• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Karsinoma Hepatoselul er (Hepatoma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Karsinoma Hepatoselul er (Hepatoma"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Karsinoma Hepatoselul er (Hepatoma)

Hepatoma disebut juga kanker hati atau karsinoma hepatoselul er atau karsinoma hepato primer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang di tandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memiliki kemampuan membelah/mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas.

Kanker hati sering disebut "penyakit terselubung". Pasien seringkali tidak mengalami gejala sampai kanker pada tahap akhir, sehingga jarang ditemukan dini.

Pada pertumbuhan kanker hati , beberapa pasien mungkin mengalami gejala seperti sakit di perut sebelah kanan atas mel uas ke bagian belakang dan bahu, bloating, berat badan, kehilangan nafsu makan, kelelahan, mual, muntah, demam, dan ikterus. Penyakit-penyakit hati lainnya dan masalah-masalah kesehatan juga dapat menyebabkan gejala-gejala tersebut, tapi setiap orang yang mengalami gejala seperti ini harus berkonsultasi dengan dokter (Hussodo, 2006).

Kanker Hati atau Karsinoma Hepato Seluler (KHS) merupakan tumor ganas hati primer yang sering di jumpai di Indonesia. KHS merupakan tumor ganas dengan prognosis yang amat buruk, di mana pada umumnya penderita meninggal dalam waktu 2-3 bulan sesudah diagnosisnya di tegakkan (Misnadiarly, 2007) .

2.2. Anatomi dan fungsi Hati 2.2.1. Anatomi Hati

(2)

Hepar secara anatomis dibagi menjadi pars hepatic dexter dan sinister oleh bidang yang melalui batas perlekatan ligamentum falciforme pada facies diaphragmatica dan oleh fisurra atau fossa sagitalis sinistra pada facies visceralis. Lobus hepatic dexter terbagi menjadi lobus quadratus yang terletak antara vena cava inferior dan ligamentum venosum. Bagian kanan dan kiri hepar dipisahkan oleh bidang anteroposterior yang melalui fossa sagitalis dextra di sebelah kanan bidang tengah ligamnetum falciforme. Dengan demikian lobus quadratus dan separuh lobus caudatus akan termasuk pars hepatic sinistra yang di lurus oleh pembuluh darah dan saluran empedu sebelah kiri (Wibo wo, 2009).

Hati di suplai oleh dua pembuluh darah yaitu :

a. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrisi seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air

dan mineral.

b. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.

Cabang-cabang pembuluh darah vena porta hepatica dan arteri hepatica mengalirkan darahnya ke sinusoid. Hepatosit menyerap nutrien, oksigen dan zat racun dari darah sinusoid. Di dalam hepatosit zat racun akan di netralkan sedangkan nutrien akan ditimbun atau di bentuk zat baru, dimana zat tersebut akan disekresikan ke peradaran darah tubuh (Wibowo, 2009).

2.2.2. Fungsi Hati

a. Untuk metabolisme protein, lemak, dan karbohidrat. Bergantung kepada kebutuhan tubuh, ketiganya dapat saling dibentuk.

(3)

c. Untuk detoksifikasi dimana hati melakukan inaktivasi hormon dan detoksifikasi toksin dan obat.

d. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit, dan leukosit ya ng sudah tua atau rusak.

e. Untuk sekresi, dimana hati memproduksi empedu yang berperan dalam emulsifikasi dan absorbsi lemak .

Hepar mensekresi kurang lebih satu liter cairan empedu ke dalam saluran empedu yang terdiri dari pigmen empedu dan asam empedu. yang termasuk pigmen emepedu adalah bilirubin dan biliverdin yang memberi warna tertentu pada feses. Asam empedu yang di bentuk dari kolesterol membantu pencernaan lemak (Wibowo, 2009).

Sel hati biasanya membelah diri untuk mengganti sel yang terluka atau mati

karena usia. Semua proses ini berlangsung secara ketat dan rapi di atur oleh gen yang ada dalam tiap sel. Sel kanker di mulai dari sebuah sel yang menyimpang dari pola tersebut di atas. Sel tidak lagi membelah diri secara teratur/rapi, tetapi tumbuh tidak teratur atau tumbuh liar yaitu tumbuh tidak normal (abnormal). Sel abnormal ini kemudian membuat jutaan penggandaan/menggandakan dirinya sendiri atau “cloning”. Sel-sel ini tidak menjalankan fungsinya secara normal sehingga

mengakibatkan fungsi liver menjadi tidak normal karena sel -sel ini hanya bergerak untuk memperbanyak diri yang akhirnya membentuk gumpalan. Gumpalan itu bisa jadi tumor jinak (yang hanya tumbuh secara lokal dan tidak menyebar) (Misnadiarly, 2007).

2.3. Epidemiologi dan Karakter Kl inis

(4)

Frekuensi tertinggi di temukan di Taiwan, Mozambik dan Cina tenggara, angka insidensi tahunan pada pria mendekati 150 per 100.000. Gambaran umum pada daerah dengan insidensi tinggi adalah pembawa HBV sejak masa bayi, setelah penularan vertikal dari ibu yang terinfeksi. Keadaan pembawa yang kronis ini meningkatkan risiko HCC pada masa dewasa sebesar 200 kali lipat. Di daerah -daerah ini sirosis mungkin tidak di temukan pada hamp ir separuh pasien HCC. Di dunia Barat di mana jarang terdapat pembawa HBV, sirosis di temukan pada 85% hingga 90% kasus HCC, yang sering timbul dari penyakit hati kronis lainnya (Hussodo, 2009).

Di seluruh dunia, HCC terutama dijumpai pada laki-laki dengan perbandingan antara 3:1 terutama di daerah dengan insidensi rendah dan di daerah yang insidensinya tinggi perbandingannya 8:1. Hal ini berkaitan dengan tingginya prevalensi infeksi HBV, alkoholisme dan penyakit hati kronis pada laki -laki. Di

(5)
[image:5.612.122.506.111.342.2]

Gambar 2.1 Grafik Diagnosis Tahunan Karsinoma Hepatoseluler (Sumber:http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1001683 )

2.3.1. Karakteristik Klinis

Di Indonesia (khususnya di Jakarta) HCC di temukan tersering pada median umur antara 5060 tahun dengan predominasi pada laki laki. Rasio antara kasus laki -laki dan perempuan berkisar antara 2 -6 : 1. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari asimtomatik hingga dengan gejala dan tandanya yang sangat jelas disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas abdomen (Hussodo, 2009) .

Temuan fisis tersering pada HCC adalah hepatomegali dengan atau tanpa ‘bruit’ hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot. Sebagian dari

(6)

hingga 40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma (Hussodo, 2009) .

2.4. Etiologi

Penyebab karsinoma ini tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang terlihat :

2.4.1. Virus Hepatitis B (HBV)

Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat, baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental. Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau bebe rapa gen yang berubah akibat HBV (Hussodo, 2009). Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis hati (HCC pada

hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selular atau viral tertentu oleh gen -x HBV (HB-x) dapat mengakibatkan terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif d ari apoptosis sel (Hussodo, 2009) .

2.4.2. Virus Hepatitis C (HCV)

(7)

kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah dengan anti HCV positif, interval saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati (Hussodo, 2009) .

2.4.3. Sirosis Hati

Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis hati. Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan dengan kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan displasia praganas. Semua tipe sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi hubungan ini paling besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan sirosis alkoholik (Hussodo, 2009) .

2.4.4. Aflaktosin

Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh jamur Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1 -2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang m ampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA (Hussodo, 2009) .

2.4.5. Alkohol

Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol ( >50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau HCV (Hussodo, 2009) .

(8)

Telah dipastikan terdapat tiga keterkaitan etiologik yang utama : infeksi oleh HBV, Penyakit hati kronis (khususnya yang berkaitan dengan HCV dan alkohol) dan kasus khusus hepatokarsinogen dalam makanan (terutama aflatoksin)

- Banyak faktor, termasuk usia, jenis kelamin, bahan kimia, virus, hormon, alkohol, dan gizi, berinteraksi dalam pembentukan HCC.

Sebagai contoh, penyakit yang paling besar kemungkinannya menimbulkan HCC pada kenyataannya adalah tirosinemia herediter yang sangat jarang, hampir 40% pasien akan terjangkit tumor ini walaupun sudah dilakukan kontrol diet (Kumar, 2007).

- Patogenesis pasti HCC mungkin berbeda antara populasi prevalen -HBV insidensi tinggi versus populasi dengan insidensi rendah (Negara Barat), sedang pada penyakit hati kronis lainnya, seperti alkoholism, HCV, dan

hemokromatosis herediter lebih sering terjadi.

- Sirosis yang terjadi tampaknya merupakan kontirubutor penting, tetapi tidak mutlak untuk muncul HCC (Kumar, 2007).

Banyak bukti epidemiologis yang mengaitkan infeksi HBV kronis dengan kanker hati, dan terdapat bukti kuat yang mengisyaratkan peran infeksi HCV. Penelitian molekular terhadap karsinogenesis HBV memperlihatkan bahwa genom HBV tidak mengandung sekuensi onkogenik. Selain itu, tidak terdapat tempat selektif untuk integrasi DNA virus ke genom pejamu, sehingga tidak terjadi mutasi atau pengaktivan proto-onkogen tertentu. Faktor berikut diperkirakan berperan :

- Siklus kematian dan regenerasi sel yang berulang, seperti terjadi pada hepatitis kronis apapun sebabnya, penting dalam patogenesis kanker hati - Akumulasi mutasi selama siklus pembelahan kontinu sel akhirnya

(9)

- Analisis molekular terhadap sel tumor pada orang yang terinfeksi HBV memperlihatkan bahwa setiap kasus bersifat klonal dalam kaitannya dengan pola integrasi DNA HBV yang mengisyaratkan integrasi virus mendahului atau menyertai proses transformasi

- Genom HBV mengkode suatu elemen regulatorik, protein X HBV yang merupakan suatu activator transkripsional transacting pada banyak gen dan terdapat di sebagian besar tumor deng an DNA HBV terintegrasi. Tampaknya di sel hati yang terinfeksi HBV, protein X HBV menggang gu pengendalian pertumbuhan normal dengan mengaktifkan proto -onkogen sel pejamu dan mengacaukan kontrol daur sel. Protein ini juga memiliki efek anti apoptotik

- Seperti pada virus papiloma manusia, sebagian (tetapi tid ak semua) studi

mengisyaratkan bahwa protein HBV tertentu mengikat dan mengaktifkan gen penekan tumor TP53. Keterkaitan antara infeksi hepatitis C dan kanker hati cukup kuat (Kumar, 2007).

Memang dibanyak belahan dunia termasuk Jepang dan Eropa tengah, inf eksi HCV kronis merupakan fa ktor risiko terbesar terjadinya kanker hati. HCC pada pengidap hepatitis C hampir selalu timbul pada sirosis. Didaerah tertentu didunia seperti Cina dan Afrika Selatan, tempat HBV endemi k juga banyak terjadi pajanan ke aflatoksin dalam makanan yang berasal dari jamur Aspergillus flavus . Toksin yang sangat karsinogenik ini ditemukan dalam kacang dan padi -padian yang “berjamur”.

(10)

kausal yang diakui pada tumor yan g jarang ini adalah kolangitis sklerotikans primer, infeksi kronis saluran empedu oleh cacing hati Opisthorchis sinensis dan yang sejenis, serta riwayat pajanan ke Thorotrast (dahulu digunakan dalam radiografi saluran empedu). Namun sebagian besar kolangio karsinoma timbul tanpa adanya faktor risiko sebelumnya (Kumar, 2007).

2.6. Patologi

Secara makroskopis karsinoma hepatoseluler dapat muncul sebagai masa soliter besar, sebagai nodul multipel atau sebagai lesi infiltratif difus. Secara mikroskopis, neoplasma d isusun oleh sel-sel hati abnormal dengan berbagai diferensisasi. Tumor dengan diferensiasi yang lebih baik disusun oleh sel -sel mirip sel hati yang teratur di dalam pita -pita yang terpisah oleh sinusoid -sinusoid.

Sel-sel ini berinti besar yang memperlihat kan anak inti yang menonjol dan hiperkromasi dan dapat mengandung empedu di dalam sitoplasmanya. Tumor -tumor yang kurang berdiferensiasi baik mempunyai lembaran -lembaran sel-sel anaplastik. Invasi pada radikulus vena hepatika merupakan gambaran khas yang m embedakan dengan adenoma. Sulit membedakan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk dengan karsinoma metastatik (Chandrasoma, 2005) .

Pewarnaan imunohistokimia dapat memperlihatkan alfa -fetoprotein (AFP) di dalam sel neoplasma. Karsinoma hepatoseluler juga mensekresi AFP ke dalam darah, peningkatan kadar di jumpai pada 90% pasien, membuat pemeriksaan AFP serum sebagai tes diagnostik yang penting. (Catatan : Kadar AFP juga dapat sedikit meningkat pada beberapa kasus hepatitis dan sirosis, demikian juga pada beberapa neoplasma sel germinal pada gonad). Karsinoma hepatoseluler cenderung bermetastasis dini melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening regional dan melalui darah menimbulkan metastasis pada paru. Metastasis ke tempat lain terjadi pada tahap akhir (Chandrasoma, 2005) .

2.7. Stadium Klinis

Tingkat penyakit (stadium) hepatoma primer terdiri dari :

(11)

metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh

Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter ≤ 5 cm di separuh hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh

IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 10 cm di separuh hati, atau dua tumor dengan gabungan ≤ 5 cm di kedua belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh

IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan ≥10 cm di separuh hati, atau tumor multiple dengan gabungan ≥5 cm di kedua belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh

IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal jauh salah satu daripadan ya

IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis (Desen, 2008).

2.8. Diagnosis

Melakukan pemeriksaan berkala bagi kelompok risiko tinggi antara lain pengidap virus Hepatitis B dan C, dokter, promiskus, dan bagi orang yang mempunyai anggota keluarga penderita kanker hati. Pemeriksaan dilakukan setiap 3 bulan sekali pada penderita sirosis hati dengan HBsAg positif dan pada penderita hepatitis kronis dengan HBsAg negatif atau penderita penyakit hati kronis atau dengan sirosis dengan HBsAg negatif pernah mendapat transfusi atau hemodialisa diperiksa 6 bulan sekali. Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

(12)

Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul, terus-menerus, kadang- kadang terasa hebat apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut ada pula keluhan seperti benjolan di perut kanan atas tanpa atau dengan nyeri, perut membuncit karena adanya asites dan keluhan yang paling umum yaitu merasa badan semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang, feses hitam, demam, bengkak kaki, perdarahan dari dub ur (Sujono, 2000).

2.8.2. Pemeriksaan fisik

Biasanya hati terasa besar dan berbenjol -benjol, tepi tidak rata, tumpul, kadang-kadang terasa nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di lobus kiri maka pembesaran hati terlihat di epigastrium, tapi bila tumor tersebut terletak di lobus kanan maka pembesaran hati terlihat di hipokhondrium kanan (Sujono, 1999) .

2.8.3. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan Alfa -fetoprotein (AFP) yaitu protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0 -20 ng/ml, kadar AFP meningkat pada 60%-70% pada penderita kanker hati. (Hussodo, 2009) 2. Ultrasonografi (USG) Abdomen

Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan FP, pasien sirosis hati dianjurkan menjalani pe meriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada AFP serum berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati bekisar anatara 70%-80%. Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil adalah gambaran

(13)

posterior. Berbeda dari metastasis, HCC dengan diameter kurang dari dua sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yan g khas.

[image:13.612.169.474.307.507.2]

USG color Doppler sangat berguna untuk membedakan HCC dari tumor hepatik lain. Tumor yang berada di bagian atas -belakang lobus kanan mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik. Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI dan angiografi kadang diperlukan untuk mendeteksi HCC, namun karena beberapa kelebihannya, USG masih tetap merupakan alat diagnostik yang paling populer dan bermanfaat (Hussodo, 2009) .

Gambar 2.2 Gambar Ultrasonografi (USG) Abdomen (Sumber :http://emedicine.medscape.com/article/369226 -overview)

3. Strategi Skrining Dan Surveilans

(14)

bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg atau anti -HCV positif. Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan (doubling time) diameter HCC yang berkisar antara 3 sampai 12 bulan (rerata 6 bulan) dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan AFP serum dan USG abdomen setia 3 hingga 6 bulan bagi pasien sirosis maupun hepatitis kronik B atau C. Cara ini di Jepang terbukti dapat menurunkan jumlah pasien HCC yang terlambat dideteksi dan sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil (dini). Namun hingga kini masih belum jelas apakah dengan demikian juga terjadi penurunan mortalitas (liver-related mortality) (Husodo, 2009).

2.9. Terapi

Karena sirosis hati yang melatar belakanginya serta tingginya kekerapan multi-nodularis, resektabilitas HC C sangat rendah. Di samping itu kanker ini juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepati k. Untuk menilai status k linis, sistem skor Child-pugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Mengenai terapi HCC menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya penelitian dengan kontrol

yang membandingkan efikasi terapi bedah atau terapi ablative lokoregion al, di samping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok kontrol pada berbagai penelitian individual (Husodo, 2009).

2.9.1. Reseksi Hepatik

(15)

hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik HCC difus atau multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi (Husodo, 2009).

2.9.2. Transplantasi Hati

Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan survival analisis 3 tahun mencapai 80% bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif dengan obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai survival analisis 5 tahun 92%. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang

berdiameter kurang dari 3cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari 5cm (Husodo, 2009) .

2.9.3. Ablasi Tumor Perkutan

Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan fibrosis. Untuk tumor

(diameter <5cm). PEI bermanfaat untuk pasien dengan tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non -child A.

Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang l ebih tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan PEI.

(16)

(kelompok plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (Husodo, 2009).

2.9.4. Terapi Paliatif

Sebagian besar pasien HCC di diagnosis pada stadium menengah -lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan meta analisi, pada stadium ini hanya TAE/TACE (transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien dengan HCC yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi ha tinya cukup baik(Child-Pugh) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat (Husodo, 2009).

Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiesterogen, antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang pasti (Husodo, 2009).

2.10. Prognosis

Pada umumnya prognosis karsinoma h epatoseluler adalah jelek. Tanpa pengobatan kematian rata -rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11 - 12

bulan. Bila karsinoma h epatoseluler dapat dideteksi secara dini, usaha -usaha pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya dengan cara sub -segmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi.

(17)

karena pecahnya karsinoma hepatoseluler. Oleh karena itu langkah -langkah terhadap pencegahan karsinoma h epatoseluler haruslah dilakukan. Pencegahan yang paling utama adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta menghindari konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis (Siregar.A.Gontar, 2011).

2.11. Pencegahan

2.11.1. Pencegahan Primordial

Pencegahan yang dilakukan untu k mengindari kemunculan keterpaparan dari gaya hidup yang berkontribusi meningkatkan risiko penyakit, dilakukan dengan:

a. Mengkonsumsi buah dan sayur yang mengandung vitamin, beta karoten, mineral, dan tinggi serat yang dapat menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat.

b. Kurangi makanan yang mengandung lemak tinggi.

c. Kurangi makanan yang dibakar, diasinkan, diasap, diawetkan dengan nitrit.

d. Pengontrolan berat badan, diet seimbang dan olahraga. e. Hindari stres.

f. Menjaga lingkungan yang sehat dan bersih sehingga terhindar dari penyakit menular (Elisabet.S, 2009).

2.11.2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah langka yang harus dilakukan untuk menghindari insidens penyakit dengan mengendalikan penyakit dan faktor risiko.

a. Memperhatikan menu makanan terutama mengkonsumsi protein hewani cukup.

b. Hindari mengkonsumsi minuman alkohol

(18)

2.11.3. Pencegahan Sekunder

Gambar

Gambar 2.1 Grafik Diagnosis Tahunan Karsinoma Hepatoseluler
Gambar 2.2  Gambar Ultrasonografi (USG) Abdomen

Referensi

Dokumen terkait

Lusi Fausia, M.Ec yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak

Achmad Wardi - Badan Wakaf Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai pengelola RS - Masyarakat dhuafa (gratis disubsidi dana zakat).

Tingkat kenyamanan intrinsik jalur pejalan kaki di Jalan Slamet Riyadi Surakarta dapat dilakukan dengan analisis pemodelan spasial metode berjenjang, yang

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) ADMINISTRASI PEMERINTAHAN PADA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA BARAT KEPALA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Setelah melalui proses analisis perancangan, proses desain dan pembuatan media promosi dan pemasaran di Toko Prima Game Play Station Pacitan, maka langkah terakhir yang

Dalam proses unique selling proposition yang dimiliki didalam buku ini adalah buku katalog berukuran 23cm x 23cm, serta menjelaskan tentang sejarah singkat

Setelah 4-5 jam dalam pelayarannya kapal mengalami cuaca buruk dan ombak besar, Saksi melaporkan kepada Tersangkut Nakhoda bahwa kapal bocor dan diperintahkan