ABSTRAK
PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALURSprague
dawley
Oleh
FADIA NADILA
Kebakaran hutan merupakan salah satu sumber asap pembakaran bahan organik. Di Indonesia, seperti di pulau Sumatera sering terjadi akibat kegiatan manusia. Kebakaran hutan menghasilkan asap yang mempengaruhi kehidupan. Asap tersebut mengandung senyawa karbon monoksida (CO), zat partikulat, nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2) serta volatile organic compounds (VOCs) yang dapat mengiritasi mata. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi kornea tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galurSprague dawley.
Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Sprague dawley berumur 8 ̶ 10 minggu yang dibagi menjadi 5 kelompok secara acak dan diberi perlakuan selama 1 minggu. K(-) diberi aquades, P1 dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 1 jam, P2 selama 2 jam, P3 selama 3 jam dan P4 selama 4 jam.
Hasil penelitian menunjukan rerata jumlah lapisan epitel kornea pada K(-)=5; P1=5,6; P2=5,8; P3=6 dan P4=6,8. Data diuji dengan uji Kruskal Wallis dan didapatkan hasil tidak bermakna pada statistik dengan nilai p=0,552 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi kornea tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley, namun tidak bermakna secara statistik.
ABSTRACT
THE EFFECT OF SMOKE BURNING ORGANIC MATERIAL EXPOSURE IN DIFFERENCE DURATION ON THE CORNEAL HISTOPATHOLOGY WHITE RATS (Rattus norvegicus) MALESprague
dawleySTRAIN
By
FADIA NADILA
A wildfire is one of the source of smoke burning organic material. In Indonesia, such as in Sumatera often occurs wildfire caused by human activities. A wildfire brings out smoke that can affect life. The smoke consist of carbon monoxide (CO), particulate matter (PM), nitrogen oxide (NOx), sulfur dioxide (SO2) and volatile organic compounds (VOCs) which can irritate eyes. The purpose of this study is to find out the effect of smoke burning organic material exposure in difference duration on the corneal histopathology white rats (Rattus norvegicus) maleSprague dawleystrain.
This study used 25 rats and 8̶10 weeks aged white male rats (Rattus norvegicus) fromSprague dawleystrain, which divided into 5 groups randomly and treated for a week. Aquadest was given to K(-), smoke burning organic material exposure was given to P2 for 1 hour, P2 for 2 hours, P3 for 3 hours and P4 for 4 hours.
The result of this study showed the average of corneal layers epithellium of K(-)=5; P1=5.6; P2=5.8; P3=6; P4=6.8. The data was processed by Kruskal Wallis test and there is no statistically significant result with p=0.552 (p>0.05). The conclusion of this study, there is effect in difference duration effect of smoke burning organic material exposure on the corneal histopathology white rats (Rattus norvegicus) male Sprague dawley strain, but not statistically significant result.
PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALURSprague
dawley
Oleh
FADIA NADILA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabumi, Provinsi Lampung pada tanggal 28 April 1994,
sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari bapak Tirowali, SE dan ibu Dra.
Ribut Sri Utami, M.M.
Pendidikan Taman Kanak (TK) diselesaikan di TK Putra BSD Tangerang Selatan
pada tahun 1999, Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN Karya
Bakti 1 Kota Tangerang Selatan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama
(SMP) diselesaikan di SMPN 11 Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008, dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 2 Kota Tangerang
Selatan pada tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima di Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada Gen-C sebagai kabid
SCORA periode 2012 serta Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam dan Tanggap
Darurat Pakis Rescue Team (PMPATD Pakis Rescue Team) sebagai anggota
divisi Dana Usaha dan Logistik periode 2012-2013. Selama menjadi mahasiswa,
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT, kupersembahkan
karya sederhana ini kepada:
Kedua Orang tuaku yang selalu mengajari,
mendidik, mendukung, mendoakan dan selalu
membimbing dengan segenap kemampuan
serta keikhlasan...
Kakak ku Fakhmiyogi yang selalu memberi
semangat, saran dan memberikan inspirasi...
Keluarga besar yang mempercayai dan
mendukung segala kegiatanku...
Teman
̶
teman Kedokteran Universitas
Lampung angkatan 2011 yang kompak
melangkah bersama kedepan...
✁
tto
Kebajikan apa pun yang kamu peroleh
adalah dari sisi Allah SWT dan keburukkan
apa pun yang menimpamu adalah
(kesalahan) dirimu sendiri (QS.
An-Nisa :79).
Seseorang yang terjatuh kemudian ia
bangkit, lebih kuat dibanding yang tidak
SANWACANA
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT
yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa terhaturkan kepada junjungan kita,
Rasululloh SAW.
Skripsi dengan judul “PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP
PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN
HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR
Sprague dawley” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas
Lampung;
2. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung;
3. dr. Indri Windarti, Sp. PA., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya
untuk memberikan bimbingan, ilmu, saran, dan kritik dalam proses serta
4. dr. Muhartono, M.Kes, Sp. PA., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaan
memberikan bimbingan, ilmu, saran, dan kritik dalam proses serta
penyelesaian skripsi ini;
5. dr. M.Yusran, M. Sc, Sp. M., selaku Penguji Utama. Terima kasih atas waktu,
ilmu serta saran-saran yang telah diberikan;
6. dr. Ety Apriliana, M. Biomed., selaku Pembimbing Akademik atas motivasi,
perhatian, saran dan masukan selama ini;
7. Kepada Ibunda (Dra. Ribut Sri Utami, M.M), atas kiriman doa setiap saat dan
setiap sholat, kesabaran, keikhlasan, kasih sayang, perhatian, motivasi,
inspirasi dan segala sesuatu yang telah dan akan selalu diberikan kepada
penulis. Ayahanda (Tirowali, S.E) yang selalu memberikan doa, pelajaran
hidup, dan semangat berjuang yang tinggi. Kakak ku Fakhmiyogi yang
memberikan doa, saran, bantuannya serta seluruh keluarga lainnya, terima
kasih atas dukungan dan doa tanpa henti. Keinginan membahagiakan mereka
adalah motivasi terkuat untuk tetap bertahan dalam menyelesaikan penelitian
ini;
8. Kepada Ibu Jenny Bunanta dan Bapak Teddy Bunanta yang telah
memberikan doa, ilmu, motivasi serta inspirasi dalam penelitian ini;
9. Seluruh Staf dosen dan Staf karyawan FK Unila atas ilmu dan pengalaman
yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan dan motivasi
penulis;
10. Seluruh Staf TU, Administrasi dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang
11. Bapak Bayu selaku Asisten Laboratorium yang sudah memberikan saran,
motivasi dan membantu dalam proses pembuatan preparat histopatologi. Ibu
Lisa yang sudah memberikan motivasi dan bantuan dalam mempermudah
akses bertemu dengan pembimbing;
12. drh. Aulia Andi M, Msi, Mas Alyas dan Om Adi yang telah membantu dalam
penyediaan tikus, menjaga tikus untuk proses penelitian ini;
13. Kepada teman seperjuangan dan satu tim penelitian skripsi Tiara Anggraini
dan Rizky Bayu Ajie atas kebersamaan, keluh kesah, canda tawa, bantuan,
serta kerjasamanya sebelum, selama, dan setelah penelitian ini;
14. Sahabat dan saudara seperjuangan, Keluarga Pemuda-Pemudi Negeri, Fauzia
Andini, Fini Amalia, Lita Marlinda, Maradewi Maksum, M. Dwi Ario, Narita
Ekananda A.R, Nurul Chairunnisa, Novita Dwiswara P, Roseane M.V dan
Sabrine Dwigint yang telah membantu, menemani, menyemangati, berbagi di
segala hal disaat suka dan duka. Semoga persahabatan ini tetap terjaga
selamanya;
15. Dessy E.D, Nyimas F yang sudah menyemangati, serta memberikan
keceriaan sehingga beban penelitian lebih ringan;
16. Rekan kerja seperjuangan asisten dosen patologi anatomi Diah Septia
Liantari, I Gede Eka W, Muflikha Sofiana P, Tiara Anggraini, Rizky Bayu A,
Yolanda Fratiwi, Yuda Ayu K atas kerjasamanya selama ini;
17. Seluruh sahabat, teman angkatan 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu
atas kekompakan, canda tawa, maupun masalah selama 3,5 tahun yang telah
memberikan warna serta makna tersendiri. Semoga kebersamaan dan
18. Teman seperjuangan Sahabat Tikus dan Sahabat Mencit, Tiara, Baji, Yolci,
Lian, Gede, Wayan, Oci, Erot, Caca, Belda, Dila, Nayuv, Emon, Diano, Ate,
Topas, Mahe yang telah memberikan semangat, canda tawa yang memberikan
warna dalam penelitian ini;
19. Keluarga Moonzher di FK Unila Allysa, Dina, Audya, Nidya yang telah
menyemangati dan mendoakan;
20. Sahabat dan teman, Keluarga RC yaitu Ine, Utet, Ami, Muthia, Anti, Seto,
Topan, Bion, Aby, Munip. Keluarga A6 yaitu Au, Uti, Mira, Mumu, Aldi,
Wildan. Keluarga SS yaitu Sisil, Santi, Danu. Teman Kelana yaitu Lury, Dila,
Putmel, Sandy, Agha yang telah menyemangati dan mendoakan;
21. Sahabat dan kakak-kakak Pejuang Pesawaran KKN 2014 Tiara, Kak Karin,
Kak Ojo, Kak Tiwi, Kak Susan, Kak adit yang telah menyemangati,
mendoakan, serta memberikan pelajaran akan kemandirian hidup;
22. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat (angkatan 2002–2014), yang sudah
memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi yang sederhana ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga segala perhatian, kebaikan dan
keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.
Bandar Lampung, 16 Desember 2014
Penulis
ii 2.2.5Volatile Organic Compounds... 2.3 Mekanisme Asap Terhadap Mata ...
2.4 Mata ...
2.4.1 Anatomi Mata Manusia ...
2.4.1.1 Kornea ...
2.4.1.1.1 Anatomi Kornea ...
2.4.1.1.2 Histologi Kornea ...
2.4.2 Anatomi Mata Tikus Putih (Rattus norvegicus) ...
2.4.2.1 Kornea ...
2.4.2.1.1 Histologi Kornea ...
2.5 Sistem Lakrimalis ...
2.5.1 Sistem Sekresi dan Ekskresi ...
2.5.2 Fungsi Air Mata ...
2.6 Proses Perubahan Kornea ...
iii
3.2 Tempat dan Waktu ...
3.3 Populasi dan Sampel ...
3.4 Bahan dan Alat Penelitian ...
3.4.1 Bahan Penelitian ...
3.4.2 Alat Penelitian ...
3.5 Prosedur Penelitian ...
3.5.1 Adaptasi Tikus ...
3.5.2 Persiapan Asap Bakaran ...
3.5.3 Prosedur Pemberian Intervensi ...
3.5.4 Prosedur Pengelolaan Hewan Coba Pasca Penelitian ...
3.5.5 Prosedur Pembedahan Mata ...
3.5.6 Prosedur Operasional PembuatanSlide... 3.5.7 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ...
3.5.7.1 Identifikasi Variabel ...
3.5.7.2 Definisi Operasional ...
3.6 Pengolahan dan Analisis Data ...
3.6.1 Pengolahan Data ...
3.6.2 Analisis Data ...
3.7Ethical Clearance... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 4.1 Hasil Penelitian ...
4.1.1 Tingkat Hiperplasia Pada Epitel Kornea ...
4.1.2 Gambaran Histopatologi Mata Tikus ...
iv
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 5.1 Kesimpulan ...
5.2 Saran ...
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
56
56
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Hubungan COHb dalam darah (%) dengan gejala ...
2. Pengaruh konsentrasi SO2... 3. Definisi Operasional ...
4. Hasil Hiperplasia Epitel Kornea ...
14
17
44
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka teori penelitian ...
2. Kerangka konsep penelitian ...
3. Anatomi mata ...
4. Histologi kornea ...
5. Anatomi mata tikus ...
6. Histologi kornea mata tikus...
7. Siklus inflamasi akibat paparan zat iritan secara kronik ...
8. Diagram Alur Penelitian ...
9. Histopatologi mata tikus kelompok K(-) ...
10. Histopatologi mata tikus kelompok P1 ...
11. Histopatologi mata tikus kelompok P2 ...
12. Histopatologi mata tikus kelompok P3 ...
13. Histopatologi mata tikus kelompok P4 ...
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3 :
:
:
Uji Statistik
Foto Penelitian
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Luas kawasan
hutan di Indonesia berdasarkan tahun 2000 seluas 120,35 juta hektar atau
sebesar 62,6% dari total luas daratan Indonesia seluas 192,16 juta ha (Dephut,
2002). Luas hutan di Indonesia semakin berkurang seiring bertambahnya
tahun akibat dari kebakaran hutan yang dilakukan dengan sengaja, seperti
pembukaan lahan biasanya lahan kebun sawit, baik oleh perusahaan maupun
oleh masyarakat (Tacconi, 2003).
Kebakaran hutan 1997/1998 di Indonesia diperkirakan menghasilkan emisi
karbon yang cukup tinggi dan sebagai salah satu poluter terbesar di dunia. Asap kebakaran hutan mengandung zat yang berbahaya bagi kehidupan
2
Dampak asap mempengaruhi di berbagai sektor kehidupan seperti gangguan
aktivitas, dampak ekonomi hingga gangguan kesehatan (Faisal, 2012).
Berdasarkan ATSDR, Depkes, MDH serta WHO, diketahui bahwa kandungan
asap tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran
nafas, iritasi kulit, iritasi mata, iritasi hidung, gangguan paru ̶paru hingga
gangguan mental (ATSDR, 2014; Depkes, 2011; MDH, 2010; WHO, 2004).
Seperti halnya, paparan CO dengan kadar 100 mg/m3 atau 87,3 part per million (ppm) selama 15 menit merupakan ambang batas normal yang aman bila terpapar pada manusia, bila melebihi ambang tersebut akan
mempengaruhi kesehatan (WHO, 2004).
Iritasi mata adalah rasa tidak nyaman yang superfisial biasanya akibat
kelainan di permukaan mata, seperti gatal, rasa kering, perih, mata berair
(Riordan-Eva, 2010). Apabila iritasi mata terjadi terus-menerus dapat
menyebabkan inflamasi pada permukaan okuler dan perubahan sekresi air
mata (Wilson, 2003). Proses inflamasi yang terjadi pada permukaan mata
ditandai dengan keberadaan sitokin, yang diketahui berperan dalam
peningkatan pertumbuhan sel epitel (Fabiani, 2009).
Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut
kerusakan yang terjadi pada kornea tikus putih akibat perbedaan durasi
3
1.2 Perumusan Masalah
Kebakaran hutan merupakan hal yang sering terjadi di Indonesia. Banyaknya
asap yang dihasilkan akibat kebakaran hutan membuat dampak yang cukup
besar pada segi kesehatan. Kandungan asap seperti PM, CO, NOx, SO2 dan VOCs dapat menyebabkan iritasi mata, sehingga penglihatan terganggu. Oleh
karena itu diperlukan penelitian histopatologi mata untuk mengetahui apakah
terdapat perubahan pada epitel mata bila terpapar asap terus–menerus.
Sehingga peneliti ingin mengetahui adanya pengaruh perbedaan durasi
paparan asap pembakaran bahan organik terhadap hiperplasia kornea tikus
putih (Rattus norvegicus) jantan galurSprague dawley?
1.3 Tujuan Penelitian
4
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai dampak paparan asap pembakaran bahan organik terhadap
mata, khususnya di bidang Patologi Anatomi.
1.4.2 Bagi Peneliti
Penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah
dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.
1.4.3 Bagi Pembangunan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi peringatan adanya bahaya
kebakaran hutan bagi kesehatan. Sehingga mendukung pemerintah untuk
membuat peraturan khusus tentang kebakaran hutan.
1.4.4 Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Dapat menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung dalam bidangagromedicine.
1.4.5 Bagi Peneliti Lain
Dapat dijadikan bahan acuan untuk dilakukannya penelitian yang serupa
5
1.5 Kerangka Penelitian
1.5.1 Kerangka Teori
Asap pembakaran bahan organik yang meliputi CO, PM, NOx, SO2 serta VOCs dapat menyebabkan mata iritasi mata (Depkes, 2014;
MDH, 2010; NLM2, 2014). Iritasi Mata adalah rasa tidak nyaman yang superfisial biasanya akibat kelainan di permukaan mata seperti gatal,
rasa kering, perih, berpasir, mata berair, sekret mata (Riordan-Eva,
2010).
Iritasi mata yang terjadi secara berulang menyebabkan lengkung neural
diaktivasi secara berlebihan dan menyebabkan perubahan sekresi air
mata. Ditandai dengan sekresi sel T yang teraktivasi dan sitokin dalam
air mata. Keberadaan sitokin dalam air mata menyebabkan inflamasi
pada permukaan okuler, yang akan mengganggu penyampaian sinyal
sensoris dari permukaan mata sehingga sekresi basal air mata menurun.
Pada kelenjar lakrimalis baik secara langsung maupun tidak langsung
juga mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan penurunan
sekresi air mata dan inflamasi tersebut tidak dapat diatasi oleh sistem
pertahanan mata yang normal, walaupun secara fisiologis, di dalam air
mata mengandung komponen anti inflamasi. Inflamasi tersebut juga
menyebabkan disfungsi dari sistem air mata sehingga terjadi gangguan
6
aktivasi dari limfosit T. Selain itu, sitokin dan mediator inflamasi
lainnya juga menyebabkan peningkatan jumlah sel T yang diaktivasi,
jumlah produksi substansi inflamasi dan jumlah kerusakan jaringan
(Wilson, 2003).
Penurunan produksi air mata akibat paparan zat iritan secara kronik
dapat menyebabkan metaplasia dan penurunan jumlah sel goblet pada
epitel konjungtiva. Hal ini terjadi akibat aktivasi sel T dan NK cells
sehingga terjadi pelepasan interferon γ (IFN−γ) dimana, memiliki
potensi untuk meningkatkan regulasi protein yang berhubungan dengan
diferensiasi epitel konjungtiva. Interferon γ dilaporkan mampu
meningkatkan trankripsi RNA yang mengkode prekursor keratinisasi
(de Paivaet al, 2007).
Kehilangan komponen aqueous air mata menyebabkan konsentrasi
sodium akan meningkat atau terjadi hiperosmolaritas akibat
berkurangnya produksi air mata. Hiperosmolaritas menyebabkan
terjadinya keadaan dehidrasi pada lapisan air mata sehingga terjadi
penarikan cairan dari sel-sel permukaan konjungtiva dan kornea. Bila
keadaan tersebut berlangsung terus-menerus maka epitel permukaan
akan mengering dan mengelupas. Mula-mula terjadi pada epitel
konjungtiva, bila proses tersebut berlanjut akan terjadi pula pada epitel
7
yang berdampak pada penurunan jumlah glikogen di kornea yang akan
menurunkan kemampuan regenerasi kornea (Cohen, 2005).
Diketahui paparan asap terhadap mata dapat menyebabkan hiperplasia
sel pada epitel kornea. Hiperplasia merupakan salah satu respon
adaptasi sel terhadap stimulus senyawa toksik. Hal ini dapat disebabkan
baik faktor fisik dan atau sistemik. Faktor fisik terjadi akibat adanya
kontak langsung, sedangkan faktor sistemik dapat terjadi melalui
inhalasi senyawa toksik yang kemudian terbawa ke aliran darah
sehingga mencapai organ mata (Kusumawardhani, 2013). Kerangka
8
Gambar 1.Kerangka teori hiperplasia.
Sitokin dalam air
Pelepasan interferonγ(IFN-γ)
Meningkatkan regulasi
Epitel konjungtiva dan epitel kornea mengering dan mengelupas
9
1.5.2 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah pemberian paparan asap
pembakaran bahan organik dengan durasi yang berbeda terhadap kelompok
perlakuan, kemudian dilihat perubahan pada kornea tikus, berupa
hiperplasia. Kerangka konsep penelitian, tersaji pada gambar 2.
Gambar 2.Kerangka konsep penelitian.
Paparan Asap Pembakaran Bahan Organik
1 jam
2 jam
3 jam
4 jam
Gambaran:
Hiperplasia kornea Kelompok 1
Kontrol negatif (-)
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Kelompok 5
10
1.6 Hipotesis
Semakin lama paparan asap pembakaran bahan organik semakin meningkat
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan telah menjadi masalah bukan hanya di Indonesia tetapi juga
berdampak regional di Asia Tenggara yang berpengaruh terhadap berbagai
sektor kehidupan seperti gangguan aktivtas sehari-hari, hambatan
transportasi, kerusakan ekologis, penurunan pariwisata, dampak politik,
ekonomi dan gangguan kesehatan (Faisal, 2012). Kebakaran hutan
didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat alami maupun perbuatan manusia
yang menyebabkan terjadinya proses penyalahan serta pembakaran bahan
bakar hutan dan lahan (Syaufina, 2008). Kebakaran hutan dapat terjadi baik
disengaja maupun tanpa disengaja. Diketahui bahwa 90% terjadinya
kebakaran hutan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia melalui
beberapa kegiatan, seperti perladangan, perkebunan, penyiapan lahan untuk
ternak dan sebagainya (Purbowaseso, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian di Sumatera, didapatkan penyebab langsung
maupun tidak langsung dari kebakaran hutan. Adapun penyebab langsung
12
tidak langsung seperti alokasi penggunaan lahan, degradasi hutan dan lahan,
dampak dari perubahan karakeristik penduduk, lemahnya kapasitas
kelembagaan (Hadiprasetya, 2009).
Diketahui beberapa faktor seperti cuaca, struktur tanah dapat mempengaruhi
sifat api dan efek asap kebakaran. Secara umum, cuaca berangin membuat
konsentrasi asap lebih rendah, karena asap akan bercampur dengan udara
yang dapat menyebabkan api kebakaran menyebar lebih cepat serta dampak
yang timbul akan lebih besar. Intensitas panas, khusunya saat awal kebakaran
akan membawa asap ke udara dan menetap, kemudian turun jika suhu
menurun. Asap kebakaran pertama biasanya langsung terbawa angin sehingga
menjadi prediksi area yang terbakar (Faisal, 2012).
2.2 Asap Kebakaran
Asap merupakan perpaduan atau campuran karbon dioksida (CO2), air, karbon monoksida (CO), particulate matter, nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon, zat kimia organik, dan mineral (NCUAQMD, 2008). Selain itu,
asap kebakaran hutan mengandung volatile organic compounds (VOCs) seperti benzene, formaldehid dan akrelein yang dilepaskan ke atmosfer (CDC,
2014). Komponen asap lainnya seperti SO2dan ozon (O3) terkandung dalam asap kebakaran hutan (Perwitasari, 2012). Komposisi asap tergantung dari
banyak faktor, yaitu jenis bahan pembakar, kelembaban, temperatur api,
13
lignin, tanin, polifenol, minyak, lemak, resin, lilin, dan tepung akan
membentuk campuran yang berbeda saat terbakar (NCUAQMD, 2008).
2.2.1 Karbon Monoksida
Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon
monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan
karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon
monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan
pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna, serta
mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena dapat
membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin
(Luthfi, 2008). Karbon monoksida di lingkungan dapat terbentuk
secara alamiah, seperti dari lautan, oksidasi metal di atmosfir,
pegunungan, kebakaran hutan. Namun, sumber utamanya adalah dari
kegiatan manusia, antara lain kendaraan bermotor berbahan bakar
bensin, asap rokok, tungku dapur rumah tangga dan tungku pemanas
ruang (Depkes, 2011; Luthfi, 2008).
Dampak kesehatan yang dapat ditimbulkan dari karbon monoksida
antara lain pusing, rasa tidak enak pada mata, telinga berdengung, mual,
muntah, detak jantung meningkat, rasa tertekan di dada, sukar nafas,
kelemahan otot-otot, tidak sadar dan meninggal dunia (Mukono, 2008).
14
mengikat hemoglobin secara reversible, yang menyebabkan anemia relatif karena CO mengikat hemoglobin lebih kuat daripada oksigen.
Selain itu, CO dapat mengikat mioglobin yang menyebabkan daya
kontraktil miokardium menurun, sehingga pelepasan oksigen ke sel
berkurang terjadi hipoksia jaringan, aritmia ventrikuler dan dapat terjadi
kematian mendadak. Pada kulit, berwarna seperti buah cherry, namun
jarang terjadi. Gangguan lain yang ditimbulkan oleh CO, salah satunya
adalah iritasi mata. Iritasi mata merupakan rasa tidak nyaman pada
permukaan luar, biasanya akibat kelainan di permukaan mata, seperti
gatal, rasa kering, perih, sensasi benda asing, mata berair, sekret mata,
sering tidak spesifik untuk diagnostik (Faisal, 2012; Riordan-Eva,
2010). Berikut tabel mengenai hubungan COHb dalam darah dengan
gejala yang terjadi, tersaji pada tabel 1.
Tabel 1.Hubungan COHb dalam darah (%) dengan gejala.
COHb dalam darah
(%) Gejala
10 Tidak ada efek yang cukup, kecuali sesak napas saat aktivitas berat, pelebaran pembuluh darah kulit 20 Sesak napas saat aktivitas sedang, sakit kepala
sesekali
30 Sakit kepala (nyata), mudah lelah, gangguan penglihatan
40−50 Sakit kepala,collapse, pingsan saat aktivitas
60−70 Tidak sadar, kejang intermiten, gagal napas, kematian (paparan lama)
80 Kematian
(Sumber: WHO, 2004).
Digunakan rumus Henderson dan Haggard untuk menentukan kadar
15
CO di udara (dalam ppm) (Anggraeni, 2009). Berdasarkan The
National Institute for Ocupational Safety and Health (NIOSH), Lethal consentration (LC50) CO pada tikus sebesar 1807 ppm, inhalasi selama 4 jam. Sehingga bila paparan tersebut dipaparkan dapat menimbulkan
kerusakan organ hingga kematian (WHO, 2004).
2.2.2 Nitrogen Oksida
Nitrogen oksida adalah sekelompok gas yang terdiri dari nitrogen dan
oksigen. Dua dari nitrogen oksida yang paling umum adalah nitrat oksida
(NO) dan nitrogen dioksida (NO2). Nitrat oksida adalah gas dengan tajam, bau manis; tidak berwarna sampai coklat pada suhu kamar.
Nitrogen dioksida adalah tidak berwarna cairan coklat pada suhu kamar,
dengan bau yang keras yang kuat, serta menjadi gas coklat kemerahan
pada suhu di atas 70° F (NLM1, 2014).
Kadar NOx diudara perkotaan biasanya 10 100 kali lebih tinggi dari
pada di udara pedesaan. Kadar NOx diudara daerah perkotaan dapat
mencapai 0,5 ppm. Seperti halnya CO, emisi NOx dipengaruhi oleh
kepadatan penduduk karena sumber utama NOx yang diproduksi
manusia adalah dari pembakaran dan kebanyakan pembakaran
disebabkan oleh kendaraan bermotor, rokok, produksi energi dan
pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NOx buatan manusia
16
Dampak kesehatan akibat NOx, dibagi menjadi dua yaitu paparan jangka
pendek dan paparan jangka panjang. Paparan jangka pendek
mempengaruhi sistem pernafasan, kardiovaskuler, kulit, dan mata.
Paparan jangka pendek pada mata dengan NOx dalam bentuk cair dapat
menyebabkan luka bakar yang parah pada mata, sedangkan kadar tinggi
dalam bentuk gas menyebabkan iritasi dan dapat mengaburkan
permukaan mata serta kebutaan bila dipaparkan lebih lama (ASTDR1, 2014). Paparan jangka panjang NOx menyebabkan penyakit paru
restriktif dan obstruktif permanen, proses kelanjutan dari iritasi mata,
hidung, tenggorokan, kerusakan (deoksiribonukleat) DNA, serta bersifat
mutagenik dan fetotoksik (ATSDR1, 2014; NLM1, 2014).
2.2.3 Sulfur Dioksida
Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen
sulfur bentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) yang keduanya disebut sulfur oksida (SOx). Sulfur dioksida mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah
terbakar diudara, sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang
tidak reaktif, dengan jumlah 1 10% dari total SOx (Depkes, 2011).
17
kornea (ATSDR2, 2014). Berikut konsetrasi SO2 terhadap pengaruh yang ditimbulkan, tersaji pada tabel 2.
Tabel 2.Pengaruh konsentrasi SO2.
Konsentrasi ( ppm ) Pengaruh
3–5 Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya 8–12 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi
tenggorokan
20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata
20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk 20 Maksimum yang diperbolehkan untuk konsentrasi
dalam waktu lama
50–100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontrak singkat (30 menit)
400 -500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat
(Sumber: Depkes, 2011).
Dampak kesehatan akibat paparan SO2 dibagi menajdi paparan akut dan paparan kronik. Paparan akut pada dipengaruhi oleh SO2 yang melarut di dalam air pada membran mukosa, mata dan kulit kemudian akan
membentuk asam sulfur yang merupakan iritan dan inhibitor transportasi
mukosiliar. Sebagian besar SO2 dihirup, didetoksifikasi oleh hati terhadap sulfat dan diekskresikan dalam urin. Ion bisulfit diproduksi
ketika sulfur dioksida bereaksi dengan air cenderung menjadi inisiator
18
2.2.4Particulate Matter
Particulate Matter (PM) atau partikulat debu merupakan bagian penting dalam asap kebakaran untuk pajanan jangka pendek (jam atau
mingguan). Materi debu adalah partikel tersuspensi yang merupakan
campuran partikel solid dan droplet cair. Karakteristik dan pengaruh
potensial partikulat debu terhadap kesehatan tergantung pada sumber,
musim dan keadaan cuaca. Partikulat debu dibagi menjadi:
1. Ukuran lebih dari 10 µ m, biasanya tidak sampai ke paru; dapat
mengiritasi mata, hidung, dan tenggorokkan.
2. Partikel≤10µ m; dapat terinhalasi sampai ke paru.
3. Partikel kasar berukuran 2,5−10 µ m.
4. Partikel halus berdiameter≤2,5 µ m.
Partikulat debu akan berada di udara dalam waktu relatif lebih lama
dalam keadaan melayang dan masuk kedalam tubuh manusia melalui
saluran pernafasan (NCUAQMD, 2008).
2.2.5Volatile Organic Compounds
Volatile Organic Compounds (VOCs) adalah senyawa yang mengandung karbon yang mudah menguap pada suhu ruang (NLM2, 2014; MDH, 2010). Paparan jangka pendek VOCs menyebabkan iritasi pada mata, hidung dan
tenggorokan, sakit kepala, mual, muntah dan gangguan pernafasan.
19
ginjal, serta efek pada sistem lain seperti sistem respirasi, saraf, reproduksi,
gangguan mental dan kanker (MDH, 2010; Tanyanont & Vadakan, 2012).
2.3. Mekanisme Komponen Asap Terhadap Mata
Asap pembakaran bahan organik memiliki komponen yang terdiri dari CO,
NO, SO2 dan VOCs. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Rummenie., et al (2008) didapatkan bahwa zat toksin asap tersebut memicu pengaktifan sitokin yakni interleukin (IL) seperti IL 1α, IL 6, IL 8, TGF 1β
dan TNF α yang akan berperan dalam proses inflamasi pada epitel
permukaan mata. Diketahui sitokin IL 6, IL 8 dapat meningkatkan
pertumbuhan sel epitel (Fabiani, 2009). Hal ini juga disebutkan oleh
Sutyarso, Susantiningsih T, Suharto YAP (2014) dimana asap dapat
menyebabkan inflamasi pada organ.
2.4 Mata
2.4.1 Anatomi Mata Manusia
Mata terdiri dari suatu lapisan luar keras yang transparan di anterior atau
kornea dan opak di posterior atau sklera. Keduanya disambungkan oleh
limbus. Suatu lapisan kaya pembuluh darah atau koroid melapisi segmen
20
terletak di anterior, mengandung otot-otot siliaris polos yang kontraksinya
mengubah bentuk lensa dan memungkinkan fokus mata berubah-ubah.
Epitel siliaris mensekresi aqueous humor dan mempertahankan tekanan
okuler. Lensa terletak dibelakang iris, disokong oleh serabut-serabut halus
atau zonula yang terbentang diantara lensa dan korpus siliaris. Antara
kornea di anterior dan lensa serta iris di posterior terdapat bilik mata
anterior. Diantara iris, lensa dan korpus siliaris terdapat bilik mata
posterior. Kedua bilik ini terisi oleh aqueous humor. Di anterior,
konjungtiva akan berlanjut dari sklera ke bagian bawah kelopak mata atas
dan bawah (James, 2005). Berikut anatomi mata, tersaji pada gambar 3.
21
2.4.1.1 Kornea
2.4.1.1.1 Anatomi kornea
Kornea merupakan jaringan transparan yang avaskular berukuran
11−12 mm horizontal dan 10−11 mm vertikal serta memiliki
indeks refraksi 1,37 mempunyai rata−rata ketebalan 550 µ m pada
dewasa. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa
dari aqueous humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan
air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari
sirkulasi limbus (Riordan-Eva, 2010).
2.4.1.1.2 Histologi kornea
Secara histologis, lapisan kornea terdiri dari lima lapisan,
yaitu:
1. Epitel
Tebalnya 50 µ m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal,
sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat
mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
22
dan glukosa yang merupakanbarrier.Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya.
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang
merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini
tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas
terletak di antara serat kolagen stroma. Keratosit membentuk
bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
Membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran
basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus
seumur hidup, mempunyai tebal 40 µ m.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal,
besar 20−40 µ m. Endotel melekat pada membran descement
23
Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat
membran limitans anterior(membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia). Permukaan posterior kornea
ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel posterior yang merupakan
endotel kornea. Membran descemet merupakan membran basal
epitel kornea (Eroschenko, 2010). Berikut gambar histologi
kornea, tersaji pada gambar 4.
Gambar 4.Histologi kornea (Sumber: Lang, 2006).
2.4.2 Anatomi Mata Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Pada dasarnya mata manusia dan mata tikus tidak terlalu banyak berbeda,
kecuali dalam segi bentuk serta ukuran. Berikut gambar anatomi mata
24
Gambar 5.Anatomi mata tikus (Sumber: Hanson, 2012).
2.4.2.1 Kornea
2.4.2.1.1 Histologi
Sama halnya, seperti kornea manusia pada kornea tikus diketahui
tidak ada perbedaan. Kornea tikus memiliki lima lapisan, yaitu
epitel, membran bowman, stroma, membran decement dan
endotel. Kornea tidak terdapat sel goblet (Almubrad, 2011).
25
Gambar 6.Histologi kornea tikus (Sumber: Almubrad, 2011).
2.5 Sistem Lakrimalis
Sistem lakrimalis dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem sekresi dan ekskresi
air mata.
2.5.1 Sistem Sekresi dan Ekskresi
Sistem Sekresi Air Mata
Sekresi air mata dominan di hasilkan di kelenjar lakrimal, walapun
terdapat kelenjar tambahan lainnya seperti kelenjar krause dan
wolfring, terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks superior.
Modifikasi kelenjar sebasea meibom dan zeis di tepian palpebra
memberi substansi lipid pada air mata. Kelenjar moll adalah
modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film
26
kornea, konjungtiva, mukosa hidung, stimulus pedas yang diberikan
pada mulut atau lidah dan cahaya terang, akibat dari muntah, batuk,
menguap maupun emosional kesedihan (Jansen, 2009). Kerusakan
pada nervus trigeminus akan menyebabkan refleks sekresi air mata
menghilang. Jalur aferen berasal dari saraf ofthalmik cabang dari
saraf trigeminus, sedangkan jalur eferen oleh saraf autonom yaitu
simpatis, berasal dari ganglion servikal superior dan parasimpatis
dari nervus fasialis (n.VII) yang memberikan pengaruh motorik
yang paling dominan. Persarafan yang kompleks ini berfungsi untuk
mengontrol fungsi kelenjar lakrimal sehingga menjaga homeostasis
lapisan air mata dan berespon terhadap stress dan trauma
(Surasmiati, 2014).
Sistem Ekskresi Air Mata
Sistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis dan
duktus nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mulai di
lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan
menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada medial palpebra. Setiap
kali mengedip, muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula
sehingga memendekkan kanalikuli horizontal dan menimbulkan
tekanan negatif pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan air
mata ke dalam sakus, lipatan mirip katup pada sakus cenderung
menghambat aliran balik air mata, yang kemudian masuk melalui
27
2.5.2 Fungsi Air Mata
Air mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu lipid, aqueous, dan musin.
Ketebalan lapisan air mata sekitar 8 9 µ m. Lapisan lipid merupakan
lapisan superfisial dengan ketebalan sekitar 0,1 0,2 µ m. Lapisan
aqueous di bagian tengah dengan ketebalan 7 8 µ m dan lapisan musin
di bagian basal dengan ketebalan 1 µ m (Surasmiati, 2014).
Fungsi air mata yang paling penting adalah melindungi serta
mempertahankan integritas sel-sel permukaan mata, terutama kornea
dan konjungtiva. Selain itu, lapisan air mata akan membentuk serta
mempertahankan permukaan kornea selalu rata dan licin sehingga
memperbaiki tajam penglihatan pada saat setelah berkedip. Setiap
berkedip, air mata mengalir membersihkan kotoran, debu yang masuk
ke mata. Menjaga sel-sel permukaan kornea dan konjungtiva tetap
lembab. Mengandung antibakteri, lisozim, betalisin dan antibodi,
sebagai mekanisme pertahanan mata dan proteksi terhadap
kemungkinan infeksi. Sumber nutrisi seperti glukosa, elektrolit, enzim,
dan protein (Asyari, 2007).
2.6 Proses Perubahan Kornea
Paparan asap yang akut dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang diakibatakan
28
berulang menyebabkan lengkung neural diaktivasi secara berlebihan dan
menyebabkan perubahan sekresi air mata. Ditandai dengan sekresi sel T yang
teraktivasi dan sitokin dalam air mata. Keberadaan sitokin dalam air mata
menyebabkan inflamasi pada permukaan okuler, yang akan mengganggu
penyampaian sinyal sensoris dari permukaan mata sehingga sekresi basal air
mata menurun. Pada kelenjar lakrimalis baik secara langsung maupun tidak
langsung juga mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan penurunan
sekresi air mata dan inflamasi tersebut tidak dapat diatasi oleh sistem
pertahanan mata yang normal, walaupun secara fisiologis, di dalam air mata
mengandung komponen anti inflamasi. Inflamasi tersebut juga menyebabkan
disfungsi dari sistem air mata sehingga terjadi gangguan drainase, yang
menyebabkan iritasi tidak terkontrol dan peningkatan aktivasi dari
limfosit T. Selain itu, sitokin dan mediator inflamasi lainnya juga
menyebabkan peningkatan jumlah sel T yang diaktivasi, jumlah produksi
substansi inflamasi dan jumlah kerusakan jaringan (Wilson, 2003). Berikut
adalah ilustrasi mengenai proses paparan zat iritatif yang berlangsung kronik
dapat menyebabkan penurunan sekresi air mata, tersaji pada gambar 7.
29
Beberapa dampak, diduga akibat paparan zat iritatif menyebabkan terjadi
peningkatan produksi tumor necrosis factorα (TNF α), IFN γ, interleukin 1 (IL 1) dan glikosaminoglikan oleh fibroblas orbital. Akibat penghasilan
Interferon γ, terjadi ekpresi HLA-DR oleh fibroblas tersebut. Selain itu,
menyebabkan pelepasan IL 4, IL 5, IL 10, IL 13 dan TNF α oleh sel mast
(Bakeret al, 2006).
Menurut Rummenie., et al (2008) komponen asap yang bersifat toksik dapat mengaktifkan sitokin seperti IL 1α, IL 6, IL 8, TGF 1β dan TNF α yang
akan berperan dalam proses inflamasi pada epitel permukaan mata. Diketahui
sitokin IL 6 dan IL 8 dapat meningkatkan pertumbuhan sel epitel (Fabiani,
2009).
Paparan asap terhadap mata dapat menyebabkan hiperplasia sel pada epitel
kornea. Hiperplasia merupakan salah satu respon adaptasi sel terhadap
stimulus senyawa toksik. Hal ini disebabkan oleh faktor fisik dan atau
sistemik. Faktor fisik terjadi akibat adanya kontak langsung, sedangkan faktor
sistemik dapat terjadi melalui inhalasi senyawa toksik yang kemudian
terbawa ke aliran darah sehingga mencapai organ mata (Kusumawardhani,
30
2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus) GalurSprague dawley
Tikus Putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian,
dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia,
sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia,
sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai
manusia. Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague dawley berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih 3 bulan. Tikus Sprague dawleydengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat dewasa, sehingga dikhawatirkan akan
memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian
(Kesenja, 2005).
2.7.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentai
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus : Rattus
31
2.7.2 Jenis
Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan
tertentu antara lain galur Sprague dawley, Wistar, dan Long evans. Tikus galur Sprague dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus galur
Wistar memiliki ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek sedangkan galur Long evans memiliki ciri badan berukuran lebih kecil dari tikus putih, berwarna hitam pada bagian
kepala dan tubuh bagian depan. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur
Sprague dawley merupakan tikus yang paling sering digunakan dalam percobaan. Tikus ini memiliki tempramen yang tenang sehingga mudah
dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat badan tikus Sprague dawley
adalah 10,5 gram. Berat badan dewasa adalah 250−300 gram untuk
betina, dan 450−520 gram untuk jantan. Tikus ini jarang hidup lebih
32
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Rancangan
Acak Lengkap dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design. Menggunakan 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8−10 minggu yang dipilih secara acak dan dibagi 5 kelompok.
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Pemeliharaan tikus dan pemeberian intevensi akan dilakukan di Pet House
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Pembuatan preparat dan pengamatan akan dilakukan di Laboratorium
Histologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
33
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
Sprague dawley berumur 8−10 minggu (dewasa) yang diperoleh dari Unit Pengelola Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor. Sampel penelitian sebanyak 25 ekor yang dipilih secara
acak yang dibagi dalam 5 kelompok, sesuai dengan rumus Frederer.
Rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah :
(n−1) (t−1)≥15
Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah
pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan
5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi:
(n−1) (5−1)≥15
(n−1)4≥15
(n−1)≥15/4
(n-1)≥3,75
n≥3,75+1
n = 4,75 (dibulatkan menjadi 5)
Jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 5 ekor (n≥5)
dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 5 kelompok sehingga penelitian
34
Kriteria inklusi:
a) Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, botak, dan
bergerak aktif).
b) Memiliki berat badan 100−150 gram.
c) Berjenis kelamin jantan.
d) Berusia sekitar 8−10 minggu (dewasa).
Kriteria eksklusi:
a) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi.
Kriteriadrop out:
a) Sakit selama perlakuan.
b) Mati selama masa perlakuan.
3.4 Bahan dan Alat Penelitian
3.4.1 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah bahan
35
3.4.2 Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah:
a) Neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01 gram,
untuk menimbang berat tikus.
b) Tungku untuk membakar bahan organik.
c) Pipa.
d) Plastic boxsebagai tempat pengumpul asap. e) Korek api.
f) Kapas alkohol.
g) Minor set.
h) Mikroskop.
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1 Adaptasi Tikus
Tikus sebanyak 25 ekor dibagi ke dalam 5 kandang dan diadaptasi
selama 1 minggu sebelum perlakuan dimulai. Selama masa adaptasi tikus
diberi makan berupa pelet dan air. Pengukuran berat badan tikus sebelum
36
3.5.2 Persiapan Asap Bakaran
Bakar bahan organik (daun, ranting, batang pohon, kayu dan arang)
pada tungku, kemudian tunggu sampai asap hasil bakaran tersebut
sampai pada plastik pengumpul asap yang melewati pipa. Pastikan
bahan bakar sudah menjadi bara, sehingga jumlah asap yang dihasilkan
lebih konsisten atau statis.
3.5.3 Prosedur Pemberian Intervensi
Untuk pemberian intervensi dilakukan berdasarkan kelompok
perlakuan. Kelompok 1 (K-) sebagai kontrol negatif, dimana hanya
akan diberi aquadest. Kelompok 2 (P1) sebagai kontrol positif, dimana
dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 1 jam per hari.
Kelompok 3 (P2) sebagai kontrol positif, dimana dipaparkan asap
pembakaran bahan organik selama 2 jam per hari. Kelompok 4 (P3)
sebagai kontrol positif, dimana dipaparkan asap pembakaran bahan
organik selama 3 jam per hari. Kelompok 5 (P4) sebagai kontrol positif,
dimana dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 4 jam per
hari.
Paparan asap pembakaran organik dilakukan dengan cara membakar
bahan organik, kemudian ditunggu sampai bahan bakar menjadi bara,
37
dilakukan pada kandang tikus yang telah ditempatkan dalam tempat
plastik pengumpul asap. Paparan asap pembakaran bahan organik
dilakukan dengan perbedaan durasi, yaitu P1 selama 1 jam, P1 selama 2
jam, P3 selama 3 jam, P4 selama 4 jam. Perlakuan tersebut dilakukan
selama 7 hari.
3.5.4 Prosedur Pengelolaan Hewan Coba Pasca Penelitian
Pada akhir penelitian tikus akan dianestesi dengan menggunakan
ketamine ̶xylazine dengan dosis 75−100 mg/kg + 5−10 mg/kg secara intraperitoneal dengan durasi selama 10−30 menit. Kemudian setelah
tikus dianestesi akan dilakukan dislokasi servikal untuk
menterminasikan tikus (AVMA, 2013).
3.5.5 Prosedur Pembedahan Mata
Dilakukan pembedahan pada mata tikus, konjungtiva dan kornea tikus
diambil untuk pembuatan sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan
mikroskopis dengan menggunakan blok parrafin dan pewarnaan
38
3.5.6 Prosedur Operasional PembuatanSlide
Metode pembuatan preparat Histopatologi Bagian Patologi Anatomi
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung (Weldimira, 2014).
Metode teknik pembuatan preparat histopatologi menurut bagian
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung:
a) Fixation
1. Spesimen berupa potongan organ mata yang telah dipotong secara
representatif kemudian segera difiksasi dengan formalin 10%
selama 3 jam.
2. Dicuci dengan air mengalir sebanyak 3−5 kali.
b) Trimming
1. Organ dikecilkan hingga ukuran ±3 mm.
2. Potongan organ mata tersebut lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette.
c) Dehidrasi
1. Mengeringkan air dengan meletakkan tissue cassette pada kertas tisu.
2. Dehidrasi dengan:
Alkohol 70% selama 0,5 jam.
Alkohol 96% selama 0,5 jam.
Alkohol 96% selama 0,5 jam.
39
Alkohol absolut selama 1 jam.
Alkohol absolut selama 1 jam.
Alkohol absolut selama 1 jam.
Alkoholxylol1:1 selama 0,5 jam. d)Clearing
Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukanclearingdenganxylol I dan II, masing−masing selama 1 jam.
e)Impregnasi
Impregnasi dilakukan dengan menggunakan paraffin selama 1 jam
dalam oven suhu 650C. f)Embedding
1. Sisa paraffin yang ada pada pan dibersihkan dengan
memanaskan beberapa saat di atas api dan diusap dengan kapas.
2. Paraffin cair disiapkan dengan memasukkan paraffin ke dalam
cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu diatas
580C.
3. Paraffin cair dituangkan ke dalam pan.
4. Dipindahkan satu persatu dari tissue cassette ke dasar pan dengan mengatur jarak yang satu dengan yang lainnya.
5. Pan dimasukkan ke dalam air.
6. Paraffin yang berisi potongan mata dilepaskan dari pan dengan
dimasukkan ke dalam suhu 4−60C beberapa saat.
7. Paraffin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan
40
8. Siap dipotong dengan mikrotom.
g) Cutting
1. Pemotongan dilakukan pada ruangan dingin.
2. Sebelum memotong, blok didinginkan terlebih dahulu di lemari
es.
3. Dilakukan pemotongan kasar, lalu dilanjutkan dengan
pemotongan halus dengan ketebalan 4−5 mikron. Pemotongan
dilakukan menggunakan rotary microtome dengan disposable knife.
4. Dipilih lembaran potongan yang paling baik, diapungkan pada
air, dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu
sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang
lain ditarik menggunakan kuas runcing.
5. Lembaran jaringan dipindahkan ke dalamwater bath suhu 600C selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.
6. Dengan gerakan menyendok, lembaran jaringan tersebut diambil
dengan slide bersih dan ditempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah.
7. Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator (suhu 370C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.
h) Staining(pewarnaan) dengan Harris Hematoksilin−Eosin
Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide yang terbaik, selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat
41
1. Dilakukan deparafinisasi dalam:
1. LarutanxylolI selama 5 menit. 2. LarutanxylolII selama 5 menit. 3. Ethanol absolut selama 1 jam.
2. Hydrasi dalam:
a. Alkohol 96% selama 2 menit.
b. Alkohol 70% selama 2 menit.
c. Air selama 10 menit.
3. Pulasan inti dibuat dengan menggunakan:
a. Harris Hematoksilin selama 15 menit.
b. Dibilas dengan air mengalir.
c. Diwarnai dengan eosin selama maksimal 1 menit.
4. Selanjutnya, didehidrasi dengan menggunakan:
a. Alkohol 70% selama 2 menit.
b. Alkohol 96% selama 2 menit.
c. Alkohol absolut selama 2 menit.
5. Penjernihan dengan:
a.XylolI selama 2 menit. b.XylolII selama 2 menit.
i) Mountingdengan entelan dan tutup dengandeck glass
42
j) Slidedibaca dengan mikroskop
Slidediperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Preparat histopatologi dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi
untuk dikonsultasikan dengan ahli patologi anatomi. Pengamatan
mikroskopis dilakukan oleh peneliti sendiri. Digambarkan pada
43
Gambar 8.Diagram alur penelitian.
Tikus diberi perlakuan selama 7 hari
Paparan asap
Tikus dianastesi dengan ketamine-xyzaline 75̶100mg/kg + 5̶10mg/kg secara IP
Eutanasiametodecervikal dislocation
Lakukan pembedahan mata tikus
Sampel di fiksasi dengan formalin 10% Pembuatan sediaan dengan pewarnaan HE
Pengamatan sediaan dengan mikroskop Intrepretasi dan hasil pengamatan
Timbang Berat Badan Tikus
K (-) P 1 P2 P3 P4
44
3.5.7 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel
1. Identifikasi Variabel
a) Variabel Bebas adalah paparan asap pembakaran organik.
b) Variabel Terikat adalah hiperplasia epitel kornea.
2. Definisi Operasional
Definisi operasional tergambar dalam bentuk tabel, tersaji pada tabel 3.
Tabel 3. Definisi operasional.
Variabel Definisi Skala
Gambaran adanya peningkatan jumlah sel pada epitel kornea dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi oleh seorang dokter spesialis patalogi anatomi (dr. IW, Sp. PA) menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x.
45
3.6 Pengolahan dan Analisis Data
3.6.1 Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke
dalam bentuk tabel-tabel, kemudian proses pengolahan data
menggunakan program komputer, yang terdiri dari beberapa langkah:
1. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk
keperluan analisis.
2. DataEntry, memasukkan data ke dalam komputer.
3. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap
data yang telah dimasukkan ke dalam komputer.
4. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer
kemudian dicetak.
3.6.2 Analisis Data
Data yang diperoleh adalah hipotesis komparatif skala numerik dengan
jumlah >2 kelompok tidak berpasangan yang kemudian diuji analisis
dengan menggunakan software analisis statistik. Pada hipotesis komparatif numerik, dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui data
terdistribusi normal (p>0,05) atau tidak secara statistik dengan uji
46
dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih
kelompok data memiliki varians data yang sama (p>0,05) atau tidak.
Jika varians data terdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan
metode uji parametrik One WayANOVA, bila varians data tidak sama lakukan transformasi data. Bila setelah transformasi data masih tidak sama maka data tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji
non parametrik Kruskal-Wallis. Hipotesis bermakna bila p<0,05. Jika pada uji ANOVA atau Kruskal-Wallis didapatkan nilai p<0,05 maka, dilanjutkan dengan melakukan analisis Post Hoc LSD untuk melihat
perbedaan antar kelompok perlakuan (Dahlan, 2011).
3.7Ethical Clearance
Penelitian ini diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan beberapa prinsip
penelitian, yaitu Replacement, memanfaatkan hewan coba secara seksama dan tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan
jaringan. Reduction, pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, namun tetap mendapatkan hasil yang optimal. Refinement, memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi, tidak menyakiti hewan coba (Ridwan,
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat
hiperplasia epitel kornea tikus putih pada perbedaan durasi paparan asap
pembakaran bahan organik, namun tidak bermakna secara statistik.
5.2 Saran
1. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut menggunakan
organ mata yang lebih besar, seperti kelinci.
2. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut pada organ lain,
DAFTAR PUSTAKA
Agency for Toxic Substances and Disease Registry 1 (ATSDR1). 2014. Nitrogen oxides (NO, NO2, and others). Tersedia pada: http://www.atsdr.cdc.gov/mmg/mmg.asp?id=394&tid=69. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.
Agency for Toxic Substances and Disease Registry 2 (ATSDR2). 2014. Medical management guidelines for sulfur dioxide. Tersedia pada: http://www.atsdr.cdc.gov/mmg/mmg.asp?id=249&tid=46. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.
Almubrad T, Akhtar S. 2011. Structure of corneal layers, collagen fibrils, and proteoglycans of tree shrew cornea. Molecular Vision. 17:2283̶91.
Anggraeni NIS. 2009. Pengaruh lama paparan asap knalpot dengan kadar CO 1800 ppm terhadap gambaran histopatologi jantung pada tikus wistar [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Asyari F. 2007. Dry eye syndrome (sindroma mata kering). Dexa Media. 20(4):162̶6.
AVMA. 2013. Guidlines for the euthanasia of animals. Schaumburg: American Veterinary Medical Association.
Baker GRC, Morton M, Rajapaska RS, Bullock M, Gullu S, Mazzi B,et al. 2006. Altered tear composition in smokers and patients with graves opthalmopathy. Arch Opthalmol. 124:1451̶56.
Cohen S, Stern ME. 2005. Dry eye: the lacrimal functional unit. Uveitis and Immunological Disorders. Germany: Springer.
Dahlan MS. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
de Paiva CS, Villarreal AL, Corrales RM, Rahman HT, Chang VY, Farley WJ, et al. 2007. Dry-eye induced conjunctival epithelial squamous metaplasia is modulated by Interferon-γ. Investigate Ophthalmology & Visual Science.48(6):2553̶60.
Depkes. 2011. Parameter pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Eroschenko VP. 2010. Atlas histologi diFiore dengan korelasi fungsional. Edisi ke-11. Jakarta: EGC.
Faisal F, Faisal Y, Fachrial H. 2012. Dampak asap kebakaran hutan pada pernapasan. Cermin Dunia Kedokteran. 39(1):31̶4.
Fabiani C, Barabino S, Rashid S, Dana RM. 2009. Corneal epithel proliferation and thickness in a mouse model of dry eye. Exp Eye Res. 89(2):166 ̶ 171.
Hadiprasetya Y. 2009. Identifikasi faktor penyebab kebakaran hutan dan upaya penanggulangannya di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Instititut Pertanian Bogor.
Hanson A. 2012. The rat eyes. Tersedia pada:
http://www.ratbehavior.org/Eyes.htm. Diakses tanggal 23 Oktober 2014.
Ilyas S. 2011. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
James B, Chew C, Anthony B. 2005. Lecture notes: Oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta: Erlangga Medical Series.
Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung pare (Momordica charantia l) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kusumawardhani A, Sarwendah K, Rahmad L, Millah NU, Herliyani N, Sutrisno B, et al. 2013. Sitotoksik asap rokok pada kornea tikus putih wistar yang diberi ekstrak kunyit (Curcuma domestica v). Jurnal Sain Veteriner. 31(1):89̶9.
Luthfi RM. 2008. Analisis beban pencemar dan konsenterasi karbon monoksida (CO) di Jakarta [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
MDH. 2010. Volatile organic compounds (VOCs) in your home. Tersedia pada: http://www.health.state.mn.us/divs/eh/indoorair/voc/. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.
Mukono HJ. 2008. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Surabaya: Universitas Airlangga Press.
Narendra DW. 2007. Pengaruh dehidrasi dengan pemberian bisacodyl terhadap gambaran hematokrit tikus putih jantan (Rattus norvegicus) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
organic compounds. Tersedia pada:
North Coast Unified Air Quality Management Distric (NCUAQMD). 2008. Wildfire smoke a guide for public health officials (revised July 2008). Tersedia pada: http://www.arb.ca.gov/smp/progdev/pubeduc/wfgv8.pdf. Diakses tanggal 18 Juli 2014.
Perwitasari D, Bambang S. 2008. Gambaran kebakaran hutan dengan kejadian penyakit ISPA dan pneumonia di Kabupaten Batang Hari Provinsi Jamb tahun 2008. Jurnal Ekologi Kesehatan. 11(2):148̶58.
Purbowaseso B. 2004. Pengendalian kebakaran hutan. Jakarta: Rineka Cipta.
Putra AP. 2009. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus norvegicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. Journal Indonesia Medical Association. 63(3):112−6.
Riordan-Eva P. 2010. Anatomi dan embriologi mata. Dalam: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC.
Rummenie VT, Matsumono Y, Dogru M, Wang Y, Hu Y, Ward S., et al. 2008. Tear cytokine and ocular surface alterations following brief passive cigarette smoke exposure. Cytokine. (43):200 ̶ 8.
Soekamto TH, Perdanakusuma D. 2012. Intoksikasi karbon monoksida. Jurnal Rekonstruksi dan Estetik. 1(1):20̶1.
Sutyarso, Susantiningsih T, Suharto YAP. 2014. The Effect of Red Ginger Ethanol Extract (Zingiber officinale Roxb var Rubrum) to Airway Goblet Cells Count And Cilliary Lenght on Cigarette Smoke-Induced White Male Rats Sprague dawley Strains. Juke. 3(2):182̶9.
Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengetahuan dasar pengendalian kebakaran hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Syaufina L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Malang: PT Bayu Media.
Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: penyebab, biaya, implikasi, kebijakan. Bogor: Center of International Forestry Research.
Tayanont W, Vadakan NV. 2012. Exposure to volatile organic compounds and health risks among residents in an area affected by a petrochemical complex in rayong, Thailand. Southeast Asian J TropedMed Public Health. 43(1):201̶11
Weldimira V. 2014. Pengaruh pemberian ekstrak etanol jahe merah (Zingiber officinale Roxb var Rubrum) terhadap jumlah sel spermatogenik tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan galur Sprague dawley yang dipapar asap rokok [skripsi]. Lampung: Universitas lampung.
WHO. 2004. Environmental health criteria 213: carbon monoxide 2nd ed. Geneva: World Health Organization.