Menurut Wahbah Zuhayli Al-Rahn sebagaimana didasarkan pada firman

Allah SWT dalam surat al-Muddatsir ayat 38:

:





Artinya:“tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”

21

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Tanah Bakri Wakaf, 1996), Cet. 4, Hal. 158.

22

Sayyid Sabiq Fikih Sunnah 12, (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,1998), hal. 139

23

(29)

Sementara itu, gadai menurut istilah adalah akad utang di mana terdapat

suatu barang yang di jadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang

piutang, barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjual itu

hendaknya dengan keadilan (dengan harga yang berlaku di waktu itu).24

Gadai tersebut menjadikan suatu yang bernilai menurut pandangan syara‟

sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu

seluruh atau sebagian utang dapat diterima.25

Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), gadai adalah

suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang

diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau oleh orang lain atas

namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil

pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang yang

berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan

biaya yang dikeluarkan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH

Perdata).26

Selain berbeda dengan KUH Perdata, pengertian gadai menurut syari'at

Islam juga berbeda dengan pengertian gadai menurut ketentuan hukum adat yang

mana dalam ketentuan hukum adat pengertian gadai yaitu menyerahkan barang gadai

untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dengan ketentuan, si penjual

24

Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 106.

25

Ahmad Azhar Basir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-piutang Gadai, (Bandung: PT.Al-Ma‟arif, 1983), hal. 50.

26

(30)

(penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya

kembali.27

Dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu

gadai menurut bahasa adalah tetap atau penahanan, sedangkan menurut istilah menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara‟ untuk

kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian

utang dan benda yang dighadaikan. Sederhananya dapat dijelaskan bahwa rahn adalah

semacam jaminan hutang atau gadai.

B. Dasar Hukum Gadai

Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan (jaiz) tidak wajib

berdasarkan kesepakatan ulama, tetapi disyariatkan dengan dasar Al-Qur‟an, Hadits

dan Ijma‟ para Ulama.

1. Berdasarkan dalil Al-Qur‟an Al- Baqarah/2:283:































Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara

tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan

27

(31)

amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikannya persaksian dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah yang berdosa hatinya dan Allah SWT

maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.

Al-Baqarah/2:283)

Berdasarkan ayat di atas, bahwa dalam melakukan kegiatan muamalah yang

tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang pun yang

mampu menjadi juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang

tanggungan (borg) yang oleh pihak yang berpiutang digunakan sebagai jaminan.28

Sebab gadai tidak bisa terjadi sebelum serah terima barang karena ia merupakan akad

saling membantu dan menolong yang membutuhkan serah terima.29

Para ulama bersepakat gadai hukumnya boleh, baik ketika tengah perjalanan,

mapun ketika Para menetap, berbeda pendapat terdapat mujahid dan ulama

Zahiriyyah30 karena sunnah menjelaskan tentang pensyariatan dan Al-Rahn secara

mutlak, baik ketika sedang ditengah perjalanan maupun ketika sedang menetap.

2. Berdasarkan dalil dari As-sunnah

Masalah rahn juga diatur dalam hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu:

ٍػ

ظَأ

ٙضس

للها

ُّػ

لال

:

ذمنٔ

ٍْس

ٙثُنا

ٗهص

للها

ّٛهػ

ٔ

ىهع

ّػسد

شٛؼؾت

دٛؾئ

ٗنإ

ٙثُنا

ٗهص

للها

ّٛهػ

ٔ

ىهع

ضثخت

شٛؼؽ

حناْإٔ

ححُع

ذمنٔ

28

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal.125.

29

Al-Qadhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ishfahani, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi‟I, alih bahasa Toto Edidarmo, (Jakarta:PT Mizan Publika,2012), Cet.2, hal. 327.

30

(32)

ّرؼًع

لٕمٚ

(

اي

حثصأ

لٜ

ذًحي

ٗهص

للها

ّٛهػ

ٔ

ىهع

لاإ

عاص

لأ

ٗغيأ

ىَٓإٔ

حؼغرن

خاٛتأ

)

31

Artinya: Dari anas r.a dia berkata:”sesungguhnya nabi s.a.w menggadaikan baju besinya dengan biji gandum.Aku menemui nabi s.a.w. dengan membawa roti yang terbuatdari biji gandum dan kue biasa yang sudah tengik. Aku pernah mendengar beliau bersabda: “bagi keluarga Muhammad s.a.w setiap pagi dan sore hanya memerlukan satu sha‟. Padahal sesungguhnya mereka ada Sembilan anggota keluarga.” (HR. Bukhari)

Hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:

َلاَل وَشَؾَح ٍت ِٙهَػٔ ِٙهَظَُْحْنَا ىَِْٛشتإ ٍت ُقاحْعِا َاَُثَذَح

:

ظَُ ُٕٚ ٍت َظِْٛػ َاَ شَثخَأ

ْدن ال َحؾئاػ ٍػ ِدَٕعلاا ٍػ ىِْٛاشتِا ٍػ ؼًَؼنا ٍت

:

للها ٗهص للها لٕعس َٖشَرْؽِا

ىّهعٔ ِّْٛهػ

.

ذِْٚذَح ٍِْي ًاػسد َُّْسٔ اياَؼط ِ٘دَُْٕٓٚ ٍي

32

Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali

dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin „Amasy dari Ibrahim dari Aswaddari Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya (sebagai jaminan/anggunan).”(HR. Bukhori).

Dari hadits diatas praktik gadai sudah pernah diajarkan Nabi Muhammad

SAW, Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi

mendapatkan gandum untuk keluarganya. Gadai itu diperbolehkan kerena gadai

termaksud akad Syar‟i yang melindungi hak dan berfungsi untuk membayar hutang

jika penghutang tidak sanggup membayar.33

3. Ijma‟ Ulama

31

Bukhori, Shahih al-Bukhori, hadis no. 2373, jil. 2 (Beirut al-Yamâmah: Dâr ibnu Katsir, 1987), h. 887.

32

Bukhori, Shahih al-Bukhori, jil. 2 (Beirut al-Yamâmah: Dâr ibnu Katsir, 1987), h. 729.

33

(33)

Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh.Para ulama

tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyari‟atkan pada waktu tidak bepergian

maupun pada waktu berpergian.34

C. Rukun dan syarat Gadai

melaksanakan akad gadai agar dipandang sah dan benar dalam syariat islam

maka harus memenuhi rukun dan syarat gadai berdasarkan hukum Islam.

1. Rukun Gadai

Menurut hukum Islam bahwa rukun gadai itu ada 4 (empat), yaitu:

a) Shighat atau perkataan

b) Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin)

c) Adanya barang yang digadaikan (marhum)

d) Adanya utang (marhum bih)35

Adapun mengenai rukun gadai dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Shighat atau perkataan

Shighat menurut istilah fuqaha‟ ialah:

ٗضاشرنا دثثٚ عٔشؾي ّجٔ ٗهػ لٕثمت باجٚلاا طاثذسا

"Perkataan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridlaan keduanya (kedua belah pihak)"36

34

Muhammad Sholikhul Hadi, Pegadaian Syari'ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2000), hal. 521.

35

[image:33.612.88.541.108.378.2]

Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), cet.2, Hal.142.

36

(34)

Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul, sedangkan ijab dan qabul adalah shighat aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang sekian

kepada engkau", yang menerima gadai menjawab "Saya terima marhum ini" Shighat

aqdi memerlukan tiga syarat:

1) Harus terang pengertiannya

2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul

3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang

bersangkutan.

Akad gadai juga bisa dilakukan dengan bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang dimaksudkan, sebagaimana yang dikatakan oleh TM.

Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pengantar Fiqh Muamalah bahwa isyarat bagi orang

bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan penjelasan dengan lidah).37

b) Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin).

Pemberi gadai haruslah orang yang dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan

memiliki barang yang akan digadaikan. Sedangkan penerima gadai adalah orang,

bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan

jaminan barang (gadai).38

37

TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997),Cet.I, hal. 31.

38

(35)

c) Adanya barang yang digadaikan (marhum).

Barang yang digadaikan harus ada wujud pada saat dilakukan perjanjian

gadai dan barang itu adalah barang milik si pemberi gadai (rahin), barang gadaian itu

kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).39

Pada dasarnya semua barang bergerak dapat digadaikan, namunada juga

barang bergerak tertentu yang tidak dapat digadaikan.

Adapun jenis barang jaminan yang dapat digadaikan di pegadaian antara

lain:

1) Barang-barang perhiasan; emas, perak, intan, mutiara, dan lainlain.

2) Barang-barang elektronik:tv, kulkas, radio, telpon genggam, tape recorder, dan

lain-lain.

3) Kendaraan: sepeda, motor, mobil.

4) Barang-barang rumah tangga: barang-barang pecah belah.

5) Mesin: mesin jahit, mesin ketik, dan lain-lain.

6) Tekstil: kain batik, permadani.

7) Barang-barang lain yang dianggap bernilai.40

Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama syafi”iyah barang yang

digadaikan itu memiliki tiga syarat:

1) Bukan utang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan

2) Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang.

39

Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, tth), hal. 93.

40

(36)

3) Barang yang digadaikan bisa dijual apabila sudah tiba masa pelunasan hutang

gadai.41

d) Adanya hutang (marhum bih)

Hutang (marhum bih) merupakan hak yang wajib diberikan kepada

pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila barang tersebut

tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah), dan dapat dihitung jumlahnya.42Selain itu

hutang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga

atau mengandung unsur riba.43

2. Syarat Gadai

Menurut Imam Syafi‟i bahwa syarat sah gadai adalah harus ada jaminan

yang berkriteria jelas dalam serah terima.44Sedangkan Maliki mensyaratkan bahwa

gadai wajib dengan akad dan setelah akad orang yang menggadaikan wajib

menyerahkan barang jaminan kepada yang menerima gadai.45

Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah akad gadai adalah sebagai berikut:

a) Berakal;

b) Baligh (dewasa);

c) Wujudnya marhum (barang yang dijadikan jaminan pada saat akad);

41

Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, Hal. 196.

42

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan syariah, (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), Hal.161.

43

[image:36.612.117.531.100.355.2]

Chairuman Pasaribu, Suhwardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) Cet. 2, Hal. 142.

44

Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2012), Cet.13, Hal. 235.

45

(37)

d) Barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian atau

wakilnya.46

Berdasarkan dari keempat syarat di atas dapat di simpulkan bahwa syarat sah

gadai tersebut ada 2 hal yaitu :

a. Syarat aqidain (rahin dan murtahin)

Dalam perjanjian gadai unsur yang paling penting adalah pihak-pihak yang

melaksanakan perjanjian gadai (unsur subjektif), yaitu cukup dengan melakukan

tukar menukar benda, apabila mereka berakal sehat (tidak gila), dan telah mumayyiz

(mencapai umur). Kemudian untuk orang yang berada di bawah pengampuan atau

wali dengan alasan amat dungu (sufih) hukumnya seperti mumayyiz, akan tetapi

tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia baligh diperlukan izin dari wali,

apabila pengampu mengizinkan perjanjian gadai dapat dilakukan, tetapi apabila wali

tidak mengizinkan maka perjanjian gadai tersebut batal menurut hukum.47

b. Syarat barang gadai (marhun)

Marhun adalah barang yang ditahan oleh murtahin (penerima gadai) sebagai

jaminan atas hutang yang ia berikan. Para ulama sepakat syarat yang berlaku pada

barang gadai adalah barang yang dapat diperjual-belikan.48

Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat antara lain :

a). Harus dapat diperjualbelikan

46

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,1998), Hal. 141

47Rahmat Syafi‟I,

Fiqih Muamalah, Cet.3, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Hal.162

48

[image:37.612.115.531.97.337.2]
(38)

b) Harus berupa harta yang bernilai

c) Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syari‟ah

d) Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang diterima secara lansung

e) Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus seizin

pemiliknya.49

Salah satu syarat bagi marhum adalah penguasaan marhum oleh murtahin.

Mengenai penguasaan atau penerimaan barang yang digadaikan pada dasarnya

disepakati sebagai syarat gadai. Berdasarkan firman Allah SWT dalam surah

Al-Baqarah ayat 283:

ُحَضُْٕثْمَي ٍَُْٚشَف



Artinya: “maka hendaklah ada barang yang digadaikan (oleh yang

berpiutang).”

Tetapi ulama masih berselisih pendapat, apakah penguasaan barang ini merupakan

syarat kelengkapan ataukah syarat sahnya gadai.

Menurut Imam Malik, penguasaan barang itu sebagai sebagai syarat

kelengkapan, akad gadai itu sudah mengikat dan orang yang menggadaikan sudah

dipaksa untuk menyerahkan barang kecuali bila penerima gadai tidak mau adanya

penentuan demikian. Sebab Imam Malik mengqiyaskan gadai dengan akad-akad lain

yang mengikat dengan adanya ucapan, dan jika barang gadai beralih kepada

kekuasaan orang yang menggadaikan dengan jalan peminjaman (ariyyah), penitipan

atau lainnya, maka akad gadai tersebut tidak mengikat lagi.

49Rahmat Syafi‟I,

(39)

Sedangkan menurut Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan golongan zhahiri,

penguasaan barang itu termasuk syarat sahnya gadai. Sebab selama belum terjadi

penguasaan, akad gadai itu tidak mengikat orang yang menggadaikan.50Seseorang

menggadaikan barang dengan syarat, ia akan membawa haknya pada saat jatuh

tempo, dan jika tidak maka barang tersebut menjadi milik penerima gadai. Fuqaha

sependapat bahwa syarat tersebut mengharuskan batalnya gadai, sebab apabila rahin

menggadaikan suatu barang seperti kepada murtahin maka kemanfaatan dari barang

tersebut itu sepenuhnya milik rahin begitu pula kerugian atau kerusakannya berada

dalam tanggungan rahin.51

Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:

ُّػ للها ٙضس جشٚشْ ٙت ا ٍػٔ

َلاَل

:

َِّهنَا ُلُٕعَس َلاَل

-َىَهَعَٔ َِّْٛهَػ َُّهنَا َٗهَص

:

(

ُكَهْغَٚ اَن

َََُُّْس ِ٘زَنَا ِِّثِحاَص ٍِْي ٍَُْْشنَا

,

ًُُُُّْغ َُّن

,

ُُّيْشُغ َِّْٛهَػَٔ

)

ُُِْٙطُلَساَذنَا ُِأََس

,

ُىِكاَحْنأَ

,

ٌخاَمِث ُّناَجِسَٔ

.

Artinya:“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:"Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya."(Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya).52

50

Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, hal. 197.

51

Ismail Yakub, Al-UMM, (Kuala Lumpur: Victory Agencie,1989), Cet. 1, hal. 366.

52

(40)

D.Hak dan Kewajiban Para Pihak

Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak

dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajiban adalah sebagai

berikut:53

1. Hak dan kewajiban pemberi gadai (rahin)

A. Hak Pemberi Gadai

1). Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barangmiliknya

setelah pemberi gadai melunasi utangnya.

2). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan danhilangnya

barang gadai apabila hal itu di sebabkan oleh kelalaianpenerima gadai.

3). Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualanbarangnya

setelah dikurangi biaya pelunasan utang dan biayalainnya.

4). Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya apabilapenerima gadai

telah jelas menyalahgunakan barangnya.

B. Kewajiban Pemberi Gadai

1). Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang telah diterimanya

dari penerima gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan.

2). Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas barang gadai

miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai

tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang gadai.

53

(41)

2. Hak dan kewajiban penerima gadai (murtahin)

A. Hak penerima gadai (murtahin)

1). Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan, apabila

pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibanya

sebagai orang yang berhutang.

2) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah

dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.

3) Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai berhak untuk

menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai.

B. Kewajiban penerima gadai (murtahin)

1) Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya

harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaianya.

2) Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan barang yang digadaikan

untuk kepentingan pribadi.

3) Penerima gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai

sebelum di adakan pelelangan barang gadai. Dalam perjanjian gadai baik

pemberi gadai atau penerima gadai tidak akan lepas dari hak-hak dan

kewajiban-kewajiban. Hak penerima gadai adalah menahan barang yang

digadaikan, sehingga orang yang menggadaikan barang dapat melunasi

barangnya. Sedangkan hak menahan barang gadai adalah bersifat

menyeluruh, artinya jika seseorang menggadaikan barangnya dengan jumlah

(42)

masih berada di tangan penerima gadai, sehingga rahin menerima hak

sepenuhnya atau melunasi seluruh utang yang ditanggungnya.54

Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan tidak boleh bila yang menerima gadai

menjual barang gadaian yang diterimanya dengan syarat harus dijual setelah jatuh

tempo dan tidak sanggup ditebus olehnya tetapi harus dijual belikan oleh pemberi

gadai, atau wakilnya dengan seizin murtahin (yang menerima gadai).

Jika pemberigadai tidak mau menjual barang tersebut, maka yang menerima

gadai berhak mengajukan tuntutan kepada hakim.55

E.Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Pemanfaatan Barang Gadai

Pada dasarnya segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual, maka boleh

untuk dijadikan jaminan (borg) atas utang.56Transaksi Rahn adalah transaksi yang

dimaksud untuk meminta kepercayaan dan jaminan hutang, bukan untuk mencari

keuntungan atau hasil.57

Para ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa segala biaya yang dibutuhkan

untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya,

yaitu orang yang berutang. Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang

yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa

54

Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, hal. 200.

55

Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam (Tinjauan Antar Mazhab), (Semarang: Pustaka Risky putra, 2001)Cet. II, hal.366.

56

Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi (eds),Kifayatul AkhyarTerjemah Ringkas Fiqih Islam Lengkap,(Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet.I, hal.143

57

(43)

menghasilkan sama sekali, akan tetapi apakah diperbolehkan pihak pemegang barang

jaminan memanfaatkan barang gadaian, meskipun mendapat izin dari pemilik barang

jaminan,58 dalam hal ini terjadi beberapa perbedaan pendapat para ulama. Ada

beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahidin tentang pengambilan

manfaat dari hasil barang gadaian.

1.Pendapat Imam Syafi'i

Dalam kitab Madzahibul Arbaah dijelaskan, Imam Syafi‟i mengatakan:

ٍْشنا

ةحاصْٕ

ٌْٕشًنا حؼفُي ٗف ّكحنا

ٗهػ

ٌّا

ٌْٕشًنا

ٌٕكٚ

ذٚ دحذ

ٍٓذشًّنا

ٌْٕشًنات عافرَلإاذُػّلاإ ُّػ ِذٚ غًُذلأ

Artinya: “Orang yang menggadaikan setelah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadaikan tidak hilang kecuali mengambil manfaat atas barang gadaian itu”.59

Dalam masalah ini Imam Syafi‟i pemanfaatan barang gadai tidak terkait

dengan adanya izin, akan tetapi ini berkaitan dengan keharaman pengambilan

manfaat atas utang yang tergolong riba yang diharamkan oleh syara‟.60

Imam Syafi‟i mengemukakan pandangannya berdasarkan hadits Rasulullah

SAW yang berbunyi :

58

Saleh Al-Fauzan, Fikih Sehari-hari, Penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet. 1, hal. 416.

59

Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anhory, A.Z, Problematika Hukum Islam Komtemporer III, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2004), hal. 83.

60 Ghufron A. Mas‟adi,

(44)

َلاَل َُُّْػَٔ

:

َِّهنَا ُلُٕعَس َلاَل

-َىَهَعَٔ َِّْٛهَػ َُّهنَا َٗهَص

:

ِ٘زَنَا ِِّثِحاَص ٍِْي ٍَُْْشنَا ُكَهْغَٚ اَن

َََُُّْس

,

ًُُُُّْغ َُّن

,

ُُّيْشُغ َِّْٛهَػَٔ

.

(

ِأس

ُٗطلساذنأ ٗؼفاؾنا

لالٔ

ِداُعإ

ٍغح

مصري

)

Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi saw ia bersabda : Gadaikan itu tidakmenutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaannya dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan segala resikonya (kerusakan dan biaya).(HR. Asy-Syafi'i dan Daruqutny dania berkata bahwa sanadnya Hasan dan bersambung).61

Dalam hadits di atas jelas menunjukkan, bahwa barang gadaian itu tidak

menutup hak atas pemiliknya yaitu orang yang menggadaikan untuk mengambil

manfaatnya.Dengan demikian, orang yang menggadaikan tetap berhak atas segala

hasil yang ditimbulkandari barang gadaian itu dan bertanggung jawab atas segala

resiko yangmenimpa barang tersebut. Dan penerima gadai hanyalah menguaasai

barang jaminan sebagai kepercayaan atas uang yang telah dipinjamkannya sampai

waktu yang telah ditentukan pada waktu akad.62

2. Pendapat Imam Hanafi

Menurut Imam Hanafi, tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang

gadaian yang mengakibatkan kurang harganya atau tidak. Imam Hanafi berpendapat

bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin murtahin, begitu pula

murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Mereka beralasan bahwa

61

Imam Syafi'i, al-Um, Jilid 3, tth.tp. hal. 167.

62 As Shan‟ani

(45)

barang gadai harus tetap dikuasai oleh murtahin selamanya.63Oleh sebab itu, golongan Hanafiyah ada yang membolehkannya untuk memanfaatkannya jika

diizinkan oleh rahin. Tetapi sebagian lainnya tidak membolehkan sekali pun ada izin

bahkan mengkategorikannya sebagai riba, jika disyaratkan ketika akad untuk

memanfaatkan borg, hukumnya haram sebab termasuk riba.64

3. Pendapat Imam Hanbali

Imam Hanbali berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu

adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan

mempergunakanya, sesuai dengan jumlah biaya pemiliharaan yang dikeluarkan

pemegang barang jaminan.65

Hal tersebut dijelaskan dalam hadits yaitu:

ىهع ٔ ّٛهػ للها ٙهص للها لٕعس ل ال ُّػ للها ٙضس جشٚشْ ٙتا ٍػٔ

:

ُشَْٓظنا

ِٖزَنا َٗهَػَٔ إًَُْْشَي ٌَاَكاَرِإ ِِّرَمَفَُِت ُبَشْؾُٚ ِسُذنا ٍَُثَنَٔ إًَُْْشَي ٌَاَكاَرِا ِِّرَمَفَُِت ُةَكْشُٚ

َحَمَفَُنا ُبَشْؾََٚٔ ُةَكْشَٚ

(

٘ساخثنا ِأس

)

Artinya: “Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: binatang tunggangan yang dirungguhkan atau diborongkan harus ditunggangi dipakai, disebabkan ia harus dibayar, air susunya boleh diminum diperas untuk pembayaran ongkosnya, orang yang menunggangi dan meminum air susunya harus membayar.”66

(HR. Bukhari)

63

Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 49.

64

Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan aplikasinya pada lembaga keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. 1, hal. 226.

65

Ibnu Qudamah, Al-Mughni., (Beirut: Dar al-Kitab Al-„Araby,1980), Jil. 6, hal. 432-433.

66

(46)

Hadits di atas menerangkan bahwa binatang yang dijadikan jaminan boleh

diambil manfaatnya seperti untuk tunggangan, diminum air susunya hal ini

disebabkan karena adanya biaya yang telah dikeluarkan untuk pemeliharaan tetapi

apabila hasil ternaknya ada kelebihannya, maka kelebihan itu dibagi rata antara

murtahin dan rahin.Dan apabila orang yang menunggangi dan yang minum air susunya tidak membaginya maka orang tersebut harus membayar kelebihan itu.

4. Pendapat Ulama Malikiyah

Maliki berpendapat gadai wajib dengan akad (setelah akad) pemberi gadai

(rahin) dipaksakan untuk menyerahkan marhun untuk dipegang oleh penerima gadai (murtahin).Jika marhun sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin),

Gambar

Grafika, 1996), cet.2, Hal.142. 36
Grafika, 1996) Cet. 2, Hal. 142.
Grafika, 1996) Cet. 2, Hal. 143.
Tabel 3.1, berdasarkan setiap kelurahan
+3

Referensi

Dokumen terkait

7 Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Made Dwi Vijayanti dan I Gusti Wayan Murjana Yasa (2016) yang berjudul “Pengaruh lama usaha dan modal terhadap

• Tanpa menggunakan metode PFC konverter AC to DC satu fasa akan terlihat seperti sumber harmonisa dengan arus input tidak sinus lagi hal ini tampak pada nilai THD yang besar

Nampak terlihat bahwa Konverter tipe buck dengan kendali P mampu mengendalikan level tengangan sesuai referensi untuk beban RL(100Ω, 20m), sedangkan untuk beban

63 Itu ibu perasaanya gimana, dulu bisa banyak temen sekarang lebih banyak di rumah paling kalo ada panggilan baru kerja. Itu

Penggalan nuqilan baris bait diatas menunjukkan akan konsep manusia sebagai mahkluk social ( zoon poloticon ) yang membutuhkan bantuan orang lain, maka harus bergaul dan

Dari uraian di atas, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan terkait sisi positif dari teknologi pendidikan antara lain : (1)Teknologi mampu membantu manusia

Keuntungan yang dapat diperoleh dari kontrak berbasis kinerja diantaranya pengalihan risiko yang besar kepada kontraktor, efi siensi biaya, mendorong inovasi dan kerja

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa Kafe Dalan telah membuat laporan keuangan berupa Laporan Laba Rugi, namun mereka belum