• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)JANTAN GALUR Sprague dawley

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)JANTAN GALUR Sprague dawley"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALURSprague

dawley

Oleh

FADIA NADILA

Kebakaran hutan merupakan salah satu sumber asap pembakaran bahan organik. Di Indonesia, seperti di pulau Sumatera sering terjadi akibat kegiatan manusia. Kebakaran hutan menghasilkan asap yang mempengaruhi kehidupan. Asap tersebut mengandung senyawa karbon monoksida (CO), zat partikulat, nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2) serta volatile organic compounds (VOCs) yang dapat mengiritasi mata. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi kornea tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galurSprague dawley.

Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague dawley berumur 8 ̶ 10 minggu yang dibagi menjadi 5 kelompok secara acak dan diberi perlakuan selama 1 minggu. K(-) diberi aquades, P1 dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 1 jam, P2 selama 2 jam, P3 selama 3 jam dan P4 selama 4 jam.

Hasil penelitian menunjukan rerata jumlah lapisan epitel kornea pada K(-)=5; P1=5,6; P2=5,8; P3=6 dan P4=6,8. Data diuji dengan uji Kruskal Wallis dan didapatkan hasil tidak bermakna pada statistik dengan nilai p=0,552 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi kornea tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley, namun tidak bermakna secara statistik.

(2)

ABSTRACT

THE EFFECT OF SMOKE BURNING ORGANIC MATERIAL EXPOSURE IN DIFFERENCE DURATION ON THE CORNEAL HISTOPATHOLOGY WHITE RATS (Rattus norvegicus) MALESprague

dawleySTRAIN

By

FADIA NADILA

A wildfire is one of the source of smoke burning organic material. In Indonesia, such as in Sumatera often occurs wildfire caused by human activities. A wildfire brings out smoke that can affect life. The smoke consist of carbon monoxide (CO), particulate matter (PM), nitrogen oxide (NOx), sulfur dioxide (SO2) and volatile organic compounds (VOCs) which can irritate eyes. The purpose of this study is to find out the effect of smoke burning organic material exposure in difference duration on the corneal histopathology white rats (Rattus norvegicus) maleSprague dawleystrain.

This study used 25 rats and 8̶10 weeks aged white male rats (Rattus norvegicus) fromSprague dawleystrain, which divided into 5 groups randomly and treated for a week. Aquadest was given to K(-), smoke burning organic material exposure was given to P2 for 1 hour, P2 for 2 hours, P3 for 3 hours and P4 for 4 hours.

The result of this study showed the average of corneal layers epithellium of K(-)=5; P1=5.6; P2=5.8; P3=6; P4=6.8. The data was processed by Kruskal Wallis test and there is no statistically significant result with p=0.552 (p>0.05). The conclusion of this study, there is effect in difference duration effect of smoke burning organic material exposure on the corneal histopathology white rats (Rattus norvegicus) male Sprague dawley strain, but not statistically significant result.

(3)

PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALURSprague

dawley

Oleh

FADIA NADILA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi, Provinsi Lampung pada tanggal 28 April 1994,

sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari bapak Tirowali, SE dan ibu Dra.

Ribut Sri Utami, M.M.

Pendidikan Taman Kanak (TK) diselesaikan di TK Putra BSD Tangerang Selatan

pada tahun 1999, Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN Karya

Bakti 1 Kota Tangerang Selatan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama

(SMP) diselesaikan di SMPN 11 Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008, dan

Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 2 Kota Tangerang

Selatan pada tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima di Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada Gen-C sebagai kabid

SCORA periode 2012 serta Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam dan Tanggap

Darurat Pakis Rescue Team (PMPATD Pakis Rescue Team) sebagai anggota

divisi Dana Usaha dan Logistik periode 2012-2013. Selama menjadi mahasiswa,

(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT, kupersembahkan

karya sederhana ini kepada:

Kedua Orang tuaku yang selalu mengajari,

mendidik, mendukung, mendoakan dan selalu

membimbing dengan segenap kemampuan

serta keikhlasan...

Kakak ku Fakhmiyogi yang selalu memberi

semangat, saran dan memberikan inspirasi...

Keluarga besar yang mempercayai dan

mendukung segala kegiatanku...

Teman

̶

teman Kedokteran Universitas

Lampung angkatan 2011 yang kompak

melangkah bersama kedepan...

(9)

tto

Kebajikan apa pun yang kamu peroleh

adalah dari sisi Allah SWT dan keburukkan

apa pun yang menimpamu adalah

(kesalahan) dirimu sendiri (QS.

An-Nisa :79).

Seseorang yang terjatuh kemudian ia

bangkit, lebih kuat dibanding yang tidak

(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT

yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa terhaturkan kepada junjungan kita,

Rasululloh SAW.

Skripsi dengan judul “PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP

PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR

Sprague dawley” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas

Lampung;

2. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung;

3. dr. Indri Windarti, Sp. PA., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya

untuk memberikan bimbingan, ilmu, saran, dan kritik dalam proses serta

(11)

4. dr. Muhartono, M.Kes, Sp. PA., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaan

memberikan bimbingan, ilmu, saran, dan kritik dalam proses serta

penyelesaian skripsi ini;

5. dr. M.Yusran, M. Sc, Sp. M., selaku Penguji Utama. Terima kasih atas waktu,

ilmu serta saran-saran yang telah diberikan;

6. dr. Ety Apriliana, M. Biomed., selaku Pembimbing Akademik atas motivasi,

perhatian, saran dan masukan selama ini;

7. Kepada Ibunda (Dra. Ribut Sri Utami, M.M), atas kiriman doa setiap saat dan

setiap sholat, kesabaran, keikhlasan, kasih sayang, perhatian, motivasi,

inspirasi dan segala sesuatu yang telah dan akan selalu diberikan kepada

penulis. Ayahanda (Tirowali, S.E) yang selalu memberikan doa, pelajaran

hidup, dan semangat berjuang yang tinggi. Kakak ku Fakhmiyogi yang

memberikan doa, saran, bantuannya serta seluruh keluarga lainnya, terima

kasih atas dukungan dan doa tanpa henti. Keinginan membahagiakan mereka

adalah motivasi terkuat untuk tetap bertahan dalam menyelesaikan penelitian

ini;

8. Kepada Ibu Jenny Bunanta dan Bapak Teddy Bunanta yang telah

memberikan doa, ilmu, motivasi serta inspirasi dalam penelitian ini;

9. Seluruh Staf dosen dan Staf karyawan FK Unila atas ilmu dan pengalaman

yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan dan motivasi

penulis;

10. Seluruh Staf TU, Administrasi dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang

(12)

11. Bapak Bayu selaku Asisten Laboratorium yang sudah memberikan saran,

motivasi dan membantu dalam proses pembuatan preparat histopatologi. Ibu

Lisa yang sudah memberikan motivasi dan bantuan dalam mempermudah

akses bertemu dengan pembimbing;

12. drh. Aulia Andi M, Msi, Mas Alyas dan Om Adi yang telah membantu dalam

penyediaan tikus, menjaga tikus untuk proses penelitian ini;

13. Kepada teman seperjuangan dan satu tim penelitian skripsi Tiara Anggraini

dan Rizky Bayu Ajie atas kebersamaan, keluh kesah, canda tawa, bantuan,

serta kerjasamanya sebelum, selama, dan setelah penelitian ini;

14. Sahabat dan saudara seperjuangan, Keluarga Pemuda-Pemudi Negeri, Fauzia

Andini, Fini Amalia, Lita Marlinda, Maradewi Maksum, M. Dwi Ario, Narita

Ekananda A.R, Nurul Chairunnisa, Novita Dwiswara P, Roseane M.V dan

Sabrine Dwigint yang telah membantu, menemani, menyemangati, berbagi di

segala hal disaat suka dan duka. Semoga persahabatan ini tetap terjaga

selamanya;

15. Dessy E.D, Nyimas F yang sudah menyemangati, serta memberikan

keceriaan sehingga beban penelitian lebih ringan;

16. Rekan kerja seperjuangan asisten dosen patologi anatomi Diah Septia

Liantari, I Gede Eka W, Muflikha Sofiana P, Tiara Anggraini, Rizky Bayu A,

Yolanda Fratiwi, Yuda Ayu K atas kerjasamanya selama ini;

17. Seluruh sahabat, teman angkatan 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu

atas kekompakan, canda tawa, maupun masalah selama 3,5 tahun yang telah

memberikan warna serta makna tersendiri. Semoga kebersamaan dan

(13)

18. Teman seperjuangan Sahabat Tikus dan Sahabat Mencit, Tiara, Baji, Yolci,

Lian, Gede, Wayan, Oci, Erot, Caca, Belda, Dila, Nayuv, Emon, Diano, Ate,

Topas, Mahe yang telah memberikan semangat, canda tawa yang memberikan

warna dalam penelitian ini;

19. Keluarga Moonzher di FK Unila Allysa, Dina, Audya, Nidya yang telah

menyemangati dan mendoakan;

20. Sahabat dan teman, Keluarga RC yaitu Ine, Utet, Ami, Muthia, Anti, Seto,

Topan, Bion, Aby, Munip. Keluarga A6 yaitu Au, Uti, Mira, Mumu, Aldi,

Wildan. Keluarga SS yaitu Sisil, Santi, Danu. Teman Kelana yaitu Lury, Dila,

Putmel, Sandy, Agha yang telah menyemangati dan mendoakan;

21. Sahabat dan kakak-kakak Pejuang Pesawaran KKN 2014 Tiara, Kak Karin,

Kak Ojo, Kak Tiwi, Kak Susan, Kak adit yang telah menyemangati,

mendoakan, serta memberikan pelajaran akan kemandirian hidup;

22. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat (angkatan 2002–2014), yang sudah

memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari

kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi yang sederhana ini dapat berguna

dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga segala perhatian, kebaikan dan

keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Bandar Lampung, 16 Desember 2014

Penulis

(14)
(15)

ii 2.2.5Volatile Organic Compounds... 2.3 Mekanisme Asap Terhadap Mata ...

2.4 Mata ...

2.4.1 Anatomi Mata Manusia ...

2.4.1.1 Kornea ...

2.4.1.1.1 Anatomi Kornea ...

2.4.1.1.2 Histologi Kornea ...

2.4.2 Anatomi Mata Tikus Putih (Rattus norvegicus) ...

2.4.2.1 Kornea ...

2.4.2.1.1 Histologi Kornea ...

2.5 Sistem Lakrimalis ...

2.5.1 Sistem Sekresi dan Ekskresi ...

2.5.2 Fungsi Air Mata ...

2.6 Proses Perubahan Kornea ...

(16)

iii

3.2 Tempat dan Waktu ...

3.3 Populasi dan Sampel ...

3.4 Bahan dan Alat Penelitian ...

3.4.1 Bahan Penelitian ...

3.4.2 Alat Penelitian ...

3.5 Prosedur Penelitian ...

3.5.1 Adaptasi Tikus ...

3.5.2 Persiapan Asap Bakaran ...

3.5.3 Prosedur Pemberian Intervensi ...

3.5.4 Prosedur Pengelolaan Hewan Coba Pasca Penelitian ...

3.5.5 Prosedur Pembedahan Mata ...

3.5.6 Prosedur Operasional PembuatanSlide... 3.5.7 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ...

3.5.7.1 Identifikasi Variabel ...

3.5.7.2 Definisi Operasional ...

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ...

3.6.1 Pengolahan Data ...

3.6.2 Analisis Data ...

3.7Ethical Clearance... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 4.1 Hasil Penelitian ...

4.1.1 Tingkat Hiperplasia Pada Epitel Kornea ...

4.1.2 Gambaran Histopatologi Mata Tikus ...

(17)

iv

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 5.1 Kesimpulan ...

5.2 Saran ...

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

56

56

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hubungan COHb dalam darah (%) dengan gejala ...

2. Pengaruh konsentrasi SO2... 3. Definisi Operasional ...

4. Hasil Hiperplasia Epitel Kornea ...

14

17

44

(19)
(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori penelitian ...

2. Kerangka konsep penelitian ...

3. Anatomi mata ...

4. Histologi kornea ...

5. Anatomi mata tikus ...

6. Histologi kornea mata tikus...

7. Siklus inflamasi akibat paparan zat iritan secara kronik ...

8. Diagram Alur Penelitian ...

9. Histopatologi mata tikus kelompok K(-) ...

10. Histopatologi mata tikus kelompok P1 ...

11. Histopatologi mata tikus kelompok P2 ...

12. Histopatologi mata tikus kelompok P3 ...

13. Histopatologi mata tikus kelompok P4 ...

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Lampiran 2

Lampiran 3 :

:

:

Uji Statistik

Foto Penelitian

(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Luas kawasan

hutan di Indonesia berdasarkan tahun 2000 seluas 120,35 juta hektar atau

sebesar 62,6% dari total luas daratan Indonesia seluas 192,16 juta ha (Dephut,

2002). Luas hutan di Indonesia semakin berkurang seiring bertambahnya

tahun akibat dari kebakaran hutan yang dilakukan dengan sengaja, seperti

pembukaan lahan biasanya lahan kebun sawit, baik oleh perusahaan maupun

oleh masyarakat (Tacconi, 2003).

Kebakaran hutan 1997/1998 di Indonesia diperkirakan menghasilkan emisi

karbon yang cukup tinggi dan sebagai salah satu poluter terbesar di dunia. Asap kebakaran hutan mengandung zat yang berbahaya bagi kehidupan

(23)

2

Dampak asap mempengaruhi di berbagai sektor kehidupan seperti gangguan

aktivitas, dampak ekonomi hingga gangguan kesehatan (Faisal, 2012).

Berdasarkan ATSDR, Depkes, MDH serta WHO, diketahui bahwa kandungan

asap tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran

nafas, iritasi kulit, iritasi mata, iritasi hidung, gangguan paru ̶paru hingga

gangguan mental (ATSDR, 2014; Depkes, 2011; MDH, 2010; WHO, 2004).

Seperti halnya, paparan CO dengan kadar 100 mg/m3 atau 87,3 part per million (ppm) selama 15 menit merupakan ambang batas normal yang aman bila terpapar pada manusia, bila melebihi ambang tersebut akan

mempengaruhi kesehatan (WHO, 2004).

Iritasi mata adalah rasa tidak nyaman yang superfisial biasanya akibat

kelainan di permukaan mata, seperti gatal, rasa kering, perih, mata berair

(Riordan-Eva, 2010). Apabila iritasi mata terjadi terus-menerus dapat

menyebabkan inflamasi pada permukaan okuler dan perubahan sekresi air

mata (Wilson, 2003). Proses inflamasi yang terjadi pada permukaan mata

ditandai dengan keberadaan sitokin, yang diketahui berperan dalam

peningkatan pertumbuhan sel epitel (Fabiani, 2009).

Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut

kerusakan yang terjadi pada kornea tikus putih akibat perbedaan durasi

(24)

3

1.2 Perumusan Masalah

Kebakaran hutan merupakan hal yang sering terjadi di Indonesia. Banyaknya

asap yang dihasilkan akibat kebakaran hutan membuat dampak yang cukup

besar pada segi kesehatan. Kandungan asap seperti PM, CO, NOx, SO2 dan VOCs dapat menyebabkan iritasi mata, sehingga penglihatan terganggu. Oleh

karena itu diperlukan penelitian histopatologi mata untuk mengetahui apakah

terdapat perubahan pada epitel mata bila terpapar asap terus–menerus.

Sehingga peneliti ingin mengetahui adanya pengaruh perbedaan durasi

paparan asap pembakaran bahan organik terhadap hiperplasia kornea tikus

putih (Rattus norvegicus) jantan galurSprague dawley?

1.3 Tujuan Penelitian

(25)

4

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

mengenai dampak paparan asap pembakaran bahan organik terhadap

mata, khususnya di bidang Patologi Anatomi.

1.4.2 Bagi Peneliti

Penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah

dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.

1.4.3 Bagi Pembangunan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi peringatan adanya bahaya

kebakaran hutan bagi kesehatan. Sehingga mendukung pemerintah untuk

membuat peraturan khusus tentang kebakaran hutan.

1.4.4 Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Dapat menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung dalam bidangagromedicine.

1.4.5 Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan bahan acuan untuk dilakukannya penelitian yang serupa

(26)

5

1.5 Kerangka Penelitian

1.5.1 Kerangka Teori

Asap pembakaran bahan organik yang meliputi CO, PM, NOx, SO2 serta VOCs dapat menyebabkan mata iritasi mata (Depkes, 2014;

MDH, 2010; NLM2, 2014). Iritasi Mata adalah rasa tidak nyaman yang superfisial biasanya akibat kelainan di permukaan mata seperti gatal,

rasa kering, perih, berpasir, mata berair, sekret mata (Riordan-Eva,

2010).

Iritasi mata yang terjadi secara berulang menyebabkan lengkung neural

diaktivasi secara berlebihan dan menyebabkan perubahan sekresi air

mata. Ditandai dengan sekresi sel T yang teraktivasi dan sitokin dalam

air mata. Keberadaan sitokin dalam air mata menyebabkan inflamasi

pada permukaan okuler, yang akan mengganggu penyampaian sinyal

sensoris dari permukaan mata sehingga sekresi basal air mata menurun.

Pada kelenjar lakrimalis baik secara langsung maupun tidak langsung

juga mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan penurunan

sekresi air mata dan inflamasi tersebut tidak dapat diatasi oleh sistem

pertahanan mata yang normal, walaupun secara fisiologis, di dalam air

mata mengandung komponen anti inflamasi. Inflamasi tersebut juga

menyebabkan disfungsi dari sistem air mata sehingga terjadi gangguan

(27)

6

aktivasi dari limfosit T. Selain itu, sitokin dan mediator inflamasi

lainnya juga menyebabkan peningkatan jumlah sel T yang diaktivasi,

jumlah produksi substansi inflamasi dan jumlah kerusakan jaringan

(Wilson, 2003).

Penurunan produksi air mata akibat paparan zat iritan secara kronik

dapat menyebabkan metaplasia dan penurunan jumlah sel goblet pada

epitel konjungtiva. Hal ini terjadi akibat aktivasi sel T dan NK cells

sehingga terjadi pelepasan interferon γ (IFN−γ) dimana, memiliki

potensi untuk meningkatkan regulasi protein yang berhubungan dengan

diferensiasi epitel konjungtiva. Interferon γ dilaporkan mampu

meningkatkan trankripsi RNA yang mengkode prekursor keratinisasi

(de Paivaet al, 2007).

Kehilangan komponen aqueous air mata menyebabkan konsentrasi

sodium akan meningkat atau terjadi hiperosmolaritas akibat

berkurangnya produksi air mata. Hiperosmolaritas menyebabkan

terjadinya keadaan dehidrasi pada lapisan air mata sehingga terjadi

penarikan cairan dari sel-sel permukaan konjungtiva dan kornea. Bila

keadaan tersebut berlangsung terus-menerus maka epitel permukaan

akan mengering dan mengelupas. Mula-mula terjadi pada epitel

konjungtiva, bila proses tersebut berlanjut akan terjadi pula pada epitel

(28)

7

yang berdampak pada penurunan jumlah glikogen di kornea yang akan

menurunkan kemampuan regenerasi kornea (Cohen, 2005).

Diketahui paparan asap terhadap mata dapat menyebabkan hiperplasia

sel pada epitel kornea. Hiperplasia merupakan salah satu respon

adaptasi sel terhadap stimulus senyawa toksik. Hal ini dapat disebabkan

baik faktor fisik dan atau sistemik. Faktor fisik terjadi akibat adanya

kontak langsung, sedangkan faktor sistemik dapat terjadi melalui

inhalasi senyawa toksik yang kemudian terbawa ke aliran darah

sehingga mencapai organ mata (Kusumawardhani, 2013). Kerangka

(29)

8

Gambar 1.Kerangka teori hiperplasia.

Sitokin dalam air

Pelepasan interferonγ(IFN-γ)

Meningkatkan regulasi

Epitel konjungtiva dan epitel kornea mengering dan mengelupas

(30)

9

1.5.2 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah pemberian paparan asap

pembakaran bahan organik dengan durasi yang berbeda terhadap kelompok

perlakuan, kemudian dilihat perubahan pada kornea tikus, berupa

hiperplasia. Kerangka konsep penelitian, tersaji pada gambar 2.

Gambar 2.Kerangka konsep penelitian.

Paparan Asap Pembakaran Bahan Organik

1 jam

2 jam

3 jam

4 jam

Gambaran:

Hiperplasia kornea Kelompok 1

Kontrol negatif (-)

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

Kelompok 5

(31)

10

1.6 Hipotesis

Semakin lama paparan asap pembakaran bahan organik semakin meningkat

(32)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan telah menjadi masalah bukan hanya di Indonesia tetapi juga

berdampak regional di Asia Tenggara yang berpengaruh terhadap berbagai

sektor kehidupan seperti gangguan aktivtas sehari-hari, hambatan

transportasi, kerusakan ekologis, penurunan pariwisata, dampak politik,

ekonomi dan gangguan kesehatan (Faisal, 2012). Kebakaran hutan

didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat alami maupun perbuatan manusia

yang menyebabkan terjadinya proses penyalahan serta pembakaran bahan

bakar hutan dan lahan (Syaufina, 2008). Kebakaran hutan dapat terjadi baik

disengaja maupun tanpa disengaja. Diketahui bahwa 90% terjadinya

kebakaran hutan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia melalui

beberapa kegiatan, seperti perladangan, perkebunan, penyiapan lahan untuk

ternak dan sebagainya (Purbowaseso, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian di Sumatera, didapatkan penyebab langsung

maupun tidak langsung dari kebakaran hutan. Adapun penyebab langsung

(33)

12

tidak langsung seperti alokasi penggunaan lahan, degradasi hutan dan lahan,

dampak dari perubahan karakeristik penduduk, lemahnya kapasitas

kelembagaan (Hadiprasetya, 2009).

Diketahui beberapa faktor seperti cuaca, struktur tanah dapat mempengaruhi

sifat api dan efek asap kebakaran. Secara umum, cuaca berangin membuat

konsentrasi asap lebih rendah, karena asap akan bercampur dengan udara

yang dapat menyebabkan api kebakaran menyebar lebih cepat serta dampak

yang timbul akan lebih besar. Intensitas panas, khusunya saat awal kebakaran

akan membawa asap ke udara dan menetap, kemudian turun jika suhu

menurun. Asap kebakaran pertama biasanya langsung terbawa angin sehingga

menjadi prediksi area yang terbakar (Faisal, 2012).

2.2 Asap Kebakaran

Asap merupakan perpaduan atau campuran karbon dioksida (CO2), air, karbon monoksida (CO), particulate matter, nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon, zat kimia organik, dan mineral (NCUAQMD, 2008). Selain itu,

asap kebakaran hutan mengandung volatile organic compounds (VOCs) seperti benzene, formaldehid dan akrelein yang dilepaskan ke atmosfer (CDC,

2014). Komponen asap lainnya seperti SO2dan ozon (O3) terkandung dalam asap kebakaran hutan (Perwitasari, 2012). Komposisi asap tergantung dari

banyak faktor, yaitu jenis bahan pembakar, kelembaban, temperatur api,

(34)

13

lignin, tanin, polifenol, minyak, lemak, resin, lilin, dan tepung akan

membentuk campuran yang berbeda saat terbakar (NCUAQMD, 2008).

2.2.1 Karbon Monoksida

Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon

monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan

karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon

monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan

pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna, serta

mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena dapat

membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin

(Luthfi, 2008). Karbon monoksida di lingkungan dapat terbentuk

secara alamiah, seperti dari lautan, oksidasi metal di atmosfir,

pegunungan, kebakaran hutan. Namun, sumber utamanya adalah dari

kegiatan manusia, antara lain kendaraan bermotor berbahan bakar

bensin, asap rokok, tungku dapur rumah tangga dan tungku pemanas

ruang (Depkes, 2011; Luthfi, 2008).

Dampak kesehatan yang dapat ditimbulkan dari karbon monoksida

antara lain pusing, rasa tidak enak pada mata, telinga berdengung, mual,

muntah, detak jantung meningkat, rasa tertekan di dada, sukar nafas,

kelemahan otot-otot, tidak sadar dan meninggal dunia (Mukono, 2008).

(35)

14

mengikat hemoglobin secara reversible, yang menyebabkan anemia relatif karena CO mengikat hemoglobin lebih kuat daripada oksigen.

Selain itu, CO dapat mengikat mioglobin yang menyebabkan daya

kontraktil miokardium menurun, sehingga pelepasan oksigen ke sel

berkurang terjadi hipoksia jaringan, aritmia ventrikuler dan dapat terjadi

kematian mendadak. Pada kulit, berwarna seperti buah cherry, namun

jarang terjadi. Gangguan lain yang ditimbulkan oleh CO, salah satunya

adalah iritasi mata. Iritasi mata merupakan rasa tidak nyaman pada

permukaan luar, biasanya akibat kelainan di permukaan mata, seperti

gatal, rasa kering, perih, sensasi benda asing, mata berair, sekret mata,

sering tidak spesifik untuk diagnostik (Faisal, 2012; Riordan-Eva,

2010). Berikut tabel mengenai hubungan COHb dalam darah dengan

gejala yang terjadi, tersaji pada tabel 1.

Tabel 1.Hubungan COHb dalam darah (%) dengan gejala.

COHb dalam darah

(%) Gejala

10 Tidak ada efek yang cukup, kecuali sesak napas saat aktivitas berat, pelebaran pembuluh darah kulit 20 Sesak napas saat aktivitas sedang, sakit kepala

sesekali

30 Sakit kepala (nyata), mudah lelah, gangguan penglihatan

40−50 Sakit kepala,collapse, pingsan saat aktivitas

60−70 Tidak sadar, kejang intermiten, gagal napas, kematian (paparan lama)

80 Kematian

(Sumber: WHO, 2004).

Digunakan rumus Henderson dan Haggard untuk menentukan kadar

(36)

15

CO di udara (dalam ppm) (Anggraeni, 2009). Berdasarkan The

National Institute for Ocupational Safety and Health (NIOSH), Lethal consentration (LC50) CO pada tikus sebesar 1807 ppm, inhalasi selama 4 jam. Sehingga bila paparan tersebut dipaparkan dapat menimbulkan

kerusakan organ hingga kematian (WHO, 2004).

2.2.2 Nitrogen Oksida

Nitrogen oksida adalah sekelompok gas yang terdiri dari nitrogen dan

oksigen. Dua dari nitrogen oksida yang paling umum adalah nitrat oksida

(NO) dan nitrogen dioksida (NO2). Nitrat oksida adalah gas dengan tajam, bau manis; tidak berwarna sampai coklat pada suhu kamar.

Nitrogen dioksida adalah tidak berwarna cairan coklat pada suhu kamar,

dengan bau yang keras yang kuat, serta menjadi gas coklat kemerahan

pada suhu di atas 70° F (NLM1, 2014).

Kadar NOx diudara perkotaan biasanya 10 100 kali lebih tinggi dari

pada di udara pedesaan. Kadar NOx diudara daerah perkotaan dapat

mencapai 0,5 ppm. Seperti halnya CO, emisi NOx dipengaruhi oleh

kepadatan penduduk karena sumber utama NOx yang diproduksi

manusia adalah dari pembakaran dan kebanyakan pembakaran

disebabkan oleh kendaraan bermotor, rokok, produksi energi dan

pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NOx buatan manusia

(37)

16

Dampak kesehatan akibat NOx, dibagi menjadi dua yaitu paparan jangka

pendek dan paparan jangka panjang. Paparan jangka pendek

mempengaruhi sistem pernafasan, kardiovaskuler, kulit, dan mata.

Paparan jangka pendek pada mata dengan NOx dalam bentuk cair dapat

menyebabkan luka bakar yang parah pada mata, sedangkan kadar tinggi

dalam bentuk gas menyebabkan iritasi dan dapat mengaburkan

permukaan mata serta kebutaan bila dipaparkan lebih lama (ASTDR1, 2014). Paparan jangka panjang NOx menyebabkan penyakit paru

restriktif dan obstruktif permanen, proses kelanjutan dari iritasi mata,

hidung, tenggorokan, kerusakan (deoksiribonukleat) DNA, serta bersifat

mutagenik dan fetotoksik (ATSDR1, 2014; NLM1, 2014).

2.2.3 Sulfur Dioksida

Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen

sulfur bentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) yang keduanya disebut sulfur oksida (SOx). Sulfur dioksida mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah

terbakar diudara, sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang

tidak reaktif, dengan jumlah 1 10% dari total SOx (Depkes, 2011).

(38)

17

kornea (ATSDR2, 2014). Berikut konsetrasi SO2 terhadap pengaruh yang ditimbulkan, tersaji pada tabel 2.

Tabel 2.Pengaruh konsentrasi SO2.

Konsentrasi ( ppm ) Pengaruh

3–5 Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya 8–12 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi

tenggorokan

20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata

20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk 20 Maksimum yang diperbolehkan untuk konsentrasi

dalam waktu lama

50–100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontrak singkat (30 menit)

400 -500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat

(Sumber: Depkes, 2011).

Dampak kesehatan akibat paparan SO2 dibagi menajdi paparan akut dan paparan kronik. Paparan akut pada dipengaruhi oleh SO2 yang melarut di dalam air pada membran mukosa, mata dan kulit kemudian akan

membentuk asam sulfur yang merupakan iritan dan inhibitor transportasi

mukosiliar. Sebagian besar SO2 dihirup, didetoksifikasi oleh hati terhadap sulfat dan diekskresikan dalam urin. Ion bisulfit diproduksi

ketika sulfur dioksida bereaksi dengan air cenderung menjadi inisiator

(39)

18

2.2.4Particulate Matter

Particulate Matter (PM) atau partikulat debu merupakan bagian penting dalam asap kebakaran untuk pajanan jangka pendek (jam atau

mingguan). Materi debu adalah partikel tersuspensi yang merupakan

campuran partikel solid dan droplet cair. Karakteristik dan pengaruh

potensial partikulat debu terhadap kesehatan tergantung pada sumber,

musim dan keadaan cuaca. Partikulat debu dibagi menjadi:

1. Ukuran lebih dari 10 µ m, biasanya tidak sampai ke paru; dapat

mengiritasi mata, hidung, dan tenggorokkan.

2. Partikel≤10µ m; dapat terinhalasi sampai ke paru.

3. Partikel kasar berukuran 2,5−10 µ m.

4. Partikel halus berdiameter≤2,5 µ m.

Partikulat debu akan berada di udara dalam waktu relatif lebih lama

dalam keadaan melayang dan masuk kedalam tubuh manusia melalui

saluran pernafasan (NCUAQMD, 2008).

2.2.5Volatile Organic Compounds

Volatile Organic Compounds (VOCs) adalah senyawa yang mengandung karbon yang mudah menguap pada suhu ruang (NLM2, 2014; MDH, 2010). Paparan jangka pendek VOCs menyebabkan iritasi pada mata, hidung dan

tenggorokan, sakit kepala, mual, muntah dan gangguan pernafasan.

(40)

19

ginjal, serta efek pada sistem lain seperti sistem respirasi, saraf, reproduksi,

gangguan mental dan kanker (MDH, 2010; Tanyanont & Vadakan, 2012).

2.3. Mekanisme Komponen Asap Terhadap Mata

Asap pembakaran bahan organik memiliki komponen yang terdiri dari CO,

NO, SO2 dan VOCs. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Rummenie., et al (2008) didapatkan bahwa zat toksin asap tersebut memicu pengaktifan sitokin yakni interleukin (IL) seperti IL 1α, IL 6, IL 8, TGF 1β

dan TNF α yang akan berperan dalam proses inflamasi pada epitel

permukaan mata. Diketahui sitokin IL 6, IL 8 dapat meningkatkan

pertumbuhan sel epitel (Fabiani, 2009). Hal ini juga disebutkan oleh

Sutyarso, Susantiningsih T, Suharto YAP (2014) dimana asap dapat

menyebabkan inflamasi pada organ.

2.4 Mata

2.4.1 Anatomi Mata Manusia

Mata terdiri dari suatu lapisan luar keras yang transparan di anterior atau

kornea dan opak di posterior atau sklera. Keduanya disambungkan oleh

limbus. Suatu lapisan kaya pembuluh darah atau koroid melapisi segmen

(41)

20

terletak di anterior, mengandung otot-otot siliaris polos yang kontraksinya

mengubah bentuk lensa dan memungkinkan fokus mata berubah-ubah.

Epitel siliaris mensekresi aqueous humor dan mempertahankan tekanan

okuler. Lensa terletak dibelakang iris, disokong oleh serabut-serabut halus

atau zonula yang terbentang diantara lensa dan korpus siliaris. Antara

kornea di anterior dan lensa serta iris di posterior terdapat bilik mata

anterior. Diantara iris, lensa dan korpus siliaris terdapat bilik mata

posterior. Kedua bilik ini terisi oleh aqueous humor. Di anterior,

konjungtiva akan berlanjut dari sklera ke bagian bawah kelopak mata atas

dan bawah (James, 2005). Berikut anatomi mata, tersaji pada gambar 3.

(42)

21

2.4.1.1 Kornea

2.4.1.1.1 Anatomi kornea

Kornea merupakan jaringan transparan yang avaskular berukuran

11−12 mm horizontal dan 10−11 mm vertikal serta memiliki

indeks refraksi 1,37 mempunyai rata−rata ketebalan 550 µ m pada

dewasa. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa

dari aqueous humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan

air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari

sirkulasi limbus (Riordan-Eva, 2010).

2.4.1.1.2 Histologi kornea

Secara histologis, lapisan kornea terdiri dari lima lapisan,

yaitu:

1. Epitel

Tebalnya 50 µ m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak

bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal,

sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat

mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan dan

semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal

berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel

(43)

22

dan glukosa yang merupakanbarrier.Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya.

2. Membran Bowman

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang

merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti

stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini

tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma

Susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya. Keratosit

merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas

terletak di antara serat kolagen stroma. Keratosit membentuk

bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio

atau sesudah trauma.

4. Membran Descement

Membran aselular dan merupakan batas belakang stroma

kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran

basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus

seumur hidup, mempunyai tebal 40 µ m.

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal,

besar 20−40 µ m. Endotel melekat pada membran descement

(44)

23

Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa

lapisan tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat

membran limitans anterior(membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia). Permukaan posterior kornea

ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel posterior yang merupakan

endotel kornea. Membran descemet merupakan membran basal

epitel kornea (Eroschenko, 2010). Berikut gambar histologi

kornea, tersaji pada gambar 4.

Gambar 4.Histologi kornea (Sumber: Lang, 2006).

2.4.2 Anatomi Mata Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Pada dasarnya mata manusia dan mata tikus tidak terlalu banyak berbeda,

kecuali dalam segi bentuk serta ukuran. Berikut gambar anatomi mata

(45)

24

Gambar 5.Anatomi mata tikus (Sumber: Hanson, 2012).

2.4.2.1 Kornea

2.4.2.1.1 Histologi

Sama halnya, seperti kornea manusia pada kornea tikus diketahui

tidak ada perbedaan. Kornea tikus memiliki lima lapisan, yaitu

epitel, membran bowman, stroma, membran decement dan

endotel. Kornea tidak terdapat sel goblet (Almubrad, 2011).

(46)

25

Gambar 6.Histologi kornea tikus (Sumber: Almubrad, 2011).

2.5 Sistem Lakrimalis

Sistem lakrimalis dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem sekresi dan ekskresi

air mata.

2.5.1 Sistem Sekresi dan Ekskresi

Sistem Sekresi Air Mata

Sekresi air mata dominan di hasilkan di kelenjar lakrimal, walapun

terdapat kelenjar tambahan lainnya seperti kelenjar krause dan

wolfring, terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks superior.

Modifikasi kelenjar sebasea meibom dan zeis di tepian palpebra

memberi substansi lipid pada air mata. Kelenjar moll adalah

modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film

(47)

26

kornea, konjungtiva, mukosa hidung, stimulus pedas yang diberikan

pada mulut atau lidah dan cahaya terang, akibat dari muntah, batuk,

menguap maupun emosional kesedihan (Jansen, 2009). Kerusakan

pada nervus trigeminus akan menyebabkan refleks sekresi air mata

menghilang. Jalur aferen berasal dari saraf ofthalmik cabang dari

saraf trigeminus, sedangkan jalur eferen oleh saraf autonom yaitu

simpatis, berasal dari ganglion servikal superior dan parasimpatis

dari nervus fasialis (n.VII) yang memberikan pengaruh motorik

yang paling dominan. Persarafan yang kompleks ini berfungsi untuk

mengontrol fungsi kelenjar lakrimal sehingga menjaga homeostasis

lapisan air mata dan berespon terhadap stress dan trauma

(Surasmiati, 2014).

Sistem Ekskresi Air Mata

Sistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis dan

duktus nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mulai di

lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan

menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada medial palpebra. Setiap

kali mengedip, muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula

sehingga memendekkan kanalikuli horizontal dan menimbulkan

tekanan negatif pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan air

mata ke dalam sakus, lipatan mirip katup pada sakus cenderung

menghambat aliran balik air mata, yang kemudian masuk melalui

(48)

27

2.5.2 Fungsi Air Mata

Air mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu lipid, aqueous, dan musin.

Ketebalan lapisan air mata sekitar 8 9 µ m. Lapisan lipid merupakan

lapisan superfisial dengan ketebalan sekitar 0,1 0,2 µ m. Lapisan

aqueous di bagian tengah dengan ketebalan 7 8 µ m dan lapisan musin

di bagian basal dengan ketebalan 1 µ m (Surasmiati, 2014).

Fungsi air mata yang paling penting adalah melindungi serta

mempertahankan integritas sel-sel permukaan mata, terutama kornea

dan konjungtiva. Selain itu, lapisan air mata akan membentuk serta

mempertahankan permukaan kornea selalu rata dan licin sehingga

memperbaiki tajam penglihatan pada saat setelah berkedip. Setiap

berkedip, air mata mengalir membersihkan kotoran, debu yang masuk

ke mata. Menjaga sel-sel permukaan kornea dan konjungtiva tetap

lembab. Mengandung antibakteri, lisozim, betalisin dan antibodi,

sebagai mekanisme pertahanan mata dan proteksi terhadap

kemungkinan infeksi. Sumber nutrisi seperti glukosa, elektrolit, enzim,

dan protein (Asyari, 2007).

2.6 Proses Perubahan Kornea

Paparan asap yang akut dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang diakibatakan

(49)

28

berulang menyebabkan lengkung neural diaktivasi secara berlebihan dan

menyebabkan perubahan sekresi air mata. Ditandai dengan sekresi sel T yang

teraktivasi dan sitokin dalam air mata. Keberadaan sitokin dalam air mata

menyebabkan inflamasi pada permukaan okuler, yang akan mengganggu

penyampaian sinyal sensoris dari permukaan mata sehingga sekresi basal air

mata menurun. Pada kelenjar lakrimalis baik secara langsung maupun tidak

langsung juga mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan penurunan

sekresi air mata dan inflamasi tersebut tidak dapat diatasi oleh sistem

pertahanan mata yang normal, walaupun secara fisiologis, di dalam air mata

mengandung komponen anti inflamasi. Inflamasi tersebut juga menyebabkan

disfungsi dari sistem air mata sehingga terjadi gangguan drainase, yang

menyebabkan iritasi tidak terkontrol dan peningkatan aktivasi dari

limfosit T. Selain itu, sitokin dan mediator inflamasi lainnya juga

menyebabkan peningkatan jumlah sel T yang diaktivasi, jumlah produksi

substansi inflamasi dan jumlah kerusakan jaringan (Wilson, 2003). Berikut

adalah ilustrasi mengenai proses paparan zat iritatif yang berlangsung kronik

dapat menyebabkan penurunan sekresi air mata, tersaji pada gambar 7.

(50)

29

Beberapa dampak, diduga akibat paparan zat iritatif menyebabkan terjadi

peningkatan produksi tumor necrosis factorα (TNF α), IFN γ, interleukin 1 (IL 1) dan glikosaminoglikan oleh fibroblas orbital. Akibat penghasilan

Interferon γ, terjadi ekpresi HLA-DR oleh fibroblas tersebut. Selain itu,

menyebabkan pelepasan IL 4, IL 5, IL 10, IL 13 dan TNF α oleh sel mast

(Bakeret al, 2006).

Menurut Rummenie., et al (2008) komponen asap yang bersifat toksik dapat mengaktifkan sitokin seperti IL 1α, IL 6, IL 8, TGF 1β dan TNF α yang

akan berperan dalam proses inflamasi pada epitel permukaan mata. Diketahui

sitokin IL 6 dan IL 8 dapat meningkatkan pertumbuhan sel epitel (Fabiani,

2009).

Paparan asap terhadap mata dapat menyebabkan hiperplasia sel pada epitel

kornea. Hiperplasia merupakan salah satu respon adaptasi sel terhadap

stimulus senyawa toksik. Hal ini disebabkan oleh faktor fisik dan atau

sistemik. Faktor fisik terjadi akibat adanya kontak langsung, sedangkan faktor

sistemik dapat terjadi melalui inhalasi senyawa toksik yang kemudian

terbawa ke aliran darah sehingga mencapai organ mata (Kusumawardhani,

(51)

30

2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus) GalurSprague dawley

Tikus Putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian,

dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia,

sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia,

sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai

manusia. Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague dawley berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih 3 bulan. Tikus Sprague dawleydengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat dewasa, sehingga dikhawatirkan akan

memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian

(Kesenja, 2005).

2.7.1 Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentai

Subordo : Odontoceti

Familia : Muridae

Genus : Rattus

(52)

31

2.7.2 Jenis

Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan

tertentu antara lain galur Sprague dawley, Wistar, dan Long evans. Tikus galur Sprague dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus galur

Wistar memiliki ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek sedangkan galur Long evans memiliki ciri badan berukuran lebih kecil dari tikus putih, berwarna hitam pada bagian

kepala dan tubuh bagian depan. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur

Sprague dawley merupakan tikus yang paling sering digunakan dalam percobaan. Tikus ini memiliki tempramen yang tenang sehingga mudah

dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat badan tikus Sprague dawley

adalah 10,5 gram. Berat badan dewasa adalah 250−300 gram untuk

betina, dan 450−520 gram untuk jantan. Tikus ini jarang hidup lebih

(53)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Rancangan

Acak Lengkap dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design. Menggunakan 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8−10 minggu yang dipilih secara acak dan dibagi 5 kelompok.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Pemeliharaan tikus dan pemeberian intevensi akan dilakukan di Pet House

Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Pembuatan preparat dan pengamatan akan dilakukan di Laboratorium

Histologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

(54)

33

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague dawley berumur 8−10 minggu (dewasa) yang diperoleh dari Unit Pengelola Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor. Sampel penelitian sebanyak 25 ekor yang dipilih secara

acak yang dibagi dalam 5 kelompok, sesuai dengan rumus Frederer.

Rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah :

(n−1) (t−1)≥15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah

pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan

5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi:

(n−1) (5−1)≥15

(n−1)4≥15

(n−1)≥15/4

(n-1)≥3,75

n≥3,75+1

n = 4,75 (dibulatkan menjadi 5)

Jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 5 ekor (n≥5)

dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 5 kelompok sehingga penelitian

(55)

34

Kriteria inklusi:

a) Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, botak, dan

bergerak aktif).

b) Memiliki berat badan 100−150 gram.

c) Berjenis kelamin jantan.

d) Berusia sekitar 8−10 minggu (dewasa).

Kriteria eksklusi:

a) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi.

Kriteriadrop out:

a) Sakit selama perlakuan.

b) Mati selama masa perlakuan.

3.4 Bahan dan Alat Penelitian

3.4.1 Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah bahan

(56)

35

3.4.2 Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah:

a) Neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01 gram,

untuk menimbang berat tikus.

b) Tungku untuk membakar bahan organik.

c) Pipa.

d) Plastic boxsebagai tempat pengumpul asap. e) Korek api.

f) Kapas alkohol.

g) Minor set.

h) Mikroskop.

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Adaptasi Tikus

Tikus sebanyak 25 ekor dibagi ke dalam 5 kandang dan diadaptasi

selama 1 minggu sebelum perlakuan dimulai. Selama masa adaptasi tikus

diberi makan berupa pelet dan air. Pengukuran berat badan tikus sebelum

(57)

36

3.5.2 Persiapan Asap Bakaran

Bakar bahan organik (daun, ranting, batang pohon, kayu dan arang)

pada tungku, kemudian tunggu sampai asap hasil bakaran tersebut

sampai pada plastik pengumpul asap yang melewati pipa. Pastikan

bahan bakar sudah menjadi bara, sehingga jumlah asap yang dihasilkan

lebih konsisten atau statis.

3.5.3 Prosedur Pemberian Intervensi

Untuk pemberian intervensi dilakukan berdasarkan kelompok

perlakuan. Kelompok 1 (K-) sebagai kontrol negatif, dimana hanya

akan diberi aquadest. Kelompok 2 (P1) sebagai kontrol positif, dimana

dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 1 jam per hari.

Kelompok 3 (P2) sebagai kontrol positif, dimana dipaparkan asap

pembakaran bahan organik selama 2 jam per hari. Kelompok 4 (P3)

sebagai kontrol positif, dimana dipaparkan asap pembakaran bahan

organik selama 3 jam per hari. Kelompok 5 (P4) sebagai kontrol positif,

dimana dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 4 jam per

hari.

Paparan asap pembakaran organik dilakukan dengan cara membakar

bahan organik, kemudian ditunggu sampai bahan bakar menjadi bara,

(58)

37

dilakukan pada kandang tikus yang telah ditempatkan dalam tempat

plastik pengumpul asap. Paparan asap pembakaran bahan organik

dilakukan dengan perbedaan durasi, yaitu P1 selama 1 jam, P1 selama 2

jam, P3 selama 3 jam, P4 selama 4 jam. Perlakuan tersebut dilakukan

selama 7 hari.

3.5.4 Prosedur Pengelolaan Hewan Coba Pasca Penelitian

Pada akhir penelitian tikus akan dianestesi dengan menggunakan

ketamine ̶xylazine dengan dosis 75−100 mg/kg + 5−10 mg/kg secara intraperitoneal dengan durasi selama 10−30 menit. Kemudian setelah

tikus dianestesi akan dilakukan dislokasi servikal untuk

menterminasikan tikus (AVMA, 2013).

3.5.5 Prosedur Pembedahan Mata

Dilakukan pembedahan pada mata tikus, konjungtiva dan kornea tikus

diambil untuk pembuatan sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan

mikroskopis dengan menggunakan blok parrafin dan pewarnaan

(59)

38

3.5.6 Prosedur Operasional PembuatanSlide

Metode pembuatan preparat Histopatologi Bagian Patologi Anatomi

Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung (Weldimira, 2014).

Metode teknik pembuatan preparat histopatologi menurut bagian

Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung:

a) Fixation

1. Spesimen berupa potongan organ mata yang telah dipotong secara

representatif kemudian segera difiksasi dengan formalin 10%

selama 3 jam.

2. Dicuci dengan air mengalir sebanyak 3−5 kali.

b) Trimming

1. Organ dikecilkan hingga ukuran ±3 mm.

2. Potongan organ mata tersebut lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette.

c) Dehidrasi

1. Mengeringkan air dengan meletakkan tissue cassette pada kertas tisu.

2. Dehidrasi dengan:

 Alkohol 70% selama 0,5 jam.

 Alkohol 96% selama 0,5 jam.

 Alkohol 96% selama 0,5 jam.

(60)

39

 Alkohol absolut selama 1 jam.

 Alkohol absolut selama 1 jam.

 Alkohol absolut selama 1 jam.

 Alkoholxylol1:1 selama 0,5 jam. d)Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukanclearingdenganxylol I dan II, masing−masing selama 1 jam.

e)Impregnasi

Impregnasi dilakukan dengan menggunakan paraffin selama 1 jam

dalam oven suhu 650C. f)Embedding

1. Sisa paraffin yang ada pada pan dibersihkan dengan

memanaskan beberapa saat di atas api dan diusap dengan kapas.

2. Paraffin cair disiapkan dengan memasukkan paraffin ke dalam

cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu diatas

580C.

3. Paraffin cair dituangkan ke dalam pan.

4. Dipindahkan satu persatu dari tissue cassette ke dasar pan dengan mengatur jarak yang satu dengan yang lainnya.

5. Pan dimasukkan ke dalam air.

6. Paraffin yang berisi potongan mata dilepaskan dari pan dengan

dimasukkan ke dalam suhu 4−60C beberapa saat.

7. Paraffin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan

(61)

40

8. Siap dipotong dengan mikrotom.

g) Cutting

1. Pemotongan dilakukan pada ruangan dingin.

2. Sebelum memotong, blok didinginkan terlebih dahulu di lemari

es.

3. Dilakukan pemotongan kasar, lalu dilanjutkan dengan

pemotongan halus dengan ketebalan 4−5 mikron. Pemotongan

dilakukan menggunakan rotary microtome dengan disposable knife.

4. Dipilih lembaran potongan yang paling baik, diapungkan pada

air, dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu

sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang

lain ditarik menggunakan kuas runcing.

5. Lembaran jaringan dipindahkan ke dalamwater bath suhu 600C selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.

6. Dengan gerakan menyendok, lembaran jaringan tersebut diambil

dengan slide bersih dan ditempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah.

7. Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator (suhu 370C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.

h) Staining(pewarnaan) dengan Harris Hematoksilin−Eosin

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide yang terbaik, selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat

(62)

41

1. Dilakukan deparafinisasi dalam:

1. LarutanxylolI selama 5 menit. 2. LarutanxylolII selama 5 menit. 3. Ethanol absolut selama 1 jam.

2. Hydrasi dalam:

a. Alkohol 96% selama 2 menit.

b. Alkohol 70% selama 2 menit.

c. Air selama 10 menit.

3. Pulasan inti dibuat dengan menggunakan:

a. Harris Hematoksilin selama 15 menit.

b. Dibilas dengan air mengalir.

c. Diwarnai dengan eosin selama maksimal 1 menit.

4. Selanjutnya, didehidrasi dengan menggunakan:

a. Alkohol 70% selama 2 menit.

b. Alkohol 96% selama 2 menit.

c. Alkohol absolut selama 2 menit.

5. Penjernihan dengan:

a.XylolI selama 2 menit. b.XylolII selama 2 menit.

i) Mountingdengan entelan dan tutup dengandeck glass

(63)

42

j) Slidedibaca dengan mikroskop

Slidediperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Preparat histopatologi dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi

untuk dikonsultasikan dengan ahli patologi anatomi. Pengamatan

mikroskopis dilakukan oleh peneliti sendiri. Digambarkan pada

(64)

43

Gambar 8.Diagram alur penelitian.

Tikus diberi perlakuan selama 7 hari

Paparan asap

Tikus dianastesi dengan ketamine-xyzaline 75̶100mg/kg + 5̶10mg/kg secara IP

Eutanasiametodecervikal dislocation

Lakukan pembedahan mata tikus

Sampel di fiksasi dengan formalin 10% Pembuatan sediaan dengan pewarnaan HE

Pengamatan sediaan dengan mikroskop Intrepretasi dan hasil pengamatan

Timbang Berat Badan Tikus

K (-) P 1 P2 P3 P4

(65)

44

3.5.7 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

a) Variabel Bebas adalah paparan asap pembakaran organik.

b) Variabel Terikat adalah hiperplasia epitel kornea.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional tergambar dalam bentuk tabel, tersaji pada tabel 3.

Tabel 3. Definisi operasional.

Variabel Definisi Skala

Gambaran adanya peningkatan jumlah sel pada epitel kornea dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi oleh seorang dokter spesialis patalogi anatomi (dr. IW, Sp. PA) menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x.

(66)

45

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

3.6.1 Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke

dalam bentuk tabel-tabel, kemudian proses pengolahan data

menggunakan program komputer, yang terdiri dari beberapa langkah:

1. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk

keperluan analisis.

2. DataEntry, memasukkan data ke dalam komputer.

3. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap

data yang telah dimasukkan ke dalam komputer.

4. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer

kemudian dicetak.

3.6.2 Analisis Data

Data yang diperoleh adalah hipotesis komparatif skala numerik dengan

jumlah >2 kelompok tidak berpasangan yang kemudian diuji analisis

dengan menggunakan software analisis statistik. Pada hipotesis komparatif numerik, dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui data

terdistribusi normal (p>0,05) atau tidak secara statistik dengan uji

(67)

46

dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih

kelompok data memiliki varians data yang sama (p>0,05) atau tidak.

Jika varians data terdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan

metode uji parametrik One WayANOVA, bila varians data tidak sama lakukan transformasi data. Bila setelah transformasi data masih tidak sama maka data tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji

non parametrik Kruskal-Wallis. Hipotesis bermakna bila p<0,05. Jika pada uji ANOVA atau Kruskal-Wallis didapatkan nilai p<0,05 maka, dilanjutkan dengan melakukan analisis Post Hoc LSD untuk melihat

perbedaan antar kelompok perlakuan (Dahlan, 2011).

3.7Ethical Clearance

Penelitian ini diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan beberapa prinsip

penelitian, yaitu Replacement, memanfaatkan hewan coba secara seksama dan tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan

jaringan. Reduction, pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, namun tetap mendapatkan hasil yang optimal. Refinement, memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi, tidak menyakiti hewan coba (Ridwan,

(68)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat

hiperplasia epitel kornea tikus putih pada perbedaan durasi paparan asap

pembakaran bahan organik, namun tidak bermakna secara statistik.

5.2 Saran

1. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut menggunakan

organ mata yang lebih besar, seperti kelinci.

2. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut pada organ lain,

(69)
(70)

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Toxic Substances and Disease Registry 1 (ATSDR1). 2014. Nitrogen oxides (NO, NO2, and others). Tersedia pada: http://www.atsdr.cdc.gov/mmg/mmg.asp?id=394&tid=69. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

Agency for Toxic Substances and Disease Registry 2 (ATSDR2). 2014. Medical management guidelines for sulfur dioxide. Tersedia pada: http://www.atsdr.cdc.gov/mmg/mmg.asp?id=249&tid=46. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

Almubrad T, Akhtar S. 2011. Structure of corneal layers, collagen fibrils, and proteoglycans of tree shrew cornea. Molecular Vision. 17:2283̶91.

Anggraeni NIS. 2009. Pengaruh lama paparan asap knalpot dengan kadar CO 1800 ppm terhadap gambaran histopatologi jantung pada tikus wistar [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Asyari F. 2007. Dry eye syndrome (sindroma mata kering). Dexa Media. 20(4):162̶6.

AVMA. 2013. Guidlines for the euthanasia of animals. Schaumburg: American Veterinary Medical Association.

Baker GRC, Morton M, Rajapaska RS, Bullock M, Gullu S, Mazzi B,et al. 2006. Altered tear composition in smokers and patients with graves opthalmopathy. Arch Opthalmol. 124:1451̶56.

(71)

Cohen S, Stern ME. 2005. Dry eye: the lacrimal functional unit. Uveitis and Immunological Disorders. Germany: Springer.

Dahlan MS. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

de Paiva CS, Villarreal AL, Corrales RM, Rahman HT, Chang VY, Farley WJ, et al. 2007. Dry-eye induced conjunctival epithelial squamous metaplasia is modulated by Interferon-γ. Investigate Ophthalmology & Visual Science.48(6):2553̶60.

Depkes. 2011. Parameter pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Eroschenko VP. 2010. Atlas histologi diFiore dengan korelasi fungsional. Edisi ke-11. Jakarta: EGC.

Faisal F, Faisal Y, Fachrial H. 2012. Dampak asap kebakaran hutan pada pernapasan. Cermin Dunia Kedokteran. 39(1):31̶4.

Fabiani C, Barabino S, Rashid S, Dana RM. 2009. Corneal epithel proliferation and thickness in a mouse model of dry eye. Exp Eye Res. 89(2):166 ̶ 171.

Hadiprasetya Y. 2009. Identifikasi faktor penyebab kebakaran hutan dan upaya penanggulangannya di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Instititut Pertanian Bogor.

Hanson A. 2012. The rat eyes. Tersedia pada:

http://www.ratbehavior.org/Eyes.htm. Diakses tanggal 23 Oktober 2014.

Ilyas S. 2011. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

(72)

James B, Chew C, Anthony B. 2005. Lecture notes: Oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung pare (Momordica charantia l) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Kusumawardhani A, Sarwendah K, Rahmad L, Millah NU, Herliyani N, Sutrisno B, et al. 2013. Sitotoksik asap rokok pada kornea tikus putih wistar yang diberi ekstrak kunyit (Curcuma domestica v). Jurnal Sain Veteriner. 31(1):89̶9.

Luthfi RM. 2008. Analisis beban pencemar dan konsenterasi karbon monoksida (CO) di Jakarta [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

MDH. 2010. Volatile organic compounds (VOCs) in your home. Tersedia pada: http://www.health.state.mn.us/divs/eh/indoorair/voc/. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

Mukono HJ. 2008. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Surabaya: Universitas Airlangga Press.

Narendra DW. 2007. Pengaruh dehidrasi dengan pemberian bisacodyl terhadap gambaran hematokrit tikus putih jantan (Rattus norvegicus) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

organic compounds. Tersedia pada:

(73)

North Coast Unified Air Quality Management Distric (NCUAQMD). 2008. Wildfire smoke a guide for public health officials (revised July 2008). Tersedia pada: http://www.arb.ca.gov/smp/progdev/pubeduc/wfgv8.pdf. Diakses tanggal 18 Juli 2014.

Perwitasari D, Bambang S. 2008. Gambaran kebakaran hutan dengan kejadian penyakit ISPA dan pneumonia di Kabupaten Batang Hari Provinsi Jamb tahun 2008. Jurnal Ekologi Kesehatan. 11(2):148̶58.

Purbowaseso B. 2004. Pengendalian kebakaran hutan. Jakarta: Rineka Cipta.

Putra AP. 2009. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus norvegicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. Journal Indonesia Medical Association. 63(3):112−6.

Riordan-Eva P. 2010. Anatomi dan embriologi mata. Dalam: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC.

Rummenie VT, Matsumono Y, Dogru M, Wang Y, Hu Y, Ward S., et al. 2008. Tear cytokine and ocular surface alterations following brief passive cigarette smoke exposure. Cytokine. (43):200 ̶ 8.

Soekamto TH, Perdanakusuma D. 2012. Intoksikasi karbon monoksida. Jurnal Rekonstruksi dan Estetik. 1(1):20̶1.

Sutyarso, Susantiningsih T, Suharto YAP. 2014. The Effect of Red Ginger Ethanol Extract (Zingiber officinale Roxb var Rubrum) to Airway Goblet Cells Count And Cilliary Lenght on Cigarette Smoke-Induced White Male Rats Sprague dawley Strains. Juke. 3(2):182̶9.

(74)

Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengetahuan dasar pengendalian kebakaran hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Syaufina L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Malang: PT Bayu Media.

Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: penyebab, biaya, implikasi, kebijakan. Bogor: Center of International Forestry Research.

Tayanont W, Vadakan NV. 2012. Exposure to volatile organic compounds and health risks among residents in an area affected by a petrochemical complex in rayong, Thailand. Southeast Asian J TropedMed Public Health. 43(1):201̶11

Weldimira V. 2014. Pengaruh pemberian ekstrak etanol jahe merah (Zingiber officinale Roxb var Rubrum) terhadap jumlah sel spermatogenik tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan galur Sprague dawley yang dipapar asap rokok [skripsi]. Lampung: Universitas lampung.

WHO. 2004. Environmental health criteria 213: carbon monoxide 2nd ed. Geneva: World Health Organization.

Gambar

Gambar 1. Kerangka teori hiperplasia.
Gambaran:2 jamKelompok 3
Tabel 1. Hubungan COHb dalam darah (%) dengan gejala.
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi SO2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan model pembelajaran Advance Organizer berbantu media Ular Tangga yang nantinya akan membuat siswa ikut aktif berpartisipasi dalam proses

mendasarkan pada terpenuhi atau tidak terpenuhinya seluruh unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, setelah itu akan ditentukan apakah perbuatan

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat

Kelas eksperimen dan kontrol diberi tes/soal untuk mengukur penguasaan konsep siswa (pretes).Kemudian,kelas eksperimen (VII B ) diberi perlakuan dengan pembelajaran menggunakan

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan analisis regresi berganda diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara layanan bimbingan konseling dan kemandirian

Penelitian yang dilakukan yaitu berupa survei volume lalu lintas (LHR) untuk melihat tingkat kepadatan kendaraan, kemudian survei kecepatan kendaraan dan survey

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chayati (2011) bahwa variasi pencampuran ubi jalar kuning pada pembuatan roti manis mempengaruhi tingk at kesukaan serta

[r]