Unsur Pe mbangun Prosa
Tema
Memper tanyakan makna sebuah kar ya sebenar nya ber ar ti juga memper tanyakan tema.
Sebuah teks fiksi har us mengandung dan atau menawar kan tema, namun apa isi tema
itu sendir i tidak ditunjukkan. Tema mer upakan motif pengikat keselur uhan isi cer ita.
Tema ber sifat abstr ak yang secar a ber ulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan
biasanya dilakukan secar a implisit. Untuk menemukan tema kar ya fiksi har uslah
disimpulkan dar i keselur uhan cer ita, dan walau sulit ditentukan secar a pasti tema
bukanlah makna yang ter lalu "disembunyikan".
Untuk menjelaskan masalah tema per hatikan analisis makna dalam novel “Salah
Asuhan” ber ikut:
(1) Masalah kawin paksa. Hanafi dipaksa dengan Rafiah oleh ibunya, dengan alasan
semacam “balas jasa” kar ena ayah Rafiah telah membiayai sekolah Hanafi di
samping keduanya masih sepupu.
(2) Masalah penolakan “payung” (kebangsaan) sendiri. Hanafi lebih suka menjadi
war ga negar a (negar a) Belanda dar ipada tetap menjadi war ga negar a Indonesia
kar ena hal itu dianggapnya lebih ber gengsi dan mencer minkan status sosial.
(3) Masalah kawin paksa antar ban gsa, per kawinan campur an antar a Bar at dan Timur .
Hanafi kawin dengan Coor ie, setelah sebelumnya mencer aikan Rafiah, dan hal ini
(ditambah dengan makna kedua) menyebabkan mer eka ter sisih sehingga memicu
munculnya banyak masalah konflik.
(4) Kesalahan mendidik anak dapat ber akibat fatal. Hanafi oleh ibunya disekolahkan
secar a Bar at. Maksudnya, agar bisa lebih maju, namun ter nyata ia menjadi
ber sikap sombong, kebar at-bar atan, bahkan lebih ber sikap kebar at -bar atan
dar ipada or ang Bar at sendir i, dan amat r endah memandang bangsa sendir i.
Dar i keempat makna di atas manakah yang menjadi tema “Salah Asuhan”?
Untuk menentukan makna pokok sebuah pr osa kita per lu memiliki kejelasan tentang
makna pokok atau tema. Tema m er upakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
menyangkut per samaan-per samaan atau per bedaan-per bedaan (Har toko dan
Rahmanto, 1986:142).
Ber dasar kan kr iter ia bahwa makna utama sama dengan tema pokok yang mer asuki
keselur uhan cer ita, maka manakah yang menjadi tema pokok dar i empat analisis makna
novel “Salah Asuhan” di atas? Apakah makna per tama tentang kawin paksa mer upakan
tema pokok seper ti yang “dituduhkan” or ang ter hadap umumnya sastr a Balai Pustaka?
Tampaknya bukan, sebab makna itu hanya sebagian kecil dar i keselur uhan per istiwa
dengan cer ita yang panjang. Apakah makna kedua tentang penolakan kebangsaan sendiri
mer upakan tema pokok? Tampaknya ia juga bukan sebab hal ini hanya muncul dalam
kaitannya dengan r encana (per syr atan) pelaksanaan per kawinan Timur -Bar at, dan
masih banyak makna lain yang tidak ter sir atkan. Apakah kemudian makna ketiga
tentang perkawinan Tim ur-Barat mer upakan tema pokok? Walau memicu ber bagai
timbulnya per istiwa-konflik, masalah ini tampaknya juga bukan tema utama, sebab
masih ada makna lain yang tidak ter cakup di dalamnya ter masuk masalah kawin paksa,
yang tidak seper ti umumnya novel pada waktu itu, tidak menimbulkan sikap antipati
pembaca, dan bukan sebaliknya. Makna yang keempat tentang kesalahan m endidik anak,
kir anya memiliki kemungkinan besar untuk dinyatakan sebagai tema utama. Hal ini
disebabkan ber bagai per istiwa-konflik ber awal dan disebabkan oleh sikap Hanafi yang
kebar at-bar atan dan memandang r endah bangsa sendir i. Kar ena sikapnya inilah dia
memper lakukan Rafiah dan ibunya sebagai budak saja layaknya, r ela mencampakkan
“payung”-nya suatu hal yang dianggap kur ang baik pada waktu itu- kar ena
dikonotasikan sebagai lambang kekolotan, demi cintanya kepasa gadis Indo, Cor r ie, yang
dianggap dapat mengangkat mer tabat dir inya setingkat dengan bangsa Er opa yang
dikonotasikan sebagai lambang kemoder enan.
Per timbangan penentuan tema seper ti dicontohkan di atas juga didasar kan pada
penger tian tema sebagaimana dikemukakan Stanton (1965:21) yang mengar tikan tema
sebagai “makna sebuah cer ita yang secar a khusus mener angkan sebagian besar
unsur nya dengan car a yang seder hana” (Nur giyantor o, 2013: 115-117).
Setelah membaca suatu cer ita "Laskar Pelangi" misalnya, per nahkan Anda ditanya
bagaimana cer itanya? Di sinilah u mumnya pembaca mer asa ter tar ik ter hadap buku yang
akan, sedang, atau sudah dibacanya. Aspek cer ita dalam kar ya fiksi mer upakan hal yang
sangat penting, ia memiliki per anan penting dar i awal hingga ber akhir nya cer ita.
Kelancar an cer ita akan ditopang oleh kekompakan dan kepaduan ber bagai unsur
pembangun fiksi. Cer ita dan plot mer upakan unsur yang saling ber kait sehingga
keduanya sebenar nya tidak mungkin dipisahkan. Cer ita sekadar memper tanyakan apa
dan atau bagaimana kelanjutan per sitiwa, sedangkan plot lebih menekankan
per masalahan pada hubungan kausalitas, kelogisan hubungan antar -per istiwa yang
dikisahkan dalam kar ya nar atif yang ber sangkutan. For ster mencontohkan bahwa
per nyataan yang ber bunyi: “Sang raja m eninggal, kem udian sang perm aisuri
m enyusulnya” mer upakan cer ita, sedangkan per nyataan: “Sang raja m eninggal,
kem udian sang perm aisuri m enyusulnya kerena sedih’ mer uplan plot. Per bedaan ini
disebabkan per nyataan per tama sekadar menunjukkan adanya ur utan waktu kejadian,
sedang per nyataan kedua di samping ter dapat ur utan waktu juga mengandung unsur
sebab akibat.
Plot/ alur
Plot mer upakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit or ang yang
menganggapnya sebagai yang ter penting di antar a ber bagai unsur fiksi yang lain. Untuk
menyebut plot secar a tr adisional or ang juga ser ing menggunakan istilah alur atau jalan
cer ita, sedangkan dalam teor i-teor i yang ber kembang lebih kemudian dikenal adanya
istilah str uktur nar atif.
Per istiwa, konflik, dan klimaks mer upakan tiga unsur yang sangat penting dalam
pengembangan sebuah plot cer ita. Per istiwa dapat diar tikan sebagai per alihan dar i
suatu keadaan ke keadaan lain, dar i suatu aktivitas ke aktivitas lainnya. Per istiwa dapat
dibedakan dalam beber apa kategor i, dalam hubungannya dengan pengembangan plot
Luxembur g dkk, (1992) membedakannya ke dalam tiga jenis yaitu per istiwa fungsional,
kaitan, dan acuan. Per istiwa fungsional adalah per istiwa yang memengar uhi
per kembangan plot. Per istiwa kaitan adalah per istiwa yang ber fungsi mengaitkan
per istiwa kaitan kur ang memengar uhi per kembangan plot sehingga kalau ditinggalkan
tidak akan memengar uhi logika cer ita. Per istiwa acuan adalah per istiwa yang tidak
secar a langsung ber pengar uh dan atau ber hubungan dengan pengembangan plot
melainkan mengacu pada unsur -unsur lain misalnya hubungan dengan masalah
per watakan atau suasana batin yang melingkupi seor ang tokoh. Untuk mengetahui
plot ini per lu dilakukan pr oses membaca kr itis untuk mengetahui apakah fiksi yang
ber sangkutan memiliki plot pr ogr esif kr onologis ataukah flash-back, ber dasar kan
fakta-fakta yang dapat diper tanggungjawabkan.
Unsur lain dar i plot adalah konflik. Konflik dalam sebuah kar ya fiksi ter golong penting.
Konflik adalah sesuatu yang dr amatik, mengacu pada per tar ungan antar a dua kekuatan
yang seimbang dan menyir atkan adanya aksi dan aksi balasan. (Wellek &War en, 1989).
Konflik utama biasanya ber hubungan dengan makna yang ingin dikemukakan
pengar ang yaitu tema utama cer ita.
Unsur ter penting lain yang hadir dalam fiksi adalah klimaks. Menur ut Stanton (1965)
klimaks adalah saat konflik telah mencapai tingkat intensitas ter tinggi dan saat (hal) itu
mer upakan sesuatu yang tidak dapat dihindar i ter jadinya. Ar tinya, ber dasar kan
tuntunan dan kelogisan cer ita, per istiwa dan saat itu memang har us ter jadi, tidak boleh
tidak. Klimaks akan menentukan per kembangan plot.
Tahapan plot: Tahap Awal Tengah Akhir
Plot sebuah cer ita har uslah memenuhi tuntutan padu-unity. Untuk memper oleh
keutuhan sebuah plot cer ita, Ar istotels mengemukakan bahwa sebuah plot har uslah
ter dir i dar i tahap awal (beggining), tahap tengah (m iddle), tahap akhir (end) (Abr ams,
1999:226 via Nur giyantor o, 2013:201). Tahap awal cer ita biasanya disebut sebagai
tahap per kenalan. Tahap ini umumnya ber isi sejumlah infor masi penting hal-hal yang
akan dikisahkan pada tahap ber ikutnya. Tahap ini dapat ber upa penunjukkan atau
pengenalan latar , seper ti nama tempat, suasana alam, waktu kejadiannya, dll yang pada
dasar nya mer upakan deskr ipsi setting. Selain itu, ser ing juga pada tahap ini digunakan
per watakannya. Per hatikan petikan bagian aw al cer ita dengan pendeskr ipsian tokoh
dan per watakannya ber ikut ini.
“Pada suatu har i, ada seekor bur ung gagak yang sangat sombong. Dia selalu menyombongkan dir i akan kekuatanya pada selur uh penghuni hutan. Kar ena war na tubuh dan suar anya yang menyer amkan, tak ada penghuni hutan yang ber ani dengannya. Dengan bebasnya bur ung gagak itu sesumbar menyombongkan dir i, bahwa tak ada yang lebih kuat melebihi dir inya.” (Sumber : Bur ung Gagak yang Sombong oleh Muhammad Rifai).
Ber ikut ini tahap awal dar i Novel Ahmad Tohar i yang dilakukan dengan pendeskr ipsian
tempat/ latar .
“Sepasang bur ung bangau melayang meniti angin ber putar -putar tinggi di langit. Tanpa sekalipun mengepak sayap. Mer eka mengapung ber jam-jam lamanya. Suar anya melengking seper ti keluhan panjang, Air . Kedua unggas itu melayang ber atus-r atus kilometer mencar i genangan air . Telah lama mer eka mer indukan ampar an lumpur tempat mer eka mencar i mangsa: katak; ikan, udang, atau ser angga air lainnya.” (Ronggeng Dukuh Par uk, 1985:5)
Pada novel moder n tahap awal di samping memper kenalkan tokoh juga sudah
memunculkan konflik sedikit demi sedikit. Masalah-masalah yang dihadapi tokoh yang
akan memuncak di bagian tengah cer ita dan klimaks.
Tahap Tengah. Tahap tengah cer ita dapat juga disebut sebagai tahap per tikaian. Tahap
ini menampilkan per tar ungan dan atau konflik yang sudah dimulai sejak tahap
sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik-konflik
ter sebut dapat ber upa konflik inter nal yaitu konflik yang ter jadi dalam dir i t okoh, tokoh
ekster nal atau per tentangan dengan tokoh lain. Bagian tengah ini mer upakan bagian
ter panjang dan ter pinting dalam sebauh fiksi. Pada bagian inilah inti cer ita disajikan:
tokoh memainkan per anan, per itiswa-per itiwa fungsional dikisahkan, konflik
ber kembang semakin mer uncing dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema
pokok, makna cer ita diungkapkan.
Tahap Akhir . Tahap akhir sebuah cer ita dapat juga disebut sebagai tahap pelar ian,
dar i Ar istotels penyelesaian cer ita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan:
kebahagian (happy end) atau kesedihan (Sad End).
Penyelesaian cer ita yang dapat dikategor ikan sebagai happy end misalnya ber upa
per kawinan dua anak manusia yang saling mencintai seper ti pada dongeng-dongeng
klasik atau novel Pertem uan Jodoh, Asm ara Jaya, Salah Pilih, Layar Terkem bang, dan
Ayat-Ayat Cinta. Sebaliknya, penyelesaian cer ita yang ber akhir dengan kesedihan
misalnya ber upa kematian tokoh-tokoh utama seper ti yang ter dapat dalam novel Azab
dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Si Cebol Rindukan Bulan.
Jika membaca secar a kr itis ber bagai novel yang ada dalam kesastr aan Indonesia hanya
dengan mendasar kan akhir cer ita dengan dua kategor i di atas seper tinya tidak mungkin.
Bila membaca Belenggu, Pada Sebuah Kapal, Kem elut Hidup, Burung-Burung Manyar,
Supernova, Bilang Fu, bar angkali pembaca akan ker epotan menentukan akhir cer ita.
Belenggu misalnya, apakah ber akhir kebahagian? Tetapi, bukankah Tono ditinggalkan
istr i dan teman wanitanya? Ataukah ia ber akhir dengan kesedihan? Tetapi, bukankah
Tono ter bebas dar i belenggu jiwanya dan ber tekad ber kompensasi secar a positif? Cer ita
novel Belenggu memang telah diakhir i, mengandung penyelesaian.
Melihat model tahap akhir ber bagai penyelesaian sebuah cer ita yang sudah ada, dapat
dikategor ikan menjadi dua yaitu: penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka.
Penyelesaian ter tutup menunjuk pada keadaan akhir sebuah cer ita fiksi yang memang
sudah selesai, cer ita sudah habis sesuai dengan tuntutan logika cer ita yang
dikembangkan. Penyelesaian ter buka menunjukkan pada keadaan akhir sebuah cer ita
yang masih belum ber akhir . Ber dasar kan tuntutan dan logika cer ita, cer ita masih
potensial untuk dilanjutkan kar ena konflik belum sepenuhnya diselesaikan.
Penyelesaian ter buka ini member i kesempatan pembaca “ikut” memikir kan,
mengimajinasikan, dan mengkr easikan bagaimana kir a-kir a penyelesaian cer ita itu.
Ber ikut contoh akhir cer ita ter tutup dalam cer ita anak.
Remi dihidangkan makanan yang lezat, layaknya tamu ter hor mat. Setelah makan, Remi pamit untuk pulang tapi sang wanita menolaknya.
sudah tidak ada makanya aku ber tahan hidup dengan beker ja sebagai kuli di pasar !”
Mendengar itu, sang wanita par uh baya pun mer asa iba. Dia ter ingat dengan almar hum suami dan anaknya yang tewa s akibat kecelakaan pesawat. Sang wanita pun kemudian mengangkat Remi menjadi anaknya. Remi pun mener ima tawar an ter sebut. Kini dia hidup tenang dengan Ibu dan kehidupannya yang bar u. (Keber untungan Remi, Rizal)
Selain r incian tahapan plot di atas Mur sal Esten (2013) juga menyebutkan pembagian
plot ber upa:
a. Situasi (mulai melukiskan keadaan)
b. Generating circum tances (per istiwa-per istiwa mulai ber ger ak)
c. Rising action (keadaan mulai memuncak)
d. Klimaks ( mencapai titik puncak)
e. Denoum ent (pemecahan soal, penyelesaian)
Ur utan-ur utan alur di atas tidaklah tetap, ada fiksi yang mempunyai alur konvensioanl
seper ti di atas, tetapi ada juga yang mempunyai ur utan lain yang dimulai dar i
denoum ent seper ti dalam cer ita “Atheis”. Ada juga yang dimulai dengan per
istiwa-per istiwa yang mulai ber ger ak seistiwa-per ti dalam cer ita “Mer ahnya Mer ah”. Untuk cer ita fiksi
yang memiliki alur tr asisonal digunakan teknik foreshadowing yaitu menggambar kan
suatu per istiwa yang akan ter jadi. Sedangkan cer ita yang memiliki alur konvensional
memakai teknik “backtricking” atau flashback. Pembedaan plot ber dasar kan ur utan
waktu dapat dibedakan sbb.
Plot lur us, Pr ogr esif. Per istiwa-per istiwa yang dikisahkan dengan plot ini dikisahkan
secar a kr onologis, per istiwa per tama diikuti atau menyebabkan ter jadinya per istiwa
yang kemudian. Secar a r untut tahapan ini dimulai dengan tahap awal ( penyituasian,
pengenalan, pemunculan konflik) tengah (konflik meningkat, klimaks) akhir
(penyelesaian). Plot jenis ini dapat digambar kan dengan skema ber iku t.
A B C D E
Plot Sor ot-balik, flash back. Ur utan kejadian yang dikisahkan dalam cer ita fiksi yang
ber plot r egr esif tidak ber sifat kr onologis. Cer ita tidak dimulai dar i tahap awal (yang
akhir , bar u kemudian tahap awal dikisahkan. Salah satu contoh novel Indonesia yang
menggunakan alur ini adalah “Keluar ga Per mana” yang alur nya dapat digambar kan
dalam diagr am ber ikut.
D1 A B C D2 E
Di awal pencer itaan (D1) yang ber intikan meninggalnya Far ida, sedang A,B,C adalah
per istiwa yang disor ot balik yang ber intikan kemelut pada r umah tangga Per mana
sampai Fr ida dikawinkan dengan Sumar to. D2 (menegaskan per talian kr onologis
dengan D1) dan E ber upa kelanjutan langsung per istiwa awal D1 yang ber intikan
kegoncangan jiwa Per mana akibat meninggalnya Far ida, anak semata wayangnya
sampai pemakaman dan sesudahnya.
Plot Campuran. Bar angkali tidak ada novel yang secar a mutlak ber plot lur us-kr onologis
atau sebaliknya sor ot balik. Secar a gar is besar plot sebuah novel mungkin pr ogr esif,
tetapi di dalamnya, betapun kadar kejadiannya, ser ing ter dapat adegan-adegan sor ot
balik, demikian pula sebaliknya. Pengkategor ian plot sebuah novel ke dalam jenis
pr ogr esif, atau flashback sebenar anya lebih didasar kan pada mana yang lebih menonjol.
Tokoh dan Penokohan
Tokoh mer ujuk pada or ang, pelaku cer ita, misalnya sebagai jawaban atas per tanyaan
siapakah tokoh utama dalam novel itu? atau Ada ber apa jumlah tokoh novel itu?
sedangkan penokohan atau per watakan atau kar akter , menunjuk pada sifat dan sikap
par a tokoh seper ti yang ditafsir kan pembaca, lebih mer ujuk pada kualitas pr ibadi
seor ang tokoh. Menur ut Mur sal Esten ada beber apa car a untuk menggambar kan tokoh.
Per tama secar a analitik, yaitu pengar ang mencer itakan bagaimana watak
tokoh-tokohnya. Sebagai contoh dapat dilihat dar i kutipan ber ikut ini.
kawin, yang dir amaikan dengan per mainan seper ti tar i menar i, tayuban, dan lain-lain, seakan-akan dialah yang jadi tontonan! Sampai pagi mau ngibing, dengan tiada henti-hentinya. Hampir di dalam segala per kar a ia hendak di atas dan ter muka...(Katak Hendak Jadi Lembu, 1978:12)
Kedua, secar a dr amatik, pengar ang mencer itakan watak tokoh melalui penggambar an
tempat dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir (gambar an fisik, dsb) melalui
per cakapan, per buatan sang tokoh. Ber ikut salah satu teknik dr amatik dalam
menggambar kan watak tokoh melalui teknik tingkah laku atau per buat an tokoh.
Sudah lima kali aku ke Kr amat dan masuk menyelinap melalui pintu dapur . Sesudah kunjungan yang kedua kali pintu dapur kuku nci cer mat. Tetapi sur at Atik belum kujawab. Aku takut. Kunci masih ter letak di dalam lubang dinding seper ti dahulu. Seor ang dir i aku datang, dalam waktu istir ahat bebas dinas. Untuk ketiga kalinya. Hanya untuk duduk-duduk saja di ser ambi belakang. Dan melamun. Sebab sesudah segala per istiwa yang menimpa dir iku, aku semakin benci ber temu or ang. Hanya dengan Mayoor Ver br uggen aku masih dapat ber dialog. Sebab bagaimanapun, dengan mayoor petualang itu aku masih mempunyai ikatan intim dengan masa lampauku.
Bangkai-bangkai bur ung kesayangan Atik telah kuambil, kukubur dengan segala dedikasi, kur ungan-kur ungan telah kuber sihkan. Dan aku ter ingat, betapa sayang si Atik kepada bur ung-bur ungnya. (Bur ung-bur ung Manyar , 1981:75)
Dar i kutipan di atas dapat dilihat tingkah laku tokoh (Setadewa) pada dasar nya dia
seor ang yang sentiment il, r omantis, mer asa ter ikat dengan masa lalu. Ia juga seor ang
yang ber tanggung jawab walaupun itu ter kait dengan kesentimetilannya.
Penokohan yang baik ialah penokohan yang ber hasil menggambar kan tokoh dan
mengembangkan watak tokoh ter sebut mew akili tipe manusia yang dikendaki t ema dan
amanat cer ita. Dalam suatu fiksi biasanya ter dapat tokoh utama (central figure). Tokoh
lain ditampilan dalam hubungan dengan pelaku utama sehingga ter dapatlah yang
disebut dengan pelaku tambahan. Dalam kesustr aan Indonesia dijumpai juga fiksi yang
tidak memiliki pelaku utama misalnya “Sur abaya” kar ya Idr us. Namu n demikian, untuk
membedakan mana tokoh utama dan mana tokoh tambahan tidak bisa dilakukan secar a
eksak.
Melihat per an tokoh dalam pengembangan cer ita Nur giyantor o (2013) menyebutkannya
mengejawantahkan nilai-nilai ideal atau yang disebut sebagai tokoh baik, pahlawan.
Sedangkan tokoh yang menyebabkan konflik ter utama konflik dengan tokoh pr otagonis
disebut sebagai tokoh antogonis. Secar a umum kehadir an tokoh pr otagonis ini sangat
penting, tokoh antogonislah yang menyebabkan konflik dan ketagangan sehingga cer ita
menjadi menar ik. Kehebatan seor ang tokoh her o, dalam banyak kasus lebih ditentukan
oleh seber apa hebat tokoh antagonisnya.
Latar
Latar mer upakan pijakan cer ita secar a konkr et dan jelas. Hal ini penting untuk
member ikan kesan cer ita r ealistis kepada pembaca, menciptakan suasana ter tentu yang
seolah-olah sungguh-sungguh ada dan ter jadi. Membaca sebuah fiksi kita akan ber temu
dengan lokasi ter tentu seper ti nama desa, jalan, hotel, penginapan, kamar , dan lain-lain
tempat ter jadinya per itiw a. Di samping itu, kita juga akan ber ur usan dengan hubungan
waktu seper ti tahun, tanggal, pagi, siang, malam, pukul, pada saat bunga sakur a
ber mekar an, saat ger imis di awal bulan, atau kejadian yang menyar an pada tipikal
waktu ter tetu. Latar tempat yang mer ujuk pada lokasi ter tentu dan kehadir annya dapat
dir asakan disebut sebagai latar fisik (physical setting). Latar dalam fiksi tidak ter batas
pada penunjukan lokasi ter tentu atau sesuatu yang ber sifat fisik saja, melainkan juga
ber wujud tata car a, adat istiadat, keper cayaan, nilai-nilai yang ber laku di tempat yang
ber sangkutan. Hal-hal seper ti ini disebut sebagai latar spir itual. Di bawah ini
dicontohkan penunjukan latar dalam dua buah novel.
Desa pegaten yang kecil dibatasi oleh Kali Mundu di sebalah Bar at. Bila datang hujan sungai itu ber war na kuning tanah. Tetapi pada har i-har i biasa air Kali Mundu bening dan sejuk. Di musim kemar au Kali Mundu ber ubah menjadi selokan besar yang penuh pasir dan b atu. Or ang-or ang Pegat en yang memer lukan air , cukup menggali belik di tengah hampar an pasir . Cer uk yang dangkal itu akan mengeluar kan air minum yang jer nih (Kubah, 1980:32)
Latar dalam cer ita tidak ter batas pada penunjukan lokasi-lokasi ter tentu atau sesuatu
yang ber sifat fisik saja, melainkan juga ber wujud tata car a, adat istiadat, keper cayaan,
dan nilai-nilai ysng ber laku di tempat ber sangkutan. Hal-hal yang ter akhir ini disebut
sebagai latar spir itual (spiritual setting). Dalam novel-novel Indonesia latar spir itual ini
ser ing hadir ber samaan dengan latar fisik. Sebagai contoh latar spir itual dapat dilihat
Semua or ang Dukuh Par uk tahu Ki Secamenggala, moyang mer eka, dahulu menjadi musuh kehidupan masyar akat. Tetapi mer eka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang ter letak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Par uk menjadi kiblat batin mer eka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan or ang Dukuh Par uk ber pusat di sana. (Ronggeng Dukuh Par uk, 1986:7)
Latar sebagai salah satu unsur fiksi, sebagai fakta cer ita yang ber sama dengan unsur lain
membentuk cer ita. Latar ber hubungan langsung dan memengar uhi pengalur an dan
penokohan. Di samping itu, latar menyar an pada fungsi sebagai tanggapan atau suasana
dalam cer ita. Fungsi latar seper ti itu disebut sebagai metafor dan latar sebagai atmosfer .
Fungsi latar sebagai metafor dapat dicontohkan pada novel “Ronggeng Dukuh Paruk”.
Lokasi dukuh Par uk yang ter pencil sekalgus menyar an pada betapa keter pencilan dan
keseder hanaan hidup yang nyar is mendekati kepr imitifan masyar akat penghuninya.
Sebagai lukisan metafor ik lokasi yang ter pencil, ter isolasi, masyar akat Dukuh Par uk sulit
dibangunkan, disadar kan keter belakangan, kenaifan, dan kebodohannya. Mer eka adalah
gambar an masyar akat bodoh dan ter belakang yang tidak menyadar i kebodohan dan
keter belakngannya. Mer eka hidup dengan intuisi, intuisi yang sepenuhnya didasar kan
pada “sasmita” per tanda alam. Latar yang dapat befungsi sebagai atmosfir adalah latar
yang mampu menciptakan suasana ter tentu, misalnya cer ia, r omantik, sedih, mur am,
maut, mister ius, dsb. Penggambar an latar sebagai atmosfir dapat dideskr ipsikan, seper ti
contoh, jalanan yang ber aspal licin, sibuk, penuh kendar aan yang lalu lalang, suar a
bising mesin, klakson dan asap knalpot ber baur , ditambah pengapnya udar a dan bau
bensin. Mencer minkan suasana jalanan ibukota. Latar yang ber fungsi sebagai metafor ik
ataupun sebagai atmosfer walau mer ujuk pada penger tian dan fungsi yang ber beda,
pada kenyataannya er at ber kaitan.
Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view mer ujuk pada car a sebuah cer ita dikisahkan. Dengan
kata lain, sudut pandang mer upakan str ategi, teknik, siasat, yang secar a sengaja dipilih
oleh pengar ang untuk mengemukakan gagasan dan cer ita. Menur ut Nur giyantor o
(2013) sudut pandang cer ita secar a gar is besar dapat dibedakan ke dalam dua macam:
per sona per tama, first person, gaya “aku”, dan third person, gaya “dia”. Jadi, dar i sudut
masing-masing menunjuk dan menuntut konsekuensinya sendir i. Oleh kar ena itu, wilayah
kebebasan dan keter batasan per lu diper hatikan secar a objektif sesuai dengan
kemungkinan yang dapat dijangkau su dut pandang yang diper gunakan. Selain dua sudut
padang yang sudah disebutkan, Nur giyantor o menyebutkan adanya sudut pandang
dengan gaya “kau”, Second person. Sudut pandang ini memang belum lazim disebut
dalam ber bagai teor i fiksi, namun secar a faktual dapat ditemukan penggunannya dalam
cer ita fiksi.
Sudut pandang per sona ketiga “Dia”
Pengisahan cer ita dengan menggunakan sudut pandang ini menempatkan “dia”, nar ator
sebagai seseor ang yang ber ada di luar cer ita yang menampilkan tokoh cer ita dengan
menyebut nama atau kat a gantinya: ia, dia, mer eka. Nama tokoh cer ita, khususnya tokoh
utama ker ap disebut dan sebagai var iasinya menggunakan kata ganti. Sudut pandang
“dia” ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu “dia” mahatahu yaitu pengar ang dapat
dengan bebas mencer itakan segala sesuatu yang ber hubungan dengan tokoh “dia”, dilain
pihak ia ter ikat, mempunyai keter batasan “penger tian” ter hadap tokoh “dia” yang
dicer itakan itu, jadi ber sifat ter batas, hanya selaku pengamat.
Sudut pandang per sona per tama: “Aku”
Dalam sudut pandang “aku” nar ator hanya ber sifat m ahatahu bagi diri sendiri dan tidak
ter hadap or ang-or ang (tokoh) lain yang ter libat dalam cer ita. Ia hanya ber laku sebagai
pengamat saja ter hadap tokoh-tokoh “dia” bukan dir inya.
Sudut pandang Per sona Kedua: ”Kau”
Penggunaan teknik “kau” biasanya dipakai “mengor anglainkan” dir i sendiri, melihat dir i
sendir i sebagai or ang lain. Keadaan ini dapat ditemukan pada cer ita fiksi yang
disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai var iasi penutur an atau penyebutan.
Bahasa
Bahasa sastr a mungkin dicir ikan sebagai bahasa yang mengandung unsur emotif dan
Penggunaan bentuk-bentuk ter tentu metafor dalam bahasa bukan-sastr a yang justr u
memper jelas makna yang dimaksud dar ipada bahasa yang lugas. Bahasa kiasan juga
ser ing digunakan oleh pengar ang untuk menggambar kan r angkaian cer itanya. Diantar a
bahasa kias yang ser ing muncul dalam pr osa adalah: hiper bola, per sonifikasi, metafor a.
Seper ti telah dijelaskan pada analisis puisi hiper bola gaya bahasa yang menyatakan
sesuatu secar a ber lebih-lebihan. Gaya bahasa ini biasanya dipakai jika seseor ang
ber maksud melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan keadaan yang
sebenar nya dengan maksud untuk menekankan penutur annya. (Nur giyantor o,
2014:261). Per hatian contoh hiper bola dalam petikan cer ita ber ikut.
“Maka kemar ahan yang sudah ber minggu-minggu ter pendam itu tumpah r uah. … Akhir nya mer eka punya kesempatan emas. Tidak ada ibu-ibu yang lebih galak, lebih ber ani selain Mamak Nung” ( Bur lian: 117)
Per sonifikasi, kiasan ini memper samakan benda dengan manusia, benda mati dibuat
dapat ber buat, ber pikir , dan sebagainya seper ti manusia.
“Kau sejak dilahir kan memang sudah ber beda, Bur lian. Spesial….. Dulu waktu Mamak bar u mengandung kau beber ap minggu, setiap malam dar i pohon besar belakang r umah selelu ter dengar suar a bur ung ber isik, ber celoteh tidak henti-henti. Suar anya kadang-kadang melenguh nyar ing, kadang-kadang ber ter iak seper ti memanggil sesuatu, dan lebih ser ing lagi seper ti mer atap sedih tidak ber kesudahan.” (Bur lian: 1)”
Per bandingan, bahasa kias seper ti per bandingan menggunakan kata pembanding
seper ti, bagai, laksana, dll. seper ti yang ter lihat dalam petikan di bawah ini.
“Suar a ser angga ter dengar ber isik menjelang ger bang hutang, ber nyanyi seper ti or kestr a tanpa konduktor , atau macam ker amaian di pasar malam. (Bur lian: 16)
Selain unsur bahasa kias, kar ya pr osa ser ingkali menggunakan anamatope untuk
menghidupkan suasana. Anomatope atau tir uan bunyi ter sebut dianggap mampu
membawa pembaca dalam suasana yang nyata. Per hatikan penggunaan anomatope
dalam petikan novel ber ikut.
“BUMMM!!!”
Selur uh kampung ter asa ber getar .
“BUMMM!!!” Dentuman itu semakin kencang ter dengar . (hal 7)
Selain penggunaan bahasa kias untuk membangun suasana penulis pr osa juga ser ing
“Oh schat, het gokken. Itu judi, Bur lian.”Wak Wati ber kata mantap, duduk
menatap kampong dar i ber anda atas r umah panggungnya. (Bur lian:100).
Penyimpangan dalam bahasa sastr a dapat dilihat secar a sinkr onik, yang ber upa
penyimpangan dar i bahasa sehar i-har i, dan secar a diakr onik, yang ber upa
penyimpangan dar i kar ya sastr a sebelumnya. Unsur kebahasaan yang disimpangi itu
sendir i dapat ber macam-macam, misalnya penyimpangan makna, leksikal, str uktur ,
dialek, gr afologi, dan lain-lain.
Penyimpangan ini selain untuk mencapai efek keindahan juga untuk mengedepankan,
mementingkan, atau mengaktualkan sesuatu yang ditutur kan. Dengan demikian, bahasa
dalam kar ya sastr a menjadi ber sifat dinamis dan ter buka adanya kemungkinan
penyimpangan dan pembahar uan yang sekaligus sebagai manifestasi adanya “tuntutan”
kr eativitas.
Mor al/ Amanat
Seper ti halnya tema dar i segi dikotomi aspek isi kar ya sastr a, mor al/ amanat
mer upakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengar ang kepada pembaca,
mer upakan makna yang ter kandung dalam sebuah kar ya, makna yang disar ankan lewat
cer ita. Secar a umum mor al/ amanat mer ujuk pada penger tian (ajar an tentang) baik
bur uk yang diter ima umum mengenai per buatan, sikap , kewajiban, dan sebagainya;
akhlak, budi peker ti, susila. Per hatikan contoh nilai mor al untuk menjaga kelestar ian
alam dan lingkungan yang ter sur at dalam sebuah kar ya sastr a di bawah ini.
“Ayuk Eli yang tadi pr otes soal menangkap bur ung-bur ung itu benar . Kita memang mer usak hutan dengan menangkapi bur ung-bur ung. Tapi Ayuk Eli lupa sisi ter pentingnya, kita mengambil seper lunya. Kita menebang sebutuhnya. Kita punya batasan. Jangan per nah mengambil semua r ebung tanpa menyisakan tunasnya untuk tumbuh lagi. Jangan per nah menebar r acun atau menjulur kan kawat setr um di sungai yang akan membuat telur dan ikan-ikan kecil juga mati, padahal esok lusa dar i mer ekalah sungai akan ter us dipenuhi ikan-ikan. Jangan per nah menebas umbut r otan semuanya. Kita selalu ber usaha menjaga keseimbangan. Jangan per nah melewati batas, atau hutan tidak lagi ber sahabat.” (Bur lian: 260-261).
Adanya unsur mor al dalam sastr a ser ing dikaitkan dengan fungsi sastr a bagi
sastr a. Pembaca dan pembelajar an sastr a ber muar a pada afeksi, bukan kognisi.
Pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh pengar ang dapat ber macam-macam, antar a lain:
pesan r eligius atau keagamaan, kr itik sosial, dll.
Untuk menyampaikan pesan ter sebut dapat diidentikkan dengan penyampaian
penokohan atau watak tokoh. Ar tinya untuk menyampaikan pesan mor al dapat
dilakukan secar a langsung oleh pengar ang melalui penjelasan atau expository, secar a
tidak langsung atau ber padu dalam cer ita.
Ber dasar kan ur aian tentang analisis pr osa di atas ter lihat bahwa jalinan cer ita dan
unsur -unsur pembangun sebuah pr osa saling ter ikat kuat, tokoh dengan penokohannya
menyampaikan pesan-pesan mor al kepada pembaca melalui per itiwa yang disusun
dalam sebuah plot. Per istiwa ter sebut disampaikan dengan gaya bahasa yang dr amatik
dan per suasif dengan menggunakan sar ana stilistika yang mendukung seper ti
penggunaan tir uan bunyi, penggunaan bahasa kias, dan bahasa asing. Oleh kar ena itu,
ter cipta sebuah pr osa yang indah dan penuh makna dan member ikan kesan yang baik
bagi pembaca.
DISCLAIM ER
BAHAN BACAAN INI BERSUM BER DARI M ODUL DIKLAT GURU PEM BELAJAR: GENRE DAN APRESIASI SASTRA (DIRJEN GTK, 2016) DAN HANYA
DIGUNAKAN UNTUK KEPENTINGAN DIKLAT DALAM JARINGAN.