PERBANDINGAN KADAR SITOKIN INTERLEUKIN-17 DALAM SERUM ANTARA PENDERITA DENGAN
BUKAN PENDERITA PSORIASIS VULGARIS
TESIS
VERA MADONNA LUMBAN TORUAN NIM : 097105010
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERBANDINGAN KADAR SITOKIN INTERLEUKIN-17 DALAM SERUM ANTARA PENDERITA DENGAN
BUKAN PENDERITA PSORIASIS VULGARIS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik dalam Program Magister Kedokteran Klinik
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
VERA MADONNA LUMBAN TORUAN NIM : 097105010
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PERSETUJUAN
Judul Tesis : Perbandingan kadar sitokin interleukin-17 dalam serum
antara penderita dengan bukan penderita psoriasis vulgaris
Nama : Vera Madonna Lumban Toruan
Nomor Induk : 097105010
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Menyetujui :
Pembimbing I
(dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K))
Pembimbing II
(Prof. Dr.dr. Irma D. Roesyanto, SpKK(K))
Ketua Program Studi
(Prof. dr. Chairuddin P. Lubis DTM&H, SpA (K))
Dekan
(Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH)
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah penulis nyatakan dengan benar
Nama : Vera Madonna Lumban Toruan
NIM : 097105010
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa yang Maha Pengasih, yang telah memampukan penulis dalam menyelesaikan seluruh rangkaian punyusunan tesis yang berjudul: “Perbandingan kadar sitokin Interleukin-17 dalam serum antara penderita dengan bukan penderita psoriasis vulgaris” sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar magister kedokteran klinik Kulit dan Kelamin di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian tesis ini ada banyak pihak yang Tuhan telah kirimkan untuk membantu, memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan perhargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Yang terhormat dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K), selaku pembimbing utama penulis, yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberi masukan dan koreksi kepada penulis selama proses penyusunan tesis ini dan juga sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang juga telah banyak membantu saya, senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan selama menjalani pendidikan sehari-hari.
2. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), selaku pembimbing kedua, yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberi masukan, koreksi dan dorongan semangat kepada penulis dan juga sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada Universitas yang Bapak pimpin.
4. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr.
Gontar A. Siregar, SpPD,KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5. Yang terhormat dr. Rointan Simanungkalit, SpKK(K), sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi atas penyempurnaan tesis ini.
7. Yang terhormat dr. Mila Darmi, SpKK, sebagai anggota tim penguji yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi kepada saya dalam penyusunan tesis ini.
8. Yang terhormat para Guru Besar, Alm. Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.
9. Yang terhormat Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan dan Direktur
RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.
10. Yang terhormat Drs. Abdul Jalil Amra, M.Kes, dan dr. Surya dharma, MPH selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, yang telah banyak membantu penulis dalam hal metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian ini.
11. Yang terhormat seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini. 12. Yang terhormat semua pasien Psoriasis vulgaris yang telah terlibat dalam
penellitian ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
13. Yang terhormat Bapak rektor dan dekan fakultas kedokteran Universitas
Mulawarman yang telah mengijinkan saya melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara.
14. Yang tercinta Ayahanda T. Lumban Toruan dan Ibunda S. Tambunan, yang dengan penuh cinta kasih, keikhlasan, doa, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa untuk mengasuh, mendidik, dan membesarkan penulis. Tiada ungkapan yang mampu melukiskan betapa bersyukurnya saya mempunyai kedua orangtua seperti kalian. Kiranya hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang dapat membalas segala kebaikan kalian.
15. Yang terkasih Kakak-kakak saya, terima kasih atas doa, dukungan dan semua bantuan yang telah kalian berikan kepada saya selama ini.
16. Yang terkasih suamiku dr. Suherman Tambunan, M.Ked. Neu, terima kasih untuk segala dukungan moril dan materil, perhatian, kebersamaan kita selama ini. Doa dan semangat darimu merupakan salah satu sumber kekuatan saya dalam menjalani suka duka masa pendidikan ini.
17. Teristimewa kepada anak-anakku tersayang, Naomi Christy Natasha dan
Deandra Audrey Philia yang telah menjadi motivasi dan inspirasi saya dalam penyelesaian tesis ini.
19. Kepada seluruh staf Laboratorium Prodia Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas, dan kemudahan kepada saya untuk melaksanakan penelitian.
Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya untuk menyampaikan
permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan atau kekhilafan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama menjalani masa pendidikan ini.
Dan akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, saya panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, agar kiranya berkenan untuk memberkati dan melindungi kita sekalian. Amin.
Medan, Juni 2014 Penulis
dr. Vera Madonna Lumban Toruan, M.Kes
DAFTAR ISI
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 36
IV.2 Perbandingan Kadar Sitokin IL-17 dalam Serum antara Penderita Psoriasis vulgaris dengan Bukan Penderita ... 42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan ... 45
V.2 Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 47
DAFTAR TABEL
No. Judul
Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian ... 37 Tabel 4.2. Distribusi subjek penelitian berdasarkan durasi penyakit ... 41 Tabel 4.3. Perbandingan nilai rerata kadar IL-17 ... ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
Judul
Lampiran 1. Naskah penjelasan kepada peserta penelitian ... 50
Lampiran 2. Persetujuan ikut serta dalam penelitian ... 52
Lampiran 3. Status penelitian ... 53
Lampiran 4. Data penelitian ... 56
Lampiran 5.Hasil uji statistik ... 58
Lampiran 6. Lembar persetujuan komisi etik ... 60
Lampiran 7.Daftar riwayat hidup ... 61
DAFTAR SINGKATAN
CD : Clusters of Differentiation
CRP : C-reactive protein
GMCSF : Granulocyte Macrophage Stimulating Factor
HLA : Human Leucocyte Antigen
ICAM : Intercellular Adhesion Molecule
IFN : Interferon
Ig : Imunoglobulin
IL : Interleukin
IRF :Interferon Regulatory Factor
LFA : Leucocyte Factor Activating
MHC : Major Histocompatibility Complex
NK : Natural Killer
NOS : Nitric Oxide Synthase
PASI : Psoriasis Area and Severity Index
ROR : Retinoid Acid Receptor-Related Orphan Receptor
STAT : Signal Transducer and Activator of Transcription
TGF : Tumor Growth Factor
TLR : Toll Like Receptor
ABSTRAK
Latar belakang : Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis
yang dipertimbangkan diperantarai oleh suatu kelompok sel Thelper yang disebut Thelper-17 melalui sekresi sitokin Interleukin-17 (IL-17). Perkembangan pemahaman mengenai psoriasis vulgaris akhir-akhir ini menunjukkan bahwa regulasi sitokin lokal dan sistemik memainkan peran penting dalam patogenesisnya.
Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum pada
penderita dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.
Metode : Penelitian bersifat analitik dengan rancangan potong lintang. Dua puluh
lima orang penderita psoriasis vulgaris yang datang ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik dan 25 orang yang bukan penderita dan tidak mempunyai riwayat keluarga psoriasis vulgaris sebagai kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Terhadap subjek penelitian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Kadar interleukin-17 (IL-17) dalam serum diukur dengan menggunakan metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil : Kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris lebih tinggi secara
signifikan daripada kontrol ( kontrol: Mean ± SD = 5,365 ± 0,694 ; penderita : Mean ± SD = 9,806 ± 2,202; p<0,001).
Kesimpulan : Terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar sitokin IL-17
dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.
ABSTRACT
Background: Psoriasis vulgaris is a chronic inflammatory skin disease that is
thought to be mediated by a type of T helper cell, called Th17 cells with the secretion of interleukin-17 (IL-17) cytokine. Recent progress in the understanding of psoriasis vulgaris has shown that the regulation of local and systemic cytokines plays an important role in its pathogenesis.
Objective: To evaluate the comparison of serum level of IL-17 cytokine
between psoriasis vulgaris patients and controls.
Method: This is a cross sectional analytic study. Twenty five patients with
psoriasis vulgaris who came to the outpatient clinic of Dermatology and Venereology Departement Haji Adam Malik Hospital and 25 individuals with no psoriasis vulgaris and no family history enrolled to this study. History taking and clinical examination were performed. Serum Interleukin-17 level were measured with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method.
Result: Serum level of IL-17 in the psoriasis vulgaris patients were significantly
higher than those of controls ( controls: Mean ± SD= 5,365 ± 0,694 ; patients: Mean ± SD= 9,806 ± 2,202; p<0,001).
Conclusion: There is a significant difference of cytokine IL-17 serum level
between psoriasis vulgaris patients and controls.
ABSTRAK
Latar belakang : Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis
yang dipertimbangkan diperantarai oleh suatu kelompok sel Thelper yang disebut Thelper-17 melalui sekresi sitokin Interleukin-17 (IL-17). Perkembangan pemahaman mengenai psoriasis vulgaris akhir-akhir ini menunjukkan bahwa regulasi sitokin lokal dan sistemik memainkan peran penting dalam patogenesisnya.
Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum pada
penderita dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.
Metode : Penelitian bersifat analitik dengan rancangan potong lintang. Dua puluh
lima orang penderita psoriasis vulgaris yang datang ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik dan 25 orang yang bukan penderita dan tidak mempunyai riwayat keluarga psoriasis vulgaris sebagai kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Terhadap subjek penelitian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Kadar interleukin-17 (IL-17) dalam serum diukur dengan menggunakan metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil : Kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris lebih tinggi secara
signifikan daripada kontrol ( kontrol: Mean ± SD = 5,365 ± 0,694 ; penderita : Mean ± SD = 9,806 ± 2,202; p<0,001).
Kesimpulan : Terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar sitokin IL-17
dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.
ABSTRACT
Background: Psoriasis vulgaris is a chronic inflammatory skin disease that is
thought to be mediated by a type of T helper cell, called Th17 cells with the secretion of interleukin-17 (IL-17) cytokine. Recent progress in the understanding of psoriasis vulgaris has shown that the regulation of local and systemic cytokines plays an important role in its pathogenesis.
Objective: To evaluate the comparison of serum level of IL-17 cytokine
between psoriasis vulgaris patients and controls.
Method: This is a cross sectional analytic study. Twenty five patients with
psoriasis vulgaris who came to the outpatient clinic of Dermatology and Venereology Departement Haji Adam Malik Hospital and 25 individuals with no psoriasis vulgaris and no family history enrolled to this study. History taking and clinical examination were performed. Serum Interleukin-17 level were measured with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method.
Result: Serum level of IL-17 in the psoriasis vulgaris patients were significantly
higher than those of controls ( controls: Mean ± SD= 5,365 ± 0,694 ; patients: Mean ± SD= 9,806 ± 2,202; p<0,001).
Conclusion: There is a significant difference of cytokine IL-17 serum level
between psoriasis vulgaris patients and controls.
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat
kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin.
Lesi yang khas ditandai dengan plak berbatas tegas yang disertai dengan skuama
tebal berwarna keputihan. Lesi kulit psoriasis vulgaris terdistribusi secara simetris
dengan predileksi utama di daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut,
kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia.1
Etiologi pasti psoriasis vulgaris sampai saat ini belum diketahui. Penyakit
ini bersifat kompleks dan belum dimengerti sepenuhnya. Peran dari sistem imun,
faktor genetik serta kombinasi faktor-faktor lingkungan dan psikis dikaitkan
dengan penyakit ini. Aktivasi sel limfosit T menjadi dasar proses inflamasi pada
penyakit ini dan hiperproliferasi keratinosit merupakan kejadian inflamasi
berikutnya yang mengikuti respon imun.
1
Psoriasis vulgaris menjadi masalah dalam bidang kesehatan. Selain
manifestasi kulit yang signifikan juga dapat menyebabkan penurunan kualitas
hidup penderita. Sifat kronisitas penyakit ini juga dapat berdampak pada sektor
ekonomi baik bagi pasien, keluarga maupun sistem kesehatan nasional. Prevalensi
penyakit ini bervariasi secara geografis. Studi epidemiologi di beberapa negara di
dunia memperkirakan prevalensi penyakit ini berkisar 0,6-4,8%.
2
Data pasti untuk
Pusat Haji Adam Malik-Medan periode Januari hingga Desember 2011 dari total
5.644 orang yang datang berobat ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin, 46 pasien (0,81%) diantaranya didiagnosis sebagai psoriasis
vulgaris. Dari jumlah tersebut 25 pasien (54,3 %) berjenis kelamin pria dan 21
pasien (45,6 %) berjenis kelamin wanita. Data rekam medis RSUP H. Adam
Malik tahun periode Januari hingga Desember 2012 dari total 5342 orang yang
datang berobat ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin, 36 pasien (0,67%) didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris. Dari jumlah
tersebut 22 pasien (61,1%) adalah laki-laki dan 14 pasien (38,9%) adalah
perempuan.
Psoriasis vulgaris telah diyakini merupakan penyakit inflamasi yang
diperantarai oleh sistem imun. Sejak tahun 1983 berkembang pendapat bahwa sel
T terlibat dalam patogenesis penyakit ini. Penelitian di bidang imunologi
mengamati adanya peningkatan sel T di epidermis penderita pada saat eksaserbasi
penyakit dan pada saat resolusi terjadi penurunan jumlah sel T. 3
Sitokin berperan penting dalam patogenesis yang berkaitan dengan sistem
imun pada penyakit ini. Sel T Clusters of Differentiation Antigen (CD)4
+ dan
CD8+ dari epidermis dan dermis psoriasis vulgaris memproduksi sitokin-sitokin
IFN-γ dan Interleukin-12 (IL-12). Beberapa penelitian terdahulu telah melaporkan
peningkatan kadar sitokin-sitokin Interferon gamma (IFN-γ) yang diproduksi
oleh sel Th1 dan Tumor Necrosis Factor Alfa (TNF-α) yang diproduksi oleh
beberapa jenis sel pada serum maupun lesi kulit penderita psoriasis vulgaris.
merupakan penyakit yang diperantarai oleh sel Thelper1 (Th1).4 Gudjonsson dan
kawan-kawan (2004) pada tulisannya mengenai mekanisme imunopatogenesis
psoriasis vulgaris memaparkan peran dari sitokin-sitokin Th1. Interferon γ dan
TNF-α yang dapat menginduksi hiperproliferasi keratinosit dikatakan merupakan
sitokin predominan pada lesi psoriasis vulgaris.3 Penelitian oleh Almakhzangy
dan Gaballa (2009) menemukan adanya peningkatan kadar IFN-γ yang signifikan
dalam serum penderita psoriasis vulgaris dibandingkan dengan individu normal.5
Ragab dkk. (2010) pada penelitiannya terhadap 40 orang penderita psoriasis
vulgaris di rumah sakit Kairo, Mesir melaporkan peningkatan kadar sitokin
TNF-α yang signifikan pada serum pasien psoriasis vulgaris dibandingkan dengan
individu sehat.6 Dari hasil-hasil penelitian tersebut diasumsikan bahwa kehadiran
IFN-γ oleh sel Th1 dan juga TNF-α adalah sebagai mediator utama dalam
patogenesis inflamasi pada penyakit ini.
Berkembangnya pengetahuan di bidang imunologi mendorong para
ilmuwan untuk terus meneliti patogenesis dari psoriasis vulgaris. Penemuan suatu
kelompok sel Th baru yang kemudian diidentifikasi sebagai sel Th17 pada tahun
2005 telah membuka wawasan baru pada patogenesis penyakit ini. Kelompok sel
Th17 ini memproduksi sitokin-sitokin yang berbeda dari yang diproduksi oleh sel
Th1 maupun sel Th2 yaitu sitokin IL-17, IL-17F, IL-22 dan IL-21. 3,4,6
7
Beberapa
penelitian telah melaporkan peranan sel Th17 pada beberapa penyakit autoimun
lain yaitu penyakit Graves, sklerosis sistemik dan penyakit Addisons, dan
dikatakan bahwa proses inflamasi pada penyakit-penyakit autoimun tersebut
Jalur sel Th17 pada patogenesis psoriasis vulgaris telah dicoba diteliti oleh
beberapa ilmuwan. Lowes dkk. (2008) pada tulisannya mengenai
imunopatogenesis psoriasis vulgaris menyatakan bahwa pada dermis penderita
psoriasis vulgaris dijumpai lebih banyak sel Th17 dibandingkan kulit normal.4
Penelitian yang dilakukan oleh Ortega dkk. (2009) yang mengambil spesimen
dari biopsi lesi kulit 11 orang penderita psoriasis vulgaris menunjukkan bahwa sel
T yang memproduksi IL-17 terdapat dalam jumlah yang lebih besar pada plak
psoriasis vulgaris dibandingkan pada donor sehat.9
Pemahaman mengenai mekanisme imunologis yang terlibat pada psoriasis
vulgaris sangat penting, dimana hal ini dapat menjadi dasar dalam
penatalaksanaan penyakit tersebut. Diperlukan penelitian terhadap faktor-faktor
yang dapat menyebabkan eksaserbasi dan memperburuk keadaan penyakit ini.
Penemuan kelompok sel Th17 dengan sekresi sitokin IL-17 telah memberi
wawasan baru dalam perkembangan pengetahuan mengenai penyakit ini, namun
penelitian mengenai hal ini masih sangat sedikit.
Hasil ini menunjukkan bahwa
proses inflamasi pada psoriasis vulgaris tidak hanya diperantarai oleh Th1 tetapi
kemungkinan terdapat juga peran dari jalur sel Th17.
Psoriasis vulgaris bukanlah penyakit yang hanya terbatas pada kulit.
Keterlibatan sistemik dapat dijumpai pada penyakit ini. Mekanisme pasti
bagaimana keadaan tersebut terjadi belum dapat dijelaskan, namun diduga
berhubungan dengan keberadaan faktor-faktor pro inflamasi yang beredar di
sirkulasi. 10 Beberapa studi telah melaporkan adanya peningkatan sitokin-sitokin
sitokin-sitokin ini selain dapat memperburuk lesi kulit juga menimbulkan komplikasi
sistemik pada penyakit ini.5,6,11 Penelitian yang mencari perbedaan kadar sitokin
IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dibandingkan dengan yang bukan
penderita sampai saat ini masih sedikit. Arican dkk. (2005) dalam penelitiannya
melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum
penderita psoriasis vulgaris dibandingkan dengan individu sehat, namun terdapat
hubungan kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan derajat
keparahan penyakitnya yang dinilai dengan skor Psoriasis Area and Severity
Index (PASI).11 Berlawanan dengan itu, berdasarkan hasil penelitiannya
Almakhzangy dan Gaballa (2009) telah melaporkan terdapat peningkatan kadar
sitokin IL-17 yang bermakna dalam serum penderita psoriasis dibandingkan
dengan kontrol sehat, dan terdapat hubungan yang bermakna antara kadar IL-17
dalam serum dengan skor PASI.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pada beberapa penelitian
sebelumnya mengenai kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis
vulgaris belum menunjukkan hasil yang konsisten. Di Indonesia hingga saat ini
belum pernah dilaporkan penelitian yang membandingkan kadar sitokin IL-17
dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menilai perbedaan kadar sitokin
IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita
psoriasis vulgaris.
I.2 Rumusan Masalah
I.2.1 Apakah terdapat perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum
penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita
psoriasis vulgaris ?
I.3 Hipotesis
I.3.1. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar sitokin IL-17
dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan
penderita psoriasis vulgaris.
I.4 Tujuan Penelitian
I.4.1 Tujuan umum :
Untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum
penderita psoriasis vulgaris dengan bukan penderita psoriasis
vulgaris.
I.4.2 Tujuan khusus :
a. Mengetahui kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita
psoriasis vulgaris.
b. Mengetahui kadar sitokin IL-17 dalam serum bukan penderita
psoriasis vulgaris.
c. Mengetahui karakteristik penderita psoriasis vulgaris di
I.5 Manfaat Penelitian
I.5.1 Dalam bidang akademik:
Menambah pengetahuan mengenai perkembangan patogenesis
psoriasis vulgaris.
I.5.2 Dalam pelayanan masyarakat:
Menjadi masukan bagi pengembangan wawasan masyarakat
mengenai psoriasis vulgaris.
I.5.3 Dalam pengembangan penelitian:
Sebagai data dasar bagi penelitian mengenai psoriasis vulgaris
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit peradangan kulit kronis, dengan
gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai
ukuran yang ditutupi oleh sisik tebal berwarna keperakan. Penyakit ini umumnya
mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala,
lumbosakral, bokong dan genitalia 12
II.1 Epidemiologi Psoriasis vulgaris
Psoriasis vulgaris adalah salah satu penyakit kulit yang cukup sering
dijumpai. Prevalensi psoriasis vulgaris bervariasi tergantung pada etnis dan
geografis. Psoriasis vulgaris banyak terjadi pada keturunan Kaukasian dengan
perkiraan insidensi 60 kasus per 100.000/tahun. Di Amerika Serikat prevalensi
penyakit ini 2-4%. Di China prevalensi penyakit ini sekitar 0,3%, sementara di
Eropa Utara adalah 1,5-3%.
Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis vulgaris berdasarkan wilayah
geografis dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik dimana
dikatakan bahwa psoriasis lebih sering ditemukan pada daerah beriklim dingin.
Selain itu faktor genetik, dan pola tingkah laku atau paparan lainnya juga
berpengaruh terhadap insidensi psoriasis vulgaris. 13
Penyakit ini dapat menyerang pria maupun wanita. 2
Beberapa pengamatan
dibanding wanita. Sementara pada sebuah studi yang meneliti pengaruh jenis
kelamin dan usia pada prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa pada pasien yang
berusia lebih muda (<20 tahun) prevalensi psoriasis vulgaris ditemukan lebih
tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Psoriasis vulgaris dapat mengenai semua usia walaupun jarang terjadi
pada usia dibawah 10 tahun. Penelitian mengenai onset usia psoriasis vulgaris
mengalami banyak kesulitan dalam hal keakuratan data karena biasanya
ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset terjadinya dan rekam medis
yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Kebanyakan kasus terjadi padausia
15-30 tahun, dan 75% kasus terjadi sebelum usia 46 tahun. Penelitian studi
prevalensi psoriasis vulgaris di Spanyol, Inggris dan Norwegia menunjukkan
bahwa terdapat penurunan prevalensi psoriasis vulgaris dengan meningkatnya
usia.
13
14
II.2 Etiologi dan Patogenesis Psoriasis vulgaris
Etiologi pasti psoriasis vulgaris sampai saat ini belum diketahui, namun
mekanisme genetik, metabolik dan imunologis diduga berperan dalam
patogenesisnya dikombinasi dengan faktor-faktor pencetus seperti trauma, infeksi,
hormon, alkohol, merokok, stres atau obat-obatan.
Saat ini psoriasis vulgaris telah dikenal sebagai suatu penyakit yang
diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis vulgaris melibatkan interaksi kompleks
diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik
pasien psoriasis vulgaris mendukung peranan patogenesis tersebut. Penemuan ini
meliputi peningkatan sel dendritik dan sel T pada lesi kulit psoriasis vulgaris,
peningkatan sitokin-sitokin produk sel T dan dijumpainya efektifitas terapi dari
obat-obat yang menargetkan sistem imun. Sejumlah sitokin dan reseptor
permukaan sel diduga terlibat dalam jalur molekuler yang menyebabkan
manifestasi klinis penyakit.
Aktivasi sel T, hiperproliferasi keratinosit, peningkatan angiogenesis dan
pelepasan mediator-mediator sitokin merupakan hal-hal yang berperan pada
imunopatogenesis psoriasis vulgaris. Aktivasi sel T melibatkan 3 tahap yaitu
pengikatan sel T melalui molekul adhesi Leucocyte Activating Factor (LFA)-1
dan Cluster differentiation(CD)2 dengan sel penyaji antigen melalui molekul
Intercellular Adhesion Molecule (ICAM)-1 dan LFA-3, diferensiasi sel Tnaive
menjadi sel T spesifik yang juga membentuk sel T memori yang bersirkulasi, dan
interaksi sel T dengan peptida antigen melalui molekul ko-stimulator. 10,15,16
Antigen yang menjadi pencetus aktivasi sel T pada psoriasis vulgaris
sampai sekarang belum dapat dipastikan, sekalipun beberapa faktor telah
diketahui dapat mencetuskan reaktivasi penyakit ini. Meskipun dinyatakan
sebagai penyakit autoimun namun sampai saat ini belum ada autoantigen pasti
yang telah diidentifikasi yang terlibat dalam proses inflamasi pada penyakit ini.
Diduga komponen-komponen epidermis seperti keratin dapat menjadi kandidat
antigen.
4,17,18
10
Stimulus terhadap aktivasi sistem imun pada psoriasis vulgaris dapat
atau faktor intrinsik yang berasal dari tubuh seperti heat-shock protein ataupun
dapat juga obat-obatan seperti lithium dan β-blocker.17,19
Sel penyaji antigen pada epidermis dan dermis teraktivasi dan selanjutnya
mengalami pematangan yang ditandai dengan peningkatan ekspresi reseptor
permukaan CD80, CD86, CD40 dan ICAM1. Sel penyaji antigen yang teraktivasi
kemudian bermigrasi melalui pembuluh limfa ke nodus limfatikus, kemudian akan
mengaktivasi sel Tnaive CD4
+
atau CD8+. Kejadian ini memerlukan penyajian sel
penyaji antigen kepada molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas
I ataupun MHC kelas II, diikuti oleh molekul ko-stimulator. Molekul CD28 pada
sel T merupakan molekul ko-stimulator yang penting yang berikatan dengan
reseptor CD80 dan CD86 pada permukaan sel penyaji antigen. Molekul
ko-stimulator lain pada sel T termasuk LFA-1 yang berikatan dengan ICAM-1 pada
sel penyaji antigen, dan CD2 pada sel T yang berikatan dengan CD40 pada sel
penyaji antigen. Begitu molekul-molekul ko-stimulator tersebut berinteraksi, sel
Tnaive akan berproliferasi dan bertransformasi menjadi sel T memori yang akan
menginduksi ekspresi CD2, IL-2 dan IL-2Receptor, yang berperan dalam
proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi kemudian berdifrensiasi oleh induksi dari
sitokin IL12 menjadi sel Th1 yang menghasilkan sitokin IL-2, TNF-α, dan IFN-γ.
Pada psoriasis vulgaris terjadi hiperproliferasi keratinosit dimana siklus
sel pada keratinosit memendek. Proses maturasi dan pelepasan keratinosit pada
epidermis normal terjadi dalam 311 jam, sementara pada psoriasis vulgaris
memendek menjadi 36 jam. Rasio keratinosit proliferasi dengan yang tidak
vulgaris hampir 100%.3 Faktor-faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh berbagai
sel berperan dalam peningkatan proliferasi ini. Hiperproliferasi keratinosit
distimulasi oleh sitokin-sitokin yang dilepas oleh limfosit T dan sel keratinosit.
Keratinosit memproduksi IL-6, IL-8, Tumor Growth Factor (TGF)-α, TGF-β dan
amphiregulin. TGF-α dan amphiregulin bekerja menstimulasi hiperproliferasi
keratinosit. Sitokin IL-8 selain bekerja menstimulasi proliferasi keratinosit juga
sebagai kemoatraktan terhadap netrofil.
Selama ini psoriasis vulgaris dipertimbangkan oleh para ahli sebagai suatu
penyakit inflamasi yang diperantarai oleh sel Th1, ditandai dengan sekresi sitokin
TNF-α dan IFN-γ. Namun akhir-akhir ini berkembang dugaan bahwa suatu sub
populasi sel Th17 juga turut berperan pada penyakit ini. 10,19
4,5
Lowes dkk. (2008)
pada penelitiannya melaporkan adanya peninggian sel Th17 pada dermis pasien
psoriasis vulgaris dibandingkan dengan kulit normal.4 Almakhzangy dan Gaballa
(2009) menemukan peningkatan kadar IL-17 yang diproduksi oleh sel Th17 pada
serum penderita psoriasis vulgaris, dan peninggian kadar sitokin tersebut
berhubungan dengan derajat keparahan penyakit yang diukur dengan skor PASI.5
Keterlibatan genetik pada psoriasis vulgaris telah banyak diteliti. Adanya
hubungan keluarga yang positif dijumpai pada 40% pasien. Bila kedua orangtua
menderita psoriasis vulgaris maka kemungkinan 50% dari keturunannya akan
menderita penyakit yang serupa, bila hanya salah satu dari orangtuanya yang
menderita psoriasis vulgaris maka kemungkinan 16% dari keturunannya akan
menderita penyakit tersebut.
2
Beberapa alel Human Leucocyte Antigen (HLA)
HLA-B46, HLA-B57, HLA-Cw1, HLA-Cw6, HLA-DR7 dan HLA-DQ9.12 Saat
ini telah ditemukan 9 lokus kromosom yang berhubungan dengan psoriasis
vulgaris yaitu PSORS1-9. PSORS-1 merupakan kromosom utama yang berperan
pada psoriasis vulgaris, sekalipun gen yang pasti belum dapat diidentifikasi.2,14
II.3 Gambaran Klinis Psoriasis vulgaris
Lesi klasik psoriasis vulgaris adalah adanya penebalan kulit yang eritem
berbatas tegas ditutupi oleh sisik putih berlapis-lapis. Ukuran lesi dapat
bervariasi dari yang kecil sampai plak besar yang dapat menutupi sebagian besar
tubuh.
Lesi kulit pada psoriasis vulgaris umumnya terjadi secara simetris,
walaupun dapat terjadi secara unilateral. Dibawah skuama akan tampak kulit
berwarna kemerahan mengkilat dan tampak bintik-bintik perdarahan pada saat
skuama diangkat. Hal ini disebut dengan tanda Auspitz. Penggoresan sisik utuh
dengan mengggunakan pinggir gelas objek akan menyebabkan terjadinya
perubahan warna lebih putih seperti tetesan lilin yang disebut fenomena tetesan
lilin. Pada psoriasis vulgaris dapat dijumpai fenomena Koebner yaitu induksi lesi
oleh trauma yang terjadi pada daerah yang tidak terdapat lesi. Reaksi Koebner
biasanya terjadi 7-14 hari setelah trauma. Namun demikian fenomena Koebner
bukanlah tanda spesifik untuk psoriasis vulgaris. 12
Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat beberapa tipe
klinis dari psoriasis. Psoriasis vulgaris yang merupakan tipe psoriasis yang
tegas, dengan skuama berwarna keputihan. Lesi biasanya terdistribusi secara
simetris pada ekstensor ekstremitas, terutama di siku dan lutut, kulit kepala,
lumbosakral, bokong dan genital. Bentuk psoriasis gutata ditandai dengan erupsi
papul-papul kecil dengan lokasi lesi di badan bagian atas dan ekstremitas
proksimal. Bentuk ini biasa dijumpai pada usia muda. Bentuk psoriasis plak kecil
secara klinis serupa dengan psoriasis gutata, namun dapat dibedakan dari onset
penyakit yang terjadi pada usia dewasa, kronisitas, dan ukuran lesi yang relatif
lebih besar, lebih tebal dan lebih bersisik daripada bentuk gutata. Bentuk inversa
ditandai dengan lokasi lesi di daerah lipatan kulit seperti aksila, regio
genitokrural dan leher. Sisik biasanya lebih tipis dengan eritema berbatas tegas
yang lebih menonjol. Bentuk eritroderma adalah bentuk generalisata dari
penyakit ini yang mengenai hampir keseluruhan tubuh termasuk wajah, tangan,
kaki, kuku, badan dan ekstemitas dimana eritema menjadi gejala yang menonjol.
Pada pasien psoriasis dengan eritroderma dapat terjadi hipotermia disebabkan
vasodilatasi yang menyeluruh. Sebopsoriasis merupakan bentuk psoriasis yang
ditandai dengan plak eritema dengan sisik keabuan di lokasi seboroik misalnya
kulit kepala, glabella, lipatan nasolabial, area perioral dan presternal dan area
intertriginosa, dimana secara klinis bentuk ini sulit dibedakan dari dermatitis
seboroik. Psoriasis popok diawali antara usia 3 dan 6 bulan dan pertama kali
muncul pada area popok. Bentuk psoriasis ini cenderung menghilang setelah usia
II.4 Imunopatogenesis Sel Th17 pada Psoriasis vulgaris
Tahun 1986, Mosmann dan Coffman memperkenalkan konsep kelompok
sel T helper (Th) yang dibedakan berdasarkan jenis sitokin yang diproduksi saat
sel tersebut distimulasi dan kemudian berdiferensiasi. Kelompok sel Th tersebut
adalah sel Th1 dan sel Th2. Sel Th1 memproduksi Interferon-γ dalam jumlah yang
besar, menginduksi reaksi hipersensitivitas lambat, mengaktivasi makrofag, dan
penting dalam mekanisme pertahanan terhadap patogen intraseluler. Sel Th2
terutama memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13 dan penting dalam menginduksi
produksi imonoglobulin (Ig)E, merekrut netrofil ke lokasi inflamasi, dan penting
dalam mekanisme pertahanan terhadap infeksi parasit.
Pada tahun 2005 telah ditemukan kelompok sel Th yang berbeda dari
kedua kelompok sel Th sebelumnya yang disebut sel Th17. Mekanisme induksi
dan fungsi efektor dari sel Th17 belum sepenuhnya dipahami. Terminologi Th17
didasarkan atas produksi sitokin IL-17 yang merupakan sitokin utama sel Th17. 21,22
23,24
II.4.1 Sel Th17 dan sitokin interleukin-17 pada psoriasis vulgaris
Sel Th17 adalah suatu kelompok sel Thelper CD4+, yang pertama kali
dideskripsikan oleh para ahli pada tahun 2005. Diferensiasi sel Tnaive menjadi
sel Th17 memerlukan sitokin-sitokin lain meliputi TGF-β, IL-1β, IL-6, IL-21 dan
IL-23. Ligasi dari sel Toll like receptor (TLR)-3, TLR4 ataupun TLR9 dapat
menginduksi sekresi TGF-β dan IL-6 yang selanjutnya mendukung diferensiasi
Th2 dengan menekan ekspresi STAT4 dan GATA-3, sehingga mengijinkan
terjadinya diferensiasi sel Th17. TGF-β dan IL-6 berperan dalam promotor
ekspresi IL-21R dan IL-23R melalui suatu mekanisme yang melibatkan RORγT.
Selanjutnya, ekspresi IL-21 oleh sel Th17 berperan sebagai promotor diferensiasi
sel Th17, sementara peningkatan ekspresi IL-23R yang berasal dari aktivasi sel T
dan perkembangan sel Th17 mengijinkan sinyal IL-23 untuk memelihara aktivitas
Th17.
Sitokin IL-12 mempunyai sub unit p35 dan p40. Protein lainnya yaitu p19
bergabung dengan sub unit p40 untuk membentuk 23, sehingga 12 dan
IL-23 berbagi sub unit yang sama yaitu p40, namun masing-masing memiliki sub unit
sendiri yaitu p35 untuk IL-12 dan p19 untuk IL-23 25,26
Penelitian laboratorium sebelumnya telah membuktikan bahwa sel Th17
bersifat antagonis terhadap sel T regulator. Sel T regulator adalah kelompok sel T
yang berperan untuk mengatur respon imun sehingga dapat memelihara toleransi
terhadap self antigen. Penekanan terhadap fungsi sel T regulator dapat memicu
terjadinya penyakit-penyakit autoimun.
8,27
Sitokin IL-17 merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel Th17. Gen yang
mengkode IL-17 ditemukan pada tahun 1993 pada limfosit T tikus. Reseptor
terhadap IL-17,yaitu IL-17RA diekspresikan pada sel epitel, sel T dan sel B,
fibroblas dan sel monosit. Efek sitokin IL-17 pada inflamasi adalah perekrutan
dan aktivasi netrofil, meningkatkan angiogenesis, aktivasi keratinosit untuk
mengekspresikan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GMCSF),
CCL-20 dan molekul adhesi intraseluler (ICAM)-1 yang mana hal-hal tersebut
merupakan kejadian yang dijumpai pada inflamasi psoriasis. Sitokin IL-17 juga
meningkatkan ekspresi beberapa gen peptida anti mikroba seperti β-defensin yang
merupakan anti mikroba yang terdapat di kulit. Molekul β-defensin juga memiliki
efek kemotaktik dan dapat memperantarai perekrutan sel dendritik ke lokasi
inflamasi.
Keterlibatan jalur inflamasi sel Th17 dalam psoriasis mulai diteliti sejak
ditemukannya keterlibatan jalur ini pada penyakit autoimun lain. Telah dilaporkan
terdapat peningkatan ekspresi sitokin IL-17 pada pasien-pasien dengan penyakit
autoimun seperti lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, sklerosis
multipel, penyakit Addison dan penyakit Graves. 28-30
8,31
Peran sitokin IL-17 pada
patogenesis psoriasis vulgaris juga mulai dipertimbangkan sejak ditemukan
peningkatan ekspresi RORC, IL-6, IL-1β dan IL-23 pada kulit psoriasis vulgaris
dibandingkan dengan kulit dari individu sehat.
Menurut Miossec dkk. (2009), respon sel Th17 yang tidak terkontrol dan
produksi berlebihan dari sitokin IL-17 oleh sel T berhubungan dengan inflamasi
kronis dan kondisi imunopatologis berat.
7,32
21
Sitokin IL-17 menstimulasi fibroblas,
sel endotel, makrofag dan sel epitel untuk memproduksi mediator-mediator pro
inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-α, NOS-2, metalloprotease dan kemokin yang
semuanya akan menginduksi inflamasi.
Telah diketahui bahwa IL-23 terdiri dari sub unit p40 dan sub unit p19.
dengan kadar tinggi pada monosit dan sel dendritik lesi kulit psoriasis. Sitokin
IL-23 berperan dalam proliferasi sel Th17.7,35,36
Studi-studi sebelumnya melaporkan peningkatan kadar sitokin IL-17 pada
penderita psoriasis vulgaris. Menurut Meier dan Sheth (2009), jalur Th17
berperan dalam menjaga kelangsungan proses inflamasi pada psoriasis. Proliferasi
sel Th17CD4+ diinduksi oleh IL-23 yang disekresi oleh sel dendritik, yang
kemudian mensekresi IL-17 yang memberi kontribusi pada peningkatan inflamasi
dan proliferasi epidermis.37 Almakhzangy dan Gaballa (2009) pada penelitiannya
melaporkan adanya peran dari IL-17 baik lokal maupun sistemik dalam
menimbulkan lesi psoriasis vulgaris.5 Luo dkk. (2012) melaporkan peningkatan
kadar sitokin IL-17 pada serum penderita psoriasis vulgaris yang dibandingkan
II.5 Kerangka Teori
Rekrut netrofil dan makrofag
II.6 Kerangka Konsep
Dari landasan teori yang telah diuraikan dapat disusun kerangka konsep
penelitian sebagai berikut:
IL-17
Psoriasis vulgaris
(+)
Psoriasis vulgaris
(-)
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi analitik dengan pendekatan potong lintang
(cross sectional).
III.2 Waktu dan Tempat Penelitian
1. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2012 sampai Januari 2014,
bertempat di Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Divisi Alergi dan Imunologi RSUP. H. Adam Malik Medan.
2. Pengambilan sampel darah dilakukan di Laboratorium klinik Prodia
cabang Medan. Sampel darah kemudian dikirim ke Laboratorium
klinik Prodia Pusat di Jakarta untuk pemeriksaan kadar sitokin IL-17
dalam serum.
III.3 Populasi Penelitian
1. Populasi target:
2. Populasi terjangkau:
Pasien-pasien usia 15-65 tahun yang menderita psoriasis vulgaris yang
berobat ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Divisi Alergi dan Imunologi RSUP. H. Adam Malik Medan
sejak bulan Februari 2013 sampai Desember 2013.
3. Sampel:
Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan
bersedia ikut serta dalam penelitian.
4. Kontrol:
Kontrol adalah individu bukan penderita psoriasis vulgaris yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kelompok kontrol dan bersedia
III.4 Besar Sampel
Jumlah sampel minimal penderita psoriasis vulgaris dan kontrol dalam penelitian
ini adalah masing-masing sebanyak 21 orang. Pada penelitian ini diikut sertakan
25 orang penderita psoriasis vulgaris sebagai kelompok sampel dan 25 orang
III.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian
Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan menggunakan metode
consecutive sampling.
III.6 Identifikasi Variabel
III.6.1 Variabel bebas : kadar sitokin IL-17 dalam serum III.6.2 Variabel terikat : psoriasis vulgaris
III.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi III.7.1 Kelompok sampel:
Kriteria inklusi :
1. Penderita yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita
psoriasis vulgaris.
2. Berusia 15-65 tahun.
3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani
informed consent.
Kriteria eksklusi :
1. Penderita psoriasis vulgaris yang sedang hamil dan menyusui.
2. Penderita psoriasis vulgaris yang sedang menggunakan
obat-obatan topikal untuk mengobati psoriasis vulgaris
(kortikosteroid topikal, kalsipotriol, tazarotene, tar) minimal 2
(metotreksat, asitretin, siklosporin, kortikosteroid) minimal 6
minggu sebelum dilakukan penelitian.
3. Penderita psoriasis vulgaris yang menderita penyakit autoimun
lainnya: lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik,
sklerosis multipel, penyakit Graves dan penyakit Addisons.
III.7.2 Kelompok kontrol:
Kriteria inklusi :
1. Individu bukan penderita psoriasis vulgaris yang tidak
mempunyai riwayat keluarga psoriasis vulgaris.
2. Berusia 15-65 tahun.
3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani
informed consent.
Kriteria eksklusi :
1. Wanita yang sedang dalam keadaan hamil dan menyusui.
2. Individu yang sedang mengkonsumsi obat-obatan yang bersifat
imunosupresi dalam kurun waktu 6 minggu terakhir sebelum
penelitian seperti : metotreksat, kortikosteroid.
3. Individu yang menggunakan obat kortikosteroid topikal atau
imunomodulator topikal (takrolimus, pimekrolimus) dalam
4. Individu yang menderita penyakit autoimun lainnya: lupus
eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, sklerosis multipel,
penyakit Graves dan penyakit Addisons.
III.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja III.8.1 Alat dan bahan :
a. Untuk pengambilan masing-masing sampel darah :
1). Satu pasang sarung tangan.
2). Satu buah alat ikat pembendungan (torniquet).
3). Satu buah spuit disposable 3 ml.
4). Satu buah vacutainer (tabung pengumpul darah steril) 5 ml.
5). Satu buah plester luka.
b. Satu unit alat sentrifuge (alat pemusing untuk memisahkan
serum).
c. Microtube (tabung mikro) 1 ml untuk menampung/menyimpan
serum.
d. Satu buah freezer yang digunakan untuk menyimpan sampel
sebelum pemeriksaan kadar IL-17.
e. 1 unit alat Elisa reader.
f. 1 unit kit Quantikine human IL-17 immunoassay, R&D systems
III.8.2 Cara kerja
1. Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Poliklinik
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam
Malik Medan. Pencatatan data dasar meliputi identitas penderita,
anamnesis, pemeriksaan dermatologis yang meliputi pemeriksaan
fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz .
2. Diagnosis klinis ditegakkan oleh peneliti bersama dengan pembimbing di
Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H.
Adam Malik Medan.
3. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh petugas Laboratorium Klinik
Prodia cabang Medan.
Cara pengambilan sampel darah adalah sebagai berikut : dengan
menggunakan sarung tangan, kulit di atas lokasi tusuk dibersihkan dengan
kapas yang dibasahi dengan alkohol 70% dan dibiarkan sampai kering.
Lokasi penusukan harus bebas dari luka dan bekas luka/sikatrik. Darah
diambil dari vena mediana cubiti pada lipat siku. Ikatan pembendungan
(torniquet) pada lengan atas dan pasien diminta untuk mengepal dan
membuka telapak tangan berulang kali agar vena jelas terlihat. Lokasi
penusukan didesinfeksi dengan kapas alkohol 70% dengan cara berputar
dari dalam keluar. Spuit disiapkan dengan memeriksa jarum dan
45 derajat dengan jarum menghadap keatas. Darah dibiarkan mengalir
kedalam jarum kemudian jarum diputar menghadap kebawah. Agar aliran
darah bebas, pasien diminta untuk membuka kepalan tangannya.
Kemudian darah dihisap sebanyak 3 cc. Torniquet dilepas, lalu jarum
ditarik dengan tetap menekan lubang penusukan dengan kapas alkohol.
Selanjutnya tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai
tidak keluar darah lagi. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan plester.
Darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi, dan diputar
300 g selama 5 menit untuk mendapatkan serum. Selanjutnya serum
dimasukkan kedalam microtube 1cc dan disimpan dalam freezer pada
temperatur -200 C sampai saat pengiriman sampel ke laboratorium klinik
pusat di Jakarta. Sampel selanjutnya dikirim ke Laboratorium Klinik
Prodia Pusat di Jakarta untuk pemeriksaan kadar IL-17. Pengiriman
sampel dari Laboratorium Klinik Medan ke Laboratorium Klinik Pusat di
Jakarta dilakukan satu kali per minggu yaitu setiap hari Senin. Sampel
kemudian disimpan pada suhu -700 C sampai saat pemeriksaan kadar
IL-17. Pemeriksaan kadar IL-17 dilakukan bersamaan setelah semua sampel
terkumpul.
4. Pengukuran kadar sitokin IL-17 serum.
Pengukuran kadar sitokin IL-17 serum dilakukan di Laboratorium klinik
Prodia pusat di Jakarta menggunakan kit Quantikine human IL-17
ELISA. Semua reagensia dan sampel serum dipersiapkan. Sumuran 96
dengan volume maksimal 300 µl dikeluarkan dari kemasan. Ke dalam tiap
sumuran ditambahkan 100 µl larutan RDI-36. Ditambahkan 100 µl larutan
serum sampel yang akan diperiksa, sehingga total larutan dalam sumuran
berjumlah 200 µl. Penambahan larutan serum harus selesai dalam waktu
15 menit. Sumuran ditutup dengan selotip steril lalu diinkubasi selama 3
jam pada temperatur ruangan. Kemudian larutan dalam setiap sumuran
diaspirasi dan dilakukan proses pencucian sebanyak 3 kali dengan larutan
buffer. Selanjutnya kedalam tiap sumuran ditambahkan 200 µl konjugat
IL-17, lalu sumuran ditutup dengan selotip steril dan diinkubasi selama 1
jam pada temperatur ruangan. Dilakukan kembali pencucian dengan
larutan buffer sebanyak 3 kali. Kemudian kedalam tiap sumuran
ditambahkan 200 µl larutan substrat, lalu diinkubasi selama 30 menit pada
temperatur ruangan. Kemudian kedalam tiap sumuran ditambahkan larutan
penghenti reaksi. Diamati perubahan warna yang terjadi yaitu dari biru
menjadi kuning. Kemudian dilakukan penilaian kepadatan optik dengan
alat pembaca Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pada
panjang gelombang 450 nm dalam waktu 30 menit. Kadar IL-17 dalam
III.9 Definisi Operasional
1. Umur :
Umur subjek penelitian adalah 15-65 tahun. Umur dihitung
berdasarkan tanggal lahir, apabila lebih besar dari 6 bulan dilakukan
pembulatan keatas dan apabila lebih kecil dari 6 bulan dilakukan
pembulatan kebawah.
2. Psoriasis vulgaris :
Psoriasis vulgaris adalah penyakit peradangan kulit kronis dengan
gejala klinis plak eritem berbatas tegas ditutupi sisik tebal berwarna
keperakan. Diagnosis psoriasis vulgaris ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis oleh dokter spesialis kulit dan kelamin.
Diagnosis klinis psoriasis : plak eritematosa yang ditutupi skuama
tebal berwarna putih keperakan dengan predileksi pada daerah kulit
kepala, garis perbatasan kepala dan rambut, ekstremitas ekstensor,
batang tubuh dan lumbosakral disertai hasil pemeriksaan fenomena
tetesan lilin atau tanda Auspitz yang menunjukkan hasil positif.
Fenomena tetesan lilin : gambaran garis putih seperti tetesan lilin
yang tampak ketika sisik utuh pada lesi psoriasis vulgaris digores
Tanda Auspitz : bintik-bintik perdarahan yang tampak ketika sisik
pada lesi psoriasis vulgaris diangkat dengan menggunakan ujung gelas
objek.
3. Sitokin IL-17 dalam serum :
Kadar sitokin IL-17 dalam serum yang diukur dengan pemeriksaan
laboratorium dengan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) menggunakan kit Quantikine human IL-17 immunoassay
R&D systems Inc. America (RDI-36).
4. ELISA :
Singkatan dari Enzyme Linked Immunosorbent Assay yaitu suatu
metode yang bertujuan untuk mengestimasi material di dalam larutan
seperti serum. Prinsip dasarnya ialah menggunakan antibodi
monoklonal untuk mendeteksi adanya ikatan antigen dan antibodi.
5. ELISA reader :
Adalah suatu alat yang berguna untuk membaca kepadatan optik dari
sampel uji pada panjang gelombang 450 nm. Pada penelitian ini
menggunakan produk Bio-rad Laboratories, Inc., Hercules dengan
6. Lupus eritematosus sistemik :
Merupakan suatu penyakit autoimun sistemik yang dapat mengenai
seluruh bagian tubuh. Secara klinis dapat dijumpai ruam malar
(butterfly rash), ruam diskoid, serositis, ulkus oral, arthritis,
fotosensitivitas.
Diagnosis ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam.
7. Sklerosis sistemik :
Merupakan suatu penyakit jaringan ikat sistemik yang ditandai
dengan adanya gangguan vasomotor, atrofi kulit, jaringan subkutan,
otot, dan organ dalam (paru-paru, jantung, jantung, ginjal dan
susunan syaraf pusat) serta ganguan imunologik. Diagnosis
ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam.
8. Sklerosis multipel :
Merupakan penyakit inflamasi akibat demielinisasi susunan syaraf
pusat yang ditandai dengan kelemahan satu atau lebih anggota gerak,
optik neuritis serta gejala sensoris. Diagnosis ditegakkan oleh dokter
spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis saraf.
9. Penyakit Graves :
Merupakan suatu jenis penyakit hipertiroid yang ditandai dengan
tidur, tremor, diare, denyut jantung yang cepat dan ireguler,
penurunan berat badan serta pembesaran kelenjar tiroid. Diagnosis
ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam.
10. Penyakit Addisons :
Merupakan kelainan endokrin kronis akibat gangguan pada kelenjar
adrenal yang jarang terjadi. Ditandai dengan kelemahan otot,
demam, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri otot dan
sendi, hipotensi ortostatik. Sebagian besar penderita akan mengalami
hiperpigmentasi kulit meskipun pada daerah yang tidak terpapar sinar
ultraviolet. Diagnosis ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit
dalam.
11.Kelompok kontrol:
Kontrol adalah individu berusia 15 - 65 tahun yang bukan penderita
psoriasis vulgaris dan tidak mempunyai riwayat keluarga menderita
psoriasis vulgaris serta memenuhi kriteria inklusi dan ekskusi
kelompok kontrol.
12. Durasi penyakit:
Durasi penyakit adalah rentang waktu yang dihitung dari mulai awal
timbulnya penyakit hingga saat pemeriksaan, dibagi menjadi <5
13.Hamil:
Hamil adalah rangkaian peristiwa yang terjadi bila ovum dibuahi dan
pembuahan ovum akhirnya berkembang sampai menjadi fetus yang
aterm. Diagnosis ditegakkan oleh bidan atau dokter spesialis
kebidanan dan kandungan.
14.Menyusui:
Wanita yang melakukan proses pemberian air susu ibu kepada bayi.
Informasi berdasarkan anamnesis.
III.10 Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang terkumpul dianalisis secara statistik dan disajikan dalam
bentuk tabel frekuensi. Untuk mengetahui normalitas distribusi data,
digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk menilai perbandingan kadar
sitokin IL-17 serum antara kelompok penderita psoriasis vulgaris dengan
kelompok kontrol digunakan uji T independent. Batas uji kemaknaan (p)
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05. Dikatakan bermakna jika
nilai p ≤ 0,05 dan tidak bermakna jika nilai p > 0,05.
III.11 Ethical clearance
Penelitian ini dilakukan setelah memperoleh ethical clearance dari komisi
III.12 Kerangka Operasional
Pasien psoriasis vulgaris
Sitokin IL-17 dalam serum
Kontrol
Sitokin IL-17 dalam serum
Perbandingan
Kriteria inklusi dan eksklusi kelompok sampel
Kriteria inklusi dan eksklusi kelompok kontrol
Sampel
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan kadar sitokin IL-17 dalam
serum terhadap 25 orang penderita psoriasis vulgaris dan 25 orang yang bukan
penderita psoriasis vulgaris sebagai kontrol mulai bulan Februari 2013 sampai
Desember 2013. Pada semua subyek penelitian telah dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan dermatologis.
IV.1 Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik subyek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan distribusi
jenis kelamin, kelompok umur dan suku bangsa yang dapat dilihat pada tabel
Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian
Variabel kasus kontrol total
Jenis kelamin n % n % n %
Pada penelitian ini, dari 25 orang penderita psoriasis vulgaris didapatkan
18 orang (72%) adalah laki-laki dan 7 orang (28%) perempuan. Hasil ini
memperlihatkan bahwa jumlah kasus dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan penelitian ini.
Berbagai penelitian sebelumnya telah melaporkan prevalensi jenis
kelamin yang bervariasi pada kasus psoriasis vulgaris. Neiman dkk. (2006)
daalam tulisannya menyatakan bahwa psoriasis vulgaris lebih sering terjadi pada
laki-laki, namun pada pasien-pasien muda dibawah usia 20 tahun lebih sering
terjadi pada wanita.2 Sinniah dkk. (2010) menyatakan bahwa dari total
keseluruhan 5607 pasien yang diperiksa selama tiga tahun di RSU. Malaysia
diderita oleh laki-laki (11,6%) daripada perempuan (7,2%).39 Berbeda dengan
laporan tersebut, Parisi dkk. (2013) dalam suatu tulisan studi sistematik
melaporkan tidak terdapat perbedaan prevalensi psoriasis vulgaris antara pria dan
wanita pada penelitian yang dilakukan pada populasi di Taiwan, Amerika serikat
dan Norwegia.14
Berdasarkan tabel 4.1 memperlihatkan bahwa pada penelitian ini jumlah
pasien psoriasis vulgaris terbanyak adalah dari kelompok usia 51-60 tahun yaitu
sebanyak 10 orang (40%), dan jumlah pasien psoriasis vulgaris paling sedikit
terdapat pada kelompok usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 2 orang (8%).
Dari laporan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang bervariasi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat variasi prevalensi psoriasis vulgaris
berdasarkan jenis kelamin di berbagai tempat. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan mengenai pengaruh jenis kelamin pada prevalensi psoriasis vulgaris.
Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan terdapatnya pengaruh usia
terhadap prevalensi psoriasis vulgaris. Coimbra dkk. (2004) dalam tulisannya
menyatakan bahwa psoriasis vulgaris dapat terjadi pada semua umur, namun
rata-rata onset usia terjadinya adalah 33 tahun.
Traub dan Marshall (2007) menyatakan bahwa onset usia rata-rata
psoriasis vulgaris adalah 33 tahun, dimana 75% kasus terjadi sebelum usia 46
tahun.
19
Sinniah dkk. (2010) melaporkan penderita psoriasis vulgaris terbanyak
pada penelitiannya di Malaysia adalah penderita dalam kelompok usia 40-60
tahun (17,2%) dan jumlah lebih sedikit pada kelompok usia yang lebih muda dan
kelompok usia lebih dari 60 tahun (8,1%). 13
Parisi dkk. (2013) dalam suatu laporan studi sistematik menyatakan
bahwa terdapat kecenderungan peningkatan insiden psoriasis vulgaris dengan
meningkatnya usia. Penyakit ini jarang terjadi pada anak usia dibawah 9 tahun. 14
Psoriasis vulgaris dapat terjadi pada semua umur. Terdapat
kecenderungan peningkatan insiden pada usia 30-39 tahun dan pada usia 50-59
tahun. Hal ini dikaitkan dengan adanya pengaruh genetik yaitu HLA-Cw6 yang
berhubungan dengan onset dini dan riwayat keluarga.12 HLA-Cw6 adalah alel
penerimaan psoriasis yang terdapat pada lokus PSORS1. PSORS1 sendiri adalah
salah satu lokus yang berkaitan dengan penerimaan terhadap psoriasis yang terdiri
dari PSORS1-PSORS9. PSORS1 dikatakan merupakan gen determinan mayor
dari kesembilan lokus gen tersebut. PSORS1 berlokasi didalam kromosom 6p
dengan ukuran sekitar 220-kb didalam regio telomer Human Leucocyte Antigen
B(HLA-B).
Studi-studi prevalensi sebelumnya mengindikasikan penurunan frekwensi
kejadian psoriasis vulgaris pada usia tua. Insidensi menurun pada individu diatas
usia 70 tahun. Penyebab pasti penurunan insidensi ini belum pernah dilaporkan.
Beberapa kemungkinan yang diajukan adalah karena pasien-pasien berusia tua
tidak lagi berminat mengobati lesi kulitnya sehingga tidak dapat diukur dalam
studi prevalensi. Kemungkinan lain yang diajukan ialah karena tingginya angka
mortalitas pada pasien usia tua berkaitan dengan komorbiditas yang dialaminya. 18
Pada penelitian ini didapati bahwa suku Batak merupakan suku terbanyak
diantara semua kasus (36%). Studi-studi epidemiologi sebelumnya
Raychaudhuri (2010) dalam tulisannya menyatakan bahwa kejadian psoriasis
vulgaris diantara ras Afika-Amerika lebih rendah dibandingkan ras Kaukasia.
Prevalensi lebih tinggi dijumpai di Asia, namun Eropa memiliki prevalensi lebih
tinggi dibandingkan China dan Jepang. 40 Traub dan Marshall (2007) juga
menyatakan bahwa prevalensi psoriasis vulgaris dipengaruhi oleh ras. Psoriasis
vulgaris sering terjadi pada ras Kaukasia dengan angka estimasi 60 kasus per
100.000 per tahun.13
Hubungan antara ras dengan kejadian psoriasis vulgaris ini selain
dikaitkan dengan genetik juga oleh adanya pengaruh iklim pada lokasi geografis
tempat bermukim. Prevalensi psoriasis vulgaris dikatakan lebih tinggi pada
daerah beriklim dingin dikaitkan dengan adanya efek menguntungkan dari
paparan sinar matahari.
13,40
Penelitian ini dilakukan di RSUP. H. Adam Malik yang terletak di
wilayah kotamadya Medan. Hasil penelitian ini sesuai dengan data rekam medis
RSUP. H. Adam Malik tahun 2010-2012 dimana penderita psoriasis vulgaris
yang berobat ke rumah sakit ini terbanyak berasal dari suku Batak (36%) yang
diikuti dengan suku Jawa (22%). Menurut data sensus kependudukan tahun 2010
jumlah penduduk terbanyak yang berdomisili di kotamadya Medan adalah suku
Jawa (33,03%) diikuti dengan suku Batak (19,21%). Rumah sakit H. Adam
Malik sendiri merupakan rumah sakit rujukan di wilayah Sumatera Utara Pada penelitian ini walaupun kelompok kasus berasal
dari suku bangsa yang berbeda-beda namun semuanya berasal dari ras yang sama
(mongoloid) dan bermukim pada daerah geografis yang sama, sehingga
sehingga pasien yang berkunjung ke rumah sakit ini tidak terbatas dari wilayah
kotamadya Medan saja. Data dinas kependudukan menunjukkan bahwa penduduk
Sumatera Utara menurut golongan etnis terdiri dari penduduk asli dan pendatang.
Yang termasuk penduduk asli ialah suku Melayu, Batak Karo, Simalungun,
Fak-fak Dairi, Batak Toba, Mandailing, Pesisir dan Nias. Golongan pribumi
pendatang adalah suku Jawa, Sunda, Bali, Ambon, Minahasa, Banjar dan
lain-lain. Sedangkan penduduk asing adalah orang Arab, India, Cina dan lain-lain-lain.
Distribusi subyek penelitian berdasarkan durasi penyakit dapat dilihat
pada tabel 4.2.
Tabel 4.2. Distribusi subyek penelitian berdasarkan durasi penyakit
Durasi penyakit
Dari tabel 4.2 terlihat bahwa pada penelitian ini subyek penelitian paling
banyak adalah dengan durasi penyakit kurang dari 5 tahun (52%). Durasi penyakit
pada psoriasis vulgaris sering berhubungan dengan komorbiditas penyakit lain
seperti gangguan kardiovaskuler, psoriasis artritis ataupun gangguan kejiwaan.2
Pada penelitian ini data mengenai durasi penyakit diperoleh dari anamnesis
riwayat penyakit pada penderita. Keterbatasan subyek penelitian dalam mengingat
waktu yang pasti sejak kapan menderita penyakit ini menjadi salah satu
IV.2 Perbandingan kadar sitokin IL-17 dalam serum antara penderita psoriasis vulgaris dengan bukan penderita
Perbandingan nilai rerata kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita
psoriasis vulgaris dan bukan penderita dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Perbandingan nilai rerata kadar IL-17
Variabel n Mean ± SD Nilai
Pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa nilai rerata kadar sitokin IL-17 dalam
serum penderita psoriasis vulgaris pada penelitian ini adalah 9,806 pg/ml, dengan
rentang nilai berkisar dari 7,08 – 13,98 pg/ml. Nilai rerata kadar sitokin IL-17
dalam serum pada yang bukan penderita psoriasis vulgaris adalah 5,365 pg/ml,
dengan rentang nilai berkisar dari 4,14 – 6,44 pg/ml. Berdasarkan hasil uji
analisis statistik dengan uji T independent dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
rerata kadar sitokin IL-17 dalam serum yang bermakna antara penderita psoriasis
vulgaris dengan yang bukan penderita (nilai p = 0,001).
Arican dkk. (2005) dalam penelitiannya pada 25 orang pasien psoriasis
vulgaris di Turki melaporkan nilai rerata kadar sitokin IL-17 dalam serum
penderita psoriasis vulgaris adalah 8,3 pg/ml sementara kadarnya pada kelompok
kontrol adalah 7,4 pg/ml.
Penelitian serupa yang dilakukan oleh Almakhzangy dan Gaballa (2009)
nilai rerata kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris adalah 88,5
pg/ml sementara kadarnya pada kelompok kontrol adalah 9,1 pg/ml.
Pada suatu penelitian di China oleh Luo dkk. (2012) yang mengukur
kadar mRNA IL-17 pada biopsi lesi kulit, dilaporkan bahwa terdapat
peningkatan ekspresi mRNA IL-17 pada lesi pasien psoriasis vulgaris. Selain itu
juga dilakukan pengukuran kadar IL-17 dalam serum dan didapati bahwa pada
pasien psoriasis vulgaris kadar sitokin ini meningkat secara signifikan
dibandingkan dengan kontrol sehat. Pada penelitian tersebut Luo dkk.
melaporkan nilai rerata kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris
yang berada pada fase aktif adalah 210,46 pg/ml sementara pada kelompok
kontrol sebesar 48,50 pg/ml.
5
Dari beberapa laporan penelitian tersebut dapat dilihat perbedaan rerata
nilai kadar IL-17 dalam serum yang bervariasi baik pada penderita psoriasis
vulgaris maupun pada kelompok kontrol. Sampai saat ini belum ada penelitian
yang melaporkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sitokin
ini dalam darah. Sitokin IL-17 adalah suatu sitokin proinflamasi yang diproduksi
oleh adanya stimulus yang mengaktivasi sistem imun dalam tubuh hospes. Pada
psoriasis vulgaris, sekalipun dinyatakan sebagai suatu penyakit autoimun namun
molekul yang berperan sebagai auto antigen pada kondisi ini sampai saat ini
belum dapat dipastikan. Faktor-faktor internal dan eksternal seperti genetik,
geografis, obat-obatan, alkohol, obesitas dapat berpengaruh pada perjalanan
penyakit ini, namun apakah faktor-faktor tersebut secara langsung mempengaruhi
produksi sitokin IL-17 belum dapat dipastikan. 41
Etiopatogenesis psoriasis vulgaris sampai saat ini masih banyak
diperdebatkan. Perkembangan keilmuan telah mengkaitkan penyakit ini dengan
respon imun adaptif pada tubuh hospes. Psoriasis vulgaris yang awalnya diyakini
sebagai suatu kondisi yang diperantarai oleh sel Th1 saat ini telah banyak
dihubungkan dengan jalur sel Th17. Laporan bukti-bukti penelitian yang telah ada
sebelumnya menyimpulkan penyakit ini diperantarai oleh peranan bersamaan
antara jalur sel Th1 dan sel Th17. Hasil dari penelitian ini juga menemukan
adanya peranan sel Th17 melalui sekresi sitokin IL-17 nya yang ditemukan
meningkat pada pasien-pasien psoriasis vulgaris.
Pemahaman mengenai mekanisme imunologis pada psoriasis vulgaris
penting untuk pengembangan terapi spesifik penyakit ini. Akhir-akhir ini terapi
psoriasis vulgaris telah dikembangkan ke arah penggunaan agen-agen biologik.
Terapi yang menargetkan jalur TH17 sendiri saat ini telah banyak diteliti dan
memasuki fase uji klinis. Peranan jalur Th17 pada psoriasis vulgaris masih perlu