• Tidak ada hasil yang ditemukan

8. Perlawanan Kultural terhadap Syariatisme di Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "8. Perlawanan Kultural terhadap Syariatisme di Aceh"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 1 8. Perlawanan Kultural terhadap Syariatisme di Aceh

Oleh: Reza Idria

Dialihbahasakan oleh: Agung Mazkuriy

1. Introduksi

Dalam kontribusi ini, saya akan menganalisa beberapa bentuk hambatan kultural penerapan syariah1 di masyarakat Aceh. Tidak akan mungkin untuk mengkaji Aceh hingga akar pelaksanaan syariah di Aceh kontemporer, propinsi yang terletak di bagian barat dari salah satu pulau Indonesia, tanpa mengacu pada situasi politik di Indonesia setelah jatuhnya Jenderal Suharto. Turbulensi politik telah mengakhiri kekuasaan rezim Orde Baru –rezim terlama yang berkuasa dalam sejarah modern Asia Tenggara– pada 21 Mei 1998. Pengunduran diri Suharto yang dramatis diikuti oleh lepasnya Timor Leste (Timor Timur), menimbulkan tantangan serius terhadap integrasi Republik. Beberapa propinsi menuntut referendum (jika masih ingin dijadikan bagian wilayah dari Republik atau sepenuhnya independen), termasuk di antaranya Aceh, Papua, Banten, Maluku dan Riau.

Yang terjadi di Aceh, segera setelah lengsernya rezim Suharto, adalah serangkaian demonstrasi berlangsung menuntut referendum untuk lebih menyuarakan

1

Sharia adalah istilah dala ahasa A a , se a a ke ahasaa adalah ata ai ,

seda gka e u ut pe ge tia aga a ke aji a te hadap Tuha . Cf. M.B. Hooke ,

(2)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 2 keinginan mereka guna memisahkan diri dari Republik.2 Kelompok separatis, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mendulang popularitas.3 Sejak lahirnya era Reformasi di seluruh Indonesia pada tahun 1998, GAM telah mengintensifkan pemberontakan di berbagai wilayah di Aceh. Tak perlu dikatakan di sini, militan GAM memiliki banyak keuntungan dari situasi politik yang tidak stabil di tingkat nasional. Serangkaian serangan gerilya pada militer Indonesia, serta propaganda besar-besaran tentang akan datangnya era kemerdekaan di Aceh, penyebaran hal ini adalah penyebabnya. Lepasnya Timor Timur paska referendum memaksa pemerintah Indonesia mencari solusi ‘lunak’ lainnya. Pemerintah Pusat, dengan demikian menghindari segala opsi baik menerima permintaan Aceh untuk referendum atau menggunakan opresi militer sekali lagi guna mengatasi permasalahan Aceh.4 Kedua opsi tidak akan menguntungkan pemerintah Jakarta pada saat itu. Secara khusus, pilihan pertama bisa memicu tuntutan serupa di daerah-daerah lain. Jakarta mungkin juga mengerti bahwa hampir semua orang Aceh sangat menentang Pemerintah Pusat yang di belakangnya di dorong oleh GAM pada saat itu. Menyadari hal tersebut,

2

Terjadi pada 8 November 1992, dua juta warga Aceh berkumpul di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, untuk menuntut referendum bagi Aceh. Dipimpin oleh beberapa asosiasi aktivis mahasiswa Aceh dan SIRA (Sentral Informasi Referendum Acheh), tindakan provokatif ini memaksa Pemerintah Pusat di Jakarta untuk mengambil langkah-langkah lanjutan untuk mengurangi potensi kekacauan.

3

Gerakan Aceh Merdeka (GAM), juga dikenal dengan istilah Aceh Sumatera National

Liberation Front (ASNLF), didirikan oleh Hasan Muhammad di Tiro pada tahun 1976. Terkait formulasi kepengurusan awal gerakan pemeberontak ini, lihat Hasan Muhammad di Tiro, The Unfinished Diary of Tgk. Hasan Tiro, (ASNLF, 1981); lihat juga Tim Kell, The Roots of Acehnese Rebellion 1989–1992 (Ithaca: Cornell Indonesian Modern Project, 1995). Untuk kajian komprehensif tentang akar konflik dan proses perdamaian di Aceh paska tsunami 2004, lihat Anthony Reid, Verandah of Violence, the Background to the Aceh Problem (NUS Publishing & Seattle: Singapore University Press & University of Washington Press, 2006).

4

Dalam upaya memberantas GAM, Suharto menyatakan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Selama periode tersebut (1989-1998), beberapa daerah di Aceh seperti Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur menjadi ladang pembunuhan massal. Ribuan

orang terbunuh, diperkosa dan disiksa. Lihat Al-Chaidar, Aceh Bersimbah Darah:

Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (dom) di Aceh 1989–1998

(3)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 3 karenanya, identitas keagamaan, yang secara kesejarahan dan kebudayaan adalah hal penting bagi Aceh, menjadi aset berharga untuk ‘digarap’ oleh pemerintah Indonesia, seperti presiden Indonesia pertama Indonesia, Soekarno, yang memainkan dua hal tersebut untuk menekan pemberontakan di Aceh pada tahun 1960-an.5 Memahami situasi politik, baik yang terjadi di masa lalu dan yang akan datang, akan membimbing dalam memahami kenapa banyak orang muslim Aceh sekarang ini

memperjuangkan ‘hukum Islam’.

Untuk memahami mengapa usulan penerapan syariah menjadi bagian integral dari respon terhadap situasi politik di Aceh, terutama setelah jatuhnya Suharto, salah satu yang harus dilihat secara jeli adalah apa yang jadi motif Gerakan Aceh selama perang. Meskipun banyak peneliti berpendapat bahwa GAM sudah berubah menjadi sebuah gerakan non-keagamaan,6 tampaklah jelas pada saat konflik yang banyak pejuang lokal GAM untuk selalu coba yakinkan ke rakyat Aceh adalah perjuangan mereka adalah perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah), yang berusaha untuk membawa kemenangan bagi agama Islam di Aceh.7 Pada ruang berbeda, pelabelan

5

Sebagaimana pada tahun 1953, Aceh mulai membangkang Pemerintah Indonesia. Teungku Daud Beureueh memimpin perlawanan dan menyatakan Aceh menjadi bagian dari Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Kartosoewirjo.

Konflik berakhir setelah Soekarno menawarkan status Istimewa bagi Aceh, termasuk hak

Pemerintah Daerah untuk menerapkan hukum Islam. Lihat Nazaruddin Sjamsuddin, The

Republican Revolt: a Study of the Acehnese Rebellion (Institute of Southeast Asian Studies, 1985). Lihat juga C. van Dijk, Rebellion under the Banner of Islam:the Darul Islam in Indonesia (The Hague: M. Nijhoff, 1981).

6

Tentang konsep transformasi gerakan pemberontak lihat misalnya Edward Aspinall,

Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia (California: Stanford University

Press, 2009); lihat juga Kirsten E. Schulze, The FreeAceh Movement (gam), Anatomy of a

Separatist Organization (Washington DC: East-West Center, 2004). Para pentolan GAM yang berada di Eropa, terutama di Swedia dan Norwegia, keberatan dengan penggunaan istilah Islam dan jihad dan menunjukkan sikap keragu-raguan tentang penerapan hukum sya iah di A eh. Ke a yaka da i e eka e akai istilah kesadaran sejarah atau histo i al duty, jika ditanya tentang semangat yang melatarbelakangi perjuangan untuk kemerdekaan. Namun, menurut beberapa wawancara yang saya lakukan sebelum Perjanjian Damai Helsinki, banyak pejuang lokal menekankan keyakinan ke dalam masyarakat mereka tentang jihad dan kemenangan bagi Islam sebagai tujuan dari kemerdekaan.

7

(4)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 4 sebagai kelompok separatis Islam semacam ini harus diingkari oleh pihak GAM jika ingin mendapatkan dukungan internasional. Sebaliknya, di tingkat lokal, mereka membutuhkan identitas keislaman untuk menarik pengikut. Jelaslah bahwa kontradiksi dan ambiguitas propaganda GAM patut dipertimbangkan oleh Pemerintah Pusat ketika merumuskan strategi ‘serangan balik’ untuk mendelegitimasi pemberontakan.

Mempertimbangkan hal di atas, Pemerintah Pusat mengusulkan pendekatan khusus untuk Propinsi Aceh. Pertama, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) No. 44/1999 tentang PenyelenggaraanKeistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yang menyangkut tentang keagamaan, adat istiadat dan pendidikan. Kebijakan ini dua tahun kemudian diikuti oleh Undang-Undang No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-Undang yang terakhir memberikan otonomi khusus untuk Aceh yang memungkinkan penerapan hukum syariah.8 Dua UU baru tersebut telah melimpahkan kewenangan lebih luas kepada Pemerintah Daerah Propinsi Aceh untuk menerapkan apa yang disebut ‘hukum Islam secara komperhensif’ atau penegakan syariah (syariah Islam) dan pelimpahan hak khusus untuk membentuk Pengadilan Syariah (Mahkamah Syariah) dan Dinas Syariat Islam. UU ini juga mengubah nama propinsi dari Aceh ke Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut beberapa elit lokal, nama baru tersebut terdengar lebih Islami, damai dan independen. Sayangnya, regulasi-regulasi baru dan status baru ini tak memberikan kontribusi apa-apa guna menghentikan konflik.

2. Satu dekade syariah: melihat dari dalam

pe jajaha . Te ta g pe asalaha i i, lihat isal ya Ja es T. Siegel, The Cu se of Photog aph ya g: A eh , Indonesia, no. 80 (Oktober 2005), 21-38.

8

(5)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 5 Hingga tahun 2001, syariah dan konflik yang tak kenal lelah antara Aceh dan Jakarta tetap terjadi. Namun, menurut banyak orang Aceh, Tuhan akhirnya menurunkan kuasanya untuk menghentikan perang.9 Gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 telah mengubah wajah situasi politik di Aceh. Pada 15 Agustus 2004, di Helsinki Finlandia, Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) untuk mengakhiri salah satu konflik paling berdarah di Asia Tenggara. Damien Kingsbury yang menulis cerita kronologis proses perdamaian di Helsinki, menggambarkan perundingan dari putaran ke putaran selanjutnya. Dalam tulisannya menunjukkan dengan jelas bahwasanya tidak ada pembicaraan tentang penerapan syariah.10 Meski demikian adanya, muncul pelaksanaan syariah diumumkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh/UUPA setelah kesepakatan proposal Helsinki, meski penerapannya secara signifikan tidak berkontribusi untuk mengakhiri konflik. Pemerintah Pusat menyetujui UUPA berdasarkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Secara garis besar, setelah nota kesepakatan Helsinki dan implementasi UU tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), masalah syariah diserahkan kepada Pemerintah Propinsi Aceh. Pemerintah Pusat mengalihkan ‘kewenangannya’ kepada Pemerintah Daerah.

Sementara itu, proses pemulihan paska tsunami dan proses perdamaian di Aceh telah menarik kedatangan kalangan internasional ke wilayah tersebut. Menariknya, hukuman cambuk justru pertama kali terjadi pada tahun 2006. Meski begitu, hal ini tidak menarik perhatian dunia internasional terhadap konsekuensi dari pelaksanaan syariah. Perihal resolusi konflik dan manajemen paska bencana menyibukkan pikiran setiap orang, seperti rekonstruksi dan rehabilitasi yang sedang berlangsung. Reportase tentang Aceh di media lokal dan internasional didominasi oleh berita tentang proses

9

Lihat penelitian saya Musli Theologi al Pe spe ti es o Natu al Disaste s: The Case of I do esia Ea th uakes a d Tsu a i of , tesis MA diajukan ke Leiden University, 2010.

10

(6)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 6 perdamaian, kemajuan rekonstruksi paska bencana dan transparansi penyaluran bantuan. Meski diperdebatkan, masalah syariah tidak menarik bagi media massa pada saat itu.11 Terlebih lagi, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar telah terpilih menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru Aceh. Keduanya terkenal dengan latar belakangnya yang ‘sekuler’, khususnya Irwandi Yusuf yang pernah menjabat sebagai Juru Bicara GAM. Keduanya pria ini sangat sejalan dengan para pemimpin GAM internasional dalam berbagi pandangan politiknya, artinya keduanya memiliki ketertarikan secara khusus dalam membumikan syariah.12 Setelah perjanjian kesepakatan damai, Gerakan Aceh Merdeka berubah menjadi partai lokal, Partai Aceh (PA). Situasi mulai berubah setelah banyak LSM internasional meninggalkan Aceh. Polisi Syariah, yang jamak dikenal sebagai WH (Wilatul Hisbah), diresmikan dengan tugas untuk menegur siapa saja yang melanggar peraturan syariah (Qanun).13 WH melakukan razia secara intensif yang disebut ‘tempat mojok’, tempat terasing seperti pantai, kafe dan hotel. Razia diikuti oleh nasehat dan teguran terkait berbagai larangan perilaku di tempat umum menurut pihak otoritas berwenang, karena tidak sesuai dengan syariah, seperti merayakan malam tahun baru, pergi ke tempat hiburan publik, dan banyak lagi. Perempuan Aceh diwajibkan untuk memakai jilbab dan dilarang mengenakan gaun ketat.

Adanya sanksi siksaan fisik dalam syariah dan kaitannya terhadap langkah politik Jakarta juga dapat ditelusuri ke belakang, yaitu ketika Partai Aceh memenangkan Pemilu pada tahun 2009. Tak berselang lama, para anggota DPR Aceh (DPRD-nya Aceh) –di antaranya Parpol tingkat nasional seperti Golkar, PDIP, PKS

11

Saya telah membuat studi permulaan melalui arsip Serambi Indonesia, surat kabar

harian Aceh dari tahun 2005 sampai 2007. Sukar untuk menemukan berita tentang syariah pada masa terjadi bencana. Berita tentang rehabilitasi bencana dan rekonstruksi mendominasi.

12 Mo h Nu I h a , Offi ial Ula a a d Politi s of Re

-Islamisation: The Majelis Pe usya a ata Ula a, Sha iʾatisatio a d Co tested Religious Autho ity i Post-New O de s A eh , Journal of Islamic Studies 22:2 (2011), 204.

13

Sesuai ketentuan qonun syariah Aceh, hukuman cambuk publik adalah hukuman bagi mereka yang melakukan tindakan-tindakan berikut: khalwat, maisir (judi), khamar

(7)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 7 dan PPP (sebagai lawan partai lokal termasuk PA)– mengesahkan draft Qanun Jinayah atau Hukum Pidana Islam. Qonun Jinayah ini termasuk merumuskan rajam sampai mati bagi siapa saja yang pernah menikah melakukan perzinahan, dan sanksi 100 cambukan untuk pelaku homoseksual. Namun, ketentuan ini tertunda diundangkan karena Gubernur Irwandi Yusuf menolak untuk menandatangani qanun tersebut. Namun, menurut regulasi tentang otonomi, di tingkat propinsi, Irwandi Yusuf tidak memiliki hak untuk ikut campur tangan dalam pengambilan kebijakan syariah seperti halnya kewenangan yang dimiliki oleh Bupati/Walikota berkaitan proses pembentukan Perda Kabupaten/Kota.

Ada pelanggaran HAM oleh aparat Syariah dan pejabat Pemerintah Daerah Propinsi Aceh. Sebagai contoh, dua anggota Polisi Syariah (Wilayatul Hisbah) diperkosa dan disiksa seorang mahasiswi 20 tahunan, ketika dalam penahanannya pada tanggal 15 Juli 2010. Selain itu, ada Bupati juga yang menerapkan peraturan kontroversial di Daerahnya. Sebagai contoh, Ramli MS, Bupati Aceh Barat, mengeluarkan Qanun yang melarang perempuan mengenakan celana jeans dan

pakaian ‘ketat’.14

Karenanya, perempuan Muslim di Aceh Barat diminta untuk mengenakan pakaian menutup seluruh tubuh yang tidak menampakan lekuk tubuh mereka dan hanya boleh memperlihatkan wajah dan telapak tangan. Regulasi ‘aneh’ lainnya adalah regulasi yang dikeluarkan oleh Bupati Aceh Selatan, Husein Yusuf. Anehnya, dia melarang PNS laki-laki memiliki jenggot.15 Oleh karenanya, media dan LSM yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia mulai melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan administrator Syariah di Aceh.16

14

Regulasi disahkan pada 27 Mei 2010 dan diberlakukan hanya di Aceh Barat. Dalam tingkatan Propinsi, qanun tentang berbusana Muslim disahkan pada 2002 yang mana Pasal 13 menyatakan bahwa setiap muslim harus mengenakan pakaian Islami. Lebih lanjut, penjelasan Pasal No. 13 dinyatakan bahwa Muslim harus menutup auratnya, tidak transparan dan tidak sensual. Tidak terdapat penjelasan eksplisit yang melarang jins dan celana yang dilarang.

15

Serambi Indonesia, 12 Mei 2010. Husin Yusuf tidak menjelaskan kenapa dia mengatakan itu. Dia hanya bilang ke media bahwa kita tidak hidup di Iran, kita adalah Musli I do esia.

16

(8)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 8 Syariah telah diberlakukan selama satu dekade. Muncul dinamika dalam proses jalannya peraturan yang berkelanjutan, beberapa di antaranya baru saja kami saja sebutkan. Saya ucapkan terima kasih kepada banyak peneliti yang telah menyediakan kajian kritis tentang latar belakang pemberlakuan Syariah di Aceh kontemporer; kajian seperti yang dilakukan oleh Amal dan Panggabean (2003);17 Kingsbury (2007);18 Feener and Cammack (2007);19 Salim (2008);20 Aspinall (2009);21 Ramli (2010);22 Basri (2011);23 dan Ichwan (2011).24 Sebagian besar penelitian tersebut, kurang lebih, menunjukkan bagaimana Syariah menjadi ‘alat’ memadamkan sentimen kaum separatis.

Namun, terlepas dari penelitian terhadapa pandangan fiqh klasik yang masih banyak kisah, ada beberapa hal yang bisa dianalisa dan banyak temuan yang bisa diteliti terkait proses berlangsungnya Syariah di Aceh. Penelusuran terhadap penelitian-penelitian tersebut memfokuskan pada masalah-masalah hukum Syariah di Aceh. Hanya beberapa yang meneliti bagaimana masyarakat umum Aceh melihat Syariah, sebagaimana ditunjukan dalam catatan Moch Nur Ichwan:

Meskipun proses syariatisasi berkembang, akan tetapi, dalam hal tertentu perkembangannya menyatakan sebaliknya. Muncul juga perlawanan dari “lingkaran progresif” seperti dari beberapa politisi Muslim (terutama, tetapi tidak eksklusif, dari mantan GAM), masyarakat intelektual, akademisi (terutama, tetapi juga tidak

17

Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia

sampai Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet), 2004.

18Da ie Ki gs u y, The F ee A eh Mo e e t: Isla a d De o atizatio ,

Journal of Contemporary Asia 37:2 (2007), 166–189.

19

R. Michael Feener dan Mark E. Cammack (ed.), Islamic Law in Contemporary Indonesia: Ideas and Institutions (Cambridge, Massachusetts: Islamic Legal Studies Program, Harvard Law School & Harvard University Press, 2007).

20

Arskal Salim, Challenging the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia (Honolulu: Hawaii University Press, 2008).

21

Edward Aspinall, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia

(California: Stanford University Press, 2009).

22

Affan Ramli, Merajam Dalil Syariat (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010).

23Hasa Bas i, Applyi g Isla i La Sya iʾat i A eh: A Pe spe ti e f o Withi , i

Arndt Graf et al., Aceh: History, Politics and Culture (Singapore: iseas Publishing, 2010), 265–286.

24I h a , Offi ial Ula a a d Politi s of Re

(9)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 9 eksklusif, dari Institut Agama Islam (IAIN) Ar-Raniry), kelompok feminis, aktivis ganjil, intelektual Syiah, kelompok penulis, dan aktivis hak asasi manusia.25

Menurut Ichwan, kenyataan seperti ini, selama ini diabaikan oleh banyak peneliti. Dalam penelitiannya sendiri, Ichwan mencoba membuat sejenis konsep

perlawananan syariah dengan istilah ‘suara alternatif untuk syariatisasi’ Aceh. Model perlawanan orang Aceh terhadap syariah sendiri bervariasi, tergantung tingkat pendidikan, orientasi politik, daerah domisili, gender dan disposisi individu.

Ichwan menitikberatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan kelompok intelektual berbasis keagamaan dan saat mereka mempertanyakan syariah, yang masih meninggalkan beberapa hal yang masih belum terjelaskan. Di sini saya mencoba untuk memberi penjelasan lebih mendalam tentang bagaimana individu-individu dari kelompok marginal, rentan dan yang kelompok masyarakat tradisional Aceh dalam menyikapi proses syariat yang terjadi, terutama dalam kegiatan sehari-hari dalam budaya mereka. Dengan mengkaji kebiasaan masyarakat Aceh secara seksama, saya akan menganalisa beberapa bentuk perlawanan kultural atas syariah dalam masyarakat Aceh, khususnya di kota Banda Aceh. Sebagai contoh, saya percaya bahwa otoritas syariah, Dewan Ulama Aceh, dan Pemerintah Daerah Aceh sering melarang hal-hal yang, menurut mereka, tidak sesuai dengan budaya Aceh dan

budaya Islam’. Batas penelitian ini yaitu, saya mencoba meneliti bagaimana sebagian kecil masyarakat Aceh bereaksi dan melawan larangan tersebut.

Menurut teori sosial, perlawanan kultural adalah praktek penggunaan nilai-nilai dan simbol-simbol untuk melawan kekuatan dominan. Perlawanan sendiri bisa mencakup berbagai macam tindakan kolektif dan dapat juga berbentuk defensif, seperti pengaburian dan termasuk bentuk ambigu mimikri, yang menurut kelompok dominan dapat dianggap sebagai sebuah ketidakpatuhan, tapi jika dilihat dari kelompok inferior tampak lebih seperti olok-olokan. Dalam hal ini, strategi yang

25 Mo h Nu I h a , Alte ati e Voi es to Offi ialized a d Totalized Sha iatis i

(10)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 10

diterapkan adalah ‘defensif’, ‘perlawanan subversif ketimbang konfrontasi’.26

Selain itu, F. Bailey mengajukan metode perlawanan bisa mengambil bentuk seperti

‘pencurian, kepura-puraan tidak mengerti, sabotase, pembakaran, wangling, mengutak-atik, dan menghindar’.27 Meski saya tidak akan mengacu pada kelompok petani atau pekerja di Aceh dalam makalah ini, konsep James C. Scott tentang

‘senjata kaum lemah’ membantu dalam memahami bagaimana perlawanan sehari-hari telah ditunjukan oleh orang-orang yang terpinggirkan.28 Keseluruhan konsep ini sangat fundamental dalam penelitian ini.

3. Perlawanan atas penerapan syariah: sebuah tinjauan

Penting untuk dicatat bahwa hampir semua orang Aceh takut dicap sebagai ‘ anti-syariah’.29 Namun begitu, sejak awal mula, beberapa elemen masyarakat Aceh telah menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap proposal Pemerintah untuk menerapkan hukum Islam di Aceh. Sebelum tsunami 2004, kelompok penentang penerapan syariah bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok utama, masing-masing dengan tujuan yang berbeda. Pertama adalah kelompok yang dimotori oleh para ulama Dayah tradisional (Pesantren), termasuk diantaranya Waled Nu, salah satu cendekiawan Muslim (ulama) Aceh berpengaruh yang menyebut usulan Syariah tersebut sebagai

cari’ab’ (menurut bahasa Aceh secara harfiah berarti ‘cari makan’) atau ‘tipu

Jakarta’, ditipu oleh Jakarta, dan tentu saja dianggap mengabaikan kepentingan masyarakat Aceh.30 Dalam seminar yang saya hadiri, Waled Nu atau Tgk. Nuruzzahri, tokoh terkemuka dari Himpunan Ulama Dayah Aceh/HUDA mengkritik kebijakan Jakarta dalam pidato sambutannya di depan jaringan masyarakat sipil Aceh di Hotel Sultan, Banda Aceh pada 17 Juni 2007. Dia berbicara tentang ‘cari’ab’ dan

26

Peter Burke, History and Theory: Second Edition (Cambridge-Malden Polity Press, 2007), 91-92.

27

F.D Baley, Kingdom of Individuls (NewYork-Ithaca, 1993) 17.

28

James C. Scott, Weapon of theWeak: Everyday Forms of Peasant Resistance (New Haven: Yale University 1985)

29I h a , Alte ati e Voi es to Offi ialized a d Totalized Sha iatis i A eh , . 30

Lihat Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi dan

(11)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 11 menolak untuk menggunakan istilah ‘syariah’ untuk menunjukkan formalisasi hukum Islam di Aceh.Selanjutnya, HUDA juga mengkritik syariah versi Pemerintah karena hanya berupa pemahaman parsial hukum Islam. Singkatnya, jika Jakarta memiliki keinginan untuk menunjukkan niat baik, akan dimungkinkan untuk penerapan hukum Islam yang komprehensif, secara menyeluruh bukan parsial, biasa disebut syariat Islam secara kaffah. Namun, menurut HUDA, Pemerintah justru bertindak sebaliknya dan karena itu mereka menolak syariah versi Pemerintah.31

Kelompok kedua terdiri berbagai elemen masyarakat tetapi berbagi pandangan yang sama mengenai usulan Pemerintah. Mereka adalah politisi (terutama para pimpinan GAM), aktivis HAM dan intelektual di kampus-kampus yang melihat pelaksanaan syariah sebagai alat politik dari Pemerintah untuk menciptakan konflik antar masyarakat Aceh. Sebagai contoh, menurut Nur Djuli, seorang pimpinan senior GAM, Aceh telah menjadi pusat pembelajaran Islam di seluruh Indonesia. Ironis jika kemudian Pemerintah Indonesia sekarang ini berusaha untuk ‘re-Islamisasi’ Aceh. Djuli berpendapat bahwa status khusus ini hanya taktik Pusat untuk memenangkan hati masyarakat Aceh. Selain itu, Djuli mengatakan bahwa GAM tidak berusaha untuk mendirikan negara Islam. Secara ideologis, gerakan GAM dimotivasi oleh kesadaran sejarah dan perjuangan GAM sendiri didasarkan pada gagasan kemerdekaan, bukan didasarkan pada isu agama.32

Bagi sebagaian pegian Hak Asasi Manusia di Aceh, syariah hanyalah kebijakan politik Pusat untuk menutupi pelanggaran HAM di masa lalu.33 Hal tersebut diutarakan oleh para profesor di IAIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala yang terlibat ambil bagian dalam merancang regulasi syariah. Pihak lainnya, termasuk di antaranya kaum intelektual di sejumlah universitas lain di Aceh, menunjukkan

31

Lihat H. Anwar Fuadi A. Salam, Dapatkah Syariah Islam diberlakukan di Aceh?

(Banda Aceh: Gua Hira, 2001). Tetapi, akhir-akhir ini opini beberapa ulama Dayah tradisional berubah, dan beberapa di antaranya sekarang menjadi pendukung syariah.

32

Lihat Ki gs u y, The F ee A eh Mo e e t , –189.

33

(12)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 12 penentangannya terhadap pemberlakuan syariah.34 Pada 2003, IAIN Ar-Raniry menyelenggarakan seminar umum untuk membahas isu tersebut. Banyak peserta, terutama para dosen, kabarnya mengecam keputusan Pemerintah Pusat untuk mengakhiri perang dengan memberikan status yang Islami bagi Propinsi Aceh. Bahkan salahsatu di antaranya mengatakan bahwa pengenalan syariah [oleh Pusat]

adalah ‘kebijakan untuk melecehkan’.35

Baru-baru ini, otoritas berwenang masalah syariah telah mengkonsentrasikan diri dalam upayanya dalam masalah berbusana kaum perempuan, pemberlakuan hukuman cambuk di depan publik, pelarangan hiburan umum, serta mengeluarkan banyak aturan larangan tentang berbagai hal pribadi/privat. Hal tersebut telah menimbulkan kontra-wacana dari mereka yang meyakini bahwa regulasi tersebut tidak menyentuh substansi Islam dan syariah itu sendiri. Bahkan, banyak buku dan artikel media yang telah ditulis oleh para intelektual Aceh kontemporer seperti Fuad Mardhatillah,36Affan Ramli,37 Husni Mubarak A. Latief,38 Teuku Harits Muzanni,39 Asrizal Luthfi40 and Teuku Muhammad Jafar Sulaiman.41 Mereka semua mengkritik

34

Lihat Otto Syamsuddin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi- Politik, (Jakarta: Tifa Press, 2008), 358.

35

Lihat Lily Zakiah Mu i , Si olisasi, Politisasi da Ko t ol terhadap Perempuan di A eh , dalam Burhanuddin (ed.), Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal (Jakarta: Jaringan Islam Liberal-the Asia Foundation 2003) 131.

36Fuad Ma dhatillah, Isla P otesta ,

Journal Gelombang Baru, vol. 4 (2009), 63– 102.

37

Affan Ramli, Merajam Dalil Syariat (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010).

38

Husni Mubarak A. Latief, Sengkarut Syariat Atas Bawah, Journal Gelombang Baru,

vol. 4 (2009), 111–122.

39 Teuku Ha ist Muza i, Sya iat Ta pa Si ol ,

www.acehinstitute.org/index.php? option=com_content&view=article&id=385:syariat-tanpa-simbol&catid=74 :paradigma-islam (diakses pada 2 Maret 2011).

40 As izal Luthfi, P i u isasi Sya iat ,

www.acehinstitute.org/ index.php? option=com_content&view=article&id=445:pribumisasi-syariat&catid=74: paradigm-islam (diakses pada 2 Maret 2011).

41 Teuku Muha ad Jafa Sulai a , Sya iat Isla tidak Pe lu Di ela Negosiasi

Pluralisme Sebagai Islam Masa Depan Aceh), www.acehinstitute.org/id/

(13)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 13 syariah versi Pemerintah Aceh sebagai ‘top-down policy’ yang diformulasikan tanpa persetujuan masyarakat umum.

Lebih lanjut, keberatan Irwandi Yusuf untuk menandatangani Qanun Jinayah juga tak lepas dari reaksi Lembaga Swadaya Masyarakat di Aceh dalam menunjukkan perlawanan mereka terhadap syariah. Setelah rancangan Qanun Jinayah diterbitkan di koran, 100 aktivis dari Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) pergi ke DPRD Aceh dan meminta anggotanya dan Gubernur Aceh untuk menghentikan usulan qanun Syariah yang mengandung pelanggaran terhadap nilai-nilai HAM.42 JMSPS sendiri terdiri dari beberapa LSM lokal, seperti koalisi beberapa LSM HAM, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), Flower Aceh, KKTGA, Komunitas Tikar Pandan, Aceh Judicial and Monitoring Institute, Violet Grey, Radio Women’s Voice, Gender Working Group, SEIA, Fatayat NU, Sekolah Menulis Dokarim, Kontras Aceh, Pusat Studi Hak Asasi Manusia-Unsyiah, Yayasan Sri Ratu Safiatuddin dan lain-lain. Jaringan kelompok ini berhasil meyakinkan Irwandi untuk menunda pelaksanaan Qanun Jinayah.

Keputusan oleh para politisi, kalangan intelektual dan aktivis kemanusiaan untuk melakukan protes dan munculnya keputusan Irwandi Yusuf dalam menunda pelaksanaan hukum acara pidana Islam merupakan bentuk perlawanan terhadap syariah dalam berbagai ragam bentuk perlawanan dan nyata adanya.Tapi bagaimana bagi masyarakat biasa Aceh yang tanpa dukungan dari partai politik, akademisi intelektual, material dan kekuatan finansial menolak Syariah?

4. Sharia dan perlawanan kultural: suara masyarakat bawah

Pada 31 Desember 2011, Dewan Ulama Aceh dan Walikota Banda Aceh memasang iklan di koran Serambi Indonesia. Pihak berwenang melarang masyarakat Aceh merayakan malam pergantian tahun baru. Mereka melakukan hal yang sama pada tahun 2009 dan 2010. Ancaman bagi yang membawa kembang api dan membunyikan terompet akan disita oleh polisi syariah. Pantai dekat Banda Aceh akan ditutup untuk umum pada malam hari. Tapi, pada tengah malam, ribuan orang

42

(14)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 14 mengendarai mobil dan sepeda motor, meniup terompet dan menerangi langit Banda Aceh dengan kembang api mereka. Tidak ada yang tahu persis di mana orang membeli terompet dan kembang api, dan di mana mereka menyembunyikannya sebelum tengah malam. Semua orang tahu, bagaimanapun, bahwa polisi syariah bisa melakukan apapun kepada khalayak umum malam itu.

Hal ini bukan pertama kalinya bahwa ‘kepura-puraan tidak tahu, sabotase,

pembakaran, aksi peremehan, dan menghindar’ digunakan untuk melawan otoritas

berwenang syariah. Misalnya, ada kontes kecantikan yang diselenggarakan di Banda Aceh, seperti Nona Aceh Adil, Miss Coffee, Ratu Waria Aceh dan Duta Wisata Aceh tanpa persetujuan dari aparat berwenang syariah.

Beberapa himpunan mahasiswa Islam dan ulama mengutuk kontes terebut dan meminta aparat Pemerintah untuk tidak memberikan izin untuk mereka yang ingin menyelenggarakan acara tersebut. Kelompok yang disebut Violet Grey43 menemukan caranya sendiri untuk mencari celah larangan tersebut. Pada tahun 2009, Violet Grey menyelenggarakan kegiatan kontroversial, Pemilihan Ratu Waria, festival aneh. Violet Grey menyembunyikan agenda sebenarnya dalam meminta izin penyelenggaraan dari Majelis Ulama Aceh dan polisi Syariah dengan izin menyelenggarakan konser musik dan seminar untuk amal. Setelah acara berlangsung, Violet Grey mengumumkan kepada publik pemenang festival. Ulama dan beberapa kelompok Islam garis keras dan himpunan mahasiswa muslim seperti Hizbut Tahrir, FPI, LDK dan KAMMI menuntut pembubaran Violet Grey.4444

43

Violet Grey adalah sebuah organisasi yang mengklaim berjuang untuk hak-hak lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Aceh. Awalnya, kelompok ini diperkenalkan ke publik pada tahun 2007 sebagai sebuah organisasi yang berfokus pada kampanye anti-HIV/AIDS serta menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan isu-isu kesehatan seksual dan reproduksi. Keberadaannya didukung oleh beberapa LSM internasional seperti Hivos, World Vision and the National Commission on HIV-AIDS.

Violet Grey sekarang telah bergeser fokusnya untuk masalah hak asasi manusia, terutama advokasi hak-hak lesbian, gay dan waria di Aceh yang menghadapi diskriminasi dan intimidasi dari masyarakat dan Pemerintah.

44

(15)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 15 Dua sub-bab berikut akan menyajikan kajian lebih mendalam dan analisa dalam hal bagaimana kelompok-kelompok tertentu dari masyarakat Aceh menngekspresikan penentangannya terhadap administrasi syariah.

5. Tantangan Arabisasi melalui film-film Arab

Salah satu fenomena yang unik di Banda Aceh adalah tidak adanya gedung bioskop di kota sama sekali. Keberadaan ini berbeda jauh dengan kota-kota lain yang menjadi ibukota propinsi di Indonesia yang mana menonton film ke bioskop merupakan kebiasaan dari gaya hidup urban. Misalnya, ibukota propinsi tengga seperti Medan dan Padang memiliki setidaknya tiga gedung bioskop, umumnya di plaza dan mal. Banda Aceh, meskipun terjadi pembangunan berbagai proyek bisnis paska tsunami, tetapi tetap tidak memiliki gedung bioskop.

Pada 1980-an dan 1990-an, dahulu, ada empat bioskop terkenal di Banda Aceh. Yang tertua adalah Teater Garuda terletak dekat taman bermain umum Blang Padang. Bahkan, Garuda Theatre adalah sebuah bangunan untuk pertunjukan seni dan merupakan salah satu warisan kolonial di Banda Aceh. Setelah kemerdekaan, bangunan dialihfungsikan sebagai bioskop komersial yang pertama di kota Banda Aceh. Pada tahun 2004, bangunan tersebut ikut disapu tsunami. Sekarang, telah dibangun kembali untuk keperluan lain, terutama untuk gedung pernikahan, dan tidak ada jadwal rutin baik untuk pertunjukan seni ataupun pemutaran film. Selanjutnya, ada bioskop yang didedikasikan untuk mengenang orang-orang Banda Aceh, termasuk Gajah Theatre, gedung bioskop Jelita dan Pas 21. Pas 21 dibakar selama konflik berlangsung pada tahun 2001 dan teater Jelita ditutup pada akhir 1990-an setelah situasi politik memburuk. Sekarang ini menjadi supermarket dan telah berganti nama menjadi Hermes Mall.

(16)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 16 syariah. Tentu saja, otoritas menganggap bioskop bisa menjadi tempat potensial untuk pelanggaran syariah. Dalam artikelnya, Bioskop di Banda Aceh: Sejarah esek-esek, Sehat Ihsan Sadiqin menulis, ‘sudah jadi rahasia umum bahwa orang Banda Aceh pergi ke bioskop tidak hanya untuk menonton film tetapi juga untuk khalwat’.45 Menurut Sadiqin, hal ini adalah salah satu alasan mengapa Pemerintah setempat kemudian meminta pemilik bioskop untuk memisahkan pria dan wanita di dalam gedung. Dia juga mengakui gedung bioskop berkemungkinan menjadi tempat di mana pelanggaran syariah bisa saja terjadi. Namun, tidak jelas apakah Sadiqin setuju dengan kebijakan Pemerintah setempat terkait bioskop, karena ia juga menulis bahwa hiburan, termasuk film, adalah suatu keharusan dan tidak bertentangan dengan Islam.46

Bahkan, sampai saat ini belum ada peraturan yang melarang orang dari usaha membuka atau pergi ke gedung bioskop dalam qanun Aceh. Tetapi sebelum tsunami, polisi syariah secara teratur datang melakukan razia kepada mereka yang dituduh melakukan khalwat saat menonton film di bioskop. Akibatnya, orang-orang tmenghindari bepergian ke bioskop dan pada akhirnya pengusaha gedung bioskop terpaksa menutup usahanya. Tak perlu dikatakan di sini, masyarakat Aceh sekarang menonton film melalui televisi atau vcd player.

Fozan Santa, seorang filmaker asli Aceh, memiliki pendapat yang berbeda mengenai kebijakan syariah terkait gedung bioskop. Bersama dengan beberapa rekan-rekannya ia menjalankan sebuah organisasi lokal yang disebut Sekolah Menulis Dokarim.47 Organisasi ini didirikan pada tahun 2003 oleh beberapa penulis Aceh, dan dikenal sebagai sekolah sastra alternatif bagi siswa Aceh yang tertarik dalam dunia literasi. Awalnya, program ini utamanya ditujukan tentang bagaimana menulis kreatif

45 Sehat Ihsa Sadi i , Bioskop di Ba da A eh: Seja ah Esek

-Esek , http://hiburan.kompasiana.com/film/2010/05/21/bioskop-di-banda-aceh-sejarah-esek-esek/.

46

Ibid.

47

Dokarim adalah nama panggilan penyair Abdul Karim yang hidup di akhir abd ke-19, penulis Hikayat Prang Kumpeni. Sedikit yang saya ketahui tentang dia ini didapat dari

buku De Atjèhers karya Snouck Hurgronje (Batavia and Leiden: Landsdrukkerij and Brill,

(17)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 17 dan mengenal dunia penerbitan.48 Fozan bergabung dengan organisasi tersebut pada Februari 2005, tak lama setelah tsunami. Dia sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Aceh dan, menurut dia, intensitas pelaksanaan syariah telah menghancurkan salah satu hal penting dalam hidup –hak atas hiburan.

Fozan berpendapat bahwa film adalah media sangat efektif untuk pembelajaran dan bioskop merupakan ruang publik yang penting di mana orang-orang saling berbagi informasi dan budaya. Latar belakangnya sebagai sutradara film serta penulis naskah film mengakibatkan program Dokarim berubah dari menjadi ajang melatih para penulis dan juga ajang festival film tahunan di Banda Aceh tahunan.

Festival tidak seperti festival film pada umumnya. Sejak Banda aceh tidak memiliki gedung bioskop,Fozan dan kawan-kawannya memasang layar dan vecd players di kampus-kampus, kafe-kafe dan di desa-desa untuk festivalnya. Uniknya, semua film yang diputar selama festival berkaitan dengan situasi Timur Tengah dan Afrika utara. Memang, Fozan dan anggota sekolah Dokarim-nya menamakan

festivalnya dengan ‘Festival Film Arab’. Tapi mengapa harus festival film Arab?

Fozan, yang lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berpendapat bahwa adanya syariah menyebabkan pemberlakuan budaya Arab di Aceh. Sebagai seorang muslim yang berpendidikan, ia membayangkan bahwa Islam dan syariah (dalam definisi fundamental menurut dia) akan memberikan kontribusi positif dalam membangun kembali abetter Aceh setelah konflik berdarah dan tsunami, tapi ia juga berpendapat bahwa Pemerintah telah mempolitisir Islam dan syariah untuk mendapatkan kekuasaan. Menurut dia lagi, akhir-akhir ini masyarakat Aceh kontemporer telah membedakan antara Islam dan budaya Arab. Melalui pengetahuan tentang Islam dan budaya umat muslim, ia ingin menggambarkan bahwa apa yang

48

(18)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 18 terjadi di Aceh adalah proses Arabisasi ketimbang Islamisasi. Slogan dari festival ini

adalah ‘Sinoe Aceh Sideh Arab, Sinoe Sideh Hana Rab’, yang secara harfiah bisa diartikan ‘Di sini Aceh, Di sana Arab; Di sini (Aceh) dan Di sana (Dunia arab) yang

nun jauh (dan sangat berbeda)’. Maksudnya untuk menekankan bahwa ada banyak perbedaan antara dua budaya dimana satu budaya tidak bisa secara mudah menggantikan budaya lainnya.

Berikut adalah beberapa judul film yang telah terbukti di festival: Di tahun 2009:

1. Condemnations, Walid Mattar, Tunisia, 2009, 15 menit

2. The Unknown Lady, Fajr Yacoub, Syria-Palestina, 2010, 22 menit 3. La Trappola, Lemnaouer Ahmine, Algeria, 2010, 62 menit

4. I am George, Mohsen Abdelghan, Mesir, 2010, 10 menit 5. Saba Flous, Anis Lassoude, Tunisia, 2010, 15 menit 6. Jasmin Bird, Sulafa Hijazi, Syria, 2009, 90 menit49

Di tahun 2010:

1. Caramel, Nadine Labaki, Lebanon, 2007, 90 menit

2. The Stoning of Soraya M, Cyrus Nowraste, Iran, 2009, 110 menit 3. Baran, Majid Majidi, Iran, 2003, 98 menit

4. Le Grand Voyage, Ismael Ferroukhi, Maroko-Perancis, 2007, 108 menit 5. Shouf Shouf Habibi, Albert Ter Heerdt, Maroko-Belanda, 2008, 85 menit 6. Turtle Can Fly, Bahman Gohbadi, Iraq, 2007, 95 menit50

Festival Film Arab, yang diselenggarakan oleh Sekolah Dokarim, merupakan fenomena unik dalam berlangsungnya proses penerapan Syariah. Di satu sisi, tampaknya bahwa program ini mendukung gagasan Syariah di Aceh. Banyak orang menghadiri festival dan berpartisipasi dalam serangkaian diskusi setelah pemutaran selesai. Fozan menyadari bahwa hal paling menjual di kalangan masyarakat Aceh

49

Reportase Dokarim, 2009.

50

(19)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 19

adalah ‘Arab’ dan ‘Islam’ sebagai sinonim. Segala sesuatu yang berasal dari dunia

Arab dianggap Islam dan diperlakukan suci. Film Festival Arab yang digagas Dokarim ingin menunjukkan sebaliknya melalui film. Ia percaya bahwa film dapat mempengaruhi orang dengan cara damai untuk menyadari distorsi makna sebenarnya

dari syariah. Ini adalah cara untuk mendukung ‘syariah’ dengan menolak syariah, pungkasnya.

6. Punk: Perlawanan terhadap syariah dari jalanan

Sebuah tulisan beredar di jejaring sosial, Facebook, berjudul ‘Aku Azhari, Aku Seorang Punker: Apa Ada Masalah Besar?’. Tulisan tersebut diposting oleh Azhari Aiyub pada 13 Februari 2011.51Dalam hitungan jam, 70 komentar yang diposting untuk merespon tulisan tersebut. Artikel sendiri berisi kemarahan punker karena martabatnya sebagai manusia dilanggar. Catatan tersebut juga mengulas tentang sejarah kronologis komunitasnya. Azhari lanjut membahas ideologi punk dalam filsafat nihilisme, adanya wacana punk anarkis dan berisi pernyataan tentang bagaimana sebuah kelompok marjinal akan bertahan di Aceh pada saat tumbuh kemunafikan. Sebuah kenyataan, Azhari adalah orang asli Aceh dan tokoh terkenal dalam sastra Indonesia modern. Azhari tidak memakai pakaian punk atau hidup di jalanan seperti kebanyakab punkers lainnya. Tulisannya tetap menyajikan simpatinya dengan komunitas punk dengan latar belakang banyak penangkapan oleh polisi syariah, yang mendapat dukungan dari anggota komunitas punk di Banda Aceh.

Azhari pertama bereaksi ketika ia membaca liputan berita penangkapan beberapa punkers oleh polisi Syariah di tahun 2011.52 Para punkers tersebut dibawa ke Akademi Kepolisian (Akpol) Negara di Saree, Aceh Besar, mereka digunduli. Sejumlah gambar menunjukkan kejadian diterbitkan oleh beberapa media massa.

51

www.facebook.com/note.php?note_id=10150142263646015 (diakses pada 15 Juli 2011). Artikel ini juga telah dipublikasikan oleh Distraction Zine, vol. 4, Juni 2011. Akses internet dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat termasuk di kedai kopi di Banda Aceh dan merupakan salah satu kontribusi berharga yang diberikan oleh kehadiran development internasional yang terlibat dalam rekonstruksi Aceh paska bencana. Kebanyakan masyarakat Aceh sekarang telah memiliki akun Facebook.

52

(20)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 20 Azhari sangat marah dan menulis artikel sebagai respon. Dia mengatakan kepada saya bahwa ia sebelumnya telah mengirimkan artikel ke beberapa media lokal untuk dipublikasikan tetapi mereka semua menolak artikelnya, meski faktanya tidak satupun dari tulisan-tulisannya pernah ditolak sebelumnya. Azhari menuduh media lokal telah mendukung kepentingan politisi yang gaya hidupnya hedonistik dan

munafik sedang terganggu oleh kehadiran punkers ‘yang tidak melirik apa yang dianggap penting oleh para politisi dan orang-orang kaya di Aceh’.53

Bagaimana komunitas punkers masuk dan seberapa lama mereka telah ada di Aceh tidak diketahui secara persis. Sebaga gerakan pemberontakan, punk dimulai di London dan menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia, komunitas punk pada umumnya berkembang di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta. Komunitas ini dicirikan dengan gaya pakaian, gaya rambut dan tempat nongkrong-nya. Jaket kulit, kuku, warna-warni tatanan rambut Mohawk dan sepatu khusus telah membuat mereka berbeda dari mayoritas masyarakat. Punk telah diidentifikasi sebagai bagian dari tandingan, kelompok yang melawan kebiasaan/adat/kaidah (conventions) sosial sekitarnya.54

Disebutkan bahwa komunitas punk ada di Aceh sebelum tahun 2000. Mereka mulai dengan mendirikan sejumlah band rock dan mengadakan beberapa festival musik sebagai cara untuk melawan sengketa politik yang tidak pernah berakhir di Aceh. Orang-orang di Banda Aceh dikejutkan oleh kehadiran pemuda dengan dandanan aneh. Mereka terlihat berbeda dari orang lain karena mereka biasanya memainkan musik dan terdapat di jalanan Banda Aceh. Mereka menyebut dirinya

‘Punkers’. Beberapa orang mengeluh di media tentang keberadaan punk di Banda Aceh, karena mereka terlihat ‘aneh dan tidak Islami’ dan secara budaya punk bukan bagian dari budaya Aceh. Beberapa orang tua juga mengatakan bahwa mereka takut anak-anak mereka akan bergabung dengan komunitas terssebut.5555 Semenjak Januari 2011, anggota komunitas punk di Banda Aceh menjadi sasaran utama dari

53

Wawancara dengan Azhari Aiyub, 16 Maret 2011.

54

Lihat sebagi perbandingan Roger Sabin (ed.), Punk Rock, So What? The Cultural Legacy of Punk (Routledge: London & New York, 1999).

55

(21)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 21 razia rutin polisi Syariah. Mereka biasanya ditangkap dan dipenjarakan selama beberapa hari sebelum dikembalikan kepada orang tua.

Dedi Besi, yang dianggap senior dalam komunitas punk di Aceh, mengatakan bahwa ia menjadi punker pada tahun 1998. Dedi mempelajari tentang punk ketika belajar di Yogyakarta. Ia percaya bahwa menjadi punker sejalan dengan profesinya sebagai seorang arkeolog. Kemudian, ia dipanggil Dedi Besi (Iron Dedi) oleh sesama punkers karena dia suka melihat dan mengumpulkan logam sampah dan besi, terutama paku karatan ia temukan di jalan-jalan. Dedi menggunakan nails yang karatan sebagai aksesori untuk pakaian-Nya. Dia tampak jauh dari sopan dan tampak seperti landak. Dia selalu membawa gitar kecil mana pun ia pergi. Dia tidak hidup di jalanan, karena orang tuanya yang relatif kaya. Saya bahkan lebih kagum dengan fakta bahwa Dedi sekarang mengajar arkeologi di Fakultas Budaya di Institut Agama Islam (iain) Ar-Raniry.

Dedi menegaskan bahwa banyak punkers di Aceh tahu tentang hal-hal yang dilarang oleh ajaran Islam. Mereka tidak hidup bebas, dan tidak mempraktekan seks bebas meski mereka dituduh melakukannya; mereka tidak merampok, dan mereka tidak memprovokasi kerusuhan. Mereka hanya berkumpul, berjalan di jalanan dan bermain alat musik. Mungkin, penampilan mereka tidak seperti umumnya masyarakat, tetapi tidak berarti mereka adalah penjahat. Dia tidak menyangkal akan ada punkers yang minum alkohol dan berkelahi, tapi itu tidak otomatis memberi kewenangan untuk menekan dan menolak keberadaan punkers Aceh dengan mengerahkan polisi syariah sebagai penjaga hukum Syariah. Ia percaya bahwa polisi syariah harus mengambil pendekatan yang lebih manusiawi terhadap punkers.56

Dedi berpendapat bahwa banyak orang yang berpenampilan lebih konservatif justru melakukan tindak kekerasan, mencuri, korupsi, mabuk, dan mengadopsi praktik yang tidak diperkenankan. Dedi Besi melihat ketegangan antara punkers dan polisi Syariah sebagai akibat dari kegagalan polisi syariah untuk memahami apa punk itu sendiri. Bahkan, ada berbagai macam aliran punk dan kebanyakan tidak terlibat

56

(22)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 22 dalam kegiatan negatif. Meski demikian, punkers telah menderita karena tuduhan tidak jelas.

Setelah penangkapan, polisi syariah mencekal beberapa komunitas punk, mempublikasikan daftarnya di media massa, di antaranya:

1. Rantai Hitam

2. Museum Street Punk 3. Rock in Love

4. Damai Boleh Ribut Boleh atau DaboRibo 5. Netral

6. Anak Brutal 7. Ello

8. Tanggoel Rebel

9. Jusuid Guero

10.Black Green

11.Brume + Horizontal

12.Lamb of Gun57

Sementara itu, Syahril, seorang polisi syariah, mengatakan bahwa penangkapan adalah sah karena punk adalah subkultur Barat yang asing bagi masyarakat Aceh. Oleh karena itu, keberadaan punkers dianggap memiliki maksud mengganggu kota Banda Aceh. Menurut Syahril, punkers terlibat dalam kegiatan yang telah meresahkan warga setempat. Syahril tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang kegiatan seperti apa, tapi ia menekankan bahwa punkers tidak boleh ada di Aceh. Punkers harus menghormati Aceh sebagai daerah yang menerapkan hukum syariah. Jika punkers tidak menghargai hukum syariah, maka mereka harus meninggalkan Aceh.58

Meski punkers telah memberi penjelasan, sejumlah organisasi Islam mendukung langkah-langkah ekstrim polisi syariah. Organisasi-organisasi Islam mengeluarkan

57

Serambi Indonesia, 11 Februari 2011.

58

(23)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 23 siaran pers yang menyatakan dukungannya untuk melakukan penangkapan. Teuku Zulkhairi, anggota dari Dewan Dakwah Islamiyah/DII dan Presiden mahasiswa pascasarjana IAIN, adalah salah satu pendukung vokal dari polisi syariah. Dia menulis artikel berjudul ‘Menyorot Komunitas Punk Aceh’ (‘Bringing to Light Aceh

Punk Communities’).59

Zulkhairi juga menyerang orang-orang yang membela komunitas punkers dan menyebutnya ‘kelompok yang cara berpikirnya harus dipertanyakan’ dan kelompok yang ‘selalu bersembunyi di balik isu-isu hak asasi manusia ketika membela hal-hal yang dianjurkan oleh non-Muslim’. Lebih lanjut ia menanyakan, ‘Bagaimana seorang Muslim akan membenarkan cara hidup punker?’ Di sinilah perdebatan letak perdebatan terjadi. Lowbat Boeloek, seorang pemimpin komunitas punk, menyatakan bahwa kegiatan mereka tidak melanggar hukum syariah. Komunitas punk Lowbat adalah Tanggoel Rebel. Mereka sering turun ke jalan untuk mengumumkan bahwa mereka memiliki hak untuk hidup di Aceh dan mereka memprotes penangkapan beberapa anggota mereka. Boeloek sendirin adalah seorang pemuda berpendidikan. Dia sedang menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Boeloek juga mengutuk Pemerintah Banda Aceh yang, melalui Departemen Hukum Syariah, telah men-generalisasi dan mengkategorikan keberadaan cara hidup punkers sebagai ‘penyakit masyarakat’ (penyakit sosial).60

Lowbat Boeloek mengklaim bahwa mereka masih melaksanakan shalat lima waktu setiap hari dan mereka juga membantu untuk membersihkan sampah jalan-jalan Banda Aceh. Yang dilakukan mereka bukan urusan polisi syariah yang khawatir pada gaya rambut dan pakaian mereka. Semua itu tergantung pada selera pribadi dan perspektif estetika dan gaya mereka jelas berbeda dengan pihak lain. Komunitas punk dapat dengan mudah menunjukkan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pihak-pihak yang mengaku agamis (dan mengaku sebagai Muslim) yang mana, pada kesempatan yang lain, mereka akan memberikan khotbah tentang moral dan tentang bagaimana untuk mempertahankan hukum syariah. Sementara, perbuatan mereka

59

Harian Aceh, 24 Januari 2011.

60

(24)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 24 yang jauh dari ajaran Islam. Punkers ada untuk melawan kemunafikan mereka, jelas Lowbat.

Keberadaan komunitas punk Muslim di Yogyakarta menjadi fenomena menarik dan akan memberikan perbandingan yang berguna untuk situasi yang terjadi di Banda Aceh.61 Anggota kelompok ini berpakaian seperti punkers tapi mereka menekankan aturan komunitas mereka sebagai Muslim. Selain bernyanyi di jalanan, kelompok punkers Yogyakarta juga melakukan kelompok belajar agama yang biasa disebut punkajian, cara kreatif menulis ‘Pengajian’, yang berarti studi. Dedi dan Lowbat mengklaim bahwa banyak dari mereka juga melakukan apa yang punkers Muslim Yogyakarta telah lakukan. Meski begitu, Pemerintah Aceh dan polisi syariah cuma melihat cara berpakaian punkers dan menilainya berbeda dari standar etika masyarakat dan pemahaman agama setempat. Lowbat menegaskan bahwa selera tidak

akan pernah sama ‘sampai Hari Penghakiman’.

Fakta bahwa keberadaan punkers tidak mendapat sambutan baik bukan masalah yang hanya ada di Banda Aceh saja, kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta juga memiliki komunitas punk dan mereka acapkali harus berurusan dengan aparat Polisi juga. Saya bisa menerima dugaan yang patut diperhitungkan bahwa masih terlalu dini untuk mengidentifikasi punk sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap hukum syariah di Aceh karena harus begitu problematis dan masih diperdebatkan. Namun, Banda Aceh berbeda dari kota-kota besar di Indonesia baik dari segi luas wilayah dan untuk penerapan perundang-undangan berbasis syariah, dan dalam konteks seperti ini menempatkan punkers dalam peran yang berbeda. Lebih lanjut, Lowbat Boeloek menyatakan bahwa punkers Aceh ada sebelum tahun 2000 tetapi bahwa mereka telah tenggelam dalam tsunami atau telah tewas dalam konflik. Pada 9 September 1999, beberapa punkers berkumpul lagi dan mendirikan kembali gerakannya untuk membentuk counter-movement terhadap kemunafikan elit masyarakat Aceh. Mereka merasa bahwa masyarakat tradisional Aceh terlalu fokus menilai seseorang dengan cara berpakaiannya dengan agama, yang lupa dengan banyak masalah ‘riil’ di masyarakat. Apa yang terjadi Cuma

61

(25)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 25 berkaitan dengan cara berpakaian punkers dan lagu-lagu yang mereka nyanyikan yang membuat pihak berwenang dan polisi syariah tidak suka. Seringkali, polisi membubarkan mereka karena mereka berkumpul di lokasi tertentu di Banda Aceh.

Pendekatan seperti ini telah memperburuk hubungan antara komunitas punk dan polisi syariah. Tentu saja, situasi menjadi lebih buruk mulai awal 2011, ketika Polisi dan punkers bentrok dan seorang petugas polisi syariah ditikam. Sejak kejadian itu, punkers telah menjadi target razia oleh polisi syariah. Namun, punkers berjuang dan turun ke jalan kembali, menyuarakan bahwasanya mereka tidak ingin diberantas oleh polisi Syariah.

Menarik untuk melihat bagaimana proses demokrasi berjalan di Aceh sehubungan dengan kasus tersebut. Setelah tsunami, kehadiran komunitas internasional mempengaruhi adopsi yang cepat dari norma-norma HAM di kalangan LSM Aceh. Peran advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, sebuah lembaga yang bertujuan untuk memberikan bantuan hukum Cuma-cuma untuk masyarakat, tampak nyata ketika beberapa pengacara muda mencoba untuk membebaskan punkers penangkapan. Namun, pihak LBH tidak bisa untuk mengangkat kasus hukum tersebut terkait polisi syariah karena punkers yang telah mengalami tindak kekerasan tidak mau melaporkan polisi Syariah kepada aparat

Polisi negara. ‘Ini tidak masuk akal, mereka adalah sama’, pungkas Boeloek.

Permasalahan dengan punkers belum terselesaikan meski sejumlah pihak telah mencoba untuk mengundang polisi syariah dan perwakilan dari komunitas punk untuk ikut berpartisipasi dalam dialog komprehensif. Diskusi dan seminar telah diselenggarakan untuk menanggapi kekerasan yang dialami oleh kelompok minoritas. Meski sudah ada dialog, bentrokan fisik antara polisi syariah dan punkers terus terjadi. Dua hari sebelum Ramadan, pada 29 Juli 2011, polisi syariah sekali lagi melakukan razia terhadap punkers di Banda Aceh.62 Selama terjadi razia, seorang

62

(26)

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN: DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 26 punker, bernama Rully atau Oyie, ditangkap dan dipukuli oleh pihak berwenang. Kejadian ini dilakukan di depan Wakil Walikota Banda Aceh.63

Program yang dicanangkan Pemerintah bernama ‘Visit Banda Aceh 2011’ seyogyanya dipertimbangkan kembali jika ada keinginan mencoba untuk mencari tahu mengapa polisi syariah dan Pemerintah Daerah Banda Aceh agresif dan memusuhi punkers. Sangat dimungkinkan pihak berwenang khawatir keberadaan punkers –dengan kegiatan mereka yang dianggap tidak pantas atau tidak bagian dari budaya Aceh– dapat merusak citra dan motto Banda Aceh sebagai ‘Bandar Wisata Islami’ dan keberadaan punkers bisa membuat turis enggan datang.

Pada tahun 2011 terlihat sejumlah kontradiksi lebih jauh terkait posisi Pemerintah Daerah Aceh dalam problema kepatuhan terhadap pelaksanaan Syariah. Sementara industri hiburan diminimalisir dengan hukum syariah yang melarang berkumpulnya laki-laki dan perempuan, Pemerintah tidak mengatur regulasi sejumlah festival. Festival Peunayong64, Duta Wisata Aceh dan Festival Sungai, di antaranya, adalah contoh dari acara untuk publik yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh untuk mendukung program ‘Visit Banda Aceh 2011’. Dalam festival-festival tersebut, tampak pihak Pemerintah gagal untuk mengerahkan aparat kepolisian syariah yang memadai guna mengawasi kehadiran laki-laki dan perempuan secara terpisah dalam acara-acara tersebut, sehingga tampak kegagalan dalam menegakan regulasi yang ada dengan membaurnya laki-laki dan perempuan yang terjadi di acara-acara publik.

7. Kesimpulan Umum

Aceh mengalami berbagai tantangan dalam penerapan syariah. Satu dekade paska formalisasinya, masih belum ada konsensus tentang jenis syariah yang ‘tepat’ yang seharusnya diadopsi oleh Daerah. Beberapa kelompok keagamaan dan tokoh masyarakat Aceh juga mengkritik regulasi-regulasi syariah, dengan alasan bahwa syariah saat ini hanya digunakan oleh Pemerintah sebagai alat untuk memperkuat

63

Wawancara dengan Junaidi Hanafiah, wartawan Harian Aceh, 2 Agustus 2011.

64

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian sebelumnya dari 70 orang responden diperoleh bahwa, 19,4 % responden yang berperilaku tidak aman dengan pengetahuan yang rendah tentang

Berdasarkan hasil penelitian yang dijabarkan dalam pembahasan, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan yang sekaligus menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Pertama, latar

www.reliance-securities.com, www.relitrade.com | Please see important disclosure information on the final page of this document your reliable partner | 7. IDX CORNER

Kedua , bentuk hasil pengembangan modul pembelajaran biologi materi keanekaragaman hayati dilengkapi dengan gambar-gambar yang bersifat kontekstual untuk melatih

kami sampaikan Peringkat Teknis Peserta Penawaran E-Lelang Terbatas. Pekerjaan Pekerjaan Penataan Lingkungan (Beautifikasi) Gerbang Tol

[r]

Proses pembelian industri adalahjauh lebih kompleks dari pada keputusan membeli yang dibuat oleh konsumen. Titik berat dari model ini adalah pada proses

1) Dra. Endang Sri Rahayu, M.Pd., selaku dosen pembimbing materi yang telah membimbing peneliti sejak awal penyusunan proposal hingga skripsi ini selesai serta