EKSISTENSI BUDAYA SEBAMBANGAN (KAWIN LARI) DALAM MASYARAKAT ADAT SUKU LAMPUNG PEPADUN
DI KAMPUNG CUGAH KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN
TAHUN 2012
Oleh
Hafidudin
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
EKSISTENSI BUDAYA SEBAMBANGAN (KAWIN LARI) DALAM MASYARAKAT ADAT SUKU LAMPUNG PEPADUN
DI KAMPUNG CUGAH KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN
TAHUN 2012
Oleh HAFIDUDIN
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai eksistensi budaya
sebambangan (kawin lari) dalam masyarakat adat suku Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan tahun 2012. Titik tekan kajian dalam penelitian ini yaitu memperhatikan dinamika budaya
sebambangan, masih bertahannya budaya sebambangan, perubahan budaya
sebambangan, serta eksistensi budaya sebambangan di Kampung Cugah.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Objek penelitian yaitu
eksistensi budaya sebambangan (kawin lari) masyarakat Lampung Pepadun.
Subjek penelitian: pelaku sebambangan, pemuka adat Lampung Pepadun, dan kepala keluarga pelaku sebambangan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, observasi, kepustakaan, dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik analisis data kualitatif yang menjadi dasar dalam pembuatan laporan ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya sebambangan yang dilaksanakan oleh masyarakat Lampung Pepadun terutama dikarenakan oleh ketidaksetujuan orang tua untuk menikahkan anak-anaknya. Kebudayaan ini telah mengalami perubahan-perubahan, diantaranya tidak dilaksanakannya lagi sebambangan
dengan cara ditekop. Budaya sebambangan saat ini masih menjadi adat istiadat masyarakat Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.
DAFTAR ISI
C. Variabel Penelitian dan Definisi Konsep ... 24
1. Variabel Penelitian ... 24
2. Definisi Konsep ... 25
D. Teknik Pengumpulan Data ... 27
1. Teknik Pengumpulan Data Primer ... 27
1.2 Wawancara ... 28
2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder ... 28
2.1 Studi Kepustakaan ... 29
2.2 Studi Dokumentasi ... 29
E. Teknik Analisis Data ... 29
IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Geografis Daerah Penelitian ... 30
1. Letak Astronomis dan Letak Administratif ... 30
2. Kondisi Fisik Daerah Penelitian ... 33
2.1 Keadaan Topografis ... 33
1. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ... 38
2. Persebaran Penduduk ... 40
3. Kepadatan Penduduk ... 43
4. Komposisi Penduduk ... 43
4.1 Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ... 44
4.2 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ... 45
4.3 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencarian ... 47
4.4 Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa ... 47
4.5 Komposisi Penduduk Yang Masih Melaksanakan Sebambangan ... 48
C. Deskripsi dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 49
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa sosial penting yang harus dilakukan
oleh setiap orang. Selain itu bagi individu yang terlibat perkawinan merupakan
pengukuhan perpindahan status bujangan dan perawan menjadi orang yang
berkeluarga dengan segala hak dan kewajibannya. Bahkan di Indonesia,
perkawinan merupakan syarat bagi seseorang untuk diterima dan diperlakukan
sebagai anggota penuh dari kelompok sosial yang bersangkutan. (Ali Imron,
2005:1)
Di Indonesia terdapat berbagai jenis tata cara dalam melaksanakan perkawinan,
baik itu perkawinan yang diatur oleh para orang tua maupun yang dilakukan atas
keinginan sendiri atau tanpa sepengetahuan orang tua kedua belah pihak. Prosesi
perkawinan adat Lampung khususnya di Provinsi Lampung pada umumnya
berbentuk upacara perkawinan adat yang dalam pelaksanaannya
bermacam-macam dan bertingkat-tingkat pada pelaksanaannya yang pada zaman dahulu
disesuaikan pada tingkat kepunyimbangan. Kepunyimbangan merupakan
kepemimpinan adat yang diperoleh secara turun temurun (Ali Imron, 2005:100).
Tetapi saat ini telah berubah tergantung pada keinginan dan kemampuan keluarga
yang akan menyelenggarakannya dengan meminta persetujuan kepunyimbangan
Proses perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Lampung, khususnya
masyarakat adat suku LampungPepadun terdapat dua cara yaitu:
1) Perkawinan yang diatur oleh para orang tua, dimana pihak laki-laki
membayar mas kawin kepada pihak wanita melalui proses lamaran atau
intar padang.
2) Cara lain untuk sampai pada ikatan perkawinan adalah dengan cara kawin
lari atau sebambangan. (Wawancara, Sutan Kanca Marga, tanggal 15 Mei
2012)
Berdasarkan pendapat tersebut maka masyarakat adat “Lampung Pepadun” yang
akan melaksanakan perkawinan, jika tidak bisa memenuhi persyaratan untuk
melaksanan prosesi intar padang, maka akan memilih cara “sebambangan” yang
dinilai lebih mudah untuk menuju ke perkawinan.
Sebambangan adalah adat Lampung yang mengatur peminangan seseorang
bujang dan gadis melalui sistem pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat
untuk meminta persetujuan dari orang tua si gadis. Selanjutnya melalui
musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua orang tua bujang dan gadis,
untuk mendapatkan kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut.
Dalam pelaksanaannya wanita dibawa oleh pihak laki-laki yang dibantu oleh
beberapa orang yang berasal dari kerabat atau keluarga dekat dari pihak laki-laki
menuju rumah orang tua atau kerabat dekat pihak laki-laki, supaya mendapatkan
Faktor umum yang menyebabkan terjadinya sebambangan adalah apabila orang
tua seorang gadis tidak menyetujui hubungan kasih anaknya dengan seorang
bujang. Tidak setujunya orang tua si gadis, biasanya disebabkan berbagai faktor.
Misalnya perbedaan dalam status adat, ekonomi, sosial atau juga dikarenakan
perbedaan garis keturunan (anak sulung dan anak bungsu). (Wawancara, Sutan
Kanca Marga, tanggal 15 Mei 2012)
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya pelaksanaan sebambangan adalah
pihak bujang tidak dapat memenuhi mahar (serah) yang yang diminta oleh
keluarga pihak gadis. Pada zaman dahulu, pelaksanaan sebambangan memiliki
berbagai resiko, antara lain jika pasangan yang melakukannya tertangkap oleh
pihak keluarga gadis sebelum sampai di tempat bujang, maka gadis tersebut akan
dibawa kembali ke rumah orangtuanya. Kemungkinan hal terburuk yang terjadi,
yaitu bujang yang membawa lari gadis tersebut akan dibunuh oleh keluarga dari
pihak gadis. Tetapi dalam perkembangan zaman/waktu ada kemungkinan
terjadinya hal terburuk itu mulai pudar dan hilang, serta dapat diselesaikan dengan
musyawarah antara kedua belah pihak. (Wawancara, Sutan Kanca Marga tanggal
15 Mei 2012)
Jika dilihat dari perkembangan zaman, maka suatu sistem perkawinan yang terjadi
di masyarakat Lampung pada masa sekarang, umumnya sebambangan dapat
dikatakan tidak relevan dengan kondisi masyarakat yang telah ada saat ini. Hal ini
disebabkan oleh perkembangan masyarakat adat Lampung sendiri, sebagai akibat
globalisasi yang terus mengikis nilai-nilai budaya lokal, sehingga mulai jarang
sebagai upaya dalam perkawinan bujang dan gadis sebagai adat yang dulu ada di
daerah setempat. Selain itu masyarakat saat ini, umumnya lebih memilih cara
yang disetujui oleh orang tua kedua belah pihak atau yang dalam masyarakat adat
Lampung Pepadun disebut dengan intar padang daripada sebambangan.
Pada masyarakat adat Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan
Baradatu Kabupaten Way Kanan, antara bujang dan gadis yang hendak
melakukan perkawinan melalui sebambangan. Umumnya pelaku sebambangan
itu sendiri paling dominan dilakukan bujang pada usia di atas 20 tahun, sedangkan
gadis pada usia di bawah 20 tahun. Pekerjaan rata-rata yaitu petani dan buruh
pabrik dengan tingkat pendidikan antara SD dan SLTP.
Berdasarkan latar belakang di atas, dimaksudkan untuk mengadakan penelitian
guna mengetahui lebih jauh mengenai eksistensi budaya sebambangan (kawin
lari) dalam masyarakat adat suku Lampung pepadun di Kampung Cugah
Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1) Mengapa masyarakat adat Lampung Pepadun masih melaksanakan budaya
sebambangan di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way
Kanan?
2) Bagaimanakah perkembangan budaya sebambangan pada masyarakat adat
Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way
3) Bagaimanakah eksistensi budaya sebambangan pada masyarakat adat
Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way
Kanan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mendapatkan informasi pelaksanaan budaya sebambangan oleh
masyarakat adat Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu
Kabupaten Way Kanan.
2) Untuk mendapatkan informasi perkembangan budaya sebambangan di
Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.
3) Untuk mengkaji eksistensi budaya sebambangan di Kampung Cugah
Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.
D. Manfaat Penelitian
1) Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Pendidikan pada
Program Studi Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
2) Untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dibangku kuliah terutama
geografi budaya terhadap fenomena kebudayaan dalam kehidupan
masyarakat.
3) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan tambahan wawasan, ilmu
pengetahuan, dan menambah informasi tentang sebambangan (kawin lari)
4) Dapat dijadikan sebagai suplemen bahan ajar dalam ilmu pengetahuan sosial,
khususnya pada pembahasan kebudayaan.
E. Ruang Lingkup Penelitian
1) Objek penelitian: eksistensi budaya sebambangan (kawin lari) dalam
masyarakat adat suku Lampung Pepadun.
2) Subjek penelitian: pelaku sebambangan, kepala keluarga pelaku
sebambangan, tokoh masyarakat, dan masyarakat Lampung Pepadun yang
melaksanakan sebambangan di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu
Kabupaten Way Kanan.
3) Tempat penelitian: Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way
Kanan.
4) Waktu penelitian: Tahun 2012.
5) Bidang ilmu: Geografi budaya.
Menurut Ekblaw dan Mulkerne, Geografi budaya yaitu ilmu pengetahuan
yang mempelajari bumi dan kehidupannya, mempengaruhi pandangan hidup
kita, makanan yang kita konsumsi, pakaian yang kita gunakan, rumah yang
kita huni dan tempat rekreasi yang kita amati. (http://hero digeo.
blogspot.com/2010/11/geo-geografi-budaya.html)
Geografi budaya merupakan bagian dari geografi manusia yang objek
kajiannya keruangan manusia. Aspek-aspek yang dikaji dalam cabang ini
termasuk aktivitas atau perilaku manusia yang meliputi aktivitas ekonomi,
Eksistensi pelaksanaan sebambangan (kawin lari) dalam masyarakat adat suku
Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way
Kanan harus tetap dipertahankan untuk mendukung kelestarian kebudayaan
Lampung itu sendiri. Dalam penelitian ini, geografi budaya berhubungan dengan
aktivitas kebudayaan khususnya sebambangan (kawin lari) yang dilakukan oleh
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
Sebagai dasar pemikiran dalam penelitian maka akan dikemukakan landasan teori
dari beberapa ahli yang berhubungan dengan penelitian ini, menurut Nursid
Sumaatmadja (2001:11) geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan
perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan dalam konteks
keruangan.
Menurut Bintarto (1977:10) geografi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
geografi fisik dan geografi sosial. Geografi fisik yaitu cabang geografi yang
mempelajari gejala fisik permukaan bumi yang meliputi tanah, air, udara dengan
segala prosesnya. Geografi fisik terbagi menjadi beberapa cabang yaitu Geologi,
Geomorfologi, Oseanografi, dan lain-lain. Sedangkan geografi sosial adalah
cabang geografi yang bidang studinya yaitu aspek keruangan gejala dipermukaan
bumi, yang mengambil manusia sebagai objek pokok. Geografi sosial terbagi
menjadi beberapa cabang yaitu Geografi penduduk, geografi ekonomi, geografi
industri, geografi budaya dan lain-lain.
Geografi budaya yaitu ilmu yang mempelajari aspek material (man features) dari
budaya yang memberikan corak khas kepada suatu region, terutama pada
kenampakan lanscapenya yang berisikan kekhasan hal sosial ekonomi seperti
aneka bentuk karya manusia dipermukaan bumi sebagai hasil perilakunya (cipta,
rasa, karsa) atas dasar kemampuan mengadaptasi lingkungan alam, manusia dan
sosial disekitarnya (kewilayahan). Brian berpendapat bahwa perbedaan antar
wilayah yang satu dengan yang lainnya itu berupa perbedaan cultural
landscapenya yaitu tentang budayanya. Geografi budaya juga mengkaji tentang
berbagai faktor geografis yang ikut menentukan terbentuknya kebudayaan disuatu
daerah dan keanekaragaman kebudayaan disuatu daerah.
(http://hadilandak.wordpress.com/konsep-geografi/geografi-budaya/)
Geografi budaya adalah subbidang dalam ilmu geografi manusia yang
mempelajari studi tentang produk budaya dan norma-norma dan variasi mereka
menemukan dan hubungan dengan ruang dan tempat. Selain itu geografi manusia
menggambarkan dan menganalisis cara bahasa, agama, ekonomi, pemerintah,
aktivitas budaya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_budaya)
1. Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya juga merupakan suatu cara
hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Berikut beberapa pengertian budaya oleh
para ahli:
1) Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun
dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai
2) Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian
nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan
intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
3) Edward Burnett Tylor menyatakan kebudayaan merupakan keseluruhan
yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain
yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
4) Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
5) A. L. Kroeber menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan realisasi
gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan, dan nilai-nilai yang dipelajari dan
diwariskan, serta perilaku yang ditimbulkan.
Dari berbagai definisi kebudayaan yang diungkapkan oleh para ahli dapat
disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan suatu hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat yang mengandung nilai-nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain yang diwariskan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain dan menjadi ciri
khas suatu masyarakat.
2. Masyarakat Adat Suku Lampung Pepadun
Masyarakat Lampung merupakan salah satu suku di Indonesia yang bertempat
tinggal di ujung Selatan sebelah Barat Pulau Sumatera, memiliki filsafah atau
pandangan hidup orang Lampung yang diwarisi dari leluhurnya, piil pesenggiri
merupakan sifat perilaku dan pandangan hidup yang harus dipertahankan sebagai
harga diri. Komponen yang harus dipertahankan dan yang merupakan perilaku itu
sebagai berikut: (1) Pesenggiri, yaitu sikap tidak kenal menyerah dan kerja keras.
(2) Juluk buadek, yaitu memiliki nama panggilan dan sebutan-sebutan kehormatan
kebangsawanan. (3) Nemui nyimah, Yaitu selalu bersikap ramah tamah terhadap
sesama. (4) Nengah nyepur, yaitu selalu berkeinginan untuk terlibat dalam
kegiatan kemasyarakatan. (5) Sakai sambayan, yaitu sikap tolong-menolong atau
gotong-royong, seperti membantu orang lain menanam padi, membangun jalan,
masjid, dan sarana umum lainnya. (Ali Imron, 2005:99-100)
Masyarakat Lampung terbagi atas dua masyarakat adat, yaitu masyarakat adat
Lampung Pesisir atau Saibatin yang menggunakan dialek A (Api) dan masyarakat
adat Lampung Pepadun yang berdialek O (Nyow) meskipun terdapat juga
masyarakat adat Lampung Pepadun yang menggunakan dialek A (Api).
Pada umumnya masyarakat adat Lampung pesisir atau saibatin bermukim di
daerah sepanjang Teluk Betung, Teluk Semangka, Krui, Belalu, Liwa, Pesisir
Raja Basa, Melinting, Dan Kalianda. Sedangkan masyarakat adat Lampung
Pepadun bermukim di daerah-daerah pedalaman seperti Abung, Way Kanan,
Sungkai, Tulang Bawang, Serta Pubiyan. (Hilman Hadikusuma, 1989:100)
Menurut Rizani Puspawidjaja (2006:24-29), masyarakat Lampung pepadun terbagi menjadi enam bagian yaitu sebagai berikut:
1) Masyarakat adat Abung Sewo Mego (Abung Sembilan Marga), terdiri dari Buai Nunyai, Buai Uyi, Buai Nuban, Buai Subing, Buai Beliuk, Buai Selagai, Buai Kunang, Buai Anak Tuha, dan Buai Nyerupa.
3) Masyarakat adat Sungkai Bunga Mayang, terdiri dari Buai Perja, Indor Gajah, Harayak, Selembesi, Liwa, Semenguk dan Bintang.
4) Masyarakat adat Pubiyan Telu Suku, terdiri dari Buai Nuak, Pemuka Putih, Pemuka Menang, Pemuka Sinema, Halom Bawak Kuning, Buai Kediangan, Manik, Gunung Nyurang Kapal, dan Selagai.
5) Masyarakat Adat Buai Lima Way Kanan, terdiri dari Buai Pemuka, Buai Bahuga, Buai Semenguk, Buai Baradatu, dan Buai Barasakti.
6) Masyarakat adat Melinting yang tersebar di kecamatan Labuhan Maringgai, kecamatan Gunung Pelindung, dan kecamatan Melinting.
Dalam penelitian ini difokuskan kepada masyarakat adat Lampung Pepadun di
Kampung Cugah Marga Buai Baradatu Kecamatan Baradatu Kabupaten Way
Kanan.
3. Perkawinan Sebambangan
Menurut Hilman Hadikusuma (1989:151) perkawinan sebambangan yaitu apabila
bujang dan gadis belarian untuk kawin. Pada saat pelaksanaannya wanita
meninggalkan sepucuk surat yang menerangkan bahwa kepergiannya bersama
laki-laki pilihannya atas kehendaknya sendiri dengan tujuan perkawinan.
Sebenarnya dalam masyarakat Lampung, sebambangan merupakan pelanggaran
adat yang menyimpang. Akan tetapi setelah terjadi sebambangan yang didasari
oleh keinginan bersama oleh bujang dan gadis untuk menuju perkawinan maka
hal ini dapat diselesaikan dengan cara adat agar terhindar dari kemungkinan
terjadinya hal-hal yang lebih buruk baik dari segi agama, adat, serta dalam
kehidupan bermasyarakat.
Perkawinan sebambangan terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
1) Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan dan upacara perkawinan yang diminta
2) Wanita tersebut belum diizinkan orang tuanya untuk menikah, akan tetapi
dikarenakan keinginnnya wanita tersebut bertindak sendiri.
3) Orang tua atau kerabat dekat pihak wanita tidak menerima lamaran yang
diajukan pihak laki-laki.
4) Wanita telah bertunangan dengan laki-laki lain yang tidak disukainya.
5) Laki-laki dan wanita tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan hukum agama dan hukum adat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebambangan dilakukan dengan tujuan untuk
mempercepat proses berlangsungnya perkawinan dan menghindari prosedur yang
bersifat protokuler dalam acara lamaran dan pertunangan serta dilakukan karena
tidak adanya persetujuan hubungan dari kedua orang tua pihak gadis ataupun
bujang.
Hilman Hadikusuma (1989:151), menjelaskan bahwa apabila bujang dan gadis belarian untuk kawin, maka perbuatan mereka itu disebut “sebambangan”.
Sebambangan jika dilihat dari pihak gadis dapat dibedakan menjadi:
1) Apabila gadisyang pergi atas kehendaknya sendiri disebut “nakat”.
2) Apabila si gadis diambil pihak bujang dengan jalan paksa (ditarik, dan
sebagainya) bukan atas kehendaknya sendiri, maka perbuatan itu disebut
“ditekep”.
Perbuatan sebambangan ini merupakan pelanggaran adat muda-mudi, tetapi dapat
diselesaikan secara damai oleh tua-tua adat kedua belah pihak. Tata cara adat
3.1 Tengepik
Tengepik berarti peninggalan yaitu benda, sebagai tanda kepergian gadis yang
melakukan sebambangan, berupa sepucuk surat dan sejumlah uang yang
ditinggalkan ketika ia berangkat dari rumahnya menuju rumah bujang yang
dicintainya. Uang tengepik bernilai 20 rial (Rp. 20.000,- - Rp. 200.000,-). Menurut
adat, gadis itu harus berangkat dari rumahnya sendiri, bukan dari rumah orang
lain ataupun tempat-tempat lainnya seperti ladang.
Sesampainya si gadis di tempat bujang, maka orang tua dari keluarga bujang
harus segera melaporkan kepada punyimbangnya. Kemudian punyimbang segera
mengadakan musyawarah untuk menunjuk utusan yang akan menyampaikan
kesalahan dan permohonan maaf kepada pihak gadis, yang disebut dengan
”ngantak pengundur senjata/ ngantak salah”.
3.2 Ngantak Pengundur Senjata/Ngantak Salah
Ngantak pengundur senjata/ngantak salah adalah tindakan yang dilakukan oleh
pihak kerabat bujang yang melarikan gadis, dengan cara mengirim utusan yang
membawa keris adat dan menyampaikannya kepada kepala adat pihak gadis.
Ngantak salah ini harus dilakukan dalam waktu 1 x 24 jam atau
selambat-lambatnya 3 x 24 jam setelah gadis berada ditangan kerabat bujang.
Setelah ngantak salah diterima oleh kepala adat pihak gadis, maka segera
diberitahukan kepada keluarga gadis bahwa anak mereka sudah ada ditangan
kepala adat pihak bujang. Biasanya setelah ngantak salah disampaikan, pihak
bujang segera mengirimkan bahan makanan kepada pihak gadis berupa
3.3 Cakak Ngumung
Jika pihak gadis telah bersedia menerima pihak bujang, maka pihak bujang
mengirim utusan tua-tua adatnya untuk cakak ngumung, guna menyatakan
permintaan maaf dan memohon penyelesaian agar sebambangan itu dapat
diselesaikan dengan baik ke arah perkawinan.
3.4 Anjau Mengiyan
Anjau mengiyan (kunjungan menantu pria) dilakukan setelah pelaksanaan cakak
ngumung, dimana calon mempelai pria diantarkan oleh beberapa anggota
keluarganya untuk memperkenalkan diri kepada keluarga orang tua gadis.
3.5 Sujud
Sujud (sungkem), dilakukan dengan cara calon mempelai pria (mengiyan) diantar
oleh kerabatnya untuk diperkenalkan dan bersujud (sungkem) pada semua tua-tua
adat pihak gadis dalam suatu acara tertentu ditempat gadis.
3.6 Peradu Rasan, Cuwak Mengan
Setelah acara anjau mengiyan dan sujud dilakukan oleh pihak bujang, maka
sampailah pada acara peradu rasan (mengakhiri pekerjaan) yaitu dengan
melaksanakan akad nikah dan juga nyuwak mengan (mengundang makan),
dimana pada satu hari yang telah ditentukan dilaksanakan akad nikah kedua
mempelai, dan pihak pria mengundang semua kerabat pihak wanita dan para
undangan untuk makan bersama sebagai tanda bahwa acara perkawinan itu
berlangsung dengan baik, rukun, dan damai. Pada hari dilaksanakannya akad
nikah, biasanya pihak wanita menyampaikan sesan (barang bawaan) mempelai
yang telah dikeluarkan oleh pihak bujang. Dalam penyelesaian adat perkawinan
setelah terjadinya sebambangan, dipihak pria berlaku acara-acara adat seperti
tindih sila, tukor pujuk/posok, pemberian gelar dan sebagainya. Sedangkan pada
pihak gadis dilakukan pemberian gelar pada saat acara sujud.
4. Globalisasi dan Modernisasi
Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang
menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik. Ada
pula yang mendefinisikan globalisasi sebagai hilangnya batas ruang dan waktu
akibat kemajuan teknologi informasi. Menurut Achmad Suparman globalisasi
merupakan suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri
dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. (http://muda.kompasi
ana.com/2012/02/19/pengaruh-globalisasi-terhadap-remaja/)
Sedangkan menurut Lodge, globalisasi merupakan suatu proses yang
menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau
saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya,
ekonomi, politik, teknologi maupun lingkungan. (http://infosos.wordpress.com/
kelas-xii-ips/modernisasi-dan-globalisasi/)
Berdasarkan pendapat di atas, globalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses
dimana masyarakat diseluruh bagian dunia bisa saling menjangkau satu dengan
yang lainnya atau saling terhubungkan dalam segala bidang aspek kehidupan
mereka, baik dalam aspek budaya, ekonomi, politik, teknologi maupun
lingkungan, yang dapat dijadikan sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini
Modernisasi dalam ilmu sosial merujuk pada sebuah bentuk transformasi dari
keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik
dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih maju,
berkembang, dan makmur. Wilbert E. Moore yang menyebutkan modernisasi
adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra
modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis
dan politis yang menjadi ciri negara barat yang stabil. Sementara menurut J.W.
Schrool, modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan masyarakat
dalam segala aspek-aspeknya. (http://infosos.wordpress.com/kelas-xiiips/moderni
sasi-dan-globalisasi/)
Menurut Koentjaraningrat (1984:422) modernisasi dapat diartikan secara khusus,
yaitu proses penyesuaian nilai budaya dari suatu bangsa supaya mentalitas bangsa
tersebut dapat bertahan secara wajar ditengah-tengah tekanan dari berbagai masalah
hidup didunia pada masa kini.
Istilah modern dan modernisasi memang sering dipakai dalam masyarakat,
terutama sekarang ini, akan tetapi biasanya tanpa disertai dengan suatu
pembatasan yang jelas. Istilah modern berasal dari kata adverbia, dalam bahasa
latin dan berarti “just now”, sedangkan dalam bahasa inggris kata “modern”
dihadapkan pada kata “ancient”. Secara historis istilah modern dengan abad
pertengahan di eropa dan zaman yang mengikutinya yaitu zaman renaisance, yang
kemudian berkembang lebih lanjut ke zaman reformasi, aufklarung dan terus
maka dunia modern itu tidak dapat dijabarkan dari satu unsur saja, melainkan
berakar dari berbagai prinsip, konsepsi, dan peristiwa.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa modernisasi adalah perubahan yang terjadi di
dalam lingkungan masyarakat secara menyeluruh yang menyangkut segala aspek
kehidupan masyarakat itu sendiri yang mencakup aspek budaya, ekonomi, politik,
teknologi, lingkungan, dan sebagainya.
5. Eksistensi
Kata eksistensi berasal dari kata Latin Existere, dari ex berarti keluar dan sitere
yaitu membuat berdiri. Artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa
yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Dalam konsep
eksistensi, satu-satunya faktor yang membedakan setiap hal yang ada dari tiada
adalah fakta.
Menurut Zainal Abidin, Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan
lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung
pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya. Oleh
sebab itu, arti istilah eksistensi analog dengan „kata kerja‟ bukan „kata benda‟.
Sedangkan Kierkegaard menekankan bahwa, eksistensi manusia berarti berani
mengambil keputusan yang menentukan hidup. Maka barang siapa tidak berani
mengambil keputusan, ia tidak hidup bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Dengan demikian eksistensi adalah suatu hal yang dipilih dalam arti kebebasan.
Bereksistensi berarti muncul dalam suatu perbedaan, yang harus dilakukan tiap
orang bagi dirinya sendiri.
B. Kerangka Pikir
Masyarakat adat suku Lampung pepadun di Kampung Cugah Kecamatan
Baradatu Kabupaten Way Kanan merupakan orang-orang yang masih menjunjung
tinggi adat istiadat atau kebiasaan yang turun-temurun. Saat ini masyarakat di
Kampung Cugah pada umumnya telah mengenyam pendidikan yang cukup layak
hal ini dapat dilihat dari semakin tingginya minat masyarakat setempat dalam
menempuh pendidikan. Kemudian dalam hal pergaulan masyarakat setempat juga
terbuka untuk menerima masyarakat dari luar kampung baik masyarakat dengan
suku yang sama ataupun dengan suku yang berbeda. Selain itu juga banyak warga
Kampung Cugah yang pergi bekerja ke luar daerah dan bergaul dengan berbagai
jenis masyarakat yang membawa masing-masing kebudayaannya.
Kedua hal yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat menimbulkan
kemungkinan untuk berkembangnya pola pikir masyarakat Kampung Cugah
dalam berbagai hal, termasuk di dalamnya tentang kebudayaan. Dengan semakin
tingginya pendidikan dan semakin berkembangnya pergaulan masyarakat
setempat, maka seharusnya budaya sebambangan telah ditinggalkan dan
masyarakat akan lebih memilih cara yang telah mendapatkan restu dari kedua
belah pihak yang oleh masyarakat adat Lampung pepadun di sebut dengan intar
Akan tetapi pada kenyataannya eksistensi budaya sebambangan di Kampung
Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan tetap terjaga, dimana setiap
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Menurut Suharsimi Arikunto (2006:160) metode penelitian adalah cara yang
digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Dalam penelitian
ini metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. merupa-kan
metode penelitian yang studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci
dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi
menurut apa adanya di lapangan studinya.
Menurut Lofland dalam Moleong (2005:157) sumber data utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain. Sumber data utama ini dapat diperoleh melalui
wawancara atau pengamatan langsung di lapangan, yang kemudian dapat dicatat
melalui catatan tertulis ataupun melalui perekam suara atau dengan pengambilan
foto. Pengambilan data utama melalui pengamatan dan wawancara merupakan
penggabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya.
Pada dasarnya kegiatan tersebut sering dilakukan oleh semua orang namun pada
penelitian kualitatif kegiatan tersebut dilakukan secara sadar, terarah dan memiliki
tujuan memperoleh informasi yang dibutuhkan melalui informan karena memang
dalam penelitian budaya. Hal ini dikarenakan peneliti budaya akan berhadapan
langsung dengan seseorang yang dijadikan informan. Informan merupakan orang
yang mengetahui dan memahami tentang objek yang diteliti.
Berdasarkan pendapat Suwardi Endraswara, (2006:119) bahwa dalam penelitian
budaya penting sekali memilih informan kunci, yaitu seseorang yang memiliki
informasi relatif lengkap terhadap budaya yang diteliti. Sedangkan menurut
Moleong (2005:90), informan adalah orang yang mempunyai pengetahuan
tentang latar penelitian dan bersedia untuk memberikan informasi tentang situasi
dan kondisi latar belakang penelitian.
B. Obyek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah eksistensi budaya sebambangan (kawin lari)
dalam masyarakat adat suku Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan
Baradatu Kabupaten Way Kanan.
1. Informan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil
penelitiannya. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian tidak
ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian menjadi informan yang akan
memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.
Menurut Hendarsono dalam Suyanto (2005:171-172), informan penelitian ini
meliputi tiga macam yaitu:
1) Informan kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki
2) Informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi
sosial yang diteliti.
3) Informan tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi
walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti.
Berdasarkan uraian di atas, maka informan ditentukan dengan teknik purposive
yaitu penentuan informan tidak didasarkan pedoman atau berdasarkan perwakilan
populasi, namun berdasarkan kedalaman informasi yang dibutuhkan, yaitu dengan
menemukan informan kunci yang kemudian akan dilanjutkan pada informan
lainya dengan tujuan mengembangkan dan mencari informasi
sebanyak-banyaknya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Yang dijadikan
sebagai informan pada penelitian ini adalah yang telah mewakili dan disesuaikan
dengan perananannya dalam menjaga eksistensi budaya sebambangan (kawin lari)
dalam masyarakat adat suku Lampung Pepadun di Kampung Cugah Kecamatan
Baradatu Kabupaten Way Kanan. Maka dalam penelitian ini digunakan informan
yang terdiri dari:
1) Informan kunci, berjumlah 2 (dua) orang yaitu pemuka adat Kampung Cugah
2) Informan utama, berjumlah 4 (empat) orang, yaitu:
a. 2 (dua) kepala keluarga pelaku sebambangan
b. 2 (dua) pelaku sebambangan
3) Informan tambahan, berjumlah 2 (dua) orang yaitu masyarakat Kampung
2. Bentuk Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang studi kasusnya mengarah
pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang
apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya. (H.B
Sutopo, 2002:111)
Penelitian kualitatif menyajikan data yang dikumpulkan terutama dalam bentuk
kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka
atau frekuensi. Jadi, penelitian kualitatif adalah penelitian yang memberikan
gambaran terhadap objek yang diteliti secara sistematis. Dengan demikian metode
ini memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang
ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah yang bersifat aktual, kemudian
menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki diiringi dengan
interpretasi rasional yang akurat. Dimana penelitian ini menggambarkan
fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian berdasarkan fakta-fakta-fakta-fakta
sebagaimana adanya, dan mencoba menganalisis untuk memberi kebenarannya
berdasarkan data yang diperoleh.
C. Variabel Penelitian dan Definisi Konsep 1. Variabel Penelitian
Variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek penelitian. Sering pula
variabel penelitian itu sebagai faktor-faktor yang berperanan dalam penelitian
menurut Suharsimi Arikunto (2006:19) bahwa variabel adalah subjek atau objek
penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian variabel tunggal yang dipusatkan pada
eksistensi budaya sebambangan di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu
Kabupaten Way Kanan.
2. Definisi Konsep
Adapun indikator dalam penelitian ini adalah eksistensi budaya sebambangan di
Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan, yakni mengenai:
2.1 Masih dilaksanakannya budaya sebambangan oleh masyarakat adat Lampung pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan
Harsijo (1999:96), mengemukakan apabila yang dimaksud dengan kebudayaan itu
adalah segala yang diciptakan, segala yang dikarsakan, dan segala yang dirasakan
oleh manusia. Maka segalanya itu harus merupakan hasil dari pelajaran, dan
bukan dari hasil ketururnan biologis.
Masih dilaksanakannya budaya sebambangan memiliki arti bahwa, masyarakat
adat Lampung pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way
Kanan masih memilih cara tersebutdibandingkan dengan cara lainnya yaitu intar
padang yang sesungguhnya lebih disukai dalam pelaksanaan proses perkawinan.
2.2 Perkembangan budaya sebambangan di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan
Pada hakikatnya perkembangan, khususnya perkembangan pada suatu
pembelajaran dari masa lalu yang bertujuan untuk memperbaiki individu atau
kelompok kearah yang lebih sempurna dan berlangsung secara terus menerus.
Menurut E. B. Harlock, perkembangan merupakan serangkaian perubahan
progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman
yang terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat kualitataif dan kuantatif.
Dimaksudkan bahwa perkembangan merupakan proses perubahan individu yang
terjadi dari kematangan (kemampuan seseorang sesuai usia normal) dan
pengalaman yang merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan sekitar
yang menyebabkan perubahan pada diri individu. Sedangkan Kasiram
menyatakan bahwa, perkembangan mengandung makna adanya pemunculan
sifat-sifat yang baru, yang berbeda dari sebelumnya. (http://muda.kompasiana.com/
2013/05/19/perkembangan/)
Bruner dalam Koentjaraningrat (1990:104), menyatakan bahwa adat-istiadat
tradisional umumnya bukan menjadi kendur tetapi menjadi ketat. Selanjutnya,
Titik Tri Wulantutik dan Trianto (2008:66), mengemukakan bahwa manusia
sebagai warga masyarakat manapun tidak dapat mengisolasi diri dari perubahan
yang terjadi. Dalam kondisi ini manusia dihadapkan pada dua pilihan dilematis,
yaitu bergabung atau bertarung, bersanding atau bertanding, yang kemudian
melahirkan atau mengalirkan dinamika.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian perkembangan yaitu merupakan perubahan
penyempurnaan dari sifat-sifat sebelumnya, terjadi dari proses terbentuknya
individu sampai akhir hayat dan berlangsung secara terus menerus.
Perkembangan budaya sebambangan, yang dimaksud disini yaitu bagaimanakah
perkembangan budaya sebambangan yang ada pada masyarakat adat Lampung
pepadun di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.
2.3 Eksistensi budaya sebambangan di Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan
Menurut Zainal Abidin, Eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan
lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung
pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya.
(http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/22/eksistensi-manusia-4440 68.html)
Eksistensi budaya sebambangan memiliki arti yaitu apakah budaya sebambangan
yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Lampung pepadun di Kampung Cugah
Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan masih dilaksanakan dan dalam
proses pelaksanaan perkawinan tersebut mengalami perkembangan atau
sebaliknya kemunduran.
D. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data atau informasi dan keterangan-keterangan yang
diperlukan, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Teknik Pengumpulan Data Primer
1.1 Observasi atau Pengamatan
Observasi lapangan adalah cara dan teknik pengumpulan data dengan melakukan
observasi langsung pada objek penelitian. Untuk mendapatkan data geografi yang
aktual dan langsung, kita harus melakukan observasi lapangan (Nursid
Sumaatmadja, 2001:105). Teknik pengamatan ini digunakan untuk mengetahui
kondisi dan kegiatan serta berbagai hal tentang eksistensi budaya sebambangan
(kawin lari) dalam masyarakat adat suku Lampung Pepadun di Kampung Cugah
Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.
1.2 Wawancara
Wawancara yaitu pertemuan yang langsung direncanakan antara pewawancara
dan yang diwawancarai untuk memberikan/menerima informasi tertentu. Menurut
Moleong (2005:148) wawancara adalah kegiatan percakapan dengan maksud
tertentu yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu pewawancara dan yang
diwawancarai. Wawancara dilakukan dengan cara memberikan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan atau sejumlah pihak
yang terkait dan berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk memperoleh
data yang lengkap dan mendalam.
2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Teknik pengumpulan data sekunder adalah teknik pengumpulan data yang
dilakukan melalui studi bahan-bahan kepustakaan yang perlu untuk mendukung
data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan instrumen sebagai
2.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, karya
ilmiah, pendapat para ahli yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.
2.2 Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi yaitu pengumpulan data yang diperoleh dengan menggunakan
catatan-catatan tertulis yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain
yang menyangkut masalah yang diteliti dengan instansi terkait.
E. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan metode penelitian yaitu penelitian kualitatif, teknik analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Analisis data
kualitatif ini adalah analisis terhadap informasi yang diperoleh berdasarkan
kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta-fakta, data yang diperoleh
di lapangan.
Teknik analisis data kualitatif digunakan dengan cara menyajikan hasil
wawancara dan melakukan analisis serta menarik kesimpulan terhadap informasi
yang ditemukan di lapangan sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas tentang
V.KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan tentang eksistensi budaya
sebambangan (kawin lari) dalam masyarakat adat suku Lampung Pepadun di
Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan Tahun 2012, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Budaya sebambangan pada masyarakat adat suku Lampung Pepadun di
Kampung Cugah terlaksana karena telah menjadi kebiasaan turun-temurun dan
menjadi adat istidat masyarakat setempat, adanya ketidaksetujuan orang tua
untuk menikahkan anaknya, serta dorongan ketidakmampuan ekonomi untuk
menikahkan anak secara intar padang.
2. Budaya sebambangan telah mengalami perubahan, diantaranya tidak
dilaksanakannya lagi sebambangan dengan cara ditekop (memaksa gadis
untuk sebambangan). Perubahan juga terjadi pada prosesi upacara-upacara
adat yang telah disatukan, dengan tujuan untuk lebih menghemat waktu, biaya
dan tenaga yang harus dilakukan selama pelaksanaan sebambangan
berlangsung.
3. Budaya sebambangan masih ada, dan tetap dilaksanakan oleh masyarakat
setempat, serta tetap terjaga keberadaan/eksistensinya. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan sebambangan itu sendiri yang telah menjadi adat istiadat
ekonomi masyarakat setempat yang masih tergolong masyarakat kelas menengah
ke bawah.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Sebambangan harus tetap dipertahankan kelestarian dan hakikatnya yaitu
untuk menjembatani kesepakatan-kesepakatan keluarga guna mencapai
perkawinan, serta mendukung pelestarian budaya oleh pemerintah. Hal ini
dikarenakan sebambangan merupakan salah satu dari keberanekaragaman
kebudayaan di Indonesia yang perlu dipertahankan dan dilestarikan oleh
pewaris kebudayaan tersebut yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun guna
menunjang kekayaan kebudayaan nasional.
2. Masyarakat Lampung Pepadun di Kampung Cugah sebaiknya mengurangi
jumlah sebambangan dan kedua calon pasangan (bujang dan gadis)
mengikuti cara intar padang yang lebih disukai serta mendapatkan restu
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2003. Panduan Belajar Antropologi Untuk Kelas 3 SMU. Yudhistira. Jakarta
Anthony Giddens. 2003. Masyarakat Post-Tradisional. Ircisod. Yogyakarta
A. P. Mangkunegara. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT. Remaja Rosda. Bandung
Ali Imron. 2005. Pola Perkawinan Saibatin. Universitas Lampung. Bandar Lampung
Budiyono. 2003. Dasar-Dasar Geografi Sosial. Bahan Ajar. FKIP Unila. Bandar Lampung
George Ritzer. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
H B Sutopo. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta. Bandung
Harsijo. 1999. Pengantar Antropologi. Putra Abardin. Bandung
Herman Warsito. 1992. Pengantar Metodologi Penelitian. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Hilman Hadikusuma. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Mandar Maju. Bandung
Ida Bagus Mantra. 2003. Pengantar Studi Demografi. Nur Cahya. Yogyakarta
Iskandarsyah. 2005. Sejarah Hukum Adat Lampung Pepadun Way Kanan. Universitas Lampung. Bandar Lampung
J Moleong Lexi. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya. Bandung.
K. Wardiyatmoko. 1995. Pengantar Geografi SMA Kelas II. Erlangga. Jakarta
Kusmayadi dan Endar Sugiarto. 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Masri Singarimbun. 2008. Metode Penelitian Survey. PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.
Mohammad Kasiram. 1983. Ilmu Jiwa Perkembangan. Usaha Nasional. Surabaya
Monografi Kampung Cugah Tahun 2012
Monografi Kecamatan Baradatu Tahun 2012
Nursid Sumaatmadja. 2001. Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan. Alumni. Bandung.
N. Daldjoeni. 1992. Pengantar Geografi. Alumni. Bandung
R. Bintarto dan S. Hadisumarno. 1977. Metode Analisa Geografi. PP3ES. Jakarta
Rizani Puspawidjaja. 2006. Hukum Adat Dalam Tebaran. Universitas Lampung. Bandar Lampung
Soerjono Soekanto. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada.
Jakarta
Subarjo. 2003. Meteorologi dan Klimatologi (Buku Ajar). FKIP Universitas Lampung. Bandar Lampung
Sudarmi. 2005. Geografi Regional Indonesia (Buku Ajar). FKIP Universitas Lampung. Bandar Lampung
Sugiono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Alfabeta. Bandung.
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineka Citra
Sumadi Suryabrata. 2000. Metodologi Penelitian. Rajawali Pers. Jakarta.
Sumiyati. 2011. Tinjauan Geografis Pola Pemukiman Penduduk di Kampung Sindang Agung Kecamatan Tanjung Raja Kabupaten Lampung Utara Tahun 2011 (Skripsi). Unila. Bandar Lampung.
Titik Triwulan Tutik, dan Trianto. 2008. Dimensi Transendental dan Transformasi Sosial Budaya. Lintas Pustaka. Jakarta
Way Kanan Dalam Angka Tahun 2007
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/22/eksistensi-manusia-4440 68.html. Di- unduh pada tanggal 21 Juni 2012
http://hadilandak.wordpress.com/konsep-geografi/geografi-budaya/. Diunduh pada tanggal 21 Juni 2012
http://herodigeo.blogspot.com/2010/11/geo-geografi-budaya.html. Diunduh pada tanggal 21 Juni 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Geografi_budaya. Diunduh pada tanggal 26 April 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/ pengertian_ekonomi. Diunduh pada tanggal 20 April 2013
http://idhoidhoy.blogspot.com/2011/10/pertumbuhan-penduduk-dan-faktor-yang. Html. Diunduh pada tanggal 20 April 2013
http://indonesia2000.blogspot.com/2012/03/budaya-lampung.html. Diunduh pada tanggal 7 Oktober 2012
http://infosos. wordpress.com/kelas-xii-ips/modernisasi-dan-globalisasi/. Diunduh pada tanggal 17 Januari 2013
http://muda. kompasiana.com/2012/02/19/pengaruh-globalisasi-terhadap-remaja/. Diunduh pada tanggal 17 Januari 2013
http://muda.kompasiana.com/2013/05/19/perkembangan/. Diunduh pada tanggal 19 Mei 2013
http://pakarinfo.blogspot.com/2010/06/istilah-kawin-sebambangan-dalam.html. Diunduh pada tanggal 26 April 2012
Suku: Lampung Pepadun kurang setuju, sehingga pasangan sina memilih ngelakukon sebambangan. Delom pelaksanaanna, si muli ninggalkon surat di nuwa hulun tuhana sai isina kilu mahaf jama penjelasan bahwa kak ninggalkon nuwa haga haguk pok keluarga meranai, jama munih kak ninggalkon duit sai kak di kilu muli jama meranai mari ngelaksanakon sebambangan. Amun dienah jak faktor ekonomi dacok dicawakon sebambangan terjadi bak ulah pihak meranai mak sanggup memenuhi duit kiluan sai dikehagakon pihak muli jama keluargana. Sebambangan dacok terjadi bak ulah pengaruh lingkungan sosial pok pelaku sebambangan tinggal serani-rani sai merupakon masyarakat adat Lampung Pepadun, sebagian balak delom perkawinan secara sebambangan, jadi mempengaruhi meranai rik muli di Tiyuh Cugah lebih memilih ngelaksanakon sebambangan jak intar padang. Ganta sa sebambangan delom pelaksanaanna kak ngalami perubahan, sa dacok dienah delom upacara adat. Misalna acara adat ngejuk pandai anak muli bakbai, ganta sa kak dibarongkon jama sujud padahal seharusna dilaksanakon sayan, sa dilakukon bak ulah alasan mari ngehemat waktu jama biaya. amun dienah jak perkembangan di masyarakat, sebambangan mak akan lebon jak masyarakat adat Lampung Pepadun khususna di Tiyuh Cugah alasanna bak ulah sebambangan kak jadi tradisi jama adat istiadat, jama munih pasti wat kemungkinan hulun tuha rik keluarga mak ngenjui restu jama anakna bak ulah nayah alasan tiyan.
Terjemahan Hasil Wawancara
Sebambangan merupakan adat istiadat masyarakat Lampung pepadun yang telah ada sejak zaman nenek moyang. Sebambangan dapat terjadi jika ada bujang dan gadis yang sudah merasa cocok untuk melaksanakan perkawinan, akan tetapi orang tua dan keluarga kedua belah pihak atau salah satu pihak kurang setuju, sehingga pasangan tersebut memilih untuk melaksanakan sebambangan. Dalam pelaksanaannya, si gadis meninggalkan sepucuk surat dirumah orangtuanya yang berisikan permohonan maaf dan penjelasan bahwa telah meninggalkan rumah menuju kediaman keluarga pihak bujang, dan juga telah meninggalkan sejumlah uang untuk melaksanakan sebambangan. Jika dilihat dari faktor ekonomi dapat dikatakan sebambangan terjadi karena pihak bujang tidak mampu memenuhi permintaan mahar (serah) yang ditetapkan oleh pihak gadis dan keluarganya.
Sebambangan dapat terjadi karena pengaruh lingkungan sosial tempat pelaku
sebambangan tinggal sehari-hari yang merupakan masyarakat adat Lampung Pepadun, sebagian besar dalam melaksanakan perkawinan melalui prosesi sebambangan daripada
intar padang. Saat ini sebambangan dalam pelaksanaannya sudah mengalami beberapa perubahan, hal ini dapat terlihat dalam prosesi tata upacara adat. Misalnya acara adat
Basri Sumbai
Sebambangan pagun dilakukon di Tiyuh Cugah, sai ngelakukon sebambangan disebabkon bak ulah pereda gering. Mari sebambangan dacok dilakukon meranai rik muli harus saling setuju ngelakukon sebambangan. Sebambangan sai dilaksanakon jelma tiyuh ganta sa layon gokgoh sai dilakukon ninik puyang jelma adat lampung Pepadun di Tiyuh Cugah. Ho na sebambangan dapok terlaksana walau sai pihak mak haga ngelakukonna, cara gokgoh sija dikenal jelma tiyuh disebut ditekop. Sebambangan dacok dilakukon meranai rik muli bak ulah faktor kemaksetujuan hulun tuha, keadaan ekonomi, tapi status adat mak jadi pertimbangan amun haga ngelakukon sebambangan. Sebambangan mak perlu dilestarikon, tapi bak ulah sebambangan kak wat jak hona jama munih wat macom-macom faktor sai ngedukung terjadina sebambangan, jadi sebambangan sampai kapan juga pasti wat dan dilakukon jama jelma adat Lampung di Tiyuh Cugah.
Terjemahan Hasil Wawancara
Sebambangan masih dilaksanakan di Kampung Cugah. Sebambangan di Kampung Cugah yang melakukan sebambangan di dasari oleh rasa suka sama suka. Agar sebambangan
dapat berlangsung mka bujang dan gadis harus saling menyetujui untuk melaksanakan
sebambangan. Sebambangan yang dilaksanakan oleh masyarakat saat ini bukan seperti yang dahulu dilakukan oleh nenek moyang masyarakat adat Lampung Pepadun di Kampung Cugah. Dahulu sebambangan dapat terjadi walaupun salah satu pihak tidak ingin melakukannya, cara seperti ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan
Way Besai ningggalkon surat langsung lapah jama meranai, sekitar ruwa bingi ngantak salah, ruwa bingi luot manjau sabai pelalas ngayot-ayot, jaksan hulun tuha muli rik meranai berunding nentukon kemeda rasan haga teguwai, sekitar lima rani selanjutna ngantakkon alat sujud, ngantakkon jelma sebai, ragah, muli, meranai. Terakhir ngantakkon kebiyan sa jemoh sujud, mulang jak sujud nikah. Telu rani lapah manjau mirul/mehanian. Sebambangan dilakukon atas kehagaan muli meranai sayan, makdok alasan-alasan, tapi harus ninggalkon duit, ninggalkon surat. Amun at, sina sai di susul mehani atau keluargana, sampai muli sina di akuk luot muloh haguk nuwa, layon urung cuma ganti waktu. Waktu ngayot-ayot, hulun tuha muli kilu duit tambuhan jama pihak meranai, andaikata kiluan na sejuta (Rp.1.000.000,-), ram wat pat ratus (Rp.400.000,-), yu antakkon, dapok cukup sejuta (Rp.1.000.000,-) yu sina lebih helau. Kiluan sina pasti balak, tergantung hagana keluarga muli jama munih ngenah tingkat punyimbang tiyuhna. amun waktuna geluk hulun tuha temu hulun tuha atau intar padang. Intina sebambangan sina amun muli rik meranai kak jama-jama gering mak peduli alasan-alasan dacok ngelaksanakon sebambangan, muli kilu duit tengepik jama meranai di juk i meranai maka langsung sebambangan, sai penting dang makdok duit dang makdok surat, dibedak hulun amun makdok sin, sai nawak sina sai haga sepagasan ho. Ram makpandai ngerubah sebambangan, bak ulah adat, sebambangan tetop helau, tetop berlaku damun jelma ram Lampung Way Kanan, mak perlu ngapi-ngapi, bak ulah sina adat. Sebambangan harus tetop dilaksanakon mari ngejaga kelestarian budaya/tradisi jama adat istiadat jelma adat Lampung Pepadun khususna di Tiyuh Cugah.
Terjemahan Hasil Wawancara
71 % atau lebih dari setengah masyarakat adat Lampung Kampung Cugah melakukan
sebambangan. Sebambangan dimulai jika gadis meminta uang (mahar) yang besar kecilnya tidak tentu, meninggalkan uang, meninggalkan surat langsung selarian dengan bujang. Sekitar dua malam selanjutnya ngantak salah, dua malam lagi manjau sabai langsung ngayot-ayot,
saat itu juga orang tua gadis dan bujang bermusyawarah menentukan kapan urusannya akan dilaksanakan, sekitar lima hari selanjutnyamengantarkan alat sujud, mengantarkan orang ibu-ibu, bapak-bapak, gadis, bujang. Terakhir mengantarkan calon suami hari ini besok sujud, pulang dari sujud, nikah. Tiga hari kemudian pergi manjau mirul/mehanian. Sebambangan
Sampurna
Sebambangan pagun tetop dilaksanakon jelma adat Lampung pepadun di Tiyuh Cugah, bak ulah sina adat istiadat jama tradisi jak zaman ninik puyang. Tapi ganta sa delom pelaksanaanna, sebambangan kak ngalami perubahan terutama delom hal ucara-acara adat mari lebih ngehemat waktu, pekeran, jama tenaga. Sebambangan dacok dilakukon asalkon meranai rik muli kak pereda setuju ngelakukonna. keadaan ekonomi mak jadi pertimbangan delom ngelakukon sebambangan. Delom hal waktu, sebambangan nayah ngebelakon waktu, bak ulah makkung mastikon rani haga ngelangsungkon perkahwinan, sedangkon intar padang lebih cutik waktuna bak ulah kak radu nentukon rani H (perkahwinan) waktu dilakukonna rembuk kerua keluarga. Sebambangan dacok dilakukon asalkon meranai rik muli kak pereda gering jama setuju haga kahwin tanpa ngenah status adat, keadaan ekonomi, kemaksetujuan hulun tuha jama keluarga. Sebambangan harus tetop di jaga kelestarian na, bak ulah budaya asli jelma adat Lampung Pepadun khususna di Tiyuh Cugah sai kak wat jak zaman ninik puyang.
Terjemahan Hasil Wawancara
Sebambangan masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat adat Lampung Pepadun di Kampung Cugah, karena merupakan adat istiadat dan sudah menjadi tradisi mulai dari zaman nenek moyang. Akan tetapi saat ini dalam pelaksanaannya, sebambangan telah mengalami beberapa perubahan terutama dalam hal upacara-upacara adat guna lebih menghemat waktu, pikiran, dan tenaga. Sebambangan dapat dilakukan asalkan bujang dan
Budiman
Suku: Lampung Pepadun
Alamat: Jln. Lintas Sumatera No. 62 RT 01/01 Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan
Status: Kepala keluarga pelaku sebambangan
Keterangan: Informan utama
Hasil Wawancara
Sebambangan pagun tetop dilakukon di Tiyuh Cugah. Bak ulah pasangan meranai rik muli kak pereda gering jama mak haga diketahui hulun tuha jadi ngelakukon sebambangan. Sebambangan ngeluahkon biaya sai renik, sedangkon intar padang ngeluahkon biaya sai lebih balak. Sedangkon delom hal waktu sebambangan ngebelakon waktu sai lebih muni. Sebambangan dacok terjadi amun hulun tuha mak setuju sedangkon meranai rik muli kak setuju haga kahwin maka dacok ngelakukon sebambangan. Sebambangan sija merupakon adat sai harus diselesaikon secara musyawarah amun kak dilakukon meranai rik muli. amun pengenahan ku sampai kapanpun sebambangan pasti tetop wat di Tiyuh Cugah. Hal sija terjadi bak ulah macom-macom faktor sai ngedukung keberlangsungan sebambangan salah saina kemaksetujuan hulun tuha.
Terjemahan Hasil wawancara
Sebambangan masih tetap dilakukan di Kampung Cugah. Karena pasangan bujang dan
gadis telah saling suka dan tidak ingin diketahui oleh orang tua maka dilakukan
sebambangan. Sebambangan akan mengeluarkan biaya yang kecil, sedangkan intar padang akan mengeluarkan biaya yang lebih besar. Sedangkan dalam hal waktu
sebambangan akan menghabiskan waktu yang lebih lama. Sebambangan dapat terjadi jika orang tua tidak setuju sedangkan bujang dan gadis telah setuju untuk menikah maka dapat melakukan sebambangan. Sebambangan ini merupakan adat yang harus diselesaikan secara musyawarah jika telah dilakukan oleh pasangan bujang dan gadis. Menurut saya sampai kapanpun budaya sebambangan akan tetap ada di Kampung Cugah. Hal ini terjadi karena berbagai faktor yang sangat mendukung keberlangsungan budaya sebambangan
Suku: Lampung Pepadun
Alamat: Jln. Lintas Sumatera No. 53 RT 01/01 Kampung Cugah Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan
Status: Pelaku sebambangan
Keterangan: Informan utama
Hasil Wawancara
Di tiyuh cugah pagun dilaksanakon sebambangan, sebambangan sina disebabkon nayah alasan, sai pertama makdapok restu hulun tuha, sai keruwa makdok ekonomi sai cukup, sai ketelu pengaruh lingkungan. Waktu pelaksanaan sebambangan mak ditentukon, seandaina kiluan muli kak wat kak dacok lapah tergantung jak pihak meranai kemeda kiluna. amun sebambangan jama intar padang, tentu lebih balak biaya amun intar padang. Amun waktuna lebih muni sebambangan, intar padang ho kan kak gokgoh cara pasar, selamaran nawak sina. intar padang ho jak selamaran selesai langsung nentukon rani, jadi muni sebambangan. Saran ku sebambangan sina perlu dilestarikon, intina sina ciri khas jelma Lampung, amun intar padang sai sujud pai ampai takuk sina kan umum gokgoh kebudayaan sai barih.
Terjemahan Hasil wawancara
Di Kampung Cugah tetap dilaksanakan sebambangan, sebambangan itu disebabkan berbagai alasan, yang pertama tidak mendapat restu orang tua, yang kedua tidak ada ekonomi yang cukup, yang ketiga pengaruh lingkungan. Waktu melakukan sebambangan
tidak ditentukan, seandainya permintaan gadis sudah ada sudah bisa sebambangan
tergantung dari pihak bujang kapan maunya. Jika sebambangan dengan intar padang,
tentu lebih besar biaya jika intar padang. Jika waktunya lebih lama sebambangan, intar padang itukan sudah sama seperti cara masyarakat umum, selamaran seperti itu. Intar padang itu jika selamaran selesai maka langsung menentukan hari H, jadi lama
Saleh
Budaya sebambangan pagun dilakukon di Tiyuh Cugah, bak ulah merupakon adat istiadat Lampung Way Kanan, sehingga wajib dilestarikon. Sebambangan disebabkon ulah situasi jama kondisi meranai rik muli sai minim sehingga terjadilah sebambangan. Sebambangan lebih nguntungkon bak ulah lebih cutik ngeluahkon biaya. Intar padang umumna betele-tele bak ulah nayah mekerkon pertimbangan, sedangkon sebambangan lebih geluk bak ulah meranai rik muli kak pereda haga kahwin, sehingga harus geluk diselesaikon mari dacok kahwin. Faktor sosial cukup mempengaruhi sebambangan, keadaan ekonomi, jama suku munih mempengaruhi sebambangan. Garis keturunan mak jadi pengahalang haga ngelakukon sebambangan asalkon meranai rik muli sija kak pereda gering dan cocok haga kahwin. Amun pendapatku, helauna sebambangan sa dikurangi, mak jadi ram lebonkon bak ulah merupakon adat istiadat Lampung. Cukup dikurangi mari ngelebonkon dampak negatif misalna luwah emosi jama perselisihan antar keluarga. Jama catatan tetop ngedepankon musyawarah mufakat guna nyelesaikon segala permasalahan.
Terjemahan Hasil Wawancara
Budaya sebambangan masih dilakukan di Kampung Cugah, karena merupakan adat istiadat Lampung Way Kanan, sehingga wajib dilestarikan. Sebambangan disebabkan oleh situasi dan kondisi bujang dan gadis yang minim sehingga terjadilah sebambangan, salah satu faktor disebabkan karena salah satu dari orang tua tidak setuju sehingga terjadilah
sebambangan. Sebambangan lebih menguntungkan karena lebih sedikit mengeluarkan biaya. Intar padang umumnya bertele-tele karena banyak memikirkan pertimbangan, sedagkan sebambangan lebih cepat karena bujang dan gadis telah saling mau menikah, sehingga harus diselesaikan untuk segera melakukan perkawinan. Faktor sosial cukup mempengaruhi sebambangan, keadaan ekonomi, dan suku pun mempengaruhi
sebambangan. Garis keturunan tidak menjadi penghalang untuk melaksanakan