ABSTRACT
ANALYSIS OF BEHAVIOR GIRDER PRESTRESSED
CONCRETE BY SET IMPLEMENTATION GIRDER OF
BRIDGE
By
DEDY DWI PUJIYANTO
The Construction of prestressed concrete general used as girder of bridge. Some system of set implementation (erection) girder of bridge influence of behavior structure girder. In this examination are two system erection girder of bridge that will observation, there are system full span and balanced cantilever. The purpose of this examination is for know difference of behavior structure girder by both that system. Object of examination that do analysis structure that are PCI girder and box girder.
Analysis structure girder that do them are calculated of the beginning force prestressed, determined of line of prestressed tendon, calculated lose of prestressed, and control of pressure that occured at longitudinal section of girder. From output of analysis that do it, be found difference of behavior structure girder that is at the center line of prestressed tendon. At system full span, the position of center tendon dominant under neutral line of longitudinal section, and for system balanced cantilever, the position of tendon beside under neutral line of longitudinal section too be found on neutral line. The difference of center line of tendon consequenced by difference of position center tendon at each point that influenced by moment that occured at structure girder. At system full span, the construction of girder of bridge designed as one span with shoring joint – roll. And for system balanced cantilever, the construction of girder of bridge designed as continue span. So, from difference of construction design consequence for difference moment that occured at structure girder.
ABSTRAK
ANALISIS PERILAKU
GIRDER
BETON PRATEGANG
BERDASARKAN PELAKSANAAN PEMASANGAN
GIRDER
JEMBATAN
Oleh
DEDY DWI PUJIYANTO
Konstruksi beton prategang umum digunakan sebagai girder jembatan. Berbagai sistem pelaksanaan pemasangan (erection) girder jembatan mempengaruhi perilaku struktur girder. Dalam penelitian ini ada dua sistem erection girder
jembatan yang akan ditinjau, yaitu sistem full span dan balanced cantilever. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui perbedaan perilaku struktur girder
berdasarkan kedua sistem erection tersebut. Objek penelitian yang dilakukan analisis struktur yaitu PCI girder dan box girder.
Analisis struktur girder yang dilakukan yaitu menghitung gaya prategang awal, menentukan lintasan tendon prategang, menghitung kehilangan prategang, serta kontrol tegangan yang terjadi pada penampang girder.
Dari hasil analisis yang dilakukan, didapatkan perbedaan perilaku struktur girder
yaitu pada lintasan inti tendon prategang. Pada sistem full span, posisi inti tendon sebagian besar terletak di bawah garis netral penampang, sedangkan pada sistem
balanced cantilever, posisi inti tendon selain di bawah garis netral penampang
juga terdapat di atas garis netral. Perbedaan lintasan inti tendon diakibatkan perbedaan posisi inti tendon pada tiap titik yang dipengaruhi oleh momen yang terjadi pada struktur girder. Pada sistem full span, konstruksi girder jembatan didesain dalam satu bentang dengan tumpuan sendi – rol. Sedangkan pada sistem
balanced cantilever, konstruksi girder jembatan didesain sebagai bentang
menerus. Sehingga dari perbedaan desain konstruksi tersebut mengakibatkan perbedaan momen yang terjadi pada struktur girder.
ANALISIS PERILAKU
GIRDER
BETON PRATEGANG
BERDASARKAN PELAKSANAAN PEMASANGAN
GIRDER
JEMBATAN
Oleh :
DEDY DWI PUJIYANTO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK
Pada
Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Lampung
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabumi, Lampung Utara pada tanggal 22 September 1993, sebagai anak kedua dari Bapak Untung Sutrisno dan Ibu Sri Bandi Wati. Penulis memiliki satu saudara laki-laki bernama Pujo Prastiyo.
Pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDN 2 Madukoro diselesaikan pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 6 Kotabumi diselesaikan pada tahun 2007, Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 2 Kotabumi diselesaikan pada tahun 2010.
Alhamdulillahirabbil’alamiin
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas karunia dan rahmatnya sehingga aku
sampai juga pada titik ini
Hasil kerja kerasku ini tidak terlepas dari orang-orang disekitarku
Kupersembahkan karya ini
Untuk orang yang selalu tidak lelah menyemangatiku, kedua orang tuaku
Bapak Untung Sutrisno dan Ibu Sri Bandi Wati serta saudaraku Pujo Prastiyo
Terima kasih atas segala dukungan dan motivasinya baik secara moril maupun
materil
Teman-teman dekatku Rifki Ananda Saputro, Dian Setiawan, Fransiskus Afrie
Adi Saputra, Fernando Nainggolan, Aldharin Rizky Akbar
Terima kasih atas segala masukan dan semangatnya
Kemudian untuk teman-teman seperjuangan Teknik Sipil Unila 2010 yang
tidak dapat tersebutkan namanya
Terima kasih banyak untuk semuanya
SANWACANA
Puji syukur mutlak milik Allah swt. karena atas rahmat, karunia, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS PERILAKU
GIRDER BETON PRATEGANG BERDASARKAN PELAKSANAAN
PEMASANGAN GIRDER JEMBATAN“ sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknik Sipil di Universitas Lampung.
Pada penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan, dukungan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak. Prof. Dr. Suharno, M.Sc. selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Lampung.
2. Bapak Ir. Idharmahadi Adha, M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Lampung sekaligus sebagai Dosen Penguji Kerja Praktik.
3. Bapak Suyadi, S.T., M.T. selaku Dosen Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.
skripsi ini.
6. Bapak Ir. Ahmad Zakaria, M.T., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Akademik. 7. Seluruh Dosen Jurusan Teknik Sipil yang telah membimbing dan
memberikan ilmu yang bermanfaat.
8. Kedua orang tuaku Bapak Untung Sutrisno dan Ibu Sri Bandi Wati tercinta dan adikku Pujo Prastiyo yang sudah menjadi charger dalam mengisi semangatku.
9. Teman-teman Teknik Sipil khususnya angkatan 2010 yang sudah banyak membantu dan memberi semangat.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun di kemudian hari. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bandar Lampung, Agustus 2014 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...i
DAFTAR TABEL ...iii
DAFTAR GAMBAR ...vi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1
B. Rumusan Masalah ...2
C. Batasan Masalah ...2
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Beton Prategang ...4
B. Konsep Beton Prategang ...4
C. Keuntungan Dan Kekurangan Beton Prategang ...7
D. Material Beton Prategang. ...7
E. Concrete Girder ...11
F. Sistem Pelaksanaan Pemasangan Girder Jembatan ...14
G. Tahap Pembebanan ...20
H. Perhitungan Struktur Beton Prategang ...21
B. Lokasi Penelitian ...33
C. Data Penelitian ...33
D. Prosedur Penelitian ...38
E. Kerangka Penelitian ...39
BAB III. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Penyajian Data ...40
B. Pengolahan Data ...44
C. Analisis Struktur ...65
D. Pembahasan ...133
BAB III. PENUTUP A. Kesimpulan ...139
B. Penutup ...140 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kawat-kawat untuk beton prategang...8
Tabel 2.2 Strand standar 7 kawat untuk beton prategang ...8
Tabel 2.3 Spesifikasi strand 7 kawat ...10
Tabel 2.4 Nilai��ℎ untuk komponen struktur post tension ...27
Tabel 2.5 Nilai Kre dan J ...28
Tabel 2.6 Nilai C ...28
Tabel 2.7 Koefisien wobble dan kelengkungan ...29
Tabel 3.1 Tata letak tendon PCI girder ...35
Tabel 3.2 Tata letak tendon box girder ...37
Tabel 4.1 Jumlahdanposisi tendon padaPCI girder ...41
Tabel 4.2 Jumlahdanposisi tendon padabox girder ...42
Tabel 4.3 Perhitungan karakteristik penampang PCI girder ...45
Tabel 4.4 Perhitungan karakteristik penampang box girder ...47
Tabel 4.5 Perhitungan berat sendiri struktur PCI girder...49
Tabel 4.6 Perhitungan beban mati tambahan PCI girder ...49
Tabel 4.7 Perhitungan kombinasi beban PCI girder ...56
Tabel 4.8 Perhitungan berat sendiri struktur box girder ...57
Tabel 4.9 Perhitungan beban mati tambahan box girder ...57
Tabel 4.11 Perhitungan lintasan inti tendon PCI girder sistem full span ...67
Tabel 4.12 Perhitungan posisi inti tendon pada PCI girdersistem full span ...68
Tabel 4.13 Perhitungan karakteristik penampang komposit PCI girder...79
Tabel 4.14 Hasil perhitungan momen kantilever PCI girder ...84
Tabel 4.15 Perhitungan gaya prategang awal pada tendon kantilever ...84
Tabel 4.16 Perhitungan kebutuhan tendon kantilever PCI girder ...86
Tabel 4.17 Perhitungan daerah batas eksentrisitas tendon PCI girder ...88
Tabel 4.18 Perhitungan posisi tendon pada PCI girder sistem balanced cantilever ...89
Tabel 4.19 Perhitungan tegangan pada PCI girder tahap kantilever ...95
Tabel 4.20 Data tendon kantilever box girder ...100
Tabel 4.21 Perhitungan lintasan inti tendon box girder sistem balanced cantilever ...101
Tabel 4.22 Perhitungan posisi tendon pada box girder sistem balanced cantilever ...102
Tabel 4.23 Kebutuhan profil baja konstruksi tumpuan sementara ...107
Tabel 4.24 Perhitungan momen kantilever box girder pada tumpuan pier tengah ...109
Tabel 4.25 Perhitungan momen kantilever box girder pada tumpuan sementara ...110
Tabel 4.26 Perhitungan gaya prategang awal tendon kantilever box girder pada tumpuan pier tengah ...110
Tabel 4.28 Perhitungan tegangan pada box girder tahap kantilever pada tumpuan
pier tengah ...120
Tabel 4.29 Perhitungan tegangan pada box girder tahap kantilever pada tumpuan sementara...120
Tabel 4.30 Perhitungan daerah batas eksentrisitas tendon box girder ...125
Tabel 4.31 Perhitungan posisi inti tendon box girder sistem full span ...126
Tabel 4.32 Posisi inti tendon PCI girder ...134
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan infrastruktur yang merupakan bidang sipil umumnya menggunakan berbagai konstruksi seperti beton bertulang, baja, kayu, dan bahan lainnya. Umumnya bangunan-bangunan besar membutuhkan dimensi konstruksi yang besar agar mengimbangi beban yang diterima. Dengan dimensi yang besar tentunya konstruksi sudah harus memikul beban yang cukup besar hanya akibat beban sendiri.
Kehadiran beton prategang menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Dalam konstruksi bangunan beton prategang memiliki kelebihan dibandingkan beton bertulang biasa. Dilihat dari segi dimensi, untuk bentang yang sama penampang beton prategang lebih kecil dibanding beton bertulang biasa. Hal ini mempengaruhi dalam hal penghematan bahan beton. Salah satu contoh, pada konstruksi bangunan jembatan untuk beton bertulang biasa sebagai girder
jembatan dibatasi pada panjang bentang tertentu. Dengan menggunakan girder
jembatan dari beton prategang maka dapat digunakan pada jembatan bentang panjang.
erection girder jembatan yang umum digunakan. Sistem yang pertama, erection
girder jembatan dilakukan langsung satu bentang penuh pada tumpuan, atau biasa
disebut dengan sistem full span. Sistem yang kedua, erection girder jembatan dilakukan tiap segmen langsung pada tumpuan, dimana penggabungan antar segmen girder dilakukan di atas sehingga membentuk sistem kantilever, dan biasa disebut dengan sistem balanced cantilever.
Beberapa perlakuan sistem pelaksanaan pemasangan girder jembatan tersebut tentunya menimbulkan perbedaan perilaku struktur. Oleh karena itu, akan dilakukan analisis struktur girder jembatan berdasarkan tiap sistem pelaksanaan pemasangan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas maka dapat dilihat permasalahan yang akan dicoba untuk diselesaikan yaitu terkait adanya beberapa sistem pelaksanaan pemasangan girder jembatan sehingga menimbulkan perilaku struktur yang berbeda.
C. Batasan Masalah
Dalam hal ini masalah dibatasi pada hal-hal berikut.
1. Analisis perilaku girder jembatan akibat 2 sistem pelaksanaan pemasangan yaitu sistem full span dan sistem balanced cantilever.
2. Analisisstruktur girder jembatan dilakukan pada PCI girder dan box girder.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis perilaku struktur girder beton prategang akibat pelaksanaan pemasangan girder jembatan.
2. Menghitung tegangan pada penampang girder.
3. Menentukan lintasan tendon akibat pelaksanaan pemasangan girder jembatan.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perilaku struktur girder beton prategang akibat pelaksanaan pemasangan girder jembatan.
2. Untuk mengetahui distribusi tegangan pada penampang girder.
3. Untuk mengetahui lintasan tendon akibat pelaksanaan pemasangan girder
jembatan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definifisi Beton Prategang
Beton prategang adalah beton yang mengalami tegangan internal dengan besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban eksternal. (ACI)
Dalam definisi lain, beton prategang merupakan beton bertulang yang telah diberikan tegangan tekan dalam untuk mengurangi tegangan tarik potensial dalam akibat beban kerja. (SNI 03-2847-2002)
Beton prategang juga dapat didefinisikan sebagai beton dimana tegangan tariknya pada kondisi pembebanan tertentu dihilangkan atau dikurangi sampai batas aman dengan pemberian gaya tekan permanen, dan baja prategang yang digunakan untuk keperluan ini ditarik sebelumbeton mengeras (pratarik) atau setelah beton mengeras (pascatarik).
B. Konsep Beton Prategang
1. Konsep Dasar
keinginannya, sedangkan beton prategang mengkombinasikan beton berkekuatan tinggi dan baja mutu tinggi dengan cara-cara “aktif”. Hal ini dicapai dengan cara menarik baja tersebut dan menahannya ke beton, jadi membuat beton dalam keadaan tertekan. Kombinasi aktif ini menghasilkan perilaku yang lebih baik dari kedua bahan tersebut. Baja adalah bahan yang liat dan dibuat untuk bekerja dengan kekuatan tarik yang tinggi oleh prategang. Beton adalah bahan yang getas dan kemampuannya menahan tarikan diperbaiki dengan memberikan tekanan, sementara kemampuannya menahan tekanan tidak dikurangi. Jadi beton prategang merupakan kombinasi yang ideal dari dua buah bahan modern berkekuatan tinggi. 2. Sistem Pemberian Prategang
Ada 2 jenis metode pemberian gaya prategang pada beton, yaitu : a. Pemberian Pratarik (Pretension)
Pada metode pratarik, tendon ditarik sebelum beton dicor. Setelah beton cukup keras tendon dipotong dan gaya prategang akan tersalur ke beton melalui lekatan. Metode ini sangat cocok bagi produksi massal. Baja prategang diberi pratarik terhadap pengangkeran independen sebelum pengecoran beton di sekitarnya. Sebutan pratarik berarti pemberian pratarik pada baja prategang, bukan pada baloknya. Pemberian pratarik biasanya dilakukan di lokasi pembuatan beton pracetak. Penggambaran sistem pemberian pratarik dapat dilihat pada Gambar 2.1.
b. Pemberian Pascatarik (Post Tension)
Pada metode pascatarik, tendon ditarik setelah beton dicor. Sebelum pengecoran dilakukan terlebih dahulu dipasang selongsong untuk alur dari tendon. Setelah beton jadi, tendon dimasukkan ke dalam beton melalui selebung tendon yang sebelumnya sudah dipasang ketika pengecoran. Penarikan dilakukan setelah beton mencapai kekuatan yang diinginkan sesuai dengan perhitungan. Setelah penarikan dilakukan maka selongsong diisi dengan bahan grouting. Proses pemberian prategang metode pascatarik dapat dilihat pada Gambar 2.2.
(a) Pengecoran dan pemasangan selubung tendon
(b) Proses stressing tendon sekaligus grouting
C. Keuntungan dan Kekurangan Beton Prategang
Keuntungan beton prategang, sebagai berikut:
1. Seluruh penampang beton prategang menjadi efektif, sedangkan pada beton bertulang biasa hanya diatas garis netral saja yang efektif.
2. Struktur beton prategang lebih ramping.
3. Struktur beton prategang tidak retak akibat beban kerja. 4. Lendutan yang lebih kecil.
5. Daya tahan terhadap karat lebih baik.
6. Penggunaan bahan yang lebih sedikit karena menggunakan bahan mutu tinggi.
Kekurangan beton prategang, sebagai berikut :
1. Diperlukan kontrol yang lebih ketat dalam proses pembuatan. 2. Kehilangan tegangan pada pemberian gaya prategang awal. 3. Diperlukan biaya tambahan untuk pengangkutan.
D. Material Beton Prategang
1. Beton
Beton yang dipakai pada beton prategang umumnya mempunyai kuat tekan 28-55 MPa pada umur 28 hari (benda uji silinder). Nilai slump berkisar 50-100 mm dengan faktor air semen ≤ 0,45.
2. Baja Prategang
tegangan sisa yang dapat menahan gaya prategang yang dibutuhkan. Kehilangan prategang normal dapat diperkirakan di dalam selang 241 sampai 414 MPa. Karena itu, prategang awal harus sangat tinggi, sekitar 1241 sampai 1517 MPa.
Baja prategang dapat berbentuk kawat-kawat tunggal, strand yang terdiri dari atas beberapa kawat yang dipuntir membentuk elemen tunggal dan batang-batang bermutu tinggi.
Tabel 2.1 Kawat-kawat untuk beton prategang (Nawy,2001)
Diameter nominal (in.)
Kuat tarik minimum (psi) Tegangan minimum pada ekstensi 1 % (psi) Tipe BA Tipe WA Tipe BA Tipe WA
0,192 250.000 212.500
0,196 240.000 250.000 204.000 212.500
0,25 240.000 240.000 204.000 204.000
0,276 235.000 235.000 199.750 199.750
Sumber : Post-Tensioning Institute
Tabel 2.2 Strand standar 7 kawat untuk beton prategang (Nawy,2001) Diameter
nominal strand
(in.) Kuat patah strand (min. lb) Luas baja nominal
strand (in.2)
Berat nominal
strand
(lb/1000 ft)*
Beban minimum pada ekstensi 1
% (lb)
Mutu 250
1/4(0,250) 9.000 0,036 122 7.650
5/16(0,313) 14.500 0,058 197 12.300
3/8(0,375) 20.000 0,08 272 17.000
7/16(0,438) 27.000 0,108 367 23.000
1/2(0,500) 36.000 0,144 490 30.600
3/5(0,600) 54.000 0,216 737 45.900
Mutu 270
3/8(0,375) 23.000 0,058 290 19.550
7/16(0,438) 31.000 0,115 390 26.350
1/2(0,500) 41.300 0,153 520 35.100
3/5(0,600) 58.600 0,217 740 49.800
*100.000 psi = 689,5 MPa 1000 lb = 4448 N
Baja (tendon) yang dipakai untuk beton prategang dalam prakteknya ada tiga macam, yaitu :
1) Kawat tunggal (wire) (Gambar 2.3 (a)), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton prategang dengan sistem pratarik (pretension).
2) Kawat untaian (strand) (Gambar 2.3 (b)), biasanya digunakan untuk baja
prategang pada beton pratengang dengan sistem pascatarik (post tension).
3) Kawat batangan (bar) (Gambar 2.3 (c)), biasanya digunakan untuk baja
prategang pada beton prategang dengan sistem pratarik (pretension).
(a) Kawat tunggal (wire) (b) Untaian kawat (strand)
(c) Baja batangan (bar)
Kawat tunggal yang dipakai untuk beton prategang adalah yang sesuai dengan spesifikasi seperti ASTM A 421. Untaian kawat (strand) banyak digunakan untuk beton prategang dengan sistem pasca tarik. Untaian kawat yang dipakai harus memenuhi syarat seperti yang terdapat ASTM A 416. Untaian kawat yang banyak digunakan adalah untaian tujuh kawat. Gambar penampang strand 7 kawat dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Strand 7 kawat Tabel 2.3 Spesifikasi strand 7 kawat
Ø Nominal (mm) Luas Nominal mm2 Kuat Putus (kN)
6,35 23,22 40
7,94 37,42 64,5
9,53 51,61 89
11,11 69,68 120,1
12,70 92,9 160,1
15,24 139,35 240,2
3. Grouting
Grouting dibutuhkan sebagai bahan pengisi selubung baja prategang (tendon)
untuk metode pasca tarik. Untuk metode pratarik tidak dibutuhkan selubung sehingga tidak dibutuhkan grouting. Selubung terbuat dari logam yang digalvanisir. Bahan grouting berupa pasta semen.
4. Temporary Tendon
Temporary tendon atau tendon sementara hanya digunakan pada girder jembatan
sampai seluruh segmen girder terpasang. Kemudian baru dimasukkannya tendon permanen untuk pelaksanaan stressing. Penggunaan temporary tendon pada
girder jembatan dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Temporary tendon
E. Concrete Girder
1. PC Voided Slab
Precast Concrete Voided slab merupakan girder jembatan yang menggabungkan
fungsi girder sekaligus slab. Girder jenis ini biasanya digunakan pada jembatan berbentang pendek. Gambar PC Voided slab dapat dilihat pada Gambar 2.6.
2. Box Girder
Box girder merupakan bentuk girder yang paling baik untuk pekerjaan jembatan,
karena box girder memiliki keuntungan unik tersendiri dari bentuk girder lainnya.
Box girder dalam spesifikasi produksi tidak memiliki batasan panjang bentang.
Dalam proses tahapan pekerjaan, box girder terlebih dahulu mengalami proses
erection, dan diangkat per-segmental. Bentuk box girder cukup memenuhi nilai
estetika pada bangunan jembatan sehingga penggunaannya mampu menambah keindahan kota. Gambar box girder dapat dilihat pada Gambar 2.7, hal 13.
Gambar 2.7 Box girder
3. PCI Girder
Precast Concrete I girder merupakan bentuk yang paling banyak digunakan untuk
pekerjaan balok jembatan. Profil PCI girder berbentuk penampang I dengan penampang bagian tengah lebih langsing dari bagian pinggirnya. PCI girder
memiliki penampang yang kecil dibandingkan jenis girder lainnya, sehingga biasanya dari hasil analisa merupakan penampang yang ekonomis.PCI girder juga memiliki berat sendiri yang relatif lebih ringan per unitnya. Gambar PCI girder
Gambar 2.8 PCI girder
4. PCU Girder
Precast Concrete U girder merupakan bentuk / konsep baru yang mulai
dipopulerkan belakangan ini. PCU girder merupakan bentuk box girder dalam bentuk dan ukuran yang lebih kecil. Tidak seperti PCI girder yang langsing, PCU
girder memiliki bentuk badan yang lebih lebar namun pada bagian tengah bentang
penampangnya cukup langsing. Bentuk PCU girder yang mirip dengan box girder
cukup memenuhi nilai estetika jika dibandingkan dengan PCI girder yang kaku dan terlalu tegas. Gambar PCU girder dapat dilihat pada Gambar 2.9.
F. Sistem Pelaksanaan Pemasangan Girder Jembatan
Terdapat beberapa sistem yang digunakan dalam pelaksanaan pemasangan
(erection) balok jembatan. Dua diantaranya yaitu sistem full span dan sistem
balanced cantilever.
1. Sistem Full Span
Yang dimaksud dengan sistem full span yaitu dimana pemasangan balok jembatan pada tumpuan langsung satu bentang. Pada metode ini segmen yang diangkat adalah satu segmen penuh untuk satu bentang. Karena itu metode ini hanya cocok untuk jembatan dimana jarak antar tumpuannya tidaklah besar. Hal ini mengantisipasi berat sendiri balok jembatan yang besar jika untuk bentang yang panjang, sehinggga kapasitas alat berat tidak mampu mengangkut balok jembatan.
Berdasarkan jenis alat berat yang digunakan, terdapat beberapa jenis metode dalam sistem full span sebagai berikut :
a. Portal hoise
Gambar 2.10Portal hoise
b. Mobile Crane
Metode erection dengan mobile crane yang menggunakan alat utama mobile
crane baik wheel atau crawler crane dua (unit). Dengan pemakaian dua mobile
crane maka diperlukan koordinasi sempurna antar operator dan keahlian yang
tinggi untuk menghasilkan manuver yang tepat. Penggunaan mobile crane untuk
erection girder ini akan efektif bila kondisi ruang besar/luas dengan pekerjaan
yang kontinyu tanpa idle karena sistem sewa perjam yang tinggi. Metode erection
girder menggunakan mobile crane dapat dilihat pada Gambar 2.11.
c. Launcer truss
Metode erection ini menggunakan alat berat berupa alat launcher / rangkaian truss
baja dan alat angkat berupa mesin gantry crane. Alat ini memiliki kesamaan dengan portal hoise yaitu penggunaan ruang yang optimal sehingga efektif juga untuk dilaksanakan. Namun menjadi tidak efisien karena dibutuhkan biaya yang besar untuk pembuatan tumpuannya baik berupa kolom sementara ataupun tumpuan tiang di atas pier head. Penggunaan ruang yang sesuai tidak akan mengganggu aktivitas proyek maupun lingkungan apabila alat tersebut diletakkan diatas pier head. Tetapi pembuatan tumpuan diatas pier head akan merubah kondisi pier head rencana. Alat tersebut tidak bergerak bebas dan pemindahannya pun beresiko tinggi serta memakan waktu yang lama. Metode erection girder
menggunakan launcerr truss dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Launcer truss
2. Sistem Balanced Cantilever
balok. Sehingga pemberian prategang juga dilakukan di atas. Sistem ini disebut kantilever karena selama proses pemasangan balok atau girder jembatan berfungsi sebagai kantilever. Sistem ini dilakukan biasanya pada girder jembatan berpenampang besar seperti box girder. Sehingga berat sendiri balok yang besar dimungkinkan untuk alat berat tidak mampu mangangkat balok secara keseluruhan satu bentang.
Pada sistem ini diperlukan kabel prestress khusus yaitu temporary tendon untuk pemasangan tiap segmen. Kabel prestress ini hanya berfungsi pada saat erection
saja, sedangkan untuk menahan beban permanen diperlukan kabel prestress
tersendiri.
Kelebihan dan kelemahan sistem balanced cantilever
a. Kelebihan sistem balanced cantilever
secara balanced cantilever diterapkan untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan seperti ini.
b. Kelemahan sistem balanced cantilever
Sistem ini membutuhkan perletakan yang lebih besar dibandingkan dengan struktur komposit. Karena itu metode balanced cantilever kurang menarik khususnya saat pondasi cuma berkualitas sedang saja atau karena lapangan pekerjaan berada pada daerah gempa. Kelemahan lain proses pengerjaan jembatan yang lebih rumit, karena membutuhkan banyak peralatan berteknologi tinggi. Dan kebanyakan peralatan yang digunakan mempunyai ukuran yang sangat besar, karena itu untuk membawanya ke lokasi pekerjaan agaklah susah.
Terdapat beberapa jenis metode konstruksi untuk sistem balanced cantilever ini, diantaranya :
a. Metode balanced cantilever dengan launching gantry
Pada metode ini digunakan satu buah gantry atau lebih yang digunakan sebagai peluncur segmen girder yang ada. Metode balanced cantilever menggunakan
launching gantry dapat dilihat pada Gambar 2.13.
b. Metode balanced cantilever dengan rangka pengangkat (lifting frame)
Pada dasarnya metode ini hampir sama dengan metode launching gantry. Perbedaaannya cuma pada jenis alat yang digunakan untuk mengangkat segmen
girder jembatannya. Gambar lifting frame dapat dilihat pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Lifting frame
c. Metode balanced cantilever dengan crane
Pada sistem ini digunakan crane untuk mengangkat tiap segmen girder jembatan. Metode balanced cantilever menggunakan crane dapat dilihat pada Gambar 2.15.
d. Metode balanced cantilever dengan form traveler
Metode ini digunakan untuk pengecoran beton di tempat (insitu). Pada metode ini digunakan form traveler yang digunakan sebagai alat untuk membetuk segmen segmen jembatan sesuai kebutuhan. Metode balanced cantilever menggunakan
form traveler dapat dilihat pada Gambar 2.16.
Gambar 2.16 Form traveler
G. Tahap Pembebanan
Tidak seperti pada perencanaan beton bertulang biasa, pada perencanaan beton prategang ada dua tahap pembebanan yang harus dianalisa. Pada setiap tahap pembebanan harus selalu diadakan pengecekan atas kondisi pada bagian yang tertekanmaupun bagian yang tertarik untuk setiap penampang. Dua tahap pembebanan pada beton prategang yaitu tahap transfer dan tahap layan (service). 1. Tahap Transfer
pada saat beton sudah cukup umur dan dilakukan penarikan kabel prategang. Pada saat ini beban yang bekerja hanya berat sendiri struktur, beban pekerja dan peralatan, sedangkan beban hidup belum bekerja sepenuhnya, jadi beban yang bekerja sangat minimum. Sementara gaya prategang yang bekerja adalah maksimum karena belum ada kehilangan gaya prategang.
2. Tahap Layan
Setelah beton prategang digunakan atau difungsikan sebagai komponen struktur, maka mulailah masuk ke tahap service atau tahap layan dari beton prategang tersebut. Pada tahap ini beban luar seperti live load, angin, gempa, dan lain-lain mulai harus bekerja, dan pada tahap ini semua kehilangan gaya prategang sudah harus dipertimbangkan di dalam analisa strukturnya.
H. Perhitungan Struktur Beton Prategang
1. Tegangan Pada Penampang Beton Prategang
Prinsip dasar beton prategang dimaksudkan memaksimalkan sifat beton yang kuat dalam menerima gaya tekan. Pada kasus sederhana untuk balok beton berpenampang persegi dengan perletakan sendi-rol. Tegangan pada penampang beton akibat berat sendiri, untuk serat atas mengalami tekan dan untuk serat bawah mengalami tarik. Kehadiran pemberian prategang pada beton bertujuan untuk menghilangkan serat tarik pada penampang bahkan menjadikannya serat tekan.
Gambar distribusi tegangan pada penampang balok dengan diberikannya gaya prategang sebesar P pada pusat penampang (konsentris) dapat dilihat pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17 Distribusi tegangan pada penampang
Misalnya gaya prategang sebesar Pdengan eksentrisitas e diberikan pada beton sehingga menimbulkan tegangan sebesar :
�
=
−
�
�
±
�
. .
�
�
Dengan :
σ = Tegangan (MPa) P = Gaya prategang (N) A = Penampang beton (mm2)
e = Jarak titk pusat tendon dengan sumbu netral penampang beton (mm) y = Jarak sumbu netral penampang beton dengan serat terluar (mm) I = Inersia penampang beton (mm4)
Dan jika momen yang diakibatkan baik akibat sendiri maupun beban lain sebesar M, maka timbul tegangan pada penampang beton sebesar :
-Dengan :
σ = Tegangan (MPa) M = Momen (Nmm)
I = Inersia penampang beton (mm4)
Sehingga tegangan maksimum pada serat penampang dapat dihitung dengan rumus :
�= −� �±
�. .�
� ±
.� �
2. Tegangan Izin pada Beton Prategang (SNI 03-2847-2002)
Tegangan beton sesaat sesudah penyaluran gaya prategang (sebelum terjadinya kehilangan tegangan sebagai fungsi waktu) tidak boleh melampaui nilai berikut: a. Tegangan serat tekan terluar 0,60fci
b. Tegangan serat tarik terluar (1/ 4) ′
c. Tegangan serat tarik terluar pada ujung-ujung komponen struktur di atasperletakan sederhana (1/ 2) ′
Bila tegangan tarik terhitung melampaui nilai tersebut di atas, maka harus dipasang tulangan tambahan (non-prategang atau prategang) dalam daerah tarik untuk memikul gaya tarik totaldalam beton, yang dihitung berdasarkan asumsi suatu penampang utuh yang belum retak.
Tegangan beton pada kondisi beban layan (sesudah memperhitungkan semua kehilangan prategang yang mungkin terjadi) tidak boleh melampaui nilai berikut: a. Tegangan serat tekan terluar akibat pengaruh prategang, beban mati danbeban
hidup tetap 0,45f’c
c. Tegangan serat tarik terluar dalam daerah tarik yang pada awalnya mengalami tekan (1/ 2) ′
d. Tegangan serat tarik terluar dalam daerah tarik yang pada awalnya mengalami tekan dari komponen-komponen struktur (kecuali pada sistem pelatdua-arah), dimana analisis yang didasarkan pada penampang retak transformasi dan hubungan momen-lendutan bilinier menunjukkan bahwa lendutan seketika dan lendutan jangka panjang memenuhi persyaratan, dan dimana persyaratan selimut beton memenuhi ′
Tegangan tarik pada tendon prategang tidak boleh melampaui nilai berikut:
a. Akibat gaya pengangkuran tendon 0,94 fpy, tetapi tidak lebih besar dari nilai terkecil dari 0,80 fpu dan nilai maksimum yang direkomendasikan oleh pabrik pembuat tendon prategang atau perangkat angkur.
b. Sesaat setelah penyaluran gaya prategang 0,82 fpy, tetapi tidak lebih besar dari 0,74 fpu.
c. Tendon pasca tarik, pada daerah angkur dan sambungan, segera setelah penyaluran gaya0,70 fpu.
3. Kehilangan Prategang
Gaya prategang awal yang diberikan ke elemen beton akan mengalami proses reduksi yang progresif selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian, tahapan gaya prategang perlu ditentukan pada setiap tahap pembebanan, dari tahap transfer gaya prategang ke beton, sampai berbagai tahap prategang yang terjadi pada kondisi beban kerja, hingga mencapai ultimit.
Berikut jenis-jenis kehilangan prategang yang perlu diperhitungkan : a. Perpendekan elastis beton
Ketika gaya prategang disalurkan ke beton, maka beton akan menerima tekanan dan memendek sehingga terjadi pengenduran pada beton. Beton memendek pada saat gaya prategang bekerja padanya. Karena tendon yang melekat pada beton di sekitarnya secara simultan juga memendek, maka tendon tersebut akan kehilangan sebagian dari gaya prategang yang dipikulnya.
Regangan tekan pada beton akibat prategang harus sama dengan pengurangan regangan pada baja, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :
� = ∆�� = ∆�
�
∆ �= � = n
Dengan :
fc = tegangan pada beton setelah penyaluran tegangan dari tendon
berlangsung.
∆ � merupakan tegangan tendon awal fsi dikurangi dengan tegangan tendon setelah
penyaluran fs, dapat dilihat pada rumus berikut :
Apabila Po adalah gaya awal tendon dan Pf adalah gaya sesudahnya maka :
Po– Pf = n�� Aps
Po = n�
� Aps + Pf
Po = Pf �� � + 1 = �� � � +�
Po = � � +�
= �
� + � � diperkirakan sama dengan
� �
Sehingga:
∆ �= n = ��
Untuk beban eksentris,fc= -�� ±�
. .�
� ±
.�
�
Dengan :
M = momen akibat berat sendiri
Berhubung yang dihitung adalah tegangan pada pusat tendon maka nilai y = e. b. Rangkak dalam beton
Rangkak merupakan deformasi yang terjadi pada beton dalam keadaan tertekan akibat beban mati permanen. Deformasi atau regangan yang berasal dari perilaku yang bergantung pada waktu ini merupakan fungsi dari besarnya beban yang bekerja, lamanya, serta sifat beton yang meliputi proporsi campurannya, kondisi perawatannya, umur elemen pada saat dibebani pertama kali, dan kondisi lingkungan.Kehilangan tegangan pada tendon akibat rangkak pada beton sebesar
∆ � = Ct n fc
Dengan :
Ct = 2 untuk struktur pre tension
Ct = 1,6 untuk struktur post tension
fc = tegangan pada beton yang melekat pada titik berat tendon akibat gaya
c. Susut dalam beton
Susut merupakan perubahan volume pada beton. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya susut dalam beton meliputi proporsi campuran, tipe agregat, tipe semen, waktu perawatan, waktu antara akhir perawatan eksternal dan pemberian prategang, ukuran komponen struktur dan kondisi lingkungan. Kehilangan tegangan pada tendon dapat dihitung menggunakan rumus berikut :
��ℎ= 8,2.10-6 (1- 0,06 � )(100-RH)
Dengan :
��ℎ = regangan susut dalam beton
V = volume beton (dalam inch) S = luas permukaan beton RH = kelembaban relatif udara ∆fs = KshεshEs
Ksh = factor susut yang tergantung waktu
��ℎ = 1 untuk prategang pretension
Tabel 2.4 Nilai ��ℎ untuk komponen struktur post tension Selisih waktu antara
pengecoran dengan prategangan( hari)
1 3 5 7 10 20 30 60
��ℎ 0,92 0,85 0,80 0,77 0,73 0,64 0,58 0,45
d. Relaksasi dari tegangan baja
Relaksasi diartikan sebagai kehilangan dari tegangan tendon secara perlahan seiring dengan waktu dan besarnya gaya prategang yang diberikan dibawah regangan yang hampir konstan. Tendon mengalami kehilangan pada gaya prategang sebagai akibat dari perpanjangan konstan terhadap waktu.
Besarnya kehilangan tegangan pada baja akibat relaksasi baja prategang dapat dihitung dengan rumus:
Dengan :
∆fre = kehilangan tegangan akibat relaksasi baja prategang
Kre = Koefisien relaksasi
J = Faktor waktu
C = Faktor relaksasi yang besarnya tergantung pada jenis tendon ∆fSH = Kehilangan tegangan akibat susut
∆fC = Kehilangan tegangan akibat rangkak
∆fE = Kehilangan tegangan akibat perpendekan elastis beton
Tabel 2.5 Nilai Kre dan J (Nawy, 2001)
Jenis tendon KRE J
Kawat atau stress-relieved strand mutu 270 20.000 0,15 Kawat atau stress-relieved strand mutu 250 18.500 0,14 Kawat stress-relieved mutu 240 atau 235 17.600 0,13
Strand relaksasi rendah mutu 270 5000 0,04
Kawat relaksasi rendah mutu 250 4630 0,037
Kawat relaksasi rendah mutu 240 atau 235 4400 0,035 Batang stress-relieved mutu 145 atau 160 6000 0,05 Tabel 2.6 Nilai C (Nawy, 2001)
fsi/fpu Kawat atau strand stress-relieved
Kawat atau strand relaksasi rendah atau batang stress
relieved
0,8 1,28
0,79 1,22
0,78 1,16
0,77 1,11
0,76 1,05
0,75 1,45 1
0,74 1,36 0,95
0,73 1,27 0,9
0,72 1,18 0,85
0,71 1,09 0,8
0,7 1 0,75
0,69 0,94 0,7
0,68 0,89 0,66
0,67 0,83 0,61
0,66 0,78 0,57
0,65 0,73 0,53
Tabel 2.6 Nilai C (Nawy, 2001) (lanjutan)
0,63 0,63 0,45
0,62 0,58 0,41
0,61 0,53 0,37
0,6 0,49 0,33
e. Gesekan (Post tension)
Kehilangan ini terjadi akibat gesekan antara tendon dengan bahan sekitarnya (selubung tendon). Kehilangan ini langsung dapat diatasi dari penarikan tendon pada jack. Kehilangan prategang terjadi pada komponen struktur pascatarik (post
tension) yang dipengaruhi oleh besarnya sudut kelengkungan tendon.
Kehilangan prategang akibat gesekan dapat dihitung dengan rumus berikut : Ps = Po −�(�+� )
Dengan :
K = koefisien wobble
Po = Prategang awal
� = koefisien kelengkungan α = sudut kelengkungan tendon
Tabel 2.7 Koefisien wobbledan kelengkungan (Nawy,2001)
Jenis Tendon Koefisien wobble, K perfoot
Koefisien kelengkungan, μ
Tendon di selubung metal fleksibel
Tendon kawat 0,0010-0,0015 0,15-0,25
Strand 7 kawat 0,0005-0,0020 0,15-0,25
Batang mutu tinggi 0,0001-0,0006 0,08-0,3
Tendo di saluran metal yang rigid
Strand 7 kawat 0,0002 0,15-0,25
Tendon yang dilapisi mastic
Tendon kawat dan Strand 7 kawat 0,0010-0,0020 0,05-0,15
Tendon yang dilumasi dahulu
f. Slip angkur
Kehilangan akibat slip angkur terjadi pada struktur pascatarik yang diakibatkan adanya blok-blok pada angkur pada saat gaya pendongkrak ditransfer ke angkur. Sehingga tendon dapat tergelincir sedikit. Besarnya slip sekitar 2,5 mm.
Kehilangan prategang akibat slip angkur dapat dihitung dengan rumus berikut : ��= ∆�
∆ �= �� Es
∆ � =∆� Es
Dengan :
Δl = Slip rata-rata (2,5 mm) L = Panjang tendon (m)
Es = Modulus elastisitas tendon (MPa) 4. Tata Letak Tendon Prategang
Tegangan tarik pada serat beton yang terluar dari garis netral akibat beban layan tidak boleh melampaui nilai maksimum yang diizinkan oleh peraturan yang ada seperti pada SNI 03-2847-2002.Oleh karena itu perlu ditentukan daerah batas pada penampang beton dimana pada daerah tersebut gaya prategang dapat diterapkan pada penampang tanpa menyebabkan terjadi tegangan tarik pada serat beton.
Tegangan pada serat beton paling atas : fca = - �� + �
. .�
�
Dengan :
fca = tegangan pada serat atas
e = eksentrisitas tendon prategang Ac = luas penampang beton
r = �
� , r = jari-jari inersia
I = r2.Ac
fca = - �� + �
. .�
� = - �
� +
�. .�
2� =
�
� −1 +
.�
2
Agar tidak terjadi tegangan tarik pada serat atas maka fca = 0
−1 + .�2 = 0 r2 = e. ya
e = 2
�
Jadi agar tidak terjadi tegangan tarik pada serat atas maka batas bawah tendon prategang sebesar :
kb =
2
�
Tegangan pada serat beton paling bawah fcb = - �� - �
. .�
� = - �
� -
�. .�
2� =
�
� −1−
.�
2
Tegangan pada serat beton paling bawah = 0 −1− .�2 = 0 -e = 2
� (tanda negatip berarti e diatas garis netral)
Jadi agar tidak terjadi tegangan tarik pada serat bawah maka batas atas tendon prategang sebesar :
ka =
2
�
Apabila MD adalah momen akibat beban mati dan MT adalah momen akibat beban
mati dan beban hidup dan Po merupakan besar gaya prategang awal dan Peff merupakan besar gaya prategang efektif, maka :
Gambar 2.18 Daerah batas tendon pada saat transfer eb = amin + kb
amax =
� , terjadi pada saat beban layan (service load)
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif, karena hasil penelitian yang dilakukan berupa angka atau bilangan yaitu merupakan hasil analisis perilaku struktur suatu girder beton prategang. Peneliti menggunakan pendekatan tersebut dikarenakan akan melakukan perbandingan terhadap hasil penelitian, sehingga dengan angka atau bilangan lebih mudah.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat dilakukannya penelitian. Dalam hal ini, penelitian dilakukan di daerah Bandar Lampung.
C. Data Penelitian
Data penelitian menjelaskan mengenai objek yang akan diteliti. Objek dari penelitian ini yaitu PCI girder dan box girder. Untuk data PCI girder yang digunakan diambil dari proyek fly over Jl. Gajah Mada – Jl. Hi. Juanda, Bandar Lampung. Sedangkan untuk data box girder yang digunakan diambil dari proyek
Tabel 3.1 Tata letak tendon PCI girder
No. Tendon
No PC Strand Dia. 12,7 mm
Camble Coor
Profil (mm) Anchor Angle
Distance From Beam Edge (mm)
Edge Middle 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 15300
1 12 X 1400 200 8,71 1125 868 652 479 347 257 209 200
2 12 Y 1100 100 7,27 871 656 477 332 222 147 107 100
X 0 -150 0 0 0 0 0 -41 -82 -123 -150
3 12 Y 800 100 -36,66 724 561 424 310 221 156 116 103
X 0 150 0 0 0 0 41 82 123 150
4 12 X 250 100 -14,04 234 199 169 145 126 112 103 101
Gambar 3.2 Data box girder
T7 T8
POTONGAN ~ 4
SKALA 1 : 50 6.30 0.35
1.69 1.25 2.05 5.35 0.20 1.40 0.200.200.300.300.200.20 1.80
0.25 0.50 0.25 0.25 0.20 0.15
CL BOX GIRDER 17.00
2.0 % 2.0 %
W2 W1 T6
POTONGAN ~ 5
SKALA 1 : 50 6.30 0.35
1.69 1.25 2.05 5.35 0.25
0.25 0.251.060.70
W2 W1 W2 W1 T1 T2 T3 T5 T4 T6
W1 W2 0.44 T6 0.25 B6 0.250.25 B4 B3 0.20 B4 B3 B6 B6 B8 0.20 0.05 B6 B8 T8 T8 45,00 45,00
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B5 B4 B3 B2 B1 B7 B8 B9 B10 B11 B11 B10 B9 B8 B7
11 25 325 589 2050 13 36 15 50 17 00 325 15 0 300
18,00 27,00 27,00 18,00
15 0 300 11 25 325 150 1500 2500 1500 1500 1500 5000 5000 1500 1500 1500 2500 1500
T6 T5 T4 T3 T2+T8 T1+T7 700 10 60
1 2 3 4
5
SKEMATIK TENDON
CL BOX GIRDER
0.50 0.25 3.50 3.50 1.00 3.50 3.50 17.00
2.0 % 2.0 %
W1 W2
POTONGAN ~ 1
SKALA 1 : 50 6.30 0.35
1.69 1.25 2.05 5.35
W1 W2 1.12 0.32 0.25 0.47 0.50
CL BOX GIRDER
2.0 % 2.0 %
B1 B2 W1 W2
POTONGAN ~ 2
SKALA 1 : 50 6.30 0.35
1.69 1.25 2.05 5.35 0.72 0.56 0.79 0.25 B50.25 0.25 0.25 B1B2 B5 0.15 0.40 0.25 0.30 0.31
CL BOX GIRDER 17.00
2.0 % 2.0 %
B1 B2 B3 B4 B5 B7
W2 W1
0.50
POTONGAN ~ 3
SKALA 1 : 50 6.30 0.35
1.69 1.25 2.05 5.35
B1B2 B3 B4 B5 B7
0.200.200.200.200.20 0.200.20 0.15 0.15 W2 W1 0.25 0.25 0.25 0.50
CL BOX GIRDER 17.00
2.0 % 2.0 %
0.50
W2 W1T1 T2 T3 T5 T4 T6 T7 T8
Tabel 3.2 Tata letak tendon box girder
No. Tendon
Jumlah strand dia.15,2 mm
Jarak dari tepi (mm) 0 18000 45000
W1 44 1450 300 2050
W2 44 1125 150 1900
B1 44 - 150 -
B2 44 - 150 -
B3 44 - 150 -
B4 44 - 150 -
B5 44 - 150 -
B6 44 - 150 -
B7 44 - 150 -
B8 44 - 150 -
T1 44 - - 2050
T2 44 - - 2050
T3 44 - - 2050
T4 44 - - 2050
T5 44 - - 2050
T6 44 - - 2050
T7 44 - - 2050
D. Prosedur Penelitian
Berikut prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini : 1. Menyiapkan data penelitian.
2. Melakukan studi literatur.
3. Mengolah data penelitian untuk digunakan pada perhitungan, diantaranya : a. Menghitung pembebanan.
b. Menghitung titik berat penampang, luas penampang, dan inersia penampang girder.
4. Melakukan analisis struktur girder beton prategang pada PCI girder dan box
girder akibat pelaksanaan pemasangan girder jembatan :
a. Menentukan lintasan tendon. b. Menghitung gaya prategang. c. Menghitung kehilangan prategang.
d. Menghitung tegangan pada penampang girder.
E. Kerangka Penelitian
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini dapat dilihat pada flow chart
berikut:
Gambar 3.3 Diagram alir penelitian Mulai
Penyiapan data
Analisis struktur Menentukan lintasan tendon Menghitung gaya prategang Menghitung tegangan
Sistem full span
(PCI girder dan box girder)
Sistem balanced cantilever
(PCI girder dan box girder)
Perbandingan perilaku girder
Perbedaan lintasan tendon
Pembahasan
Selesai Studi literatur
BAB V. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diambil setelah melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan perilaku struktur girder beton prategang akibat pelaksanaan pemasangan girder jembatan yaitu pada lintasan inti tendon. 2. Pada sistem full span, posisi inti tendon sebagian besar terletak di bawah garis
netral penampang, sedangkan pada sistem balanced cantilever, posisi inti tendon selain di bawah garis netral penampang juga terdapat di atas garis netral.
3. Perbedaan lintasan inti tendon diakibatkan perbedaan posisi inti tendon pada tiap titik yang dipengaruhi oleh momen yang terjadi pada struktur girder. 4. Pada sistem full span, konstruksi girder jembatan didesain dalam satu
bentang dengan tumpuan sendi – rol, sedangkan pada sistem balanced
cantilever, konstruksi girder jembatan didesain sebagai bentang menerus.
Sehingga dari perbedaan desain konstruksi tersebut mengakibatkan perbedaan momen yang terjadi pada struktur girder.
6. Secara analisis struktur kedua sistem pelaksanaan pemasangan girder
jembatan tersebut aman untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis bahwa tegangan maksimum yang terjadi pada penampang girder baik saat transfer ataupun saat layan lebih kecil dari tegangan izin.
B. SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan setelah melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Diperlukan analisis perhitungan terhadap struktur girder sebelum dilakukannya erection sebagai kontrol tegangan yang terjadi pada penampang
girder baik saat transfer maupun saat layan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. PERENCANAAN JEMBATAN BRAWIJAYA KEDIRI MENGGUNAKAN
BOX GIRDER PRATEKAN DENGAN BENTANG TIDAK SIMETRIS.
(http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-27397-3107100703-Paper.pdf)
Hardwiyono, S., dkk. 2013. Perencanaan Ulang Struktur Atas Jembatan Gajah
Wong Yogyakarta dengan Menggunakan Box Girder. Semesta Teknika.
Yogyakarta.
Ilham, Noer. 2008. PERHITUNGAN BALOK PRATEGANG (PCI – GIRDER) JEMBATAN SRANDAKAN KULON PROGO D.I. YOGYAKARTA. MNI-EC. Yogyakarta
Ilham, Noer. 2008. PERHITUNGAN BOX GIRDER BETON PRESTRESS
GEJAYAN FLY OVER, YOGYAKARTA. MNI-EC. Yogyakarta
Lin, T. Y. & Burns, Ned. H. 2000. DESAIN STRUKTUR BETON PRATEGANG.
Binarupa Aksara. Jakarta.
Masnul, Cut Retno. 2009. ANALISA PRESTRESS (POST-TENSION) PADA
PRECAST CONCRETE U GIRDER “Studi Kasus Pada Jembatan Flyover
Amplas”. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Sipil USU. Sumatra Utara
Nawy, Edward G; alih bahasa, Bambang Suryoatmono. 2001. BETON
PRATEGANG SUATU PENDEKATAN MENDASAR. Erlangga. Jakarta
Sebayang, Surya. 2000. Diktat Ajar Beton Prategang. Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Sholeh, M Nur. 2013.
Sistem Kantilever (Balance Cantilever) Pada
Jembatan.
(http://nursholeh-sipil.blogspot.com/2013/10/sistem-kantilever-balance-cantilever.html)
Standard Nasional Indonbesia (SNI). 2005. Standar Pembebanan untuk Jembatan
Sutarja, Nyoman. 2008. PENGARUH RANGKAK, SUSUT, DAN RELAKSASI BAJA TERHADAP LENDUTAN BALOK JEMBATAN KOMPOSIT
BETON PRATEGANG. Jurusan Teknik Sipil Universitas Udayana.
Denpasar.
Universitas Lampung. 2013. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas