1
PERAN AYAH (FATHERING) PADA PENGASUHAN ANAK USIA DINI (Sebuah kajian teoritis)
Enjang Wahyuningrum ewahyuningrum@gmail.com
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana
Pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi antara orang tua dan anak. Peran seorang ayah dalam keluarga biasanya lebih sebagai tulang punggung keluarga dan pencari nafkah keluarga, sedangkan ibu berperan aktif dalam mengasuh anak-anaknya. Padahal peran orang tua, khususnya di sini ayah, sangat dibutuhkan untuk perkembangan seorang anak. Kajian teoritis ini bertujuan untuk mengetahui penelitian-penelitian terbaru mengenai peran ayah (Fathering) pada anak usia dini dan pengaruh peran ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Selain itu, kajian ini akan melihat faktor-faktor apa saja yang memengaruhi peran ayah dalam pengasuhan anak usia dini. Coparenting mengacu pada cara orang tua untuk bekerja bersama sebagai pasangan, melakukan negosiasi dalam membesarkan anak dan saling mendukung satu sama lain. Peran ayah (fathering) dapat dijelaskan sebagai suatu peran yang dijalankan dalam kaitannya dalam tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya, baik secara fisik maupun biologis. Peran ayah sama pentingnya dengan peran ibu dan memiliki pengaruh dalam perkembangan anak usia dini.
Kata kunci : Peran Ayah (Fathering), Coparenting, Pengasuhan, Anak Usia Dini
PENDAHULUAN
Sepanjang sejarah, pada sebagian masyarakat di dunia, seorang pria bertanggung
jawab untuk menafkahi anak dan istrinya. Sedangkan seorang perempuan lebih banyak
diharapkan untuk menjaga rumah, menyiapkan makanan secara rutin dan mengasuh
anaknya (Duvall, 1977).
Perubahan sosial turut mengubah pola pengasuhan orang tua. Dahulu ibu yang di
rumah serta bertanggung jawab penuh terhadap pengasuhan anak, sedangkan ayah
bekerja sebagai pencari nafkah utama, namun sekarang keduanya bekerja. Seperti yang
dijelaskan oleh Hoffman (dalam Santrock, 2007) bahwa ibu-ibu bekerja adalah suatu
bagian dari kehidupan modern. Hal itu bukan suatu aspek kehidupan yang menyimpang
2
Tanggapan terhadap perubahan sosial tersebut menyebabkan ibu-ibu bekerja
untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Jumlah keluarga dimana kedua orang
tua bekerja menjadi bertambah. Menurut Soekanto (dalam Wulandari, 2009) bahwa
keluarga menurut pola masyarakat yang agraris, menghadapi persoalan dalam
menyongsong modernisasi, khususnya industrialisasi. Ikatan keluarga dalam masyarakat
agraris adalah atas dasar faktor kasih sayang dan faktor ekonomis, dalam arti keluarga
tersebut merupakan suatu unit yang memproduksi sendiri kebutuhan primernya.
Dimulainya industrialisasi pada suatu masyarakat agraris, peranan keluarga menjadi
berubah. Ayah yang biasanya wajib mencari penghasilan, sekarang seorang ibu apabila
penghasilan ayah tidak mencukupi maka ikut mencari penghasilan tambahan.
Sejalan dengan itu, Day & Lamb (dalam Santrock, 2007) mencatat bahwa terjadi
perubahan yang sangat besar pada peran ayah dalam keluarga di Amerika Serikat.
Selama masa penjajahan di Amerika, ayah terutama bertanggung jawab atas pengajaran
moral. Dengan adanya revolusi industri, fokus peran ayah berubah untuk menekankan
posisinya sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Menjelang tahun 1970, minat ayah
sebagai orang tua aktif dan penyayang mulai muncul. Mereka tidak hanya bertanggung
jawab untuk mendisiplinkan dan mengontrol anak-anak yang lebih tua dan mencari bagi
keluarga, ayah juga melibatkan diri secara aktif dalam pengasuhan anak.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Mezulis, Hyde & Clark (dalam Santrock, 2007)
mengungkapkan bahwa pentingnya peran ayah ketika ibu mengalami depresi pasca
melahirkan. Dalam keluarga-keluarga yang mengalami hal ini, suatu pola kehangatan
dan keterlibatan ayah dengan bayi dikaitkan dengan lebih sedikitnya masalah perilaku
pada masa kanak-kanak nanti.
Dalam interaksi dengan anak, ayah memiliki peran dalam hal yang berbeda dengan
ibu. Lamb (dalam Santrock, 2007) berpendapat bahwa interaksi ibu terpusat dalam
aktifitas perawatan anak, seperti memberi makan, mengganti popok dan memandikan
anak. Sedangkan interaksi ayah lebih cenderung pada aktifitas bermain. Ayah banyak
3
udara, menggelitik dll. Ibu juga bermain dengan anak, namun jenis permainannya
cenderung tidak bersifat fisik dan bersemangat seperti ayah.
Sebuah penelitian mengenai peran ayah terhadap pengasuhan anak yang
dilakukan oleh Sukaesih (2001) menunjukkan bahwa peran ayah dalam pola asuh
kemandirian berhubungan dengan tingkat perkembangan kemandirian anak prasekolah
Sementara itu, peran ayah dalam pola asuh sosial tidak berhubungan dengan tingkat
perkembangan sosial anak prasekolah.
Penelitian secara longitudinal pada 24 orang ayah yang memiliki anak berusia bayi
mengenai peran keterlibatan ayah pada perkembangan anak, dilakukan oleh Sarkadi
dkk. (2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 22 anak memperoleh pengaruh yang
positif. Keterlibatan ayah secara teratur dan aktif memberikan dampak yang positif,
meskipun tidak diketahui bentuk khusus keterlibatan yang seperti apa, yang akan
memberikan dampak lebih baik. Keterlibatan ayah memberikan dampak positif dengan
berkurangnya masalah perilaku pada anak laki-laki dan masalah psikologis pada anak
perempuan. Selain itu, juga akan memberikan dampak meningkatkan perkembangan
kognitif, mengurangi kenakalan dan perilaku yang merugikan pada keluarga dengan
status sosial ekonomi yang rendah.
Tujuan membahas tema coparenting, khususnya fathering adalah mengetahui
penelitian-penelitian terbaru mengenai coparenting khususnya peran ayah (fathering),
mengetahui pengaruh dari peran ayah (fathering) dalam parenting anak usia dini dan
mengetahui faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap peran ayah (fathering)
dalam parenting anak usia dini.
KAJIAN TEORI
1. Definisi Coparenting
Coparenting atau pengasuhan bersama, didefinisikan oleh Doherty & Beaton
(dalam Santrock, 2007) sebagai jumlah dukungan yang saling diberikan oleh orang tua
dalam membesarkan anak. Sedangkan Brooks (2008) mengatakan bahwa coparenting
4
atau lebih figure parenting berelasi satu sama lain seperti mereka bekerja bersama
dalam membesarkan anak. Coparenting ini dapat dilakukan dalam kondisi orang tua
masih terikat pernikahan, berpisah (separated), bercerai (divorced), atau telah
menikah kembali.
Sejalan dengan itu, Feinberg (dalam Sullivan, 2008) menegaskan bahwa
coparenting mengacu pada interaksi antara orang tua dengan anak-anaknya, tidak
termasuk ke dalamnya hal-hal yang tidak terkait dengan proses membesarkan anak,
seperti romantika, hubungan seksual, emosi, finansial dan aspek legal dari kedua orang
tua tersebut. Mc.Hale dll. (dalam Brooks, 2008) juga menambahkan bahwa fungsi unit
coparenting yang efektif adalah dimana figure orang dewasa berkolaborasi untuk
menyediakan sebuah bentuk komunikasi keluarga untuk mendukung dan memiliki rasa
solidaritas pada anak, sebuah aturan yang konsisten, standard dan dapat diprediksi,
serta rumah yang nyaman dan aman. Dalam hal ini juga dikatakan bahwa hal ini dapat
terjadi, meskipun kedua orangtua tidak berada dalam sebuah rumah secara bersama.
Senada dengan yang dikatakan oleh Martin & Colbert (1997) yang mengatakan
bahwa pasangan atau mitra dalam parenting merupakan sumber utama dukungan
sosial. Coparenting mengacu pada cara orang tua untuk bekerja bersama sebagai
pasangan, melakukan negosiasi dalam membesarkan anak dan saling mendukung satu
sama lain. Coparenting mungkin dikonseptualisasikan serupa dengan bagaiman gaya
pengasuhan, atau bagaimana ibu dan ayah saling mendukung dalam proses interaksi
sehari-hari yang melibatkan perawatan anak. Meskipun demikian, Gable, Crnic &
Belsky (dalam Martin & Colbert, 1997) mengemukakan bahwa salah satu orangtua
dapat memperkuat upaya orang tua lain, atau jutru bertentangan dan merusak
upaya-upaya yang lain. Gagasan mengenai coparenting ini dapat diaplikasikan ke dalam
keluarga yang utuh atau keluarga yang bercerai, keluarga yang berpisah dan keluarga
yang menikah kembali.
Selanjutnya, Mc.Hale dll. (dalam Bornstein, 2002) mengatakan bahwa ada
beberapa aspek yang penting untuk mewujudkan coparenting yang efektif.
5
aturan standard yang disepakati untuk anak, adanya batas-batas kewenangan yang
jelas dalam rumah tangga, kedekatan emosional dan adanya ikatan atau koneksivitas.
2. Manfaat Coparenting
Peningkatan yang besar pada penelitian mengenai coparenting telah terjadi
dalam dua dekade terakhir ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa koordinasi
yang buruk, peremehan yang dilakukan oleh orang tua, kurangnya kerjasama dan
kehangatan dan pemutusan hubungan dari salah satu orang tua, merupakan kondisi
yang membuat anak menghadapi resiko perkembangan (Mc.Hale dkk dalam Santrock,
2007). Sebaliknya, solidaritas orang tua, kerjasama dan kehangatan menunjukkan
ikatan yang jelas dengan perilaku prososial dan kompetensi anak dalam hubungan
dengan teman sebayanya. Sebagai contoh, dalam sebuah studi yang dilakukan oleh
Mc.Hale, Johnson & Sinclair (dalam Santrock, 2007) menyebutkan bahwa anak berusia
4 tahun dari keluarga yang tingkat kerjasama dan dukungannya rendah dalam
coparenting, lebih cenderung mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial
dibandingkan teman-teman sekelas mereka di taman bermain.
Ketika orang tua menunjukkan kerjasama, sikap saling menghormati,
komunikasi yang seimbang dan penyesuaian terhadap kebutuhan masing-masing,
maka akan membantu anak dalam membentuk sikap yang positif terhadap laki-laki
maupun perempuan (Biller dalam Santrock, 2007). Lebih mudah bagi keluarga yang
bekerja dalam menghadapi perubahan kondisi, ketika ayah dan ibu bekerjasama dan
berbagi tanggung jawab pengasuhan anak secara adil. Stress ibu menjadi berkurang
dan ia bersikap lebih positif terhadap suaminya ketika suaminya merupakan mitra
yang mendukung.
Senada dengan itu, Martin & Colbert (1997) menegaskan bahwa coparenting
yang bersifat kooperatif akan meningkatkan perkembangan anak. Sebuah studi yang
dilakukan oleh Feinberg, Kan & Goslin (2009) mengenai peningkatan coparenting
melalui program psikoeducational menunjukkan hasil bahwa program tersebut
6
tersebut memperbaiki aturan antara orangtua dengan anak. Hasil lainnya
menunjukkan bahwa intervensi yang bersifat preventif bagi keluarga yang memasuki
masa transisi menjadi orangtua dapat menjadi pendekatan yang efektif untuk
mempromosikan hubungan keluarga yang positif, penyesuaian orang tua, dan
perkembangan anak.
3. Definisi Peran Ayah (Fathering)
Peran ayah atau Fathering lebih merujuk pada perannya dalam parenting. Hal ini
dikarenakan fathering merupakan bagian dari parenting. Idealnya ayah dan ibu
mengambil peranan yang saling melengkapi dalam kehidupan rumah tangga dan
perkawinannya, termasuk di dalamnya berperan sebagai model yang lengkap bagi
anak-anak dalam menjalani kehidupannya (Andayani & Koentjoro, 2004).
Peran ayah (fathering) dapat dijelaskan sebagai suatu peran yang dijalankan
dalam kaitannya dalam tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri di masa
dewasanya, baik secara fisik maupun biologis. Peran ayah sama pentingnya dengan
peran ibu dan memiliki pengaruh dalam perkembangan anak walaupun pada
umumnya menghabiskan waktu relatif lebih sedikit dibandingkan dengan ibu. Hal ini
karena menurut Fromm (dalam Yuniardi, 2006) cinta seorang ayah didasarkan pada
syarat tertentu, berbeda dengan cinta ibu yang tanpa syarat. Dengan demikian, cinta
ayah memberikan motivasi kepada anak untuk lebih menghargai nilai-nilai dan
tanggung jawab.
4. Peran Ayah (Fathering) dalam Keluarga
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, McAdoo (dalam Yuniardi, 2006)
menyimpulkan ada beberapa peranan ayah dalam keluarga yaitu : (a). provider,
sebagai penyedia dan pemberi fasilitas, (b). protector, sebagai pemberi perlindungan,
(c). decision maker, sebagai pengambil keputusan, (d). child specialiser & educator,
yaitu sebagai pendidik dan menjadikan anak sebagai makhluk social, (e). nurtured
7
Sedangkan Hart (dalam Yuniardi, 2006) menegaskan bahwa ayah memiliki peran
dalam keterlibatannya dengan keluarga yaitu :
a) Economic Provider, yaitu ayah dianggap sebagai pendukung financial dan
perlindungan bagi keluarga. Sekalipun tidak tinggal serumah dengan anak,
namun ayah tetap dituntut untuk menjadi pendukung financial.
b) Friend & Playmate, ayah dia ggap se agai fun parent serta e iliki aktu
bermain yang lebih banyak dibandingkan dengan ibu. Ayah banyak
berhubungan dengan anak dalam memberikan stimulasi yang bersifat fisik..
c) Caregiver, ayah dianggap sering memberikan stimulasi afeksi dalam berbagai
bentuk, sehingga memberikan rasa nyaman dan penuh kehangatan.
d) Teacher & Role Model, sebagaimana dengan ibu, ayah juga bertanggung jawab
dalam terhadap apa saja yang dibutuhkan anak untuk masa mendatang melalui
latihan dan teladan yang baik bagi anak.
e) Monitor and disciplinary, ayah memenuhi peranan penting dalam pengawasan
terhadap anak, terutama begitu ada tanda-tanda awal penyimpangan, sehingga
disiplin dapat ditegakkan.
f) Protector, ayah mengontrol dan mengorganisasi lingkungan anak, sehingga
anak terbebas dari kesulitan/bahaya.
g) Advocate, ayah menjamin kesejahteraan anaknya dalam berbagai bentuk,
terutama kebutuhan anak ketika berada di institusi di luar keluarganya.
h) Resource, dengan berbagai cara dan bentuk, ayah mendukung keberhasilan
anak dengan memberikan dukungan di belakang layar.
Selain tugas pokok sebagai penyedia kebutuhan anak, ayah mempunyai
perilaku pengasuhan yang khas antara lain : interaksi ayah-anak berorientasi pada
gerak dan bermain, membantu anak bereksplorasi dan menyukai tantangan, ayah
mampu mengajarkan sikap asertif, kebijaksanaan, pengambilan keputusan, ayah
merupakan pendisiplin yang tegas, anak dapat belajar sifat maskulin sekaligus
sebagai model pria dewasa, dan ayah merupakan peletak dasar kemampuan
8
memberikan afeksi, merawat anak, dan mendukung anak untuk mencapai
keberhasilan.
5. Dimensi-Dimensi Peran Ayah
Lamb et al. (dalam Cabrera et al., 1999) mengemukakan model yang elaboratif di
mana dimensi-dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan meliputi :
a) Paternal Engagement
yaitu pengalaman ayah berinteraksi langsung dan melakukan aktivitas bersama
misalnya bermain-main, meluangkan waktu bersama, dan seterusnya.
b) Paternal Accessibility
yaitu kehadiran dan kesediaan ayah untuk anak. Orangtua ada di dekat anak
tetapi tidak berinteraksi secara langsung dengan anak.
c) Paternal Responsibility
yaitu sejauhmana ayah memahami dan memenuhi kebutuhan anak, termasuk
memberikan nafkah dan merencanakan masa depan anak.
Sedangkan Fox & Bruce (2001) mengemukakan konsep fathering dengan
dimensi-dimensi yang diukur menggunakan aspek-aspek sebagai berikut :
a. Responsivity;
Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah menggunakan kehangatan, kasih
sayang, dan sikap suportif kepada anaknya.
b. Harshness;
Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah menggunakan sikap galak,
menghukum, dan pendekatan inkonsisten dalam pengasuhan kepada
anaknya.
c. Behavioral engagement
Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah terlibat aktivitas dengan anak.
d. Affective involvement;
Dimensi ini mengukur sejauh mana ayah menginginkan dan menyayangi
9
6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keterlibatan Ayah
Andayani & Koentjoro (2004) mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi
keterlibatan ayah berdasarkan beberapa penelitian sebagai berikut :
a. Faktor kesejahteraan psikologis.
Faktor kesejahteraan psikologis diteliti dari dimensi negatif misalnya tingkat
depresi, tingkat stres, atau dalam dimensi yang lebih positif seperti tingkat
well-being. Selain itu, identitas diri yang menunjuk pada harga diri dan kebermaknaan
diri sebagai individu dalam lingkungan sosialnya juga berkaitan dengan dimensi
ini. Apabila kesejahteraan psikologis orangtua dalam kondisi rendah, orientasi
orangtua adalah lebih kepada pemenuhan kebutuhannya sendiri sehingga dapat
diprediksi bahwa perilaku orangtua terhadap anak lebih terpusat pada bagaimana
orangtua mencapai keseimbangan diri.
b. Faktor kepribadian
Kepribadian dapat merupakan faktor yang muncul dalam bentuk kecenderungan
perilaku. Kecenderungan ini kemudian diberi label sebagai sifat-sifat tertentu,
atau dapat pula disebut sebagai kualitas individu, termasuk salah satu diantaranya
adalah kemampuan seseorang untuk mengenali dan mengelola emosinya.
Selanjutnya, dalam proses pengasuhan anak ekspresi emosi dapat berperan pula
pada proses pembentukan pribadi anak.
c. Faktor sikap
Sikap adalah suatu kumpulan keyakinan, perasaan dan perilaku terhadap orang
atau objek. Secara internal sikap akan dipengaruhi oleh kebutuhan, harapan,
pemikiran dan keyakinan yang diwarnai pula oleh pengalaman individu. Secara
eksternal, sikap dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya dimana individu berada.
Dalam konteks pengasuhan anak, sikap muncul dalam area seputar kehidupan
keluarga dan pengasuhan, seperti sikap tentang siapa yang bertanggungjawab
atas pengasuhan anak. Perubahan perspektif tentang pengasuhan anak
mengalami perubahan pada akhir abad 20 sehingga faktor komitmen menjadi
satu aspek dari sikap positif terhadap pengasuhan anak. Apabila orangtua
mempersepsi dan mempunyai sikap bahwa pekerjaan adalah hal yang paling
penting dalam hidupnya, pekerjaan akan menjadi lebih penting daripada
10 d. Faktor keberagamaan
Keberagamaan atau masalah spiritual merupakan faktor yang mendukung
keterlibatan orangtua dalam pengasuhan. Ayah yang religius cenderung bersikap
egalitarian dalam urusan rumah tangga dan anak-anak. Mereka tidak keberatan
untuk mengerjakan tugas rumah tangga dan mengasuh anak. Selanjutnya, sikap
egalitarian inilah yang meningkatkan keterlibatan ayah dengan anak-anak.
Lamb, dkk. (dalam Jacobs & Kelley, 2006) mengemukakan 4 kategori
faktor-faktor yang memengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan berdasarkan
rangkuman pendapat beberapa ahli, yaitu :
a. Motivasi ayah untuk terlibat dalam kehidupan anak mereka. Faktor motivasi ayah
ini dapat dilihat dari komitmen dan identifikasi pada peran ayah. Faktor lain yang
mempengaruhi motivasi ayah untuk terlibat dengan anaknya adalah career
saliency. Pria yang secara emosional kurang lekat dengan pekerjaannya dapat
meluangkan lebih banyak waktunya untuk anak mereka. Job salience yang rendah
memprediksi partisipasi yang besar dalam perawatan/pengasuhan anak.
b. Keterampilan dan kepercayaan diri dalam peran sebagai ayah (efikasi diri ayah)
Efikasi diri dan kepuasan dalam mengasuh adalah 2 komponen dari ketrampilan
dan kepercayaan diri yang mempengaruhi keterlibatan ayah. Penelitian telah
menunjukkan bahwa efikasi diri dalam mengasuh berhubungan dengan
keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Dalam penelitian lain, ayah melaporkan
mempunyai tingkat efikasi yang lebih rendah daripada ibu. Ayah yang
mempersepsi diri mereka mempunyai ketrampilan mengasuh yang lebih besar
melaporkan keterlibatan dan tanggungjawab yang lebih besar untuk tugas
merawat anak (dalam Sanderson & Thompson, 2002).
c. Dukungan sosial dan stress.
Keyakinan ibu terhadap pengasuhan oleh ayah, kepuasan perkawinan, konflik
pekerjaan-keluarga merupakan dukungan sosial dan stres yang telah ditemukan
mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Pada umumnya, keyakinan
wanita tentang bagaimana seharusnya keterlibatan pasangannya dalam
pengasuhan berhubungan dengan keterlibatan pria. Interaksi emosional yang
positif dengan pasangan dapat mempengaruhi pikiran pria dan menguatkan
11
penelitian telah menunjukkan bahwa ayah yang merasakan kepuasan perkawinan
tinggi melaporkan partisipasi yang lebih banyak dalam pengasuhan. Kepuasan
pernikahan yang tinggi berhubungan dengan kualitas interaksi ayah-anak yang
tinggi. Akan tetapi, penelitian lain menemukan bahwa, untuk pria, waktu lebih
banyak digunakan untuk mengasuh anak berhubungan dengan kepuasan
perkawinan yang rendah.
d. Faktor institusional (misal karakteristik pekerjaan).
Faktor-faktor institusional termasuk diantaranya kebijakan tempat kerja (misal :
jam orangtua berangkat, fleksibilitas jadwal kerja). Semakin banyak jam kerja
ayah, keterlibatan dengan anak berkurang. Makin banyak jam kerja wanita,
semakin besar keterlibatan ayah dalam pengasuhan.
PEMBAHASAN
Sebuah studi longitudinal yang dilakukan oleh Koestner, Franz & Weinberger
(dalam Santrock, 2007) menyebutkan bahwa keterlibatan ayah dalam membesarkan
anak pada usia 5 tahun merupakan penentu empati terkuat bagi pria dan wanita usia
31 tahun. Dalam studi lebih lanjut, pada usia 41 tahun, pria dan wanita yang memiliki
hubungan sosial yang lebih baik yaitu kualitas perkawinan dan persahabatan, telah
mengalami lebih banyak kehangatan ayah pada masa kanak-kanaknya. Sedangkan
studi yang dilakukan oleh Marsiglio (dalam Santrock, 2007) menyebutkan bahwa ayah
yang memiliki gaya pengasuhan otoritatif lebih cenderung memiliki anak yang sedikit
mengalami masalah eksternal, seperti menekan ekspresi emosi atau justru berperilaku
agresif, dan memiliki masalah internal seperti kecemasan atau depresi, dibandingkan
dengan ayah yang menggunakan gaya pengasuhan lainnya.
Sebuah penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Octhavia (2003) didapatkan
hasil bahwa peran ayah dan ibu dalam mengasuh anak cenderung tidak dapat
dipisahkan, saling membantu dan bekerjasama. Peran ayah dalam mengasuh anak
disela-sela kesibukannya sangat membutuhkan pembagian waktu yang efektif, selain
membagi waktunya untuk bekerja ayah harus membagi waktu untuk mengasuh
12
mempersiapkan kebutuhan anak sebelum berangkat sekolah seperti memandikan,
menggantikan pakaian anak sebelum berangkat bekerja dan malam hari menemani
anak belajar, membacakan dongeng sebelum tidur. Juga pada waktu libur, para ayah
menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka untuk berlibur atau sekedar
jalan-jalan. Walaupun sibuk dalam bekerja, para subyek yang diteliti masih tetap
menyempatkan diri mengasuh dan memberi perhatian pada anaknya.
Sejalan dengan itu, Sears (dalam Ludhfiani, 2009) mengungkapkan bahwa
peran ayah dalam merawat bayi tidak hanya sekedar peran pendukung. Ayah lebih
dari sekedar pengasuh pengganti ketika ibu pergi, ayah memberi kontribusi yang unik
untuk perkembangan bayi mereka. Ayah mempunyai jalan sendiri yang unik untuk
berhubungan, dan bayi memerlukan perbedaan ini. Respons ayah mungkin sedikit
kurang otomatis dan lebih lambat dibandingkan ibu, tetapi ayah mampu membuat
hubungan-lekat yang kuat dengan bayi mereka sepanjang periode pasca kelahiran.
Tidak ada yang dapat mendewasakan laki-laki selain keterlibatan peran seorang ayah.
Keterlibatan ayah dalam menerapkan disiplin yang cukup tinggi akan
mengurangi kecenderungan anak untuk berperilaku eksternalisasi (marah bandel,
berperilaku menyimpang) terutama pada masa sekolahnya (Miller, dkk; dalam
Ludhfiani, 2009), selain itu keterlibatan ayah juga akan mengembangkan kemampuan
anak untuk berempati, bersikap penuh perhatian, serta berhubungan sosial dengan
lebih baik (Gottman dan De Claire, dalam Ludhfiani, 2009).
Menurut Grimm-Wassil (dalam Thomas, 2008) ayah mempunyai pengaruh dalam
beberapa area khusus pada perkembangan anak, yaitu :
a. Ayah mengajarkan/mendorong kebebasan, secara umum ayah cenderung kurang
protektif, mendorong eksplorasi dan pengambilan risiko, serta merupakan model
perilaku agresif ataupun asertif.
b. Ayah meluaskan pandangan anak, ayah mengenalkan dunia luar melalui
pekerjaan mereka.
c. Ayah merupakan pendisiplin yang tegas, hanya memberi sedikit permakluman
dan cenderung menuntut banyak dari anak-anak mereka untuk tiap tahapnya
13
Penelitian yang dilakukan oleh Stolz, Barber & Olsen (2005) mengenai
perbedaan pengaruh peran ayah atau peran ibu dalam parenting pada anak yang
mengalami gangguan perilaku, menunjukkan hasil bahwa peran ibu lebih penting
dalam menjelaskan perilaku antisocial pada anak, dibandingkan peran ayah. Hasil
penelitian yang lain menunjukkan bahwa dukungan ayah lebih penting daripada
dukungan ibu pada remaja yang mengalami gangguan sosial selanjutnya. Sedangkan
berkaitan dengan gangguan depresi pada remaja menunjukkan bahwa ayah maupun
ibu memiliki peran lintas gender.
Berdasar pada beberapa hasil penelitian, Lamb (1981) membuat rangkuman
tentang dampak pengasuhan ayah pada perkembangan anak, yaitu :
e. Perkembangan peran jenis kelamin
Pada anak usia 2 tahun, ayah lebih atraktif berinteraksi terutama dengan anak
laki-lakinya daripada anak perempuan. Sebagai responnya, anak laki-laki
mengembangkan kecenderungan identifikasi jenis kelamin pada ayah. Ayah yang
mempunyai anak 2 tahun telah siap dan yakin/percaya bahwa ayah harus
memberikan model peran pada anak laki-lakinya. Identitas jenis kelamin harus
terjadi pada tahun ketiga kehidupan karena jika melebihi waktu ini akan
menyebabkan kesulitan yang lebih besar dan problem sosioemosional yang lebih
banyak dibanding jika terjadi sebelumnya. Teori modeling memprediksi bahwa
derajat identifikasi tergantung pada pengasuhan ayah (fathers nurturance). Ayah
yang hangat, nurturant dan terlibat dalam pengasuhan, mempunyai anak-anak
laki-laki yang maskulin dan anak-anak perempuan yang feminin.
f. Perkembangan moral
Ayah berpandangan positif tentang pengasuhan mempunyai anak laki-laki yang
mengidentifikasi ayah mereka dan menunjukkan moralitas yang terinternalisasi.
Penelitian yang lain menunjukkan bahwa ayah yang nurturant dan ayah-ayah yang
secara aktif terlibat dalam pengasuhan membantu perkembangan altruisme dan
kedermawanan. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki
yang nakal seringkali berasal dari keluarga yang ayahnya antisosial, tidak empati
14
g. Motivasi Berprestasi dan Perkembangan Intelektual
Terdapat kaitan antara kehangatan hubungan ayah-anak dan performansi
akademik. Hubungan ayah-anak yang harmonis akan dapat membangkitkan
motivasi anak untuk berprestasi.
h. Kompetensi sosial dan Penyesuaian Psikologis
Orang dewasa yang penyesuaian dirinya sangat bagus, ketika masa kanak-kanak
mempunyai hubungan yang hangat dengan ayah-ibunya dalam konteks hubungan
pernikahan yang bahagia.
Berdasarkan hasil penelitian beberapa ahli, Shapiro (2003) menunjukkan bahwa
keterlibatan para ayah mampu mendukung dan menstimulasi rasa ingin tahu, minat
menjelajah, dan kemampuan anak-anak perempuan untuk bertindak mandiri. Di sisi
lain, kedekatan dengan ayah dan kepercayaan kepada ayah secara ideal juga mampu
menekan rasa ingin tahu dan sikap tegas berlebihan pada diri anak laki. Anak
laki-laki merasa lebih aman menerapkan sikap tersebut karena merasakan kepedulian
ayahnya. Selain itu, anak dapat merasa aman dalam berkreativitas. Peran ayah juga
penting dalam meningkatkan kemampuan anak perempuan dalam menjalankan
hubungan dengan sosok pria dan kemampuan mereka untuk menjalin hubungan
sebagai orang dewasa. Shapiro menyimpulkan bahwa keterlibatan ayah mampu
membantu anak-anaknya melakukan identifikasi gender secara layak saat si anak
tumbuh dewasa kelak.
Sedangkan, Allen & Daly (2007) merangkum berbagai hasil penelitian tentang
dampak keterlibatan ayah dalam pengasuhan :
a. Pengaruh pada perkembangan kognitif
Anak menunjukkan fungsi/kemampuan kognitif yang lebih tinggi, mampu
memecahkan masalah secara lebih baik dan menunjukkan IQ yang lebih tinggi.
Penelitian pada anak usia sekolah, anak mempunyai ketrampilan kuantitatif dan
verbal. Anak dengan ayah yang terlibat dalam pengasuhan lebih senang
bersekolah, mempunyai sikap yang lebih baik terhadap sekolah, ikut serta dalam
aktivitas ekstrakurikuler, lebih banyak yang naik kelas, lebih sering masuk, dan
15 b. Pengaruh pada perkembangan emosional
Anak mempunyai kelekatan yang nyaman, lebih dapat menyesuaikan diri ketika
menghadapi situasi yang asing, lebih tahan ketika menghadapi situasi yang penuh
tekanan, lebih mempunyai rasa ingin tahu untuk mengeksplorasi lingkungan,
dapat berhubungan secara lebih dewasa pada orang-orang asing, bereaksi secara
lebih kompeten. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan secara positif berhubungan
dengan kepuasan hidup anak, lebih sedikit depresi, lebih sedikit yang mengalami
tekanan emosi dan lebih sedikit ekspresi emosional negatif seperti takut dan rasa
bersalah. Anak menunjukkan toleransi terhadap stres dan frustrasi, mempunyai
ketrampilan memecahkan masalah dan ketrampilan beradaptasi yang baik, lebih
dapat menikmati aktivitas bermain, trampil, dan penuh perhatian ketika
berhadapan dengan masalah, lebih dapat mengatur emosi dan impuls-impuls
secara adaptif. Anak yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan lebih banyak
menunjukkan pusat kendali internal, menunjukkan kemampuan yang lebih baik
untuk mengambil inisiatif, dapat melakukan kontrol diri dan lebih sedikit yang
menunjukkan impulsivitas.
c. Pengaruh pada perkembangan sosial
Keterlibatan ayah secara positif berhubungan dengan kompetensi sosial anak,
kemasakan dan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, mempunyai
hubungan dengan teman sebaya yang positif, menjadi populer dan
menyenangkan, mereka termasuk dalam kelompok teman sebaya yang minim
agresivitas ataupun konflik, lebih banyak saling membantu, dan mempunyai
kualitas pertemanan yang lebih positif. Anak yang terlibat dengan ayah
menunjukkan interaksi yang bersifat prososial, menunjukkan lebih sedikit reaksi
emosi negatif atau pun ketegangan selama bermain dengan teman sebaya, dapat
memecahkan konflik mereka sendiri, lebih toleran dan mempunyai kemampuan
untuk memahami, dapat bersosialisasi dengan baik, dalam jangka panjang
menjadi orang dewasa yang sukses, berhasil dalam pernikahan. Anak mempunyai
pertemanan yang awet (mampu bertahan lama), dan dapat menyesuaikan diri
dengan sekolah, baik secara personal maupun secara sosial.
16
Keterlibatan ayah melindungi anak dari perilaku delinkuen, dan berhubungan
dengan rendahnya penggunaan obat-obatan terlarang di masa remaja, perilaku
membolos, mencuri, minum-minuman keras, dan rendahnya frekuensi
externalizing dan internalizing symptom seperti perilaku merusak, depresi, sedih,
dan berbohong.
KESIMPULAN
Ayah memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan anak usia dini,
meskipun perannya agak berbeda dengan peran ibu. Keduanya memberikan kontribusi
yang sama besarnya dalam perkembangan anak usia dini, meskipun peran yang diambil
agak berbeda. Kelekatan antara anak dan ibu sudah terjalin sejak anak berada di dalam
kandungan dan proses menyusui. Sedangkan ayah mampu membentuk hubungan lekat
dengan anak setelah periode pasca kelahiran.
Secara umum peran yang banyak diambil ayah dalam keluarga adalah sebagai
pencari nafkah, sumber perlindungan, sebagai pendamping ibu dan sebagai pengambil
keputusan dalam keluarga. Faktor-faktor yang memengaruhi ayah untuk mengambil
peran dan terlibat dalam pengasuhan adalah kesejahteraan psikologisnya, sikap,
kepribadian, motivasi dan jenis pekerjaannya.
Di samping itu, ketiadaan peran ayah, baik secara fisik maupun psikologis, akan
berdampak pada perkembangan anak. Ayah mempunyai karakteristik perilaku
pengasuhan yang khas. Peran dan keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak usia dini
memberikan dampak di berbagai aspek perkembangan anak, baik aspek fisik motorik,
aspek emosional, aspek kognitif dan aspek sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, S & Daly, K. (2007). The Effect of Father Involvement : An Updated Research Summary of the Evidence. Canada : University of Guelph.
Andayani, B. & Koentjoro, (2004). Peran Ayah Menuju Coparenting. Sepanjang : CV. Citra Media.
17
Bou hard, G., Lee, C.M., Asgary, V., & Pelletier. 2007 . Father’ Moti atio s for I ol e e t with Their Chidren : A Self-Determination Theory Perspective. Fathering : A Journal of Theory, Research and Practice about Men as Fathers. Volume 5. Number 1/Winter 2007. Ca ada : Me ’s “tudies Press.
Brooks, J. (2008). The Process of Parenting. 7th edition. Boston : Mc.GrawHill.
Cabrera, N.J., Tamis-LeMonda, C.S., Lamb, M.E., dan Boller, K. (1999). Measuring father involvement in the early head start evaluation : a multidimensional conceptualization. Paper, National Conference on Health Statistic, Washington, D.C., August, 2-3
Duvall, E.M., (1977). Marriage and Family Development. 5th edition. New York : J.B.Lippincott Company.
Feinberg, M.E., Kan, M.L. & Goslin, M.C. (2009). Enhancing Coparenting, Parenting, and Child Self-Regulation : Effects of Family Foundations 1 Year after Birth. Prevention Research Center, The Pennsylvania State University. September 2009.
Lamb, M. E (ed). (1981). The Role of The Father in Child Development. Second edition. New York : John Wiley & Sons.
Ludhfiani, N.A., (2009). Hubungan antara Kelekatan pada Ayah dengan Kecerdasan Emosi pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Octhavia, A.D., (2003). Peran Ayah Dalam Mengasuh Anak Usia Prasekolah. Skripsi (tidak diterbitkan). Universitas Komputer Indonesia : Departemen Psychology.
Martin, C.A. & Colbert, K.K., (1997). Parenting : A Life Span Perspective. New York : The Mc.Graw-Hills Company.Inc.
Sarkadi, A., Kristiansson, R., Oberklaid, F., Bremberg, S., (2007). Father’s I ol e e t a d Childre ’s De elop e t Outco es : a Syste atic Re ie of Logitudi al Studies. Journal Compilation : Acta Paediatrica.
Santrock, J.W. (2007). Child Development. 11th edition. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.
Shapiro, J. L. (2003). The Good Father. (Terjemahan dari The Measure of a Man : Becoming the Father You Wish Your Father Had Been). Bandung : Penerbit Kaifa.
18
Sulivan, M.J., (2008). Coparenting and the Parenting Coordination Process. Journal of Child Custody. Vol.5 (1/2) 2008. Available online at http ://jcc.haworthpress.com
Stolz, H.E., Barber, B.K & Olsen, J.A., (2005). Toward Disentangling Fathering ad Mothering : An Assessment of Relative Importance. Journal Of Marriage and Family. Edisi November 2005.