• Tidak ada hasil yang ditemukan

Poverty and Marginalization Process of Peasants in Upland of Garut. Case Study of Two Peasants Community in Garut Upland

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Poverty and Marginalization Process of Peasants in Upland of Garut. Case Study of Two Peasants Community in Garut Upland"

Copied!
267
0
0

Teks penuh

(1)

SITUASI KEMISKINAN DAN PROSES MARGINALISASI

PETANI DATARAN TINGGI GARUT

(Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut)

MUHAMMAD YUSUF

=

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Situasi Kemiskinan Dan Proses Marginalisasi Petani Dataran Tinggi Garut, Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2011

Muhammad Yusuf

(4)
(5)

ABSTRACT

MUHAMMAD YUSUF. Poverty and Marginalization Process of Peasants in Upland of Garut. Case Study of Two Peasants Community in Garut Upland

Garut is one of the upland areas in West Java with domestic income contribution from the agricultural sector is the highest compared to other sectors. On the other hand, the problem of rural poverty is still a problem faced Garut regency. Through the excavation of land tenure history and commodity distribution chain analysis, indicates that the process of impoverishment in the uplands caused by land occupation by the state through the forestry and plantation companies that resulted in the loss of farmers from force of production. In addition, the marginalization process of farmers continue to take place through the relations of production and distribution prevailing at the level of community amid the presence of a local peasant movements. This is due to the arena of local peasant movement is still centered on securing land tenure from the physical threat from plantations and forestry apparatus of the state.

(6)
(7)

RINGKASAN

M. YUSUF. Situasi Kemiskinan Dan Proses Marginalisasi Petani Dataran Tinggi Garut : Studi Kasus Komunitas Petani Di Dua Dataran Tinggi Garut. Di bawah bimbingan Dr. Titik Sumarti MC, MS dan Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS

Garut adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan kontribusi nilai tambah ekonomi yang tercipta di Kabupaten Garut dari sektor pertanian merupakan yang tertinggi (48,03%) bila dibandingkan dengan sektor lain. Sementara bila dilihat kontribusi terhadap PDRB Propinsi Jawa Barat, sumbangan sektor pertanian Garut mencapai 12,63%. Selain dikuasai warga, sebagian lahan pertanian di Kabupaten Garut turut dikuasai oleh negara dan swasta khususnya dalam pengelolaan kawasan hutan dan perkebunan. Menurut BPS Kabupaten Garut, hingga tahun 2000 persentase luas wilayah kehutanan dan perkebunan mencapai 50 persen dari keseluruhan wilayah kabupaten dan merupakan persentase terbesar di antara Kabupaten di pulau Jawa.

Meskipun sumbangan nilai tambah ekonomi sektor pertanian cukup besar dan hadirnya perusahaan kehutanan dan perkebunan milik negara dan swasta yang diharapakan mampu mendorong peningkatan pendapatan warga disekitar areal tersebut, tetapi kehidupan masyarakat petani di Kabupaten Garut masih dalam taraf miskin. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nota Pengantar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Garut 2009-2014, Kabupaten Garut merupakan daerah tertinggal dengan jumlah penduduk miskin berkisar 15,32 persen dari total 2,2 juta penduduk dan jumlah pengangguran terbuka usia 10 tahun ke atas mencapai 10,11 persen.

Situasi kemiskinan suatu komunitas tidak berdiri bebas dalam ruang dan waktu. Dirinya dipandang sebagai suatu proses yang terlembagakan dan hadir dalam sejarah perkembangan komunitas itu sendiri. Mengikuti pendapat Mosse (2007), kemiskinan merupakan hasil dari sejarah dan dinamika kapitalisme kontemporer, meliputi proses-proses akumulasi, perampasan, diferensiasi dan eksploitasi dengan turut mempertimbangkan mekanisme sosial, kategori dan identitas yang melanggengkan ketidaksetaraan dan memfasilitasi hubungan yang eksploitatif. Studi ini merupakan suatu usaha dalam memahami dan menganalisis bagaimana terbentuknya kemiskinan dan proses marginalisasi yang dialami oleh petani serta sampai sejauh inisiatif petani lokal dalam merespon persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi. Kemiskinan masyarakat pedesaan tidak dilihat hanya sebagai suatu hasil pengukuran dari aspek ekonomi semata akan tetapi merupakan hasil dari marginalisasi yang dialami suatu komunitas. Situasi kemiskinan suatu komunitas dengan demikian tidak berdiri bebas dalam ruang dan waktu. Dirinya dipandang sebagai suatu proses yang terlembagakan dan hadir dalam sejarah perkembangan komunitas itu sendiri.

(8)

komunitas dengan melihat kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan sebagai produk dari relasi kuasa dalam konteks sejarah perkembangan komunitas itu sendiri.

Penelitian ini merupakan penelitian empiris yang mencakup seperangkat proses yang kompleks dengan menggunakan pendekatan ekonomi-politik yaitu melihat “kemungkinan adanya hubungan timbal-balik antara ekonomi dan politik” dan pendekatan “sosio-historis” yaitu pola-pola hubungan produksi dalam sejarah perkembangan sebuah komunitas. Proses analisis data pada penelitian ini berakar kuat pada perspektif Marxian berikut berbagai variannya dimana komunitas dilihat sebagai keseluruhan dan aksi individu dibangun atas bekerjanya sebuah sistem yang berlaku. Perbedaan aktifitas nafkah dari setiap lapisan sosial dalam sebuah masyarakat ditentukan oleh dua hal, yakni: (1) siapa yang memiliki kontrol efektif terhadap seluruh sumber-sumber produksi, dan (2) sampai sejauh mana pemanfaatan output dari setiap kegiatan produksi, apakah untuk keperluan konsumsi atau untuk dipertukarkan (dijual) kembali dalam perekonomian pasar.

Dua titik sentral untuk memahami situasi kemiskinan di pedesaan adalah:

Pertama, situasi dan alasan (penyebab) kemiskinan harus dipahami melalui analisis rinci dari relasi kuasa dalam konteks sejarah tertentu: antara mereka yang memiliki lahan dengan mereka yang tidak memiliki lahan, antara rumah tangga kaya dan miskin; antara laki-laki dan perempuan; antara rumah tangga di

pedesaan dan di perkotaan dan antara lembaga pasar dan negara. Kedua, cara-cara

(pola/strategi) nafkah yang biasanya berlaku baik di dalam rumah tangga maupun antara rumah tangga yang sangat beragam.

Berdasarkan riwayat penguasaan lahan, di dua lokasi studi (desa Dangiang dan Sukatani) merupakan contoh desa-desa di dataran tinggi Garut dimana areal lahan pertanian warga berdampingan dengan pola penguasaan kawasan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan negara. Jika di desa Dangiang areal pertanian warga berdampingan dengan perkebunan teh PTPN VIII Dayeuh Manggung, di desa Sukatani merupakan salahsatu desa di kecamatan Cisurupan dimana posisi areal lahan pertanian warga berdampingan dengan areal kehutanan klaim PT. Perhutani.

Hadirnya bentuk-bentuk pengusaan lahan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan milik negara dikemudian hari turut mendorong lahirnya bentuk-bentuk

inisiatif warga untuk melakukan reclaiming lahan perkebunan negara yang

tergabung dalam organisasi tani lokal (OTL) Serikat Petani Pasundan (SPP). Khusus di desa Sukatani, selain OTL SPP, terdapat kelembagaan lain yakni PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) yang dibentuk oleh PT. Perhutani dalam mengatur dan mengontrol akses warga terhadap lahan kehutanan.

Pada prakteknya, hadirnya perusahaan perkebunan dan kehutanan negara yang telah dimulai sejak orde kolonial Belanda menyebabkan proses pemiskinan

dan peminggiran kuasa (enclosure) petani dari alat-alat produksi utama sehingga

banyak petani terserap menjadi tenaga buruh tani upahan, buruh industri dan

pekerja sektor informal di perkotaan.

(9)

kebutuhan atas input produksi (bibit, pupuk dan obat) dan keuntungan yang diperoleh dari pengadaan input produksi dan penjualan hasil panen tersebut menyebabkan antara petani dan bandar saling menjaga hubungan yang tidak setara.

Bentuk relasi yang terbangun antara petani dan bandar menyebabkan pembentukan dan penumpukan (akumulasi) surplus hanya terjadi pada pihak bandar sementara petani menjadi buruh di lahannya sendiri. Tidak jarang, akibat hubungan hutang-pitang semacam ini menyebabkan petani kehilangan lahan garapannya atau petani menjadi buruh di lahan garapannya sendiri. Kondisi semacam ini terus berlangsung hingga kini ketika warga berhasil mendapatkan

akses lahan garapan (reclaiming) bahkan memiliki potensi rekonsentarsi

penguasaan lahan pada elite desa yang memiliki kuasa ekonomi di desa.

Pilihan petani untuk bergabung kedalam Organisasi Tani Lokal Serikat Petani Pasundan (OTL SPP) menjadi strategi utama petani tanpa lahan dalam

mengukuhkan aksi reclaming lahan di areal kehutanan maupun perkebunan.

Selain itu, keberadaan OTL di dua lokasi turut memperluas ruang negosiasi dengan negara terkait kepastian hak garap di atas lahan-lahan klaim kehutanan maupun perkebunan. Seiring dengan langkah tersebut, organisasi tani lokal ini pun turut menciptakan dan memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa maupun lintas desa untuk merundingkan kepentingan mereka seperti keterwakilan di BPD, anggota panitia pemungutan suara, pemilihan kades, anggota PKK, dan program pemberdayaan.

Baik di desa Sukatani maupun desa Dangiang, strategi penguatan produksi dan distribusi di tingkat petani dipandang sebagai cara-cara yang ditempuh oleh sebuah rumah tangga petani di tiap lapisan dengan menimbang ketersediaan sumber daya (akses dan kontrol) yang dimiliki oleh sebuah rumah tangga. Dalam konteks ini, strategi pemanfaatan lahan merupakan salah satu upaya penguatan produksi petani di dua lokasi guna mengurangi ketergantungan dengan pihak bandar maupun cukong.

Apabila di desa Dangiang, strategi konsolidasi modal petani telah masuk tahap penguatan kelembagaan ekonomi kolektif, di desa Sukatani masih tergantung pada hubungan-hubungan permodalan yang telah lama terbangun

sebelum reclaiming, yakni hubungan petani dengan para bandar di desa.

Pada periode-periode awal gerakan bahkan hingga saat ini usaha

mengamankan akses lahan garapan (tenure security) dari ancaman fisik pihak

perkebunan dan kehutanan masih menjadi arena perjuangan utama (physical

security). Adapun keberhasilan beberapa anggota organisasi tani lokal menjadi bandar dapat diartikan sebagai pergantian aktor lama oleh aktor baru dalam pola (struktur) produksi dan distribusi lama. Dengan kata lain, konsolidasi jalur

distribusi kolektif belum terjadi.

Kata Kunci : Kemiskinan, Marginalisasi, Inisiatif Petani, Dataran Tinggi, Kabupaten Garut.

(10)
(11)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang–Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(12)
(13)

SITUASI KEMISKINAN DAN PROSES MARGINALISASI

PETANI DATARAN TINGGI GARUT

(Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut)

MUHAMMAD YUSUF

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)
(15)

Judul Tesis : Situasi Kemiskinan Dan Proses Marginalisasi Petani Dataran Tinggi Garut (Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut)

Nama : Muhammad Yusuf

NIM : I351060091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Titik Sumarti MC, MS Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan,M.Sc.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(16)
(17)

PRAKATA

Alhamdulillah. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis dengan judul “Situasi Kemiskinan Dan Proses Marginalisasi Petani Dataran Tinggi Garut : Studi Kasus Komunitas Petani di Dua Dataran Tinggi Garut” berhasil diselesaikan dengan baik.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Titik Sumarti MC, M.S dan Ibu Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, M.S selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, Bapak Dr. Ir. Arya H. Dharmawan. M.Sc.Agr selaku penguji tamu/luar komisi serta selaku ketua program studi Sosiologi Pedesaan IPB. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Endriatmo S, selaku Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta beserta staf atas dukungannya. Pimpinan Organisasi Tani Serikat Petani Pasundan beserta para tenaga pendamping. Prof. Sajogyo, Dr. Laksmi A. Savitri, Moh. Shohibuddin, M.Si dan para kerabat keluarga besar Sajogyo Institute (Sains) atas segala dukungan moril yang telah diberikan. Rekan-rekan pegiat Agraria khususnya Bapak Noer Fauzi yang selalu memberikan masukan yang kritis. Ungkapan terima kasih yang tulus dipersembahkan kepada Ayahanda H. Syamsuddin Ismail, Ak dan Ibunda Hj. Siti Halimah, Kakanda Nugrahayu, Ak dan adinda Budi Muliani, ST., dr. Siti Aisyah, Muh. Basri S beserta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Hanya kepada Allah SWT kita patut berserah. Semoga segala amal ibadah kita senantiasa mendapat ridho-Nya dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Amin.

Bogor, Februari 2011

(18)
(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 22 September 1979 dari Ayah H. Syamsuddin Ismail, Ak dan Ibu Hj. Siti Halimah. Penulis merupakan anak putra kedua dari lima bersaudara.

(20)
(21)

xix

2.1 Masyarakat Petani (Peasant Society) ……….……....

2.2 Usaha Tani di Pedesaan ………... 2.3 Masyarakat Perkebunan dan Kehutanan Indonesia ………... 2.4 Kemiskinan, Marginalisasi dan Ekspansi Surplus di Pedesaan ... 2.5 Etika Subsistensi Upaya Protes Petani ………..…………. 2.6 Review Beberapa Studi Terkait ………..……….….. 2.7 Kerangka Konseptual ………. 3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ……… 3.3 Level dan Unit Analisis ………... 3.4 Metode Pengumpulan Data ………... 3.4.1 Telaah Rantai Komonitas ………

3.4.2 Rejim Ketenagakerjaan (Labour Regimes) ...

3.4.3 ParticipatoryPoverty Assessment (PPA) ………...

3.4.4 Principal Component Analysis (Factor Analysis) …………...

3.4.5 Teknik Penggalian Data ………...

BAB IV STRUKTUR SUMBERDAYA DAN SETTING AGRO-EKOLOGI KOMUNITAS DATARAN TINGGI GARUT

4.1 Bentang Alam dan Posisi Administratif ……….... 4.2 Peta Sumber Daya Agraria ……….... 4.3 Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pendidikan ……….

4.4 Struktur Ekonomi Wilayah………...

4.5 Struktur Agro-Ekologi dan Pola Produksi Lokal………..

4.5.1 Struktur Agraria Lokal ………... 4.5.2 Pola Produksi dan Budidaya Lokal ... 4.5.3 Skala Usaha Tani untuk Beberapa Komoditas ………....

(22)

xx

4.6 Ikhtisar ………... 61

BAB V SITUASI KEMISKINAN RUMAH TANGGA PETANI DI PEDESAAN DATARAN TINGGI GARUT

5.1 Tipologi Tingkat Perkembangan Desa ... 5.2 Indikator Kemiskinan Warga Desa Dangiang ... 5.3 Indikator Kemiskinan Warga Desa Sukatani ... 5.4 Perbandingan Ukuran Kemiskinan di Dua Desa ... 5.5 Ikhtisar ...

BAB VI PROSES MARGINALISASI JILID I : AKIBAT

KEBIJAKAN NEGARA

6.1 Membaca Ulang Penetapan Kawasan Kehutanan dan Perkebunan .. 6.2 Riwayat Marginalisasi Petani Desa Dangiang ... 6.3 Riwayat Marginalisasi Petani Desa Sukatani ... 6.4 Ikhtisar ...

79 83 87 92

BAB VII PROSES MARGINALISASI JILID II : AKIBAT POLA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI

7.1 Melacak Jejak Marginalisasi Arus Bawah ... 7.2 Sumber Kredit dan Ketersediaan Sarana Produksi ... 7.3 Hubungan Produksi, Jejaring Pemasaran dan Isolasi Pasar ... 7.4 Proses Diferensiasi dan Penyingkiran Petani ... 7.5 Ikhtisar ...

BAB VIII INISIATIF PETANI DATARAN TINGGI DALAM UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN

8.1 Kepastian Hak Garap ... 8.2 Pola Pemanfaatan Lahan dan Budidaya ... 8.3 Konsolidasi Modal ...

BAB IX MUARA STUDI : SEBUAH CATATAN PENUTUP 109

(23)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Jenis Informasi, Sumber dan Metode ... ... 42

Tabel 4.1 Luas Kawasan Hutan `yang Dikuasai Negara di Kabuaten Garut, tahun 2001 ... 48

Tabel 4.2 Luas Kawasan Hutan yang Dikuasi PT. Perhutani KPH Garut,

Tahun 2002 ... 48

Tabel 4.3 Luas Perkebunan Besar Negara dan HGU Swasta di Kabupaten

Garut, Tahun 1998 ... 48

Tabel 4.4 Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Garut

(Per Periode Sensus Penduduk) ... 49

Tabel 4.5 Persentase Penduduk 10 Tahun Keatas Yang Bekerja Menurut

Lapangan Usaha ... 50

Tabel 4.5 Persentase Penduduk Berdasarkan Ijazah Tertinggi yang Dimiliki dan Kemampuan Baca-Tulis di Kabupaten Garut Tahun 2008 ... 50

Tabel 4.7 Perbandingan Dan Perkembangan Struktur Ekonomi Serta Sektor-Sektor Ekonomi Kabupaten Garut Terhadap Jawa Barat periode 2000-2007 ( persen) ... 51

Tabel 4.8 Biaya Produksi Budidaya Akar Wangi untuk Luasan 6.400 m2 ... 58

Tabel 4.9 Biaya Produksi Budidaya Kentang untuk Luasan 1 Ha ... 58

Tabel 4.10 Biaya Produksi Budidaya Wortel untuk Luasan 1 Ha ... 59

Tabel 4.11 Biaya Produksi Budidaya Kol untuk Luasan 1 Ha ... 59

Tabel 4.12 Biaya Produksi Budidaya Tomat untuk Luasan 1 Ha ... 60

Tabel 4.13 Perbandingan R/C dari setiap komoditas yang diusahakan ... 60

Tabel 4.14 Perbandingan Pola Pemanfaatan Lahan di Dua Lokasi ... 61

Tabel 5.1 Matriks Tipologi Desa di Kabupaten Garut Tahun 2008 ... 67

(24)

xxii

Tabel 6.1 Semangat (Visi dan Misi) dan Lingkup Pengaturan SDA pada 11 Undang-Undang ... 81

Tabel 6.2 Tingkat Perkembangan Ekonomi Warga Berdasarkan Letak Desa ... 82

Tabel 6.3 Sejarah Akses dan Kontrol Lahan Perkebunan di Desa Dangiang .... 84

Tabel 6.4 Sejarah Akses dan Kontrol Lahan Kehutanan di Desa Sukatani ... 91

(25)

xxiii

DAFTAR GAMBAR `

Halaman

Gambar 4.1 Peta Wilayah Administratif Propinsi Jawa Barat ... 45

Gambar 4.2 Luas Wilayah Menurut ketinggian ... 46

Gambar 4.3 Klasifikasi Desa Berdasarkan Potensi Sumberdaya dan Aktivitas Warga ... 47

Gambar 4.4 Peta Lokasi Kecamatan Penelitian ... 54

Gambar 7.1 Pola Distribusi Tanaman Sayuran di Daerah

Hamparan Papandayan ... 100

Gambar 6.2 Pola Distribusi Tanaman Akar Wangi di Daerah

(26)
(27)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan rejim ekonomi politik di Indonesia yang terjadi satu dasawarsa terakhir dalam beberapa hal masih menyisakan beberapa permasalahan mendasar di negeri ini. Dari berbagai studi mutakhir belakangan ini menunjukkan, terjadinya kemiskinan masif yang diderita oleh sebagian besar penduduk khususnya di pedesaan, meningkatnya angka pengangguran terbuka, konsentrasi kepemilikan aset oleh sekelompok kecil masyarakat, sengketa dan konflik agraria, krisis pangan dan energi, dan penurunan kualitas lingkungan hidup merupakan realitas objektif yang menyertai arah perubahan tersebut. Berbagai permasalahan yang bersifat struktural tersebut pada prateknya menyebabkan hilangnya akses masyarakat pedesaan khususnya petani terhadap sumber-sumber penghidupan.

Data kemiskinan yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2007 menunjukkan, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatan kemiskinan tersebut adalah 13,36 persen, sedangkan di kawasan perdesaan men-capai 21,90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyak dialami oleh penduduk pedesaan yang pada umumnya bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total penduduk miskin di Indonesia, sekitar 66 persen berada di pedesaan dan 56 persen di antaranya menggantungkan hidup dari pertanian.

(28)

Seperti yang diutarakan Li (2002), setidaknya selama kurun waktu 60 hingga 80-an, sejumlah studi telah dilakukan untuk melihat perubahan ekonomi-politik khususnya di dataran rendah Indonesia akibat pengaruh agenda “revolusi hijau” pada pertanian padi sawah atau lahan basah. Berkat pengenalan jenis padi unggul baru, penggunaan pupuk kimia industri dan introduksi teknologi telah memungkinkan peningkatan hasil panen yang signifikan. Akan tetapi menurut

White (1989) dalam Li (2002), penyebarluasan masukan-masukan teknik tersebut

pada prakteknya membawa nilai sosial yang tidak netral. Hal ini tergambar dari adanya program kredit baru dan mahalnya biaya administrasi untuk mengakses berbagai teknologi revolusi hijau sering kali hanya menguntungkan petani lapisan atas di desa sehingga justru terus memperluas jarak kesenjangan.

Demikian juga dengan usaha untuk memaksimumkan keuntungan dari kegiatan usahatani telah mendorong para petani di dataran rendah memperkenalkan bentuk serikat pekerja yang lebih restriktif yang sangat

merugikan para buruh tani (landless) khususnya kaum perempuan. Selain itu,

distribusi sarana usahatani dan pemasaran hasil panen yang menuntut adanya efisiensi memerlukan investasi besar dalam pembangunan infrastruktur pedesaan. Pada gilirannya, kondisi tersebut telah memudahkan penyebarluasan barang konsumsi, gerakan para investor memasuki bidang pertanian di pedesaan dan menyebarnya gaya hidup baru di pedesaan. Hal ini menunjukkan keberhasilan gagasan “revolusi hijau” dibarengi oleh makin meluasnya kemampuan birokrasi negara (pemerintah) dalam mengatur dan mengontrol wilayah pedesaan. (Li 2002)

(29)

3

Khusus di wilayah tatar Sunda, Kabupaten Garut merupakan salahsatu daerah dataran tinggi yang merupakan cerminan dari berbagai permasalahan yang hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat pedesaan yang berbasis agraris. Sebagai salahsatu Kabupaten di Propinisi Jawa Barat, kontribusi nilai tambah di sektor pertanian yang tercipta di Kabupaten Garut mencapai 48,03 persen. Angka persentasi tersebut telah memberikan kontribusi pertanian Kabupaten Garut terhadap penciptaan nilai tambah Jawa Barat sebesar 12,63 persen (BPS Kabupaten Garut 2007). Hal ini sangat beralasan mengingat kondisi topografi wilayahnya yang sebagian besar merupakan dataran tinggi atau perbukitan yang berada disekitar kawasan gunung berapi dengan kondisi lahan pertanian memiliki tingkat kesuburan yang baik.

Selain lahan pertanian yang dikuasai warga, pola pengusaan dan penggunaan lahan yang dominan adalah hadirnya peran serta negara dan swasta dalam mengelola kawasan hutan dan perkebunan besar yang merupakan jejak tapak atau warisan model penguasaan ruang hidup di pedesaan oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut BPS Kabupaten Garut, hingga tahun 2000 persentase luas wilayah kehutanan dan perkebunan mencapai 50 persen dari keseluruhan wilayah kabupaten dan merupakan persentase terbesar diantara seluruh Kabupaten di pulau Jawa.

Seperti yang terlihat pada Kecamatan Cisurupan maupun Cilawu yang merupakan fokus lokasi studi ini, mayoritas areal pertanian warga desa di dua lokasi tersebut berdampingan dengan areal klaim penguasaan perusahaan kehutanan (Perhutani Unit III KPH Garut) dan perkebunan (PTPN VIII Dayeuh Manggung). Hal yang perlu dicatat, sebelum tahun 2000an, profil dari sebagian besar rumah tangga petani (RTP) disekitar kawasan klaim perusahaan kehutanan

dan perkebunan negara merupakan kategori petani tuna kisma (landless) dan

masuk dalam kategori miskin. Jumlah tersebut untuk sebagian para pemerhati pedesaan diramalkan akan terus meningkat.

(30)

peningkatan pendapatan warga disekitar areal tersebut, pada realitasnya berbanding terbalik dengan kondisi keberdayaan ekonomi warga. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nota Pengantar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Garut 2009-2014, Kabupaten Garut merupakan daerah tertinggal dengan jumlah penduduk miskin berkisar 15,32 persen dari total 2,2 juta penduduk dan jumlah pengangguran terbuka usia 10 tahun ke atas mencapai 10,11 persen. (Harian Kompas, 2009)

Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilakukan oleh BPS Kabupaten Garut pada tahun 2008, jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang tergolong hampir miskin, miskin dan sangat miskin di Kabupaten Garut mencapai 221.010 rumah tangga dan kurang lebih 44,5 persen. Diantara jumlah RTS tersebut merupakan rumah tangga yang hampir mendekati garis kemiskinan sehingga berada dalam posisi yang sangat rentan. Dari data PPLS tersebut rumah tangga hampir miskin, miskin dan sangat miskin terbanyak berada di Kecamatan Garut Kota (11.548 RTS), disusul Kecamatan Cisurupan (10.028 RTS) dan Kecamatan Cilawu (9.533 RTS) (Harian Kompas, 2009). Alhasil, besaran persentase tersebut menenempatkan Kabupaten Garut pada urutan ketiga setelah Kabupaten Bogor dan Sukabumi sebagai daerah tertinggal dari 26 kabupaten/kota yang terdapat di propinsi Jawa Barat. Sementara untuk wilayah Priangan (Bandung, Tasikmalaya, Garut dan Ciamis), jumlah tersebut menempati urutan tertinggi (Harian Seputar Indonesia 2009).

(31)

5

dan perbaikan lingkungan dari pemerintah dan Perhutani, maupun kerja-kerja dampingan dari organisasi non-pemerintah.

Dalam konteks studi ini, kemiskinan tidak dilihat hanya sebagai suatu hasil pengukuran dari aspek ekonomi semata akan tetapi merupakan situasi yang tercipta akibat rejim pembangunan ekonomi yang sangat berorientasi pada ideologi kapitalisme. Selain itu, dari berbagai studi mengenai dinamika sosial-ekonomi pedesaan agraris di Indonesia, kemiskinan yang dialami suatu komunitas merupakan suatu akibat atau konsekwensi dari hadirnya relasi-relasi kuasa yang timpang atas penguasaan sumber-sumber produksi dan jalur distribusi atau dapat dikatakan sebagai kemiskinan yang bersifat struktural.

Situasi kemiskinan suatu komunitas tidak berdiri bebas dalam ruang dan waktu. Dirinya dipandang sebagai suatu proses yang terlembagakan dan hadir dalam sejarah perkembangan komunitas itu sendiri. Mengikuti pendapat Mosse (2007), kemiskinan merupakan hasil dari sejarah dan dinamika kapitalisme kontemporer, meliputi proses-proses akumulasi, perampasan, diferensiasi dan eksploitasi dengan turut mempertimbangkan mekanisme sosial, kategori dan identitas yang melanggengkan ketidaksetaraan dan memfasilitasi hubungan yang eksploitatif.

Sebagai lokasi yang dipilih pada studi ini, yakni desa Dangiang (hamparan Gunung Cikuray) dan desa Sukatani (hamparan Gunung Papandayan), hadirnya bentuk-bentuk inisiatif petani kecil dalam memanfaatkan kesempatan politik yang tersedia di desa melalui keterlibatannya dalam organisasi tani lokal, pada satu sisi telah membuka permasalahan ketimpangan agraria akibat masuknya perusahaan perkebunan dan kehutanan baik dari pihak swasta maupun negara dan pada sisi yang lain turut mempengaruhi kondisi kesejahteraan petani dataran tinggi Kabupaten Garut.

Dari berbagai ulasan diatas maka pertanyaan penelitian ini (research

(32)

1.2. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah situasi dan karakteristik kemiskinan yang dialami oleh

petani dataran tinggi Garut?

2. Bagaimanakah proses marginalisasi komunitas petani yang hadir dalam

hubungan-hubungan produksi dan distribusi serta implikasinya terhadap penciptaan kemiskinan petani di dua dataran tinggi?

3. Sejauhmana inisiatif petani lokal di dua dataran tinggi dalam merespon

persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis situasi dan karakteristik kemiskinan yang dialami oleh

petani dataran tinggi Garut.

2. Menganalisis proses marginalisasi komunitas petani yang hadir dalam

hubungan-hubungan produksi dan distribusi serta implikasinya proses penciptaan kemiskinan komunitas.

3. Memahami inisiatif petani lokal di dua dataran tinggi dalam merespon

persoalan kemiskinan dan proses marginalisasi yang hadir dalam hubungan produksi dan distribusi.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan dasar pijakan dalam memahami dan mengupayakan pengentasan kemiskinan di level komunitas dengan memandang kemiskinan sebagai akibat adanya marginalisasi petani di pedesaan yang melekat pada sejarah perkembangan komunitas tersebut. Selain itu, studi ini dapat memberikan penjelasan tentang berbagai inisitaif petani dalam menata relasi kuasa atas sumber-sumber produksi dan jalur distribusi yang timpang di pedesaan.

(33)

7

(34)

2.1. Masyarakat Petani (Peasant Society)

Menurut Boeke, ciri khas suatu masyarakat dapat dikenali lewat keberkaitan unsur-unsur dasar yang terdapat dalam sebuah masyarakat tersebut yakni, bentuk-bentuk organisasi dan teknik-teknik yang mendukungnya atau disebut sebagai sistem sosial dimana tiap-tiap sistem sosial memiliki mempunyai teori ekonomi tersendiri. Begitu pun sebaliknya, teori ekonomi selalu merupakan teori mengenai sistem sosial tertentu yang keduanya dibentuk oleh sejarah masyarakatnya sendiri.

(Boeke dalam Sajogyo 1982)

Mengacu pendapat Shanin (1971), terdapat empat aliran/tradisi utama

pemikiran (mainstream of thought) dalam memahami masyarakat tani, yakni:

Pertama, tradisi Marxian yang memahami masyarakat tani dari pendekatan hubungan kekuasaan atau lewat analisis kelas. Dalam pendekatan ini, masyarakat

tani dipandang sebagai unit produksi dari formasi sosial awal (pre-capitalist

producers) yang tereksploitasi akibat struktur kekuasaan yang ada. Kedua,

pendekatan Chayanovian yang memandang struktur masyarakat tani ditentukan

oleh sistem ekonomi yang khas (specific type of economy).

Ketiga, pendekatan Etnografi Barat yang memahami masyarakat tani

sebagai representasi masyarakat yang mengalami cultural lag. Dan keempat,

(35)

10

Sementara Kurtz (2000) menjabarkan empat dimensi definisi petani yakni,

Pertama, konsepsi minimalis yang memandang petani sebagai “pengolah tanah”

di pedesaan. Kedua pendekatan antropologi yang menyatakan komunitas petani

yang bercirikan perilaku budaya yang berbeda dengan pola budaya “urban”.

Ketiga pendekatan ekonomi moral yang menyatakan petani tersubordinasi kuat

oleh kekuasaan dari luar. Keempat tradisi Marxian yang menganggap petani

merupakan kombinasi dari tiga dimensi, yakni pengolah tanah, komunitas tersubordinasi dan dimensi penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Dan

kelima, konsepsi Weberian yang memandang petani sebagai kombinasi dari keempat dimensi sebelumnya. Analisa Shanin (1984) dan Moore (1966) tentang ciri masyarakat petani adalah contoh dari pendekatan Weberian ini. Hal yang

mesti digariskan bahwa konsep peasant juga berlaku bagi komunitas nelayan

seperti yang digunakan oleh Redfield.

Menurut Chayanov, yang terjadi pada masyarakat pedesaan bukanlah diferensiasi sosial seperti apa yang diyakini oleh penganut Marxian ortodoks melainkan yang terjadi adalah diferensiasi demografis (Kerblay 1971) sehingga sekelompok keluarga-tani tidak dapat menduduki posisinya dalam satu stratum dalam masyarakat secara mapan; atau bahkan tak cukup lama untuk dapat mengkonsolidasikan dirinya sebagai suatu kelas dalam arti suatu rumah tangga petani dapat menjadi kaya pada suatu waktu dan dapat menjadi miskin kemudian atau sebaliknya. (Wiradi 1993)

2.2. Usahatani di Pedesaan

(36)

Menurut Wiro (1999), studi mengenai ekonomi rumah tangga pada prinsipnya berkenaan dengan pengkajian tentang struktur kompleks dan perilaku dari suatu rumah tangga yang meliputi struktur demografi, proses pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, pola nafkah, dan pembagian kerja dalam rumah tangga. Berdasarkan tradisi neo-klasik, model ekonomi rumah tangga dibagi

dalam dua tipe, yakni the unitary model of household behaviour dan collective

model of household behaviour. Kedua tipe tersebut bersandar pada teori pilihan

konsumen (the consumer choice theory). Pada teori pilihan konsumen

mengasumsikan bahwa seluruh unit rumah tangga bersifat rasional dimana penilaian terhadap waktu, jenis barang yang diproduksi dan dikonsumsi ditentukan oleh mekanisme pasar.

Asumsi yang terdapat pada the unitary model of household behaviour,

keputusan dalam menentukan tujuan ditentukan bersama oleh anggota keluarga dengan kata lain seluruh anggota rumah tangga memiliki preferensi yang sama terhadap utilitas. Selain itu, rumah tangga tidak hanya dipandang sebagai unit satuan konsumsi melainkan juga berindak sebagai produsen. Dalam konteks ini, karakteristik utama dari model ini adalah rumah tangga yang harmonis atau tidak

mengakomodir adanya konflik dalam rumah tangga. Tipe collective model of

household behaviour, lebih menekankan keberadaan individu dalam anggota

rumah tangga. Tipe ini sering juga disebut sebagai pruralistic decision-making

within familiy. Berbeda dengan tipe sebelumnya, tipe collective model of household behaviour berasumsi bahwa dalam setiap anggota rumah tangga tidak memiliki preferensi yang sama terhadap fungsi utilitas (Wiro 1999).

(37)

12

dan hubungan dengan masyarakat luar, dan (e) reproduksi sosial dan material dan keamanan sosial terhadap anggota rumahtangga.

Sementara Chayanov, menyatakan bahwa teori ekonomi modern (kapitalis) tidak dapat diterapkan untuk menganalisis masyarakat petani pedesaan. Menurutnya prinsip ekonomi modern (kapitalistik) adalah sistem ekonomi yang kompleks dimana unsur penyusunnya terdiri dari harga, modal, upah, bunga dan sewa yang saling berhubungan secara fungsional. Apabila satu unsur hilang maka konsepsi ekonomi modern itu dengan sendirinya runtuh. Masyarakat petani dengan demikian harus diperlakukan sebagai suatu sistem ekonomi yang memiliki

rasional tersendiri (a specific type of economy) dimana motif utama aktivitas

ekonomi keluarga lebih kepada mengamankan kebutuhan subsistensi bukan

mengejar keuntungan dan sumber tenaga kerja berasal dari keluarga (peasant

ownerships without hired labour) (Wiradi 1993).

Mengikuti Sajogyo (2006), agenda modernisasi pertanian di Indonesia berpangkal dari dua tipe ekonomi usahatani (satuan rumah tangga), sumberdaya pedesaan yakni sektor pertanian pangan (padi) dan sebagian lain, khususnya di luar Jawa pertanian komersil berorientasi ekspor. Pada tipe yang pertama dibebani tugas untuk menyediakan kebutuhan pangan dan sebagai penopang agenda industrialisasi nasional. Sementara pada tipe yang kedua dibebani oleh kepentingan devisa negara bersama perluasan dan pembaharuan sub sektor perkebunan. Dengan motif mengejar pendapatan devisa negara, pemerintah dengan berbagai program dalam semangat ‘revolusi hijau’ melakukan intervensi program peningkatan produktifitas pertanian secara luas seperti program Bimas, akses terhadap kredit, introdusir teknologi dan sebagainya.

2.3. Masyarakat Perkebunan dan Kehutanan di Indonesia

(38)

relasi kolonial adalah kehadiran perusahaan perkebunan dan kehutanan, baik milik negara maupun swasta.

Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di negara jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hubungan ini dipandang sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem perkebunan dimulai dengan melalui pembukaan penanaman modal dan teknologi dari luar, dan memanfaatkan tanah dan tenaga kerja yang tersedia di daerah jajahan. Pembukaan perkebunan, menimbulkan lingkungan baru, yaitu lingkungan perkebunan. Lingkungan perkebunan ini biasanya dibentuk oleh kesatuan lahan penanaman komoditi perdagangan, pusat pengolahan produksi (pabrik), dan komunitas permukiman penduduk yang terlibat dalam kegiatan perkebunan. Dalam perjalanannya, kehadiran komunitas perkebunan di tanah jajahan, melahirkan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan setempat baik dari segi lokasi, tata ruang, ekologi, maupun organisasi sosial dan ekonomi. (Kartodirjo dan Suryo 1991)

Secara topografis, perkebunan sering dibangun di daerah yang subur, baik yang ada di daerah dataran rendah maupun yang ada di daerah dataran tinggi. Tanaman yang dibudidayakan homogen (komoditi ekspor), dan berbeda dengan aturan tanaman pertanian subsisten setempat. Demikian pula organisasi dan sistem kerja, serta proses produksinya. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan yang lebih tertuju ke dunia luar, menjadikan lingkungan perkebunan seolah-olah terpisah dari lingkungan agraris setempat. Lebih-lebih karena perkebunan memiliki teknologi yang maju, maka perbedaan dengan lingkungan sekitarnya semakin menonjol. Karena itu kehadiran sistem perkebunan di lingkungan masyarakat agraris di tanah jajahan atau negara-negara berkembang, dianggap

telah menciptakan tipe perekonomian kantong (enclave economics) yang bersifat

dualistik (dualistic economy). Dualisme perekonomian kantong timbul sebagai

(39)

14

perkebunan muncul sebagai kegiatan ekonomi yang memiliki tingkat produktivitas tinggi dan menghasilkan produksi untuk ekspor, di lain pihak, sektor kegiatan ekonomi lainnya memiliki tingkat produktivitas rendah dan menghasilkan produksi untuk pasaran dalam negeri. (Kartodirjo dan Suryo 1991)

Masyarakat perkebunan merupakan miniatur masyarakat kolonial pada umumnya, serta menunjukkan karakteristik yang sama, antara lain: (1) pluralistik, (2) tersegmentasi menurut golongan etnik, (3) rasialistik, (4) dualistik berdasarkan sistem ekonomi Eropa dan non-Eropa, (5) dominasi sosial, ekonomi dan politik kaum kolonial; berdasarkan itu kesemuanya juga terdapat perbedaan gaya hidup. Apabila pada umumnya gaya hidup menunjukkan status golongan dalam masyarakat, maka gaya hidup sendiri menjadi simbol posisi sosial golongan tertentu, termasuk kekayaan, kekuasaan serta kewibawaan. (Kartodirjo dan Suryo, 1991)

Mengutip pendapat Beckford (1972), White (1990) mengungkapkan,

perkebunan (plantation) atau perusahaan kehutanan besar (agro-industri)

merupakan penyebab utama keterbelakangan dan kemiskinan kronis (persistent

poverty) karena dalam bentuk klasiknya ditandai oleh : 1) tingkat upah yang sangat rendah dibanding apa yang berlaku pada sektor-sektor lain (tidak menimbulkan consumption/demand lingkages yang berarti dengan sektor-sektor lain); 2) adanya sistem produksi, pengolahan dan pengemasan yang terintegrasi vertikal, sehingga hanya sedikit membutuhkan masukan dari unsur-unsur luar

(kurang memiliki production lingkages dengan ekonomi sekitarnya) dan; 3)

karena bentuk pemilikannya, menunjukkan pembocoran (leakage) dimana

keuntungan (surplus) keluar dari perekonomian lokal sehingga baik perkebunan yang modern dan serba efisien pun tetap tidak akan mendukung pengembangan serta akumulasi pada wilayah dimana perkebunan berada (Sajogyo dan Tambunan 1990).

Selain perkebunan, penguasaan lahan kehutanan oleh negara maupun swasta merupakan salahsatu jejak praktek-praktek kolonial di Indonesia. Dalam lintasan sejarah, menjelang akhir abad ke 19, sebuah konsep pengelolaan hutan yang

(40)

mempengaruhi para pengelola hutan-hutan Jawa sementara konsep ini memapankan diri di negeri-negeri lain. Dinas Kehutanan, yang berawal sebagai perusahaan produksi, mengembangkan perannya selaku pelindung dengan memperluas kegiatan pengawasan dan memformalkan suatu ideologi yang baru muncul, yakni konservasi oleh negara. Undang-undang Kehutanan Tahun 1927 adalah kulminasi dari setengah abad kegiatan “coba dan ralat”. Undang-undang itu mewakili penegakan suatu ideologi legitimasi negara untuk menguasai seperempat luasan tanah pulau Jawa (Pellusso 2008). Lewat pengamatannya di wilayah Cibodas pada pra-kemerdeakaan 1945, Sajogyo (1976) mengungkapkan, pelepasan desa dari wilayah hutan yang dikuasai pemerintah khususnya di Jawa Barat telah berlangsung baik lewat aturan tanam paksa komoditas ekspor seperti kopi yang berakhir pada tahun 1915 maupun yang diperkuat oleh UU, patok-patok batas dan polisi kehutanan.

Selain itu, wilayah hutan di Jawa yang terletak di daerah perbukitan dan pegunungan juga telah banyak diserahkan pengelolaannya berikut hak-hak istimewa kepada pihak perusahaan perkebunan teh, kopi, dan sebagainya. Kedua kondisi tersebut turut mempengaruhui pertumbuhan desa-desa di Jawa. Adapun hubungan yang sah antara warga desa desa dengan pihak penguasa kehutanan tersalurkan dalam bentuk ikatan buruh tumpang sari atau buruh biasa kehutanan dimana kondisi yang demikian ini sebagian banyak tak berbeda dengan perkebunan besar. Sehingga tidak mengherankan, petani di lapisan bawah (petani gurem dan buruh tani) yang paling sering memanfaatkan peluang pekerjaan di hutan (Sajogyo 1973).

Penetrasi perusahaan kehutanan dan perkebunan negara tidak hanya berhasil

melepaskan petani (direct producer) dari lahan garapan mereka akan tetapi turut

(41)

16

Menjelang pertengahan abad kedua puluh, penduduk desa tidak dapat lagi melarikan diri dari beratnya kehidupan ke bagian-bagian yang jauh dan terpencil di dalam hutan, terlebih karena semakin hilangnya tempat yang jauh dan terpencil di dalam hutan. Penduduk desa mengandalkan cara sembunyi untuk memperoleh bahan bangunan dan bahan untuk memasak makanan; ada yang menerima petak kecil lahan peremajaan hutan untuk digarap sebagai pertanian sementara. Para pencocok tanam pedesaan yang bekerja di hutan menyubsidi investasi kehutanan negara dengan menghasilkan sendiri pangan mereka, entah itu dari tanah mereka sendiri atau dari petak-petak reforestrasi (reboisasi) yang dapat mereka akses untuk sementara waktu. (Pelluso 2008).

2.4. Kemiskinan, Marginalisasi dan Ekstraksi Surplus di Pedesaan

Studi kemiskinan merupakan salahsatu tema yang terus bergulir di ranah akademik maupun pengambil kebijakan. Hingga saat ini, para ahli dari beragam perspektif terus mengembangkan dan memperluas definisi kemiskinan berikut indikator yang menyertainya. Salah definisi kemiskinan adalah kondisi kehidupan seseorang yang didasarkan atas tingkat kecukupan subsistensi minimun seperti kebutuhan nutrisi dan kebutuhan dasar lainnya serta penerimaan seseorang di lingkungan sosialnya. Definisi semacam ini sering diistilahkan sebagai kemiskinan absolut (Lok-Dessallien 2001).

Kemiskinan juga dapat dilihat dari hubungan antara tingkat kecukupan pangan (status kelaparan) dan akses terhadap sumber pangan, sebagaimana yang diungkapkan Sen (1982) bahwa, walaupun ketersediaan pangan melimpah, kelaparan akan terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan seseorang

mendapatkan hak atas pangan (Starvation is seen as the result of his inability to

establish entitlement to enough food). Selain itu, Sen (1999) juga menunjukkan,

bahwa kemiskinan memiliki kaitan erat dengan Capability Deprivation, yaitu

(42)

Kemiskinan juga dapat dipandang sebagai akibat dari adanya relasi-relasi sosial yang terdapat di suatu masyarakat. Kemiskinan yang demikian ini disebut sebagai kemiskinan struktural. Mengikuti pendapat Soemardjan (1980), kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu mengakibatkan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural mengacu pada ketimpangan-ketimpangan sosial yang telah meresapi struktur dan lembaga-lembaga sosial dan menjelma didalamnya (Winangun 2004). Dari definisi kemiskinan struktural tersebut, maka akan mengantarkan kita pada cara memahami persoalan kemiskinan tidak cukup hanya dilihat dari persoalan ekonomi semata. Persoalan kemiskinan memiliki

keterhubungan erat dengan berbagai proses peminggiran sosial (social exclusion)

dan marginalisasi yang dialami individu maupun kelompok.

Pada paradigma pembangunan lama, kemiskinan selalu dilihat dengan ukuran atau variabel ekonomi yang statis semata dan terkadang tidak sesuai dengan kondisi pedesaan Indonesia. Cara pandang demikian ini telah menghilangkan makna kuasa dan proses/sejarah dalam memahami kemiskinan. Mengikuti pendapat Mosse (2007), kemiskinan merupakan hasil dari sejarah dan dinamika kontemporer kapitalisme yang meliputi proses-proses akumulasi, perampasan, diferensiasi dan eksploitasi. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingya adalah perlunya pemahaman tentang mekanisme sosial, kategori dan identitas yang melanggengkan ketidaksetaraan dan menstabilkan atau memfasilitasi hubungan eksploitasi yang hadir secara nyata. Dengan definisi yang demikian, maka pendekatan metodologis individualisme dan model pilihan rasional neo-liberal harus digeser dengan lebih menekankan pentingnya proses sosial dan hubungan kekuasaan.

Murray (2001) mengungkapkan, kebanyakan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan di negara-negara miskin, terlibat dalam perjuangan (pergolakan) yang tak henti-hentinya untuk mengamankan mata pencaharian dalam menghadapi situasi sosial, ekonomi dan politik yang sering kali merugikan mereka. Dua titik sentral untuk memahami perjuangan semacam

(43)

18

dipahami melalui analisis rinci dari relasi sosial dalam konteks sejarah tertentu: antara mereka yang memiliki lahan dengan mereka yang tidak memiliki lahan, antara rumah tangga kaya dan miskin; antara laki-laki dan perempuan; antara rumah tangga di pedesaan dan di perkotaan dan antara lembaga pasar dan negara.

Kedua adalah cara-cara (pola/strategi) mata pencaharian yang biasanya berlaku baik di dalam rumah tangga maupun antara rumah tangga yang sangat beragam.

Sementara menurut perspektif ketergantungan dan keterbelakangan awal, ketimpangan pertukaran komoditi dan praktek–praktek warisan kolonial lainnya disebut sebagai faktor kunci yang menjelaskan distribusi kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di abad ke-20 (Smith, 2005). Adapun pengaruh penetrasi kapital ke pedesaan, Luxemberg (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan (penetrasi) kapitalisme ke wilayah pedesaan membutuhkan suatu suasana lingkungan yang memperagakan bentuk-bentuk produksi non-kapitalistik

(natural economy) sebagai pasar dari surplus yang dihasilkan oleh para pemilik modal, sumber bahan baku dan penyedia cadangan tenaga kerja dalam sistem upah (buruh lepas).

Dalam hal ini, tema akumulasi primitif (primitive accumulation) yang

banyak terdapat pada literature Marxian hadir dalam arena debat teoritik kontemporer (Bond 2007, Bonefeld 2001, De Angelis 2000, Perelman 2001). Kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan dipandang sebagai sebuah akibat ekspansi kapitalisme ke pedesaan. Ekspansi ini pada prakteknya

menyebabkan perubahan relasi besar-besaran (great transformations) di pedesaan

yakni, proses pelepasan petani dari alat-alat produksi (enclosure) dan kemudian

menjadi tenaga kerja bebas (upahan). Proses akumulasi semacam ini tidaklah berlangsung sekali jadi pada tahap awal perkembangan kapitalisme semata sebagaimana yang diyakini oleh para penganut Marxian klasik, namun merupakan bagian tak terpisahkan dari cara produksi kapitalis itu sendiri. Proses ekspansi kapitalisme semacam inilah yang melahirkan proses marjinalisasi dan terbentuknya kemiskinan pada masyarakat pedesaan (Shohibuddin dan Soetarto

2010). De Angelis (2004: 58) mengungkapkan, “… there is no enclosure of

(44)

Selain berlangsung “dari atas” berkat fasilitasi dan penetrasi ekonomi dari negara (baik negara kolonial maupun pasca kolonial), ekspansi kapitalisme

sebenarnya juga bisa berlangsung “dari bawah”, yakni melalui relasi-relasi

agraris di antara anggota masyarakat sendiri menyangkut perebutan akses dan kontrol atas tanah, modal dan tenaga kerja. Secara singkat, proses akumulasi dari bawah di antara masyarakat sendiri ini pada dasarnya terjadi melalui apa yang

disebut sebagai “diferensiasi agraria”. White (1998: 20) mendefinisikan proses

diferensiasi agraria ini adalah, “… suatu perubahan yang kumulatif dan permanen

dalam berbagai cara di mana kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat desa—dan beberapa di luarnya—mendapatkan akses kepada hasil-hasil dari jerih payah tenaga kerjanya sendiri ataupun orang lain, menurut perbedaan penguasaan mereka atas sumber-sumber produksi, dan seringkali … menurut ketimpangan yang kian meningkat dalam hal akses atas tanah”. Wiradi (2010) mengutarakan, proses “diferensiasi kelas” di pedesaan Jawa yang ditandai dengan:

1. Proses pemusatan penguasaan tanah, baik melalui sewa-menyewa,

gadai-menggadai, maupun melalui pemilikan dengan pembelian,

2. Tingkat ketunakismaan bertambah tinggi. Kesempatan para tunakisma

untuk dapat menguasai tanah melalui sewa-menyewa dan bagi hasil kian terbatas karena ada kecenderungan para pemilik tanah lebih suka menggarap sendiri tanahnya dari pada menggarapkan (sewa, bagi hasil) kepada orang lain.

3. Walaupun umumnya proposisi pendapatan dari sektor nonpertanian lebih

besar daripada yang bersumber dari sektor pertanian, namun luas pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan. Ini berarti bahwa jangkauan terhadap sumber-sumber di luar sektor pertanian lebih dimiliki para pemilik tanah luas daripada pemilik tanah sempit atau lebih-lebih para tunakisma.

4. Pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi

(45)

20

pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di pedesaan.

Dengan demikian, pengkajian kemiskinan dan marginalisasi petani di pedesaan terkait dengan proses-proses dan relasi-relasi penciptaan dan ekstraksi

atau perampasan surplus (surplus appropriation) antara pelaku ekonomi di

pedesaan, seperti produsen langsung (petani), tuan tanah, pemilik modal, pedagang perantara, dan sebagainya. Mengikuti pendapat Deere dan de Janvry

(1979) dalam Ellis (1993), terdapat 7 (tujuh) mekanisme yang menjelaskan

bagaimana surplus (nilai lebih) yang dihasil petani ditangkap (diserap) oleh pelaku ekonomi (individu, kelompok maupun negara). Ketujuh mekanisme

tersebut, tiga diantaranya melalui sewa (via rent), tiga selanjutnya melalui pasar

(via market) dan sisanya melalui negara (via state). Adapun ketujuh mekanisme yang dimaksud Deere dan de Janvry (1979) adalah: (1) sewa jasa tenaga kerja

(rent in labour service), (2) sewa atas dasar kebaikan (rent in kind), (3) sewa

dalam bentuk tunai (rent in cash), (4) perampasan nilai surplus melalui upah

(appropriation of surplus value via the wage), (5) perampasan nilai surplus

melalui harga (appropriation of surplus value via the prices), (6) perampasan nilai

surplus melalui bunga tinggi (appropriation of surplus value via the usury), dan

(7) pajak yang dikenakan kepada petani (peasant taxation). (Ellis 1993)

Mengikuti White (2009), terdapat 4 proses kunci yang perlu dipahami dalam memahami ektraksi surplus di pedesaan yakni, 1) Produksi rumah tangga

(home production); 2) produksi tenaga kerja upahan (wage labour production); 3)

sirkulasi penawaran dan permintaan (supply and demand circulation); dan 4)

reproduksi sosial dan diferensiasi agraris (reproduction and agrarian

(46)

Sementara Friedland dan kawan-kawan, lewat pengatannya terhadap dalam rantai komoditas selada dan tomat California yang bersandar pada perspektif

Labor Proccess Marxis, meletakkan sebuah kerangka analitik dalam tiga kategori kunci yakni, moda produksi, hubungan sosial produksi, dan pembagian kerja teknis. Pada selanjutnya, Friedland bergerak ke analisis pertanian yang lebih konkret yang diuraikan melalui "lima fokus" untuk analisis sistem komoditi, yakni: praktek produksi, organisasi petani, pasar tenaga kerja, ilmu pengetahuan, serta pemasaran dan sistem distribusi.

Di samping aspek-aspek utama tersebut di atas, terdapat aspek-aspek lain, yaitu perbankan dan perkreditan. Peraturan dan program pemerintah mengenai perbankan dan perkreditan dilihat sebagai suatu cara yang dengan itu faktor-faktor eksternal berusaha mempengaruhi atau mengintervensi proses-proses tersebut di atas, untuk sesuatu tujuan tertentu. Melalui mekanisme sistem perbankan dan perkreditan, surplus yang diciptakan oleh seseorang atau suatu kelompok, ataupun badan usaha, dapat beralih menjadi modal bagi orang lain, kelompok lain, ataupun badan lain, baik di dalam sektor dan lokasi yang sama maupun yang berbeda. Dengan demikian, sistem perbankan dan perkreditan dapat dipandang sebagai mekanisme yang mewujudkan mobilitas modal, baik secara spatial, secara sektoral, maupun secara sosial (antara lapisan, antara kelompok etnis, antara

gender, dan sebagainya). (Wiradi et al 1991)

Secara tradisional kebutuhan akan pinjaman atau kredit dalam suatu masyarakat berjalan sejajar dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks masyarakat pedesaan, Boeke (1983) mencatat bahwa masyarakat petani memiliki dua kebutuhan, yakni kebutuhan ekonomis dan kebutuhan sosial. Dalam konteks yang sama Wolf (1983) juga menyebutkan bahwa untuk dapat hidup layak, seorang petani di negara berkembang harus memenuhi tiga macam

kebutuhan. Pertama, replacement funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk

mengganti peralatan produksi dan konsumsi.

Kedua, ceremonial funds, yaitu dana yang dibutuhkan petani untuk

membiayai kegiatan-kegiatan sosial. Terakhir, funds of rent, yaitu dana yang

(47)

22

sendiri. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini, tidak dapat ditanggulangi dengan sumber-sumber yang dikuasai sendiri, umumnya dipenuhi dengan memanfaatkan mekanisme pinjam-meminjam yang lazim berlaku. Pinjaman yang diperoleh biasanya dibayar dalam tiga bentuk, yakni tenaga kerja, hasil produksi, atau uang.

(Gunardi et al 1994)

Gejala yang sama juga ditemukan oleh Djojohadikusumo (1989) melalui penelitiannya tentang masalah perkreditan pada masa depresi tahun 1930-an. Pada era kolonial tersebut, Djojohadikusumo menyebutkan empat bentuk peminjaman

yang berlaku umum pada masyarakat. Pertama, pinjaman dalam bentuk padi.

Pinjaman ini dimanfaatkan untuk benih atau dikonsumsi sendiri yang akan dibayar lagi sesudah panen dengan padi sebanyak satu setengah hingga dua kali

padi yang dipinjam. Kedua, pinjaman uang. Pinjaman ini dikembalikan setelah

panen ditambah dengan sejumlah padi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketiga,

pinjaman uang yang dibayar kembali dengan kerja yang dianggap sesuai dengan jumlah pinjaman.

Keempat, pinjaman uang yang harus dibayar kembali dengan uang ditambah bunga yang telah ditetapkan. Lebih jauh juga dikatakan bahwa jenis-jenis pinjaman ini mempunyai akibat-akibat yang sangat penting. Apabila pinjaman itu membengkak, orang yang berutang hanya dapat membebaskan diri dari pinjaman pokok dan bunganya dengan cara antara lain menyewakan sebagian tanahnya –

terkadang juga seluruhnya – kepada pemberi pinjaman dalam jangka waktu tertentu. Setelah habis masa sewa tanahnya, pinjaman dianggap lunas atau menggadaikan tanah kepada pemberi pinjaman.

(48)

maka terganggu pula kesetimbangan ekonomi rumah tangga penerima pinjaman. (Djojohadikusumo, 1989)

2.5. Etika Subsistensi dan Upaya Protes Petani

Menurut Scott (1981), kekhawatiran akan kekurangan pangan yang menghinggapi komunitas petani di era pra-kapitalis merupakan faktor utama tumbuhnya etika susbsitensi. Etika subsistensi petani tidak hanya memfokuskan kepada kegiatan ekonomi semata akan tetapi secara inheren memiliki dimensi normatif atau moral. Sebagai suatu prinsip moral yang berlaku, etika subsistensi berakar pada kebiasaan (tradisi) ekonomi yang didalamnya terdapat mekanisme pertukaran-pertukaran sosial diantara anggota masyarakat petani. Dalam bentuk-bentuk kelembagaan yang terdapat di petani subsisten, seperti pola relasi patron-klien, mekanisme distribusi dan resiprositas, etika subsistensi menyediakan sebuah sistem penjaminan yang dinamakan asuransi sosial. Asuransi sosial memainkan peran vital sebagai faktor integritas petani dalam menghadapi resiko pertanian melalui sistem pertukaran sosial.

Peran moral ekonomi yang lahir dari etika subsitensi petani, menurut Scott, telah melahirkan aktivitas protes dari petani subsisten. Terdapat dua tema sentral

gerakan protes petani, pertama, pungutan atas penghasilan petani oleh tuan tanah

(patron) dan negara tidaklah sah apabila dianggap pungutan tersebut melampaui

tingkatan subsistebsi minimal menurut ukuran kultur lokal dan kedua, sumberdaya

bersama (commons) seperti tanah harus didistribusikan secara sedemikian rupa

agar setiap petani terjamin subsistensinya. Lebih lanjut, Scott berpendapat, dua transformasi yang terjadi di era kolonialisme secara langsung telah mengikis

pola-pola asuransi sosial petani. Menurut Wolf dalam Scott (1981), transformasi yang

(49)

24

Scott menyoroti peran negara yang tampil memainkan peran

administratifnya dengan memungut pajak pendapatan, tunjangan sosial bagi petani tanpa memperhatikan kondisi subsistensi petani yang semakin memprihatinkan. Selain itu, dampak dari penetrasi pasar mendorong setiap individu untuk

melakukan rasionalisasi aktivitas ekonominya dengan memprioritaskan

keuntungan masksimum. Secara tegas, Scott berpendapat, komersialisasi sektor agraris di era ekonomi pasar secara nyata melenyapkan bentuk-bentuk asuransi sosial yang berlaku di komunitas petani, atau dengan kata lain paradigma pasar telah mengikis mekanisme-mekanisme pemerataan yang berlaku di desa.

Berbeda dengan Scott, pandangan Popkin (1986) lebih optimis terhadap prospek masa depan petani dengan adanya mekanisme pasar. Asumsi para ekonom moral yang mengatakan hanya para petani kaya yang dapat melakukan inovasi demi mengejar keuntungan maksimal sehingga peran negara menjadi dominan dalam melindungi taraf susbsistensi petani dibantah oleh Popkin. Menurutnya, stratifikasi ditataran petani lebih ditimbulkan karena perbedaan di komunitas petani dalam mendapatkan akses di pemerintahan dibandingkan dengan adanya penetrasi pasar.

(50)

kepada petani, peran pasar juga mendorong otonomi petani agar terbebas dari dominasi tunggal (eksploitasi) patron.

Popkin berpendapat, sifat diadik dari relasi patron-klien tidaklah inheren akan tetapi karena kemampuan patron dalam mengindividukan relasi yang terbangun dengan klien sehingga secara tidak langsung menghambat kekuatan proses tawar-menawar kolektif. Dalam hal ini, patron tidak hanya menginvestasikan sumberdaya-sumberdaya klien dengan tujuan menjaga taraf subsistensi akan tetapi juga menghamabat penegmbangan kreativitas petani yang bisa merubah level keseimbangan kekuatan tawar petani. Untuk merubah pola pertukaran antara patron dan petani dibutuhkan tindakan kolektif dari petani. Untuk itu, peran ’orang luar’ dalam proses negosiasi atau tawar-menawar dengan patron akan mendorong gerakan revolusi karena para petani didaerah subsisten kurang memiliki kecenderungan untuk memperbaharui sistem kelembagaan mereka sendiri.

2.6. Review Beberapa Studi Terkait

Studi mengenai kemiskinan dan marjinalisasi petani di Indonesia merupakan salah satu tema yang terus bergulir terutama pada studi-studi tentang dinamika masyarakat pedesaan berbasis agraris. Dalam lintasan sejarah, setidaknya pasca kemerdekaan Indonesia, penelitian terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan khususnya Jawa telah banyak dilakukan dari berbagai disiplin ilmu dengan beragam fokus kajian seperti; distribusi pendapatan rumah tangga petani (King dan Weldon, 1977, Mintoro 1984), upah dan tenaga kerja di pedesaan (Husken 1979, White 1981, Soentoro 1984), penguasaan dan kepemilikan lahan (Booth 1974, Wiradi dan Makali 1984), intesifikasi dan mekanisasi pertanian (Siregar dan Nasution 1984), migrasi dan tekanan penduduk (Hugo 1982), kelembagaan modal dan kredit pedesaan (Colter 1984), organisasi dan struktur politik lokal hingga gerakan sosial pedesaan yang kesemuanya memberikan gambaran situasi sosial-ekonomi pedesaan Indonesia.

(51)

26

pembangunan pertanian dan pedesaan serta dampak dari pemberlakuan kebijakan

tersebut seperti; land reform (Utrecht 1969, 1973), program Bimas (Roekasah dan

Penny 1967, Partadiredja, 1969), revolusi hijau, transmigrasi, program PIR-BUN (White 1996), Supra-Insus (Sawit dan Manwan 1991), program kredit usahatani (KUT), inpres desa tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan yang saat ini sedang digalakkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Dari berbagai kajian tersebut pada akhirnya turut melahirkan atau paling tidak mendorong debat teoritik yang lebih luas, lintas aktor, wilayah (ruang), disiplin dan perspektif dalam memahami kondisi kemiskinan dan marjinalisasi petani di pedesaan Inodenesia.

Diantara berbagai studi tersebut, terdapat simpul-simpul tematik yg turut menjadi dasar pengambilan kebijakan pembangunan pertanian dan turut mendorong perdebatan yang cukup luas dan intens. Dalam konteks ini, posisi penilitian Geertz tahun 50an, Studi Dinamika Pedesaan/Survey Agro Ekonomika (SDP/SAE) era 70an, penelitian kolaborasi PSP-LP IPB, ISS dan PPLH ITB akhir tahun 80an serta riset aksi IDT yang dilakukan oleh P3R YAE era tahun 90an merupakan salahsatu bentuk lintasan evolusi perkembangan studi kemiskinan di pedesaan Indonesia. Hal yang perlu digaris bawahi, hasil studi SAE sebagai lembaga penelitian yang berpusat di Bogor menurut beberapa pemerhati kemiskinan dan pedesaan merupakan salahsatu hasil studi yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman kondisi pedesaan di Indonesia (de Vries 1969, Strout 1985)

Studi Geertz di daerah pedesaan Jawa Timur pada tahun 1952-1954 menyimpulkan bahwa masyarakat pedesaan telah mengalami proses kemiskinan

berbagi (shared poverty) dan involusi. Dengan menggunakan ilustrasi kue yang

harus dipotong dan dibagi kian mengecil, Geertz berpendapat, akibat kelangkaan sumber daya lahan dan meningkatnya jumlah penduduk (tenaga kerja), di pedesaan Jawa telah terjadi apa yang ia sebut sebagai “kemiskinan berbagi”

(52)

sebagai involusi.1 Akibatnya, kelembagaan yang mengatur tenaga kerja dan sumberdaya agraria di desa semakin kompleks sehingga terjadi kemandegan perkembangan desa.

Menurut Geertz, di pedesaan Jawa hanya terdapat rumah tangga yang

kecukupan dan kekurangan (Geertz 1984).2 Dalam hal ini, di pedesaan Jawa tidak

terjadi polarisasi (pengkutuban) antar warga desa.3 Gambaran masyarakat

pedesaan Jawa ala Gertz oleh sebagian para pemerhati masalah pedesaan dianggap sebagai lukisan usang tentang desa atau lebih terjebak pada ingatan

romantisme tentang desa. Slogan, “mangan ora mangan asal kumpul” sering kali

dipakai sebagai untaian kalimat romantis dalam menggambarkan suasana pedesaan kita di Indonesia. Faktanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sekelompok peneliti yang tergabung SAE/SDP, PSP-LP dan Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB yang bermarkas di Bogor era 70-90an, akibat agenda

1

Konsep involusi dipinjam dari Goldenweiser yang menggunakan istilah tersebut guna

menerangkan pola-pola kebudayaan yang sering terlihat pada masyarakat-masyarakat primitif yang, setelah mencapai apa yang tampaknya merupakan keadaan yang menentukan, bukan saja tidak mampu memantapkan ataupun mentransformasikan diri ke dalam suatu pola baru, tetapi

malah, terus saja berkembang secara melingkar-lingkar ke dalam. Dalam bidang ekonomi konsep

involusi ini menunjukkan suatu pola perubahan teknis di mana produksi pertanian ditingkatkan hanya dengan meningkatkan masukan tenaga kerja ke tiap bidang sawah. (Kano 1986)

2

Geertz menyatakan, “di bawah tekanan jumlah penduduk yang makin banyak dan

sumber-sumber daya yang terbatas, masyarakat Jawa terbagi menjadi dua golongan, –yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan setengah budak yang tertindas –sebagaimana halnya pada begitu banyak negara “berkembang” lainnya. Tetapi sebaliknya, masyarakat ini mempertahankan suatu tingkat homogenitas (keserbasamaan) sosial dan ekonomi yang cukup tinggi, dengan membagi kue ekonomi dalam potongan yang makin lama makin kecil, suatu proses yang pada bagian-bagian lain saya sebut “kemiskinan bersama”. Masyarakat bukannya terbagi dalam golongan kaya dan golongan miskin; yang ada –dalam bahasa kaum tani yang sedikit diperhalus –hanyalah golongan cukupan dan golongan kekurangan.Yang kita temukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur bukannya pemusatan kekayaan secara pesat serta terbentuknya kaum proletariat pedesaan yang terasing dan miskin seperti yang kita jumpai di begitu banyak daerah “terbelakang”, melainkan proses pembagi-bagian tanah dan harta penduduk secara hampir merata. Dengan demikian kaum tani boleh dikatakan dapat mempertahankan keseimbangan atau kesamaan di bidang agama, politik, sosial dan ekonomi dengan sesamanya, dan tingkat hidup mereka sama-sama merosot jauh”.

(Kano, 1986) 3

Gambar

Tabel 5.3  Indikator Kemiskinan Rumah Tangga Petani di Desa Dangiang  ...... 71
Gambar 4.1 Peta Wilayah Administratif Propinsi Jawa Barat  ...........................
Gambar 4.1. Peta Wilayah Administratif Propinsi Jawa Barat
Tabel 4.1. Luas Kawasan Hutan yang Dikuasai Negara di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “ Perubahan Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Transmigran (Studi Kasus Masyarakat

Based on the result it can be concluded that teaching reading comprehension by using Reciprocal teaching technique was sufficient to contribute a significant

Hasil pengujian yang diperoleh pada komposisi Al-SiC yang paling baik terhadap sifat mekanik dan mikrostruktur adalah kandungan SiC 3,5%. Dapat disimpulkan bahwa

Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana. Program Studi Pendidikan

Di lain pihak tidak semua trauma kepala memerlukan perawatan di rumah sakit pencitraan den an CT-scan ataupun tindakan pembedahan.. erdapat indikasi tertentu

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2014 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

Hasil analisis yang diperoleh dalam penelitian ini dengan menggunakan Blue Print TIK dan Tahapan Pengintegrasian TIK menurut UNESCO sebagai benchmark, Value Chain Activity dan SWOT