• Tidak ada hasil yang ditemukan

BADAN USAHA MILIK DESA- Mengidentifikasi Potensi, Peluang dan Tantangan.doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BADAN USAHA MILIK DESA- Mengidentifikasi Potensi, Peluang dan Tantangan.doc"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BADAN USAHA MILIK DESA:

Mengidentifikasi Potensi, Peluang dan Tantangan

Teguh Widodo

Kepala Bagian Ekonomi & Pembangunan Setda Kab. Padang Pariaman

Email: [email protected]

Abstrak

Dengan keluarnya undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, ada peluang baru bagi desa untuk membuka usaha baru bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya—bahkan desa berpeluang untuk memandirikan dirinya menjadi maju tanpa tergantung dengan anggaran pemerintah di atasnya. Namun dalam upaya mewujudkan hal terebut, desa/nama sebutan lain dari desa (Nagari, dusun, kampung) perlu diberikan capacity building supaya dapat mengidentifikasi potensi-potensi, peluang dan tantangan tentangan BUM des itu sendiri. Sehingga pendirian BUM des tidak hanya semangat sementara, tapi hendaknya menjadi usaha desa yang secara kontinu.

Makalah ini mencoba menelaah lebih lanjut tentang potensi-potensi yang dapat digali guna mendirikan BUM des, sehingga BUMdes itu feasible baik dari sisi ekonomi maupun upaya peningkatan pelayanan. Selain itu makalah ini juga mengkaji kemungkinan adanya peluang termasuk tantangan ke depan yang mulai saat ini harus diantisipasi, sehingga penanaman modalnya tidak total lost.

Makalah ini dibagi menjadi beberapa sub bagian. Bagian pertama menjelaskan urgensi BUMdes bagi kesejahteraan masyarakat, bagian berikutnya menjelaskan tentang potensi, peluang dan tantangan BUMdes dalam meningkatkan pelayanan umum desa maupun dalam meningkatkan kesejahteraannya warganya. Bagian terakhir dari bab ini adalah catatan penutup yang merupakan rekomendasi rencana tindak lanjut gagasan.

Kata Kunci: BUMdes, potensi, peluang dan tantangan.

PENDAHULUAN

Pasal 87 sampai 90 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 memberikan peluang yang cukup luas kepada desa/nama lain dari desa untuk membuat badan usaha milik desa (BUMDes). Desa berkesempatan mengembangkan inovasi dan kreativitasnya bersama badan musyawarah di desa membentuk BUMDes. Dengan adanya BUMDes, desa diharapkan dapat memandirikan dirinya dalam membangun desa dan rakyatnya sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan.

Pengalaman yang sudah sudah, ketika masyarakat perdesaan diberikan bantuan oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam bentuk dana bergulir sering terjadi tunggakan. Sebagai contoh, di Sumatera Barat, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan, terdapat sekitar 12 Milyar kredit macet (http://padangekspres.co.id/? news=berita&id=45355).

Berdasarkan kondisi tersebut, sebenarnya dalam hal finansial masyarakat perdesaan mengalami persoalan pada pengembalian pinjaman, sehingga para kreditur seringkali memberi stigma kepada masyarakat perdesaan

sehingga untuk periode-periode berikutnya, mereka memberikan berbagai pertimbangan sebelum menyetujui kredit. Kondisi lain bisa jadi disebabkan kemauan para peminjam (willingness to pay) untuk membayar pinjaman ada tapi usaha yang mereka lakukan tidak berjalan dengan baik, atau dengan kata lain mengalami kegagalan.

Berbagai kendala yang dialami masyarakat desa dalam pengembalian pinjaman dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya menjadi peluang sekaligus tantangan bagi para pelaku usaha di desa ataupun penggiat kegiatan desa, termasuk pula BUMDes. Menjadi peluang, karena ada pangsa pasar yang dapat menjadi sumber penghidupan bagi BUMDes. Menjadi tantangan, karena akan banyak rintangan yang akan mengganggu operasional BUMDes itu sendiri.

(2)

berikutnya menjelaskan tentang potensi, peluang dan tantangan BUMdes dalam meningkatkan pelayanan umum desa maupun dalam meningkatkan kesejahteraannya warganya. Bagian terakhir dari bab ini adalah rencana tindak lanjut gagasan.

URGENSI BUMDES DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKATNYA

Banyaknya kegagalan program kegiatan pemerintah yang diperuntukkan kepada masyarakat perdesaan, mengindikasikan ada kesalahan yang memang harus diperbaiki baik dari sisi mekanisme maupun program itu sendiri.

BUMDes muncul sebagai alternatif program yang didukung dengan kebijakan di bawah payung hukum Undang-Undang Nomor 6 tahun 20141. Filosofi BUMDes tidak lain adalah konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Mekanisme self-governing dalam ranah perencanaan domain publik sejatinya ada dalam tradisi Social Mobilisation (Friedmann, 1987)2 Mekanisme ini, seolah ada negara dalam negara, tapi kalau dirunut dalam tipenya lebih masuk dalam ranah utopian di mana komunitas membuat arena tersendiri tanpa menentang negara—dan karena banyak memberi manfaat terhadap publik, maka negara cenderung mendiamkannya atau bahkan mendukungnya dan menjadi inklusif. Demikian halnya konteks BUMDes, dimungkinkan akan memberikan nilai manfaat bagi publik karena fungsinya seperti replika perusahaan negara, hanya saja ini skalanya lebih kecil termasuk cakupannya.

Saat ini, ketika anggaran negara terbatas, seolah negara membuat stimulan kepada pemerintahan yang lebih kecil untuk secara mandiri nantinya menggerakan roda pemerintahannya tanpa harus terlalu menggantungkan anggaran Pemerintah di atasnya. Sudah sejak lama, para penggiat pembangunan perdesaan seperti Sayogyo (1983)3, Mubyarto (1998)4 menganggap desa dengan komunitas warganya dari sisi ekonomi terbatas, tapi di sisi lain lebih mandiri dibandingkan dengan masyarakat perkotaan yang cenderung menerima dan menikmati fasilitas publik yang disediakan pemerintah.

Untuk itu, pendirian BUMDes sangat seiring dengan karakteristik desa yang cenderung memiliki kemandirian yang tinggi dan berpotensi untuk diberdayakan. Bahkan, beberapa hasil studi yang dilakukan di beberapa daerah perdesaan seperti Desa Tlanak Kabupaten Lamongan Jawa Timur, mampu memberikan layanan air bersih yang kepada warganya dibandingkan dengan PDAM setempat

yang airnya sering mati. Demikian halnya beberapa desa lainnya di Gunung Kidul seperti Karangrejek, Karangasem yang patut jadi tauladan karena mampu membangun kampungnya berkat kemandiriannya di tengah-tengah keterbatasan sumber air. Mereka mampu membangun embung, jembatan secara mandiri tanpa menggantungkan uluran pemerintah. Embung tersebut jadi wahana mempertahankan air di pegunungan untuk membuat kolam lele sistem terpal.

Dari beberapa contoh keberhasilan desa tersebut, jelas menyiratkan bahwa Desa memiliki kemandirian yang jadi landasan pokok berdirinya BUMDes. Berdasarkan usaha-usaha yang dilakukan desa tersebut, juga telah menyiratkan bahwa secara filosofis, pendirian BUMDes dimaksudkan sebagai upaya menampung seluruh kegiatan ekonomi maupun pelayanan umum minimal dalam desa tersebut. Didalam peraturan Menteri Desa (Permendesa) Nomor 4 tahun 2015 juga disebutkan dalam pasal 2 bahwa “Pendirian BUM Desa dimaksudkan sebagai upaya menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antar-Desa.” Lebih lanjut juga disebutkan dalam pasal berikutnya bahwa tujuan

d. mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga;

e. menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga;

f. membuka lapangan kerja;

(3)

usaha-usaha kelompok yang dilakukan pada skup RW atau bahkan RT sekalipun seperti penyewaan alat-alat gerabah, masak dan tenda pesta. Mereka memperoleh modal dengan cara memungut beras satu genggam setiap malam yang dijemput pada waktu melakukan ronda keliling. Kegiatan ini disebut jimpitan. Hasil pungutan tersebut disepakati dalam musyawarah RT ataupun RW untuk membeli peralatan gerabah. Jadi setiap anggota komunitas yang akan mengadakan pesta baik pernikahan, kenduri maupun acara menjamu lainnya, akan menyewa gerabah tersebut. Hasil penyewaan tersebut dikumpulkan untuk mengadakan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi publik, seperti membangun pengerasan jalan makadam, membuat gapura dan lain sebagainya.

2.

Kondisi masyarakat perdesaan yang lebih Homogen. Uphoff (1986)5 menjelaskan konteks masyarakat yang homogen memiliki keuntungan dalam hal pengambilan keputusan yang bersifat mandiri. Keuntungan lain adalah adanya solidaritas sebagai penggerak komunitas. Kondisi komunitas seperti ini sangat potensial untuk menjaga marwah usaha berbasis komunitas.

3. Banyaknya sumber-sumber lokal yang belum dimanfaatkan. Sebagai contoh, bagi masyarakat yang tinggal di kawasan wisata pantai mereka berpotensi sebagai rekanan pihak ketiga pemerintah dalam mengelola lahan parkir, atau bagi masyarakat pedesaan dapat mengelola aset sungai untuk kegiatan ekonomi usaha wisata pemancingan dan sebagainya. Bagi masyarakat yang memiliki sumber mata air, dapat bekerja sama dengan PDAM turut menyiapkan air bersih sebagaimana kegiatan pemerintah dapat dijadikan peluang bagi desa untuk mendirikan BUMDes, seperti listrik PLN yang belum masuk desa dapat dijadikan peluang bagi BUMDes sebagai wahana baru dengan memanfaatkan sumber mata air sebagai tenaga listrik mikro hidro, ataupun dengan memanfaatkan diesel. Meskipun kondisi ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan6, namun ini

dapat disikapi dengan pengurusan izin kepada Pemerintah.

2.

Masuknya program-program pemerintah yang bersifat menjual barang-barang bersubsidi seperti raskin, dan pupuk bersubsidi. Dengan adanya barang-barang subsidi yang dijual ke perdesaan, membuka peluang bagi warga desa untuk membuka BUMDes usaha distribusi raskin maupun pupuk bersubsidi. Di usaha tersebut justru akan membuat masyarakat akan turut mengawasi jalannya pelaksanaan distribusi barang/jasa yang ada dalam pengawasan pemerintah.

3.

Terbatasnya warga masyarakat mengakses

sumber-sumber perbankan, menjadi peluang bagi desa membuka usaha simpan pinjam, bahkan kredit usaha yang pernah digulirkan pemerintah dan saat ini macet, dapat menjadi peluang bagi desa dengan menawarkan jasa penagihan yang dananya kemudian dapat digulirkan kembali. Tentunya peluang ini diikuti dengan mekanisme penyertaan modal pemerintah daerah kepada BUMDes. Diakui saat ini masih banyak rakyat desa yang terjerat dengan para tengkulak sistem ijon ataupun rentenir. Kondisi itu karena salah satunya disebabkan sulitnya masyarakat desa mendapatkan akses perbankan, seperti jarak kantor perbankan yang relatif jauh, ataupun sulitnya mendapatkan pinjaman karena tidak tahu mekanisme utang ke perbankan. Dengan adanya unit simpan pinjam yang dilaksanakan BUMDes akan ada peluang bagi rakyatnya untuk meminjam.

TANTANGAN

Selain potensi dan peluang, ada beberapa hambatan yang perlu diwaspadai dan disikapi BUMDes ke depannya.

1.

Bagi BUM Des yang bergerak di bidang simpan pinjam akan menghadapi tantangan macetnya pinjaman seperti yang saat ini dihadapi Pemerintah dalam menyalurkan kredit usaha rakyat.

2.

Keterbatasan sumber daya manusia pelaku BUMDes harus segera disikapi dengan bimbingan teknis dan pelatihan lainnya untuk meningkatkan pelayanan.

3. Banyaknya perusahaan-perusahaan swasta lainnya yang bergerak di bidang usaha yang sama dimungkinkan akan menjadi pesaing utama BUMDes. Kalau layanan BUMDes lebih buruk dari layanan perusahaan lain, maka dimungkinkan berpalingnya pelanggan.

RENCANA TINDAK LANJUT

(4)

merupakan political will yang harus ditindaklanjuti. Sebagai tanggung jawabnya, pemerintah juga harus banyak memberikan penguatan kapasitas terhadap para pelaku dan pelaksana BUMDes. Diberikannya peluang BUMDes untuk mengelola aset-aset ataupun layanan publik hendaknya diikuti dengan rencana aksi yang tertuang dalam peta jalan (roadmap) perusahaan, sehingga pada periode tertentu akan nampak jelas kemana arah BUMDes.

Payung hukum memang sudah disiapkan pemerintah, yang perlu segera ditindaklanjuti adalah menyiapkan perangkat lunaknya (soft tools) BUMDes seperti forum komunikasi BUMDes yang dapat dijadikan ajang berbagi informasi antar pelaku BUMDes. Yang tidak kalah pentingnya adalah wadah pelatihan pelayanan BUMDes yang memungkinan dapat difasilitasi oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal. Supaya kebijakan pendirian BUMDes dapat berjalan secara efektif dan efisien sepertinya tidak perlu terburu-buru secara booming desa di seluruh Indonesia mendirikan BUMDes, tapi perlu ada pilot project BUMDes di beberapa tempat dengan karakteristik desa yang berbeda, misalkan dipilotproject-kan untuk desa yang ada di kawasan pegunungan, pantai dan desa tertinggal. Dengan demikian nantinya akan ada perlakuan yang berbeda terhadap kesesuaian jenis usaha untuk desa dengan tipologi geografi yang berbeda.

Rencana tindak lanjut berikutnya adalah didasarkan atas kondisi masyarakat desa yang memiliki keterbatasan modal, perlu disikapi dengan menggandeng swasta sebagai bapak asuh usaha, sehingga BUMDes dapat dibina usahanya tanpa harus saling melemahkan usahanya.

Sebagai catatan penutup, perlu kiranya dalam pendirian BUMDes ada tenaga pendamping yang turut mengawal mulai dari proses pendirian sampai berjalannya usaha. Memang banyak rencana tindak lanjut yang harus disikapi segera, mengingat kebijakannya telah bergulir. Desa sebagian kecil telah menyikapinya, tapi aksi dari pemerintah pusat terhadap BUMDes sepertinya masih perlu giat lagi.

Referensi:

[1] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa [2] J Friedman (1987) Planning in The Public Domain. Pelgrav New York

[3] Sayogyo (1983) Sosiologi Pedesaan. Univ Gadjah Mada Press, Yogyakarta

[4] Mubyarto (1998) Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. BPFE Yogyakarta.

[5] N Uphoff (1986) Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with Cases, Kumarian Press Connecticut.

[6] Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.

(5)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal pembelian Unit Penyertaan KISI EQUITY FUND dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan secara berkala sesuai dengan ketentuan butir 13.3 Prospektus, maka Formulir

Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa golput adalah pilihan tidak memilih sebagai bentuk akumulasi rasa jenuh (apatis) masyarakat yang

Penelitian tentang pengaruh brand image terhadap kepuasan pasien rumah sakit besar di Taiwan juga menunjukkan adanya pengaruh langsung yang positif dan signifikan

Penelitian ini dilatar belakangi oleh potensi dana dari Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi Pada Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam untuk menyimpan atau menginvestasikan

Warna kuning telur dengan menggunakan Salvinia molesta dalam ransum masih dalam katagori lebih baik dari penelitian yang dilakukan Sujana et al. Proses

Dengan potensi demikian masyarakat dan pemerintah desa memamfaatkan lahan tambak tersebut sebagai salah satu potensi desa untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) berperan dalam meningkatnya Pendapatan Asli Desa sehingga nantinya Pemerintah Desa dapat menyelenggarakan pembangunan yang berdampak pada