“TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI PADA
MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK”
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)
Oleh :
ADE TRI CAHYANI
NIM : 1110043100029
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
iii
Nama : Ade Tri Cayani
Nim : 1110043100029
Dengan ini saya menyatakan bahwa;
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persayaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua Sumber saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Oktober 2014
iv
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan mengenai permasalahan Praktik Gadai Pada Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan dapat mengarahkan kepada suatu persoalan yaitu riba. Hal ini dapat dilihat dari praktik pelaksanaan gadai itu sendiri yang secara ketat ia harus menambahkan adanya bunga
gadai (rahin) karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu dalam melunasi
utangnya. Oleh karena itu penulis akan mengkaji mengenai praktik gadai tersebut yang terjadi dalam masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok, dengan menganalisa permasalahan mengenai tinjauan hukum Islam terhadap mekanisme gadai, pemanfaatan barang gadai, pemanfaatan barang gadai yang terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok.
Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok tentang praktik pegadaian yang sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dalam memberi jawaban atas permasalahan terhadap praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok.
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan instrumen penelitian lapangan (field research). Dan penelitian
kepustakaan yang didasarkan pada suatu pembahasan dengan menggunakan metode
studi kepustakaan (library research), metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif, yakni penulis berusaha menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan. Metode pengumpulan data menggunakan purposive sampling.
Dengan permasalahan yang ada, penulis menarik kesimpulan bahwa praktik gadai yang diterapkan masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok ini tidak sah menurut hukum Islam, akad gadai dalam mekanisme gadai tidak sempurna atau belum sesuai syariat Islam, seluruh praktik gadai yang penulis temukan terdapat unsur riba dan pemanfaatan atas barang yang di gadaikan, gadai yang berupa barang hutang praktik gadai yang terjadi dengan menggunakan barang kredit ini jelaslah sangat tidak sesuai dengan syariat Islam.
Kata kunci : Praktik gadai, pemanfaatan barang gadai, gadai berupa barang
hutang.
Pembimbing : H. M. Riza Afwi, MA dan Arip Purkon, S.Hi, MA
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Puji dan syukur yang tiada hentinya
dipanjatkan kepada sang penguasa kepada Allah SWT, yang telah memberikan
nikmat dan petunjuknya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PRAKTIK GADAI PADA MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK”
Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak pihak telah berkontribusi bahkan berjasa besar baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan
penuh rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu,
ucapan terima kasih diberikan kepada:
1. Bapak Dr. H. Phil. J.M. Muslimin, M.A selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Khamami, MA selaku Ketua Jurusan Program Study Perbandingan
vi
sudah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menulis skripsi
dengan baik.
4. Bapak H. Riza Afwi, MA, dan bapak Arip Purkon S.Hi, MA, selaku pembimbing
skiripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, saran serta
petunjuk dalam menyelesaikan skiripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah,
semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan di sisi Allah SWT.
6. Seluruh staf karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kerjasamanya dalam pelayanan
yang terbaik dalam pengumpulan materi skiripsi dan kelancaran administrasi.
7. Pejabat Kantor Kecamatan Tapos Kota Depok, beserta jajarannya yang telah
membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.
8. Para relawan yang telah bersedia untuk diwawancarai sehingga membantu
kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.
9. Kepada ayah tercinta bapak H. Asam Muhit, S.Ag M.Si, ibunda Hj. Yayah
vii
persembahkan. Seluruh keluarga besarku, kakanda Neneng Hasanah, machyudin, kakak iparku Dodi Mardani dan Juliana Sari dan kaka yang tercinta Boggie Adhar Frandyas yang senantiasa memberikan motivasi dan dukungan agar penulis tetap
semangat dalam menempuh studi di kampus tercinta ini. serta seluruh keluargaku yang selalu memberikan keceriaan dalam bingkai kebersamaan baik suka maupun duka.
10.Sahabat-sahabat tercinta, Dian Rahmayanti, Sri Wahyu Ningsih, Widya permata
Sari, Dian Kamal sari Ohorella, Ida Handayani, Ulfah Hidayah, Raihanun, dan semua rekan-rekan PMH (Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan 2010, khususnya perbandingan mazhab fiqih kelas A dan B yang tidak mungkin dapat
penulis sebutkan satu-persatu, yang senantiasa selalu memberikan semangat dan berjuang bersama dikampus tercinta ini, serta yang selalu menebarkan benih-benih keceriaan dalam kebersamaan.
Besar harapan bagi penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia
akademik. Sebagai manusia yang dhoif, yang memiliki keterbatasan dan kekurangan,
tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya, hanya kepada Allah
SWT juga kita memohon agar apa yang telah kita lakukan menjadi sesuatu investasi
yang sangat berharga dan kelak dapat membantu kita di yaumil akhir.
Jakarta, 15 Oktober 2014
viii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Metode Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI GADAI A. Pengertian Gadai (Rahn) ... 16
B. Dasar Hukum Gadai ... 20
C. Rukun dan syarat Gadai ... 23
D. Hak dan Kewajiban dalam gadai ... 30
E. Pendapat Para Ulama Tentang Pemanfaatan barang gadai ... 32
ix
TAPOS KOTA DEPOK
A. Letak Geografis Wilayah Kecamatan Tapos Kota Depok ... 39
B. Sekilas Kondisi masyarakat di Kecamatan Tapos Kota Depok ... 40
C. Mekanisme praktik gadai di masyarakat Kecamata Tapos Kota
Depok ... 46
D. Latar belakang terjadinya praktik pemanfaatan barang gadai
di kecamatan Tapos kota Depok ... 50
BAB IV: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI DI KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK
A. Tinjauan Hukum Islam terhadap Mekanisme gadai yang terjadi di
masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ... 53
B. Tinjauan Hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai
di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ... 55
C. Tinjauan Hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang
di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ... 61
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 67
1
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dengan transaksi, Allah
SWT telah menjadikan manusia saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya,
agar mereka saling tolong-menolong, baik dengan jalan tukar-menukar, sewa
menyewa, bercocok tanam atau dengan cara yang lainnya, karena sejatinya manusia
adalah makhluk sosial (social creature). Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa
pemberian dan bisa berupa pinjaman (gadai).1
Praktik gadai yang terjadi pada masyarakat di
kecamatan Tapos Kota Depok tidak sesuai dengan syariat Islam.
Bagi masyarakat mendengar kata gadai bukanlah hal yang aneh, mereka
mengetahui bahwa gadai merupakan salah satu ajaran yang ada dalam agama Islam,
khususnya masyarakat di Kecamatan Tapos kota Depok sudah menjadi suatu
kebiasaan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari masyarakat di
Kecamatan Tapos Kota Depok, mereka terbiasa melaksanakan praktik gadai dengan
cara yang sangat sederhana yang dilakukan antar kerabat dekat ataupun tetangga.
Mereka menganggap proses gadai tersebut lebih mudah dan cepat untuk mendapatkan
pinjaman di bandingkan mereka harus meminjam kepada pegadaian ataupun bank.
Meski begitu mereka tetap menganggap bahwa barang gadaian tersebut sebagai
antisipasi bilamana hutangnya tidak terbayar, maka barang gadaian yang digunakan
1
untuk menutupi hutangnya. Dan mereka pun tahu bahwa hutang adalah hak adami
yang harus dibayar sebelum mati.2
Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut :
Artinya :“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksa-Nya.” (Qs. Al-Maidah:2).3
Karena sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai hasrat untuk hidup
bersama. Lebih-lebih dalam zaman modern ini tidak mungkin bagi seseorang
makhluk hidup secara layak dan sempurna tanpa bantuan dari atau kerja sama dengan
orang lain. Oleh sebab itu, kerjasama antara seorang manusia merupakan sebuah
kebutuhan. Kebutuhan itu bisa berbagai bentuk, misalnya berupa uang, padahal ia
memiliki sejumlah barang yang dapat dinilai dengan uang. Dalam kondisi seperti ini
orang bisa melakukan beberapa alternatif guna mendapatkan uang. Salah satu
alternatif tersebut, misalnya dengan menggadaikan barang.
Rasulullah pernah mencontohkan praktik gadai dengan menggadaikan baju
besinya ketika membeli makanan kepada orang Yahudi. Seiring dengan
berkembangnya zaman dan aneka ragam kebutuhan manusia, maka saat ini bukan
2
Muhammad al-Fitra Haqiqi, harta halal harta haram, (Jombang: lintas media, tth) hal.129.
3
hanya pakaian tetapi segala macam harta benda dapat digadaikan sebagaimana yang
sering dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Diantara mereka
ada yang menggadaikan tanah, kendaraan bermotor, ruko, rumah, bahkan elektronik
seperti handphone, televisi.
Rahn mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada kenyataannya, dalam masyarakat konsep tersebut dinilai “tidak adil”. Dilihat dari segi komersil yang
meminjamkan uang merasakan dirugikan misalnya karena inflasi atau pelunasan
berlarut-larut sementara barang jaminan tidak laku. Di lain pihak barang jaminan
mempunyai hasil.4
Banyaknya lembaga pegadaian dengan tujuan pokoknya yang baik bukan
berarti semua masyarakat mengerti dan menggadaikan barangnya ke lembaga
pegadaian tetapi banyak pula masyarakat dalam melakukan transaksi gadai
melakukan transaksi gadai justru lebih memilih antar individu dengan cara sederhana.
Gadai yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat Kecamatan Tapos
Kota Depok, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang
memberatkan salah satu pihak yakni Murtahin dan dapat mengarahkan kepada suatu
persoalan yaitu riba. Hal ini dapat dilihat dari praktik pelaksanaan gadai itu sendiri
yang mengharuskan penerima barang gadai (murtahin) untuk membebankan bunga
kepada penggadai (rahin) pada saat Penggadai mengembalikan uang pinjamannya
4
kepada penerima barang gadai (murtahin).5 Dengan adanya syarat dan ketentuan
seperti itu maka praktik gadai yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tapos
Kota Depok tidak akan bisa menjadi suatu solusi untuk menyelesaikan masalah
keuangan yang sedang dialami oleh rahin, akan tetapi justru akan menambah masalah
baru karena rahin harus mengembalikan uang pinjamannya lebih banyak dari uang
pinjaman yang diterima.
Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok menggadaikan barang yang
mereka miliki ke orang lain yang mereka kenal seperti saudara, dan tetangga. Dalam
pelaksanaannya, akad gadai seringkali yang mensyaratkan dalam pemberian hak
pakai terhadap barang yang dimiliki rahin, ada pula dalam akad gadai meskipun
rahin tidak mensyaratkan perizinan memanfaatkan barang tetapi pihak murtahin tetap
memanfaatkan barang gadaian tersebut untuk kepentingan pribadi sampai rahin dapat
mengembalikan utangnya pada murtahin.
praktik gadai yang dilakukan tidak dapat dikategorikan membantu seperti
yang di syariatkan oleh hukum Islam, dan ini merugikan salah satu pihak dalam hal
ini rahin dan bisa dikategorikan dalam persoalan riba. Padahal dalam sistem ekonomi
Islam tidak mengajarkan kepada umat muslim untuk menjadi hamba yang hanya
mengejar materi saja tanpa melihat kehalalannya, melainkan mengajarkan dan
memberitahukan tatacara bagaimana dapat menghasilkan harta dengan halal.6
5
Muhammad Shalikul hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hal. 8.
6
Menurut jumhur ulama, apabila tidak diijinkan oleh yang menggadaikan,
barang yang digadaikan tidak dapat diambil sama sekali manfaatnya oleh si
pemegang gadai, Jumhur berlandaskan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hanifah dari Nabi Muhammad SAW:
َلاَل َُُّْػََٔ
:
َِّهنَا ُلُٕعَس َلاَل
-َىَهَعَٔ َِّْٛهَػ َُّهنَا َٗهَص
:
(
ِِّثِحاَص ٍِْي ٍَُْْشنَا ُكَهْغَٚ اَن
َََُُّْس ِ٘زَنَا
,
ًُُُُّْغ َُّن
,
ُُّيْشُغ َِّْٛهَػَٔ
)
ُُِْٙطُلَساَذنَا ُِأََس
,
ُىِكاَحْنأَ
,
ٌخاَمِث ُّناَجِسَٔ
.
7Artinya:“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya. "Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.”
Hadits ini mensyariatkan baik untung maupun rugi adalah untuk yang
menggadaikan.8
Berangkat dari beberapa landasan dan latar belakang di atas penulis
menemukan suatu problem dalam hal praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos
Kota Depok, di mana dalam proses praktik gadai penyalahgunaan akad dalam praktik
gadai karena di dalamnya terdapat pemanfaatan, kecurangan, ketidakadilan, serta
riba. Menurut masyarakat, dalam pelaksanaan praktik gadai yang dilakukan di
Kecamatan Tapos Kota Depok belum mengetahui kejelasan tentang hukum kehalalan
dan keharamannya.
Terkadang akad yang dilakukan itu telah sesuai dengan hukum syara‟, tetapi
di dalam pelaksanaan dari akad dan sistem yang diterapkan itu sendiri belum dapat
ditindak lanjuti dan masih harus dipertanyakan tentang hukumnya.
7
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-„Asqalani, Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2007),Cet. 2 Hadits No. 883.
8
Dari fenomena di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian di
Kecamatan Tapos kota Depok. Sebelumnya pun tidak pernah dilakukan penelitian
serupa di Kecamatan Tapos kota Depok. Maka dari itu judul skripsi yang penulis
angkat adalah “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK GADAI
PADA MASYARAKAT KECAMATAN TAPOS KOTA DEPOK”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih terarah dan menghindari salah persepsi dari pembaca, maka
penulis membatasi pembahasan tersebut pada:
a. Praktik gadai dibatasi pada kegiatan praktik gadai yang sering dilakukan oleh
masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok.
b. Penelitian pelaksanaan praktik gadai dan pemanfaatan barang gadai di masyarakat
Kecamatan Tapos Kota Depok.
c. Materi dibatasi, mengenai hukum Islam atau hukum-hukum yang hanya berkaitan
dengan pelaksanaan praktik gadai.
2. Perumusan Masalah
Praktik gadai yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok
menimbulkan beberapa problem yang harus dibahas dan ditentukan jawabannya. Hal
ini dikarenakan prosedur dari akad hingga pemanfaatan barang gadai tidak semuanya
berjalan sesuai dengan prosedur gadai yang sesuai dengan syariat Islam dengan
a. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap mekanisme gadai yang terjadi di
masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok?
b. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktik pemanfaatan barang gadai di
masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok ?
c. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang di
masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Pada setiap penelitian yang dilakukan pada dasarnya memiliki tujuan dan
fungsi tertentu yang ingin dicapai baik yang berkaitan langsung dengan penulis atau
pihak lain yang memanfaatkan hasil penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian
yang dilakukan penulis adalah:
a. Memberikan penjelasan terhadap proses dalam mekanisme gadai yang terjadi di
Masyarakat Kecamatan Tapos Kota depok sesuai dengan tata cara pelaksanaan
Praktik gadai yang sesuai dengan syariat Islam.
b. memberikan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya masyarakat di
Kecamatan Tapos Kota Depok tentang hukum pemanfaatan barang gadai yang
sesuai dengan syariat Islam.
c. memberikan penjelasan terhadap permasalahan barang gadai yang berupa barang
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan dari pihak lain yang
memanfaatkannya, juga diharapkan hasil penelitian ini dapat mendeskripsikan
proses dalam mekanisme gadai yang sesuai dengan syariat Islam.
b. Dengan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai hukumnya
memenfaatkan barang gadai sesuai dengan Hukum Islam.
c. Dengan penelitian yang penulis lakukan bisa memberitahu informasi mengenai
hukum menggadaikan barang yang berupa barang hutang, serta hasil penelitian ini
bisa bermanfaat untuk seluruh masyarakat dalam menjalani praktik gadai yang
sesuai dengan syariat Islam.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber,
kepustakan, penulis meliputi bahwa apa yang menjadi masalah pokok penelitian
tampaknya sangat penting dan prospektif. Untuk menghindari pengulangan dalam
penelitian ini, sehingga tidak terjadi adanya pembahasan yang sama dengan penelitian
lain, maka penulis perlu menjelaskan adanya tujuan penelitian yang akan diajukan.
Dan beberapa tulisan yang berkaitan dengan masalah tersebut merupakan suatu data
yang sangat penting.
Adapun beberapa skripsi yang pernah dibaca pada perpustakaan yang
1. Pada tahun 2011, telah ditulis skripsi atas nama Sarki dengan judul “Praktik Gadai Dikalangan Masyarakat di Desa Argapura Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor Dalam Perspektif Hukum Islam” dalam anaslisa ini membahas tentang Skripsi ini membahas tentang praktik gadai yang sering dilakukan oleh
masyarakat Desa Argapura Cigudeg Bogor yang hanya meliputi praktik gadai
mengandung riba atau tidak dan hukum Islam yang dibatasi hukum-hukum yang
bekaitan dengan pelaksanaan gadai. Metode penelitian kualitatif deskriptif,
penulisnya tidak bisa menyajikan data yang valid dan jelas terhadap studi kasus
yang coba diangkat.
2. Pada tahun 2012 atas nama Nur habibah, dengan judul “Analisa Dampak
Perekonomian dalam Gadai Sawah di Kalangan Petani Muslim.” Skripsi ini membahas mengenai tata cara sistem gadai sawah, dampak perekonomian petani
muslim di Desa Karang Patri dan analisa hukum memanfaatkan uang dari hasil
gadai. Metode yang digunakan kualitatif dan kuantitatif.
3. Pada tahun 2003, atas nama Aty Nurhayati, dengan judul “Konsep Gadai (ar-rahn) dalam Islam Serta Prospeknya di Indonesia.” Dalam skripsi ini membahas
tentang Analisa pegadaian dengan sistem syariah yang mempunyai prospek yang
cerah, baik pegadaian dengan sistem syariah maupun pegadaian baru serta
mengenai sekmentasi dan pangsa pasarari pegadaian ini sangat baik. Ini semua
dianalisis dari analisa SWOT yang telah ia teliti.
4. Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshory AZ. Dalam bukunya “Problematika
menurut Syari'at Islam berarti, permohonan atau pengekangan. Sehingga dengan
akad gadai menggadai kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama.
Yang punya hutang bertanggung jawab melunasi hutangnya, dan orang yang
punya hutang bertanggung jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Dan
bila utang telah dibayar, maka penahanan atau pengekangan oleh sebab itu akad
menjadi lepas, sehingga dalam pertanggungjawaban yang menggadai dan yang
menerima gadai hilang untuk menjalankan kewajiban dan bebas dari tanggung
jawab masing-masing.
Sedangkan yang membedakan dari penelitian ini membahas tentang
penyalahgunaan akad dalam praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota
Depok. Yang menjelaskan praktik gadai dalam Islam, penulis menyajikan beberapa
contoh praktik gadai yang diduga sering menjadi objek penyalahgunaan, agar dapat
menjadi bahan yang dapat dipertimbangkan untuk terciptanya produk hukum baru
sehingga bisa menanggulangi penyalahgunaan dan pemanfaatan praktik gadai
tersebut, kemudian Penulis juga mencoba untuk memberikan data yang akurat secara
prima dan up to date sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dengan
metode penelitian yang mengedepankan kualitatif deskriptif. Dan didukung oleh
wawancara secara langsung dengan para narasumber yang sering dan bahkan selalu
E. Metode Penelitian
Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan
suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat
memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
Metode adalah pedoman–pedoman, cara seseorang ilmuwan mempelajari dan
memahami lingkungan–lingkungan yang dihadapi. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode–metode sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Dalam ini penulis menggunakan metodelogi dengan pendekatan kualitatif,
yang memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung,
deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada hasil, analisis data kualitatif
cendrung dilakukan secara analisa induktif dan makna merupakan hal yang
esensial.9
Dalam masalah ini prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seorang, lembaga,
masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak, atau sebagaimana adanya.10
Dari pemaparan di atas Penulis berusaha memaparkan suatu kejadian dan
peristiwa. Metode ini berguna untuk melahirkan teori-teori tentative, metode
9
Lexi Moeleong. Metotodologi penelitian Kualitatif, Cet. 13, (Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2002), hl.135.
10
deskriptif berusaha mencari bahan bukan mengujinya, penelitian ini lahir karena
kebutuhan.
Penelitian ini memerlukan kualifikasi, yaitu peneliti harus memiliki sifat yang
represif (mau menerima) yang berarti harus selalu mencari informasi, bukan
menguji kebenaran suatu teori dan penelitian harus memiliki kekuatan integrative,
yaitu kekuatan untuk memadukan berbagai informasi yang diperoleh menjadi satu
kesatuan penafsiran.
2. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan skiripsi ini, penulis memilih studi kepustakaan (library
research). Penulis mencari bahan-bahan dari sumber tulisan yang berhubungan dengan permasalahan judul skiripsi.
3. Sumber Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik
Studi Pustaka, yaitu menyelidiki dokumen-dokumen tertulis untuk memperoleh
data yang terdiri dari:
a. Sumber data primer yaitu kitab suci Al-Quran, Hadist, Kitab Fiqih dan
lain-lain
b. Sumber data sekunder yaitu data yang di peroleh dari bahan-bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer seperti, buku teks,
Dokume-dokumen, Analisis data, Biografi, Kamus, maupun data dari
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penulisan skiripsi ini adalah dengan
menggunakan purposive sampling yaitu salah satu teknik pengambilan data atau
sampel yang sering digunakan dalam penelitian. Dengan cara peneliti menentukan
sendiri sampel yang diambil karena adanya pertimbangan pertimbangan tertentu,
sampel diambil tidak secara acak tetapi ditentukan sendiri oleh peneliti. Jadi
menurut penulis sampel ini cocok untuk penelitian kualitatif penelitian yang tidak
melakukan generalisasi. 11
5. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data yang telah dihimpun, penulis menggunakan
beberapa metode, yaitu:
a. Metode induktif, yaitu pengambilan kesimpulan yang dimulai dari
kesimpulan atau fakta-fakta khusus menuju kepada kesimpulan yang
bersifat umum.12
Jadi metode induktif adalah menganalisa data yang
bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum, oleh
karenanya dalam penelitian sebagai isi dari skiripsi ini, penulis mencari
berdasarkan literarture tentang judul yang sedang penulis teliti kemudian
dari temuan tersebut dilakukan analisa atau kesimpulan secara umum.
11
12
b. Metode deduktif, menarik fakta atau kesimpulan yang bersifat umum,
untuk dijadikan fakta atau kesimpulan umum yang bersifat khsusus.13
6. Teknik Penulisan
Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada
Prinsip-prinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan skiripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian awal skripsi, bagian isi
skripsi, dan bagian akhir skripsi yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab
terbagi dalam berbagai uraian sub-sub bab. Sistematika skripsi ini adalah sebagai
berikut: Bagian awal skripsi terdiri dari halaman judul, persetujuan pembimbing,
lembar pengesahan penguji, lembar pernyataan, abstrak, kata pengantar, daftar isi.
Bagian isi skripsi terdiri dari:
Bab I membahas mengenai pendahuluan, dalam bab ini diuraikan latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II memembahas tentang teori tentang gadai dalam Islam. Dalam bab ini
diuraikan tentang teori yang digunakan sebagai dasar pembahasan selanjutnya yaitu
pengertian gadai, dasar hukum gadai, rukun dan syarat gadai, hak dan kewajiban
13
dalam gadai, pendapat ulama kontemporer terhadap pemanfaatan barang gadai,
batalnya akad gadai.
Bab III membahas mengenai praktik Gadai di Kecamatan Tapos Kota
Depok. Letak geografis wilayah Kecamatan Tapos, sekilas kondisi masyarakat
Kecamatan Tapos, mekanisme praktik gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota
Depok, latar belakang terjadinya praktik pemanfaatan barang gadai di Kecamatan
Tapos Kota Depok.
Bab IV membahas tentang hasil Analisa Dan Pembahasan. Bab ini terdiri
dari 3 sub yaitu terhadap Tinjauan Hukum Islam terhadap mekanisme gadai yang
terjadi di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, Tinjauan Hukum Islam terhadap
praktik pemanfaatan barang gadai di masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok, dan
Tinjauan Hukum Islam terhadap gadai yang berupa barang hutang.
Bab V berisi penutup dan kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan
16
TINJAUAN UMUM MENGENAI GADAI A. Pengertian Gadai (Rahn)
Al-Rahn dalam kamus bahasa arab menggadaikan, menangguhkan اُْس –ٍْس
ٍْشٚ atau jaminan hutang, gadaian.14
Dan dapat juga dimaknai dengan alhabsu.Secara
etimologi rahn (gadaian) berarti tetap atau lestari, sedangkan al-habsu berarti
penahanan.15Begitupun jika dikatakan“ni‟matun rohinah” artinya: karunia yang tetap
dan lestari.16Menurut syarak kalimat Rahn itu artinya menjadikan harta sebagai
pengkukuh/penguat sebab adanya hutang.17
Sedangkan menurut terminologi atau istilah syara‟ terdapat beragam
pengertian tentang gadai(rahn), yaitu :
1. Menurut Imam syafi‟i
Mendefinisikan akad al-rahnu seperti berikut menjadikan al-„Ain (barang)
sebagai watsiiqah (jaminan) utang yang barang itu digunakan untuk membayar utang
tersebut (al-marhun bihi) ketika pihak al-Madiin (pihak yang berhutang, Al-Rahin)
tidak bisa membayar hutang tersebut. Kalimat, (menjadikan al-„Ain) mengandung
pemahaman bahwa kemanfaatan tidak bisa dijadikan sebagai sesuatu yang digadaikan
14
Adib Bisri, Munawir AF, Kamus AL-BISRI, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), Cet. Ke-1, hal. 274.
15
Choiruman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), Cet. Ke-2, hal. 139.
16
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih bahasa. H. Kamaluddin A Marjuki, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1996), hal.139.
17
(al-marhuun), karena kemanfaatan sifatnya habis dan rusak, oleh karena itu tidak bisa
dijadikan sebagai jaminan.18
2. Menurut Imam Malik
Mendefinisikan Al-Rahn seperti sesuatu yang mutamawwal (berbentuk harta
dan memiliki nilai) yang diambil dari pemiliknya untuk menjadikan watsiiqah hutang
yang Laziin (keberadaannya sudah positif dan mengikat). Maksudnya, suatu akad
atau kesepakatan akan mengambil sesuatu dari harta yang berbentuk al-„Ain (Barang,
harta yang berbentuk konkrit) seperti harta tidak bergerak yaitu tanah, rumah, hewan,
barang komoditi, atau dalam bentuk kemanfaatan (kemanfaatan barang, tenaga, atau
keahlian seseorang). Namun, dengan syarat kemanfaatan tersebut harus jelas dan
ditentukan dengan masa (penggunaan atau pemanfaatan suatu barang) atau pekerjaan
dengan memanfaatkan tenaga atau keahliannya, juga dengan syarat kemanfaatan
tersebut dihitung masuk kedalam hutang yang ada.19
3. Menurut Imam Hanafi
Rahn didefinisikan menjadi sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang)
yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu baik seluruhnya
maupun sebagiannya.20
18
Ibnu Qudamah, Al-Mughnil, Penerjemah Misbah, (Jakarta: Pustka Azzam, 2009), Cet. 1, Hal. 24.
19
Ahmad Al-Dardiri, Al-Syarhu Al-Shagir, (Mesir: Dar El-Maarif) t.th, Jil. 3, hal. 207.
20
4. Menurut Imam Hanbali
Mendefinisikan rahn dengan harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai
pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak mampu)
membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.21
Rahn menurut syara adalah :
َْٔأ ٍَِٚذنا َكِنَر ُذْخَأ ٍُِكًُْٚ ُثَْٛحِت ٍَِْٚذِت ِحَمِٛثَٔ ِعِسأَؾنا ِشْظََ ِٙف حِّٛناَي ٌحًَِْٛل آََن ٍَِْٛػ ُمؼج
ٍَِْٛؼنا َكْهِذ ٍِْي ِِّضْؼَت ُزْخَأ
“Menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara‟sebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau ia bisa mengambil (manfaat) barang itu”22
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya.Barang yang ditahan tersebut harus memiliki nilai
ekonomis.Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.23
Menurut Wahbah Zuhayli Al-Rahn sebagaimana didasarkan pada firman
Allah SWT dalam surat al-Muddatsir ayat 38:
:
Artinya:“tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
21
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Tanah Bakri Wakaf, 1996), Cet. 4, Hal. 158.
22
Sayyid Sabiq Fikih Sunnah 12, (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,1998), hal. 139
23
Sementara itu, gadai menurut istilah adalah akad utang di mana terdapat
suatu barang yang di jadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang
piutang, barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjual itu
hendaknya dengan keadilan (dengan harga yang berlaku di waktu itu).24
Gadai tersebut menjadikan suatu yang bernilai menurut pandangan syara‟
sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian utang dapat diterima.25
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), gadai adalah
suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau oleh orang lain atas
namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang yang
berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan
biaya yang dikeluarkan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUH
Perdata).26
Selain berbeda dengan KUH Perdata, pengertian gadai menurut syari'at
Islam juga berbeda dengan pengertian gadai menurut ketentuan hukum adat yang
mana dalam ketentuan hukum adat pengertian gadai yaitu menyerahkan barang gadai
untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dengan ketentuan, si penjual
24
Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 106.
25
Ahmad Azhar Basir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-piutang Gadai, (Bandung: PT.Al-Ma‟arif, 1983), hal. 50.
26
(penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya
kembali.27
Dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna yang sama, yaitu
gadai menurut bahasa adalah tetap atau penahanan, sedangkan menurut istilah menjadikan sesuatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara‟ untuk
kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian
utang dan benda yang dighadaikan. Sederhananya dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan hutang atau gadai.
B. Dasar Hukum Gadai
Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan (jaiz) tidak wajib
berdasarkan kesepakatan ulama, tetapi disyariatkan dengan dasar Al-Qur‟an, Hadits
dan Ijma‟ para Ulama.
1. Berdasarkan dalil Al-Qur‟an Al- Baqarah/2:283:
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
27
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikannya persaksian dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah yang berdosa hatinya dan Allah SWT
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Baqarah/2:283)
Berdasarkan ayat di atas, bahwa dalam melakukan kegiatan muamalah yang
tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang pun yang
mampu menjadi juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang
tanggungan (borg) yang oleh pihak yang berpiutang digunakan sebagai jaminan.28
Sebab gadai tidak bisa terjadi sebelum serah terima barang karena ia merupakan akad
saling membantu dan menolong yang membutuhkan serah terima.29
Para ulama bersepakat gadai hukumnya boleh, baik ketika tengah perjalanan,
mapun ketika Para menetap, berbeda pendapat terdapat mujahid dan ulama
Zahiriyyah30 karena sunnah menjelaskan tentang pensyariatan dan Al-Rahn secara
mutlak, baik ketika sedang ditengah perjalanan maupun ketika sedang menetap.
2. Berdasarkan dalil dari As-sunnah
Masalah rahn juga diatur dalam hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu:
ٍػ
ظَأ
ٙضس
للها
ُّػ
لال
:
ذمنٔ
ٍْس
ٙثُنا
ٗهص
للها
ّٛهػ
ٔ
ىهع
ّػسد
شٛؼؾت
دٛؾئ
ٗنإ
ٙثُنا
ٗهص
للها
ّٛهػ
ٔ
ىهع
ضثخت
شٛؼؽ
حناْإٔ
ححُع
ذمنٔ
28M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal.125.
29
Al-Qadhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ishfahani, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi‟I, alih bahasa Toto Edidarmo, (Jakarta:PT Mizan Publika,2012), Cet.2, hal. 327.
30
ّرؼًع
لٕمٚ
(
اي
حثصأ
لٜ
ذًحي
ٗهص
للها
ّٛهػ
ٔ
ىهع
لاإ
عاص
لأ
ٗغيأ
ىَٓإٔ
حؼغرن
خاٛتأ
)
31Artinya: Dari anas r.a dia berkata:”sesungguhnya nabi s.a.w menggadaikan baju besinya dengan biji gandum.Aku menemui nabi s.a.w. dengan membawa roti yang terbuatdari biji gandum dan kue biasa yang sudah tengik. Aku pernah mendengar beliau bersabda: “bagi keluarga Muhammad s.a.w setiap pagi dan sore hanya memerlukan satu sha‟. Padahal sesungguhnya mereka ada Sembilan anggota keluarga.” (HR. Bukhari)
Hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:
َلاَل وَشَؾَح ٍت ِٙهَػٔ ِٙهَظَُْحْنَا ىَِْٛشتإ ٍت ُقاحْعِا َاَُثَذَح
:
ظَُ ُٕٚ ٍت َظِْٛػ َاَ شَثخَأ
ْدن ال َحؾئاػ ٍػ ِدَٕعلاا ٍػ ىِْٛاشتِا ٍػ ؼًَؼنا ٍت
:
للها ٗهص للها لٕعس َٖشَرْؽِا
ىّهعٔ ِّْٛهػ
.
ذِْٚذَح ٍِْي ًاػسد َُّْسٔ اياَؼط ِ٘دَُْٕٓٚ ٍي
32Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali
dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin „Amasy dari Ibrahim dari Aswaddari Aisyah berkata: bahwasannya Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang yahudi dengan menggadaikan baju besinya (sebagai jaminan/anggunan).”(HR. Bukhori).
Dari hadits diatas praktik gadai sudah pernah diajarkan Nabi Muhammad
SAW, Rasulullah pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi
mendapatkan gandum untuk keluarganya. Gadai itu diperbolehkan kerena gadai
termaksud akad Syar‟i yang melindungi hak dan berfungsi untuk membayar hutang
jika penghutang tidak sanggup membayar.33
3. Ijma‟ Ulama
31
Bukhori, Shahih al-Bukhori, hadis no. 2373, jil. 2 (Beirut al-Yamâmah: Dâr ibnu Katsir, 1987), h. 887.
32
Bukhori, Shahih al-Bukhori, jil. 2 (Beirut al-Yamâmah: Dâr ibnu Katsir, 1987), h. 729.
33
Pada dasarnya para ulama telah bersepakat bahwa gadai itu boleh.Para ulama
tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa gadai disyari‟atkan pada waktu tidak bepergian
maupun pada waktu berpergian.34
C. Rukun dan syarat Gadai
melaksanakan akad gadai agar dipandang sah dan benar dalam syariat islam
maka harus memenuhi rukun dan syarat gadai berdasarkan hukum Islam.
1. Rukun Gadai
Menurut hukum Islam bahwa rukun gadai itu ada 4 (empat), yaitu:
a) Shighat atau perkataan
b) Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin)
c) Adanya barang yang digadaikan (marhum)
d) Adanya utang (marhum bih)35
Adapun mengenai rukun gadai dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Shighat atau perkataan
Shighat menurut istilah fuqaha‟ ialah:
ٗضاشرنا دثثٚ عٔشؾي ّجٔ ٗهػ لٕثمت باجٚلاا طاثذسا
"Perkataan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridlaan keduanya (kedua belah pihak)"36
34
Muhammad Sholikhul Hadi, Pegadaian Syari'ah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2000), hal. 521.
35
[image:33.612.88.541.108.378.2]Choiruman Pasribu Suhrowardi K.Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), cet.2, Hal.142.
36
Rukun gadai akan sah apabila disertai ijab dan qabul, sedangkan ijab dan qabul adalah shighat aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak kedua belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan ini kepada saudara untuk utangku yang sekian
kepada engkau", yang menerima gadai menjawab "Saya terima marhum ini" Shighat
aqdi memerlukan tiga syarat:
1) Harus terang pengertiannya
2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3) Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang
bersangkutan.
Akad gadai juga bisa dilakukan dengan bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan terhadap apa yang dimaksudkan, sebagaimana yang dikatakan oleh TM.
Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pengantar Fiqh Muamalah bahwa isyarat bagi orang
bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan penjelasan dengan lidah).37
b) Adanya pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin).
Pemberi gadai haruslah orang yang dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang akan digadaikan. Sedangkan penerima gadai adalah orang,
bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan
jaminan barang (gadai).38
37
TM. Hasbi Ash-Shiddieqi, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997),Cet.I, hal. 31.
38
c) Adanya barang yang digadaikan (marhum).
Barang yang digadaikan harus ada wujud pada saat dilakukan perjanjian
gadai dan barang itu adalah barang milik si pemberi gadai (rahin), barang gadaian itu
kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).39
Pada dasarnya semua barang bergerak dapat digadaikan, namunada juga
barang bergerak tertentu yang tidak dapat digadaikan.
Adapun jenis barang jaminan yang dapat digadaikan di pegadaian antara
lain:
1) Barang-barang perhiasan; emas, perak, intan, mutiara, dan lainlain.
2) Barang-barang elektronik:tv, kulkas, radio, telpon genggam, tape recorder, dan
lain-lain.
3) Kendaraan: sepeda, motor, mobil.
4) Barang-barang rumah tangga: barang-barang pecah belah.
5) Mesin: mesin jahit, mesin ketik, dan lain-lain.
6) Tekstil: kain batik, permadani.
7) Barang-barang lain yang dianggap bernilai.40
Dalam hubungan ini menurut pendapat ulama syafi”iyah barang yang
digadaikan itu memiliki tiga syarat:
1) Bukan utang, karena barang hutangan itu tidak dapat digadaikan
2) Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang.
39
Ahmad Sarwat, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, tth), hal. 93.
40
3) Barang yang digadaikan bisa dijual apabila sudah tiba masa pelunasan hutang
gadai.41
d) Adanya hutang (marhum bih)
Hutang (marhum bih) merupakan hak yang wajib diberikan kepada
pemiliknya, yang memungkinkan pemanfaatannya (artinya apabila barang tersebut
tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah), dan dapat dihitung jumlahnya.42Selain itu
hutang yang digunakan haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga
atau mengandung unsur riba.43
2. Syarat Gadai
Menurut Imam Syafi‟i bahwa syarat sah gadai adalah harus ada jaminan
yang berkriteria jelas dalam serah terima.44Sedangkan Maliki mensyaratkan bahwa
gadai wajib dengan akad dan setelah akad orang yang menggadaikan wajib
menyerahkan barang jaminan kepada yang menerima gadai.45
Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah akad gadai adalah sebagai berikut:
a) Berakal;
b) Baligh (dewasa);
c) Wujudnya marhum (barang yang dijadikan jaminan pada saat akad);
41
Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, Hal. 196.
42
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan syariah, (Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004), Hal.161.
43
[image:36.612.117.531.100.355.2]Chairuman Pasaribu, Suhwardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) Cet. 2, Hal. 142.
44
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2012), Cet.13, Hal. 235.
45
d) Barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian atau
wakilnya.46
Berdasarkan dari keempat syarat di atas dapat di simpulkan bahwa syarat sah
gadai tersebut ada 2 hal yaitu :
a. Syarat aqidain (rahin dan murtahin)
Dalam perjanjian gadai unsur yang paling penting adalah pihak-pihak yang
melaksanakan perjanjian gadai (unsur subjektif), yaitu cukup dengan melakukan
tukar menukar benda, apabila mereka berakal sehat (tidak gila), dan telah mumayyiz
(mencapai umur). Kemudian untuk orang yang berada di bawah pengampuan atau
wali dengan alasan amat dungu (sufih) hukumnya seperti mumayyiz, akan tetapi
tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia baligh diperlukan izin dari wali,
apabila pengampu mengizinkan perjanjian gadai dapat dilakukan, tetapi apabila wali
tidak mengizinkan maka perjanjian gadai tersebut batal menurut hukum.47
b. Syarat barang gadai (marhun)
Marhun adalah barang yang ditahan oleh murtahin (penerima gadai) sebagai
jaminan atas hutang yang ia berikan. Para ulama sepakat syarat yang berlaku pada
barang gadai adalah barang yang dapat diperjual-belikan.48
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat antara lain :
a). Harus dapat diperjualbelikan
46
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset,1998), Hal. 141
47Rahmat Syafi‟I,
Fiqih Muamalah, Cet.3, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Hal.162
48
[image:37.612.115.531.97.337.2]b) Harus berupa harta yang bernilai
c) Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syari‟ah
d) Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang diterima secara lansung
e) Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus seizin
pemiliknya.49
Salah satu syarat bagi marhum adalah penguasaan marhum oleh murtahin.
Mengenai penguasaan atau penerimaan barang yang digadaikan pada dasarnya
disepakati sebagai syarat gadai. Berdasarkan firman Allah SWT dalam surah
Al-Baqarah ayat 283:
ُحَضُْٕثْمَي ٍَُْٚشَف
Artinya: “maka hendaklah ada barang yang digadaikan (oleh yang
berpiutang).”
Tetapi ulama masih berselisih pendapat, apakah penguasaan barang ini merupakan
syarat kelengkapan ataukah syarat sahnya gadai.
Menurut Imam Malik, penguasaan barang itu sebagai sebagai syarat
kelengkapan, akad gadai itu sudah mengikat dan orang yang menggadaikan sudah
dipaksa untuk menyerahkan barang kecuali bila penerima gadai tidak mau adanya
penentuan demikian. Sebab Imam Malik mengqiyaskan gadai dengan akad-akad lain
yang mengikat dengan adanya ucapan, dan jika barang gadai beralih kepada
kekuasaan orang yang menggadaikan dengan jalan peminjaman (ariyyah), penitipan
atau lainnya, maka akad gadai tersebut tidak mengikat lagi.
49Rahmat Syafi‟I,
Sedangkan menurut Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan golongan zhahiri,
penguasaan barang itu termasuk syarat sahnya gadai. Sebab selama belum terjadi
penguasaan, akad gadai itu tidak mengikat orang yang menggadaikan.50Seseorang
menggadaikan barang dengan syarat, ia akan membawa haknya pada saat jatuh
tempo, dan jika tidak maka barang tersebut menjadi milik penerima gadai. Fuqaha
sependapat bahwa syarat tersebut mengharuskan batalnya gadai, sebab apabila rahin
menggadaikan suatu barang seperti kepada murtahin maka kemanfaatan dari barang
tersebut itu sepenuhnya milik rahin begitu pula kerugian atau kerusakannya berada
dalam tanggungan rahin.51
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
ُّػ للها ٙضس جشٚشْ ٙت ا ٍػٔ
َلاَل
:
َِّهنَا ُلُٕعَس َلاَل
-َىَهَعَٔ َِّْٛهَػ َُّهنَا َٗهَص
:
(
ُكَهْغَٚ اَن
َََُُّْس ِ٘زَنَا ِِّثِحاَص ٍِْي ٍَُْْشنَا
,
ًُُُُّْغ َُّن
,
ُُّيْشُغ َِّْٛهَػَٔ
)
ُُِْٙطُلَساَذنَا ُِأََس
,
ُىِكاَحْنأَ
,
ٌخاَمِث ُّناَجِسَٔ
.
Artinya:“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:"Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya."(Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya).52
50
Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, hal. 197.
51
Ismail Yakub, Al-UMM, (Kuala Lumpur: Victory Agencie,1989), Cet. 1, hal. 366.
52
D.Hak dan Kewajiban Para Pihak
Para pihak (pemberi dan penerima gadai) masing-masing mempunyai hak
dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajiban adalah sebagai
berikut:53
1. Hak dan kewajiban pemberi gadai (rahin)
A. Hak Pemberi Gadai
1). Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan kembali barangmiliknya
setelah pemberi gadai melunasi utangnya.
2). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan danhilangnya
barang gadai apabila hal itu di sebabkan oleh kelalaianpenerima gadai.
3). Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa dari penjualanbarangnya
setelah dikurangi biaya pelunasan utang dan biayalainnya.
4). Pemberi gadai berhak meminta kembali barangnya apabilapenerima gadai
telah jelas menyalahgunakan barangnya.
B. Kewajiban Pemberi Gadai
1). Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi utang yang telah diterimanya
dari penerima gadai dalam tenggang waktu yang telah ditentukan.
2). Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas barang gadai
miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai
tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang gadai.
53
2. Hak dan kewajiban penerima gadai (murtahin)
A. Hak penerima gadai (murtahin)
1). Penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan, apabila
pemberi gadai pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibanya
sebagai orang yang berhutang.
2) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang jaminan.
3) Selama utangnya belum dilunasi, maka penerima gadai berhak untuk
menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi gadai.
B. Kewajiban penerima gadai (murtahin)
1) Penerima gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya
harga barang yang digadaikan jika itu semua atas kelalaianya.
2) Penerima gadai tidak dibolehkan menggunakan barang yang digadaikan
untuk kepentingan pribadi.
3) Penerima gadai berkewajiban untuk memberitahu kepada pemberi gadai
sebelum di adakan pelelangan barang gadai. Dalam perjanjian gadai baik
pemberi gadai atau penerima gadai tidak akan lepas dari hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Hak penerima gadai adalah menahan barang yang
digadaikan, sehingga orang yang menggadaikan barang dapat melunasi
barangnya. Sedangkan hak menahan barang gadai adalah bersifat
menyeluruh, artinya jika seseorang menggadaikan barangnya dengan jumlah
masih berada di tangan penerima gadai, sehingga rahin menerima hak
sepenuhnya atau melunasi seluruh utang yang ditanggungnya.54
Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan tidak boleh bila yang menerima gadai
menjual barang gadaian yang diterimanya dengan syarat harus dijual setelah jatuh
tempo dan tidak sanggup ditebus olehnya tetapi harus dijual belikan oleh pemberi
gadai, atau wakilnya dengan seizin murtahin (yang menerima gadai).
Jika pemberigadai tidak mau menjual barang tersebut, maka yang menerima
gadai berhak mengajukan tuntutan kepada hakim.55
E.Pendapat Ulama Kontemporer Tentang Pemanfaatan Barang Gadai
Pada dasarnya segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual, maka boleh
untuk dijadikan jaminan (borg) atas utang.56Transaksi Rahn adalah transaksi yang
dimaksud untuk meminta kepercayaan dan jaminan hutang, bukan untuk mencari
keuntungan atau hasil.57
Para ulama fiqh sepakat mengatakan, bahwa segala biaya yang dibutuhkan
untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi tanggung jawab pemiliknya,
yaitu orang yang berutang. Para ulama fiqh juga sepakat mengatakan bahwa barang
yang dijadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa
54
Al-Faqih Abdul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Syaid, Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Imani, 2007), Cet. 3, hal. 200.
55
Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam (Tinjauan Antar Mazhab), (Semarang: Pustaka Risky putra, 2001)Cet. II, hal.366.
56
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi (eds),Kifayatul AkhyarTerjemah Ringkas Fiqih Islam Lengkap,(Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet.I, hal.143
57
menghasilkan sama sekali, akan tetapi apakah diperbolehkan pihak pemegang barang
jaminan memanfaatkan barang gadaian, meskipun mendapat izin dari pemilik barang
jaminan,58 dalam hal ini terjadi beberapa perbedaan pendapat para ulama. Ada
beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahidin tentang pengambilan
manfaat dari hasil barang gadaian.
1.Pendapat Imam Syafi'i
Dalam kitab Madzahibul Arbaah dijelaskan, Imam Syafi‟i mengatakan:
ٍْشنا
ةحاصْٕ
ٌْٕشًنا حؼفُي ٗف ّكحنا
ٗهػ
ٌّا
ٌْٕشًنا
ٌٕكٚ
ذٚ دحذ
ٍٓذشًّنا
ٌْٕشًنات عافرَلإاذُػّلاإ ُّػ ِذٚ غًُذلأ
Artinya: “Orang yang menggadaikan setelah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadaikan tidak hilang kecuali mengambil manfaat atas barang gadaian itu”.59
Dalam masalah ini Imam Syafi‟i pemanfaatan barang gadai tidak terkait
dengan adanya izin, akan tetapi ini berkaitan dengan keharaman pengambilan
manfaat atas utang yang tergolong riba yang diharamkan oleh syara‟.60
Imam Syafi‟i mengemukakan pandangannya berdasarkan hadits Rasulullah
SAW yang berbunyi :
58
Saleh Al-Fauzan, Fikih Sehari-hari, Penerjemah: Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet. 1, hal. 416.
59
Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anhory, A.Z, Problematika Hukum Islam Komtemporer III, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2004), hal. 83.
60 Ghufron A. Mas‟adi,
َلاَل َُُّْػَٔ
:
َِّهنَا ُلُٕعَس َلاَل
-َىَهَعَٔ َِّْٛهَػ َُّهنَا َٗهَص
:
ِ٘زَنَا ِِّثِحاَص ٍِْي ٍَُْْشنَا ُكَهْغَٚ اَن
َََُُّْس
,
ًُُُُّْغ َُّن
,
ُُّيْشُغ َِّْٛهَػَٔ
.
(
ِأس
ُٗطلساذنأ ٗؼفاؾنا
لالٔ
ِداُعإ
ٍغح
مصري
)
Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi saw ia bersabda : Gadaikan itu tidakmenutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaannya dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan segala resikonya (kerusakan dan biaya).(HR. Asy-Syafi'i dan Daruqutny dania berkata bahwa sanadnya Hasan dan bersambung).61
Dalam hadits di atas jelas menunjukkan, bahwa barang gadaian itu tidak
menutup hak atas pemiliknya yaitu orang yang menggadaikan untuk mengambil
manfaatnya.Dengan demikian, orang yang menggadaikan tetap berhak atas segala
hasil yang ditimbulkandari barang gadaian itu dan bertanggung jawab atas segala
resiko yangmenimpa barang tersebut. Dan penerima gadai hanyalah menguaasai
barang jaminan sebagai kepercayaan atas uang yang telah dipinjamkannya sampai
waktu yang telah ditentukan pada waktu akad.62
2. Pendapat Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi, tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang
gadaian yang mengakibatkan kurang harganya atau tidak. Imam Hanafi berpendapat
bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin murtahin, begitu pula
murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Mereka beralasan bahwa
61
Imam Syafi'i, al-Um, Jilid 3, tth.tp. hal. 167.
62 As Shan‟ani
barang gadai harus tetap dikuasai oleh murtahin selamanya.63Oleh sebab itu, golongan Hanafiyah ada yang membolehkannya untuk memanfaatkannya jika
diizinkan oleh rahin. Tetapi sebagian lainnya tidak membolehkan sekali pun ada izin
bahkan mengkategorikannya sebagai riba, jika disyaratkan ketika akad untuk
memanfaatkan borg, hukumnya haram sebab termasuk riba.64
3. Pendapat Imam Hanbali
Imam Hanbali berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu
adalah hewan, maka pemegang barang jaminan berhak untuk mengambil susunya dan
mempergunakanya, sesuai dengan jumlah biaya pemiliharaan yang dikeluarkan
pemegang barang jaminan.65
Hal tersebut dijelaskan dalam hadits yaitu:
ىهع ٔ ّٛهػ للها ٙهص للها لٕعس ل ال ُّػ للها ٙضس جشٚشْ ٙتا ٍػٔ
:
ُشَْٓظنا
ِٖزَنا َٗهَػَٔ إًَُْْشَي ٌَاَكاَرِإ ِِّرَمَفَُِت ُبَشْؾُٚ ِسُذنا ٍَُثَنَٔ إًَُْْشَي ٌَاَكاَرِا ِِّرَمَفَُِت ُةَكْشُٚ
َحَمَفَُنا ُبَشْؾََٚٔ ُةَكْشَٚ
(
٘ساخثنا ِأس
)
Artinya: “Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: binatang tunggangan yang dirungguhkan atau diborongkan harus ditunggangi dipakai, disebabkan ia harus dibayar, air susunya boleh diminum diperas untuk pembayaran ongkosnya, orang yang menunggangi dan meminum air susunya harus membayar.”66
(HR. Bukhari)
63
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 49.
64
Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan aplikasinya pada lembaga keuangan Syariah, (Jakarta: Lembaga peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. 1, hal. 226.
65
Ibnu Qudamah, Al-Mughni., (Beirut: Dar al-Kitab Al-„Araby,1980), Jil. 6, hal. 432-433.
66
Hadits di atas menerangkan bahwa binatang yang dijadikan jaminan boleh
diambil manfaatnya seperti untuk tunggangan, diminum air susunya hal ini
disebabkan karena adanya biaya yang telah dikeluarkan untuk pemeliharaan tetapi
apabila hasil ternaknya ada kelebihannya, maka kelebihan itu dibagi rata antara
murtahin dan rahin.Dan apabila orang yang menunggangi dan yang minum air susunya tidak membaginya maka orang tersebut harus membayar kelebihan itu.
4. Pendapat Ulama Malikiyah
Maliki berpendapat gadai wajib dengan akad (setelah akad) pemberi gadai
(rahin) dipaksakan untuk menyerahkan marhun untuk dipegang oleh penerima gadai (murtahin).Jika marhun sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin),